• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PERENCANAAN PENDIDIKAN PARTISIPATIF BERBASIS KEWILAYAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH: Studi evaluatif faktor determinan untuk meningkatkan indeks pendidikan dalam menunjang pencapaian indeks pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN PERENCANAAN PENDIDIKAN PARTISIPATIF BERBASIS KEWILAYAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH: Studi evaluatif faktor determinan untuk meningkatkan indeks pendidikan dalam menunjang pencapaian indeks pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat."

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

i

! "

"

# !

$ % #

&

' (

( % ##

) % #*

+ , - #.

! % / *

# +( 0 % - *#

* %1 0 *2

2 %

3 %1 1 *

4 0 ! 22

4 ( , ."

# .

(2)

ii

8 %1 8 %0 *

%0 6

%0 6

# %0 7

* %0

""

$ ( 1 "#

% 0 "*

4 9 8 :

0 ; , "*

# 0 ( 5 4 9

8 % : 0 ; , *"

* :%0 % 4 0 ! 9

1 ( , % <

( %1 0

; , 2

2 0 ( 5 4

0 ! 9 0 ; ,

26

. 1 5 4 9 8

: 5 4

0 ! 1 ( , ..

%1 .6

4 9 8 :

0 ; , .6

# 0 ( 5 4 9

8 % : 0 ; , 6#

* :%0 % 4 0 ! 9

1 ( , % <

( %1 0

(3)

iii

. 1 5 4 9 8

: 5 4

0 ! 1 ( , 77

( #

2

% .

( %0 8 ( 6

$ 8 :%0 % *

( %0 .

< % 7

:%0

(4)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

menjelaskan bahwa daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk

memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan

masyarakat. Ketentuan tersebut mengisyaratkan sebuah tanggung jawab bagi

pemerintahan daerah untuk menyusun sebuah kebijakan baik yang bersifat umum

maupun khusus dalam bentuk petunjuk teknis operasional. Kebijakan tersebut

akan menjadi pedoman bagi pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan

agenda otonomi daerah, yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

memperbaiki kualitas pelayanan umum serta meningkatkan daya saing daerah

dengan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Otonomi daerah merupakan hak dan kewajiban yang diberikan

pemerintah, dalam kerangka memperbaiki dayaguna dan hasilguna

penyelengaraan pemerintahan. Hal ini selain secara konstitusional dijelaskan

dalam pasal 18 UUD 1945, juga secara teoritis mendapatkan dukungan

kesahihannya. Khusus dalam konteks memperbaiki dayaguna dan hasilguna

penyelenggaraan pemerintahan, maka penyempurnaan manajemen pemerintahan

daerah menjadi prasyarat untuk segera dilakukan oleh pemerintah daerah itu

sendiri. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Osborne dan Gaebler (1992) dalam

bukunya “Reinventing Government” yang menyatakan bahwa “kegagalan utama

(5)

bukan terletak pada apa yang dikerjakan pemerintah, melainkan bagaimana cara

pemerintah mengerjakannya“.

Berkenaan dengan pembaharuan aspek-aspek manajemen pemerintahan

daerah, yang pada saat memasuki era reformasi adalah berkaitan dengan

manajemen perencanaan, manajemen sumber daya manusia, manajemen

keuangan, manajemen pelayanan umum, manajemen logistik, manajemen kinerja

serta manajemen kolaborasi dan konflik.

Di samping itu, diperlukan pula sebuah pendekatan manajemen

pemerintahan yang memungkinkan proses hubungan kepemerintahan bisa efektif

pada saat melakukan interaksi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, karena

pemberian otonomi daerah itu sendiri mengandung makna hak dan kewajiban

daerah, baik penyelenggaraan pemerintahan maupun aktivitas sosial

kemasyarakatan lainnya. Hal ini perlu dicermati karena penyelenggaraan otonomi

daerah harus berdiri dalam dua sisi yaitu “kebutuhan efisiensi dan demokratisasi

sebagai respon tuntutan masyarakat memerlukan solidaritas kolektif antara

aparatur dengan sektor masyarakat, swasta maupun kelompok sosial-budaya”.

Hal ini mengandung makna bahwa komunikasi pemerintahan yang

dibangun di antara unsur pemerintahan dan lembaga legislatif daerah sebagai

pencerminan proses demokratisasi di daerah, harus benar-benar diarahkan untuk

mampu mendorong solidaritas kolektif seluruh domain kepemerintahan di daerah.

Hubungan kepemerintahan ini tetap bisa diarahkan pada penciptaan kondisi

(6)

terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing

yang kuat dalam proses penumbuhannya.

Pentingnya melakukan pembaharuan pada manajemen perencanaan bagi

pemerintah daerah, menurut pendapat Rondinelli & Cheema (1983:14-16), tidak

lepas dari rasionalitas kehadiran desentralisasi itu sendiri sebagai “cara yang

ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat

sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan kepada pejabat di

daerah yang tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat”.

Sejalan dengan pendapat Rondinelli dan Cheema tersebut, UU. No. 32

Tahun 2004 mewadahinya dalam wujud penegasan pembagian urusan

pemerintahan, yang memungkinkan otonomi daerah mendapatkan sejumlah

kewenangan yang makin terarah bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Hal tersebut dilakukan melalui berbagai pelayanan publik, yang

dalam pelaksanaannya dilakukan penegasan antara peran dari masing-masing

tingkatan pemerintahan.

Sementara itu berkaitan dengan pembaharuan manajemen lainnya, Ryaas

Rasyid dkk. (2002:xvii-xviii) mengetengahkan pandangannya berkaitan dengan

pemberlakuan otonomi daerah yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah

kesenjangan dalam implementasi otonomi daerah pada saat itu, yaitu menyangkut:

(1) Interpretasi dari undang-undang tersebut melalui sejumlah peraturan Keppres

dan Perda; (2) Penciptaan organisasi yang berfungsi sebagai implementor dari

kebijakan tersebut; (3) Dukungan sumber daya yang tersedia guna

(7)

Proses implementasi otonomi daerah dalam sebuah perencanaan akan

berkenaan dengan pengaturan pendayagunaan urusan pemerintahan/kewenangan,

besaran kelembagaan, kapasitas kepegawaian daerah, kapasitas keuangan daerah,

manajemen aset, manajemen pelayanan umum dan teknologi informasi serta

hubungan kepemerintahan, baik antar penyelenggara pemerintahan daerah pada

struktur perangkat pemerintah daerah, perangkat daerah dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun interaksi dengan elemen-elemen

sosial kemasyarakatan.

Selama ini proses perencanaan pembangunan di berbagai sektor cenderung

bernuansa ”top-down” sehingga pembangunan di daerah berada dalam

bayang-bayang pemerintah pusat. Munculnya undang-undang otonomi daerah setidaknya

merupakan angin segar dalam pembangunan agar daerah berdaya untuk urusan

tertentu mengatur pembangunan di daerahnya masing-masing.

Pelaksanaan UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam

kerangka otonomi daerah, diperlukan dalam rangka membangun daerah mulai dari

tahapan perencanaan hingga implementasinya dengan mengandalkan semangat

pembangunan yang bersifat partisipatif. Dengan demikian memungkinkan para

penyelenggara pemerintahan daerah beserta stakeholders dan masyarakat yang

ada di daerah dapat menempatkannya sebagai acuan bersama untuk mengarahkan

potensi daerah sesuai target dari tujuan otonomi daerahnya.

Kehadiran perencanaan partisipatif sebagai implementasi otonomi daerah

berdasarkan UU. No. 32 Tahun 2004 yang diarahkan untuk dapat menjadi

(8)

daerah tersebut, bukanlah sebuah dokumen yang akan menduplikasi dokumen

perencanaan daerah yang sudah ada, melainkan akan berfungsi sebagai penguat

bagi pelaksanaan agenda-agenda pembangunan daerah, yang secara eksplisit dapat

dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan daerah. Karena proses

perumusannya akan dikonsentrasikan pada pendayagunaan elemen-elemen dasar

yang menopang manajemen pemerintahan daerah. Dengan demikian kehadiran

perencanaan kebijakan umum ini akan menjadi acuan perangkat daerah dalam

mendayagunakan sumber daya daerah sehingga mampu melakukan perannya di

dalam mencapai target-target yang telah tertuang dalam dokumen perencanaan

pembangunan berbasis kewilayahan di lingkungan pemerintahan daerah.

