i
! "
"
# !
$ % #
&
' (
( % ##
) % #*
+ , - #.
! % / *
# +( 0 % - *#
* %1 0 *2
2 %
3 %1 1 *
4 0 ! 22
4 ( , ."
# .
ii
8 %1 8 %0 *
%0 6
%0 6
# %0 7
* %0
""
$ ( 1 "#
% 0 "*
4 9 8 :
0 ; , "*
# 0 ( 5 4 9
8 % : 0 ; , *"
* :%0 % 4 0 ! 9
1 ( , % <
( %1 0
; , 2
2 0 ( 5 4
0 ! 9 0 ; ,
26
. 1 5 4 9 8
: 5 4
0 ! 1 ( , ..
%1 .6
4 9 8 :
0 ; , .6
# 0 ( 5 4 9
8 % : 0 ; , 6#
* :%0 % 4 0 ! 9
1 ( , % <
( %1 0
iii
. 1 5 4 9 8
: 5 4
0 ! 1 ( , 77
( #
2
% .
( %0 8 ( 6
$ 8 :%0 % *
( %0 .
< % 7
:%0
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menjelaskan bahwa daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan
masyarakat. Ketentuan tersebut mengisyaratkan sebuah tanggung jawab bagi
pemerintahan daerah untuk menyusun sebuah kebijakan baik yang bersifat umum
maupun khusus dalam bentuk petunjuk teknis operasional. Kebijakan tersebut
akan menjadi pedoman bagi pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan
agenda otonomi daerah, yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
memperbaiki kualitas pelayanan umum serta meningkatkan daya saing daerah
dengan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Otonomi daerah merupakan hak dan kewajiban yang diberikan
pemerintah, dalam kerangka memperbaiki dayaguna dan hasilguna
penyelengaraan pemerintahan. Hal ini selain secara konstitusional dijelaskan
dalam pasal 18 UUD 1945, juga secara teoritis mendapatkan dukungan
kesahihannya. Khusus dalam konteks memperbaiki dayaguna dan hasilguna
penyelenggaraan pemerintahan, maka penyempurnaan manajemen pemerintahan
daerah menjadi prasyarat untuk segera dilakukan oleh pemerintah daerah itu
sendiri. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Osborne dan Gaebler (1992) dalam
bukunya “Reinventing Government” yang menyatakan bahwa “kegagalan utama
bukan terletak pada apa yang dikerjakan pemerintah, melainkan bagaimana cara
pemerintah mengerjakannya“.
Berkenaan dengan pembaharuan aspek-aspek manajemen pemerintahan
daerah, yang pada saat memasuki era reformasi adalah berkaitan dengan
manajemen perencanaan, manajemen sumber daya manusia, manajemen
keuangan, manajemen pelayanan umum, manajemen logistik, manajemen kinerja
serta manajemen kolaborasi dan konflik.
Di samping itu, diperlukan pula sebuah pendekatan manajemen
pemerintahan yang memungkinkan proses hubungan kepemerintahan bisa efektif
pada saat melakukan interaksi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, karena
pemberian otonomi daerah itu sendiri mengandung makna hak dan kewajiban
daerah, baik penyelenggaraan pemerintahan maupun aktivitas sosial
kemasyarakatan lainnya. Hal ini perlu dicermati karena penyelenggaraan otonomi
daerah harus berdiri dalam dua sisi yaitu “kebutuhan efisiensi dan demokratisasi
sebagai respon tuntutan masyarakat memerlukan solidaritas kolektif antara
aparatur dengan sektor masyarakat, swasta maupun kelompok sosial-budaya”.
Hal ini mengandung makna bahwa komunikasi pemerintahan yang
dibangun di antara unsur pemerintahan dan lembaga legislatif daerah sebagai
pencerminan proses demokratisasi di daerah, harus benar-benar diarahkan untuk
mampu mendorong solidaritas kolektif seluruh domain kepemerintahan di daerah.
Hubungan kepemerintahan ini tetap bisa diarahkan pada penciptaan kondisi
terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing
yang kuat dalam proses penumbuhannya.
Pentingnya melakukan pembaharuan pada manajemen perencanaan bagi
pemerintah daerah, menurut pendapat Rondinelli & Cheema (1983:14-16), tidak
lepas dari rasionalitas kehadiran desentralisasi itu sendiri sebagai “cara yang
ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat
sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan kepada pejabat di
daerah yang tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat”.
Sejalan dengan pendapat Rondinelli dan Cheema tersebut, UU. No. 32
Tahun 2004 mewadahinya dalam wujud penegasan pembagian urusan
pemerintahan, yang memungkinkan otonomi daerah mendapatkan sejumlah
kewenangan yang makin terarah bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Hal tersebut dilakukan melalui berbagai pelayanan publik, yang
dalam pelaksanaannya dilakukan penegasan antara peran dari masing-masing
tingkatan pemerintahan.
Sementara itu berkaitan dengan pembaharuan manajemen lainnya, Ryaas
Rasyid dkk. (2002:xvii-xviii) mengetengahkan pandangannya berkaitan dengan
pemberlakuan otonomi daerah yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah
kesenjangan dalam implementasi otonomi daerah pada saat itu, yaitu menyangkut:
(1) Interpretasi dari undang-undang tersebut melalui sejumlah peraturan Keppres
dan Perda; (2) Penciptaan organisasi yang berfungsi sebagai implementor dari
kebijakan tersebut; (3) Dukungan sumber daya yang tersedia guna
Proses implementasi otonomi daerah dalam sebuah perencanaan akan
berkenaan dengan pengaturan pendayagunaan urusan pemerintahan/kewenangan,
besaran kelembagaan, kapasitas kepegawaian daerah, kapasitas keuangan daerah,
manajemen aset, manajemen pelayanan umum dan teknologi informasi serta
hubungan kepemerintahan, baik antar penyelenggara pemerintahan daerah pada
struktur perangkat pemerintah daerah, perangkat daerah dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun interaksi dengan elemen-elemen
sosial kemasyarakatan.
Selama ini proses perencanaan pembangunan di berbagai sektor cenderung
bernuansa ”top-down” sehingga pembangunan di daerah berada dalam
bayang-bayang pemerintah pusat. Munculnya undang-undang otonomi daerah setidaknya
merupakan angin segar dalam pembangunan agar daerah berdaya untuk urusan
tertentu mengatur pembangunan di daerahnya masing-masing.
Pelaksanaan UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam
kerangka otonomi daerah, diperlukan dalam rangka membangun daerah mulai dari
tahapan perencanaan hingga implementasinya dengan mengandalkan semangat
pembangunan yang bersifat partisipatif. Dengan demikian memungkinkan para
penyelenggara pemerintahan daerah beserta stakeholders dan masyarakat yang
ada di daerah dapat menempatkannya sebagai acuan bersama untuk mengarahkan
potensi daerah sesuai target dari tujuan otonomi daerahnya.
Kehadiran perencanaan partisipatif sebagai implementasi otonomi daerah
berdasarkan UU. No. 32 Tahun 2004 yang diarahkan untuk dapat menjadi
daerah tersebut, bukanlah sebuah dokumen yang akan menduplikasi dokumen
perencanaan daerah yang sudah ada, melainkan akan berfungsi sebagai penguat
bagi pelaksanaan agenda-agenda pembangunan daerah, yang secara eksplisit dapat
dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan daerah. Karena proses
perumusannya akan dikonsentrasikan pada pendayagunaan elemen-elemen dasar
yang menopang manajemen pemerintahan daerah. Dengan demikian kehadiran
perencanaan kebijakan umum ini akan menjadi acuan perangkat daerah dalam
mendayagunakan sumber daya daerah sehingga mampu melakukan perannya di
dalam mencapai target-target yang telah tertuang dalam dokumen perencanaan
pembangunan berbasis kewilayahan di lingkungan pemerintahan daerah.
