• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Makna Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah T2 752009012 BAB II"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN KONSEPTUAL PRANATA

PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN

HUKUM ADAT

1. Perkawinan

Perkawinan merupakan perilaku mahluk, baik tumbuhan, hewan maupun

manusia agar kehidupan dalam dunia terus berkembang biak dan berlanjut.Sebagai

perilaku mahluk, perkawinan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.

Perkawinan adalah salah satu peristiwa penting, yang tidak hanya mengenai mereka

yang bersangkutan (seorang perempuan dan seorang laki-laki) akan tetapi juga

orang tua, saudara-saudara dan seluruh keluarga20 serta juga bersangkut-paut

dengan masyarakat setempat.21 Dan, pada dasarnya kerabat dan masyarakat

menginginkan agar perkawinan yang telah dilangsungkan itu dapat bertahan untuk

selama-lamanya.

A. Van Gennep mengungkapkan bahwa, perkawinan merupakan peristiwa

peralihan atau perubahan status kedua mempelai; yang tadinya hidup terpisah,

namun setelah melalui upacara-upacara peralihan (rites de passage) mereka hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami istri, membentuk keluarga

sendiri, suatu keluarga yang mereka pimpin dan bina sendiri.22 Selain itu,

upacara-upacara tersebut mempunyai fungsi sosial, yaitu menyatakan kepada khalayak

ramai tingkat hidup baru yang dicapai oleh keduanya.23

20

Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia; Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Edisi ketiga, disusun kembali oleh Soerjono Soekanto, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), 111-112.

21

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, , 1997), 12

22 A. Van Gennep, dikutip oleh Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat,

cetakan keenam, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), 122-123

23

(2)

Menurut Soekanto, perkawinan (marriage) adalah: “ikatan yang sah dan resmi antara seorang pria dengan seorang wanita, yang menimbulkan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban antara mereka maupun keturunannya.”24 Senada dengan itu,

Carol R. Ember dan Melvin Ember mengatakan sebagai berikut:

“Ma rriage merely means a socially approved sexual and economic union between a woman and a man. It is persumed, both by the couple and by others, to be more or less permanent, and it subsumes reciprocal rights and obligations between spouses and the future

children.”25

Dalam hal ini, perkawinan diartikan sebagai penyatuan seksual dan ekonomi

antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Di dalam perkawinan itu,

keduanya mengadakan pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi masa

depan anak-anak mereka. Secara universal masyarakat mempraktekkan

perkawinan seperti definisi di atas sebagai cara menandai permulaan suatu

perkawinan. Carol dan Melvin mengakui bahwa semua masyarakat memiliki

cara-cara yang beragam untuk menandai permulaan suatu perkawinan. Ada beberapa

kebudayaan yang menandainya dengan mempersiapkan upacara-upacara dan

perayaan-perayaan secara resmi, ada juga kebudayaan yang menandai permulaan

perkawinan dengan cara-cara yang tidak resmi, tanpa mengadakan upacara-upacara

maupun perayaan. Jadi, setiap masyarakat memiliki cara yang berbeda untuk

mengindikasikan bahwa suatu perkawinan sedang berlangsung.26

Cara-cara yang menandai suatu perkawinan berlangsung secara resmi atau

tidak resmi dalam masyarakat, menyangkut pertimbangan-pertimbangan ekonomi.

Bagaimanapun juga, secara eksplisit masyarakat melakukan transaksi-transaksi

ekonomi sebelum atau sesudah perkawinan berlangsung. Transaksi dapat dilihat

24

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: Rajawali, tt), 289

25 Carol R. Ember and Melvin Ember, Anthropology, (New Jersey: Englewood Cliffs, Prentice Hall,

1996), 360

(3)

dalam beberapa bentuk antara lain: pelayanan pengantin, pertukaran untuk

perempuan, pertukaran pemberian, mas kawin (mahar) dan mas kawin yang tidak

langsung.27 Menurut Koentjaraningrat, mas kawin (bride-price) adalah sejumlah harta yang diberikan oleh seorang pemuda kepada seorang gadis dan kaum kerabat

gadis, dan arti dasar dari mas kawin adalah harta pengganti. Bagi beberapa suku di

Indonesia, mulanya istilah mas kawin mengandung arti harta pembelian. Misalnya,

di Nias mas kawin disebut beuli niha; di Batak Toba pangoli; boli, buhor; di Ambon welin; di Bali patuku; semuanya mengandung arti beli. Namun, pada masa sekarang mas kawin bukan lagi sebagai pembelian, melainkan sebagai syarat

perkawinan yang harus dilakukan.28 Di sini, terlihat jelas bahwa ada aspek-aspek

ekonomi dalam perkawinan.

