• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

39 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik

Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis sidik ragam (ANSIRA) Lampiran 2. Gambar 3 berikut adalah nilai rata-rata organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) berdasarkan perlakuan penambahan garam selama masa pemasaran.

Gambar 3. Histogram pengaruh perlakuan penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) selama pemasaran rantai dingin ( = 0 jam, = 24 jam, = 48 jam, =72 jam).

Histogram pada Gambar 3 menunjukan bahwa nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dengan penambahan garam konsentrasi 2% (A1) pada pemasaran 24 jam (B1), 48 jam (B2) dan 72 jam (B3) berturut-turut adalah 7, 4, 3.

Pada penambahan garam konsentrasi 5% nilai organoleptik adalah 7, 6, 4. Dan penambahan garam konsentrasi 10% berturut-turut adalah 8, 7, 6. Sedangkan untuk 0% (A0) beturut-turut mendapatkan nilai 5, 4, 3.

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0% (A0) 2 % (A1) 5 % (A2) 10% (A3)

perlakuan (A)

a a a a

d

b b

a

e e

b

b

f f

e

c

Nilai Organoleptik

Konsentrasi Garam

(2)

40

Histogram di atas menunjukan terjadi penurunan nilai organoleptik selama masa pemasaran. Nilai organoleptik tertinggi adalah 8 yang diperoleh pada ikan lolosi merah (C. chrysozona) yang baru di tangkap (A0) dengan suhu awal yaitu -0,10C.

Seiring lama pemasaran nilai organoleptik menurun pada setiap perlakuan konsentrasi garam yang ditambahkan. Nilai organoleptik terendah yaitu 3, diperoleh pada interaksi perlakuan penambahan garam 2% (A1) dan 5% (A2) setelah lama pemasaran 72 jam (B3). Nilai organoleptik pada lama pemasaran 72 jam tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh (SNI, 2006c) ikan segar dimana minimal nilai organoleptik adalah 7 dengan spesifikasi yaitu kenampakan mata, agak cerah bola mata rata, pupil agak keabu abuan dan kornea agak keruh. Insang berwarna merah agak kusam dan tanpa lendir. Lendir permukaan badan mulai agak keruh dan berwarna putih kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis dan dinding daging perut utuh. Bau netral serta tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari dan sulit menyobek daging dari tulang belakang.

Menurunnya nilai organoleptik pada semua konsentrasi penambahan dan lama pemasaran disebabkan oleh peningkatan suhu ikan lolosi merah (C. chrysozona) sehingga nilai organoleptik terus menurun. Hal ini berdasarkan pengukuran suhu pada penambahan garam 2% (A1) terjadi kenaikan suhu hingga 270C, penambahan garam 5% (A2) hingga 230C, dan penambahan garam 10% (A3) hingga 200C selama pemasaran. Sedangkan untuk 0% penambahan garam terjadi kenaikan suhu yang sangat cepat mencapai 320C. Penurunan nilai organoleptik salah satunya disebabkan oleh peningkatan suhu dan kadar air pada ikan lolosi merah (C. chrysozona), hal ini akan menyebabkan mikroba mengalami peningkatan karena ketika suhu pusat ikan

(3)

41

meningkat akan menyebabkan mikroba aktif berkembang biak, kemudian akan merombak daging ikan sehingga karakteristik organoleptik meliputi tekstur, kenampakan, dan bau akan menurun. Menurut Junianto (2003), proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena adanya aktivitas enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan menurun.

Penurunan tingkat kesegaran ikan tersebut dapat dilihat dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan yang terjadi pada ikan meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, dan post rigor. Sama halnya dengan sampel ikan lalosi merah (C. chrysozona) yang digunakan mengalami perubahan fisik, kimia, dan organoleptik. Perubahan ini ditandai dengan perubahan pre-rigor dimana pada fase ini terjadi pelepasan lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit ikan lalosi merah (C. chrysozona). Lendir yang dikeluarkan ini dapat menjadi media bagi pertumbuhan bakteri. Lendir-lendir yang terlepas tesebut membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Perubahan selanjutnya yang terjadi pada ikan lalosi merah (C. chrysozona) dimana perubahan rigor mortis ditandai jaringan otot yang semakin lama semakin tidak kenyal. Fase perubahan selanjutnya yakni perubahan post rigor.