Secara spesifik adanya UU. No. 32 Tahun 2004 memberi ruang gerak yang
lebih besar kepada daerah untuk dapat menyelenggarakan pembangunan secara
mandiri misalnya pelaksanaan kewenangan dalam bidang penyelenggaraan
pendidikan dan kebudayaan, yang selama ini kewenangannya berada pada
pemerintah pusat. Kewenangan yang tersisa pada pemerintah pusat dan provinsi
hanya sebatas besarannya saja (Peraturan Pemerintah/PP. No. 25 Tahun 2000).
Pergeseran struktur kewenangan sistem administrasi pendidikan ini
merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem pengelolaan
pendidikan di kelembagaan satuan pendidikan. Sebab pembangunan pendidikan
yang selama ini didominasi oleh pemerintah pusat terbukti kurang efektif. Hal ini
terlihat dari kenyataan bahwa berbagai program investasi perluasan akses
pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan belum dapat mencapai
Urgensi diberikannya otonomi kepada pemerintahan daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan
penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan
keanekaragaman daerah, demikian juga sistem dan pengelolaan pendidikan bukan
untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten kota. Namun hal tersebut
dilakukan semata-mata bertujuan untuk meningkatkan nilai budaya dan mutu
pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya di daerah.
Dari gambaran tersebut, kabupaten dan kota perlu memilih dan memilah
secara hati-hati berbagai strategi pembangunan pendidikan yang selama ini telah
dilakukan agar kekeliruan kolektif pada masa lalu tidak diulangi oleh kabupaten
dan kota pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, hanya strategi
pembangunan pendidikan yang menunjukkan pengaruh positif yang perlu
dilanjutkan, sedangkan yang tidak banyak memberi manfaat bagi siswa dan
kelembagaan satuan pendidikan serta melahirkan berbagai masalah baru harus
segera ditinggalkan.
Karena itu, strategi pembangunan pendidikan yang efektif mutlak
diperlukan, yaitu strategi pembangunan yang memberdayakan, memberikan
kepercayaan yang lebih luas, dan mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan
kepada kelembagaan satuan pendidikan. Peran pemerintah lebih baik ditekankan
pada pelayanan agar proses pendidikan di kelembagaan satuan pendidikan
berjalan secara efektif dan efisien. Peran ini dapat dilakukan oleh semua jenjang
pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Aspek yang
terjadi di kelembagaan satuan pendidikan; Sebab strategi pembangunan
pendidikan yang tidak fokus pada pemberdayaan kelembagaan satuan pendidikan
pada umumnya tidak memberi hasil yang memuaskan.
Strategi semacam inilah yang diharapkan dapat melahirkan masyarakat
belajar (learning society), karena dengan demikian seluruh jajaran pengelola dan
pelaksana pendidikan dituntut untuk terus belajar. Sehingga para siswa merasa
senang karena kebutuhannya selalu bisa direspons secara baik oleh para pengelola
dan pendidik di kelembagaan satuan pendidikannya. Jika kondisi ini dapat
dijalankan, dipastikan akan terwujud sebuah masyarakat yang diidamkan, yaitu
masyarakat madani (civil society), sebuah masyarakat yang peran-serta dan
kontrol dari setiap anggotanya begitu besar. Pada taraf inilah keberagaman
menjadi suatu kekuatan bagi tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berkaitan dengan perencanaan pembangunan dalam bidang pendidikan di
Propinsi Jawa Barat, saat ini telah dilaksanakan tahapan perencanaan
pembangunan melalui mekanisme MUSRENBANGDA (Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Daerah) dengan melibatkan berbagai elemen dalam
pemerintahan di daerah untuk merumuskan bentuk strategi, program dan kegiatan
pembangunan di daerah dengan mengacu pada semangat otonomi daerah
sebagaimana tertuang dalam UU. No. 32 Tahun 2004. Persoalannya adalah
apakah perencanaan yang dilakukan saat ini sudah efektif dalam meningkatkan
kinerja pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan di Jawa Barat, dilihat
ini dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk melihat keberhasilan pembangunan
sumberdaya manusia di Provinsi Jawa Barat.
Kemudian belum diketahui pula bagaimana model perencanaan
pembangunan bidang pendidikan secara partisipatif tersebut di susun, demikian
pula proses yang berlangsung di dalamnya. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lebih jauh mengenai hal tersebut, sehingga dalam jangka panjang proses
pembangunan di Jawa Barat, khususnya dalam bidang pendidikan mengalami
kemajuan yang lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya.
B. FOKUS PENELITIAN
Provinsi Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk sekitar 42 juta orang
dan kaya akan berbagai sumber daya baik alam maupun buatan, namun sangat
ironis karena memiliki kualitas sumber daya manusia yang tertinggal apabila
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yaitu berada pada urutan
14 apabila diukur dengan menggunakan indikator keberhasilan pembangunan IPM
sebesar 69,3 sedangkan rata-rata lama sekolah penduduknya hanya 7,46 tahun
(Bapeda Jabar, 2006:75-76)
Sebagaimana diketahui Jawa Barat memiliki Visi “Dengan Iman dan
Takwa Sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota pada
Tahun 2010” dengan pencapaian indikator IPM sebesar 80 merupakan tujuan
yang sulit dicapai apabila komitmen pemimpin tidak didukung oleh seluruh
komponen masyarakat
Berdasarkan data yang ada nampak bahwa upaya-upaya yang telah
jauh dari sempurna karena berbagai faktor, di antaranya kemampuan untuk
memobilisasi sumber daya tidak hanya terbatas yang berasal dari pemerintah saja
masih sangat lemah. Dari perspektif perencanaan diperlukan keterbukaan
pemerintah provinsi terhadap akses masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
menentukan arah pembangunan pendidikan di masa depan;
Perencanaan pendidikan yang baik adalah perencanaan pendidikan yang
mampu bekerja secara lebih dekat dengan program-program perencanaan layanan
insani lainnya, seperti program-program perpustakaan, sarana rekreasi, museum,
media masa dan sebagainya. Perencanaan pendidikan juga harus berorientasi
terhadap program siswa yang terstruktur dengan kondisi yang relevan dengan
lingkungan sekitarnya. Mengingat beragamnya peran perencanaan pendidikan
tersebut, maka dalam perencanaan pendidikan dipandang perlu untuk melibatkan
berbagai tingkatan (stakeholders) yang ada di masyarakat, bukan hanya terbatas
pada lingkungan sekolah atau pemerintah.
Dengan melihat posisi strategis perencanaan pendidikan dari keseluruhan
proses pendidikan, dalam hal ini perencanaan pendidikan memberikan kejelasan
arah dalam usaha proses penyelenggaraan pendidikan sehingga manajemen
pendidikan akan dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien, maka fokus
penelitian diarahkan kepada studi efektifitas perencanaan pendidikan.
C. PERTANYAAN PENELITIAN
Merujuk pada fokus penelitian sebagaimana dijelaskan di atas, maka
1. Bagaimana proses perencanaan pendidikan yang saat ini dilaksanakan di
Propinsi Jawa Barat ?
2. Bagaimanakah capaian kinerja hasil perencanaan pendidikan yang selama ini
telah dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat ?
3. Bagaimanakah implementasi model perencanaan partisipatif yang berbasis
kewilayahan dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunan bidang
pendidikan di Propinsi Jawa Barat ?
4. Bagaimanakah capaian kinerja hasil perencanaan pendidikan partisipatif yang
telah dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat ?
5. Bagaimanakah perbandingan hasil perencanaan pendidikan yang saat ini
dilaksanakan, dengan hasil perencanaan berdasarkan model partisipatif
berbasis kewilayahan ini, terutama dikaitkan dengan efektifitas dan efisiensi
capaian kinerja menurut relevansinya dengan capaian Indeks Pendidikan di
Propinsi Jawa Barat ?
6. Bagaimana alternatif model implementasi perencanaan partisipatif berbasis
kewilayahan ini dapat dituangkan menjadi rujukan bagi proses perencanaan
pendidikan di Propinsi Jawa Barat ?
