• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH STORYTELLING DENGAN KOMUNIKASI TOTAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK SISWA TUNARUNGU : Eksperimen dengan Subjek Tunggal melalui Intervensi oleh Ibu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH STORYTELLING DENGAN KOMUNIKASI TOTAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK SISWA TUNARUNGU : Eksperimen dengan Subjek Tunggal melalui Intervensi oleh Ibu."

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH STORYTELLING DENGAN KOMUNIKASI

TOTAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN

MENYIMAK SISWA TUNARUNGU

(Eksperimen dengan Subjek Tunggal melalui Intervensi oleh Ibu)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian ri Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

Oleh:

Joni Afriadi

1204696

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

PENGARUH

STORYTELLING

DENGAN KOMUNIKASI TOTAL TERHADAP

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK SISWA TUNARUNGU

(eksperimen dengan Subjek Tunggal Melalui Intervensi oleh Ibu)

Oleh Joni Afriadi

S.Pd UNP Padang, 2004

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

© Joni Afriadi 2014

Universitas Pendidikan Indonesia Februari 201

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

HALAMAN PENGESAHAN TESIS

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

Pembimbing Tesis:

Juang Sunanto,ph.D. NIP. 19610515 198503 1 002

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus

(4)

ABSTRAK

PENGARUH STORYTELLING DENGAN KOMUNIKASI TOTAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYIMAK SISWA

TUNARUNGU

(Eksperimen Dengan Subjek Tunggal Melalui Intervensi Oleh Ibu)

JONI AFRIADI, 1204696, Prodi PKKh UPI Bandung

Hambatan pendengaran berdampak terhadap aspek perkembangan pada anak yang mengalami ketunarunguan pralingual, salah satunya adalah perkembangan bahasa. Aspek keterampilan bahasa yang utama adalah keterampilan menyimak yang dapat dilakukan melalui storytelling. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh storytelling dengan komunikasi total terhadap peningkatan keterampilan menyimak siswa tunarungu. Materi storytelling diambil dari Buku Gede

(Big Book) terbitan Mizan untuk balita yang dituturkan oleh ibu mereka. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen Single Subject Research

(SSR) dengan model desain A-B. Subjek dalam penelitian ini adalah empat orang

(5)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF STORYTELLING WITH TOTAL COMMUNICATION ON THE IMPROVEMENT OF LISTENING SKILLS OF HEARING

IMPAIRED CHILDREN

(Experiment With Single Subject Through Intervention by The Mother)

JONI AFRIADI, 1204696, Special Needs Education Program, Indonesia University of Education, Bandung

(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GRAFIK ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KETERAMPILAN MENYIMAK ANAK TUNARUNGU MELALUI STORYTELLING A. Hakikat Ketunarunguan ... 9

B. Komunikasi Total ... 16

C. Peran Penting Ibu Dan Keluarga Dalam Perkembangan Anak Tunarungu ... 19

D. Menyimak Sebagai Keterampilan Bahasa yang Paling Utama ... 21

E. Storytelling ... 27

F. Menyimak Storytelling Pada Individu Dengan Ketunarunguan ... 31

(7)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Rancangan eksperimen ... 35

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 36

C. Defenisi Operasional ... 36

D. Validitas Data ... 38

E. Material Eksperimen ... 38

F. Prosedur Eksperimen ... 39

G. Instrumen Penelitian ... 40

H. Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 43

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 55

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk individual sekaligus makhluk sosial. Oleh

karena itu, manusia tidak bisa terlepas untuk selalu berhubungan dengan

manusia lain. Untuk menjalin hubungan tersebut, manusia menggunakan

bahasa sebagai sarana dalam berkomunikasi. Dengan berbahasa manusia bisa

mengembangkan diri dan lingkungannya. Karena pentingnya arti bahasa

dalam kehidupan manusia, kurikulum pendidikan menempatkan Bidang Studi

Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran utama yang mencakup

empat aspek keterampilan bahasa, yaitu (a) keterampilan menyimak, (b)

keterampilan berbicara, (c) keterampilan membaca, dan (d) keterampilan

menulis. Keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut sejalan dengan

tahapan perkembangan pemerolehan bahasa pada anak. Namun aspek

keterampilan menyimak masih mendapatkan perhatian yang kurang jika

dibandingkan tiga aspek keterampilan bahasa lainnya.

Melalui menyimak kita bisa menambah wawasan dan pengetahuan.

Menurut Astuti (2002: 3) bahwa ”keterampilan menyimak merupakan salah

satu keterampilan berbahasa yang sangat penting dipelajari untuk menunjang

kemampuan berbahasa yang baik. Kemampuan menyimak yang baik bisa

memperlancar komunikasi, karena komunikasi tidak akan berjalan dengan

lancar jika pesan yang sedang diberikan atau diterima tidak dimengerti”.

Sehingga dapat dikatakan bahwa keterampilan menyimak sangat penting untuk

dikuasai anak agar dapat memperoleh informasi dari bahan yang disimak-nya.

Tanpa disadari kita lebih sering menggunakan keterampilan menyimak

dalam kehidupan sehari-hari melalui komunikasi. Sekitar 90% waktu kita

gunakan untuk mendengar dalam rangka menyerap informasi. Dan kemampuan

untuk memahami ujaran orang lain merupakan hal yang penting dalam

(9)

(Anonim, 2009: 154). Sehingga sebagai bahasa reseptif, kegiatan menyimak

lebih di dominasi oleh kemampuan auditoris dan berbahasa.

