• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN TOKOH NAHDLATUL ULAMA’ (NU) TENTANG PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH DI KELURAHAN SIMOMULYO BARU KECAMATAN SUKOMANUNGGAL KOTA SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN TOKOH NAHDLATUL ULAMA’ (NU) TENTANG PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH DI KELURAHAN SIMOMULYO BARU KECAMATAN SUKOMANUNGGAL KOTA SURABAYA."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

DEPAN JENAZAH DI KELURAHAN SIMOMULYO BARU

KECAMATAN SUKOMANUNGGAL KOTA SURABAYA

SKRIPSI

Oleh:

Rudy Wahyu Prasetyo NIM: C01212052

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah Dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)

Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Nahdlatul

Ulama’ (NU) Tentang Pernikahan Di Depan Jenazah Di Kelurahan Simomulyo Baru

Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya” ini adalah hasil penelitian lapangan untuk menjawab pertanyaan bagaimana deskripsi pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya dan bagaimana pandangan

tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) terhadap pernikahan di depan jenazah.

Penelitian ini menggunakan penelitian jenis lapangan, menggunakan teknik wawancara dengan metode deskriptif analitis dengan pola pikir deduktif. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal Surabaya berlangsung di depan jenazah almarhum ayah mempelai perempuan. Latar belakang pelaksanaan pernikahan di depan jenazah ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir anak kepada orangtua sebelum dikebumikan dan untuk memohon restu pada almarhum ayahnya, selain itu alasan lain seperti agar tidak ditundanya pernikahan selama setahun ke depan, serta kepercayaan adat tradisi masyarakat setempat agar terhindar dari bala’ atau musibah.

Hasil analisis terhadap pendapat beberapa tokoh NU terkait dengan pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal Surabaya adalah sah secara agama Islam karena telah memenuhi semua syarat rukun pernikahan, seperti adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan, adanya wali, dua orang saksi dan sighat. Begitupula dengan hukum positif di Indonesia adalah sah, sehingga dalam hukum islam tradisi ini dapat dikualifiksikn pada ‘Urf Khas. Faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan di depan jenazah seluruh ulama’ tokoh NU sepakat bahwa alasan itu diperbolehkan dan sah-sah saja selama tidak ada larangan secara jelas. Bagaimanapun bentuk penghormatan anak terhadap orangtua selama hal itu tidak melanggar syari’at maka boleh untuk dilakukan. Akan tetapi terkait kepercayaan bahwa suatu musibah atau bala’ yang disebabkan karena sebab lain tanpa meyakini datangnya dari Allah SWT merupakan perbuatan syirik dan dilarang keras oleh agama.

(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Kegunaan Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DALAM ISLAM A. Pengertian Perkawinan ... 21

B. Dasar Hukum Perkawinan ... 24

C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 26

1. Rukun Perkawinan ... 27

2. Syarat Sah Perkawinan ... 31

D. . Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 37

1. Tujuan Perkawinan ... 37

2. Hikmah Perkawinan ... 39

(7)

3. Syarat-syarat ‘Urf ... 44

4. Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Shara’ ... 45

BAB III PELAKSANAAN PERNIKAHAN DI SDEPAN JENAZAH DI KELURAHAN SIMOMULYO BARU KECAMATAN SUKOMANUNGGAL KOTA SURABAYA DAN PANDANGAN TOKOH NU ... 48

A. Gambaran Umum Masyarakat Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya ... 48

B. Pelaksanaan Pernikahan Depan Jenazah di Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya ... 49

C. Analisis Hukum Islam terhadap Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) tentang Pernikahan Depan Jenazah di Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya ... 57

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN TOKOH NU TENTANG PELAKSANAAN PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH DI KELURAHAN SIMOMULYO BARU KECAMATAN SUKOMANUNGGAL KOTA SURABAYA ... 71

A. Analisis Pandangan Tokoh NU terhadap Pelaksanaan Pernikahan di Depan Jenazah ... 71

B. Analisis Hukum Islam terhadap Pandangan Tokoh NU tentang Pelaksanaan Pernikahan di Depan Jenazah ... 77

BAB V PENUTUP ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA

(8)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dari berbagai ayat dalam al-Quran dapat diperoleh ketentuan bahwa

hidup berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah manusia dan

makhluk hidup lainnya, bahkan segala sesuatu di dunia ini diciptakan

berjodoh-jodoh. Hal ini bertujuan agar satu sama lain bisa hidup bersama

(melakukan perkawinan) guna mendapatkan keturunan dan ketenangan

hidup serta menumbuhkan rasa kasih sayang di antara sesamanya.

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat

penting dalam kehidupan manusia. Begitu pentingnya perkawinan, maka

tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah

perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara

tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan

masyarakatnya.1

Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa: Perkawinan

menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mi>tha>qan

ghali>z}an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Sedangkan dalam Pasal 3 menyebutkan: Perkawinan bertujuan

(9)

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,

warahmah.2

Sayyid Sa>biq dalam bukunya Fiqh as-Sunnah menuliskan bahwa

perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi

manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya setelah

masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam

mewujudkan tujuan perkawinan.3 Allah SWT berfirman dalam surat

al-Nisa>’ ayat 1:

                                      Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.4 (QS. Al-Nisa’ : 1)

Unsur-unsur pokok dalam suatu pekawinan adalah:

1. Calon mempelai laki-laki

2. Calon memepelai perempuan

3. Wali dari mempelai perempuan yang mengakadkan perkawinan

2Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012), 112.

(10)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

4. Dua orang saksi\

5. Ija>b yang dilakukan oleh wali dan qabu>l yang dilakukan oleh suami.5

Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka pernikahan dapat

dikatakan sah secara agama Islam. Beberapa syarat yang harus dipenuhi

dalam melaksanakan akad nikah tersebut adalah sebagai usaha untuk

mencegah umat dari perbuatan yang dilarang oleh agama.

Berkaitan dengan rukun dan syarat perkawinan ini, Amir

Syarifudin menyatakan, kedua hal tersebut menentukan suatu perbuatan

hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan

tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang

sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.