Selain penyatuan seksual antara seorang perempuan dengan seorang

laki-laki, dan aspek-aspek ekonomi yang menyertai suatu perkawinan, maka hal yang

juga perlu diperhatikan adalah tujuan perkawinan. Perkawinan yang bahagia dan

kekal merupakan tujuan, harapan dan idaman bagi setiap pasangan dan juga bagi

seluruh keluarga. Untuk mewujudkan hal itu, cinta kasih dan janji (komitmen)

saling setia sangat dibutuhkan dalam perkawinan. Menurut Michael P. Johnson,

sebuah perkawinan membutuhkan komitmen sebagai patokan untuk menjalani

kehidupan rumah tangga. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan komitmen

perkawinan adalah: hubungan timbal balik antar pria dan wanita yang terkait dalam

perkawinan untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga.29 Michael P.

Johnson (1991), dalam tulisannya yang berjudul: The Tripartite Nature of Marital

27 Ibid.

(4)

Commitment: Personal, Moral, and Structural Reasons to Stay Married, mengungkapkan:

“Personal commitment refers to the sense of wanting to stay in the relationship, moral commitment to feeling morally obligated to stay, and structural commitment to feeling constrained to stay regardless of the level

of personal or moral commitment.”30

Komitmen perkawinan perlu dipahami dalam tiga bentuk: pertama, komitmen personal/pribadi, keinginan untuk bertahan dalam hubungan; kedua, komitmen moral, merasa bertanggung jawab secara moral untuk tetap tinggal; dan

ketiga, komitmen struktural, merasa terpaksa untuk tinggal tanpa memperhatikan mutu dari komitmen pribadi atau komitmen moral. Jenis komitmen pribadi dan

komitmen moral merupakan pengalaman yang berasal dari dalam diri individu dan

berfungsi untuk seseorang memiliki sikap dan nilai terhadap suatu hubungan,

sementara jenis komitmen struktural adalah sebagai pengalaman luar dari individu,

yang menghambatnya untuk meninggalkan hubungan.31

Menurut Johnson, ketiga komitmen perkawinan tersebut dipengaruhi oleh

komponen-komponen sebagai berikut:

1. Komitmen pribadi, dipengaruhi oleh tiga komponen:32 a) individu ingin

melanjutkan hubungan karena ada daya tarik yang kuat pada pasangannya;

b) merasa ada daya tarik dengan hubungan itu sendiri, artinya hubungan itu

memang memuaskan; c) identitas pasangan, hubungan yang dimiliki menjadi

salah satu aspek konsep diri yang dianggap penting bagi individu itu.

30Michael P. Johnson, The Tripartite Nature of Marital Commitment: Personal, Moral, and

Structural Reasons to Stay Married, (The Pennsylvania State University) dalam “Journal of

Marriage and the Family”, Vol. 61, No. 1 , Februari 1999, 160

(5)

2. Komitmen moral, juga memiliki tiga komponen yaitu:33 a) kewajiban untuk

mempertahankan hubungan mengacu pada nilai-nilai tentang moralitas.

Merasa bahwa sebuah pernikahan sebagai sesuatu yang berlangsung seumur

hidup “sampai kematian memisahkan”; b) merasa bertanggung jawab secara

pribadi terhadap orang lain. Merasa tidak adil jika meninggalkan

pasangannya, karena pasangannya membutuhkan dirinya dan ia juga merasa

telah berjanji untuk sehidup semati dengan pasangannya itu; c) seseorang

merasa berkewajiban untuk melanjutkan hubungan karena ia memiliki nilai

konsistensi secara umum. Ia berusaha mempertahankan apa yang sudah

dimulainya dari waktu ke waktu, termasuk perkawinan.