Secara spesifik adanya UU. No. 32 Tahun 2004 memberi ruang gerak yang

lebih besar kepada daerah untuk dapat menyelenggarakan pembangunan secara

mandiri misalnya pelaksanaan kewenangan dalam bidang penyelenggaraan

pendidikan dan kebudayaan, yang selama ini kewenangannya berada pada

pemerintah pusat. Kewenangan yang tersisa pada pemerintah pusat dan provinsi

hanya sebatas besarannya saja (Peraturan Pemerintah/PP. No. 25 Tahun 2000).

Pergeseran struktur kewenangan sistem administrasi pendidikan ini

merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem pengelolaan

pendidikan di kelembagaan satuan pendidikan. Sebab pembangunan pendidikan

yang selama ini didominasi oleh pemerintah pusat terbukti kurang efektif. Hal ini

terlihat dari kenyataan bahwa berbagai program investasi perluasan akses

pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan belum dapat mencapai

(9)

Urgensi diberikannya otonomi kepada pemerintahan daerah untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan

penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan

keanekaragaman daerah, demikian juga sistem dan pengelolaan pendidikan bukan

untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten kota. Namun hal tersebut

dilakukan semata-mata bertujuan untuk meningkatkan nilai budaya dan mutu

pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya di daerah.

Dari gambaran tersebut, kabupaten dan kota perlu memilih dan memilah

secara hati-hati berbagai strategi pembangunan pendidikan yang selama ini telah

dilakukan agar kekeliruan kolektif pada masa lalu tidak diulangi oleh kabupaten

dan kota pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, hanya strategi

pembangunan pendidikan yang menunjukkan pengaruh positif yang perlu

dilanjutkan, sedangkan yang tidak banyak memberi manfaat bagi siswa dan

kelembagaan satuan pendidikan serta melahirkan berbagai masalah baru harus

segera ditinggalkan.

Karena itu, strategi pembangunan pendidikan yang efektif mutlak

diperlukan, yaitu strategi pembangunan yang memberdayakan, memberikan

kepercayaan yang lebih luas, dan mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan

kepada kelembagaan satuan pendidikan. Peran pemerintah lebih baik ditekankan

pada pelayanan agar proses pendidikan di kelembagaan satuan pendidikan

berjalan secara efektif dan efisien. Peran ini dapat dilakukan oleh semua jenjang

pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Aspek yang

(10)

terjadi di kelembagaan satuan pendidikan; Sebab strategi pembangunan

pendidikan yang tidak fokus pada pemberdayaan kelembagaan satuan pendidikan

pada umumnya tidak memberi hasil yang memuaskan.

Strategi semacam inilah yang diharapkan dapat melahirkan masyarakat

belajar (learning society), karena dengan demikian seluruh jajaran pengelola dan

pelaksana pendidikan dituntut untuk terus belajar. Sehingga para siswa merasa

senang karena kebutuhannya selalu bisa direspons secara baik oleh para pengelola

dan pendidik di kelembagaan satuan pendidikannya. Jika kondisi ini dapat

dijalankan, dipastikan akan terwujud sebuah masyarakat yang diidamkan, yaitu

masyarakat madani (civil society), sebuah masyarakat yang peran-serta dan

kontrol dari setiap anggotanya begitu besar. Pada taraf inilah keberagaman

menjadi suatu kekuatan bagi tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berkaitan dengan perencanaan pembangunan dalam bidang pendidikan di

Propinsi Jawa Barat, saat ini telah dilaksanakan tahapan perencanaan

pembangunan melalui mekanisme MUSRENBANGDA (Musyawarah

Perencanaan Pembangunan Daerah) dengan melibatkan berbagai elemen dalam

pemerintahan di daerah untuk merumuskan bentuk strategi, program dan kegiatan

pembangunan di daerah dengan mengacu pada semangat otonomi daerah

sebagaimana tertuang dalam UU. No. 32 Tahun 2004. Persoalannya adalah

apakah perencanaan yang dilakukan saat ini sudah efektif dalam meningkatkan

kinerja pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan di Jawa Barat, dilihat

(11)

ini dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk melihat keberhasilan pembangunan

sumberdaya manusia di Provinsi Jawa Barat.

Kemudian belum diketahui pula bagaimana model perencanaan

pembangunan bidang pendidikan secara partisipatif tersebut di susun, demikian

pula proses yang berlangsung di dalamnya. Oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian lebih jauh mengenai hal tersebut, sehingga dalam jangka panjang proses

pembangunan di Jawa Barat, khususnya dalam bidang pendidikan mengalami

kemajuan yang lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya.

B. FOKUS PENELITIAN

Provinsi Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk sekitar 42 juta orang

dan kaya akan berbagai sumber daya baik alam maupun buatan, namun sangat

ironis karena memiliki kualitas sumber daya manusia yang tertinggal apabila

dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yaitu berada pada urutan

14 apabila diukur dengan menggunakan indikator keberhasilan pembangunan IPM

sebesar 69,3 sedangkan rata-rata lama sekolah penduduknya hanya 7,46 tahun

(Bapeda Jabar, 2006:75-76)

Sebagaimana diketahui Jawa Barat memiliki Visi “Dengan Iman dan

Takwa Sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota pada

Tahun 2010” dengan pencapaian indikator IPM sebesar 80 merupakan tujuan

yang sulit dicapai apabila komitmen pemimpin tidak didukung oleh seluruh

komponen masyarakat

Berdasarkan data yang ada nampak bahwa upaya-upaya yang telah

(12)

jauh dari sempurna karena berbagai faktor, di antaranya kemampuan untuk

memobilisasi sumber daya tidak hanya terbatas yang berasal dari pemerintah saja

masih sangat lemah. Dari perspektif perencanaan diperlukan keterbukaan

pemerintah provinsi terhadap akses masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam

menentukan arah pembangunan pendidikan di masa depan;

Perencanaan pendidikan yang baik adalah perencanaan pendidikan yang

mampu bekerja secara lebih dekat dengan program-program perencanaan layanan

insani lainnya, seperti program-program perpustakaan, sarana rekreasi, museum,

media masa dan sebagainya. Perencanaan pendidikan juga harus berorientasi

terhadap program siswa yang terstruktur dengan kondisi yang relevan dengan

lingkungan sekitarnya. Mengingat beragamnya peran perencanaan pendidikan

tersebut, maka dalam perencanaan pendidikan dipandang perlu untuk melibatkan

berbagai tingkatan (stakeholders) yang ada di masyarakat, bukan hanya terbatas

pada lingkungan sekolah atau pemerintah.

Dengan melihat posisi strategis perencanaan pendidikan dari keseluruhan

proses pendidikan, dalam hal ini perencanaan pendidikan memberikan kejelasan

arah dalam usaha proses penyelenggaraan pendidikan sehingga manajemen

pendidikan akan dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien, maka fokus

penelitian diarahkan kepada studi efektifitas perencanaan pendidikan.

C. PERTANYAAN PENELITIAN

Merujuk pada fokus penelitian sebagaimana dijelaskan di atas, maka

(13)

1. Bagaimana proses perencanaan pendidikan yang saat ini dilaksanakan di

Propinsi Jawa Barat ?

2. Bagaimanakah capaian kinerja hasil perencanaan pendidikan yang selama ini

telah dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat ?

3. Bagaimanakah implementasi model perencanaan partisipatif yang berbasis

kewilayahan dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunan bidang

pendidikan di Propinsi Jawa Barat ?

4. Bagaimanakah capaian kinerja hasil perencanaan pendidikan partisipatif yang

telah dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat ?

5. Bagaimanakah perbandingan hasil perencanaan pendidikan yang saat ini

dilaksanakan, dengan hasil perencanaan berdasarkan model partisipatif

berbasis kewilayahan ini, terutama dikaitkan dengan efektifitas dan efisiensi

capaian kinerja menurut relevansinya dengan capaian Indeks Pendidikan di

Propinsi Jawa Barat ?

6. Bagaimana alternatif model implementasi perencanaan partisipatif berbasis

kewilayahan ini dapat dituangkan menjadi rujukan bagi proses perencanaan

pendidikan di Propinsi Jawa Barat ?