Dalam hal suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syarat

perkawinan tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila

keduanya tidak ada atau tidak lengkap.6

Adapun syarat-syarat wali yang harus dipenuhi dalam perkawinan

menurut imam Syafi’i adalah:

1) Atas kemauan sendiri (tidak ada paksaan dari orang lain)

2) Berjenis kelamin laki-laki

3) Masih berstatus mahram dengan mempelai perempuan

4) Baligh

5) Berakal

6) Adil

(11)

7) Tidak dalam kendali atau kekuasaan orang lain (mahjur ‘alaih)

8) Penglihatan masih normal

9) Homogenitas agama

10)Bukan budak

Perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan ketentuan yang ada,

baik yang berupa ketentuan fikih, Kompilasi Hukum Islam (KHI),

undang-undang nasional yang berlaku.

Pelaksanaan akad nikah di depan jenazah menjadi wacana yang

mungkin sebagian orang merasa asing mendengarnya, bahkan terlihat

sangat aneh dan sedikit ekstrim. Akan tetapi, disini penulis menjelaskan

bahwa pelaksanaan pernikahan di depan jenazah ini banyak dilakukan

oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat adat jawa dan madura.

Bahkan, ada sebagian yang menjadikan pernikahan di depan jenazah

sebagai suatu tradisi yang harus dipertahankan dan dilestarikan.

Proses terbentuknya sebuah kebudayaan, keluarga, sebagai salah

satu bentuk struktur sosial, ditandai oleh suatu stabilitas yang terjadi

berdasarkan perkawinan dan itu berarti hubungan kelamin yang direstui

masyarakat.7

Hukum menguburkan jenazah menurut para ahli fiqh adalah fardu

kifayah sebagaimana halnya memandikan, mengafani, dan menshalatkan.8

Kewajiban menguburkan ini ditetapkan berdasarkan ayat al-Qur’an Surat

al-Mursalaat ayat 25-26 sebagai berikut:

(12)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 5        

Bukanlah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang yang hidup dan orang-orang-orang-orang yang mati.9 (QS. Al-Mursalaat :25-26)

Kemudian dalam al-Qur’an Surat ‘Abasa ayat 21 menjelaskan bahwa :









Kemudian Ia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.10(QS. ‘Abasa : 21)

Nabi Muhammad SAW., memerintahkan menguburkan jenazah

dengan sesegera mungkin, sebagaimana sabda beliau:

َْل اِب اْوُعِرْسَأ َلاَق : مّلسو هيلع ها ىلص ِّنلا هنع ها ةرير يأ نع

ًةََِاَص ُصَُ ْن ِاَف ِةَزاَن

ُهَن ْوُعَضَُ رَشَف َصِلَذ َرْ يَغ ُصَُ ْنِأَو ِهْيَلِأ اَهَ نْوُمدَقُ ُ ُرْ يَخَف

ْمُكِب اَقِر ْنَع

Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Bersegeralah di dalam (mengurus) jenazah. Jika ia orang shalih maka kebaikanlah yang kalian persembahkan kepadanya, tetapi jika ia tidak seperti itu maka keburukanlah yang kalian letakkan dari atas pundak kalian.11(HR. Muttafaqun ‘Alaih).

Hikmah dari persyariatan penguburan mayat itu adalah agar

kemuliaan dan kehormatannya sebagai manusia dapat terpelihara dan

tidak menyerupai bangkai hewan, karena Allah SWT telah menjadikan

manusia sebagai mahluk-Nya yang mulia. Selain itu, agar manusia yang

9Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jilid 9..., 272. 10Ibid., 345.

(13)

hidup tidak merasa terganggu oleh bau yang tidak baik yang timbul dari

jasadnya.12

Terlepas dari penjelasan mengenai jenazah, disini penulis hendak

menjelaskan bahwa pernikahan yang dilakukan di depan jenazah ini

bertujuan salah satunya adalah sebagai bentuk penghormatan terakhir

anak kepada orangtuanya yang pada saat itu menghadapi kematian.

Ada suatu peristiwa yang terjadi pada salah satu warga

masyarakat di Kelurahan Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal

Surabaya, ketika itu orangtua laki-laki (bapak) dari calon pengantin

perempuan meninggal dunia. Pada mulanya, pernikahannya hendak

dilaksanakan sesudah hari itu, karena orangtua dari calon pengantin

perempuan meninggal dunia, maka perkawinan calon pengantin

disegerakan untuk dilaksanakan sebagai rasa menghargai kepada

almarhum orangtuanya (bapak) sebelum dimakamkan, selain itu juga

karena alasan pernikahnnya akan ditunda selama satu tahun apabila

pernikahan tersebut bertepatan dengan meninggalnya orangtua. Artinya,

jika tidak segera dilaksanakan pernikahan tersebut maka akan menunggu

selama satu tahun berikutnya untuk melaksanakan pernikahannya,

sedangkan persiapan untuk melaksanakan segala walimah pernikahan juga

sudah dilakukan. Oleh karena itu, maka calon mempelai perempuan dan

calon mempelai laki-laki menyegerakan pernikahan tersebut meskipun

(14)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

belum tepat pada waktu yang telah direncanakan. Hal itu dipandang

sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orangtuanya.13

Bila dilihat dari kedudukan jenazah itu sendiri, tidak ditemukan

penyimpangan terhadap syar’i sebab jenazah dalam pelaksanaan akad

nikah tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali maupun saksi.

Dalam hal ini, penulis ingin membahas kasus pernikahan di

depan jenazah tersebut dalam pandangan tokoh Nahdlatul Ulama’.

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi massa (Ormas)

Islam terbesar di Indonesia. Nahdlatul Ulama’ memiliki tipologi

pemikiran yang berbeda. Nahdlatul Ulama’ adalah representasi dari

masyarakat tradisional dengan ciri khas tawassut}/i’tida>l

(tengah-tengah/tegak lurus), tawa>zun (seimbang) dan tasa>muh (toleransi) dan

amar ma’ru>f nahi> munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah

kemunkaran).14 Warga ormas Islam yang berlambang bola dunia dan

bintang sembilan ini mayoritas adalah masyarakat pedesaan, santri dan

petani. Organisasi Nahdlatul Ulama’ memiliki suatu lembaga fatwa dalam

merespon problematika dalam Islam yaitu Lembaga Bah{s|ul Masa>il.