3. Komitmen struktural, keinginan bertahan dalam suatu hubungan karena

adanya faktor penahan yang menghambatnya untuk meninggalkan hubungan.

Faktor penahan itu adalah:34 a) tidak adanya alternatif lain yang lebih baik; b)

tekanan sosial dari keluarga, teman dan masyarakat sebagai reaksi tidak

setuju jika terjadi perceraian; c) proses birokrasi dan prosedur hukum

perceraian yang sulit, menghabiskan waktu serta biaya; d) banyaknya

investasi yang telah ditanamkan selama hubungan berlangsung dan tidak

dapat diambil kembali (irretrievable investments). Individu yang merasa telah banyak berkorban dalam hubungannya biasanya cenderung

mempertahankan hubungan.

Ketiga komitmen diatas sangat mempengaruhi kehidupan suatu perkawinan,

karena komitmen yang rendah mengakibatkan kemungkinan untuk bercerai lebih

33Ibid.

(6)

tinggi. Sebaliknya, jika ketiga komitmen itu tinggi kemungkinan suatu perkawinan

untuk bertahan juga tinggi. Komitmen perkawinan dari masing-masing individu

sangat penting untuk menentukan kelanggengan dan kebahagiaan dalam

perkawinan.

Jadi, perkawinan yang bahagia dan kekal merupakan tujuan semua orang,

sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,

Pasal 1 bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.35

Menurut Undang-undang yang berlaku, perkawinan tersebut harus dicatat pada

Kantor Urusan Agama (KUA), bagi mereka yang beragama Islam dan Kantor

Catatan Sipil (KCS), bagi mereka yang beragama non Islam.36 Pada hakekatnya

tujuan dari pencatatan perkawinan adalah: agar ada kepastian hukum yang kuat

bagi perkawinan; ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan lebih

terjamin sesuai nilai-nilai norma keagamaan, adat serta kepentingan masyarakat.37

Selain memperhatikan aturan-aturan perkawinan yang berlaku dalam

undang-undang, perkawinan di Indonesia juga memperhatikan aturan-aturan perkawinan

yang berlaku secara adat. Menurut Djaren Saregih, perkawinan di Indonesia

dipengaruhi oleh cara menarik garis keturunan yang terdapat dalam masyarakat

35Suryadi, Undang-undang tentang Perkawinan, Cetakan Pertama, (Semarang: Aneka Ilmu, 1990),

2

36

Lihat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975; bdk. Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1978), 15-16

37

(7)

adat. Sebab itu, Masyarakat adat Indonesia mengenal beberapa bentuk perkawinan

berdasarkan cara menarik garis keturunan yaitu:38

1) Masyarakat unilateral adalah masyarakat yang menarik garis keturunannya hanya dari satu pihak saja, misalnya dari pihak laki-laki (ayah) saja atau dari

pihak wanita (ibu) saja. Masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak

laki-laki (ayah) saja disebut masyarakat patrilateral (kebapaan). Bentuk perkawinan masyarakat ini adalah dengan pembayaran “jujur” yaitu:

pemberian uang atau barang kepada pihak perempuan. Sedangkan bagi

masyarakat yang menarik garis keturunan hanya dari ibu saja disebut dengan

masyarakat matrilateral, dan tidak ada pembayaran jujuran pada perkawinan ini.

2) Masyarakat bilateral (parental) adalah, masyarakat yang menarik garis keturunan dari kedua orang tua (ayah maupun ibu).39 Bentuk perkawinan

pada masyarakat ini bertujuan untuk melanjutkan keturunan baik dari pihak

bapak maupun dari pihak ibu. Pada masyarakat bilateral yang menjadi

halangan atau larangan untuk melangsungkan perkawinan pada dasarnya

hanyalah larangan yang ditentukan oleh kaidah kesusilaan dan agama.

Sementara itu, Hukum Adat Indonesia mengenal 3 (tiga) sistem perkawinan yaitu

:40

1. Sistem Endogami, merupakan sistem dimana seseorang hanya diperbolehkan

kawin dengan orang dari suku keluarganya (klennya) sendiri.

38

Djaren Saregih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-undang Tentang Perkawinan Serta Peraturan Pelaksanaa nnya, (Bandung: Tarsito, 1982), 9.

39 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, 129-130.

40Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT Bina

(8)

2. Sistem Exogami, perkawinan ini melarang seseorang melakukan perkawinan

dengan orang yang satu kerabat (klen) dengan dirinya. Dengan kata lain,

orang yang melakukan perkawinan harus mencari orang diluar sukunya.

3. Sistem Eleutherogami, adalah sistem perkawinan yang tidak mengenal

larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya pada sistem

endogami dan sistem exogami. Larangan-larangan yang terdapat dalam

sistem eleutherogami ini hanyalah yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan,

misalnya, hubungan paman dengan keponakan, hubungan dengan saudara

kandung, antara ayah dan anak perempuannya atau ibu dengan anak

laki-lakinya. 41

Sehubungan dengan beberapa pendapat di atas, maka perkawinan bagi orang

Dayak Ngaju adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan

yang bersepakat untuk membangun kehidupan bersama yang mempunyai dasar dan

pengukuhan yang luhur dan suci.42 Hermogenes Ugang mengungkapkan, bahwa

perkawinan yang luhur dan suci itu, sudah ada sejak nenek moyang mereka yang

pertama.43 Perkawinan tersebut harus dipertahankan seumur hidup sampai maut

memisahkan. Karena itu, jika terjadi pencemaran terhadap perkawinan, berarti telah

mengotori keluhuran dan kesucian perkawinan, maka sanksi tertentu akan diberikan

oleh adat.44 Sedangkan bentuk perkawinan yang berlaku dalam masyarakat Dayak

Ngaju adalah Bilateral (Parental), yang bertujuan untuk melanjutkan keturunan dari pihak ayah maupun pihak ibu. Sementara sistem perkawinan yang berlaku adalah

41 Ibid. 48

42Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat dan Upacara Perkawinan daerah Kalimantan

Tengah (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan daerah, 1984), 82

43

Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran., 71-72

(9)

sistem Eleutherogami, artinya perkawinan yang memperbolehkan seseorang untuk

mengambil pasangan dari dalam atau pun dari luar suku Dayak. Dalam perkawinan

masyarakat Dayak Ngaju, diberlakukan pula pemberian-pemberian dari pihak

laki-laki kepada pihak perempuan (Jalan Hadat) sebagai persyaratan perkawinan. Pemberian-pemberian ini tidak memiliki pengertian seperti pemberian jujuran, tetapi mempunyai arti sebagai hadiah atau penghargaan dari mempelai laki-laki

kepada mempelai perempuan dan keluarganya.45 Pemberian jalan hadat tertulis dalam Surat Perjanjian Perkawinan adat Dayak Ngaju.

2. Perjanjian Perkawinan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah: “persetujuan

(tertulis) atau lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu; syarat.”46

Dalam

hal ini, perjanjian adalah persetujuan antara dua orang atau lebih, berdasarkan

syarat-syarat yang telah disepakati bersama.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 menyatakan bahwa

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan

diri terhadap satu orang lain atau lebih.”47 Perjanjian melahirkan perikatan, dan

perikatan itu melahiran hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak

yang berjanji. Jadi, rumusan perjanjian adalah: 1) Suatu perbuatan; baik dalam

bentuk ucapan maupun tindakan, 2) antara sekurang-kurangnya dua orang; 3)

perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji

45

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Adat dan Upacara Perkawinan, 68

46Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 548. 47 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Ed. 1, Cet. 2

(10)

tersebut. 4) Suatu sebab perjanjian tidak terlarang; artinya tidak bertentangan

dengan undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan. 48

Pada mulanya keberadaan perjanjian perkawinan di Indonesia kurang begitu

populer dan kurang mendapat perhatian, karena mengadakan perjanjian perkawinan

mengenai harta antara calon suami isteri dirasakan oleh masyarakat Indonesia

sebagai sesuatu hal yang kurang pantas dan dapat dianggap menyinggung satu sama

lainnya.49 Namun, seiring adanya kemajuan di berbagai bidang dan adanya tata

nilai individualisme yang telah merasuk dalam sistem kehidupan masyarakat

Indonesia, dalam perkembangan selanjutnya perjanjian perkawinan menjadi suatu

kebutuhan hukum yang perlu mendapatkan pemikiran dan perhatian dari

masyarakat.50 Secara umum, perjanjian perkawinan mengandung pengertian suatu

hubungan hukum yang menyangkut harta kekayaan antara dua orang atau lebih,

yang melahirkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban yang melekat pada

subyek hukum yang bersangkutan.51 Dalam hal ini, perjanjian tersebut dibuat oleh

calon suami isteri.