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini ialah menganalisis konsep, proses dan model
perencanaan pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan yang dapat dijadikan
rujukan para pembuat keputusan pemerintah daerah provinsi dalam menentukan
Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka tujuan khusus yang ingin
ditemukan dalam penelitian ini yaitu :
a. Dapat mengidentifikasi gambaran kondisi setiap elemen penopang
penyelenggaraan pendidikan di daerah yang menjadi kewenangan pemerintah
propinsi.
b. Dapat menganalisis sinergitas antara kebijakan umum pembangunan daerah
dengan sistem perencanaan pendidikan pada tingkatan pemerintahan propinsi;
c. Dapat merumuskan disain perencanaan partisipatif yang dapat dijadikan
rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan dengan menggunakan
basis karakteristik kewilayahan yang ada di Propinsi Jawa Barat;
2. Manfaat Penelitian
Paradigma ilmu administrasi pendidikan dewasa ini senantiasa
dikembangkan dengan merujuk pada tugas-tugas pendidikan sebagai bagian dari
tugas pemerintahan. Sehingga dalam tatanan teori dan praktek manajemen
pendidikan sering ditentukan oleh perubahan struktur politik dan ketatanegaraan.
Karena itu, secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk
memperkaya khazanah ilmu administrasi pendidikan, khususnya dalam
menyediakan rujukan untuk membangun suatu paradigma teori yang lebih
memadai, sehingga akan tergambar lebih jelas prospek otonomi penyelenggaraan
Di samping itu, secara praktis dapat memberikan rekomendasi kepada
pemerintah daerah dalam rangka pembinaan dan pengembangan sistem
manajemen pendidikan di daerah, khususnya dalam penyelenggaraan sistem
perencanaan pendidikan baik pada tingkat regional maupun lokal. Karena itu,
dengan menggunakan pendekatan konsep, proses dan model perencanaan yang
partisipatif diharapkan menjadi rujukan dalam:
a. Mobilisasi dan alokasi sumber daya setempat baik dari pemerintah maupun
non pemerintah secara lebih terfokus untuk menyelesaikan berbagai masalah
pendidikan di daerah dengan lebih efektif dan efisien;
b. Menstimulasi perubahan sikap dan persepsi tentang rasa kepemilikan
masyarakat terhadap pendidikan khususnya kelembagaan satuan pendidikan,
rasa tanggung jawab, kemitraan, toleransi dan kekuatan multi-budaya;
c. Mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarakat
terhadap kelembagaan satuan pendidikan, khususnya orang tua dan
masyarakat melalui kebijakan desentralisasi pendidikan;
d. Mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan
untuk melengkapi, meningkatkan dan mengganti peran perkelembagaan
satuan pendidikan, untuk meningkatkan mutu dan relevansi, penyediaan akses
yang lebih besar, serta peningkatan efisiensi manajemen satuan pendidikan;
E. ASUMSI PENELITIAN
Ada dua asumsi dasar yang dibangun dalam pengembangan paradigma keilmuan, khususnya dalam disiplin Ilmu Administrasi Pendidikan. Asumsi
publik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan dalam membangun paradigma praktek administrasi pendidikan yang selama ini berkembang. Sehingga, praktek manajemen pendidikan dianggap sebagai salah satu bagian dari praktek Administrasi Publik.
Asumsi kedua, administrasi publik dianggap sebagai bagian dari
administrasi pendidikan. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan sebagai suatu tugas yang universal. Penyelenggaraan administrasi publik dalam arti pemerintahan dapat saja dianggap merupakan salah satu implementasi sebagian dari tugas administrasi pendidikan yang universal. Asumsi ini dapat saja digunakan dalam pengembangan paradigma keilmuan, mengingat kegagalan-kegagalan dalam praktek manajemen pendidikan yang didasarkan pada asumsi pertama.
Walaupun menyentuh substansi kebijakan publik, administrasi pendidikan tidak dipandang sebagai penelitian kebijakan publik, karena dalam nomenklatur sistem administrasi pendidikan pun kebijakan dan perundang-undangan merupakan perangkat kendali sistem administrasi pendidikan. Karena itu, penulis mencoba mengkaji permasalahan penelitian ini dengan didasarkan pada asumsi yang kedua, dengan harapan pembahasan masalah yang diteliti tidak dianggap ke luar dari konteks pengembangan paradigma keilmuan administrasi pendidikan.
Beranjak dari pemikiran tersebut, maka dikembangkan anggapan dasar yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang diteliti sebagai berikut:
kewenangan dalam bidang penyelenggaraan pendidikan, yaitu batas wewenang, kelembagaan, kurikulum, kepegawaian, pembiayaan, sarana dan prasarana pendidikan;
Anggapan dasar ini didasarkan pada pendapat Rondinellli dan Cheema (1988:13) yang memperkenalkan teori implementasi kebijakan, orientasinya lebih menekankan kepada hubungan pengaruh faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga daerah dibidang perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut Rondinelli dan Cheema, ada dua pendekatan dalam proses implementasi yang sering dikacaukan, yaitu (1) the compliance approach, yang menganggap implementasi itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik
(political leaders). Para administrator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang
tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik tersebut; (2) the political
approach sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung
“administration as an integral part of the policy making process in which politic
are refined, reformulated, or even abandoned in the process of implementing
them.”
“...central planning was not only complex and difficult to implement, but
may also have been inappropriate for promoting equitable growth and self sufficiency among low in corm groups and communicaties within developing societies”.
Kedua, bahwa pembangunan tidak dapat begitu saja direncanakan dari pusat. Pendayagunaan sumber daya alam dan manusia yang berada di daerah hendaknya dibarengi dengan upaya mengurangi kegiatan yang menitikberatkan pada perencanaan secara nasional serta meningkatkan kesadaran tentang perlunya melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan utama daerah, di samping memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Perubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya menyangkut soal teknis dan adminsitratif semata-mata melainkan juga soal politik, yaitu berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari sekelompok pengambil keputusan yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah.
Anggapan dasar ini didasarkan pada pandangan Griffin (1981) dalam Rondinelli dan Cheema (1988:13) menyatakan bahwa:
Development cannot easily be centrally planned. Consequently . . . mobilization of local human and material resources has been accompanied by a reduced emphases on national planning and a growing awareness of the need to devise an administrative structure that would permit regional decentralization, local autonomy in making decision of primary concern to the locality and greater local responsibility for designing and implementing development programs. Such changes, evidently, are not just technical and administrative; they are political. They involve a transfer of power from the groups who dominate the centre to those who have control at the local level.
hendaknya dibarengi dengan upaya mengurangi kegiatan perencanaan secara nasional serta meningkatkan kesadaran tentang perlunya melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan utama daerah, di samping memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Perubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya menyangkut hanya soal teknis dan adminsitratif, melainkan juga berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari pengambil keputusan yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah.
Pernyataan Griffin tersebut menunjukkan pula bahwa persoalan desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan dengan persoalan pemberdayaan
(enpowerment). dalam arti memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk berprakarsa dan mengambil keputusan. Empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab organisasi pemerintahan di daerah untuk dapat menyusun program, memilih alternatif, dan mengambil keputusan dalam mengurus kepentingan daerahnya sendiri. Dengan pemberdayaan, institusi pemerintah daerah dan masyarakat akan mampu memberikan akses bukan hanya terhadap pengambilan keputusan di tingkat daerah saja, bahkan di tingkat pusat.
Anggapan dasar ini didasarkan pada pandangan Obsborne dan Gaebler (1992:12), bahwa: “. . . Hierarchical, centralized bureaucracies designed in the
1930s or 1940s simply do not function well in the rapidly changing, information
rich, knowledge intensive society and economy of the 1990s”.
Digambarkan oleh Obsborne dan Gaebler (1992:13-17), bahwa birokrasi yang hirarkis dan terpusatkan semacam itu ibarat sebuah kapal penumpang raksasa di jaman jet supesonik dalam ukuran besar, tidak praktis, mahal, dan sangat sulit untuk bergerak. Karenanya dalam birokrasi pada era sekarang ini dituntut untuk mentransformasikan semangat kewirausahaan (enterpreneurial
spirit) ke dalam sektor pemerintah.