Terkait pernikahan di depan jenazah, Organisasi Nahdlatul

Ulama’ ini belum pernah membahas terkait peristiwa pernikahan di depan

jenazah tersebut. Peristiwa yang masih dianut dan dilaksanakan oleh

13Siti Nuriyati, Wawancara, Surabaya, 20 November 2015.

14Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah Yang Berlaku di

(15)

sebagian masyarakat adat jawa dalam hal menikahkan calon mempelai di

depan jenazah sebelum hari yang ditentukan mengingat orangtua dari

mempelai meninggal dunia terlebih dahulu dan harus melaksanakan

pernikahan tersebut di depan jenazah orangtua sebagai bentuk

penghormatan terakhir anak kepada orangtua.

Bagaimana pandangan Organisasi Nahdlatul Ulama’ terkait

pernikahan di depan jenazah tersebut? Apakah peristiwa pelaksanaan

pernikahan di depan jenazah menyimpang dari agama Islam atau tidak?

Apa yang menjadi alasan masyarakat melaksanakan pernikahan di depan

jenazah? Disini penulis merasa ingin meneliti lebih jauh pandangan dan

argumen tokoh struktural Nahdlatul Ulama’ (NU) yang penulis

fokuskan pada tokoh-tokoh Nahlatul Ulama’ Jawa Timur yang berpusat

di Surabaya terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah yang

terjadi di kelurahan Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal

Surabaya, dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan

Tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) Tentang Pernikahan di Depan Jenazah

Di Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota

(16)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat

diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Perkawinan dalam hukum Islam

2. Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam

3. Pelaksanaan pernikahan di depan jenazah di kelurahan Simomulyo Baru,

kecamatan Sukomanunggal, Surabaya.

4. Faktor yang melatar belakangi pernikahan depan jenazah di kelurahan

Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal, Surabaya

5. Pandangan tokoh Nahdlatul Ulama’ Jawa Timur terhadap tradisi

pernikahan di depan jenazah.

Melihat luasnya pembahasan tentang tradisi pernikahan di depan

jenazah dalam identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi

masalah dalam pembahasan ini, dengan:

1. Deskripsi tentang pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan

Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal, Surabaya.

2. Analisis hukum islam terhadap pandangan tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU)

tentang pelaksanaan pernikahan di depan jenazah.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan

(17)

1. Bagaimana deskripsi pelaksanaan pernikahan depan jenazah di Kelurahan

Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya?

2. Bagaimana analisis hukum islam terhadap pandangan tokoh Nahdlatul

Ulama’ (NU) tentang pernikahan di depan jenazah?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka bertujuan untuk menarik perbedaan mendasar antara

penelitian yang dilakukan, dengan kajian atau penelitian yang pernah

dilakukan sebelumnya. Setelah melakukan penelusuran, ada beberapa skripsi

yang membahas tentang perkawinan di depan jenazah, diantaranya yaitu:

Pertama, skripsi UIN Maliki Malang dari Siti Aminah yang berjudul

Tradisi Kawin Mayit (Studi tentang Pandangan Masyarakat di Kecamatan

Lumajang Kabupaten Lumajang). Skripsi ini membahas mengenai pernikahan

di depan jenazah menurut pandangan masyarakat setempat, apakah tradisi

pernikahan tersebut setuju atau kurang setuju dengan didasari oleh pendapat

masyarakat masing-masing.15

Kedua, skripsi IAIN Walisongo yang berjudul Hukum Pelaksanaan

Akad Nikah di hadapan Jenazah dan Implikasinya Terhadap Masyarakat.

Skripsi ini membahas mengenai pernikahan di depan jenazah yang terjadi di

desa Kawedusan Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah.

Skripsi ini membahas mengenai pernikahan di depan jenazah ditinjau dari

15Siti Aminah, “Tradisi Kawin Mayit (Studi tentang Pandangan Masyarakat di Kecamatan

(18)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

pandangan maslahah mursalah, dengan adanya pernikahan di depan mayit ini

diharapkan dalam menentukan hukum nikahnya dapat lebih diterima oleh

masyarakat.16

Ketiga, skripsi dari UIN Maliki Malang dengan judul Perkawinan

Dekat Jenazah dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi ini membahas

mengenai pernjkahan adat kawin mayit yang ditinjau dari sudut pandang

hukum pernikahan islam untuk memastikan apakah tradisi kawin mayit layak

untuk dijadikan sebuah pertimbangan hukum.17

Sedangkan dalam skripsi penulis membahas mengenai pernikahan

depan jenazah menurut pandangan beberapa tokoh NU dengan didasarkan

pada alasan-alasan yang dikemukakan.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan:

1. Mendeskripsikan pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan

Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya.

2. Menganalisis pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) Jawa Timur

terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah.

16Nurul Laely, “Hukum Pelaksanaan Akad Nikah di hadapan Jenazah dan Implikasinya Terhadap

Masyarakat” (Skripsi – IAIN Walisongo, Semarang, 2004), 17.

17Ratih Novitasari, “Perkawinan Dekat Jenazah dalam Perspektif Hukum Islam” (Skripsi – UIN

(19)

F. Kegunaan Penelitian

Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat,

sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal di bawah ini:

1. Aspek teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi peneliti selanjutnya

dan dapat dijadikan bahan masukan dalam memahami tentang

pernikahan di depan jenazah oleh masyarakat kelurahan Simomulyo

Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya.

b. Penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan pengetahuan

tentang pernikahan yang dilaksanakan di depan jenazah.

2. Aspek praktis

a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi

masyarakat khususnya masyarakat kelurahan Simomulyo Baru,

kecamatan Sukomanunggal, Surabaya yang melaksanakan pernikahan

di depan jenazah.

b. Memberikan pandangan tentang pernikahan di depan jenazah oleh

tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU).

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah deretan pengertian yang dipaparkan secara

(20)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

1. Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang

berkenan dengan kehidupan berdasarkan Al-quran dan As-sunnah atau

disebut juga dengan hukum syara’.18 Hukum Islam dalam penelitian ini

adalah hukum Islam yang dispesifikkan dengan menggunakan metode

‘Urf sebagai dalil dalam menetapkan hukumnya.