Salah satu bentuk kegiatan menyimak adalah melalui storytelling, yaitu

kegiatan bercerita untuk menanamkan nilai-nilai pada anak melalui bahasa

tutur yang telah ada sejak dulu. Menurut Joseph Frank (Asfandiyar, 2007: 2),

storytelling merupakan suatu proses kreatif anak-anak yang dalam

perkembangannya senantiasa mengaktifkan bukan hanya aspek intelektual saja

tetapi juga aspek kepekaan, kehalusan budi, emosi, seni, daya berfantasi, dan

imajinasi anak yang tidak hanya mengutamakan kemampuan otak kiri tetapi

juga otak kanan. Menurut Rogow (2005: 134) ketika anak-anak mendengarkan

cerita, mereka menggunakan pengetahuan bahasanya untuk

menginterpretasikan isi cerita. Sehingga anak menghubungkan antara apa yang

diketahuinya dengan isi cerita.

Sebagian manfaat storytelling diungkapkan oleh Jan Waterink pada tahun

1935, dalam van Wingerden, (2009: 25), seorang berkebangsaan Belanda,

pemilik laboratorium dan klinik yang menangani anak-anak dengan gangguan

psikis, dan ia juga salah seorang perintis pendidikan khusus di Belanda.

Waterink bersama asistennya, Vedder, melaporkan telah berhasil mengatasi

kehilangan kemampuan bicara akibat trauma psikis pada beberapa orang anak

usia tiga sampai lima tahun. Mereka melaporkan keberhasilannya dalam

mengatasi masalah kliennya yang mengalami kehilangan kemampuan bicara

akibat truma yang disebabkan oleh suara bising pesawat udara dengan diagnosa

mengalami rasa cemas dan tidak bisa mengendalikan diri. Tahapan proses

terapi yang dilaksanakan dimulai dari bercerita tentang pesawat udara,

menunjukkan gambar-gambar pesawat udara, bermain, dan terakhir

mengunjungi bandara. Dengan kegiatan yang dirancang secara sistematis

tersebut kemampuan bicara anak tersebut bisa dipulihkan.

Armstrong dan Hughes (2012) melakukan penelitian pada lima orang

anak dengan autisma yang berusia tujuh dan delapan tahun tentang efektifitas

penggunaan komputer dan buku cerita dalam memahami teks bacaan melalui

(10)

cerita diperlihatkan pada subjek dan dipilih secara acak, peneliti menyebutkan

judul dan nama pengarang dari buku yang telah dipilih. Subjek duduk

dipangkuan peneliti dan kemudian buku diletakkan dihadapan subjek, peneliti

membacakannya sambil menunjuk apa yang sedang dibacanya, dan subjek

diminta untuk turut membaca. Sesi berakhir setelah subjek menceritakan

kembali dan menjawab pertanyaan secara lisan. Pada tahapan intervensi,

subjek membaca bacaan yang diarahkan oleh jari peneliti dan kemudian

diminta untuk menceritakannya kembali setelah selesai membacanya.

Sedangkan pada tahap kedua membaca, subjek bersama peneliti membaca

buku bersamaan dengan jari telunjuk peneliti berada pada teks yang sedang di

baca dan sesi diakhiri sama dengan tahap baseline, subjek diminta

menceritakan kembali dan menjawab pertanyaan. Intervensi dengan

menggunakan komputer dilakukan dengan menggunakan software komputer

yang menggunakan audio dan pointer berwarna sesuai dengan suara bacaan.

Sesi diakhiri sama dengan tahap baseline, subjek diminta menceritakan

kembali dan menjawab pertanyaan. Data dianalisis berdasarkan skor jawaban

yang tepat dari subjek. Kesimpulannya adalah kedua media tersebut efektif

digunakan pada beberapa orang subjek dalam pemahaman teks bacaan.

Keterampilan membaca sangat penting, namun keterampilan menyimak

jauh lebih penting. Dari laporan Komite Nasional Membaca Amerika Serikat

(Commision on Reading) pada tahun 1985, memberikan rekomendasi agar

anak-anak dibacakan buku baik di rumah maupun di ruang kelas untuk

membangun pengetahuan yang dibutuhkan anak dalam membaca (Trelease,

2006: 21). Tidak jauh berbeda, Bunanta, (2009: 5) menyatakan bahwa

beberapa konsep storytelling yang ada dapat digunakan untuk mengajak anak

membaca. Disamping itu, storytelling dapat meningkatkan perkembangan

keterampilan bahasa yang lain dan untuk itu hendaknya kegiatan yang

dilakukan lebih menekankan pada aspek cara bercerita agar anak tidak cepat

merasa bosan (Fakhrudin, 2009: 10). Sementara bacaan yang dianjurkan untuk

dikonsumsi oleh anak adalah dalam bentuk fiksi, karena dianggap paling dekat

(11)

(Trelease, 2006: 39). Dengan demikian kegiatan storytelling pada anak,

terutama sejak usia dini, merupakan aktifitas yang memberikan pengalaman

dan latihan berbahasa serta bermanfaat bagi perkembangan aspek keterampilan

bahasa anak di masa yang akan datang.

Anak dengan gangguan pendengaran memiliki keterbatasan dalam

berbahasa baik bahasa ekspresif maupun reseptif (Hernawati, 2007). Hambatan

mendengar dan keterbatasan dalam bahasa pada anak tunarungu juga memberi

imbas pada keterampilan komunikasinya (Somad, 2009). Ada dua pendekatan

untuk meningkatan keterampilan bahasa dalam berkomunikasi anak dengan

gangguan pendengaran, yaitu secara manual atau isyarat dan secara oral.