Perhatian yang semakin besar tentang perlunya perencanaan pembangunan yang bersifat partisipatif di bidang administrasi bukan saja merupakan pertanda tentang diakuinya kelemahan yang terdapat pada perencanaan yang terpusat, melainkan adanya pergeseran kebijakan yang menekankan pada pertumbuhan yang harus dibarengi dengan kebijakan pemerataan. Di samping itu, diakui bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks, yang tidak begitu saja dengan mudah direncanakan dan dikendalikan dari pusat.
Dalam pandangan lainnya, perencanaan partisipatif ini semakin populer di kalangan para perencana pembangunan. Seperti yang diungkapkan dalam Dhaka Ahsania Mission (2001), bahwa:
In contemporary development planning, the participatory trend is becoming very popular and effective and this trend gets much more importance than the traditional one at every stage of a project cycle. Although, initially the participatory approach used to get special importance in matter of need/problem assessment only, it is gradually increasing in depth and width.
them in there own ways, but the true philosophy behind participatory concept should always be kept intact and unchanged.
Di samping itu, bahwa perencanaan partisipatif merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan desentralisasi yang demokratis, karena dapat mengurangi berbagai hambatan yang memisahkan antara masyarakat dengan pemerintahnya, atau dengan kata lain mengubah hubungan dari politik oposisi ke dialog dan pembagian kewenangan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dengan adanya hubungan yang dialogis tersebut, perencanaan partisipatif dapat mendorong masyarakat dan aparat pemerintah (lintas sektoral) secara bersama-sama untuk mencari jalan ke luar dari berbagai masalah umum yang mereka hadapi dalam pembangunan. Perencanaan partisipatif dapat membangun kapasitas lokal untuk mendorong pengelolaan pembangunan daerah. Kebijakan pembangunan dirumuskan dengan dialog, negosiasi, kompromi dan komitmen (Hasan Poerbo, 2006).
Berbagai pendapat yang mendukung dilaksanakannya desentralisasi dengan sistem perencanaan partisipatif, dapat disimpulkan bahwa motivasi dan urgensi sistem perencanaan partisipatif dalam pendidikan adalah: (1) sebagai upaya dalam menopang peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan; (2) sebagai upaya memperlancar pelaksanaan pembangunan pendidikan; (3) meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses demokrasi pembangunan pendidikan pada seluruh lapisan terutama di paling bawah.
F. LOKASI PENELITIAN DAN UNIT ANALISIS
Penelitian dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat, dengan unit analisis adalah
G. KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Untuk merumuskan perencanaan yang bersifat partisipatif berbasis
kewilayahan yang sejalan dengan semangat UU. No. 32 Tahun 2004, diperlukan
analisis yang utuh terhadap kondisi yang melingkupi elemen-elemen
pemerintahan daerah, yang meliputi: (1) kondisi yang ada dan
permasalahannya (existing condition), (2) prospek yang ingin dikembangkan dalam
pelaksanaan rencana (sasaran), (3) kondisi yang diperlukan untuk mencapai
sasaran (asumsi) dan (4) strategi pencapaian sasaran (recomendation).
Permasalahan yang timbul pada saat perencanaan seluruh elemen
penopang pelaksanaan pembangunan pendidikan di lingkungan pemerintahan
propinsi, selanjutnya menjadi unit analisis untuk dilihat implikasi terhadap
efektivitasnya. Dalam kaitan itu, maka secara konseptual penetapan rencana
pembangunan pendidikan di daerah propinsi, dapat digambarkan melalui kerangka
Gambar 1.1
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
Berdasarkan gambar kerangka pikir tersebut, maka dapat dijelaskan
hal-hal sebagai berikut :
1. Perencanaan pembangunan pendidikan di daerah merupakan bagian dari
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ;
2. Perencanaan pembangunan pendidikan daerah disusun berdasarkan
analisis kesenjangan yaitu dengan melihat kondisi yang ada (existing) dan
kondisi yang diinginkan. Untuk menyelesaikan kesenjangan (gap) di !
" "
# $
%
$ &
' %(
$
bidang pendidikan diperlukan upaya yang terencana dengan
mempertimbangkan potensi yang dimiliki;
3. Dalam rangka mengadaptasi perkembangan lingkungan strategis seperti
adanya isu: Good Governance, Reinventing Government, strategi out
sourching dan perkembangan teknologi informasi maka proses
perencanaan sesuai dengan SPPN dilaksanakan secara partisipatif,
sehingga diharapkan akan menghasilkan perencanaan yang lebih baik ;
4. Sejalan dengan pelaksanaan SPPN, dalam rangka mengadaptasi
perkembangan lingkungan strategis Propinsi Jawa Barat mengembangkan
kreativitas dan inisiatif dengan membuat dan mengimplementasi model
alternatif perencanaan pembangunan pendidikan partisipatif;
5. Terhadap implementasi model perencanaan pembangunan pendidikan
partisipatif dilakukan evaluasi melalui pengkajian data dan analisis
terhadap efektivitas model baik dari sisi proses maupun hasil
perencanaannya itu sendiri;
6. Dengan membandingkan hasil perencanaan dari model yang berbeda,
maka direkomendasikan model perencanaan pembangunan pendidikan di
daerah yang paling cocok untuk dilaksanakan.
Model tersebut bukan merupakan model pilihan terakhir, karena
perkembangan lingkungan strategis akan menjadi feedback bagi penyempurnaan
92 BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN
Metode untuk penyusunan perencanaan partisipatif berbasis
kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian
deskriptif-kualitatif, yaitu suatu metode yang mengamati, menganalisis dan
menggambarkan fenomena yang terjadi dalam perumusan kebijakan otonomi
daerah yang dituangkan dalam bentuk perencanaan strategis pembangunan
pendidikan di tingkat Propinsi Jawa Barat. Kemudian mengeksplorasi data
tentang penyelenggaraan setiap elemen penopang penyelenggaraan pendidikan,
yang meliputi bidang kelembagaan, kurikulum, ketenagaan, sarana dan
prasarana, pembiayaan, pendayagunaan teknologi informasi, dan akuntabilitas
publik baik secara internal maupun dengan pihak stakeholders.
Pada intinya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan fakta
implementasi otonomi daerah dalam bidang pendidikan di lapangan sebagaimana
adanya. Kemudian melakukan deskripsi dan analisis atas konsep, proses dan
model perencanaan pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan dalam lingkup
Propinsi Jawa Barat. Dengan demikian, metode penelitian yang paling dianggap
relevan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan analisis penelitian
naturalistik-kualitatif (Nasution, 1988). Metode ini dipilih untuk mendalami setiap
permasalahan yang diteliti sehingga pemecahannya sesuai dengan kaidah-kaidah
keilmuan dan akhirnya dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi maksud
penyelenggaraan pendidikan di daerah bukan hanya sekedar realitas sosial yang
bersifat kontekstual, maka teknik penelitian yang dipandang relevan dengan
konteks ini ialah teknik pendalaman kajian. Penggunaan teknik ini, menurut
Nasution (1985:14), memiliki kelenturan untuk menyesuaikan dengan hal-hal
yang bersifat ganda, dan lebih peka terhadap penajaman nilai yang ditemui.
B. SUMBER DATA DAN SAMPEL PENELITIAN
Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif didasarkan pada tujuan
penelitian atau purposive sampling, artinya besarnya sampel disesuaikan dengan
tujuan penelitian. Demikian juga dengan anggota sampel bersifat emergence
sampling, tidak tetap, terus mengalami perubahan selama penelitian, sampai
terpenuhinya data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaaan penelitian.