2. Tokoh Nahdlatul Ulama’ : Tokoh yang menjadi Pengurus Wilayah

Nahdlatul Ulama’ Jawa Timur. Yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah Organisasi Nahdlatul Ulama’ yang berada di Jawa Timur.

3. Pernikahan Depan Jenazah : Pernikahan yang dilakukan di depan

jenazah dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan.

Berdasarkan definisi operasional yang telah dipaparkan di atas, maka

penelitian dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan

Tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) Tentang Pernikahan Di Depan Jenazah Di

Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya”,

terbatas pada pembahasan mengenai deskripsi tradisi pernikahan di depan

jenazah, yang kemudian akan dianalisis dengan pendapat beberapa tokoh

Nahdlatul Ulama’ (NU).

H. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field

research). Oleh karena itu, data yang dikumpulkan merupakan data yang

(21)

diperoleh dari lapangan sebagai obyek penelitian. Agar penulisan skripsi ini

dapat tersusun dengan benar, maka penulis memandang perlu untuk

mengemukakan metode penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:

1. Data yang dihimpun

Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung

jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka penulis

membutuhkan data sebagai berikut:

a. Data tentang deskripsi pernikahan di depan jenazah yang dilakukan

oleh masyarakat kelurahan Simomulyo Baru, kecamatan

Sukomanunggal Surabaya.

b. Data tentang pendapat beberapa tokoh-tokoh besar Nahdlatul Ulama’

(NU) yang berada di wilayah Jawa Timur tentang pernikahan di depan

jenazah.

2. Sumber Data

Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas, maka yang menjadi

sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer

Sumber data primer di sini adalah sumber data yang diperoleh

secara langsung dari subyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber

data primer adalah:

1) Keterangan beberapa tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) tentang

(22)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

a) Ustadz Ma’ruf Khazin sebagai Pengurus PW LBM (Lembaga

Bahtsul Masa’il) NUJawa Timur.

b) KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.Hi sebagai Wakil Ketua

Tanfidzyah PWNU Jawa Timur, Direktur Aswaja Center

PWNU Jawa Timur.

c) KH. Ahmad Asyhar sebagai Ketua PW LBM (Lembaga Bahtsul

Masa’il) NU Jawa Timur

d) Ustadz Ahmad Muntaha AM sebagai Wakil Sekretaris PW

LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, Koordinator

KISWAH Aswaja NU Center PWNU JawaTimur

e) Keterangan dari masyarakat kelurahan Simomulyo Baru

kecamatan Sukomanunggal Surabaya yang melaksanakan

pernikahan di depan jenazah.

f) Keterangan dari tokoh agama di kelurahan Simomulyo Baru

kecamatan Sukomanunggal Surabaya, Surabaya

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung

memberikan data kepada peneliti, seperti literatur-literatur mengenai

perkawinan. Antara lain:

1) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara

Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.

2) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.

(23)

4) H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fiqh

Nikah Lengkap.

5) Rohman Ritonga, Fiqh Ibadah.

6) Pendapat Tokoh Nahdlatul Ulama’

7) Pendapat Tokoh Agama Masyarakat kelurahan Sidomulya Baru,

Surabaya.

8) Pendapat masyarakat kelurahan Sidomulya Baru, Surabaya.

3. Identifikasi Responden

Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 4 tokoh struktural

Nahdlatul Ulama’ (NU), beberapa tokoh terebut adalah Ustadz Ma’ruf

Khazin sebagai Pengurus PW LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa

Timur, KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.Hi sebagai Wakil Ketua

Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, Direktur Aswaja NU Center PWNU

Jawa Timur, KH. Ahmad Asyhar sebagai Ketua PW LBM (Lembaga

Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, dan Ustadz Ahmad Muntaha AM

sebagai Wakil Sekretaris PW LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa

Timur, Koordinator KISWAH Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.

Mereka dipilih karena mereka adalah tokoh representatif dari NU Jawa

Timur, memiliki kompetensi yang sesuai dengan penelitian, tingkat

pendidikan mereka relatif tinggi dan berperan aktif dalam lembaga kajian

yang membahas problematika keislaman menurut metode penetapan

(24)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data merupakan proses yang sangat

menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan pengumpulan

data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data yang

dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang

berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap

muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau

keterangan-keterangan.19 Apabila wawancara bertujuan untuk

mendapat keterangan atau untuk keperluan informasi maka individu

yang menjadi sasaran wawancara adalah informan. Pada wawancara

ini yang penting adalah memilih orang-orang yang tepat dan memiliki

pengetahuan tentang hal-hal yang ingin kita ketahui. 20

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama’ Jawa Timur yang

berpusat di kota Surabaya yang menjadi informan dalam hal meminta

pendapat tentang pernikahan di depan jenazah adalah beberapa tokoh

seperti Ustadz Ma’ruf Khazin sebagai Pengurus PW LBM (Lembaga

Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.Hi

sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, Direktur

19Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Cetakan Kesepuluh,(Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2009), 83.

(25)

Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, KH. Ahmad Asyhar sebagai

Ketua PW LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, dan

Ustadz Ahmad Muntaha AM sebagai Wakil Sekretaris PW LBM

(Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, Koordinator KISWAH

Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Di daerah pedesaan umumnya

yang menjadi informan mengenai pernikahan adalah tokoh agama

atau mereka yang mempunyai kedudukan formal dalam pernikahan.

Wawancara dilakukan dengan cara bersilaturahmi ke rumah tokoh

agama dan masyarakat yang melaksanakan praktek tradisi pernikahan

di depan jenazah.

b. Studi dokumen

Studi dokumen merupakan salah satu sumber untuk

memperoleh data dari buku dan bahan bacaan mengenai penelitian

yang pernah dilakukan.21 Studi dokumen ini adalah salah satu cara

pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian sosial.

Pengumpulan data tersebut dilakukan guna memperoleh sumber data

primer dan sekunder, baik dari kitab-kitab, buku-buku, maupun

dokumen lain yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian.