Namun masing-masing pendekatan tersebut dinilai banyak kalangan masih

terdapat kelemahan, kurang efektif dan mengandung unsur pemaksaan. Oleh

karena itu, komunikasi total dijadikan sebagai suatu strategi dalam menjalin

komunikasi yang efektif antara orang mendengar dengan anak tunarungu

melalui penggabungan pendekatan manual dan oral.

Keterbatasan berbahasa tersebut tentu saja akan menghambat proses

perkembangan anak selanjutnya, karena menurut Lev Vygotsky kemampuan

berbahasa seseorang sejalan dengan perkembangan kecerdasannya.

Dampaknya, anak dengan gangguan pendengaran terkesan juga mengalami

gangguan dalam fungsi kognitif serta memiliki kecerdasan intelektual di bawah

anak yang mendengar. Namun menurut Furth (1973) dalam Alimin (2008)

menyatakan bahwa keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunarungu

bukan disebabkan oleh rendahnya kecerdasan atau kurangnya keterampilan

linguistik tapi karena kurangnya latihan dan pengalaman. Dengan demikian,

jika lingkungan bisa memberikan latihan dan pengalaman kebahasaan pada

anak dengan hambatan pendengaran, maka keterampilan bahasa dan

komunikasinya akan meningkat sehingga fungsi kognitif dan kecerdasan

intelektualnya-pun juga bisa dioptimalkan.

Siswa yang masih duduk di kelas dua pada umumnya masih diantar,

bahkan ditunggui oleh ibu mereka selama proses belajar mengajar di sekolah.

(12)

mengoptimalkan orang tua dalam mengakomodir kebutuhan khusus yang

dialami oleh anaknya. Kebanyakan orang tua dilibatkan dalam kegiatan

penyusunan program sekolah atau pembangunan fisik.

Menurut keterangan orang tua, aktifitas membacakan suatu cerita dari

suatu bacaan fiksi tidak pernah dilakukan. Menurut penuturan mereka, kegiatan

bercerita dilakukan melalui percakapan berdasarkan pengalaman yang dekat

dengan anak, misalnya percakapan mengenai aktifitas saat liburan sekolah atau

percakapan mengenai suatu peristiwa kejadian yang baru saja dialami oleh

anak. Kemampuan anak dalam memahami pelajaran di sekolah menurut

keterangan guru bervariasi, ada yang cukup baik, sedang dan rendah.

Mengingat banyaknya manfaat storytelling pada anak yang mendengar,

maka sangat menarik untuk diteliti bagaimana kemampuan anak tunarungu

dalam mamahami materi bacaan yang dituturkan oleh ibu mereka guna

memberikan pengalaman dan latihan linguistik yang memadai sesuai dengan

kebutuhan mereka.

B. Identifikasi Masalah

Keterampilan menyimak cenderung mendapatkan prioritas yang lebih

sedikit dibandingkan aspek keterampilan lain di sekolah, baik oleh guru

maupun oleh siswa. Hal ini dapat disebabkan siswa menganggap kegiatan

menyimak merupakan hal yang sulit dan mereka tidak memahami secara utuh

bahasa lisan. Disamping itu guru juga menganggap aspek keterampilan

bahasa yang lain lebih penting daripada aspek keterampilan menyimak, dan

bisa juga karena guru belum mempunyai format pembelajaran yang ideal

(Anonim, 2009: 154).

Siswa dengan hambatan pendengaran juga memiliki kosa kata yang

sedikit dibandingkan dengan anak mendengar, sehingga mereka sulit untuk

memahami dan mengungkapkan kembali isi bacaan. Menurut Van Uden

(dalam Meadow, 1980, Hernawati, 2007: 102) ketunarunguan bukan hanya

mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara, lebih dari itu

(13)

proses kognitif anak dengan gangguan pendengaran menjadi terbatas

sehingga menimbulkan kesan kecerdasan mereka berada di bawah anak

mendengar.

Storytelling merupakan suatu aktivitas yang bisa meningkatkan

keterampilan bahasa dengan memperkaya pengalaman dan latihan lingguistik

pada anak serta bisa mendukung prestasi akademik. Namun aktivitas

sederhana tersebut kurang mendapat perhatian dari orang tua di rumah

maupun guru di sekolah meskipun telah diketahui pentingnya kegiatan

tersebut. Penelitian yang dilakukan Elley (dalam Trelease, 2006) terhadap

150.000 orang siswa kelas empat menemukan bahwa siswa yang sering

dibacakan buku mendapat nilai tiga puluh kali lebih tinggi dibandingkan

dengan siswa yang hanya sesekali dibacakan buku.

C. Batasan Masalah

1. Keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis merupakan

aspek-aspek keterampilan dalam berbahasa. Aspek yang di teliti dalam

penelitian ini adalah aspek keterampilan menyimak pada anak tunarungu

pra bahasa usia 7 sampai 8 tahun.

2. Menyimak berbeda dengan mendengar meskipun dalam menyimak lebih

di dominasi oleh kemampuan pendengaran. Menyimak anak tunarungu

dalam penelitian ini ditujukan pada kemampuan anak dalam menyerap

informasi dari lingkungan dengan memusatkan perhatian pada informasi

yang ingin di peroleh melalui alat sensoris yang mereka miliki.