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini ialah menganalisis konsep, proses dan model

perencanaan pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan yang dapat dijadikan

rujukan para pembuat keputusan pemerintah daerah provinsi dalam menentukan

(14)

Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka tujuan khusus yang ingin

ditemukan dalam penelitian ini yaitu :

a. Dapat mengidentifikasi gambaran kondisi setiap elemen penopang

penyelenggaraan pendidikan di daerah yang menjadi kewenangan pemerintah

propinsi.

b. Dapat menganalisis sinergitas antara kebijakan umum pembangunan daerah

dengan sistem perencanaan pendidikan pada tingkatan pemerintahan propinsi;

c. Dapat merumuskan disain perencanaan partisipatif yang dapat dijadikan

rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan dengan menggunakan

basis karakteristik kewilayahan yang ada di Propinsi Jawa Barat;

2. Manfaat Penelitian

Paradigma ilmu administrasi pendidikan dewasa ini senantiasa

dikembangkan dengan merujuk pada tugas-tugas pendidikan sebagai bagian dari

tugas pemerintahan. Sehingga dalam tatanan teori dan praktek manajemen

pendidikan sering ditentukan oleh perubahan struktur politik dan ketatanegaraan.

Karena itu, secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk

memperkaya khazanah ilmu administrasi pendidikan, khususnya dalam

menyediakan rujukan untuk membangun suatu paradigma teori yang lebih

memadai, sehingga akan tergambar lebih jelas prospek otonomi penyelenggaraan

(15)

Di samping itu, secara praktis dapat memberikan rekomendasi kepada

pemerintah daerah dalam rangka pembinaan dan pengembangan sistem

manajemen pendidikan di daerah, khususnya dalam penyelenggaraan sistem

perencanaan pendidikan baik pada tingkat regional maupun lokal. Karena itu,

dengan menggunakan pendekatan konsep, proses dan model perencanaan yang

partisipatif diharapkan menjadi rujukan dalam:

a. Mobilisasi dan alokasi sumber daya setempat baik dari pemerintah maupun

non pemerintah secara lebih terfokus untuk menyelesaikan berbagai masalah

pendidikan di daerah dengan lebih efektif dan efisien;

b. Menstimulasi perubahan sikap dan persepsi tentang rasa kepemilikan

masyarakat terhadap pendidikan khususnya kelembagaan satuan pendidikan,

rasa tanggung jawab, kemitraan, toleransi dan kekuatan multi-budaya;

c. Mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarakat

terhadap kelembagaan satuan pendidikan, khususnya orang tua dan

masyarakat melalui kebijakan desentralisasi pendidikan;

d. Mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan

untuk melengkapi, meningkatkan dan mengganti peran perkelembagaan

satuan pendidikan, untuk meningkatkan mutu dan relevansi, penyediaan akses

yang lebih besar, serta peningkatan efisiensi manajemen satuan pendidikan;

E. ASUMSI PENELITIAN

Ada dua asumsi dasar yang dibangun dalam pengembangan paradigma keilmuan, khususnya dalam disiplin Ilmu Administrasi Pendidikan. Asumsi

(16)

publik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan dalam membangun paradigma praktek administrasi pendidikan yang selama ini berkembang. Sehingga, praktek manajemen pendidikan dianggap sebagai salah satu bagian dari praktek Administrasi Publik.

Asumsi kedua, administrasi publik dianggap sebagai bagian dari

administrasi pendidikan. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan sebagai suatu tugas yang universal. Penyelenggaraan administrasi publik dalam arti pemerintahan dapat saja dianggap merupakan salah satu implementasi sebagian dari tugas administrasi pendidikan yang universal. Asumsi ini dapat saja digunakan dalam pengembangan paradigma keilmuan, mengingat kegagalan-kegagalan dalam praktek manajemen pendidikan yang didasarkan pada asumsi pertama.

Walaupun menyentuh substansi kebijakan publik, administrasi pendidikan tidak dipandang sebagai penelitian kebijakan publik, karena dalam nomenklatur sistem administrasi pendidikan pun kebijakan dan perundang-undangan merupakan perangkat kendali sistem administrasi pendidikan. Karena itu, penulis mencoba mengkaji permasalahan penelitian ini dengan didasarkan pada asumsi yang kedua, dengan harapan pembahasan masalah yang diteliti tidak dianggap ke luar dari konteks pengembangan paradigma keilmuan administrasi pendidikan.

Beranjak dari pemikiran tersebut, maka dikembangkan anggapan dasar yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang diteliti sebagai berikut:

(17)

kewenangan dalam bidang penyelenggaraan pendidikan, yaitu batas wewenang, kelembagaan, kurikulum, kepegawaian, pembiayaan, sarana dan prasarana pendidikan;

Anggapan dasar ini didasarkan pada pendapat Rondinellli dan Cheema (1988:13) yang memperkenalkan teori implementasi kebijakan, orientasinya lebih menekankan kepada hubungan pengaruh faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga daerah dibidang perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut Rondinelli dan Cheema, ada dua pendekatan dalam proses implementasi yang sering dikacaukan, yaitu (1) the compliance approach, yang menganggap implementasi itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik

(political leaders). Para administrator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang

tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik tersebut; (2) the political

approach sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung

“administration as an integral part of the policy making process in which politic

are refined, reformulated, or even abandoned in the process of implementing

them.”

(18)

“...central planning was not only complex and difficult to implement, but

may also have been inappropriate for promoting equitable growth and self sufficiency among low in corm groups and communicaties within developing societies”.

Kedua, bahwa pembangunan tidak dapat begitu saja direncanakan dari pusat. Pendayagunaan sumber daya alam dan manusia yang berada di daerah hendaknya dibarengi dengan upaya mengurangi kegiatan yang menitikberatkan pada perencanaan secara nasional serta meningkatkan kesadaran tentang perlunya melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan utama daerah, di samping memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Perubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya menyangkut soal teknis dan adminsitratif semata-mata melainkan juga soal politik, yaitu berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari sekelompok pengambil keputusan yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah.

Anggapan dasar ini didasarkan pada pandangan Griffin (1981) dalam Rondinelli dan Cheema (1988:13) menyatakan bahwa:

Development cannot easily be centrally planned. Consequently . . . mobilization of local human and material resources has been accompanied by a reduced emphases on national planning and a growing awareness of the need to devise an administrative structure that would permit regional decentralization, local autonomy in making decision of primary concern to the locality and greater local responsibility for designing and implementing development programs. Such changes, evidently, are not just technical and administrative; they are political. They involve a transfer of power from the groups who dominate the centre to those who have control at the local level.

(19)

hendaknya dibarengi dengan upaya mengurangi kegiatan perencanaan secara nasional serta meningkatkan kesadaran tentang perlunya melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan utama daerah, di samping memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Perubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya menyangkut hanya soal teknis dan adminsitratif, melainkan juga berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari pengambil keputusan yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah.

Pernyataan Griffin tersebut menunjukkan pula bahwa persoalan desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan dengan persoalan pemberdayaan

(enpowerment). dalam arti memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada

pemerintah daerah untuk berprakarsa dan mengambil keputusan. Empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab organisasi pemerintahan di daerah untuk dapat menyusun program, memilih alternatif, dan mengambil keputusan dalam mengurus kepentingan daerahnya sendiri. Dengan pemberdayaan, institusi pemerintah daerah dan masyarakat akan mampu memberikan akses bukan hanya terhadap pengambilan keputusan di tingkat daerah saja, bahkan di tingkat pusat.

(20)

Anggapan dasar ini didasarkan pada pandangan Obsborne dan Gaebler (1992:12), bahwa: “. . . Hierarchical, centralized bureaucracies designed in the

1930s or 1940s simply do not function well in the rapidly changing, information

rich, knowledge intensive society and economy of the 1990s”.

Digambarkan oleh Obsborne dan Gaebler (1992:13-17), bahwa birokrasi yang hirarkis dan terpusatkan semacam itu ibarat sebuah kapal penumpang raksasa di jaman jet supesonik dalam ukuran besar, tidak praktis, mahal, dan sangat sulit untuk bergerak. Karenanya dalam birokrasi pada era sekarang ini dituntut untuk mentransformasikan semangat kewirausahaan (enterpreneurial

spirit) ke dalam sektor pemerintah.

