DEPAN JENAZAH DI KELURAHAN SIMOMULYO BARU
KECAMATAN SUKOMANUNGGAL KOTA SURABAYA
SKRIPSI
Oleh:
Rudy Wahyu Prasetyo NIM: C01212052
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga
Surabaya
Skripsi dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Nahdlatul
Ulama’ (NU) Tentang Pernikahan Di Depan Jenazah Di Kelurahan Simomulyo Baru
Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya” ini adalah hasil penelitian lapangan untuk menjawab pertanyaan bagaimana deskripsi pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya dan bagaimana pandangan
tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) terhadap pernikahan di depan jenazah.
Penelitian ini menggunakan penelitian jenis lapangan, menggunakan teknik wawancara dengan metode deskriptif analitis dengan pola pikir deduktif. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal Surabaya berlangsung di depan jenazah almarhum ayah mempelai perempuan. Latar belakang pelaksanaan pernikahan di depan jenazah ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terakhir anak kepada orangtua sebelum dikebumikan dan untuk memohon restu pada almarhum ayahnya, selain itu alasan lain seperti agar tidak ditundanya pernikahan selama setahun ke depan, serta kepercayaan adat tradisi masyarakat setempat agar terhindar dari bala’ atau musibah.
Hasil analisis terhadap pendapat beberapa tokoh NU terkait dengan pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal Surabaya adalah sah secara agama Islam karena telah memenuhi semua syarat rukun pernikahan, seperti adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan, adanya wali, dua orang saksi dan sighat. Begitupula dengan hukum positif di Indonesia adalah sah, sehingga dalam hukum islam tradisi ini dapat dikualifiksikn pada ‘Urf Khas. Faktor yang melatar belakangi terjadinya pernikahan di depan jenazah seluruh ulama’ tokoh NU sepakat bahwa alasan itu diperbolehkan dan sah-sah saja selama tidak ada larangan secara jelas. Bagaimanapun bentuk penghormatan anak terhadap orangtua selama hal itu tidak melanggar syari’at maka boleh untuk dilakukan. Akan tetapi terkait kepercayaan bahwa suatu musibah atau bala’ yang disebabkan karena sebab lain tanpa meyakini datangnya dari Allah SWT merupakan perbuatan syirik dan dilarang keras oleh agama.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah... 9
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 11
F. Kegunaan Penelitian ... 12
G. Definisi Operasional ... 12
H. Metode Penelitian ... 13
I. Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DALAM ISLAM A. Pengertian Perkawinan ... 21
B. Dasar Hukum Perkawinan ... 24
C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 26
1. Rukun Perkawinan ... 27
2. Syarat Sah Perkawinan ... 31
D. . Tujuan dan Hikmah Perkawinan ... 37
1. Tujuan Perkawinan ... 37
2. Hikmah Perkawinan ... 39
3. Syarat-syarat ‘Urf ... 44
4. Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Shara’ ... 45
BAB III PELAKSANAAN PERNIKAHAN DI SDEPAN JENAZAH DI KELURAHAN SIMOMULYO BARU KECAMATAN SUKOMANUNGGAL KOTA SURABAYA DAN PANDANGAN TOKOH NU ... 48
A. Gambaran Umum Masyarakat Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya ... 48
B. Pelaksanaan Pernikahan Depan Jenazah di Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya ... 49
C. Analisis Hukum Islam terhadap Pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) tentang Pernikahan Depan Jenazah di Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya ... 57
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN TOKOH NU TENTANG PELAKSANAAN PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH DI KELURAHAN SIMOMULYO BARU KECAMATAN SUKOMANUNGGAL KOTA SURABAYA ... 71
A. Analisis Pandangan Tokoh NU terhadap Pelaksanaan Pernikahan di Depan Jenazah ... 71
B. Analisis Hukum Islam terhadap Pandangan Tokoh NU tentang Pelaksanaan Pernikahan di Depan Jenazah ... 77
BAB V PENUTUP ... 91
A. Kesimpulan ... 91
B. Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari berbagai ayat dalam al-Quran dapat diperoleh ketentuan bahwa
hidup berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah manusia dan
makhluk hidup lainnya, bahkan segala sesuatu di dunia ini diciptakan
berjodoh-jodoh. Hal ini bertujuan agar satu sama lain bisa hidup bersama
(melakukan perkawinan) guna mendapatkan keturunan dan ketenangan
hidup serta menumbuhkan rasa kasih sayang di antara sesamanya.
Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Begitu pentingnya perkawinan, maka
tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah
perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara
tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan
masyarakatnya.1
Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa: Perkawinan
menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mi>tha>qan
ghali>z}an untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Sedangkan dalam Pasal 3 menyebutkan: Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
warahmah.2
Sayyid Sa>biq dalam bukunya Fiqh as-Sunnah menuliskan bahwa
perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya setelah
masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan.3 Allah SWT berfirman dalam surat
al-Nisa>’ ayat 1:
Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.4 (QS. Al-Nisa’ : 1)
Unsur-unsur pokok dalam suatu pekawinan adalah:
1. Calon mempelai laki-laki
2. Calon memepelai perempuan
3. Wali dari mempelai perempuan yang mengakadkan perkawinan
2Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012), 112.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
4. Dua orang saksi\
5. Ija>b yang dilakukan oleh wali dan qabu>l yang dilakukan oleh suami.5
Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka pernikahan dapat
dikatakan sah secara agama Islam. Beberapa syarat yang harus dipenuhi
dalam melaksanakan akad nikah tersebut adalah sebagai usaha untuk
mencegah umat dari perbuatan yang dilarang oleh agama.
Berkaitan dengan rukun dan syarat perkawinan ini, Amir
Syarifudin menyatakan, kedua hal tersebut menentukan suatu perbuatan
hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang
sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.