Memasuki tahap post rigor, mulai terjadi proses pembusukan. Rangkaian perubahan yang berlangsung pada tubuh ikan selama tahap post rigor, berbeda dibandingkan dengan perubahan pada tahapan sebelumnya, dimana proses perubahan yang berlangsung selama post rigor sedah mengarah ke pembusukan. Pada tahap ini mulai terbentuk warna, rasa, bau, dan tekstur yang tidak diharapkan dan sering digunakan sebagai indikator tingkat kesegaran hasil perikanan. Perubahan yang terjadi pada

(4)

42

daging ikan selama tahap post rigor dapat dikelompokan dua kelompok sesuai dengan faktor penyebabnya, yaitu pembusukan mikrobial yang disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk dan pembusukan non mikrobial yang disebabkan oleh enzim yang secara alami terdapat di dalam tubuh ikan. Enzim merupakan bahan mirip protein yang terdapat di dalam daging dan lambung yang fungsi utamanya pada saaat ikan masih hidup untuk mempercepat proses reaksi kimia, sehingga menghasilkan perubahan pada bahan pangan. Pada saat yang sama enzim juga membantu tubuh untuk mensintesa komponen bahan pangan tersebut menjadi jaringan atau mengganti sel-sel rusak. Setelah ikan mati enzim masih tetap bekerja namun hanya berperan dalam proses perombakan saja. Dengan tidak adanya pangan yang masuk menyebabkan enzim mulai merombak jaringan daging ikan.

Hobbs (1982) menyatakan bahwa, autolisis merupakan proses perombakan oleh enzim yang ada di dalam daging ikan mati. Proses autolisis dapat berlangsung secara cepat, terutama pada ikan kecil karena, proses metabolisme lebih cepat. Pada tahap awal autolisis, enzim akan merombak jaringan otot sehingga daging ikan menjadi lunak. Wheaton dan lawson (1985) mengemukakan bahwa, saat ikan ditangkap atau dipanen biasanya memiliki enzim yang aktif dalam lambungnya. Setelah mati, aktifitas enzim menjadi tidak terkendali sehingga akan merusak dinding saluran pencernaan dan daging disekitarnya. Kondisi seperti ini merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Selain itu kerusakan kimiawi yang sering terjadi pada ikan segar adalah oksidasi lemak. Oksidasi lemak yang terjadi mengakibatkan rasa pahit, bau tengik dan perubahan warna.

(5)

43

Oksidasi lemak merupakan penyebab utama penurunan kualitas pada ikan segar yang disimpan pada suhu rendah. Mikroba dan enzim yang dihasilkan dapat berperan dalam proses ketengikan lemak, tetapi proses oksidasi lemak lebih dominan sebagai penyebab ketengikan (Wheaton dan Lawson, 1985).

Pada perlakuan penambahan garam 2% (A1) mutu organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) tidak dapat bertahan hingga 72 jam (B3) masa pemasaran.

Karakteristik organoleptik yang diamati adalah kenampakan mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, dan kornea agak keruh. Insang merah agak kusam sedikit lendir, lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, dan kurang transparan.

Pada daging, sayatan daging mulai pudar, di sepanjang tulang belakang mulai berwarna merah pucat, bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam, tekstur agak lunak, bekas jari terlihat bila ditekan mudah menyobek daging dari tulang. Hal ini karena konsentrasi garam yang diberikan terlalu sedikit, menyebabkan garam dengan cepat melebur kedalam es curai. Sehingga karakteristik organoleptik ikan tidak dapat bertahan selama masa pemasaran.

Pada perlakuan penambahan garam 5% (A2) mutu organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat bertahan, hingga 24 jam (B1) masa pemasaran dengan nilai organoleptik 7. Hal ini karena konsentrasi garam yang diberikan lebih banyak dari 2% (A1) sehingga memperlambat proses peleburan es curai sehingga nilai organoleptik dapat dipertahankan sampai 24 jam masa pemasaran. Pada perlakuan

tersebut mutu organoleptik dapat dipertahankan sehingga ikan lolosi merah (C. chrysozona) masih layak untuk dikonsumsi. Adapun karakteristik organoleptik

yang diamati adalah kenampakan mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-

(6)

44

abuan kornea agak keruh, insang agak kusam tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan, sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, di sepanjang tulang belakang masih berwarna agak putih, dinding perut utuh, bau netral tekstur agak padat agak elastis. Sedangkan untuk lama pemasaran 48 jam (B2) dan 72 jam (B3) mutu organoleptik tidak dapat memenuhi syarat (SNI, 2006c) ikan segar karena hanya memiliki nilai organoleptik 6 dan 3. Adapun karakteristik organoleptik yang diamati adalah kenampakan bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh, insang merah agak kusam, lapisan lendir mulai keruh dan kurang transparan, sayatan daging mulai pudar, berwarna merah pucat, dinding perut lunak bau amoniak kuat, dan tekstur agak lunak. Hal ini karena garam dan es curai yang ada dalam coolbox telah melebur sehingga karakteristik organoleptik ikan tidak lagi dapat bertahan.