Perhatian yang semakin besar tentang perlunya perencanaan pembangunan yang bersifat partisipatif di bidang administrasi bukan saja merupakan pertanda tentang diakuinya kelemahan yang terdapat pada perencanaan yang terpusat, melainkan adanya pergeseran kebijakan yang menekankan pada pertumbuhan yang harus dibarengi dengan kebijakan pemerataan. Di samping itu, diakui bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks, yang tidak begitu saja dengan mudah direncanakan dan dikendalikan dari pusat.

Dalam pandangan lainnya, perencanaan partisipatif ini semakin populer di kalangan para perencana pembangunan. Seperti yang diungkapkan dalam Dhaka Ahsania Mission (2001), bahwa:

In contemporary development planning, the participatory trend is becoming very popular and effective and this trend gets much more importance than the traditional one at every stage of a project cycle. Although, initially the participatory approach used to get special importance in matter of need/problem assessment only, it is gradually increasing in depth and width.

(21)

them in there own ways, but the true philosophy behind participatory concept should always be kept intact and unchanged.

Di samping itu, bahwa perencanaan partisipatif merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan desentralisasi yang demokratis, karena dapat mengurangi berbagai hambatan yang memisahkan antara masyarakat dengan pemerintahnya, atau dengan kata lain mengubah hubungan dari politik oposisi ke dialog dan pembagian kewenangan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dengan adanya hubungan yang dialogis tersebut, perencanaan partisipatif dapat mendorong masyarakat dan aparat pemerintah (lintas sektoral) secara bersama-sama untuk mencari jalan ke luar dari berbagai masalah umum yang mereka hadapi dalam pembangunan. Perencanaan partisipatif dapat membangun kapasitas lokal untuk mendorong pengelolaan pembangunan daerah. Kebijakan pembangunan dirumuskan dengan dialog, negosiasi, kompromi dan komitmen (Hasan Poerbo, 2006).

Berbagai pendapat yang mendukung dilaksanakannya desentralisasi dengan sistem perencanaan partisipatif, dapat disimpulkan bahwa motivasi dan urgensi sistem perencanaan partisipatif dalam pendidikan adalah: (1) sebagai upaya dalam menopang peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan; (2) sebagai upaya memperlancar pelaksanaan pembangunan pendidikan; (3) meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses demokrasi pembangunan pendidikan pada seluruh lapisan terutama di paling bawah.

F. LOKASI PENELITIAN DAN UNIT ANALISIS

Penelitian dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat, dengan unit analisis adalah

(22)

G. KERANGKA PIKIR PENELITIAN

Untuk merumuskan perencanaan yang bersifat partisipatif berbasis

kewilayahan yang sejalan dengan semangat UU. No. 32 Tahun 2004, diperlukan

analisis yang utuh terhadap kondisi yang melingkupi elemen-elemen

pemerintahan daerah, yang meliputi: (1) kondisi yang ada dan

permasalahannya (existing condition), (2) prospek yang ingin dikembangkan dalam

pelaksanaan rencana (sasaran), (3) kondisi yang diperlukan untuk mencapai

sasaran (asumsi) dan (4) strategi pencapaian sasaran (recomendation).

Permasalahan yang timbul pada saat perencanaan seluruh elemen

penopang pelaksanaan pembangunan pendidikan di lingkungan pemerintahan

propinsi, selanjutnya menjadi unit analisis untuk dilihat implikasi terhadap

efektivitasnya. Dalam kaitan itu, maka secara konseptual penetapan rencana

pembangunan pendidikan di daerah propinsi, dapat digambarkan melalui kerangka

(23)

Gambar 1.1

KERANGKA PIKIR PENELITIAN

Berdasarkan gambar kerangka pikir tersebut, maka dapat dijelaskan

hal-hal sebagai berikut :

1. Perencanaan pembangunan pendidikan di daerah merupakan bagian dari

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ;

2. Perencanaan pembangunan pendidikan daerah disusun berdasarkan

analisis kesenjangan yaitu dengan melihat kondisi yang ada (existing) dan

kondisi yang diinginkan. Untuk menyelesaikan kesenjangan (gap) di !

" "

# $

%

$ &

' %(

$

(24)

bidang pendidikan diperlukan upaya yang terencana dengan

mempertimbangkan potensi yang dimiliki;

3. Dalam rangka mengadaptasi perkembangan lingkungan strategis seperti

adanya isu: Good Governance, Reinventing Government, strategi out

sourching dan perkembangan teknologi informasi maka proses

perencanaan sesuai dengan SPPN dilaksanakan secara partisipatif,

sehingga diharapkan akan menghasilkan perencanaan yang lebih baik ;

4. Sejalan dengan pelaksanaan SPPN, dalam rangka mengadaptasi

perkembangan lingkungan strategis Propinsi Jawa Barat mengembangkan

kreativitas dan inisiatif dengan membuat dan mengimplementasi model

alternatif perencanaan pembangunan pendidikan partisipatif;

5. Terhadap implementasi model perencanaan pembangunan pendidikan

partisipatif dilakukan evaluasi melalui pengkajian data dan analisis

terhadap efektivitas model baik dari sisi proses maupun hasil

perencanaannya itu sendiri;

6. Dengan membandingkan hasil perencanaan dari model yang berbeda,

maka direkomendasikan model perencanaan pembangunan pendidikan di

daerah yang paling cocok untuk dilaksanakan.

Model tersebut bukan merupakan model pilihan terakhir, karena

perkembangan lingkungan strategis akan menjadi feedback bagi penyempurnaan

(25)

92 BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. METODE PENELITIAN

Metode untuk penyusunan perencanaan partisipatif berbasis

kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian

deskriptif-kualitatif, yaitu suatu metode yang mengamati, menganalisis dan

menggambarkan fenomena yang terjadi dalam perumusan kebijakan otonomi

daerah yang dituangkan dalam bentuk perencanaan strategis pembangunan

pendidikan di tingkat Propinsi Jawa Barat. Kemudian mengeksplorasi data

tentang penyelenggaraan setiap elemen penopang penyelenggaraan pendidikan,

yang meliputi bidang kelembagaan, kurikulum, ketenagaan, sarana dan

prasarana, pembiayaan, pendayagunaan teknologi informasi, dan akuntabilitas

publik baik secara internal maupun dengan pihak stakeholders.

Pada intinya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan fakta

implementasi otonomi daerah dalam bidang pendidikan di lapangan sebagaimana

adanya. Kemudian melakukan deskripsi dan analisis atas konsep, proses dan

model perencanaan pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan dalam lingkup

Propinsi Jawa Barat. Dengan demikian, metode penelitian yang paling dianggap

relevan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan analisis penelitian

naturalistik-kualitatif (Nasution, 1988). Metode ini dipilih untuk mendalami setiap

permasalahan yang diteliti sehingga pemecahannya sesuai dengan kaidah-kaidah

keilmuan dan akhirnya dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi maksud

(26)

penyelenggaraan pendidikan di daerah bukan hanya sekedar realitas sosial yang

bersifat kontekstual, maka teknik penelitian yang dipandang relevan dengan

konteks ini ialah teknik pendalaman kajian. Penggunaan teknik ini, menurut

Nasution (1985:14), memiliki kelenturan untuk menyesuaikan dengan hal-hal

yang bersifat ganda, dan lebih peka terhadap penajaman nilai yang ditemui.

B. SUMBER DATA DAN SAMPEL PENELITIAN

Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif didasarkan pada tujuan

penelitian atau purposive sampling, artinya besarnya sampel disesuaikan dengan

tujuan penelitian. Demikian juga dengan anggota sampel bersifat emergence

sampling, tidak tetap, terus mengalami perubahan selama penelitian, sampai

terpenuhinya data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaaan penelitian.

Sumber data penelitian ini berkenaan dengan eksistensi Pemerintah

Propinsi yang dipandang sebagai total sistem, dan mempunyai keterkaitan dengan

sistem lain. Sebagai total sistem, Pemerintah Propinsi dalam penyelenggaraan

pemerintahannya mempunyai perangkat kendali, perangkat operasional, dan

perangkat pendukung.