Dalam hal suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syarat
perkawinan tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila
keduanya tidak ada atau tidak lengkap.6
Adapun syarat-syarat wali yang harus dipenuhi dalam perkawinan
menurut imam Syafi’i adalah:
1) Atas kemauan sendiri (tidak ada paksaan dari orang lain)
2) Berjenis kelamin laki-laki
3) Masih berstatus mahram dengan mempelai perempuan
4) Baligh
5) Berakal
6) Adil
7) Tidak dalam kendali atau kekuasaan orang lain (mahjur ‘alaih)
8) Penglihatan masih normal
9) Homogenitas agama
10)Bukan budak
Perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan ketentuan yang ada,
baik yang berupa ketentuan fikih, Kompilasi Hukum Islam (KHI),
undang-undang nasional yang berlaku.
Pelaksanaan akad nikah di depan jenazah menjadi wacana yang
mungkin sebagian orang merasa asing mendengarnya, bahkan terlihat
sangat aneh dan sedikit ekstrim. Akan tetapi, disini penulis menjelaskan
bahwa pelaksanaan pernikahan di depan jenazah ini banyak dilakukan
oleh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat adat jawa dan madura.
Bahkan, ada sebagian yang menjadikan pernikahan di depan jenazah
sebagai suatu tradisi yang harus dipertahankan dan dilestarikan.
Proses terbentuknya sebuah kebudayaan, keluarga, sebagai salah
satu bentuk struktur sosial, ditandai oleh suatu stabilitas yang terjadi
berdasarkan perkawinan dan itu berarti hubungan kelamin yang direstui
masyarakat.7
Hukum menguburkan jenazah menurut para ahli fiqh adalah fardu
kifayah sebagaimana halnya memandikan, mengafani, dan menshalatkan.8
Kewajiban menguburkan ini ditetapkan berdasarkan ayat al-Qur’an Surat
al-Mursalaat ayat 25-26 sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 5
Bukanlah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang yang hidup dan orang-orang-orang-orang yang mati.9 (QS. Al-Mursalaat :25-26)
Kemudian dalam al-Qur’an Surat ‘Abasa ayat 21 menjelaskan bahwa :
Kemudian Ia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur.10(QS. ‘Abasa : 21)
Nabi Muhammad SAW., memerintahkan menguburkan jenazah
dengan sesegera mungkin, sebagaimana sabda beliau:
َْل اِب اْوُعِرْسَأ َلاَق : مّلسو هيلع ها ىلص ِّنلا هنع ها ةرير يأ نع
ًةََِاَص ُصَُ ْن ِاَف ِةَزاَن
ُهَن ْوُعَضَُ رَشَف َصِلَذ َرْ يَغ ُصَُ ْنِأَو ِهْيَلِأ اَهَ نْوُمدَقُ ُ ُرْ يَخَف
ْمُكِب اَقِر ْنَع
Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Bersegeralah di dalam (mengurus) jenazah. Jika ia orang shalih maka kebaikanlah yang kalian persembahkan kepadanya, tetapi jika ia tidak seperti itu maka keburukanlah yang kalian letakkan dari atas pundak kalian.11(HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Hikmah dari persyariatan penguburan mayat itu adalah agar
kemuliaan dan kehormatannya sebagai manusia dapat terpelihara dan
tidak menyerupai bangkai hewan, karena Allah SWT telah menjadikan
manusia sebagai mahluk-Nya yang mulia. Selain itu, agar manusia yang
9Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jilid 9..., 272. 10Ibid., 345.
hidup tidak merasa terganggu oleh bau yang tidak baik yang timbul dari
jasadnya.12
Terlepas dari penjelasan mengenai jenazah, disini penulis hendak
menjelaskan bahwa pernikahan yang dilakukan di depan jenazah ini
bertujuan salah satunya adalah sebagai bentuk penghormatan terakhir
anak kepada orangtuanya yang pada saat itu menghadapi kematian.
Ada suatu peristiwa yang terjadi pada salah satu warga
masyarakat di Kelurahan Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal
Surabaya, ketika itu orangtua laki-laki (bapak) dari calon pengantin
perempuan meninggal dunia. Pada mulanya, pernikahannya hendak
dilaksanakan sesudah hari itu, karena orangtua dari calon pengantin
perempuan meninggal dunia, maka perkawinan calon pengantin
disegerakan untuk dilaksanakan sebagai rasa menghargai kepada
almarhum orangtuanya (bapak) sebelum dimakamkan, selain itu juga
karena alasan pernikahnnya akan ditunda selama satu tahun apabila
pernikahan tersebut bertepatan dengan meninggalnya orangtua. Artinya,
jika tidak segera dilaksanakan pernikahan tersebut maka akan menunggu
selama satu tahun berikutnya untuk melaksanakan pernikahannya,
sedangkan persiapan untuk melaksanakan segala walimah pernikahan juga
sudah dilakukan. Oleh karena itu, maka calon mempelai perempuan dan
calon mempelai laki-laki menyegerakan pernikahan tersebut meskipun
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
belum tepat pada waktu yang telah direncanakan. Hal itu dipandang
sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orangtuanya.13
Bila dilihat dari kedudukan jenazah itu sendiri, tidak ditemukan
penyimpangan terhadap syar’i sebab jenazah dalam pelaksanaan akad
nikah tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali maupun saksi.
Dalam hal ini, penulis ingin membahas kasus pernikahan di
depan jenazah tersebut dalam pandangan tokoh Nahdlatul Ulama’.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi massa (Ormas)
Islam terbesar di Indonesia. Nahdlatul Ulama’ memiliki tipologi
pemikiran yang berbeda. Nahdlatul Ulama’ adalah representasi dari
masyarakat tradisional dengan ciri khas tawassut}/i’tida>l
(tengah-tengah/tegak lurus), tawa>zun (seimbang) dan tasa>muh (toleransi) dan
amar ma’ru>f nahi> munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah
kemunkaran).14 Warga ormas Islam yang berlambang bola dunia dan
bintang sembilan ini mayoritas adalah masyarakat pedesaan, santri dan
petani. Organisasi Nahdlatul Ulama’ memiliki suatu lembaga fatwa dalam
merespon problematika dalam Islam yaitu Lembaga Bah{s|ul Masa>il.