Soetojo berpendapat bahwa, perjanjian perkawinan menurut hukum

perkawinan adalah perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh calon suami istri

sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, berdasarkan asas kebebasan dan

kesepakatan bersama dengan tetap berpegang pada hukum, agama dan kesusilaan.52

Ketentuan Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 29 mengatakan bahwa

48 Ibid., 7-8

49

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), 147

50 Ibid. 51

Ibid.

52Lihat Soetojo Prawirodamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di

(11)

perjanjian perkawinan itu harus dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan,53

dan harus mulai berlaku pada waktu itu dilakukan.54 Apabila suatu perjanjian

kawin telah diadakan, maka perjanjian ini tidak boleh diubah selama perkawinan

berlangsung kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.55

Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perjanjian perkawinan adalah kesepakatan

antara kedua belah pihak calon mempelai dan orang tua calon mempelai, mengenai

jalan hadat yang menjadi tanggung jawab pihak calon mempelai laki-laki, hak dan kewajiban masing-masing, sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran,

pengaturan pembagian harta benda bersama termasuk hak anak dan hak ahli waris

jika perkawinan itu tidak mendapatkan anak. Perjanjian perkawinan itu dibuat

secara tertulis sebelum pelaksanaan perkawinan, yang ditandatangani oleh kedua

calon mempelai, orang tua, saksi-saksi perkawinan, Damang atau Mantir Adat.56

Persyaratan Jalan hadat dalam Masyarakat Dayak Ngaju merupakan pemenuhan dari hukum adat.

3. Hukum Adat

Hukum adat merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Hukum adat

adalah suatu hukum yang hidup dalam masyakat adat tertentu. Ia tumbuh dan

berkembang serta dipertahankan oleh masyarakat karena ia menjelmakan perasaan

hukum yang timbul dari suatu cara hidup, nilai hidup, pandangan dan kebutuhan

hidup yang nyata dari masyarakat.57 Soerojo mengatakan bahwa hukum adat

adalah hukum tidak tertulis di dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai

peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota

53

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, 219-220

54

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia , (Bandung: Sumur, 1975), 117

55

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia , (Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2002), 30

56 Lihat Surat Perjanjian Perkawinan Adat Dayak Ngaju (terlampir)

(12)

maupun di desa-desa, dan merupakan peraturan yang hidup meskipun tidak

ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan

keyakinan bahwasannya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan

hukum.58

Sehubungan dengan pendapat di atas, Ter Haar yang pernah menjadi seorang

guru besar hukum adat yang pertama pada Sekolah Tinggi Hukum

(Rechtshogeschool) juga mengatakan:

“Hukum Adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksaanaan perbuatan-perbuatan hukum; atau . . . tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas-seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.”59

Perumusan Ter Haar ini terkenal dengan ajaran Bleslisingenleer (ajaran keputusan).

Menurutnya, seorang hakim adat harus mengambil keputusan menurut adat, harus memahami tentang sistem hukum adat dan kenyataan sosial, tuntutan keadilan dan kemanusiaan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik dan bijaksana.60

Selanjutnya, Soleman Biasane Taneko mengatakan bahwa Hukum Adat

timbul dari kebiasaan masyarakat, yang dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang

positif.61 Sebab itu, hukum adat berfungsi sebagai pedoman bagi warga masyarakat

mengenai bagaimana harus bersikap dan bertingkah laku dalam masyarakat serta

memberikan pegangan untuk mengadakan pengendalian sosial atau sebagai sistem

pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya. Dengan

menerapkan pola-pola hukum adat dalam kehidupan bersama, maka kebutuhan

akan kedamaian dapat tercipta dan keutuhan masyarakat yang bersangkutan akan

terjamin.62 Sebagai hukum yang berasal dari masyarakat, maka JJ. Rousseau dalam

teori perjanjian masyarakat menekankan bahwa masyarakat harus taat dan tunduk

58

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), 14.