Pada perlakuan penambahan garam 10% (A3) mutu organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat bertahan hingga 48 jam (B2) dengan nilai organoleptik terendah adalah 7. Hal ini disebabkan penambahan konsentrasi garam lebih banyak dari 2% (A1) dan 5% (A2), sehingga dapat memperlambat proses peleburan es curai dengan demikian jumlah es curai yang digunakan lebih efisien. Selain itu garam juga dapat menurunkan suhu ikan yang ada di dalam coolbox, pada perlakuan tersebut mutu organoleptik dapat dipertahankan sehingga ikan lolosi merah (C. chrysozona) masih layak untuk dikonsumsi. Adapun spesifikasi organoleptik yang diamati adalah kenampakan mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan kornea agak keruh, insang agak kusam tanpa lendir, lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan, sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis,

(7)

45

tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut utuh, bau netral tekstur agak padat agak elastis dan asin. Sedangkan untuk lama pemasaran 72 jam (B3) mutu organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) rendah dengan nilai organoleptiknya adalah 5. Hal ini karena garam yang sudah melebur kedalam es curai, serta suhu udara panas yang masuk dari luar coolbox ketika proses pemasaran berlangsung.

Adapun karakteristik organoleptik yang diamati adalah kenampakan bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh, insang merah agak kusam, lapisan lendir mulai keruh dan kurang transparan, sayatan daging mulai pudar, berwarna merah pucat, dinding perut lunak bau amoniak kuat, dan tekstur agak lunak.

Menurut Clucas (1981), kesegaran ikan tidak bisa ditingkatkan. Tetapi proses perubahannya dapat dihambat sehingga dapat dipertahankan lebih lama. Ikan akan membusuk dalam waktu 12-20 jam setelah ditangkap atau dipanen, tergantung dari jenis ikan, kondisi ikan, cara penangkapan dan kondisi lingkungan. Penurunan kesegaran ikan akan berbeda antara satu jenis ikan dengan ikan lainnya karena komposisi dagingnya berbeda. Ikan dengan kandungan glikogen tinggi mampu mempertahankan kesegaran lebih lama. Ikan utuh yang disimpan dingin dapat mempertahankan kesegarannya hingga hari ketujuh sedangkan bila tidak didingkan sudah memperlihatkan tanda-tanda pada jam keenam.

Media pendinginan es yang ditambah garam (NaCl) banyak digunakan dalam penanganan ikan segar. Media pendinginan ini banyak digunakan oleh para pedagang pengecer ikan untuk menyimpan ikan yang tidak terjual pada penjualan hari pertama.

Dengan penggunaan es ditambah garam, penurunan suhu dalam kotak atau wadah penanganan juga akan berlangsung lebih cepat dibandingkan penggunaan media

(8)

46

pendingin es saja. Kemampuan media pendingin es ditambah garam dalam pempercepat penurunan suhu ikan akan menghasilkan suhu akhir ikan yang rendah berdampak positif terhadap upaya mempertahankan kesegaran ikan. Rendahnya suhu dan kecepatan penurunan suhu ikan dapat menghambat proses biokimia dan pertumbuhan bakteri pembusuk. Disamping itu garam juga mempunyai sifat kimia yang berfungsi sebagai bakteriostatis dan bakteriosidal. Dan konsentrasi garam yang tinggi mampu merendahkan daya larut O2 sehinga dalam jaringan daging ikan, O2 hanya tingal sedikit (Yunizal dan Wibowo, 1998).

Kualitas ikan lolosi merah (C. chrysozona) segar selama penyimpanan akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan terjadi peningkatan kadar air. Peningkatan kadar air bisa dihambat dengan penambahan garam. Hal ini sesuai dengan pendapat Khairi (2012), bahwa ion Na+ pada garam akan menyebabkan perubahan tekanan osmotik antara di luar dan di dalam daging ikan sehingga air di dalam membrane tertarik ke luar. Pendapat yang sama oleh Rahayu et. al dalam Nurrahman dan Isworo (2010), garam dapat menghambat mikroorganisme pembusuk dan patogen karena mempunyai sifat dapat meningkatkan tekanan osmotik substrat, menurunkan Aw (aktivitas air), dehidrasi sel mikroorganisme, bakteriosidal dan menyebabkan denaturasi protein. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa semakin besar persentase penambahan garam maka semakin kecil kadar air pada sampel ikan yang digunakan. Kenaikan kadar air menyebabkan pertumbuhan bakteri sesuai dengan pendapat Zaki (2012) bahwa, faktor lain yang mempengaruhi tingginya jumlah bakteri yaitu peningkatan aktivitas air. Air merupakan media yang baik bagi mikroorganisme untuk berkembang biak dan dapat memicu kenaikan jumlah bakteri.

