• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sampel daging ayam beku yang diambil sebagai bahan penelitian berasal dari daerah DKI Jakarta sebanyak 16 sampel, 11 sampel dari Bekasi, 8 sampel dari Bogor, dan 18 sampel dari Serang. Sampel diuji terhadap jumlah Escherichia coli. Hasil pengujian rataan jumlah E. coli pada 53 sampel daging ayam beku dari keempat daerah pengambilan sampel ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rataan jumlah dan log rataan jumlah E. coli pada daging ayam beku dari tiap daerah asal

Asal daerah Jumlah sampel

Rataan jumlah E. coli (MPN/g)

Log rataan jumlah E. coli (MPN/g) DKI Jakarta 16 0.43x101±0.28x101 0.63±0.45 Bekasi 11 10.4x101±33.04x101 2.02±2.52

Bogor 8 0.28x101±0.23x101 0.45±0.36

Serang 18 6.72x101±25.79x101 1.83±2.41

Total 53 4.61x101±21.08x101 0.23±0.38

Rataan jumlah Escherichia coli tertinggi pada daging ayam beku berasal dari daerah Bekasi, yaitu 10.4x101±33.04x101 MPN/g. Rataan jumlah E. coli terendah berasal dari daerah Bogor, yaitu 0.28x101±0.23x101 MPN/g. Menurut SNI 01-7388-2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, bahwa batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) E. coli yang diperbolehkan ada pada daging ayam beku adalah kurang dari 1x101 MPN/g. Rataan jumlah E. coli pada daging ayam beku yang berasal dari Bekasi (10.4x101±33.04x101 MPN/g) dan Serang (6.72x101±25.79x101 MPN/g) memiliki

rataan jumlah E. coli di atas BMCM. Daging ayam beku yang berasal dari DKI Jakarta (0.43x101±0.28x101 MPN/g) dan Bogor (0.28x101±0.23x101 MPN/g) memiliki rataan jumlah E. coli di bawah BMCM E. coli. Namun, rataan jumlah E. coli dari keempat daerah asal pengambilan sampel (total sampel) berada di atas BMCM E. coli yang diperbolehkan ada pada daging ayam beku.

Berdasarkan hasil uji ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) dari keempat daerah pengambilan sampel. Hal tersebut menunjukkan, bahwa daerah pengambilan sampel daging ayam beku bukan merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya kontaminasi cemaran

(2)

0 0.5 1 1.5 2 2.5

DKI Jakarta

Bekasi Bogor Serang

Log rataan jumlah E. coli

Daerah asal

Escherichia coli, tetapi terdapat faktor lainnya, misalnya masalah sanitasi dan higiene daging ayam.

Untuk lebih jelas melihat daerah asal pengambilan sampel daging ayam beku yang memiliki rataan jumlah Escherichia coli melebihi BMCM dan daerah asal yang memiliki rataan jumlah E. coli di bawah BMCM, maka ditampilkan diagram batang pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram batang log rataan jumlah E. coli dari tiap daerah asal.

Tingkat prevalensi cemaran Escherichia coli pada daging ayam beku dari tiap daerah asal dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 3.

Tabel 4 Tingkat prevalensi cemaran E. coli pada daging ayam beku dari tiap daerah asal

Asal daerah Jumlah sampel

Jumlah sampel positif

Tingkat prevalensi(%)

DKI Jakarta 16 5 31.25

Bekasi 11 3 27.27

Bogor 8 1 12.50

Serang 18 5 27.78

Total 53 14 24.70

Keterangan : Menurut SNI 01-7388-2009, sampel positif ditunjukkan jika jumlah E. coli >1x101 MPN/g.

(3)

Secara berurutan tingkat prevalensi cemaran Escherichia coli pada daging ayam beku dari yang tertinggi hingga terendah, yaitu DKI Jakarta (31.25%), Serang (27.78%), Bekasi (27.27%), dan Bogor (12.50%).

Gambar 3 Tingkat prevalensi cemaran E. coli pada daging ayam beku dari tiap daerah asal.

Tabel 3 menunjukkan bahwa DKI Jakarta memiliki rataan jumlah Escherichia coli pada daging ayam di bawah BMCM, akan tetapi pada Tabel 4 menunjukkan DKI Jakarta memiliki tingkat prevalensi tertinggi (31.25%). Hal tersebut dapat dijelaskan, bahwa faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat prevalensi pada daging ayam bukan akibat rendah atau tingginya rataan jumlah E. coli. Faktor yang mempengaruhi tingkat prevalensi adalah banyaknya jumlah sampel yang positif E. coli (memiliki cemaran >1x101 MPN/g) dibandingkan total jumlah sampel daging ayam yang diuji.