Sumber data penelitian ini berkenaan dengan eksistensi Pemerintah
Propinsi yang dipandang sebagai total sistem, dan mempunyai keterkaitan dengan
sistem lain. Sebagai total sistem, Pemerintah Propinsi dalam penyelenggaraan
pemerintahannya mempunyai perangkat kendali, perangkat operasional, dan
perangkat pendukung.
Berdasarkan pada aspek-aspek kelembagaan Pemerintah Propinsi, maka
sumber data penelitian dikelompokkan: Pertama, perangkat perundang-undangan
yang menjadi penentu arah pelaksanaan pendidikan di daerah yang sesuai dengan
batas dan ruang lingkup kewenangannya; Kedua, perangkat proses manajemen
implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan, pendayagunaan sumber
daya manusia, material, teknologi, dan dana, serta kepemimpinan pemerintahan;
pendidikan yang berkaitan dengan unsur lokasi, situasi, konteks, keadaan, waktu,
gejala-gejala, peristiwa-peristiwa, benda-benda yang digunakan yang diwujudkan
dalam rumusan kurikulum pendidikan.
Data tersebut, selanjutnya akan menjadi bahan analisis yang diperlukan
bagi penyusunan dan penetapan konsep, proses dan model perencanaan
pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan yang relevan dengan kehendak
UU. No.32 Tahun 2004 di Propinsi Jawa Barat.
Penentuan sumber data yang dijadikan unit analisis dalam penelitian ini
merujuk prosedur dan teknik sebagaimana disarankan dalam paradigma penelitian
kualitatif, yaitu dengan menggunakan teknik snowball sampling.
Unit analisis bagi kepentingan penyusunan kebijakan umum implementasi
otonomi daerah ini ialah para penyelenggara pemerintahan daerah serta
stakeholders yang senantiasa berkaitan dan berkepentingan dengan implementasi
otonomi daerah di Jawa Barat.
Secara terperinci, unit analisis ini meliputi sumber data primer dan studi
terhadap sumber data sekunder. Sumber data primer terdiri dari:
(1) Unsur Kepala Daerah dan DPRD;
(2) Unsur Kepala Dinas, Badan dan Kantor (SKPD) yang membidangi
urusan pendidikan;
(3) Unsur Pelaku Usaha dan Masyarakat, termasuk di dalamnya unsur
sekolah selaku obyek pengamatan dalam penelitian ini (Stakeholders);
(1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN)
(2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004)
(3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 126 Tahun 2004)
(4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara RI Nomor 78 Tahun 2003)
(5) Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 209, Tambahan lembaran Negara nomor 4027).
(6) Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah.
(7) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2003 tentang
Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat
(8) Peraturan Derah Propinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat
(9) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Rencana Strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat Tahun 2003–2008. (10) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Propinsi Jawa Barat
(11) Peraturan Gubernur Propinsi Jawa Barat Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah.
(12) Kesepakatan Arah Kebijakan Umum APBD Tahun Anggaran 2006
Antara Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan DPRD Propinsi Jawa Barat.
(13) Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Tahun 2006
(14) Perencanaan Umum Pembangunan Makro Pendidikan Propinsi Jawa
Barat Tahun 2006
(15) Program Kerja Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Barat Tahun 2006
C. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA
1. Teknik Pengumpulan Data
Keberhasilan penelitian naturalistik sangat ditentukan oleh ketelitian,
kelengkapan catatan lapangan (field note) yang disusun peneliti. Catatan lapangan
disusun berdasarkan hasil pengamatan (observation), wawancara secara
mendalam (deep interview), dan studi dokumenter (Bogdan dan Biklen, 1982:73).
Sesuai tujuan dan metode penelitian yang dipilih, maka teknik pengumpul
data yang digunakan difokuskan pada telaah dokumen, observasi partisipasi aktif,
dan wawancara secara terbuka.
a. Studi Dokumen. Teknik ini digunakan untuk memperoleh sejumlah informasi
berkenaan dengan benda-benda, alat atau fasilitas rumusan kebijakan dan
perencanaan tentang penyelenggaraan pendidikan pada tingkat pemerintahan
propinsi, yang diupayakan untuk memperoleh data, mengapa dokumen
tersebut dibuat ?, dan bagaimana peran dokumen perencanaan itu di
b. Teknik Observasi Partisipasi Aktif. Teknik ini digunakan untuk memperoleh
sejumlah data tentang konteks nyata proses penyusunan rencana pembangunan
pendidikan di daerah. Aspek-aspek yang diobservasi mencakup perilaku
aparatur perencana pendidikan, situasi dan tempat terjadinya proses
penyusunan rencana pembangunan pendidikan serta elemen-elemen
masyarakat yang terkait dalam proses perencanaan pembangunan bidang
pendidikan di daerah..
c. Teknik Wawancara Terbuka. Teknik Wawancara Terbuka menggunakan
sejumlah daftar pertanyaan yang perlu dijawab secara tertulis maupun lisan.
Teknik ini untuk memperoleh sejumlah informasi dari pikiran, perasaan,
pengetahuan dari aparat perencana, pelaksana dan pemakai pendidikan di
daerah.
2. Alat Pengumpul Data
Nasution (1985:55-56) mengemukakan bahwa manusia sebagai instrumen
utama dalam penelitian kualitatif dipandang lebih cermat dengan ciri-ciri sebagai
berikut: (1) manusia sebagai alat, peka dan dapat bereaksi terhadap segala
stimulans dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak
bermakna bagi peneliti, (2) manusia sebagai alat, dapat menyesuaikan diri
terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data
sekaligus, (3) setiap situasi merupakan suatu keseluruhan, (4) suatu situasi yang
melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan
semata-mata, (5) peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang
berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya
sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, atau perbaikan; (7)
manusia sebagai instrumen, responden yang aneh, yang menyimpang justru diberi
perhatian.
Namun demikian, untuk mendukung proses pengumpulan dan pengolahan
data digunakan pula instrumen tambahan, seperti:
a. Kisi-kisi Instrumen Penelitian, yang digunakan sebagai panduan untuk
membuat pemetaan terhadap permasalahan penelitian, data yang diperlukan,
sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Lampiran 1);
b. Format Telaah Dokumen, digunakan sebagai catatan lapangan hasil telaahan
terhadap dokumen-dokumen yang menjadi sumber data, yang berkenaan
dengan aspek-aspek yang ditelaah/dipelajari, jenis dokumen, deskripsi data
dan penafsiran data (Lampiran 2);
c. Format Pedoman Wawancara, digunakan sebagai catatan lapangan untuk
melaksanakan wawancara berisi sejumlah daftar pertanyaan, responden,
jawaban responden, dan konfirmasi (Lampiran 3);
d. Format Pedoman Observasi, digunakan sebagai catatan lapangan untuk
merekam data yang berisi aspek-aspek yang diamati/diobservasi, situasi dan
kondisi, deskripsi data, dan tafsiran data (Lampiran 4);
e. Format Analisis dan Penafsiran Data, digunakan sebagai panduan untuk
menganalisis data berdasarkan hasil dari catatan lapangan yang bersumber
f. Format Rangkuman Data, digunakan sebagai panduan untuk
mengelompokkan dan mengkatagorisasi data berdasarkan hasil analisis
terhadap problematik yang diteliti berdasarkan aspek-aspek prioritas masalah,
tujuan, sasaran, asumsi dan strategi pemecahan masalah (Lampiran 6).
3. Proses Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif tidak ada pola atau prosedur pengumpulan data
yang pasti. Nasution (1988:37) mengatakan "masing-masing peneliti dapat
memberikan sejumlah petunjuk dan saran berdasarkan pengalaman
masing-masing". Namun Lincoln dan Guba (1985:39-44) memberikan prosedur
pelaksanaan pengumpulan data berikut ini:
Pertama, tahap orientasi, yang dilaksanakan untuk memahami secara lebih
mendalam masalah, lokasi, kondisi responden, dan hal-hal yang mendukung dan
menghambat pelaksanaan penelitian. Hasilnya dipergunakan sebagai referensi
untuk mencari dan menyempurnakan tema-tema penting untuk dijadikan fokus
penelitian. Kedua, tahap penelitian sesungguhnya, yang dilaksanakan dengan
mempergunakan teknik pengumpulan data sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.
