commit to user
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan,
baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Tengah maupun Kalimantan lainnya. Suku
Iban dan Suku Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat ngayau. Pada
tradisi ngayau yang sesungguhnya, ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia
dari pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah
yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau) (Bock, 1882). Karya Carl Bock, The
Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1882 banyak
menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu
kepala”.
Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya
(1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam
kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala
manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan
adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat
untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang
sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk
menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat.
Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan
proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat
dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.
Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi ngayau tersebut mengapa
harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Kepala dipilih
sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur
wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal,
merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social personhood). Jati
diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si musuh dan
karenanya menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.
Dalam makalah sejarah Lundayeh Lalong (2011:61) menuliskan dalam suku
Dayak Lundayeh pun terdapat istilah ngeleb/febunu (ngayau). Ngeleb pada suku
Dayak Lundayeh terjadi berhubungan erat dengan migrasi yang terjadi pada suku
Dayak Lundayeh. Salah satu pemicu terjadinya migrasi pada suku Dayak Lundayeh
yaitu disebabkan oleh adanya perang suku. Parang itu ditandai dengan pemotongan
kepala musuh dari masing-masing pihak yang disebut dengan ngeleb/febunu.
Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan tradisi ngayau. Seperti
halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada
istilah ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi
perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat
berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila
commit to user
adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan Ngaju, kepala
tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan
Maanyan tidak menerapkan tradisi ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap
berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang
paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.
Setiap suku Dayak memiliki latar belakang berbeda-beda mengenai ngayau
pada sukunya masing-masing. Namun bagi masyarakat Dayak Ngaju, ngayau
dibedakan menjadi dua. Pertama, ngayau yang dimaksud dengan berburu kepala.
Tradisi ini dimaksudkan untuk menandai kekuatan dan status sosial dari seorang
pengayau. Semakin banyak kepala yang di ngayau maka akan menaikan status sosial
dari si pengayau. Ngayau dilakukan oleh perorangan dan dilakukan seperti halnya
berburu hewan. Setiap lawan harus saling menyerang dengan diam-diam. Kedua,
asang ngayau. Berbeda dengan ngayau yang pertama, asang ngayau dalam tradisi
Dayak Ngaju merupakan perang yang dilakukan dengan motif-motif tertentu. Asang
ngayau kerap dilakukan berkelompok dengan tujuan yang bermacam-macam, seperti
balas dendam, merampok, mempertahankan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya.
Pada suku Dayak Ngaju, ngayau merupakan susuatu yang sudah menjadi
identitas mayarakatnya karena dengan mengayaulah status sosial seseorang menjadi
lebih tinggi. selain sebagai lambang status sosial, ngayau juga lekat dengan tradisi
tiwah yang hingga saat ini masih dijalankan oleh masyarakat Dayak Ngaju. Upacara
wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Hindu-Kaharingan yang berada di daerah
Kalimantan Tengah (Simpai, 2013:1).
Dalam tradisi mengayau ada hal yang dilarang, yaitu memenggal kepala
wanita dan anak-anak. Ngayau sendiri sebenarnya bermakna mempertahankan status
sosial melalui pemburuan setiap kepala musuh yang dianggap lawan seimbang
dengan pertimbangan harus mengukur terlebih dahulu kekuatan lawan mengayau.
Untuk mempertahankan atau meningkatkan status sosial dibuktikan dengan
banyaknya kepala musuh yang berhasil dipenggal.