Hasil penelitian Zhao et al. (2001), menyatakan tingkat prevalensi cemaran Escherichia coli pada daging ayam dari Washington D C selama bulan Juni 1999 sampai Juli 2000 sebesar 38.7% (82 sampel positif dari 212 total sampel).

Tingginya tingkat prevalensi cemaran E. coli pada daging ayam yang berasal dari Washington D C, karena masih banyak ditemukan penanganan daging ayam yang kurang baik saat produksi, pemrosesan dan pendistribusian. Hal tersebut dapat mengambarkan masih cukup tingginya cemaran E. coli pada daging ayam walaupun negara tersebut merupakan negara maju.

0 5 10 15 20 25 30 35

DKI Jakarta Bekasi Bogor Serang

Tingkat prevalensi cemaran E. coli

Daerah asal

(4)

Tingkat prevalensi Escherichia coli dipengaruhi oleh banyaknya jumlah sampel positif, yaitu sampel daging ayam yang memiliki rataan jumlah E. coli di atas BMCM E. coli (1x101 MPN/g). Oleh karena itu, tingkat prevalensi dapat diturunkan dengan cara mencegah terjadinya peningkatan kontaminasi cemaran E. coli pada daging ayam, yaitu meningkatkan sanitasi dan higiene di peternakan maupun RPU.

Hasil penelitian tentang jumlah Escherichia coli pada daging ayam beku yang telah dilakukan, ternyata tidak jauh berbeda dengan yang telah dilakukan oleh Setiowati dan Mardiastuti pada tahun 2006 sampai 2009 dan Ardana et al.

pada tahun 2003 sampai 2004. Hasil penelitian Setiowati dan Mardiastuti (2009) menyatakan, bahwa pada tahun 2006 sampai 2009 tingkat cemaran bakteri E. coli pada daging ayam yang berasal dari pasar tradisional dan swalayan di DKI Jakarta sebanyak 28% sampel yang diuji melebihi BMCM E. coli yang diperbolehkan SNI. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih rendahnya higiene dan buruknya sanitasi di tempat pemotongan maupun saat pengolahan atau pengemasan daging ayam di DKI Jakarta.

Hasil penelitian Ardana et al. (2006) menyebutkan, bahwa jumlah cemaran Escherichia coli pada daging ayam yang berasal dari Bali, NTB, dan NTT pada tahun 2003 sampai 2004 sebanyak 19.6% sampel yang diuji melebihi BMCM yang diperbolehkan SNI. Cemaran E. coli diduga berasal dari rumah potong unggas (RPU). Pencemaran mikroba yang tinggi di RPU sangat dimungkinkan karena sebagian besar kondisi RPU yang ada tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi lingkungan. Pegawai yang terlibat dalam proses pemotongan kurang peduli terhadap kebersihan dirinya maupun alat dan tempat pemotongan unggas tersebut.

Escherichia coli yang mencemari daging ayam umumnya berasal dari ruangan, peralatan maupun meja tempat pemotongan ayam, serta air yang digunakan selama proses pemotongan hingga pengolahan daging ayam. Oleh karena itu, adanya faktor di atas tersebut dapat mendukung meningkatnya jumlah E. coli pada daging ayam. Selain itu, peningkatan jumlah E. coli juga dipengaruhi oleh faktor intrinsik dari produk pangan tersebut (Nugroho 2005). Faktor intrinsik

(5)

pada daging ayam, antara lain nilai pH, aktivitas air, potensial oksidasi-reduksi, nutrisi, keberadaan antimikroba, dan struktur biologis (Lukman et al. 2009).

Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dapat terjadi dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, seperti tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air bahan pangan. Oleh karena itu, Escherichia coli dapat tumbuh dengan baik pada daging ayam sesuai dengan kondisi tersebut. Bakteri E. coli dapat tumbuh dengan baik di dalam lemak dan protein yang merupakan sumber nutrisi bagi mikroba. Daging ayam memiliki kandungan lemak dan protein yang tinggi, sehingga daging ayam dapat menjadi media pertumbuhan yang baik untuk E. coli (Rahardjo dan Santosa 2005).

Tingginya jumlah Escherichia coli pada sampel daging ayam beku dari daerah DKI Jakarta, Bekasi, dan Serang menunjukkan adanya kontaminasi.