Namun demikian, dari kedua tahap tersebut penulis berkesimpulan bahwa
secara umum penelitian dapat dilakukan dengan empat tahap, yaitu tahap
orientasi, eksplorasi, analisis data, dan laporan penelitian. Untuk lebih jelasnya
STUDI PENDAHULUAN
OBSERVASI WAWANCARA DOKUMENTASI
PENYUSUNAN DESAIN PENELITIAN
PENGUMPULAN DATA
OBSERVASI WAWANCARA DOKUMENTASI KONSEP TEORI
ANALISIS DATA
VERIFIKASI & VALIDASI
PEMBAHASAN DAN PEMAKNAAN
PENYUSUNAN LAPORAN
TAHAP I : ORIENTASI
TAHAP II : EKSPLORASI
TAHAP III : ANALISIS DATA
TAHAP IV : PELAPORAN DEPENDABILITY
MEMBER CHECKING
CREDIBILITY PROLONGED ENGAGEMENT
TRIANGULATION TRANSFERABILITY
Gambar 3.1
PROSES PENELITIAN
D. TEKNIK ANALISIS DATA
Pengolahan data dilakukan secara terus menerus sejak penulis memahami
data yang diperlukan sampai seluruh data terkumpul. Setiap perolehan data dari
Catatan Lapangan kemudian direduksi, dikelompokkan, dideskripsikan, dianalisis,
[image:33.595.114.508.102.630.2](1) Penelaahan dan reduksi data. Melakukan penelaahan data hasil observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi dari berbagai sumber data langsung di
lapangan. Terhadap data tersebut kemudian ditelaah, dibaca, dipahami
khususnya makna dalam konteks masalah yang sedang diteliti, selanjutnya
direduksi dengan membuat abstraksinya.
(2) Unitisasi data. Melakukan penyusunan data dalam satuan-satuan (unit)
masalah, atau kodifikasi data, sehingga data mentah dirubah secara
sistematis menjadi unit-unit yang dapat diuraikan sesuai dengan ciri-ciri
khasnya. Kemudian membuat batasan dan memilah-milah serta
mengidentifikasikan masing-masing unit untuk analisis selanjutnya.
(3) Kategorisasi. Adalah pengelompokan atau tumpukan data berdasarkan
pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu.
(4) Penafsiran data. Pemberian makna atau tafsiran terhadap data yang telah
dikategorisasikan melalui deskripsi makna analitis tentang unit dan kategori
serta hubungan antara unit setiap kategori.
Analisis selanjutnya dilakukan pendalaman kajian melalui tahap-tahap:
Pertama, tahap Penyajian Informasi, merupakan tahap menggambarkan data yang
disajikan dalam bentuk deskripsi terintegrasi dari Catatan Lapangan dan Lembar
Rangkuman; Kedua, tahap Analisis Historis Komparatif untuk membandingkan 2
(dua) model yang berbeda yang merupakan proses analisis keseluruhan data dari
E. KEABSAHAN DATA
Untuk memperoleh keabsahan data dalam penelitian ini dipergunakan
kriteria:
1. Credibility, dipergunakan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran hasil
penelitian dapat mengungkapkan realitas yang sesungguhnya.
2. Prolonged engagement, untuk mengatasi distorsi keberadaan peneliti di
lapangan.
3. Triangulation, untuk menguji kebenaran hasil temuan penelitian melalui
sumber informasi yang beragam dengan membandingkan data hasil observasi
dan wawancara dengan responden yang terkait.
4. Member checking, melalui proses konfirmasi dengan meminta pandangan
responden tentang hasil penelitian baik secara formal maupun informal.
5. Transferability, untuk menjamin bahwa hasil penelitian yang diperoleh dapat
diterapkan dalam konteks situasi yang lain.
6. Dependability, untuk mengukur dependabilitas penelitian ini peneliti
melakukan: (1) Menentukan langkah-langkah penelitian secara sistematis; (2)
Melakukan upaya konsistensi instrumen dengan cara membuat catatan
lapangan hasil observasi, wawancara, dan analisis dokumen; (3)
Mengkategorikan susunan data berdasarkan hasil catatan lapangan yang dibuat
sesuai dengan kerangka masalah penelitian; (4) Membuat laporan sementara
hasil penelitian, disertai dengan interpretasi dan analisis secara bertahap sesuai
182 BAB V
MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN PARTISIPATIF BERBASIS KEWILAYAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PENDIDIKAN DALAM MENUNJANG
PENCAPAIAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROPINSI JAWA BARAT
A. KARAKTERISTIK
Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK), merupakan representasi proses perencanaan pendidikan yang melibatkan seluruh
kepentingan (stakeholders), sebagai alternatif penyempurnaan terhadap model perencanaan yang sudah ada pada saat ini dilengkapi dengan penggunaan Proses
Hirarki Analitik (PHA) dalam penentuan prioritas berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan. Partisipatif, masyarakat dan sektor swasta diikut-sertakan di dalam persiapan, perencanaan, pelaksanaan pembangunan pendidikan maupun di dalam
pengoperasian dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunannya. Selain itu rencana, program, dan informasi pembangunan ditempatkan di dalam domain publik
(disebar-luaskan). Selanjutnya masyarakat dan sektor swasta diberi kesempatan untuk ikut di dalam pendanaan pembangunan dan dimungkinkan adanya
komersialisasi terhadap fasilitas publik yang tentunya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Yang penting juga adalah bahwa masyarakat diikut-sertakan di dalam pengambilan keputusan pada saat pemilihan prioritas. Inisiatif
Karena hal baru/perubahan kearah menjadi lebih baik sehingga untuk dapat
diimplementasikan perlu disiapkan strategi dan agenda komunikasi yang efektif khususnya terhadap pihak internal Pemerintah Propinsi Jawa Barat.
Beberapa penjelasan berkaitan dengan Model Perencanaan Partisipatif
Berbasis Kewilayahan ini adalah sebagai berikut:
1. Legal dan etikal, dalam hal ini perencanaan dan penganggaran pembangunan
pendidikan dilakukan dengan mengacu pada semua peraturan dan norma yang berlaku, menjunjung tinggi etika dan tata nilai masyarakat, tidak memberi
peluang bagi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan serta implementasi rencana pembangunan melalui tata administrasi negara.
2. Berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu rencana disiapkan
dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, dalam hal ini masyarakat tahu dan sepakat terhadap apa yang akan dibangun ditinjau dari segi lokasi maupun
waktu pembangunan.
3. Interaktif dan dinamis, fokus pada proses perencanaan, bukan pada rencana,
rencana pembangunan harus mencerminkan kepentingan dan tata nilai dari semua pihak yang terkait, proses perencanaan pembangunan berlangsung
secara berkelanjutan, obyektivitas yang rasional dalam pembangunan perlu dipenuhi dengan penerpapan konsep akseptabilitas yang tercermin di dalam
subyektivitas yang konsisten. Kondisi masa lampau dan masa kini serta prediksi tentang masa depan akan digunakan sebagai masukan untuk merancang masa depan dan mencari jalan untuk mewujudkannya. Dan yang
4. Integratif sinergis, Berkelanjutan, pembangunan terdahulu menjadi persiapan
bagi pembangunan lain di masa depan, demokratis, perencanaan pembangunan berlangsung secara demokratis.
5. Holistik, tuntas, komprehensif, dan utuh, simultan, perencanaan pembangunan
pendidikan perlu dijalankan secara bersamaan dan menyeluruh pada semua tingkatan; interdependen, perencanaan pembangunan pendidikan dilakukan
dengan memperhatikan interaksi yang terjadi di antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6. Wawasan global, tindakan lokal, mau belajar dari pengalaman bangsa lain,
bekerja dengan standar internasional, adaptif yaitu pandai memilih untuk ditiru hal-hal yang terbaik dari bangsa lain, untuk kemudian disesuaikan
dengan kondisi lokal sebelum diterapkan serta peka terhadap kondisi lokal.