(9)

47

Kenaikan jumlah bakteri pada ikan lalosi merah (C. chrysozona) dapat menurunkan nilai organoleptik. Sehingga penurunan nilai organoleptik juga dipengaruhi oleh peningkatan kadar air dan jumlah bakteri pada ikan lalosi merah (C. chrysozona).

Untuk mengetahui pengaruh penambahan garam dan lama pemasaran terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) segar maka dilakukan analisis sidik ragam (ANSIRA). Adapun hasil analisis sidik ragam tersebut dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan analisis sidik ragam (ANSIRA) perlakuan penambahan garam dan lama pemasaran memberikan pengaruh yang sangat nyata (α < 0,01). Setelah dilakukan perhitungan secara statistik diperoleh nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel 5% dan 1%.

Uji lanjut menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Berdasarkan uji beda nyata terkecil (BNT) (Lampiran 3a), perlakuan penambahan konsentrasi garam 10%

(A3) berbeda sangat nyata (α < 0,01) dengan perlakuan 2% (A1). Pada perlakuan penambahan garam konsentrasi 5% (A2) berbeda nyata (α < 0,05) dengan 2% (A1).

Hal ini karena perbandingan konsentrasi garam yang sedikit menyebabkan es curai dengan cepat melebur dengan garam sehingga es curai dengan cepat mencair.

Uji beda nyata terkecil (BNT) untuk lama pemasaran (Lampiran 3b), lama pemasaran 24 jam (B1) dan 48 jam (B2) berbeda sangat nyata (α < 0,01) dengan 72 jam (B3). Uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) memperlihatkan perbedaan yang nyata (α < 0,05) terhadap interaksi (Lampiran 3c) perlakuan penambahan garam dan lama pemasaran, hal ini karena bedasarkan perhitungan statistik menunjukan nilai (BNT) yang diperoleh hanya lebih besar dari nilai (BNT 0,05). Data lengkap hasil uji analisis

(10)

48

sidik ragam (ANSIRA) dan uji beda nyata terkecil (BNT) organoleptik disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

4.2 Nilai TPC (Total Plate Count)

Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai TPC (Total Plate Count) ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat dilihat pada tabel analisis sidik

ragam (ANSIRA) Lampiran 4. Gambar 4 berikut adalah nilai rata-rata pertumbuhan mikroba pada perlakuan penambahan garam selama masa pemasaran.

Gambar 4. Histogram pengaruh perlakuan penambahan garam terhadap nilai TPC (Total Plate Count) ikan lolosi merah (C. chrysozona) selama pemasaran rantai dingin ( =0 jam, =24 jam, =48 jam, =72 jam).

Histogram pada Gambar 4 menunjukan bahwa perlakuan penambahan garam dan lama pemasaran memberikan pengaruh yang sangat nyata (α < 0,01) terhadap jumlah TPC (Total Plate Count). Pada perlakuan penambahan garam konsentrasi 2% (A1) masa pemasaran 24 jam (B1), 48 jam (B2) dan 72 jam (B3) berturut-turut memiliki rata-rata nilai log TPC 5,5 cfu/g, 6,2 cfu/g dan 7,6 cfu/g. Pada penambahan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0% (A0) 2 % (A1) 5 % (A2) 10% (A3)

perlakuan (A)

a a a a

c c b b

e

d d

c f

f e

d

Nilai TPC (CFU/gram)

Kosentrasi Garam

(11)

49

garam konsentrasi 5% (A2) masa pemasaran 24 jam (B1), 48 jam (B2) dan 72 jam (B3) berturut-turut memiliki rata-rata nilai log TPC 5,3 cfu/g, 6,1 cfu/g dan 7,3 cfu/g.

Sedangkan penambahan garam konsentrasi 10% (A3) pada pemasaran 24 jam (B1), 48 jam (B2) dan 72 jam (B3) berturut-turut memiliki rata-rata nilai log TPC 5,1 cfu/g, 5,7 cfu/g dan 6,2 cfu/g. Berdasarkan pengamatan pada nilai TPC (Total Plate Count) terjadi peningkatan nilai TPC dimana nilai terendah yaitu 4,4 cfu/g pada kontrol (A0) dan nilai TPC tertinggi yaitu 7,6 cfu/g perlakuan penambahan garam 2% (A1) selama 72 jam masa pemasaran (B3). Namun jika dibandingkan dengan kontrol hingga 72 jam (A0 B3) lama pemasaran nilai TPC pada perlakuan (A1 B3) ini masih lebih rendah. Nilai TPC (Total Plate Count) yang ada pada perlakuan tersebut tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh (SNI, 2006a) dimana nilai maksimal log TPC adalah 5,7 cfu/g.