Terkait pernikahan di depan jenazah, Organisasi Nahdlatul
Ulama’ ini belum pernah membahas terkait peristiwa pernikahan di depan
jenazah tersebut. Peristiwa yang masih dianut dan dilaksanakan oleh
13Siti Nuriyati, Wawancara, Surabaya, 20 November 2015.
14Tim PWNU Jatim, Aswaja An-Nahdliyah: Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah Yang Berlaku di
sebagian masyarakat adat jawa dalam hal menikahkan calon mempelai di
depan jenazah sebelum hari yang ditentukan mengingat orangtua dari
mempelai meninggal dunia terlebih dahulu dan harus melaksanakan
pernikahan tersebut di depan jenazah orangtua sebagai bentuk
penghormatan terakhir anak kepada orangtua.
Bagaimana pandangan Organisasi Nahdlatul Ulama’ terkait
pernikahan di depan jenazah tersebut? Apakah peristiwa pelaksanaan
pernikahan di depan jenazah menyimpang dari agama Islam atau tidak?
Apa yang menjadi alasan masyarakat melaksanakan pernikahan di depan
jenazah? Disini penulis merasa ingin meneliti lebih jauh pandangan dan
argumen tokoh struktural Nahdlatul Ulama’ (NU) yang penulis
fokuskan pada tokoh-tokoh Nahlatul Ulama’ Jawa Timur yang berpusat
di Surabaya terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah yang
terjadi di kelurahan Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal
Surabaya, dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan
Tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) Tentang Pernikahan di Depan Jenazah
Di Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka dapat
diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:
1. Perkawinan dalam hukum Islam
2. Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam
3. Pelaksanaan pernikahan di depan jenazah di kelurahan Simomulyo Baru,
kecamatan Sukomanunggal, Surabaya.
4. Faktor yang melatar belakangi pernikahan depan jenazah di kelurahan
Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal, Surabaya
5. Pandangan tokoh Nahdlatul Ulama’ Jawa Timur terhadap tradisi
pernikahan di depan jenazah.
Melihat luasnya pembahasan tentang tradisi pernikahan di depan
jenazah dalam identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi
masalah dalam pembahasan ini, dengan:
1. Deskripsi tentang pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan
Simomulyo Baru, kecamatan Sukomanunggal, Surabaya.
2. Analisis hukum islam terhadap pandangan tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU)
tentang pelaksanaan pernikahan di depan jenazah.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
1. Bagaimana deskripsi pelaksanaan pernikahan depan jenazah di Kelurahan
Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya?
2. Bagaimana analisis hukum islam terhadap pandangan tokoh Nahdlatul
Ulama’ (NU) tentang pernikahan di depan jenazah?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka bertujuan untuk menarik perbedaan mendasar antara
penelitian yang dilakukan, dengan kajian atau penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya. Setelah melakukan penelusuran, ada beberapa skripsi
yang membahas tentang perkawinan di depan jenazah, diantaranya yaitu:
Pertama, skripsi UIN Maliki Malang dari Siti Aminah yang berjudul
Tradisi Kawin Mayit (Studi tentang Pandangan Masyarakat di Kecamatan
Lumajang Kabupaten Lumajang). Skripsi ini membahas mengenai pernikahan
di depan jenazah menurut pandangan masyarakat setempat, apakah tradisi
pernikahan tersebut setuju atau kurang setuju dengan didasari oleh pendapat
masyarakat masing-masing.15
Kedua, skripsi IAIN Walisongo yang berjudul Hukum Pelaksanaan
Akad Nikah di hadapan Jenazah dan Implikasinya Terhadap Masyarakat.
Skripsi ini membahas mengenai pernikahan di depan jenazah yang terjadi di
desa Kawedusan Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah.
Skripsi ini membahas mengenai pernikahan di depan jenazah ditinjau dari
15Siti Aminah, “Tradisi Kawin Mayit (Studi tentang Pandangan Masyarakat di Kecamatan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
pandangan maslahah mursalah, dengan adanya pernikahan di depan mayit ini
diharapkan dalam menentukan hukum nikahnya dapat lebih diterima oleh
masyarakat.16
Ketiga, skripsi dari UIN Maliki Malang dengan judul Perkawinan
Dekat Jenazah dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi ini membahas
mengenai pernjkahan adat kawin mayit yang ditinjau dari sudut pandang
hukum pernikahan islam untuk memastikan apakah tradisi kawin mayit layak
untuk dijadikan sebuah pertimbangan hukum.17
Sedangkan dalam skripsi penulis membahas mengenai pernikahan
depan jenazah menurut pandangan beberapa tokoh NU dengan didasarkan
pada alasan-alasan yang dikemukakan.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Mendeskripsikan pelaksanaan pernikahan depan jenazah di kelurahan
Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya.
2. Menganalisis pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) Jawa Timur
terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah.
16Nurul Laely, “Hukum Pelaksanaan Akad Nikah di hadapan Jenazah dan Implikasinya Terhadap
Masyarakat” (Skripsi – IAIN Walisongo, Semarang, 2004), 17.
17Ratih Novitasari, “Perkawinan Dekat Jenazah dalam Perspektif Hukum Islam” (Skripsi – UIN
F. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat,
sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal di bawah ini:
1. Aspek teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi peneliti selanjutnya
dan dapat dijadikan bahan masukan dalam memahami tentang
pernikahan di depan jenazah oleh masyarakat kelurahan Simomulyo
Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya.
b. Penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan pengetahuan
tentang pernikahan yang dilaksanakan di depan jenazah.
2. Aspek praktis
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi
masyarakat khususnya masyarakat kelurahan Simomulyo Baru,
kecamatan Sukomanunggal, Surabaya yang melaksanakan pernikahan
di depan jenazah.
b. Memberikan pandangan tentang pernikahan di depan jenazah oleh
tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU).
G. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah deretan pengertian yang dipaparkan secara
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
1. Hukum Islam : Peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang
berkenan dengan kehidupan berdasarkan Al-quran dan As-sunnah atau
disebut juga dengan hukum syara’.18 Hukum Islam dalam penelitian ini
adalah hukum Islam yang dispesifikkan dengan menggunakan metode
‘Urf sebagai dalil dalam menetapkan hukumnya.
2. Tokoh Nahdlatul Ulama’ : Tokoh yang menjadi Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama’ Jawa Timur. Yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Organisasi Nahdlatul Ulama’ yang berada di Jawa Timur.
3. Pernikahan Depan Jenazah : Pernikahan yang dilakukan di depan
jenazah dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan.
Berdasarkan definisi operasional yang telah dipaparkan di atas, maka
penelitian dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan
Tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) Tentang Pernikahan Di Depan Jenazah Di
Kelurahan Simomulyo Baru Kecamatan Sukomanunggal Kota Surabaya”,
terbatas pada pembahasan mengenai deskripsi tradisi pernikahan di depan
jenazah, yang kemudian akan dianalisis dengan pendapat beberapa tokoh
Nahdlatul Ulama’ (NU).
H. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field
research). Oleh karena itu, data yang dikumpulkan merupakan data yang
diperoleh dari lapangan sebagai obyek penelitian. Agar penulisan skripsi ini
dapat tersusun dengan benar, maka penulis memandang perlu untuk
mengemukakan metode penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:
1. Data yang dihimpun
Agar dalam pembahasan skripsi ini nantinya bisa dipertanggung
jawabkan dan relevan dengan permasalahan yang diangkat, maka penulis
membutuhkan data sebagai berikut:
a. Data tentang deskripsi pernikahan di depan jenazah yang dilakukan
oleh masyarakat kelurahan Simomulyo Baru, kecamatan
Sukomanunggal Surabaya.
b. Data tentang pendapat beberapa tokoh-tokoh besar Nahdlatul Ulama’
(NU) yang berada di wilayah Jawa Timur tentang pernikahan di depan
jenazah.
2. Sumber Data
Berdasarkan data yang akan dihimpun di atas, maka yang menjadi
sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer
Sumber data primer di sini adalah sumber data yang diperoleh
secara langsung dari subyek penelitian. Dalam penelitian ini sumber
data primer adalah:
1) Keterangan beberapa tokoh Nahdlatul Ulama’ (NU) tentang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
a) Ustadz Ma’ruf Khazin sebagai Pengurus PW LBM (Lembaga
Bahtsul Masa’il) NUJawa Timur.
b) KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.Hi sebagai Wakil Ketua
Tanfidzyah PWNU Jawa Timur, Direktur Aswaja Center
PWNU Jawa Timur.
c) KH. Ahmad Asyhar sebagai Ketua PW LBM (Lembaga Bahtsul
Masa’il) NU Jawa Timur
d) Ustadz Ahmad Muntaha AM sebagai Wakil Sekretaris PW
LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, Koordinator
KISWAH Aswaja NU Center PWNU JawaTimur
e) Keterangan dari masyarakat kelurahan Simomulyo Baru
kecamatan Sukomanunggal Surabaya yang melaksanakan
pernikahan di depan jenazah.
f) Keterangan dari tokoh agama di kelurahan Simomulyo Baru
kecamatan Sukomanunggal Surabaya, Surabaya
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada peneliti, seperti literatur-literatur mengenai
perkawinan. Antara lain:
1) Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara
Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan.
2) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah.
4) H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat Kajian Fiqh
Nikah Lengkap.
5) Rohman Ritonga, Fiqh Ibadah.
6) Pendapat Tokoh Nahdlatul Ulama’
7) Pendapat Tokoh Agama Masyarakat kelurahan Sidomulya Baru,
Surabaya.
8) Pendapat masyarakat kelurahan Sidomulya Baru, Surabaya.
3. Identifikasi Responden
Sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah 4 tokoh struktural
Nahdlatul Ulama’ (NU), beberapa tokoh terebut adalah Ustadz Ma’ruf
Khazin sebagai Pengurus PW LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa
Timur, KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.Hi sebagai Wakil Ketua
Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, Direktur Aswaja NU Center PWNU
Jawa Timur, KH. Ahmad Asyhar sebagai Ketua PW LBM (Lembaga
Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, dan Ustadz Ahmad Muntaha AM
sebagai Wakil Sekretaris PW LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa
Timur, Koordinator KISWAH Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.
Mereka dipilih karena mereka adalah tokoh representatif dari NU Jawa
Timur, memiliki kompetensi yang sesuai dengan penelitian, tingkat
pendidikan mereka relatif tinggi dan berperan aktif dalam lembaga kajian
yang membahas problematika keislaman menurut metode penetapan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data merupakan proses yang sangat
menentukan baik tidaknya sebuah penelitian. Maka kegiatan pengumpulan
data harus dirancang dengan baik dan sistematis, agar data yang
dikumpulkan sesuai dengan permasalahan penelitian. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap
muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan.19 Apabila wawancara bertujuan untuk
mendapat keterangan atau untuk keperluan informasi maka individu
yang menjadi sasaran wawancara adalah informan. Pada wawancara
ini yang penting adalah memilih orang-orang yang tepat dan memiliki
pengetahuan tentang hal-hal yang ingin kita ketahui. 20
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama’ Jawa Timur yang
berpusat di kota Surabaya yang menjadi informan dalam hal meminta
pendapat tentang pernikahan di depan jenazah adalah beberapa tokoh
seperti Ustadz Ma’ruf Khazin sebagai Pengurus PW LBM (Lembaga
Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.Hi
sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, Direktur
19Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Cetakan Kesepuluh,(Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2009), 83.
Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, KH. Ahmad Asyhar sebagai
Ketua PW LBM (Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, dan
Ustadz Ahmad Muntaha AM sebagai Wakil Sekretaris PW LBM
(Lembaga Bahtsul Masa’il) NU Jawa Timur, Koordinator KISWAH
Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Di daerah pedesaan umumnya
yang menjadi informan mengenai pernikahan adalah tokoh agama
atau mereka yang mempunyai kedudukan formal dalam pernikahan.