59Ter Haar, dalam pidato dies tahun 1930, “Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis”

dalam Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1978), 6-7

60

Ibid.

61 Soleman Biasane Taneko, Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, (Bandung: Alumni,

1961), 7

(13)

pada hukum, karena sudah berjanji untuk mentaatinya. Hukum dianggap sebagai

kehendak bersama, suatu hasil konsensus dari segenap anggota masyarakat, yang

berlaku dan mengikat bagi siapa saja.63 Karena hukum adat berasal dari

masyarakat itu sendiri, maka sebagai konsekuensinya, seluruh anggota masyarakat

harus mematuhi hukum adat tersebut. Apabila tidak ditaati akan menimbulkan

sanksi bagi para pelakunya, karena pada hakikatnya hukum adat berfungsi sebagai

alat untuk melakukan pengawasan terhadap masyarakat (social control), artinya hukum yang mengatur perilaku masyarakat, memberi suatu batasan bagi tingkah

laku bagi warganya.64

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, jelaslah bahwa hukum adat

merupakan kumpulan aturan adat yang tumbuh dari kesadaran masyarakat akan

hukum, yang mengikat dan berlaku dalam masyarakat, memiliki sanksi serta

berfungsi untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat tertentu.

Bagi masyarakat Dayak Ngaju, hukum adat adalah hukum yang benar-benar

hidup dalam kesadaran hati nurani masyarakat dan tercermin dalam pola-pola

tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial budayanya

yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.65 Hukum adat ini

dituangkan dalam 96 pasal Hukum Adat Dayak sebagai hasil dari rapat besar

63Tonny P. Situmorang, Pandangan Rousseau Tentang Negara sebagai Kehendak Umum,Jurusan

Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2004, 2 dalam repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/.../1/admnegara -tonny.pdf, diunduh tanggal 24 Januari 2012, Lihat: Bryan Magee, The story of Philosophy (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h. 128

64 H. Zainudin, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika: 2007), 37-39

65Lihat Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 tahun 2008 tentang “Kelembagaan

(14)

Perdamaian Tumbang Anoi.66 Ke-96 pasal hukum tersebut berisi tentang sanksi

adat (singer) bagi yang melakukan pelanggaran adat. 3.1. Pelanggaran dan Sanksi Adat

Aturan-aturan dan hukum yang berlaku dalam masyarakat, tentunya tidak

lepas dari pelanggaran dan sanksi. Aturan tanpa adanya sanksi adalah sia-sia,

karena fungsi sanksi adalah untuk memaksakan ketaatan masyarakat terhadap

aturan tersebut, tanpa ada sanksi, peraturan tidak akan dipatuhi oleh masyarakat

dalam hal ini berarti terjadi pelanggaran.

Pelanggaran adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, dan perbuatan

itu dianggap mengganggu keseimbangan.67 Sebab itu, suatu pelanggaran yang

mengganggu keseimbangan, harus dipulihkan.68 Otje Salman Soemadiningrat

berpendapat bahwa, setiap pelanggaran adat yang mengakibatkan

ketidakseimbangan pada masyarakat, harus diberi sanksi adat yang berfungsi

sebagai sarana untuk mengembalikan rusaknya keseimbangan (obat adat).69

Para sosiolog menggunakan istilah sanksi untuk menyatakan tentang sistem

ganjaran atau imbalan (rewards) dan hukuman (punishment). Ganjaran dan

hukuman tersebut ditetapkan oleh masyarakat untuk menjaga tingkah laku. Imbalan

diberikan untuk mendorong perilaku positif yang diimbali dan ancaman hukuman

cenderung untuk mencegah pelanggaran hukum.70 Abdulsyani, mengartikan sanksi

sebagai hukuman yang bisanya ditetapkan oleh masyarakat terhadap

66

Y. Nathan Ilon, “Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang: Sebuah Konsepsi Memanusiakan Manusia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah,” (Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991), 56-99

67 Hilman Hadikusuma, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, 145

68 Bdk., Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, 228. 69

H. R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung: Alumni, 2002), 16

70 Lawrence M. Freidman, Sistem Hukum; Perspektif Ilmu Sosial, (Bandung: Nusa Media, 2009),

(15)

anggotanya yang dianggap melanggar norma-norma sosial masyarakat. Penerapan

sanksi oleh masyarakat ditujukan agar pelanggarnya dapat mengubah perilakunya

ke arah yang lebih baik sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku. 71