5. Teknik analisis data

Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap baik dari

lapangan dan dokumentasi, tahap selanjutnya adalah analisis data.

21Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: UI Press,1986),

(26)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik deskriptif

analitis dengan pola pikir deduktif, yaitu menggambarkan hasil penelitian

secara sistematis dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum

tentang pernikahan di depan jenazah.Penelitian deskriptif adalah suatu

penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki. Pendekatan deskriptif analitis

dipergunakan untuk menggambarkan pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama’

(NU) terhadap pelaksanaan pernikahan depan jenazah di Kelurahan

Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya. Selanjutnya,

deskripsi tersebut dianalisis menggunakan pola pikir deduktif.22

I. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing bab

terdiri dari beberapa subbab sebagai berikut:

Bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang

Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian

Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi Operasional,

Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua tentang landasan teori, bab ini membahas tentang teori

perkawinan dalam Islam meliputi pengertian perkawinan, dasar hukum,

(27)

syarat dan rukun perkawinan, keabsahan perkawinan, hikmah perkawinan,

dan pencatatan perkawinan.

Bab ketiga memuat data yang berkenaan dengan hasil penelitian

terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah. Dalam subbab ini dibahas

tentang gambaran umum Kelurahan Simomulyo Baru kecamatan

Sukomanunggal Surabaya, deskripsi pelaksanaan pernikahan depan jenazah di

Kelurahan Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya, pendapat

tokoh Nahdlatul Ulama’ terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah.

Bab keempat merupakan analisis terhadap permasalahan dalam

penelitian ini. Bab ini berisi analisis terhadap pandangan tokoh Nahdlatul

Ulama’ terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah, baik analisis

terhadap dasar pelaksanaan pernikahan di depan jenazah maupun analisis

terhadap alasan terjadinya pelaksanaan pernikahan di depan jenazah.

Bab kelima penutup, bab ini merupakan bagian akhir yang berisi

(28)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DALAM ISLAM

DAN

‘URF

A. Pengertian Perkawinan

Kata nikah atau kawin berasal dari bahasa Arab yaitu

حاكنلا

dan

“جاوزلا”

, yang secara bahasa mempunyai arti

“ئطولا

” (setubuh, senggama)1

dan

“مضلا”

(berkumpul). Secara hakiki nikah diartikan juga dengan berarti

bersetubuh atau bersenggama, sedangkan secara majazi bermakna akad.2

Menurut istilah, pernikahan adalah akad untuk menghalalkan

hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara

laki-laki dan perempuan, dimana antara keduanya bukan muhrim atau lebih

tegasnya, pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan

perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan

dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah,

penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.3

1Ahmad Warson Al-Munawwir, Al-Munawwi>r: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) 1461.

2Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz 9,(Dar El-Fikr, 1997) 6513.

(29)

Menurut al-Qur’an perkawinan adalah menciptakan kehidupan

keluarga antara suami isteri dan anak-anak serta orangtua agar tercapai suatu

kehidupan yang aman dan tenteram (sakinah) pergaulan yang saling

mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahma).4

Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu akad yang

menjadikan halalnya hubungan seksual antara kedua orang yang berakad

sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yang datangnya dari syara‘. 5

Sedangkan di dalam ensiklopedi hukum Islam, disebutkan bahwa

nikah merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami

istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan

keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas

bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia pertama di atas

bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah Swt. terhadap

hamba-Nya.6

Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau

mis|a>qan gali>d{an dan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan

wanita untuk mentaati perintah Allah dan siapa yang melaksanakannya

adalah merupakan ibadah, serta untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga

yang saki>nah, mawaddah wa rah}mah.7

4Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (UI Press: 1974), 47. 5Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhs{iyah, (Dar El-Fikr Al-‘arabi, 1958) 18.

6Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) 1329.

(30)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 disebutkan

bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8

Kemudian Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pengertian nikah adalah

akad yang memberikan faedah hukum kebolehan melakukan hubungan

keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong

menolong dan memberikan batasan bagi pemiliknya serta peraturan bagi

masing-masing.9

Dari beberapa pengertian pernikahan tersebut di atas dapat

dirumuskan bahwa, pernikahan adalah ikatan melakukan suatu akad atau

perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan

untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan

dasar sukarela dam keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan keluarga

yang diliputi kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai

Allah Swt.

8Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012), 2.

(31)

B. Dasar Hukum Perkawinan

Diantara dasar hukum dianjurkannya perkawinan adalah sebagai

berikut:

a. Q.S. Ar-Ru>m ayat 21

                                

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.10

b. Q.S. An-Nu>r ayat 32

                              

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.11

10Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2006), 406.

(32)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

c. Q.S. Yasi>n ayat 36

                  

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.12

d. Rasulullah SAW bersabda :

لاَقِهللا ِدْبَع ْنَع

:

َةَءاَبْلا َعاَطَتْسا ْنَم ِباَبشلا َرَشْعَم اَي َملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِِنلا اَنَل َلاَق

ْلَ ف

ِو ُهَل ُهنِإَف ِمْوصلاِب ِهْيَلَعَ ف ْعِطَتْسَي ََْ ْنَمَو ِجْرَفْلِل ُنَصْحَأَو ِرَصَبْلِل ضَغَأ ُهنِإَف ْجوَزَ تَي

ءاََ

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: telah berkata kepada kami Rasulullah SAW, : “Hai sekalian pemuda, barangsiapa yang telah sanggup di antara kamu kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya.13

Perkawinan hukum asalnya adalah mubah, namun dapat berubah

menurut ah}ka>mal al-khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan

keadaan:

1. Nikah Wajib, diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan

menambah takwa. Dan juga mamou bagi orang yang telah mampu, yang

akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram.

12Ibid., 442.

13Abu Al-Hasan Nuruddin Muhammad bin Abd Al-Hadi Al-Sindi, Shahi>h Bukhari bi Al- Ha>siyah

(33)

2. Nikah Haram, nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya

tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan

kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinngal, dan

kewajiban batin seperti mencampuri isteri.