Berdasarkan pada aspek-aspek kelembagaan Pemerintah Propinsi, maka

sumber data penelitian dikelompokkan: Pertama, perangkat perundang-undangan

yang menjadi penentu arah pelaksanaan pendidikan di daerah yang sesuai dengan

batas dan ruang lingkup kewenangannya; Kedua, perangkat proses manajemen

implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan, pendayagunaan sumber

daya manusia, material, teknologi, dan dana, serta kepemimpinan pemerintahan;

(27)

pendidikan yang berkaitan dengan unsur lokasi, situasi, konteks, keadaan, waktu,

gejala-gejala, peristiwa-peristiwa, benda-benda yang digunakan yang diwujudkan

dalam rumusan kurikulum pendidikan.

Data tersebut, selanjutnya akan menjadi bahan analisis yang diperlukan

bagi penyusunan dan penetapan konsep, proses dan model perencanaan

pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan yang relevan dengan kehendak

UU. No.32 Tahun 2004 di Propinsi Jawa Barat.

Penentuan sumber data yang dijadikan unit analisis dalam penelitian ini

merujuk prosedur dan teknik sebagaimana disarankan dalam paradigma penelitian

kualitatif, yaitu dengan menggunakan teknik snowball sampling.

Unit analisis bagi kepentingan penyusunan kebijakan umum implementasi

otonomi daerah ini ialah para penyelenggara pemerintahan daerah serta

stakeholders yang senantiasa berkaitan dan berkepentingan dengan implementasi

otonomi daerah di Jawa Barat.

Secara terperinci, unit analisis ini meliputi sumber data primer dan studi

terhadap sumber data sekunder. Sumber data primer terdiri dari:

(1) Unsur Kepala Daerah dan DPRD;

(2) Unsur Kepala Dinas, Badan dan Kantor (SKPD) yang membidangi

urusan pendidikan;

(3) Unsur Pelaku Usaha dan Masyarakat, termasuk di dalamnya unsur

sekolah selaku obyek pengamatan dalam penelitian ini (Stakeholders);

(28)

(1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN)

(2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004)

(3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 126 Tahun 2004)

(4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional (Lembaran Negara RI Nomor 78 Tahun 2003)

(5) Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara

Pertanggungjawaban Kepala Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000

Nomor 209, Tambahan lembaran Negara nomor 4027).

(6) Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintah.

(7) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2003 tentang

Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat

(8) Peraturan Derah Propinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2003 tentang

Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat

(9) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Rencana Strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat Tahun 2003–2008. (10) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Propinsi Jawa Barat

(29)

(11) Peraturan Gubernur Propinsi Jawa Barat Nomor 72 Tahun 2005 tentang

Tata Cara Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah.

(12) Kesepakatan Arah Kebijakan Umum APBD Tahun Anggaran 2006

Antara Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan DPRD Propinsi Jawa Barat.

(13) Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Tahun 2006

(14) Perencanaan Umum Pembangunan Makro Pendidikan Propinsi Jawa

Barat Tahun 2006

(15) Program Kerja Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Barat Tahun 2006

C. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

1. Teknik Pengumpulan Data

Keberhasilan penelitian naturalistik sangat ditentukan oleh ketelitian,

kelengkapan catatan lapangan (field note) yang disusun peneliti. Catatan lapangan

disusun berdasarkan hasil pengamatan (observation), wawancara secara

mendalam (deep interview), dan studi dokumenter (Bogdan dan Biklen, 1982:73).

Sesuai tujuan dan metode penelitian yang dipilih, maka teknik pengumpul

data yang digunakan difokuskan pada telaah dokumen, observasi partisipasi aktif,

dan wawancara secara terbuka.

a. Studi Dokumen. Teknik ini digunakan untuk memperoleh sejumlah informasi

berkenaan dengan benda-benda, alat atau fasilitas rumusan kebijakan dan

perencanaan tentang penyelenggaraan pendidikan pada tingkat pemerintahan

propinsi, yang diupayakan untuk memperoleh data, mengapa dokumen

tersebut dibuat ?, dan bagaimana peran dokumen perencanaan itu di

(30)

b. Teknik Observasi Partisipasi Aktif. Teknik ini digunakan untuk memperoleh

sejumlah data tentang konteks nyata proses penyusunan rencana pembangunan

pendidikan di daerah. Aspek-aspek yang diobservasi mencakup perilaku

aparatur perencana pendidikan, situasi dan tempat terjadinya proses

penyusunan rencana pembangunan pendidikan serta elemen-elemen

masyarakat yang terkait dalam proses perencanaan pembangunan bidang

pendidikan di daerah..

c. Teknik Wawancara Terbuka. Teknik Wawancara Terbuka menggunakan

sejumlah daftar pertanyaan yang perlu dijawab secara tertulis maupun lisan.

Teknik ini untuk memperoleh sejumlah informasi dari pikiran, perasaan,

pengetahuan dari aparat perencana, pelaksana dan pemakai pendidikan di

daerah.

2. Alat Pengumpul Data

Nasution (1985:55-56) mengemukakan bahwa manusia sebagai instrumen

utama dalam penelitian kualitatif dipandang lebih cermat dengan ciri-ciri sebagai

berikut: (1) manusia sebagai alat, peka dan dapat bereaksi terhadap segala

stimulans dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak

bermakna bagi peneliti, (2) manusia sebagai alat, dapat menyesuaikan diri

terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data

sekaligus, (3) setiap situasi merupakan suatu keseluruhan, (4) suatu situasi yang

melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan

semata-mata, (5) peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang

(31)

berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya

sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, atau perbaikan; (7)

manusia sebagai instrumen, responden yang aneh, yang menyimpang justru diberi

perhatian.

Namun demikian, untuk mendukung proses pengumpulan dan pengolahan

data digunakan pula instrumen tambahan, seperti:

a. Kisi-kisi Instrumen Penelitian, yang digunakan sebagai panduan untuk

membuat pemetaan terhadap permasalahan penelitian, data yang diperlukan,

sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Lampiran 1);

b. Format Telaah Dokumen, digunakan sebagai catatan lapangan hasil telaahan

terhadap dokumen-dokumen yang menjadi sumber data, yang berkenaan

dengan aspek-aspek yang ditelaah/dipelajari, jenis dokumen, deskripsi data

dan penafsiran data (Lampiran 2);

c. Format Pedoman Wawancara, digunakan sebagai catatan lapangan untuk

melaksanakan wawancara berisi sejumlah daftar pertanyaan, responden,

jawaban responden, dan konfirmasi (Lampiran 3);

d. Format Pedoman Observasi, digunakan sebagai catatan lapangan untuk

merekam data yang berisi aspek-aspek yang diamati/diobservasi, situasi dan

kondisi, deskripsi data, dan tafsiran data (Lampiran 4);

e. Format Analisis dan Penafsiran Data, digunakan sebagai panduan untuk

menganalisis data berdasarkan hasil dari catatan lapangan yang bersumber

(32)

f. Format Rangkuman Data, digunakan sebagai panduan untuk

mengelompokkan dan mengkatagorisasi data berdasarkan hasil analisis

terhadap problematik yang diteliti berdasarkan aspek-aspek prioritas masalah,

tujuan, sasaran, asumsi dan strategi pemecahan masalah (Lampiran 6).

3. Proses Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif tidak ada pola atau prosedur pengumpulan data

yang pasti. Nasution (1988:37) mengatakan "masing-masing peneliti dapat

memberikan sejumlah petunjuk dan saran berdasarkan pengalaman

masing-masing". Namun Lincoln dan Guba (1985:39-44) memberikan prosedur

pelaksanaan pengumpulan data berikut ini:

Pertama, tahap orientasi, yang dilaksanakan untuk memahami secara lebih

mendalam masalah, lokasi, kondisi responden, dan hal-hal yang mendukung dan

menghambat pelaksanaan penelitian. Hasilnya dipergunakan sebagai referensi

untuk mencari dan menyempurnakan tema-tema penting untuk dijadikan fokus

penelitian. Kedua, tahap penelitian sesungguhnya, yang dilaksanakan dengan

mempergunakan teknik pengumpulan data sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya.