3. Storytelling disampaikan dengan berbagai cara kepada audiens. Ada yang

menggunakan musik, buku cerita, benda (boneka, mainan dan

sebagainya). Begitu juga dalam menuturkannya, banyak teknik yang

digunakan. Dalam penelitian ini storytelling disampaikan dengan

menggunakan media buku yang ukurannya di perbesar menjadi ukuran

poster serta dituturkan dengan memperhatikan keterarahwajahan, mimik

(14)

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh

storytelling dengan komunikasi total terhadap peningkatan keterampilan

menyimak siswa tunarungu?.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh kegiatan storytelling yang dituturkan dengan komunikasi total

terhadap keterampilan menyimak siswa tunarungu.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan

pertimbangan bagi orang tua dan guru tentang bagaimana cara menuturkan

storytelling pada anak tunarungu sebagai bentuk dukungan dari lingkungan

(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan subjek

tunggal guna mengetahui akibat dari suatu perlakuan (intervensi) yang diberikan.

Menurut Kratochwill (1978) dalam Maggins, Briesch, & Chafouleas (2013: 45)

Penelitian dengan subjek tunggal juga bertujuan untuk mempelajari prilaku

individu. Selanjutnya Gast (2010) dalam Maggins, Briesch, & Chafouleas (2013:

45) menjelaskan dapat juga digunakan untuk mengamati pola prilaku individu

secara teliti terhadap prilaku yang disengaja maupun yang tidak disengaja untuk

merancang dan memvalidasi program dalam bidang akademik, prilaku dan

psikologi. Sehingga desain penelitian subjek tunggal umumnya digunakan dalam

mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi oleh anak berkebutuhan khusus

(Maggins, Briesch, & Chafouleas, 2013: 45). Penelitian dengan subjek tunggal

juga bisa digunakan untuk satu individu atau satu kelompok yang diperlakukan

sebagai satu kesatuan yang utuh (Foster, 2009 dalam Foster, 2010: 31). Dalam

penelitian ini, peneliti memanipulasi suatu perlakuan berupa aktifitas storytelling

yang dituturkan dengan komunikasi total, selanjutnya pengaruh atau akibat yang

dimanipulasi secara sengaja dan sistematis diamati (Faisal, 1982: 76).

A. Rancangan Eksperimen

Desain rancangan penelitian eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini

adalah rancangan subjek tunggal (single subject research) dengan

menggunakan desain A – B.

X X X X X O O O O O O O O O O

Keterangan:

O = panjang kondisi/banyaknya sesi

(16)

B. Lokasi dan Subjek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di salah satu dari tiga Sekolah Luar Biasa

yang ada di Lembang, yaitu SLB X Lembang. Subjek penelitian ini adalah

empat orang siswa tunarungu kelas satu yang berusia antara 7 – 8 tahun. Satu

orang berjenis kelamin laki-laki yang menggunakan Alat Bantu Mendengar

(ABM) dan tiga orang perempuan yang tidak menggunakan ABM. Hanya

satu orang subjek perempuan yang memiliki hasil pengukuran pendengaran

dengan BERA dari RS. Hasan Sadikin Bandung yang menyatakan subjek

memiliki kemampuan pendengaran di 95 dB untuk telinga kanan dan 94 dB

pada telinga kiri yang dikategorikan pada jenis tunarungu berat. Sementara

tiga orang lainnya, belum diukur kemampuan pendengarannya.

Dari penjelasan guru kelas keempat subjek tersebut, kemampuan

menyimak mereka tidak sama. Dari semua siswa di kelasnya, terdapat satu

orang subjek yang agak lambat dalam merespon materi pelajaran yang

disampaikan. Menurutnya, mungkin disebabkan oleh kejadian perceraian

orang tua subjek tersebut. Sehingga ia sering melamun dan kurang

memperhatikan materi pelajaran. Terdapat dua orang siswa yang memiliki

kemampuan menyimak yang cukup baik, yaitu siwa laki-laki dan satu orang

siswa perempuan yang dinilai guru dari kemampuan mereka dalam menyerap

pelajaran. Sementara siswa perempuan yang lain dianggap guru memiliki

kemampuan menyimak yang sedang, tidak cepat atau pun lambat dalam

menyerap materi pelajaran yang ia sampaikan. Keempat subjek tersebut

diantar dan ditunggui oleh ibu mereka selama jam sekolah berlangsung dari

pukul 08.00 – 11.00 WIB.

C. Defenisi Operasional

a. Variabel bebas (intervensi atau treatment)

Variabel bebas disebut juga sebagai variabel yang mempengaruhi

variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini kegiatan storytelling

dengan menggunakan komunikasi total. Storytelling yang dimaksud

(17)

memberikan latihan dan pengalaman berbahasa pada subjek. Beberapa

pertimbangan dalam menentukan media buku dan cerita yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1. Materi cerita merupakan cerita fiksi yang mengandung unsur

imajinatif atau khayalan untuk menarik minat subjek pada buku.

2. Mengandung kalimat yang pendek agar penutur lebih leluasa

mengekplorasi gambar yang ada dalam buku dan tidak terpaku pada

teks.

3. Buku memiliki ukuran besar (42 cm) dan memiliki ruang yang luas

untuk gambar agar subjek mudah mengamatinya.