3. Nikah Sunnah, nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu

tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram,

dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena

membujang tidak diajarkan oleh Islam.

4. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan

dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib

nikah dan tidak haram bila tidak nikah.14

Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar perkawinan,

menurut Islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, dan mubah

tergantung dengan keadaan mas}lah}at atau mafsadat-nya.

C. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.

Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya

(34)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

merupakan sesuatu yang harus diadakan. Artinya, perkawinan tidak sah

apabila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.15

1. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun perkawinan itu adalah

adanya mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi,

dan ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.16

a. Adapun syarat-syarat suami adalah:

1) Bukan mahram dari calon isteri

2) Tidak terpaksa atau kemauan sendiri

3) Orangnya tertentu, jelas orangnya

4) Tidak sedang ihram.

b. Syarat-syarat isteri adalah:

1) Tidak ada halangan syara’, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,

tidak sedang dalam iddah

2) Merdeka, atau kemauan sendiri

3) Jelas orangnya, dan

4) Tidak sedang berihram.17

15Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 59. 16Ibid.,61.

(35)

c. Syarat-syarat Wali

Adapun yang dimaksud wali dalam perkawinan adalah

seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak

terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap

dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki

sesuatu kekurangan pada dirinya, yang memungkinkan dia bertindak

sendiri secara hukum, baik dalam bertindak atas harta atau atas

dirinya. Dalam perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak

atas nama mempelai perempuan dalam suatu akadi nikah.18

Yang berhak menempati kedudukan wali itu ada tiga

kelompok: Pertama, wali nasab, yaitu wali berhubungan tali

kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin. Kedua, wali

mu’thiq yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas

hamba sahaya yang dimerdekakannya. Ketiga, wali hakim yaitu orang

yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau

penguasa.19

Menurut Imam Syafi’i tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi

pihak pengantin perempuan. Sedangkan menurut madzab Hanafi, wali

itu sunnah saja hukumnya. Di samping itu ada pendapat yang

menyatakan bahwa wali nikah itu sebenarnya tidak perlu apabila yang

mengucapkan ijab dalam proses akad ialah pihak laki-laki. Tetapi

(36)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

kenapa dalam praktik selalu pihak wanita yang ditugaskan

mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang

diperintahkan mengucapkan ikrar qabul (penerimaan). Karena wanita

itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu, maka pengucapan ijab itu

perlu diwakilkan kepada walinya, jadi wali itu sebagai wakil dari

perempuan. Biasanya diwakili oleh ayahnya, bilamana tidak ada ayah,

dapat digantikikan oleh kakeknya. Wali nikah yang demikian itu

disebut wali nikah yang memaksa (mujbir).20

Bila tidak ada ayah mungin karena meninggal atau ghaib,

maka digantikan kakek yang berhak tampil menjadi wali nikah cucu

perempuannya. Apabila tidak ada bapak atau kakek, maka dapat

diwakilkan lagi kepada saudara laki-laki kandung dari pengantin

perempuan yang sudah baligh, berakal, laki-laki, Islam dan adil. Bila

tidak ada sudara laki-laki, maka dapat pula diwakilkan kepada saudara

laki-laki dari ayah (Paman). Wali sesudah ayah dan kakek itu disebut

wali nasab biasa (tidak memaksa).

d. Syarat-syarat saksi adalah:

1) Laki-laki

2) Baligh

3) Waras akalnya

4) Adil

5) Dapat mendengar dan melihat

(37)

6) Tidak dipaksa

7) Tidak sedang ihram, dan

8) Memahami bahasa untuk ijab dan qabul.21

Saksi harus hadir dan meyaksikan secara langsung akad nikah

serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad

nikah dilangsungkan.22

e. Syarat-syarat Ijab dan Qabul

Syarat-syarat sighat hendaknya dilakukan dengan bahasa yang

dapt dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan

saksi. Shigat hendaknya mempergunakan ucapan yang menunjukkan

waktu akad dan saksi.23

Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab

fiqh akad perkawinan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat

keperdataan. Ia diartikan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut

dalam al-Qur’an

اظيلغ اق اثيم

(mi>s\a>qa>n gali>z{a>n) yang mana perjanjian

itu bukan hanya disaksikan oleh dua orang saksi yang ditentukan atau

orang banyak yang hadir pada waktu berlangsungnya akad

perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.24

Dari ketentuan di atas menjelaskan bahwa syarat rukun dari

sebuah perkawinan adalah adanya calon mempelai laki-laki, mempeali

(38)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

perempuan, wali, dua orang saksi, dan shigat. Akad nikah atau

perkawinan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya

menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum.

2. Syarat Sah Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya

perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah

dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban.25

Secara garis besar syarat sahnya perkawinan dibagi menjadi dua

yaitu: Pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang

akan menjadi pendampingnya. Artinya tidak diperbolehkan wanita yang

hendak dinikahi itu berstatus sebagai muhrimnya, dengan sebab apapun,

yang mengharamkan pernikahan di antara mereka berdua, baik itu bersifat

sementara maupun selamanya. Syarat kedua, saksi yang mencakup hukum

kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan.26

Menurut Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ah}wa>l as-Syakhs{iyah,

membagi syarat-syarat perkawinan ini dalam 3 macam yaitu:

Pertama, syarat sah adalah syarat-syarat yang apabila tidak dipenuhi,

maka akad itu dianggap tidak ada oleh syara’. Yang mana dari akad itu

timbul hukum-hukum yang dibebankan oleh syara’.Kedua, syarat

pelaksanaan yaitu syarat-syarat yang bila tak ada, maka tidak ada hukum

apa-apa tiap-tiap orang yang berakad. Ketiga, syarat keberlangsungan

25Abd. Rahman Ghaza>li, Fiqh Munakahat, cet 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), 49.