Sejak masa penjajahan, tradisi ngayau dan asang ngayau tidak lagi dilakukan
dan telah dilarang. Kesepakatan untuk menghapus tradisi ini dilakukan saat Rapat
Damai Tumbang Anoi tahun 1894. Rapat tersebut menyepakati hal berikut:
1. Menghentikan habunu (saling bunuh)
2. Menghentikan hakayau (saling memenggal kepala)
3. Menghentikan hatetek (saling mencincang)
Rapat damai ini dihadiri oleh seluruh tokoh suku Dayak yang mendiami
Kalimantan yang dianggap memahami adat-istiadat di daerahnya masing-masing
(Usop, 1996:3). Setelah adanya kesepakatan damai itu upacara tiwah tidak
menggunakan kepala manusia lagi namun menggunakan kepla kerbau. Ini
menandakan budaya itu dinamis karena adanya penggantian syarat dari kepala
manusia ke kepala kerbau atau kelapa.
commit to user
etnis Madura. Pertikaian ini tak hanya menimbulkan korban harta tetapi juga korban
jiwa yang cukup banyak. Usop (2009:5) dalam disertasinya mengungkap kasus
kekerasan di Sampit merupakan bagian dari masalah integrasi nasional yang memiliki
kekhasan. Kekerasan tersebut dipandang oleh masyarakat Dayak sebagai kebangkitan
(revivalisme) budaya mengayau (budaya memenggal kepala). Hal ini berakibat
munculnya anggapan orang Dayak suka kekerasan dan berbahasa teror.
Membela diri merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi terjadinya
kerusuhan tersebut. Konflik menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan
manusia. Ensiklopedia sejarah kemanusiaan, memberikan gambaran historis
bagaimana perilaku kekerasan sebagai bentuk manifestasi suatu konflik telah ada
ketika dunia ini tercipta. Fenomena ini digambarkan Denner dan Falger sebagai
sebuah benturan, pertentangan kepentingan, tujuan, nilai-nilai, kebutuhan-kebutuhan,
harapan-harapan dan idiologi. Benturan dan pertentangan ini tidak hanya dialami
individu, kelompok, dan bangsa, akan tetapi juga terjadi antar peradaban yang
dampaknya tak jarang melampaui tapi batas kemanusiaan (dalam Wahit, 2004:34).
Ngayau sendiri merupakan bagian dari sastra lisan yang hingga saat ini masih
dilakukan oleh suku Dayak Ngaju. Sastra sebagai karya lisan atau tulisan yang
memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam
isi, dan ungkapanya. Karya sastra selain kompleks, juga merupakan artefak, yang
dapat mempunyai makna dan menjadi objek estetis jika diberi makna (konkretisasi)
Ngayau masih dapat dikatakan sebagai karya sastra yang memiliki idiologi
yang masih melekat pada masyarakat Dayak Ngaju sesuai dengan filosofinya. Namun
sebuah tradisi yang merupakan kearifan lokal yang berakarkan dari budaya tidak
lepas dari perubahan sosial budaya. Martono (2012:13) mengatakan masalah
perubahan dalam perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah keduanya
berhubungan dengan masalah penerimaan cara-cara baru atau suatu perubahan
terhadap cara-cara hidup manusia dalam memenuhi berbagai kebutuhannya.
Kebudayaan mencakup segenap cara berfikir dan bertingkah laku yang timbul karena
interaksi komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolis dan bukan
muncul karena warisan biologis. Perubahan dalam ngayau pun mengalami
dekonstruksi baik secara bentuk maupun budaya.
Di atas telah dijelaskan bagaimana dekonstruksi yang terjadi dalam ngayau,
terlebih lagi apabila suatu tradisi harus dimaknai oleh generasi yang berbeda dan pada
ruang dan waktu yang berbeda saat ngayau itu terjadi. Dekonstruksi dalam
pemaknaan simbolis yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai suatu proses
yang tidak pernah berhenti sehingga makna yang hadir selalu bersifat becoming
(menjadi) dan terfragmentasi oleh ruang dan waktu si pemakna, (Pitana, 2009:12).
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi tiga
permasalahan yang tersajikan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut.
commit to user
karena itu, makna dari ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju harus tetap dicari sesuai
dengan ruang dan waktu si pemakna. Dengan kata lain, interpretasi terhadap nilai
ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju tidak akan pernah berhenti atau akan terus
menerus mengalami dekonstruksi.