Sementara Komunikasi total merupakan falsafah yang digunakan saat

menuturkan cerita kepada keempat subjek penelitian yang berorientasi

agar subjek dapat memahami apa yang sampaikan penutur melalui

ekspresi wajah, intonasi suara serta mempertimbangkan komponen oral,

aural dan manual saat menuturkan cerita untuk meingkatkan

keterampilan kompensatoris subjek seperti bahasa isyarat, ejaan jari, dan

membaca gerakan bibir. Misalnya saat menuturkan cerita, penutur

mengucapkan kata dengan intonasi dan gerak bibir yang jelas agar

mudah diamati subjek yang diiringi dengan ekspresi wajah, isyarat dan

atau ejaan jari.

b. Variabel terikat (target behavior)

Variabel terikat disebut juga variabel yang dipengaruhi oleh variabel

bebas atau disebut juga dengan target behavior. Dalam penelitian ini

yang menjadi target behavior adalah keterampilan menyimak, yaitu

kemampuan subjek dalam menerima informasi dari penuturan cerita dan

memahami isi cerita. Untuk mengukur keterampilan menyimak pada

keempat subjek, dilakukan tes pemahaman yanng terdiri dari lima

pertanyaan pilihan ganda dan lima pertanyaan menjodohkan berdasarkan

materi cerita. Alternatif jawaban tersedia dalam instrumen tes berupa

(18)

membaca dengan baik. Saat tes, peneliti menjelaskan pertanyaan dan

pilihan yang tersedia dalam instrumen dan keempat subjek diminta untuk

memilih jawaban yang tepat. Data dianalisis berdasarkan jawaban subjek

yang tepat dalam bentuk skor.

D. Validitas Data

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sunanto (2006) bahwa untuk

mendapatkan validitas penelitian yang baik pada saat melakukan eksperimen,

peneliti perlu memperhatikan beberapa hal berikut:

1. Mendefenisikan target behavior sebagai perilaku yang dapat diukur secara

akurat. Sehingga dalam penelitian ini adalah peningkatan keterampilan

menyimak target behavior ini didefenisikan dari

ketidakmampuan-ketidakmampuan.

2. Mengukur dan mengumpulkan data pada saat baseline secara kontinyu

sekurang-kurangnya 3 sampai 5 atau trend dan level data menjadi stabil.

Dalam penelitian ini fase baseline pengukuran dilakukan sebanyak 7 kali.

Bila sudah diperoleh kestabilan data, maka pengukuran langsung

dihentikan dan dilanjutkan dengan fase intervensi.

3. Memberikan intervensi setelah trend data baseline stabil. Dengan acuan

inilah peneliti mengambil langkah untuk memberikan intervensi kepada

subjek.

4. Mengukur dan mengumpulkan data pada fase intervensi dengan periode

waktu yang rutin sampai data menjadi stabil.

E. Material Eksperimen

Material dalam eksperimen ini menggunakan 1 set Buku Gede terbitan Mizan

yang terdiri dari empat buah cerita fiksi untuk balita, masing-masing buku

berjumlah 12 halam dengan ukuran buku sebesar 42 cm. Beberapa judul

diantaranya adalah, Raksasa Jail, Detektif Kembar, Monster Pengering

Rambut Dan Super Salsa. Daftar buku disediakan dengan mencetak semua

(19)

dimulai. Contoh cerita yang dituturkan kepada anak dapat dilihat pada

lampiran.

F. Prosedur Eksperimen

Sebelum memulai tahapan baseline, diadakan beberapa kali pertemuan

bersama empat orang tua subjek. Dalam pertemuan tersebut membahas

tentang gambaran penelitian yang akan dilakukan mencakup manfaat story

telling pada anak mendengar, dampak ketunarunguan terhadap perkembangan

bahasa dan intelegensi, menyampaikan materi cerita serta membahas cara

yang tepat dalam menuturkan cerita tersebut kepada subjek. Pada bagian

akhir untuk menutup pertemuan tersebut, peneliti meminta kesedian orang tua

agar terlibat dalam pelaksanaan penelitian. Dalam hal ini diharapkan mereka

bersedia untuk menuturkan cerita kepada subjek. Masing-masing ibu dari

subjek memilih satu materi cerita yang akan mereka sampaikan. Dengan

demikian diharapkan interaksi antara orangtua dengan anak semakin baik.

Disamping itu, dengan adanya pemahaman orang tua dalam menuturkan

cerita, secara tidak langsung mereka akan memberikan stimulasi bahasa pada

anak. Pertemuan tersebut dilakukan sebanyak tiga sesi dengan masing-masing

sesi berdurasi satu jam.

Kegiatan storytelling dilakukan di ruang kelas dimana siswa belajar

dengan posisi duduk membentuk setengah lingkaran, seusai kegiatan belajar

mengajar, sekitar pukul 10.30 WIB. Setiap sesi dialokasikan waktu lebih

kurang 20 menit untuk menuturkan satu cerita kepada subjek dan 10 menit

untuk melakukan tes pemahaman. Hasil tes pemahaman dihitung berdasarkan

jawaban yang benar dari setiap siswa, dengan bentuk soal pilihan ganda dan

menjodohkan pertanyaan dengan jawaban yang benar. Masing-masing

tahapan penelitian, baseline 7 sesi dan intervensi 9 sesi.

Kegiatan awal pada sesi baseline dengan meminta salah satu subjek

untuk memilih satu cerita dari daftar gambar cover bacaan fiksi yang telah

disediakan. Penutur kemudian menyebutkan judul dan nama pengarang cerita

(20)

disertai dengan ekspresi wajah sambil duduk di hadapan subjek. sementara

buku yang ukurannya diperbesar, diletakkan di atas meja di samping penutur.