Namun demikian, dari kedua tahap tersebut penulis berkesimpulan bahwa

secara umum penelitian dapat dilakukan dengan empat tahap, yaitu tahap

orientasi, eksplorasi, analisis data, dan laporan penelitian. Untuk lebih jelasnya

(33)

STUDI PENDAHULUAN

OBSERVASI WAWANCARA DOKUMENTASI

PENYUSUNAN DESAIN PENELITIAN

PENGUMPULAN DATA

OBSERVASI WAWANCARA DOKUMENTASI KONSEP TEORI

ANALISIS DATA

VERIFIKASI & VALIDASI

PEMBAHASAN DAN PEMAKNAAN

PENYUSUNAN LAPORAN

TAHAP I : ORIENTASI

TAHAP II : EKSPLORASI

TAHAP III : ANALISIS DATA

TAHAP IV : PELAPORAN DEPENDABILITY

MEMBER CHECKING

CREDIBILITY PROLONGED ENGAGEMENT

TRIANGULATION TRANSFERABILITY

Gambar 3.1

PROSES PENELITIAN

D. TEKNIK ANALISIS DATA

Pengolahan data dilakukan secara terus menerus sejak penulis memahami

data yang diperlukan sampai seluruh data terkumpul. Setiap perolehan data dari

Catatan Lapangan kemudian direduksi, dikelompokkan, dideskripsikan, dianalisis,

[image:33.595.114.508.102.630.2]
(34)

(1) Penelaahan dan reduksi data. Melakukan penelaahan data hasil observasi,

wawancara, dan studi dokumentasi dari berbagai sumber data langsung di

lapangan. Terhadap data tersebut kemudian ditelaah, dibaca, dipahami

khususnya makna dalam konteks masalah yang sedang diteliti, selanjutnya

direduksi dengan membuat abstraksinya.

(2) Unitisasi data. Melakukan penyusunan data dalam satuan-satuan (unit)

masalah, atau kodifikasi data, sehingga data mentah dirubah secara

sistematis menjadi unit-unit yang dapat diuraikan sesuai dengan ciri-ciri

khasnya. Kemudian membuat batasan dan memilah-milah serta

mengidentifikasikan masing-masing unit untuk analisis selanjutnya.

(3) Kategorisasi. Adalah pengelompokan atau tumpukan data berdasarkan

pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu.

(4) Penafsiran data. Pemberian makna atau tafsiran terhadap data yang telah

dikategorisasikan melalui deskripsi makna analitis tentang unit dan kategori

serta hubungan antara unit setiap kategori.

Analisis selanjutnya dilakukan pendalaman kajian melalui tahap-tahap:

Pertama, tahap Penyajian Informasi, merupakan tahap menggambarkan data yang

disajikan dalam bentuk deskripsi terintegrasi dari Catatan Lapangan dan Lembar

Rangkuman; Kedua, tahap Analisis Historis Komparatif untuk membandingkan 2

(dua) model yang berbeda yang merupakan proses analisis keseluruhan data dari

(35)

E. KEABSAHAN DATA

Untuk memperoleh keabsahan data dalam penelitian ini dipergunakan

kriteria:

1. Credibility, dipergunakan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran hasil

penelitian dapat mengungkapkan realitas yang sesungguhnya.

2. Prolonged engagement, untuk mengatasi distorsi keberadaan peneliti di

lapangan.

3. Triangulation, untuk menguji kebenaran hasil temuan penelitian melalui

sumber informasi yang beragam dengan membandingkan data hasil observasi

dan wawancara dengan responden yang terkait.

4. Member checking, melalui proses konfirmasi dengan meminta pandangan

responden tentang hasil penelitian baik secara formal maupun informal.

5. Transferability, untuk menjamin bahwa hasil penelitian yang diperoleh dapat

diterapkan dalam konteks situasi yang lain.

6. Dependability, untuk mengukur dependabilitas penelitian ini peneliti

melakukan: (1) Menentukan langkah-langkah penelitian secara sistematis; (2)

Melakukan upaya konsistensi instrumen dengan cara membuat catatan

lapangan hasil observasi, wawancara, dan analisis dokumen; (3)

Mengkategorikan susunan data berdasarkan hasil catatan lapangan yang dibuat

sesuai dengan kerangka masalah penelitian; (4) Membuat laporan sementara

hasil penelitian, disertai dengan interpretasi dan analisis secara bertahap sesuai

(36)

182 BAB V

MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN PARTISIPATIF BERBASIS KEWILAYAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PENDIDIKAN DALAM MENUNJANG

PENCAPAIAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROPINSI JAWA BARAT

A. KARAKTERISTIK

Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK), merupakan representasi proses perencanaan pendidikan yang melibatkan seluruh

kepentingan (stakeholders), sebagai alternatif penyempurnaan terhadap model perencanaan yang sudah ada pada saat ini dilengkapi dengan penggunaan Proses

Hirarki Analitik (PHA) dalam penentuan prioritas berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan. Partisipatif, masyarakat dan sektor swasta diikut-sertakan di dalam persiapan, perencanaan, pelaksanaan pembangunan pendidikan maupun di dalam

pengoperasian dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunannya. Selain itu rencana, program, dan informasi pembangunan ditempatkan di dalam domain publik

(disebar-luaskan). Selanjutnya masyarakat dan sektor swasta diberi kesempatan untuk ikut di dalam pendanaan pembangunan dan dimungkinkan adanya

komersialisasi terhadap fasilitas publik yang tentunya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Yang penting juga adalah bahwa masyarakat diikut-sertakan di dalam pengambilan keputusan pada saat pemilihan prioritas. Inisiatif

(37)

Karena hal baru/perubahan kearah menjadi lebih baik sehingga untuk dapat

diimplementasikan perlu disiapkan strategi dan agenda komunikasi yang efektif khususnya terhadap pihak internal Pemerintah Propinsi Jawa Barat.

Beberapa penjelasan berkaitan dengan Model Perencanaan Partisipatif

Berbasis Kewilayahan ini adalah sebagai berikut:

1. Legal dan etikal, dalam hal ini perencanaan dan penganggaran pembangunan

pendidikan dilakukan dengan mengacu pada semua peraturan dan norma yang berlaku, menjunjung tinggi etika dan tata nilai masyarakat, tidak memberi

peluang bagi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan serta implementasi rencana pembangunan melalui tata administrasi negara.

2. Berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu rencana disiapkan

dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, dalam hal ini masyarakat tahu dan sepakat terhadap apa yang akan dibangun ditinjau dari segi lokasi maupun

waktu pembangunan.

3. Interaktif dan dinamis, fokus pada proses perencanaan, bukan pada rencana,

rencana pembangunan harus mencerminkan kepentingan dan tata nilai dari semua pihak yang terkait, proses perencanaan pembangunan berlangsung

secara berkelanjutan, obyektivitas yang rasional dalam pembangunan perlu dipenuhi dengan penerpapan konsep akseptabilitas yang tercermin di dalam

subyektivitas yang konsisten. Kondisi masa lampau dan masa kini serta prediksi tentang masa depan akan digunakan sebagai masukan untuk merancang masa depan dan mencari jalan untuk mewujudkannya. Dan yang

(38)

4. Integratif sinergis, Berkelanjutan, pembangunan terdahulu menjadi persiapan

bagi pembangunan lain di masa depan, demokratis, perencanaan pembangunan berlangsung secara demokratis.

5. Holistik, tuntas, komprehensif, dan utuh, simultan, perencanaan pembangunan

pendidikan perlu dijalankan secara bersamaan dan menyeluruh pada semua tingkatan; interdependen, perencanaan pembangunan pendidikan dilakukan

dengan memperhatikan interaksi yang terjadi di antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).

6. Wawasan global, tindakan lokal, mau belajar dari pengalaman bangsa lain,

bekerja dengan standar internasional, adaptif yaitu pandai memilih untuk ditiru hal-hal yang terbaik dari bangsa lain, untuk kemudian disesuaikan

dengan kondisi lokal sebelum diterapkan serta peka terhadap kondisi lokal.

B. TUJUAN

Tujuan pemodelan Sistem Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis

Kewilayahan (PPPBK) adalah untuk memperbaiki kinerja perencanaan

pendidikan di Propinsi Jawa Barat yang secara langsung akan meningkatkan

pencapaian target pembangunan di bidang pendidikan di Propinsi Jawa Barat.

Dari sisi akademik, model berguna untuk menjelaskan fenomena atau

obyek-obyek; dalam hal ini model berfungsi sebagai pengganti teori, namun bila

teorinya sudah ada maka model dipakai sebagai konfirmasi atau koreksi terhadap

teori tersebut. Dari sisi manajerial, model berfungsi sebagai alat pengambil

(39)

C. ASUMSI

Untuk mewujudkan visi dan misi Jawa Barat Tahun 2005- 2025 khususnya

dalam bidang pendidikan melalui perencanaan pendidikan partisipatif yang

berbasis kewilayahan, dibutuhkan prasyarat:

1. Pembagian urusan pendidikan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota

sudah sangat jelas sehingga bentuk organisasi pengelola pendidikan,

distribusi kuantitas dan kualitas SDM pengelola pendidikan dan

penganggaran merupakan implikasi dari kewenangan tersebut.