Kedua, dekonstruksi ngayau pada masa kekinian akan membawa pengaruh
pada struktur kognitif masyarakat pemakna yang selanjutnya melahirkan
norma-norma dalam kehidupan sosialnya.
Ketiga, pemahaman norma-norma yang lahir akibat terjadinya dekonstruksi
ngayau akan mengantarkan pemahaman terhadap nilai-nilai filosofi budaya ngayau
yang merupakan idiologi dari masyarakat Dayak Ngaju.
Dari identifikasi permasalahan tersebut selanjutnya sebagai fokus kajian dapat
dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1. Mengapa terjadi dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju?
2. Bagaimana dekonstruksi ngayau pada suku Dayak Ngaju terbentuk?
3. Bagaimana implikasi dekonstruksi ngayau pada masyarakat Dayak Ngaju saat
ini?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan dekonstruksi
yang terjadi pada ngayau dalam masyarakat Dayak Ngaju dengan kearifan lokalnya
yang mengandung idiologi bagi masyarakat Dayak Ngaju. Penelitian ini juga
rangka memperkaya budaya nasional sebagai bagian dari kerja keilmuan Kajian
Budaya dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk menemukan jawaban dari
rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut.
1. Mengetahui dan memahami kejelasan mengenai dekonstruksi ngayau pada
suku Dayak Ngaju.
2. Mengetahui dan memahami terbentuknya dekonstruksi ngayau pada suku
Dayak Ngaju.
3. Mengetahui dan memahami implikasi dari dekonstruksi ngayau yang terjadi
pada masyarakat Dayak Ngaju saat ini.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian bertujuan untuk memberikan sumbangan sekaligus
menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam masalah-masalah
mengenai kebudayan. Dalam hal ini mengenai ngayau yang masih dijalani oleh suku
Dayak Ngaju Kalimantan Tengah. Dengan menggunakan paradigma Kajian Budaya,
ilmu-ilmu humaniora pada umumnya. Manfaat lainnya yaitu penggunaan teori-teori
multiinterdisipliner yang merupakan teori-teori poststrukturalisme dalam rangka
commit to user
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak
berkepentingan, sebagai berikut.
1. Pemerintah Daerah dan instansi terkait dalam menjaga nilai-nilai budaya
sehingga tradisi ngayau dalam upacara tiwah yang telah terdekonstruksi tidak
meninggalkan/ melupakan nilai-nilai filosofi yang menjadi dasar dari tradisi
ngayau tersebut.
2. Masyarakat dalam upaya melestarikan/ menjaga nilai-nilai budaya sehingga
tidak termakan oleh globalisasi zaman dan menjadi sebuah tradisi yang masih
memegang nilai-nilai filosofi dari tradisi tersebut.
1.5 Sistematis Penelitian
Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri atas beberapa subbab yang
meliputi; Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Sistematika Penelitian.
Bab kedua berisi Landasan Teoritik/ Kajian Pustaka, Konsep, Teori
dekonstruksi Jaques Derrida dan Teori Wacana Micheal Foucault, Model Penelitian.
Bab ketiga berisi metodologi penelitian yang terdiri atas Rancangan
Penelitian, Lokasi Penelitian, Jenis Sumber Data, Teknik Pemilihan Informan,
Instrumen Penelitian, Teknik Pengmpulan Data yang meliputi; Observasi Partisipan,
Wawancara Mendalam, dan Studi Dokumen. Teknik Analisi Data, Teknik Penyajian
Bab empat berisi pembahasan yang meliputi mengapa terjadi dekonstruksi
ngayau pada suku Dayak Ngaju, bagaimana dekonstruksi ngayau suku Dayak Ngaju
terbentuk, dan bagaimana implikasi dekonstruksi ngayau pada masyarakat Dayak
Ngaju saat ini. Dengan melihat dari sudut pandang dekonstruksi Jacques Derrida dan
wacana Micheal Foucault.
Bab kelima berisi penutup yang memuat simpulan hasil penelitian serta