Jarak antara penutur dan gambar dengan subjek sekitar 1 meter. Sesi diakhiri

dengan menjawab 10 pertanyaan pemahaman tentang siapa, apa, dimana dan

kapan sesuai isi cerita dalam bentuk pilihan ganda dan menjodohkan antara

pertanyaan dengan jawaban. Setiap soal dijelaskan oleh penutur dan setelah

semua subjek selesai mengerjakan soal, kemudian dilanjutkan ke pertanyaan

berikutnya.

Prosedur awal dalam intervensi hampir sama dengan tahapan baseline,

salah satu subjek diminta untuk memilih satu di antara lima daftar gambar

cover bacaan fiksi yang disediakan. Penutur kemudian menyebutkan judul

dan nama pengarang bacaan tersebut. Penutur berdiri di samping meja guru

dengan jarak lebih kurang satu meter dari subjek. Bacaan yang telah

diperbesar ukurannya diletakkan di meja guru. Penutur menyampaikan isi

cerita dengan memperhatikan kontak mata, mimik wajah, gerak tubuh,

intonasi suara dan isyarat alamiah sesuai dengan isi cerita. Sesi diakhiri

dengan meminta subjek untuk menjawab 10 pertanyaan pemahaman tentang

siapa, apa, dimana dan kapan sesuai isi cerita dalam bentuk pilihan ganda dan

menjodohkan antara pertanyaan dengan jawaban. Setiap soal dijelaskan oleh

penutur dan setelah semua subjek selesai mengerjakan soal, kemudian

dilanjutkan ke pertanyaan berikutnya.

G. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes pilihan

ganda dan menjodohkan. Subjek diminta untuk menjawab 10 pertanyaan

pemahaman yang berhubungan dengan isi cerita dalam bentuk 5 pilihan

ganda dan 5 soal menjodohkan pertanyaan dengan jawaban yang benar.

Masing-masing subjek disediakan lembaran evaluasi sesuai cerita yang

dituturkan kepada mereka. Pertanyaan di jelaskan kepada subjek sebelum

(21)

dijelaskan. Setiap jawaban subjek yang tepat, diberi skor 1 dan sebaliknya

jawaban yang salah diberi skor 0. (Bentuk soal terlampir)

H. Analisis Data

Analisis data digunakan sebagai tahap terakhir dalam penelitian

sebelum di tarik suatu kesimpulan. Setelah semua data terkumpul selanjutnya

dianalisis dengan menggunakan teknik statistik deskriptif yang sederhana

(Sunanto, 2006: 65). Pengaruh intervensi terhadap prilaku yang diamati juga

dilakukan guna melihat sejauh mana intervensi berhasil merubah target

behaviour. Terkait penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pengaruh

storytelling yang dituturkan dengan komunikasi total terhadap kemampuan

menyimak siswa tunarungu. Data ditampilkan dalam bentuk grafik garis agar

lebih memperjelas prilaku subjek. Terdapat beberapa komponen dalam

pembuatan grafik (Sunanto, 2006: 30) sebagai berikut:

1. Absis adalah sumbu X merupakan sumbu mendatar yang menunjukkan

satuan variabel bebas (sesi, hari, tanggal). Dalam penelitian ini absis yang

digunakan adalah untuk menunjukkan banyaknya sesi yang diberikan

pada subjek.

2. Ordinat adalah sumbu Y merupakan sumbu vertikal yang menunjukkan

satuan untuk variabel terikat (misalnya persen, frekuensi, durasi). Dalam

penelitian ini ordinat menunjukkan kemampuan menyimak dalam bentuk

persen.

3. Titik awal merupakan pertemuan antara sumbu X dan sumbu Y sebagai

titik awal satuan bebas dan terikat.

4. Skala garis-garis pendek pada sumbu X dan sumbu Y yang menunjukkan

ukuran (misalnya 0%, 25%, 50%, 70%).

5. Label kondisi yaitu keterangan yang menggambarkan kondisi eksperimen

misalnya baseline atau intervensi.

6. Garis perubahan kondisi yaitu garis vertikal yang menunjukkan adanya

(22)

7. Judul grafik, judul yang mengarahkan perhatian pembaca agar segera

(23)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh hasil analisis data pada fase dapat ditarik kesimpulan

bahwa keempat subjek memilliki hambatan dalam menyimak yang lebih

disebabkan oleh tidak berfungsinya indera pendengarannya. Data baseline

menunjukkan bahwa kegiatan membacakan cerita untuk balita tanpa

menggunakan komunikasi total yang disampaikan oleh ibu dari subjek tidak

dapat disimak dengan baik oleh semua subjek yang ditunjukkan dengan

rendahnya perolehan skor subjek dalam fase ini.

Pada fase selanjutnya, intervensi, setelah ibu keempat subjek menggunakan

komunikasi total dalam menuturkan cerita, keterampilan subjek meningkat yang

bisa dilihat dari perbedaan sebelum dan sesudah diberikannya intervensi.

Perbedaanya setelah diberikannya intervensi adalah meningkatnya perhatian dan

pemahaman subjek terhadap materi cerita yang disampaikan kepada mereka yang

ditunjukkan dengan perolehan skor yang lebih baik dibandingkan fase

sebelumnya. Subjek SMR mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan fase

sebelumnya (baseline) dengan rata-rata 5,00 dan setelah intervensi rata-rata

skornya meningkat menjadi 8,77. Peningkatan juga terjadi pada subjek AA

selama intervensi dengan rata-rata skor baseline 2,71 meningkat menjadi 4,11.