Wawancara dilakukan dengan cara bersilaturahmi ke rumah tokoh
agama dan masyarakat yang melaksanakan praktek tradisi pernikahan
di depan jenazah.
b. Studi dokumen
Studi dokumen merupakan salah satu sumber untuk
memperoleh data dari buku dan bahan bacaan mengenai penelitian
yang pernah dilakukan.21 Studi dokumen ini adalah salah satu cara
pengumpulan data yang digunakan dalam suatu penelitian sosial.
Pengumpulan data tersebut dilakukan guna memperoleh sumber data
primer dan sekunder, baik dari kitab-kitab, buku-buku, maupun
dokumen lain yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian.
5. Teknik analisis data
Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap baik dari
lapangan dan dokumentasi, tahap selanjutnya adalah analisis data.
21Soerjono Soekanto, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta: UI –Press,1986),
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik deskriptif
analitis dengan pola pikir deduktif, yaitu menggambarkan hasil penelitian
secara sistematis dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum
tentang pernikahan di depan jenazah.Penelitian deskriptif adalah suatu
penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki. Pendekatan deskriptif analitis
dipergunakan untuk menggambarkan pandangan Tokoh Nahdlatul Ulama’
(NU) terhadap pelaksanaan pernikahan depan jenazah di Kelurahan
Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya. Selanjutnya,
deskripsi tersebut dianalisis menggunakan pola pikir deduktif.22
I. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing bab
terdiri dari beberapa subbab sebagai berikut:
Bab pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang
Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian
Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Definisi Operasional,
Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.
Bab kedua tentang landasan teori, bab ini membahas tentang teori
perkawinan dalam Islam meliputi pengertian perkawinan, dasar hukum,
syarat dan rukun perkawinan, keabsahan perkawinan, hikmah perkawinan,
dan pencatatan perkawinan.
Bab ketiga memuat data yang berkenaan dengan hasil penelitian
terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah. Dalam subbab ini dibahas
tentang gambaran umum Kelurahan Simomulyo Baru kecamatan
Sukomanunggal Surabaya, deskripsi pelaksanaan pernikahan depan jenazah di
Kelurahan Simomulyo Baru kecamatan Sukomanunggal Surabaya, pendapat
tokoh Nahdlatul Ulama’ terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah.
Bab keempat merupakan analisis terhadap permasalahan dalam
penelitian ini. Bab ini berisi analisis terhadap pandangan tokoh Nahdlatul
Ulama’ terhadap pelaksanaan pernikahan di depan jenazah, baik analisis
terhadap dasar pelaksanaan pernikahan di depan jenazah maupun analisis
terhadap alasan terjadinya pelaksanaan pernikahan di depan jenazah.
Bab kelima penutup, bab ini merupakan bagian akhir yang berisi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DALAM ISLAM
DAN
‘URF
A. Pengertian Perkawinan
Kata nikah atau kawin berasal dari bahasa Arab yaitu “
حاكنلا
” dan“جاوزلا”
, yang secara bahasa mempunyai arti“ئطولا
” (setubuh, senggama)1dan
“مضلا”
(berkumpul). Secara hakiki nikah diartikan juga dengan berartibersetubuh atau bersenggama, sedangkan secara majazi bermakna akad.2
Menurut istilah, pernikahan adalah akad untuk menghalalkan
hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara
laki-laki dan perempuan, dimana antara keduanya bukan muhrim atau lebih
tegasnya, pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah,
penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.3
1Ahmad Warson Al-Munawwir, Al-Munawwi>r: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) 1461.
2Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Juz 9,(Dar El-Fikr, 1997) 6513.
Menurut al-Qur’an perkawinan adalah menciptakan kehidupan
keluarga antara suami isteri dan anak-anak serta orangtua agar tercapai suatu
kehidupan yang aman dan tenteram (sakinah) pergaulan yang saling
mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahma).4
Abu Zahrah mengemukakan definisi nikah, yaitu akad yang
menjadikan halalnya hubungan seksual antara kedua orang yang berakad
sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yang datangnya dari syara‘. 5
Sedangkan di dalam ensiklopedi hukum Islam, disebutkan bahwa
nikah merupakan salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami
istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan
keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas
bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia pertama di atas
bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah Swt. terhadap
hamba-Nya.6
Perkawinan menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau
mis|a>qan gali>d{an dan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita untuk mentaati perintah Allah dan siapa yang melaksanakannya
adalah merupakan ibadah, serta untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang saki>nah, mawaddah wa rah}mah.7
4Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (UI Press: 1974), 47. 5Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhs{iyah, (Dar El-Fikr Al-‘arabi, 1958) 18.
6Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) 1329.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 disebutkan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8
Kemudian Hasbi Ash-Shiddieqy memberikan pengertian nikah adalah
akad yang memberikan faedah hukum kebolehan melakukan hubungan
keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong
menolong dan memberikan batasan bagi pemiliknya serta peraturan bagi
masing-masing.9
Dari beberapa pengertian pernikahan tersebut di atas dapat
dirumuskan bahwa, pernikahan adalah ikatan melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan
dasar sukarela dam keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan keluarga
yang diliputi kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai
Allah Swt.
8Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2012), 2.