(39)

yaitu syarat yang kedua pihak tidak memerlukan akad apabila tidak ada

syarat-syarat tersebut.27

Syarat sah nikah (Syarat S{ih}h}ah) : hadirnya para saksi. Saksi

tersebut minimal dua orang laki-laki dan dua wanita yang balig{, berakal,

merdeka, mendengar dan memahami ucapan dua pihak yang berakad,

beragama Islam. Kemudian calon istri adalah wanita yang bukanlah

mahram si lelaki. Baik mahram abadi maupun sementara.28

Syarat terlaksananya akad nikah (Syarat Nafa>z{). Demi

terlaksananya akad nikah, orang yang mengadakannya haruslah orang

yang mempunyai kekuasaan mengadakan akad nikah. Jika orang yang

mengurusi akad mempunyai kecakapan yang sempurna dan mengakadkan

dirinya sendiri, maka akad tersebut sah dan dapat diberlakukan. Demikian

halnya jika dia mengadakan akad bagi orang di bawah kekuasaannya, atau

orang yang mewakilkan penyelenggaraan akad kepada dirinya.29

Mayoritas fuqaha’ menyatakan bahwa wanita tidak dapat

mengakad nikahkan dirinya sendiri. Akad nikah tidak bisa terjadi dengan

ungkapan wanita, meskipun wali tidak mempunyai hak memaksa dirinya.

Wanita dan walinya bekerja sama memilih dan memilah calon suami.

Namun wali dari wanita itulah yang akan mengakadkan akad nikah.

Syarat keberlangsungan nikah (Syarat Luzu>m). Pada dasarnya

akad nikah adalah akad yang berlangsung terus menerus. Tidak boleh

27Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhs{iyah..., .58. 28Ibid., 58.

(40)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33

membatalkan akad tersebut secara sepihak. Dalam artian tidak boleh

melepaskan akad itu dari asalnya, melainkan perbuatan menghentikan

hukum-hukum akad nikah. Talak merupakan salah satu hak yang dimiliki

suami sebagai konsekuensi dari terjadinya akad nikah.30

Akad nikah adalah suatu kewajiban yang mengharuskan

keberlangsungan. Karena tujuan syari‘at dari pernikahan tidak akan

tercapai tanpa adanya keberlangsungan nikah itu sendiri. Kehidupan

rumah tangga yang baik, pendidikan anak, dan pemeliharaan mereka pasti

memerlukan sebuah keberlangsungan jangka panjang.31 Syarat

keberlangsungan nikah (syarat luz>um) dalam mazhab H}anafi adalah

hendaklah wali yang menikahkan orang yang tidak atau kurang cakap

adalah ayah, kakek atau anaknya sendiri.

Adapun syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 adalah:

Pasal 2 : (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang

-undangan yang berlaku

Pasal 6 : (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum

mencapai 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua.

30Ibid.,

(41)

(3) Dalam hal sah seorang dari kedua orangtua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan

kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup

diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau dari

orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,

maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau

keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan dalam

keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang

disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah

seorang atau lebih tidak menyatakan pendapatnya, maka

Pengadilan dalam daerah hukumtempat tinggal orang yang

akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang

tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4)

pasal ini.

Pasal 7 : (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai

umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(42)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

35

(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini, dapat

meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lainnya

yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak

wanita.

(3) ketentuan-ketentuan ini mengenai keadaan salah seorang

atau kedua orangtua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4)

Undang-undang ini berlaku juga dalam hal permintaan

dispensasi ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang

dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)

Pasal 8 : Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah

maupun ke atas

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping

yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara

orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dan ibu/ bapak tiri

d. berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan,

saudara susuan, dan bibi atau paman susuan

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri

(43)

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan

lain yang berlaku, dilarang kawin

Pasal 9 : Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain

tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada

pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini

Pasal 10 : Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu

dengan lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di

antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan

lain.

Pasal 11: (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku

jangka waktu tunggu

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1)

akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lanjut

Pasal 12 : Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan

perundang-undangan tersendiri.32

(44)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

37

D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

1. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan adalah menurut perintah Allah untuk

memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan

rumah tangga yang damai dan teratur.33

Imam Al-Ghaza>li membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada

lima hal, sebagai berikut:

a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan

serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia

b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan

c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan

d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama

dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang

e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan

yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.34

Selain itu perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga

sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran

agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang palin

menentukan. Sebab keluarga salah satu di antara lembaga pendidikan

informal, Ibu Bapak yang dikenal mula pertama oleh putra-putrinya

(45)

dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi

dasar pertumbuhan pribadi atau kepribadian sang putra putri itu sendiri.35

Perkawinan pun adalah makna dan jiwa dari kehidupan

berkeluarga meliputi

a. Membina cinta kasih sayang yang penuh romantika dan kedamaian.

Firman Allah SWT.,:

...               ... 

...Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka....36 (QS. Al-Ba>qarah : 187)

b. Understanding dan toleransi yang tulus ikhlas yang diletakkan atas

dasar nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan demokrasi. Dalam kaitan

tersebut Allah berfirman dalam surat Al-Ru>m ayat 21 bahwa:

                                

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.37 (QS. Al-Ru>m : 21)

35H.S.S Al-Hamdani, Risalah Nikah..., 133.

(46)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

39

2. Hikmah Perkawinan

a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk

menyalurkan dan memuaskan naluri seks.

b. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,

memperbanyak keturunan, serta melestarikan hidup manusia.

c. Perkawinan dapat membuahkan di antaranya adalah tali persaudaraan,

memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan

memperkuat hubungan masyarakat.38

E. ‘Urf

1. Pengertian ‘Urf

Secara etimologi 'urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu yang berarti

kenal. Dari kata ini muncul kata ma’ru>f yang berarti sesuatu yang dikenal.

Pengertian “dikenal” ini lebih dekat pada pengertian diakui dan dianggap

baik oleh orang lain.39

Secara terminologi “Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal

oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik

berupa perkataan maupun perbuatan.40

Kata 'urf sering disamakan dengan kata adat (adat kebiasaan).

Namun bila diperhatikan dari akar katanya, ada perebedaan diantara

38H.M.A Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., 19-20.

(47)

kedua kata tersebut. kata adat berasal dari bahasa Arab, akar katanya:

‘a>da, ya‘u>du yang mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu

yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Sedangkan kata ‘urf

pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan

dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama

dikenal dan diakui oleh orang banyak.