Hal yang sama juga terjadi pada keterampilan menyimak subjek SS yang juga

meningkat, dimana dalam fase baseline ia hanya memperoleh rata-rata skor 2,14

dan pada fase selanjutnya meningkat menjadi 4,44. Keterampilan menyimak

subjek ONR yang dalam fase baseline hanya memperoleh skor rata-rata sebesar

2,28 dan dalam fase intervensi naik menjadi 4,22. Dengan demikian disimpulkan

bahwa storrytelling dengan komunikasi total memiliki pengaruh terhadap

(24)

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian bahwa dengan menggunakan komunikasi total

dalam storytelling dapat meningkatkan keterampilan menyimak siswa tunarungu,

maka disarankan:

1. Orang tua menyediakan waktu untuk storytelling dengan menggunakan buku

dan menyampaikannya kepada anak dengan mempertimbangkan minat anak.

Kegiatan tersebut bertujuan untuk menambah kedekatan dengan anak serta

membiasakan anak familiar dengan bahan bacaan di rumah, terutama bacaan

yang digemarinya. Dan akan lebih baik lagi jika orang tua bisa menyediakan

alat bantu dengar, bahkan jika memungkinkan dengan melakukan implan

koklea agar anak dapat menerima informasi auditoris.

2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat lebih menyempurnakan kekurangan

yang ada dalam penelitian ini diantaranya penerapan storytelling pada subjek

yang memiliki orang tua juga tunarungu serta pada anak tunarungu dan

sebaiknya juga dengan mengukur pengaruh storytelling pada beberapa target

behavior seperti kesadaran fonetis, kemampuan membaca, bicara dan

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S. (2008). Mendongeng Sebagai Energi Bagi Anak. Jakarta: Rumah Ilmu Indonesia.

Alam, Z., and Sinha, B. S. (2009). “Developing Listening Skills forTertiary Level Learners”. The Dhaka University Journal of Linguistics. 2. (3). 19-52

Alimin, Z. (2008). Hambatan Belajar. [online]. Tersedia: http://z-alimin.blogspot.com/2008/03/hambatan-belajar-dan-hambatan.html [12

Desember 2012].

Anonim. (2009). “Menguak Efektifitas Kelas Menyimak dalam Pelajaran Bahasa Asing”. Ta’allum. 19. (2). 153-161.

Armstrong, T. K., & Hughes, M. T. (2012). “Exploring Computer and Storybook Interventions for Children With High Functioning Autism”. International Journal of Special Education. 27. (3). 88-99.

Asfandiyar, A. Y. (2007). Cara Pintar Mendongeng. Jakarta: Mizan.

Astuti. (2002). Menyimak. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Boltman, A. ( 2001). “Children’s Storytelling Technologies: Differences in

Ellaboration and Recall”. Tersedia [online]

http://itiseer.1stpsu.edo/563253.html diakses pada 29 November 2013.

Bozorgian, H. (2012) “Listening Skill Requires a Further Look into Second/Foreign Language Learning”. International Scholarly Research Network (ISRN Education). Vol. 2012. 1-10.

Bunanta, M. (2009). Buku, Dongeng, dan Minat Baca. Jakarta : Murti Bunanta Foundation.

Bunawan, L. (1997). Komunikasi Total. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik.

Bunawan, L. & Yuwati, C. S. (2000). Penguasaan Bahasa pada Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.

(26)

Depdikbud. (2000). Pedoman Guru Pengajaran Wicara untuk Anak Tunarungu

untuk SLB B. Jakarta: Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud.

Depdiknas. (2008). Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

DesJardin, J. L., and Ambrose, S. E. (2010). “The Importance of the Home Literacy Environment for Developing Literacy Skills in Young Children Who Are Deaf or Hard of Hearing”. Young Exceptional Children. 13. (5).

28-44.

Edwards, L., and Crocker, S. (2008). Psychological Processes in Deaf Children

with Complex Needs. London: Jessica Kingsley Publishers.

Faisal. (1982). Metodologi Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.

Fakhrudin, M. (2009). “Cara Mendongeng”. Makalah pada Pelatihan Teknik Mendongeng bagi Guru Taman Kanak-Kanak se-Kabupaten Purworejo tanggal 16 Desember 2003. Purworejjo: Tidak diterbitkan.

Foster, L. H. (2010). “A Best Kept Secret: Single-Subject Research Design in Counseling”. Counseling Outcome Research and Evaluation. 1. (2). 30-39.

Friend, M. (2005) Special Education; Contemporary Perspectives For School

Proffesionals. USA: Pearson Education, Inc.

Gregory, S. et.al. (eds). (1998) Issues in Deaf Education. London: David Fulton Publishers.

Habsah, A. (2012). Kajian Pustaka : Pengertian Anak Tunarungu. [Online]. Tersedia:

http://repository.upi.edu/operator/upload/s_plb_0909516_chapter2.pdf [27

Desember 2012].

Hernawati, T. (2007). “Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak Tunarungu”. JASSI_anakku. 7. (1). 101-110.

Howe, E. B. ( 2004). Kekuatan Ganda Cerita. Terjemahan oleh Tim Penerjemah. Jakarta: Gramedia.