B. TUJUAN
Tujuan pemodelan Sistem Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis
Kewilayahan (PPPBK) adalah untuk memperbaiki kinerja perencanaan
pendidikan di Propinsi Jawa Barat yang secara langsung akan meningkatkan
pencapaian target pembangunan di bidang pendidikan di Propinsi Jawa Barat.
Dari sisi akademik, model berguna untuk menjelaskan fenomena atau
obyek-obyek; dalam hal ini model berfungsi sebagai pengganti teori, namun bila
teorinya sudah ada maka model dipakai sebagai konfirmasi atau koreksi terhadap
teori tersebut. Dari sisi manajerial, model berfungsi sebagai alat pengambil
C. ASUMSI
Untuk mewujudkan visi dan misi Jawa Barat Tahun 2005- 2025 khususnya
dalam bidang pendidikan melalui perencanaan pendidikan partisipatif yang
berbasis kewilayahan, dibutuhkan prasyarat:
1. Pembagian urusan pendidikan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota
sudah sangat jelas sehingga bentuk organisasi pengelola pendidikan,
distribusi kuantitas dan kualitas SDM pengelola pendidikan dan
penganggaran merupakan implikasi dari kewenangan tersebut.
2. Propinsi merancang dan melaksanakan kegiatan berfokus kepada urusan
yang menjadi tanggung jawabnya terutama pertimbangan skala urusan, 3. Model menjadi acuan bersama yang disepakati oleh berbagai pihak terutama
kesepakatan antara Pemerintah Propinsi dengan DPRD Propinsi Jawa Barat.
4. Keselarasan visi dan misi (alignment vision and mission) antara propinsi dan
kabupaten/kota;
5. Komitmen bersama antara propinsi dan kabupaten/kota melalui
kepemimpinan Gubernur dan Bupati/Walikota, melalui prinsip-prinsip:
kebersamaan (togetherness), kemandirian (selfhelp), dan keberlanjutan
(sustainability). Ketiga prinsip tersebut diwujudkan melalui pendekatan
secara komprehensif yaitu: peningkatan modal sosial (social capital),
pemberdayaan (empowerment), tata kelola kepemerintahan (good
governance), membangun saling kepercayaan (trust each others), dan
D. KOMPONEN MODEL DAN SALING KETERKAITANNYA
Komponen sistem berperan sesuai dengan fungsinya (Pemimpin dan yang
dipimpin, pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah, perencana, pelaksana,
pengendali dsb). Spesialisasi sesuai dengan bidangnya secara profesional sesuai
bidang tugasnya. Pemerintah secara bertahap kembali ke core competency-nya
yaitu regulator, fasilitator sehingga dituntut kehandalannya.
Untuk menjamin berjalannya model perencanaan sampai dengan
penyusunan anggaran dibuat aturan dan kode etik yang jelas sampai petunjuk
teknisnya, hindari toleransi terhadap pelangaran aturan,
keistimewaan-keistimewaan dijelaskankan secara terbuka/transparan atau menjadi fasilitas
karena jabatan kalau memang diperlukan.
Mekanisme/prosedur penyusunan perencanaan sampai penyusunan
program yang didahului oleh penyusunan evaluasi diri, dapat menggunakan model
Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan sebagaimana gambar
1
8
[image:41.842.106.727.112.488.2]7
Gambar 5.1
Penjelasan Model
1. Umum :
Untuk mampu mengantisipasi persaingan global dan bervariasinya kondisi
serta karakteristik wilayah/daerah, Pemerintah Indonesia memahami pentingnya
untuk memberikan hak dan kewenangan berjenjang kepada pemerintah daerah
dalam mengelola daerah secara lebih mandiri melalui pemberian otonomi daerah.
Lebih jauh, otonomi daerah merupakan salah satu faktor yang sangat penting
untuk penyelenggaraan suatu organisasi pemerintahan yang sehat, efektif, efisien,
dan berbasis pada output dan outcomes serta mampu melakukan kompetisi.
Dalam keleluasaan kewenangan tersebut, pemerintah daerah perlu
menyikapinya dengan merancang dan melaksanakan program yang berkualitas
dengan akuntabilitas yang tinggi, karena keberlanjutan dari suatu organisasi akan
sangat bergantung pada kualitas layanan dari organisasi itu kepada
stakeholders-nya dan akuntabilitas dari organisasi dalam menggunakan dana publik. Hal ini
sejalan dengan perubahan lingkungan strategis yang menuntut adanya perbaikan
bagi seluruh organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah untuk dapat
memahami dan mengimplementasikan konsep Good Governance
(kepemerintahan yang baik), Reinventing Government (mewirausahakan
birokrasi) dan Community based Development (pembangunan berbasis
masyarakat) yang bermuara kepada peningkatan etika, efektivitas, pembelajaran
dan penguatan tata kelola dan demokrasi khususnya di pemerintahan dalam
Untuk hal tersebut perlu dibangun budaya yang sesuai dengan kondisi saat
ini secara bertahap, melalui perbaikan proses dengan mengimplementasikan
Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK)
sebagai refleksi dan tanggapan pemerintah daerah dalam mengadaptasi perubahan
lingkungan strategis dan mengantisipasi masa depan.
Tahap awal pelaksanaan PPPBK, kepada setiap kabupaten/kota pengusul
diwajibkan untuk melakukan evaluasi diri sebagai dasar guna menyusun
program ”pengobatan” terhadap masalah yang dihadapi secara sistematis, dengan
didukung oleh studi kelayakan.
PPPBK diharapkan dapat membina kerjasama antar SKPD untuk
memenuhi tuntutan memecahkan masalah secara komprehensif, sekaligus
diharapkan dapat menggairahkan semangat kabupaten/kota serta SKPD untuk
berkompetisi secara sehat dengan menunjukkan keunggulan kinerjanya.
Apabila pemerintah kabupaten/kota telah terbiasa menyusun program
berbasis evaluasi dirinya, maka output yang diharapkan adalah pemerintah daerah
dapat menyusun rencana program kerja dengan fisibilitas yang tinggi dengan
tujuan akhirnya adalah peningkatan IPM daerah guna mendukung pencapaian
IPM 80 Jawa Barat pada tahun 2015. Budaya tersebut merupakan fondasi dalam
membentuk budaya dan semangat baru dari pemerintah kabupaten/kota untuk
menjalankan program secara bertanggungjawab serta akuntabilitas tinggi.
Kemampuan melakukan evaluasi diri serta menyusun rencana kerja dan
Kabupaten/Kota untuk menyusun Rencana Strategis Jangka Panjang dengan
fisibilitas tinggi dalam menghadapi tantangan global.
Setelah budaya tersebut tumbuh, SKPD/pemerintah daerah diharapkan
dapat menjalankan program-program dengan menekankan pada pencapaian
kualitas yang tinggi.
2. Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK)
1) Merupakan model perencanaan untuk bantuan pendanaan bagi program
dan kegiatan yang berdampak kepada akselerasi peningkatan IPM Jawa
Barat khususnya Indeks Pendidikan, secara berkelanjutan karena
melibatkan kepentingan berbagai stakeholders yang relevan.
2) Merupakan model untuk menseleksi program yang berbasis aktivitas
(activity-based) sesuai dengan kebutuhan nyata dengan indikator
keberhasilan terukur, inovatif, dan dikelola dengan akuntabilitas tinggi.
3) Model interaktif untuk menyusun program dan dilaksanakan secara
bersama-sama antara pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, swasta, dan
komunitas perguruan tinggi setempat.
4) Sumber pendanaan bersifat on top diluar pendanaan bantuan reguler dari
Pemerintah Propinsi Jawa Barat, yang dikompetisikan melalui penilaian
proposal pengusul, berbasis keunggulan kinerja kabupaten/kota dan
memenuhi kriteria seleksi
3. Proposal disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bersama-sama dengan
pendidikan tinggi setempat sesuai dengan tahapan seleksi dan diusulkan oleh
Bupati/Walikota kepada Gubernur.