Menurut Hudson, dalam masyarakat Dayak sanksi yang diberikan

kebanyakan berupa pemberian ganti rugi. Maksud pemberian ganti kerugian

tersebut adalah untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang telah

dikacaukan oleh kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum adat. Hukum adat

menentukan sanksi terhadap pelanggaran tidak hanya denda berupa materi (uang

atau benda-benda antik), tetapi juga pembayaran denda berupa upacara

mempersembahkan sajian berupa binatang kepada dewa. Darah binatang sajian itu

dipercikkan ke sekeliling desa guna memulihkan keseimbangan alam dengan jalan

mengambil hati para dewa agar tidak marah lagi. 72

Merujuk pada beberapa pendapat di atas, maka secara umum sanksi adat atau

singer dapat diartikan sebagai tindakan yang dikenakan untuk memaksa seseorang mentaati norma hukum adat Dayak di kota Palangka Raya. Pengertian mengenai

pelanggaran dan sanksi diatas merupakan kajian untuk memahami perjanjian

perkawinan adat Dayak Ngaju, khususnya mengenai sanksi adat (singer) yang diberikan jika terjadi pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan. Jadi, perjanjian

perkawinan merupakan bagian dari budaya yang memiliki sanksi jika tidak ditaati.

Dan sebagai bagian dari budaya, maka perjanjian perkawinan tidak lepas dari adat

dan simbol-simbol yang menyertainya.

71 Abdulsyani, Sosiologi Sistematika, Teori dan Terapan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 128 72J. Danandjaja, “Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”, mengutip A.B. Hudson,

P aju Epat:

(16)

2.2. Adat dan Simbol

Setiap daerah memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang unik dan berbeda

satu sama lain. Keunikan dan ke-berbedaan itu merupakan unsur penting yang

memberikan identitas kepada daerah yang bersangkutan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah: “aturan yang lazim

dituruti sejak dahulu kala; cara (kelakuan) yang sudah menjadi kebiasaan; wujud

gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan

yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.”73

Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang disebut: “adat tata

kelakuan” atau “adat istiadat” yang berfungsi untuk mengatur, mengendalikan dan

memberi arah kepada sikap dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Soerjono

Soekanto dan Soleman B. Taneko mengatakan bahwa jika suatu kebiasaan (yang

merupakan keteraturan) diterima sebagai kaidah, maka kebiasaan tersebut memiliki

daya mengikat menjadi tata kelakuan yang memiliki ciri-ciri pokok sebagai sarana

untuk mengawasi perilaku warga masyarakat.74 Jadi, Adat diartikan sebagai

kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah terbentuk baik sebelum maupun

sesudah adanya masyarakat.75

Adat merupakan salah satu wujud dari kebudayaan yang sarat dengan

simbol-simbol. Simbol mempunyai arti yang penting bagi kehidupan manusia. Sebab itu

Geertz mengatakan, kebudayaan merupakan “suatu pola makna yang ditularkan

secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep

yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana

73Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 5.

74 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press,

1981), 81-82

75 H. R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer; Telaah Kritis

(17)

manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan

mereka tentang serta sikap-sikap mereka terhadap hidup.”76 Raymond Firth dalam

buku Symbols: Public and Private, juga mengatakan bahwa “manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-simbol bahkan merekonstruksi realitasnya

itu dengan simbol.”77

Menurutnya, “sebuah simbol dapat menjadi sarana untuk

menegakkan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial;

selain itu, sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi yang lebih

bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam

sebuah simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang

lebih luas.”78

Simbol merupakan salah satu cara manusia untuk mengungkapkan

pikiran, perasaan dan sikap hidupnya. Bahkan Ernts Cassier mengakui bahwa

manusia adalah “animal symbolicum”. Hanya dengan menggunakan simbol-simbol

manusia dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi,79 memperluas

penglihatan, merangsang daya imajinasi, dan memperdalam pemahaman.80

Simbol adalah sesuatu seperti tanda: lukisan, perkataan dan sebagainya yang

menyatakan sesuatu hal atau yang mengandung maksud tertentu, misalnya warna

putih sebagai lambang kesucian dan gambar padi sebagai lambang kesuburan.81

Setiap kebudayaan memiliki simbol, yang maknanya bisa berubah tergantung

76Clifford Geertz dalam Michael Baton (ed.), Anthropologival Approaches on the Study of Religion,

(Methuen, 1968), 3, dalam F. W. Dillingstone, The Power Of Symbols, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 116.