B. Dasar Hukum Perkawinan
Diantara dasar hukum dianjurkannya perkawinan adalah sebagai
berikut:
a. Q.S. Ar-Ru>m ayat 21
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.10
b. Q.S. An-Nu>r ayat 32
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.11
10Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2006), 406.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
c. Q.S. Yasi>n ayat 36
Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.12
d. Rasulullah SAW bersabda :
لاَقِهللا ِدْبَع ْنَع
:
َةَءاَبْلا َعاَطَتْسا ْنَم ِباَبشلا َرَشْعَم اَي َملَسَو ِهْيَلَع ُهللا ىلَص ِِنلا اَنَل َلاَق
ْلَ ف
ِو ُهَل ُهنِإَف ِمْوصلاِب ِهْيَلَعَ ف ْعِطَتْسَي ََْ ْنَمَو ِجْرَفْلِل ُنَصْحَأَو ِرَصَبْلِل ضَغَأ ُهنِإَف ْجوَزَ تَي
ءاََ
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: telah berkata kepada kami Rasulullah SAW, : “Hai sekalian pemuda, barangsiapa yang telah sanggup di antara kamu kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh agama) dan memelihara kehormatan. Dan barangsiapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai baginya.13
Perkawinan hukum asalnya adalah mubah, namun dapat berubah
menurut ah}ka>mal al-khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan
keadaan:
1. Nikah Wajib, diwajibkan bagi orang yang telah mampu yang akan
menambah takwa. Dan juga mamou bagi orang yang telah mampu, yang
akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram.
12Ibid., 442.
13Abu Al-Hasan Nuruddin Muhammad bin Abd Al-Hadi Al-Sindi, Shahi>h Bukhari bi Al- Ha>siyah
2. Nikah Haram, nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya
tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinngal, dan
kewajiban batin seperti mencampuri isteri.
3. Nikah Sunnah, nikah disunnahkan bagi orang-orang yang sudah mampu
tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram,
dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena
membujang tidak diajarkan oleh Islam.
4. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan
dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib
nikah dan tidak haram bila tidak nikah.14
Dari uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa dasar perkawinan,
menurut Islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah, dan mubah
tergantung dengan keadaan mas}lah}at atau mafsadat-nya.
C. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Artinya, perkawinan tidak sah
apabila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.15
1. Rukun Perkawinan
Jumhur ulama’ sepakat bahwa rukun perkawinan itu adalah
adanya mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi,
dan ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.16
a. Adapun syarat-syarat suami adalah:
1) Bukan mahram dari calon isteri
2) Tidak terpaksa atau kemauan sendiri
3) Orangnya tertentu, jelas orangnya
4) Tidak sedang ihram.
b. Syarat-syarat isteri adalah:
1) Tidak ada halangan syara’, yaitu tidak bersuami, bukan mahram,
tidak sedang dalam iddah
2) Merdeka, atau kemauan sendiri
3) Jelas orangnya, dan
4) Tidak sedang berihram.17
15Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 59. 16Ibid.,61.
c. Syarat-syarat Wali
Adapun yang dimaksud wali dalam perkawinan adalah
seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak terhadap
dan atas nama orang lain itu adalah karena orang lain itu memiliki
sesuatu kekurangan pada dirinya, yang memungkinkan dia bertindak
sendiri secara hukum, baik dalam bertindak atas harta atau atas
dirinya. Dalam perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak
atas nama mempelai perempuan dalam suatu akadi nikah.18
Yang berhak menempati kedudukan wali itu ada tiga
kelompok: Pertama, wali nasab, yaitu wali berhubungan tali
kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin. Kedua, wali
mu’thiq yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas
hamba sahaya yang dimerdekakannya. Ketiga, wali hakim yaitu orang
yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau
penguasa.19
Menurut Imam Syafi’i tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi
pihak pengantin perempuan. Sedangkan menurut madzab Hanafi, wali
itu sunnah saja hukumnya. Di samping itu ada pendapat yang
menyatakan bahwa wali nikah itu sebenarnya tidak perlu apabila yang
mengucapkan ijab dalam proses akad ialah pihak laki-laki. Tetapi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
kenapa dalam praktik selalu pihak wanita yang ditugaskan
mengucapkan ijab (penawaran), sedang pengantin laki-laki yang
diperintahkan mengucapkan ikrar qabul (penerimaan). Karena wanita
itu pada umumnya (fitrah) adalah pemalu, maka pengucapan ijab itu
perlu diwakilkan kepada walinya, jadi wali itu sebagai wakil dari
perempuan. Biasanya diwakili oleh ayahnya, bilamana tidak ada ayah,
dapat digantikikan oleh kakeknya. Wali nikah yang demikian itu
disebut wali nikah yang memaksa (mujbir).20
Bila tidak ada ayah mungin karena meninggal atau ghaib,
maka digantikan kakek yang berhak tampil menjadi wali nikah cucu
perempuannya. Apabila tidak ada bapak atau kakek, maka dapat
diwakilkan lagi kepada saudara laki-laki kandung dari pengantin
perempuan yang sudah baligh, berakal, laki-laki, Islam dan adil. Bila
tidak ada sudara laki-laki, maka dapat pula diwakilkan kepada saudara
laki-laki dari ayah (Paman). Wali sesudah ayah dan kakek itu disebut
wali nasab biasa (tidak memaksa).
d. Syarat-syarat saksi adalah:
1) Laki-laki
2) Baligh
3) Waras akalnya
4) Adil
5) Dapat mendengar dan melihat
6) Tidak dipaksa
7) Tidak sedang ihram, dan
8) Memahami bahasa untuk ijab dan qabul.21
Saksi harus hadir dan meyaksikan secara langsung akad nikah
serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad
nikah dilangsungkan.22
e. Syarat-syarat Ijab dan Qabul
Syarat-syarat sighat hendaknya dilakukan dengan bahasa yang
dapt dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan
saksi. Shigat hendaknya mempergunakan ucapan yang menunjukkan
waktu akad dan saksi.23
Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab
fiqh akad perkawinan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat
keperdataan. Ia diartikan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut
dalam al-Qur’an
اظيلغ اق اثيم
(mi>s\a>qa>n gali>z{a>n) yang mana perjanjianitu bukan hanya disaksikan oleh dua orang saksi yang ditentukan atau
orang banyak yang hadir pada waktu berlangsungnya akad
perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.24
Dari ketentuan di atas menjelaskan bahwa syarat rukun dari
sebuah perkawinan adalah adanya calon mempelai laki-laki, mempeali
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
perempuan, wali, dua orang saksi, dan shigat. Akad nikah atau
perkawinan yang tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya
menjadikan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum.