Dalam beberapa referensi dijelaskan bahwa adat atau 'urf

mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan. Menurut ‘Abdul Wahha>b

Khalla>f, 'urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan

dikerjakan oleh mereka, baik itu yang berupa perkataan, perbuatan

ataupun sesuatu yang lazimnya untuk ditinggalkan. Hal ini dinamakan

pula dengan al-‘adah. Sehingga dalam bahasa ahli sh}ara' dijelaskan bahwa

antara 'urf dan adat tidak terdapat perbedaan.41

Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa 'urf dan adat

memiliki makna yang sama yang dapat berupa ucapan/perkataan. Dengan

demikian ‘urfdapat dipahami sebagai sesuatu yang sudah dikenal oleh

manusia yang menjadi kebiasaan atau tradisi baik ucapan, perbuatan atau

pantangan-pantangan.

(48)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

41

2. Macam-macam ‘Urf

Dalam pembagiannya, ‘urfdapat ditinjau dari tiga hal, yaitu

pertama dapat ditinjau dari segi obyeknya, kedua dari segi ruang lingkup

penggunaannya dan ketiga dapat di tinjau dari segi keabsahannya.42

a. Ditinjau dari obyeknya.

Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) ‘Urf Qouli

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata

atau ucapan. Misalnya kata waladun, secara etimologi berarti anak,

yang digunakan untuk laki-laki atau perempuan.43 Namun dalam

kebiasaaan sehari-hari orang Arab, kata walad itu digunakan hanya

untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan. Sehingga

dalam memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qouli tersebut.

2) ‘Urf Fi’li

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan.

Miasalnya jual beli barang-barang diwarung antara penjual dan

pembeli, cukup hanya dengan menunjukkkan barang serta serah

terima barang dengan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apapun.

Menurut kebiasaan, hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual

beli.

42Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2014), 413.

(49)

b. Ditinjau dari Segi Ruang Lingkup Penggunaannya.

Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) ‘Urf ‘A<m

Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi

sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.44

Misalnya menganggukkan kepala tanda menyetujui dan

menggelengkan kepala tanda menolak. Hal ini berlaku umum di

masyarakat. Jika ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka

dianggap aneh atau ganjil.

2) ’Urf Kha>s}

Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada

suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.45 Misalnya

adat masyarakat Minangkabau menarik garis keturunan melalui

perempuan (matrilineal) dan adat masyarakat Batak menarik garis

keturunan melalui laki-laki (patrilineal).

c. Ditinjau dari Segi Keabsahannya

Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1) ’UrfS{ah{i<h{

Yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia

yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, di samping tidak

(50)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

43

menghalalkan yang haram dan tidak menggugurkan kewajiban.46

Misalnya kebiasaan jual beli dengan cara pemesanan, yaitu pihak

pemesan memberi uang muka terlebih dahulu atas barang yang

dipesannya. Demikian juga dalam mahar perkawinan apakah di

bayar kontan atau hutang, serta terjalin pengertian tentang istri

yang tidak diperkenankan menyerahkan dirinya kepada suami,

melainkan jika mahar telah dibayar.

Seorang mujtahid harus memperhatikan ‘urf sahih dalam

membentuk suatu produk hukum. Karena adat dan kebiasaan

adalah bagian dari kebutuhan dan sesuai dengan kemaslahatan.47

Karenanya terdapat kaidah yang menyatakan bahwa:

ةَمَكَُُ ُةَداَعلا

Adat kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum.

2) ’Urf Fa>sid

Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi

bertentangan dengan shara’, menghalalkan yang haram, atau

membatalkan kewajiban.48 Misalnya kebiasaan berciuman antara

laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara tertentu.

Para Ulama sepakat, bahwasanya ‘urf fa<sid tidak dapat

dijadikan landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi

46Abdul Wahhab Khalla@f, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Bandung: Risalah, 1985), 132.

47Abdul Ghofur Anshori, Zulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di

Indonesia (Jakarta:Kreasi Total Media, 2006), 187.

(51)

hukum.49 Oleh karena itu, untuk mengingatkan masyarakat dan

pengalaman hukum Islam, sebaiknya dilakukan dengan cara yang

ma’ruf pada masyarakat, untuk mengubah adat kebiasaan yang

bertentangan dengan ajaran Islam tersebut, dan menggantinya

dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan ajaran Islam.

3. Syarat-syarat ‘Urf

‘Urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil untuk

menetapkan hukum shara’ apabila telah memenuhi sejumlah persyaratan

berikut. Syarat tersebut adalah:50

a. 'Urf yang dilaksanakan itu harus masuk pada 'urf yang s}ah}i>h} dalam

arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah. Apabila

bertentangan dengan ketentuan nas} atau bertentangan dengan

Gambar

  TABEL I Jumlah Penduduk Kelurahan Simomulyo Baru berdasarkan Jenis Kelamin

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan huruf awal capital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga

(2014) yang menunjukan hasil bahwa rancangan bauran ritel yang terdiri dari produk, harga, promosi, pelayanan dan fasilitas fisik yang berpengaruh terhadap keputusan

Susu kambing mempunyai kandungan nutrisi lengkap, kadar air tinggi, serta tingkat keasaman yang rendah (pH mendekati netral) sehingga mudah mengalami

PERBINCANGAN, RUMUSAN, IMPLIKASI DAN CADANGAN 5.1 Pengenalan 5.2 Ringkasan Kajian 5.2.1 Kesan PKJR mempengaruhi tahap sikap, norma subjektif dan kawalan tingkah laku yang

Pembuatan kue bangkit dengan menggunakan 100% pati sagu akan menghasilkan produk yang mengandung karbohidrat tinggi namun rendah akan kandungan gizi lainnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa indikator yang memiliki nilai Z hitung bernilai negatif, terdiri dari, jaminan kepastian hukum dari pemerintah,

Penggunaan Benzil Amino Purine pada Pertumbuhan Kalus Kapas secara In Vitro.. Embriogenesis Somatik Langsung Pada

Penyimpanan pada suhu 28 o C selama 28 hari menyebabkan aktivitas antibakteri bakteriosin dari BAL pada sampel A turun secara signifikan terhadap bakteri S. coli