77 Raymond Firth, Symbol: Public and Private, (Allen and Unwin, 1973), 20 dalam F. W.

Dillingstone, The Power, 103.

78 Ibid. 79

Ibid.,10

80 Ibid., 20

81 W.J. S Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia , cet. VIII. (Jakarta: Balai Pustaka, 1985),

(18)

kepada kesepakatan masyarakat.82 Simbol adalah ekspresi alami manusia yang

mendasar, muncul dalam segala zaman, tempat dan budaya.

Bagi masyarakat Dayak Ngaju, hadat (adat) adalah kebiasaan yang turun-temurun dalam masyarakat yang berasal dari nenek moyang Ngaju.83 Dalam

tulisannya Hermogenes Ugang mengatakan bahwa, “adat adalah bentuk-bentuk

keluhuran yang bersumber kekuatan pada Raying Sang Pencipta yang oleh orang

Ngaju diamalkan dan dihayati secara tekun dan teliti.”84 Untuk menjaga,

mengendalikan dan mempertahankan hadat itu dari pelanggaran dan penodaan yang dilakukan oleh setiap mahluk, maka Raying mengutus para utusannya yang bergentayangan di seluruh alam semesta.85 Jadi, adat atau hukum adat dan segala

sesuatu yang menyangkut sanksi-sanksi terhadap pelanggaran merupakan

penerapan kekuatan hukum hadat leluhur suku yang bersumber pada kekuatan atau kekuasaan yang adikodrati. Kekuatan adikodrati inilah yang membuat seluruh

tatanan kehidupan masyarakat menjadi suci (sakral), dengan kata lain segala

sesuatu yang jasmani adalah rohani, dan yang rohani itu ada pada segala sesuatu

yang kelihatan.86 Keluhuran hadat ini terus dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat Dayak Ngaju, hal ini nampak dalam upacara-upacara yang dilakukan

antara lain: adat perkawinan termasuk di dalamnya perjanjian perkawinan adat

Dayak Ngaju.

Perjanjian perkawinan merupakan salah satu budaya yang sarat dengan

simbol-simbol. Untuk memahami makna yang tersirat di dalamnya, maka perlu

82 Robby. I. Chandra, Teologi dan Komunikasi (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1996),

30

83

Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran, 48.

(19)

untuk melihat makna simbol berdasarkan konteks kehidupan masyarakat Dayak

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini diberitahukan bahwa berdasarkan Penetapan Pengadaan Langsung Nomor : 37.7/PNP/PPBJ/APBD/BMP-JJ/VII/2015 tanggal 02 Juli 2015, Pejabat Pengadaan Barang/Jasa

Dengan im diberitahukan bahwa berdasarkan Penetapan Pengadaan Langsung Nomor 34.07 /PNP /PPBJ/ APBD /BMP /VII/2015 tanggal 03 Juli 2015, Pejabat Pengadaan Barang/Jasa

Sehubungan dengan Evaluasi Penawaran, Kami POKJA-IV Kantor Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengundang Saudara untuk dapat menghadiri Ferifikasi dan Klarifikasi terhadap Perusahaan

Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa memahami tentang intelligent control (kendali cerdas), khususnya Pengendali Logika Fuzzy dan Jaringan Saraf Tiruan. Mata kuliah

Setelah itu tutup saklar S dan atur tahanan beban RB hingga diperoleh arus motor mulai dari.. 2,75 A sampai

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir Nomor 6 Tahun 2012. tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan

Klarifikasi dihadiri oleh Direktur/Kuasa Direktur dengan membawa seluruh dokumen asli penawaran dan dokumen asli sesuai formulir isian kualifikasi. Membawa 1 Rangkap

Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah OPTK yang mempunyai resiko tinggi yaitu dengan menerapkan Pest Risk Analysis (PRA) pada polong kacang tanah