2. Syarat Sah Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah
dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban.25
Secara garis besar syarat sahnya perkawinan dibagi menjadi dua
yaitu: Pertama adalah halalnya seorang wanita bagi calon suami yang
akan menjadi pendampingnya. Artinya tidak diperbolehkan wanita yang
hendak dinikahi itu berstatus sebagai muhrimnya, dengan sebab apapun,
yang mengharamkan pernikahan di antara mereka berdua, baik itu bersifat
sementara maupun selamanya. Syarat kedua, saksi yang mencakup hukum
kesaksian dan kesaksian dari wanita yang bersangkutan.26
Menurut Abu Zahrah dalam kitabnya al-Ah}wa>l as-Syakhs{iyah,
membagi syarat-syarat perkawinan ini dalam 3 macam yaitu:
Pertama, syarat sah adalah syarat-syarat yang apabila tidak dipenuhi,
maka akad itu dianggap tidak ada oleh syara’. Yang mana dari akad itu
timbul hukum-hukum yang dibebankan oleh syara’.Kedua, syarat
pelaksanaan yaitu syarat-syarat yang bila tak ada, maka tidak ada hukum
apa-apa tiap-tiap orang yang berakad. Ketiga, syarat keberlangsungan
25Abd. Rahman Ghaza>li, Fiqh Munakahat, cet 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), 49.
yaitu syarat yang kedua pihak tidak memerlukan akad apabila tidak ada
syarat-syarat tersebut.27
Syarat sah nikah (Syarat S{ih}h}ah) : hadirnya para saksi. Saksi
tersebut minimal dua orang laki-laki dan dua wanita yang balig{, berakal,
merdeka, mendengar dan memahami ucapan dua pihak yang berakad,
beragama Islam. Kemudian calon istri adalah wanita yang bukanlah
mahram si lelaki. Baik mahram abadi maupun sementara.28
Syarat terlaksananya akad nikah (Syarat Nafa>z{). Demi
terlaksananya akad nikah, orang yang mengadakannya haruslah orang
yang mempunyai kekuasaan mengadakan akad nikah. Jika orang yang
mengurusi akad mempunyai kecakapan yang sempurna dan mengakadkan
dirinya sendiri, maka akad tersebut sah dan dapat diberlakukan. Demikian
halnya jika dia mengadakan akad bagi orang di bawah kekuasaannya, atau
orang yang mewakilkan penyelenggaraan akad kepada dirinya.29
Mayoritas fuqaha’ menyatakan bahwa wanita tidak dapat
mengakad nikahkan dirinya sendiri. Akad nikah tidak bisa terjadi dengan
ungkapan wanita, meskipun wali tidak mempunyai hak memaksa dirinya.
Wanita dan walinya bekerja sama memilih dan memilah calon suami.
Namun wali dari wanita itulah yang akan mengakadkan akad nikah.
Syarat keberlangsungan nikah (Syarat Luzu>m). Pada dasarnya
akad nikah adalah akad yang berlangsung terus menerus. Tidak boleh
27Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhs{iyah..., .58. 28Ibid., 58.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
membatalkan akad tersebut secara sepihak. Dalam artian tidak boleh
melepaskan akad itu dari asalnya, melainkan perbuatan menghentikan
hukum-hukum akad nikah. Talak merupakan salah satu hak yang dimiliki
suami sebagai konsekuensi dari terjadinya akad nikah.30
Akad nikah adalah suatu kewajiban yang mengharuskan
keberlangsungan. Karena tujuan syari‘at dari pernikahan tidak akan
tercapai tanpa adanya keberlangsungan nikah itu sendiri. Kehidupan
rumah tangga yang baik, pendidikan anak, dan pemeliharaan mereka pasti
memerlukan sebuah keberlangsungan jangka panjang.31 Syarat
keberlangsungan nikah (syarat luz>um) dalam mazhab H}anafi adalah
hendaklah wali yang menikahkan orang yang tidak atau kurang cakap
adalah ayah, kakek atau anaknya sendiri.
Adapun syarat-syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 adalah:
Pasal 2 : (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang
-undangan yang berlaku
Pasal 6 : (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua.
30Ibid.,
(3) Dalam hal sah seorang dari kedua orangtua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau dari
orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya,
maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah
seorang atau lebih tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukumtempat tinggal orang yang
akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini.
Pasal 7 : (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini, dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lainnya
yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak
wanita.
(3) ketentuan-ketentuan ini mengenai keadaan salah seorang
atau kedua orangtua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4)
Undang-undang ini berlaku juga dalam hal permintaan
dispensasi ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)
Pasal 8 : Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
maupun ke atas
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara
orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/ bapak tiri
d. berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan,
saudara susuan, dan bibi atau paman susuan
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin
Pasal 9 : Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada
pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini
Pasal 10 : Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu
dengan lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di
antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Pasal 11: (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku
jangka waktu tunggu
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1)
akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lanjut
Pasal 12 : Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.32
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
D. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
1. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah menurut perintah Allah untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur.33
Imam Al-Ghaza>li membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada
lima hal, sebagai berikut:
a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan
serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia
b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan
c. Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan
d. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama
dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang
e. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan
yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab.34
Selain itu perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga
sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran
agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang palin
menentukan. Sebab keluarga salah satu di antara lembaga pendidikan
informal, Ibu Bapak yang dikenal mula pertama oleh putra-putrinya
dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi
dasar pertumbuhan pribadi atau kepribadian sang putra putri itu sendiri.35
Perkawinan pun adalah makna dan jiwa dari kehidupan
berkeluarga meliputi
a. Membina cinta kasih sayang yang penuh romantika dan kedamaian.
Firman Allah SWT.,:
... ...
...Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka....36 (QS. Al-Ba>qarah : 187)
b. Understanding dan toleransi yang tulus ikhlas yang diletakkan atas
dasar nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan demokrasi. Dalam kaitan
tersebut Allah berfirman dalam surat Al-Ru>m ayat 21 bahwa:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.37 (QS. Al-Ru>m : 21)
35H.S.S Al-Hamdani, Risalah Nikah..., 133.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
2. Hikmah Perkawinan
a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks.
b. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, serta melestarikan hidup manusia.
c. Perkawinan dapat membuahkan di antaranya adalah tali persaudaraan,
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan
memperkuat hubungan masyarakat.38
E. ‘Urf
1. Pengertian ‘Urf
Secara etimologi 'urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu yang berarti
kenal. Dari kata ini muncul kata ma’ru>f yang berarti sesuatu yang dikenal.
Pengertian “dikenal” ini lebih dekat pada pengertian diakui dan dianggap
baik oleh orang lain.39
Secara terminologi “Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal
oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik
berupa perkataan maupun perbuatan.40
Kata 'urf sering disamakan dengan kata adat (adat kebiasaan).
Namun bila diperhatikan dari akar katanya, ada perebedaan diantara
38H.M.A Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat..., 19-20.
kedua kata tersebut. kata adat berasal dari bahasa Arab, akar katanya:
‘a>da, ya‘u>du yang mengandung arti perulangan. Oleh karena itu sesuatu
yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Sedangkan kata ‘urf
pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan
dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Dalam beberapa referensi dijelaskan bahwa adat atau 'urf
mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan. Menurut ‘Abdul Wahha>b
Khalla>f, 'urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan
dikerjakan oleh mereka, baik itu yang berupa perkataan, perbuatan
ataupun sesuatu yang lazimnya untuk ditinggalkan. Hal ini dinamakan
pula dengan al-‘adah. Sehingga dalam bahasa ahli sh}ara' dijelaskan bahwa
antara 'urf dan adat tidak terdapat perbedaan.41
Berdasarkan uraian di atas bisa dipahami bahwa 'urf dan adat
memiliki makna yang sama yang dapat berupa ucapan/perkataan. Dengan
demikian ‘urfdapat dipahami sebagai sesuatu yang sudah dikenal oleh
manusia yang menjadi kebiasaan atau tradisi baik ucapan, perbuatan atau
pantangan-pantangan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
2. Macam-macam ‘Urf
Dalam pembagiannya, ‘urfdapat ditinjau dari tiga hal, yaitu
pertama dapat ditinjau dari segi obyeknya, kedua dari segi ruang lingkup
penggunaannya dan ketiga dapat di tinjau dari segi keabsahannya.42
a. Ditinjau dari obyeknya.
Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) ‘Urf Qouli
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata
atau ucapan. Misalnya kata waladun, secara etimologi berarti anak,
yang digunakan untuk laki-laki atau perempuan.43 Namun dalam
kebiasaaan sehari-hari orang Arab, kata walad itu digunakan hanya
untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan. Sehingga
dalam memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qouli tersebut.
2) ‘Urf Fi’li
Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan.
Miasalnya jual beli barang-barang diwarung antara penjual dan
pembeli, cukup hanya dengan menunjukkkan barang serta serah
terima barang dengan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apapun.
Menurut kebiasaan, hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual
beli.
42Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2014), 413.
b. Ditinjau dari Segi Ruang Lingkup Penggunaannya.
Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) ‘Urf ‘A<m
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi
sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.44
Misalnya menganggukkan kepala tanda menyetujui dan
menggelengkan kepala tanda menolak. Hal ini berlaku umum di
masyarakat. Jika ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka
dianggap aneh atau ganjil.
2) ’Urf Kha>s}
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada
suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja.45 Misalnya
adat masyarakat Minangkabau menarik garis keturunan melalui
perempuan (matrilineal) dan adat masyarakat Batak menarik garis
keturunan melalui laki-laki (patrilineal).
c. Ditinjau dari Segi Keabsahannya
Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) ’UrfS{ah{i<h{
Yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia
yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, di samping tidak
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
menghalalkan yang haram dan tidak menggugurkan kewajiban.46
Misalnya kebiasaan jual beli dengan cara pemesanan, yaitu pihak
pemesan memberi uang muka terlebih dahulu atas barang yang
dipesannya. Demikian juga dalam mahar perkawinan apakah di
bayar kontan atau hutang, serta terjalin pengertian tentang istri
yang tidak diperkenankan menyerahkan dirinya kepada suami,
melainkan jika mahar telah dibayar.
Seorang mujtahid harus memperhatikan ‘urf sahih dalam
membentuk suatu produk hukum. Karena adat dan kebiasaan
adalah bagian dari kebutuhan dan sesuai dengan kemaslahatan.47
Karenanya terdapat kaidah yang menyatakan bahwa:
ةَمَكَُُ ُةَداَعلا
Adat kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai pertimbangan hukum.2) ’Urf Fa>sid
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi
bertentangan dengan shara’, menghalalkan yang haram, atau
membatalkan kewajiban.48 Misalnya kebiasaan berciuman antara
laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara tertentu.
Para Ulama sepakat, bahwasanya ‘urf fa<sid tidak dapat
dijadikan landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi
46Abdul Wahhab Khalla@f, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Bandung: Risalah, 1985), 132.
47Abdul Ghofur Anshori, Zulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di
Indonesia (Jakarta:Kreasi Total Media, 2006), 187.
hukum.49 Oleh karena itu, untuk mengingatkan masyarakat dan
pengalaman hukum Islam, sebaiknya dilakukan dengan cara yang
ma’ruf pada masyarakat, untuk mengubah adat kebiasaan yang
bertentangan dengan ajaran Islam tersebut, dan menggantinya
dengan adat kebiasaan yang sesuai dengan ajaran Islam.
3. Syarat-syarat ‘Urf
‘Urf baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil untuk
menetapkan hukum shara’ apabila telah memenuhi sejumlah persyaratan
berikut. Syarat tersebut adalah:50
a. 'Urf yang dilaksanakan itu harus masuk pada 'urf yang s}ah}i>h} dalam
arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah. Apabila
bertentangan dengan ketentuan nas} atau bertentangan dengan