2. Propinsi merancang dan melaksanakan kegiatan berfokus kepada urusan

yang menjadi tanggung jawabnya terutama pertimbangan skala urusan, 3. Model menjadi acuan bersama yang disepakati oleh berbagai pihak terutama

kesepakatan antara Pemerintah Propinsi dengan DPRD Propinsi Jawa Barat.

4. Keselarasan visi dan misi (alignment vision and mission) antara propinsi dan

kabupaten/kota;

5. Komitmen bersama antara propinsi dan kabupaten/kota melalui

kepemimpinan Gubernur dan Bupati/Walikota, melalui prinsip-prinsip:

kebersamaan (togetherness), kemandirian (selfhelp), dan keberlanjutan

(sustainability). Ketiga prinsip tersebut diwujudkan melalui pendekatan

secara komprehensif yaitu: peningkatan modal sosial (social capital),

pemberdayaan (empowerment), tata kelola kepemerintahan (good

governance), membangun saling kepercayaan (trust each others), dan

(40)

D. KOMPONEN MODEL DAN SALING KETERKAITANNYA

Komponen sistem berperan sesuai dengan fungsinya (Pemimpin dan yang

dipimpin, pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah, perencana, pelaksana,

pengendali dsb). Spesialisasi sesuai dengan bidangnya secara profesional sesuai

bidang tugasnya. Pemerintah secara bertahap kembali ke core competency-nya

yaitu regulator, fasilitator sehingga dituntut kehandalannya.

Untuk menjamin berjalannya model perencanaan sampai dengan

penyusunan anggaran dibuat aturan dan kode etik yang jelas sampai petunjuk

teknisnya, hindari toleransi terhadap pelangaran aturan,

keistimewaan-keistimewaan dijelaskankan secara terbuka/transparan atau menjadi fasilitas

karena jabatan kalau memang diperlukan.

Mekanisme/prosedur penyusunan perencanaan sampai penyusunan

program yang didahului oleh penyusunan evaluasi diri, dapat menggunakan model

Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan sebagaimana gambar

(41)

1

8

[image:41.842.106.727.112.488.2]

7

Gambar 5.1

(42)

Penjelasan Model

1. Umum :

Untuk mampu mengantisipasi persaingan global dan bervariasinya kondisi

serta karakteristik wilayah/daerah, Pemerintah Indonesia memahami pentingnya

untuk memberikan hak dan kewenangan berjenjang kepada pemerintah daerah

dalam mengelola daerah secara lebih mandiri melalui pemberian otonomi daerah.

Lebih jauh, otonomi daerah merupakan salah satu faktor yang sangat penting

untuk penyelenggaraan suatu organisasi pemerintahan yang sehat, efektif, efisien,

dan berbasis pada output dan outcomes serta mampu melakukan kompetisi.

Dalam keleluasaan kewenangan tersebut, pemerintah daerah perlu

menyikapinya dengan merancang dan melaksanakan program yang berkualitas

dengan akuntabilitas yang tinggi, karena keberlanjutan dari suatu organisasi akan

sangat bergantung pada kualitas layanan dari organisasi itu kepada

stakeholders-nya dan akuntabilitas dari organisasi dalam menggunakan dana publik. Hal ini

sejalan dengan perubahan lingkungan strategis yang menuntut adanya perbaikan

bagi seluruh organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah untuk dapat

memahami dan mengimplementasikan konsep Good Governance

(kepemerintahan yang baik), Reinventing Government (mewirausahakan

birokrasi) dan Community based Development (pembangunan berbasis

masyarakat) yang bermuara kepada peningkatan etika, efektivitas, pembelajaran

dan penguatan tata kelola dan demokrasi khususnya di pemerintahan dalam

(43)

Untuk hal tersebut perlu dibangun budaya yang sesuai dengan kondisi saat

ini secara bertahap, melalui perbaikan proses dengan mengimplementasikan

Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK)

sebagai refleksi dan tanggapan pemerintah daerah dalam mengadaptasi perubahan

lingkungan strategis dan mengantisipasi masa depan.

Tahap awal pelaksanaan PPPBK, kepada setiap kabupaten/kota pengusul

diwajibkan untuk melakukan evaluasi diri sebagai dasar guna menyusun

program ”pengobatan” terhadap masalah yang dihadapi secara sistematis, dengan

didukung oleh studi kelayakan.

PPPBK diharapkan dapat membina kerjasama antar SKPD untuk

memenuhi tuntutan memecahkan masalah secara komprehensif, sekaligus

diharapkan dapat menggairahkan semangat kabupaten/kota serta SKPD untuk

berkompetisi secara sehat dengan menunjukkan keunggulan kinerjanya.

Apabila pemerintah kabupaten/kota telah terbiasa menyusun program

berbasis evaluasi dirinya, maka output yang diharapkan adalah pemerintah daerah

dapat menyusun rencana program kerja dengan fisibilitas yang tinggi dengan

tujuan akhirnya adalah peningkatan IPM daerah guna mendukung pencapaian

IPM 80 Jawa Barat pada tahun 2015. Budaya tersebut merupakan fondasi dalam

membentuk budaya dan semangat baru dari pemerintah kabupaten/kota untuk

menjalankan program secara bertanggungjawab serta akuntabilitas tinggi.

Kemampuan melakukan evaluasi diri serta menyusun rencana kerja dan

(44)

Kabupaten/Kota untuk menyusun Rencana Strategis Jangka Panjang dengan

fisibilitas tinggi dalam menghadapi tantangan global.

Setelah budaya tersebut tumbuh, SKPD/pemerintah daerah diharapkan

dapat menjalankan program-program dengan menekankan pada pencapaian

kualitas yang tinggi.

2. Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK)

1) Merupakan model perencanaan untuk bantuan pendanaan bagi program

dan kegiatan yang berdampak kepada akselerasi peningkatan IPM Jawa

Barat khususnya Indeks Pendidikan, secara berkelanjutan karena

melibatkan kepentingan berbagai stakeholders yang relevan.

2) Merupakan model untuk menseleksi program yang berbasis aktivitas

(activity-based) sesuai dengan kebutuhan nyata dengan indikator

keberhasilan terukur, inovatif, dan dikelola dengan akuntabilitas tinggi.

3) Model interaktif untuk menyusun program dan dilaksanakan secara

bersama-sama antara pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, swasta, dan

komunitas perguruan tinggi setempat.

4) Sumber pendanaan bersifat on top diluar pendanaan bantuan reguler dari

Pemerintah Propinsi Jawa Barat, yang dikompetisikan melalui penilaian

proposal pengusul, berbasis keunggulan kinerja kabupaten/kota dan

memenuhi kriteria seleksi

3. Proposal disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bersama-sama dengan

(45)

pendidikan tinggi setempat sesuai dengan tahapan seleksi dan diusulkan oleh

Bupati/Walikota kepada Gubernur.

4. Pengusul proposal untuk program diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kluster

berbasis pada:

1) Pencapaian IPM oleh kabupaten/kota pada tahun dasar (40%)

2) Peningkatan IPM yang dicapai oleh kabupaten/kota selama 5 tahun

terakhir (30%)

3) Pencapaian IPM kabupaten/kota saat ini terhadap target IPM

kabupaten/kota yang direncanakan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat

(30%)

5. Kluster adalah pengelompokkan wilayah kabupaten/kota yang berkompetisi

berdasarkan parameter tertentu. Kegunaan kluster adalah untuk

menyandingkan suatu wilayah kabupaten/kota pada posisi yang seimbang dan

adil dalam berkompetisi dengan wilayah kabupaten/kota lainnya.

Masing-masing kluster mempunyai misi pendanaan tertentu yang tidak sama, sesuai

dengan tingkat pencapaian IPM-nya. Masing-masing pendanaan dikemas

dalam bentuk Program Pendanaan 1 (untuk Kluster 1), PP2 (untuk Kluster 2),

dan PP3 (untuk Kluster 3).