Kontaminasi E. coli pada daging ayam dimungkinkan akibat penggunaan air yang sudah tercemar E. coli. Air tersebut digunakan dalam kegiatan di peternakan, tempat pemotongan, tempat pengolahan hingga dihidangkan di atas meja. Hal tersebut dapat menyebabkan meningkatnya jumlah E. coli di dalam daging ayam.

Di peternakan, E. coli umumnya bersumber dari pakan dan air minum yang terkontaminasi feses ayam. Pada proses pemotongan, pemindahan bakteri terjadi saat penggunaan alat yang kotor, berlemak dan masih terdapat sisa daging, serta tangan pegawai. Selain itu, tangan pegawai dapat menyebabkan terjadinya perpindahan bakteri atau kontaminasi silang (Nugroho 2005).

Menurut Djaja (2008), tingkat kontaminasi makanan oleh Escherichia coli di DKI Jakarta diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain akibat kontaminasi air (12.9%) dan kontaminasi tangan (12.5%). Hal tersebut membuktikan bahwa faktor sanitasi dan penanganan yang kurang baik merupakan faktor terjadinya kontaminasi E. coli di tempat pengolahan produk pangan.

Menurut Suarjana (2009), jumlah Coliform pada sumber air yang diambil

dari tiga lokasi peternakan ayam di Bali melampaui batas baku mutu air peternakan (kelas II) sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI

No.82 tahun 2001 tentang pengolahan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, yaitu 5 000 MPN/100 ml. Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa lokasi pengambilan sampel berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap jumlah bakteri

(6)

Coliform air peternakan ayam. Jumlah Coliform yang tinggi pada tempat minum mengindikasikan bahwa sanitasi kandang masih kurang baik. Kandang yang jarang dibersihkan terutama tempat minum akan mudah terkontaminasi oleh bahan-bahan infektif seperti debu kandang, kotoran dan bahan pakan yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.

Selain kemungkinan kontaminasi Escherichia coli pada daging ayam beku berasal dari penggunaan air, secara umum kejadian kontaminasi cemaran mikroba pada daging berasal dari mikroflora alami yang masuk selama penyembelihan, distribusi, pengelolaan, serta penyimpanan produk.

Menurut Nugroho (2005), bahwa tahap-tahap yang berpotensi terjadinya kontaminasi silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di RPU dapat terjadi pada saat penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, pendinginan, grading, dan pemotongan. Pencemaran Escherichia coli pada daging ayam terjadi saat pengeluaran organ jeroan. Organ jeroan terutama usus merupakan habitat alami dari E. coli, sehingga E. coli dapat mencemari daging jika daging ayam tersebut kontak dengan usus ayam dan tangan pegawai yang mengolah daging tersebut. Pada proses pencabutan bulu dapat terjadi penyebarluasan kontaminasi (kontaminasi silang) mikroba dari karkas ke karkas serta dari alat pencabut bulu. Jumlah E. coli pada kulit ayam akan meningkat selama proses pencabutan bulu (Lukman 2010b).

Pendistribusian daging ayam yang dilalulintaskan melalui pelabuhan penyeberangan Merak umumnya daging ayam dalam kondisi beku. Oleh karena itu, adanya mikroba di dalam daging ayam beku berasal dari sebelum proses pembekuan, yaitu pada saat pemotongan, pengolahan, dan pengemasan.

Menurut Djaafar dan Rahayu (2007), Escherichia coli merupakan kelompok mikroba pembusuk yang dapat mengubah makanan segar menjadi busuk bahkan dapat menghasilkan toksin. Toksin yang dihasilkan E. coli adalah verotoksin yang umumnya mengakibatkan diare berdarah dan dapat menyebabkan uremia hemolitik, yang ditandai dengan trombositopenia, anemia hemolitik, dan gagal ginjal akut terutama pada anak-anak. Oleh karena itu, penting untuk mencegah terjadi proses pembusukan pada produk pangan, terutama saat pendistribusian dan penyimpanan.

(7)

Penanganan karkas diawali dengan pencucian karkas, kemudian pendinginan karkas. Pendinginan pertama dilakukan pada suhu 10-15 oC dan pendinginan kedua pada suhu 0-4 oC. Pendinginan daging ayam segar dilakukan pada suhu 0-4 oC, sedangkan untuk pembekuan daging ayam dilakukan pada suhu -35 oC dengan aliran udara 2 meter/detik di dalam blast freezer. Untuk penyimpanan daging ayam beku dilakukan di dalam cold storage pada suhu -20 oC. Untuk pendistribusian daging ayam segar dilakukan pada suhu 4 oC dan pendistribusian daging ayam beku pada suhu -18 oC (Prima 2009).