4. Pengusul proposal untuk program diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kluster
berbasis pada:
1) Pencapaian IPM oleh kabupaten/kota pada tahun dasar (40%)
2) Peningkatan IPM yang dicapai oleh kabupaten/kota selama 5 tahun
terakhir (30%)
3) Pencapaian IPM kabupaten/kota saat ini terhadap target IPM
kabupaten/kota yang direncanakan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat
(30%)
5. Kluster adalah pengelompokkan wilayah kabupaten/kota yang berkompetisi
berdasarkan parameter tertentu. Kegunaan kluster adalah untuk
menyandingkan suatu wilayah kabupaten/kota pada posisi yang seimbang dan
adil dalam berkompetisi dengan wilayah kabupaten/kota lainnya.
Masing-masing kluster mempunyai misi pendanaan tertentu yang tidak sama, sesuai
dengan tingkat pencapaian IPM-nya. Masing-masing pendanaan dikemas
dalam bentuk Program Pendanaan 1 (untuk Kluster 1), PP2 (untuk Kluster 2),
dan PP3 (untuk Kluster 3).
6. Tahap seleksi terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu:
1) Tahap Seleksi Proposal Evaluasi Diri (PED)
2) Tahap Seleksi Proposal Komprehensif (PP1/2/3)
3) Tahap Konfirmasi melalui Kunjungan Lapangan (KKL)
5) Tahap Costing
7. Pada setiap tahap seleksi dilakukan penilaian kualitas usulan sesuai dengan
dokumen proposal yang disampaikan oleh reviewer, berdasarkan kriteria pada
masing-masing tahapan yang sudah ditentukan. Hasil seleksi pada setiap
tahapan digunakan sebagai dasar rekomendasi calon pemenang program yang
diajukan Tim Reviewer kepada Gubernur. Tim Reviewer bersama Tim Satlak
Propinsi pada setiap akhir tahapan melakukan evaluasi untuk bahan perbaikan
apabila diperlikan, sehingga menjamin berjalannya tahapan berikutnya sesuai
dengan rencana dan melaporkan kepada Gubernur
8. Tim Reviewer dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur dengan struktur
organisasi terdiri dari:
Pimpinan terdiri dari Pengarah/Narasumber Utama, Ketua, Wakil Ketua, dan
dua orang Sekretaris Tim Reviewer merangkap sebagai anggota.
Pimpinan dan Anggota Tim Reviewer diangkat dan diberhentikan melalui
Keputusan Gubernur. Dalam pelaksanaan tugasnya, Pimpinan dan Anggota
Tim Reviewer mengacu kepada Kode Etik Tim Reviewer dan peraturan
lainnya yang berlaku untuk PPK dan memperoleh imbalan berbasis kinerja.
Tim Reviewer bertugas untuk melaksanakan pendampingan, monitoring dan
evaluasi Pasca Program selama 2 (dua) tahun berturut-turut
Anggota Tim Reviewer terdiri atas unsur masyarakat profesional, unsur
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan unsur perguruan tinggi yang peduli
Dalam melaksanakan tugasnya, Pimpinan Tim Reviewer dapat meminta
bantuan dari berbagai pihak yang relevan dengan Program sebagai
narasumber
9. Satuan Pelaksana (Satlak) Program Propinsi merupakan aparatur pemerintah
propinsi yang bertugas melaksanaan perencanaan dan penyelenggaraan
administrasi Program pada tingkat propinsi, penyelenggaraan sosialisasi,
layanan konsultasi dan pendampingan terhadap para pelaksana program,
kompilasi data serta menyusun perencanaan dan pelaksanaan monitoring serta
evaluasi program.
E. STRATEGI IMPLEMENTASI
Implementasi Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif merupakan
bagian dari pengelolaan perubahan baik pada lingkungan internal maupun
eksternal, sehingga perlu proses komunikasi yang efektif disertai dengan
pencitraan.
Setiap kali sebuah perubahan mulai digulirkan, selalu saja muncul dua
pihak: mereka yang ketakutan (takut kehilangan jabatan, kehilangan
kenikmatan-kenikmatan) terutama di pihak internal dan mereka yang menaruh banyak harapan.
Ekspektasi berubah warna menjadi hasrat harapan antara lain karena
proses komunikasi yang dibumbui oleh pencitraan. Harapan sesungguhnya adalah
modal yang bagus untuk merangsang perubahan, kalau tujuannya melibatkan
mereka sebagai salah seorang aktor dalam perubahan itu sendiri. Tetapi akan
Oleh karena itu, meski sebagian besar orang memiliki harapan yang
realistis, masih banyak orang yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Ekspektasi
dan harapan akan menimbulkan kekecewaan atau kepuasan manakala ia bertemu
dengan realitas.
Pemimpin perubahan tentu tidak dapat memenuhi harapan semua orang.
Selain karena harapan setiap orang berbeda-beda, kadang-kadang ditemui
sejumlah orang yang datang dengan harapan yang berlebihan dan tidak realistis.
Tapi manusia umumnya tidak semata-mata menilai apa yang ia terima, melainkan
juga upaya-upaya yang telah dilakukan para pemimpin perubahan,
pendekatan-pendekatannya, serta pengorbanan-pengorbanan yang diberikan.
Oleh karena itu, pemimpin perubahan bukan hanya perlu
mengomunikasikan hasil dari perubahan itu sendiri, melainkan juga upaya-upaya
yang sedang dilakukan serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Bahkan dalam
banyak hal, para pengikut jauh lebih menghargai upaya-upaya yang telah
dilakukan daripada hasilnya itu sendiri. Dengan kata lain, manusia mampu dan
rela menyesuaikan (melakukan adjustment) terhadap harapan-harapannya
sehingga lebih siap menerima realitas yang berada di bawah harapannya semula,
200
dalam Pembobotan Proyek APBD Tingkat I Jawa Barat Tahun Anggaran 1996/1997. Tesis Program Magister Teknik dan Manajemen Industri
Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung: tidak diterbitkan.
Arifin, Anwar. (2003). Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam
Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI.
Azis, Iwan Jaya editor Djojodipuro, Marsudi. (1994). Ilmu Ekonomi dan
Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Bahua, Mohamad Ikbal. (2007). Metode Perencanaan Partisipatif Dalam
Pembangunan Masyarakat. 14 Desember 2007. Dapat Diakses Melalui
Situs: Http://Eeqbal.Blogspot.Com/2007/12/Metode-Perencanaan-Partisipatif-Dalam.Html
Banghart, Frank W. dan Trull, Albert. (1973). Educational Planing. London: The Macmillan Company New York, Collier-Macmillan Limited.
Bapeda Propinsi Jawa Barat. (2006). Penyusunan Data Basis Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2006.
Bekerjasama dengan BPS Jawa Barat.
Bapeda Propinsi Jawa Barat. (2008). Draft Rencana Kerja Pembangunan Daerah
(RKPD) Provinsi Jawa Barat 2009.
BKKBN. (2008). Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dapat Diakses Melalui www.bkkbn.go.id/bali/download.php?type=d&datid=20
BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (2008), Laporan Kegiatan Monitoring dan
Evaluasi (Monev) PPK-IPM 2007, NNoommoorr :: LLAAPP -- 22778844//PPWW1100//33//2200008 8
Cahyono, B.Y. (2006). Metode Pendekatan Sosial Dalam Pembangunan
Partisipatif. lppm.petra.ac.id/ppm/COP/download. Di akses, 2 November
2007.
Dikmenum. (2008). MBS dalam Praktek. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Jalan R.S. Fatmawati, Cipete - PO.BOX 1139 JKS 12001, Jakarta Selatan. Dapat Diakses Melalui Situs: http://www.dikmenum.go.id/index.php?page=19.
Draft Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat 2009. Esmara, Hendra dan Djojodipuro, Marsudi. Perencanaan Pembangunan. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Ant