Ingber, S., Al-Yagon, M., and Dromi, E. (2010). “Mothers' Involvement in Early Intervention for Children With Hearing Loss: The Role of Maternal Characteristics and Context-Based Perceptions”. Journal of Early Intervention. 32. (5). 351-369.

(27)

Islam, M, N. (2012). “An Analysis on How to Improve Tertiary EFL Students’ Listening Skill of English”. Journal of Studies in Education. 2. (2). 205-214

Johnsen, B. H, “Sejarah Pendidikan Kebutuhan Khusus Menuju Inklusi Dalam Kontek Norwegia dan Eropa” Dalam Skjorten, MD. (eds). (2001). Towards

Inclusion, Education-Special Needs Education An Introduction. Oslo:

Unipub Forlag.

Lane, H., Pillard, R. C & Hedberg, U. (2011). The People of The Eye; Deaf

Ethnicity and Ancestry. New York: Oxford University Press.

Lang, H. G. (2003). “Perspectives on the History of Deaf Education”. Dalam Marschark, M., and Spencer, P. E. (eds). (2003). Oxford Handbook Of Deaf

Studies, Language, And Education. New York: Oxford University Press,

Inc.

Lewis, V. (2003). Developmental and Disabilitiy; Second Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing.

MacDonald, M. R. (1995). The Parents Guide Storytelling: How to Make-up New

Stories and Retend Old Favourites. USA: Herper Collins Publisher.

Maggin, D. M., Briesch, A. M., & Chafouleas, S. M. (2012). “An Application of The What Works Clearinghouse Standards for Evaluating Single-Subject Research : Synthesis of the Self-Management Literature Base”. Remedial and Special Education. 34. (1). 44– 58.

Majid, A. A. A. (2001). Mendidik dengan Cerita. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Marschark, M., and Hauser, P. C. (eds). (2008). Deaf Cognition; Foundations and

Outcomes. New York: Oxford University Press.

Musrifoh, T. (2008). “Memilih, Menyalin, dan Menyajikan Cerita untuk Anak Usia Dini”. Tersedia [online] http://www.pestabuku.com diakses pada 26 November 2013.

Nieminen. L and Takkinen, R. (2011). “Evaluative Language in Spoken and Signed Stories Told by A Deaf Child With A Cochlear Implant: Words,

Signs or Paralinguistic Expressions?”. ESUKA – JEFUL. 2. (2). 137-157. Ogden, P. W (2006) .”The Silent Garden: Reaching Out to Your Deaf Children”.

(28)

Paul, P. V., & Whitelaw, G. M. (2011). Hearing And Deafness : An Introduction

For Health And Education Professionals. Canada: Jones and Bartlett

Publishers.

Permanarian, Somad. (2009). Dampak Ketunarunguan. [online]. Tersedia:

http://permanariansomad.blogspot.com/2009/11/dampakketunarunguan.html [3 Januari 2013].

Rogow, S. (2005). “A Developmental Model of Disabilities”. International Journal of Special Education. 20. (2). 132-135.

Sass-Lehrer, M., and Bodner-Johnson, B.(2003). “Early Intervention Current Approaches to Family-Centered Programming”. Dalam Marschark, M., and Spencer, P. E. (eds). (2003). Oxford Handbook Of Deaf Studies, Language,

And Education. New York: Oxford University Press, Inc.

Serrat, O. (2008). Storytelling. USA: Reed Elsevier.

Somantri, T. S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Sunanto, J., Takeuchi, K., & Nakata, H. (2006). Penelitian dengan Subjek

Tunggal. Bndung: UPI Press..

Suparno. (1997). Diktat Komunikasi Total. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta: Prodi Pendidikan Khusus.

Tarigan, H. G. (2008). Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Trelease, J. (2006). Read-Aloud Handbook; Mencerdaskan Anak dengan

Membacakan Cerita Sejak Dini. Jakarta: Hikmah.

van Wingerden, M. R, de Ruyter, D, & Groenendijk, L. (2009). “Jan Waterink (1890-1966), A Dynamic Dutch Pioneer of Special Education”. International Journal of Special Education. 24. (3). 21-28.

Weikle, B., & Hadadian, A. (2003). “Emergent Literacy Practices Among Parents of Preschool Children with and without Disabilities”. International Journal

Gambar

gambar yang ada dalam buku cerita, karena keempat subjek belum bisa

Referensi

Dokumen terkait

Kartini dipingit nganti oleh jodho.. A.Kartini menehi panyengkuyung marang

perencanaan yang dibuat merupakan antisipai dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dalam pengajaran, sehingga tercipta suatuyang memungkinkan terjadinya

Dari pembangunan sistem yang telah dilakukan, Sistem informasi ini dapat mengelola data user, permintaan, data karyawan, Data trainig , Hasil Training , dan Laporan.. Dengan

SEGMEN BERITA REPORTER B Ibnu Hajar, Hijaukan Gunung Kidul Dengan Dakwah. Kini Wisatawan Bisa

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu kepada guru kelas yang terkait dengan permasalahan penelitian tindakan kelas, sehingga diperoleh data yang berkenaan

The teacher takes time during and/or after the various activities to give the students the opportunity to reflect on how they feel about the language learning

Jenis tindakan yang dilakukan adalah menggunakan asesmen portofolio dengan melibatkan orang tua siswa untuk memberikan feedback secara tertulis pada setiap tugas

sendiri atau diikuti satu deretan perkataan manakala Kata Kerja Transitif mesti diikuti objek dan unsur-unsur lain... Contoh