Menurut Thompkin et al. (2001), proses pembekuan dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk pada daging ayam, sehingga daging ayam dapat tahan selama 6 bulan hingga 1 tahun. Adanya bakteri patogen pada daging ayam akan berlanjut menjadi masalah kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mencegah penyakit tersebar melalui makanan dibutuhkan penanganan yang tepat pada daging ayam, seperti mencegah kontaminasi silang pada proses pengolahan daging ayam menjadi makanan, memasak dengan waktu dan temperatur yang tepat, menghindari kontaminasi setelah memasak dengan membersihkan permukaan yang bersentuhan dengan daging, pendinginan yang tepat, dan penyimpanan daging ayam setelah dimasak dengan benar.

Escherichia coli dapat musnah karena mikroba ini bersifat sensitif terhadap pemanasan pada suhu 60 oC selama 30 menit. Secara umum bakteri Gram negatif mengandung lemak pada dinding selnya sehingga bakteri ini dapat musnah dengan pemberian deterjen atau sabun. Oleh karena itu, tangan maupun alat-alat pada saat mengolah daging ayam ataupun produk olahannya perlu dicuci menggunakan deterjen atau sabun. Hal tersebut juga dapat mencegah terjadinya kontaminasi silang antara daging ayam, peralatan maupun tangan pengolah.

Dalam menghasilkan daging ayam, produsen dan pengolah diharapkan dapat menerapkan cara-cara berproduksi yang baik atau good manufacture practices (GMP) dan penerapan sistem keamanan pangan atau hazard analysis critical control point (HACCP), sehingga daging ayam yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi (Abubakar 2003).

Menurut Djaafar dan Rahayu (2007), ketidakamanan daging unggas dan produk olahannya di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain

(8)

tingkat pengetahuan peternak, kebersihan kandang, serta sanitasi air dan pakan.

Faktor sanitasi yang buruk merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap munculnya cemaran mikroba patogen yang tidak diinginkan pada daging unggas.

Persyaratan higiene sangat penting dalam usaha pemotongan ayam, antara lain kebersihan bangunan, perlengkapan, dan peralatan yang digunakan, agar tidak menjadi sumber kontaminasi pada daging ayam. Tata laksana sanitasi meliputi pembersihan dengan menggunakan deterjen dan disinfektan. Disinfeksi merupakan usaha untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang hidup, tetapi pada umumnya tidak dapat membunuh spora bakteri. Disinfeksi dilakukan untuk membunuh mikroorganime yang berada pada ruangan pemotongan, tempat dan peralatan pemotongan maupun tangan pengolah daging ayam. Umumnya disinfektan dikombinasikan dengan deterjen untuk membersihkan ruangan maupun peralatan pemotongan ayam. Sanitasi pada air atau air minum ayam agar tidak mengandung mikrooganisme dilakukan dengan klorinasi menggunakan kaporit atau larutan hipoklorit (Murtidjo 2003).

Referensi

Dokumen terkait

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam menuangkan ide atau gagasan melalui proses berpikir kreatif

Pemisahan fibroblas dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan fenotif, pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum dengan konsentrasi rendah

Materijalno-operativno gledište zaštite odnosi se na poznavanje svojstava materijala, prepoznavanje vrste i uzroka/uzročnika oštećenja, primjenu preventivnih i

Sekitar 90% dari jumlah KK di Ciundil dapat menganyam daun pandan samak untuk tikar (tikar samak). Pembuatan tikar selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, juga untuk

Dalam skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) sub masalah yakni 1) Bagaimana peranan Muhammadiyah dalam pengembangan Islam di Makassar periode K. Abdullah 1931-1938? 2)

Dari semua hasil analisis yang diperoleh, seperti yang telah digambarkan dalam hasil penelitian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendapatan orang tua,

Akurasi waktu penyinaran pesawat sinar-X tersebut memiliki penyimpangan terbesar pada titik 100 ms sebesar 1 % sedangkan nilai lolos uji yaitu &lt;10 % berarti

Terkait dengan konteks lokal Madura, kajian kekuasaan elite ekonomi difokuskan pada para pedagang tembakau yang terdiri dari tauke, juragan dan bandol,