6. Tahap seleksi terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu:

1) Tahap Seleksi Proposal Evaluasi Diri (PED)

2) Tahap Seleksi Proposal Komprehensif (PP1/2/3)

3) Tahap Konfirmasi melalui Kunjungan Lapangan (KKL)

(46)

5) Tahap Costing

7. Pada setiap tahap seleksi dilakukan penilaian kualitas usulan sesuai dengan

dokumen proposal yang disampaikan oleh reviewer, berdasarkan kriteria pada

masing-masing tahapan yang sudah ditentukan. Hasil seleksi pada setiap

tahapan digunakan sebagai dasar rekomendasi calon pemenang program yang

diajukan Tim Reviewer kepada Gubernur. Tim Reviewer bersama Tim Satlak

Propinsi pada setiap akhir tahapan melakukan evaluasi untuk bahan perbaikan

apabila diperlikan, sehingga menjamin berjalannya tahapan berikutnya sesuai

dengan rencana dan melaporkan kepada Gubernur

8. Tim Reviewer dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur dengan struktur

organisasi terdiri dari:

Pimpinan terdiri dari Pengarah/Narasumber Utama, Ketua, Wakil Ketua, dan

dua orang Sekretaris Tim Reviewer merangkap sebagai anggota.

Pimpinan dan Anggota Tim Reviewer diangkat dan diberhentikan melalui

Keputusan Gubernur. Dalam pelaksanaan tugasnya, Pimpinan dan Anggota

Tim Reviewer mengacu kepada Kode Etik Tim Reviewer dan peraturan

lainnya yang berlaku untuk PPK dan memperoleh imbalan berbasis kinerja.

Tim Reviewer bertugas untuk melaksanakan pendampingan, monitoring dan

evaluasi Pasca Program selama 2 (dua) tahun berturut-turut

Anggota Tim Reviewer terdiri atas unsur masyarakat profesional, unsur

Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan unsur perguruan tinggi yang peduli

(47)

Dalam melaksanakan tugasnya, Pimpinan Tim Reviewer dapat meminta

bantuan dari berbagai pihak yang relevan dengan Program sebagai

narasumber

9. Satuan Pelaksana (Satlak) Program Propinsi merupakan aparatur pemerintah

propinsi yang bertugas melaksanaan perencanaan dan penyelenggaraan

administrasi Program pada tingkat propinsi, penyelenggaraan sosialisasi,

layanan konsultasi dan pendampingan terhadap para pelaksana program,

kompilasi data serta menyusun perencanaan dan pelaksanaan monitoring serta

evaluasi program.

E. STRATEGI IMPLEMENTASI

Implementasi Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif merupakan

bagian dari pengelolaan perubahan baik pada lingkungan internal maupun

eksternal, sehingga perlu proses komunikasi yang efektif disertai dengan

pencitraan.

Setiap kali sebuah perubahan mulai digulirkan, selalu saja muncul dua

pihak: mereka yang ketakutan (takut kehilangan jabatan, kehilangan

kenikmatan-kenikmatan) terutama di pihak internal dan mereka yang menaruh banyak harapan.

Ekspektasi berubah warna menjadi hasrat harapan antara lain karena

proses komunikasi yang dibumbui oleh pencitraan. Harapan sesungguhnya adalah

modal yang bagus untuk merangsang perubahan, kalau tujuannya melibatkan

mereka sebagai salah seorang aktor dalam perubahan itu sendiri. Tetapi akan

(48)

Oleh karena itu, meski sebagian besar orang memiliki harapan yang

realistis, masih banyak orang yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Ekspektasi

dan harapan akan menimbulkan kekecewaan atau kepuasan manakala ia bertemu

dengan realitas.

Pemimpin perubahan tentu tidak dapat memenuhi harapan semua orang.

Selain karena harapan setiap orang berbeda-beda, kadang-kadang ditemui

sejumlah orang yang datang dengan harapan yang berlebihan dan tidak realistis.

Tapi manusia umumnya tidak semata-mata menilai apa yang ia terima, melainkan

juga upaya-upaya yang telah dilakukan para pemimpin perubahan,

pendekatan-pendekatannya, serta pengorbanan-pengorbanan yang diberikan.

Oleh karena itu, pemimpin perubahan bukan hanya perlu

mengomunikasikan hasil dari perubahan itu sendiri, melainkan juga upaya-upaya

yang sedang dilakukan serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Bahkan dalam

banyak hal, para pengikut jauh lebih menghargai upaya-upaya yang telah

dilakukan daripada hasilnya itu sendiri. Dengan kata lain, manusia mampu dan

rela menyesuaikan (melakukan adjustment) terhadap harapan-harapannya

sehingga lebih siap menerima realitas yang berada di bawah harapannya semula,

(49)

200

dalam Pembobotan Proyek APBD Tingkat I Jawa Barat Tahun Anggaran 1996/1997. Tesis Program Magister Teknik dan Manajemen Industri

Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung: tidak diterbitkan.

Arifin, Anwar. (2003). Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam

Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI.

Azis, Iwan Jaya editor Djojodipuro, Marsudi. (1994). Ilmu Ekonomi dan

Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia.

Bahua, Mohamad Ikbal. (2007). Metode Perencanaan Partisipatif Dalam

Pembangunan Masyarakat. 14 Desember 2007. Dapat Diakses Melalui

Situs: Http://Eeqbal.Blogspot.Com/2007/12/Metode-Perencanaan-Partisipatif-Dalam.Html

Banghart, Frank W. dan Trull, Albert. (1973). Educational Planing. London: The Macmillan Company New York, Collier-Macmillan Limited.

Bapeda Propinsi Jawa Barat. (2006). Penyusunan Data Basis Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Jawa Barat Tahun 2006.

Bekerjasama dengan BPS Jawa Barat.

Bapeda Propinsi Jawa Barat. (2008). Draft Rencana Kerja Pembangunan Daerah

(RKPD) Provinsi Jawa Barat 2009.

BKKBN. (2008). Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dapat Diakses Melalui www.bkkbn.go.id/bali/download.php?type=d&datid=20

BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat, (2008), Laporan Kegiatan Monitoring dan

Evaluasi (Monev) PPK-IPM 2007, NNoommoorr :: LLAAPP -- 22778844//PPWW1100//33//2200008 8

Cahyono, B.Y. (2006). Metode Pendekatan Sosial Dalam Pembangunan

Partisipatif. lppm.petra.ac.id/ppm/COP/download. Di akses, 2 November

2007.

Dikmenum. (2008). MBS dalam Praktek. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas Jalan R.S. Fatmawati, Cipete - PO.BOX 1139 JKS 12001, Jakarta Selatan. Dapat Diakses Melalui Situs: http://www.dikmenum.go.id/index.php?page=19.

(50)

Draft Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat 2009. Esmara, Hendra dan Djojodipuro, Marsudi. Perencanaan Pembangunan. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Ant

Gambar

Gambar 3.1  PROSES PENELITIAN
Gambar 5.1 MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN PARTISIPATIF

Referensi

Dokumen terkait

Motif bunga mawar pada kain songket digunakan dengan harapan kehidupan si anak yang akan datang selalu terhindar dari bahaya dan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa..

Penyusunan alokasi anggaran dilakukan dengan memperhitungkan faktor indeks prioritas dan indeks alokasi anggaran berdasarkan besaran Rencana Anggaran Biaya (RAB),

Dari hasil-hasil pengamatan ini maka dapat diketahui bahwa semakin tinggi penekanan plunger , kekuatan tarik coran die casting Al-Mg-Si semakin meningkat yang

Implikasi penelitian adalah (1) Sebaiknya dalam Kemampuan Manajerial yang dilaksanakan Kepala Sekolah lebih meningkatkan perhatian terhadap Guru-guru yang ada di SMP Negeri

Hasil analisis kategori di atas menunjukkan bahwa 0 responden menilai pengembangan sumber daya manusia pegawai sangat rendah dengan persentase sebesar 0%,

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu masukan atau tambahan informasi mengenai pengaruh Total Quality Management , Sistem Pengukuran Kinerja, dan Sistem Penghargaan

Carta PERT adalah carta yang berdasarkan graf yang bisa digunakan untuk menentukan aktivitas dalam bentuk lintasan kritikal ( critical path ) yaitu jika

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa pada umumnya pengetahuan jenis kelamin laki-laki lebih banyak yang kurang yaitu 28 orang (40%) dan perempuan