Dari berbagai perlakuan yang diberikan, penambahan garam 10% (A3) dan lama pemasaran 24 jam (B1), 48 jam (B2) memliki rata-rata nilai log TPC yang masih memenuhi (SNI, 2006a) ikan segar yaitu di bawah 5,7 cfu/g. Pada perlakuan ini pertumbuhan bakteri sedikit terhambat dan tidak dapat berkembang biak dengan cepat. Hal ini karena yang sifat garam yang mampu mengurangi jumlah kadar air pada ikan yaitu dengan cara menyerap air yang ada pada tubuh ikan. Garam juga mempunyai sifat kimia yang berfungsi sebagai bakteriostatis dan bakteriosidal.

Sehinga ikan lolosi merah (C. chrysozona) masih dapat dikonsumsi meskipun sudah pada 48 jam masa pemasaran. Berdasarkan (SNI, 2006a) batas maksimum jumlah bakteri yang terdapat pada ikan segar adalah 5 x 105 koloni/g (nilai lognya adalah

(12)

50

5,70 koloni/gram) dan ikan masih dalam kategori segar jika jumlah bakterinya tidak melebihi 5x105 (log TPC adalah 5,70 cfu/g).

Semakin lama waktu pemasaran terjadi peningkatan jumlah TPC (Total Plate Count) pada ikan lolosi merah (C. crysozona), yang diikuti oleh kenaikan suhu pada

sumua perlakuan penambahan garam. peningkatan suhu bila dihubungkan dengan aktifitas bakteri serta organoleptik sangat berkaitan. Sesuai dengan pendapat Ilyas (1983), bahwa semakin rendah suhu ikan lolosi merah (C. chrysozona) pertumbuhan bakteri dapat terhambat sehingga karakteristik organoleptik dapat dipertahankan dengan daya awet 3-10 hari. Namun sebaliknya, semakin tinggi suhu kegiatan pertumbuhan bakteri pada ikan luar biasa cepat dan karakteristik organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) menurun dengan cepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto dan Liviawaty (2010), peningkatan suhu dalam coolbox sangat mempengaruhi jumlah nutrisi untuk pertumbuhan bakteri, sehingga bakteri cepat mengalami peningkatan. Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai deteriorasi. Jumlah bakteri yang terdapat pada tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup.

Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh makanan, cara penangkapan, penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis (Irawan, 1995).

Yunizal dan Wibowo (1998), mengemukakan bahwa proses kerusakan ikan berlangsung cepat di daerah beriklim tropis dengan suhu dan kelembapan harian tinggi. Proses tersebut semakin dipercepat dengan praktek-praktek atau penangkapan

(13)

51

yang tidak baik, cara penanganan yang kurang tepat, sanitasi dan higiene yang tidak memadai mengakibatkan ikan sangat rentan terhadap kerusakan biologis. Kerusakan biologis dapat menyebabkan proses pembusukan pada ikan oleh bakteri berlangsung sangat cepat, terbatasnya sarana distribusi dan sistem pemasaran dan lain-lain. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia seringkali ikan ditangkap dan didaratkan tanpa pemberian es yang layak. Akibatnya, dengan suhu harian yang tinggi (25-32ºC) dan kelembaban yang tinggi (70-90%) ikan cepat sekali rusak. Jika penanganannya tidak baik, hanya dalam 10-12 jam saja ikan sudah busuk. Segera setelah ikan mati terjadi perubahan-perubahan mutu yang mengarah pada kebusukan yang disebabkan oleh aktivitas enzim, biokimia, fisik dan mikrobiologi.

Untuk mengetahui pengaruh penambahan garam dan lama pemasaran terhadap nilai TPC (Total Plate Count) ikan lolosi merah (C. chrysozona) segar, maka dilakukan analisis sidik ragam (ANSIRA). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANSIRA) penambahan garam dan lama pemasaran memberikan pengaruh sangat nyata (α < 0,01) terhadap pertumbuhan jumlah bakteri. Setelah dilakukan perhitungan secara statistik diperoleh nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel 5% dan 1%.

Berdasarkan uji beda nyata terkecil (BNT) (Lampiran 5a), perlakuan penambahan garam 10% (A3) berbeda sangat nyata (α < 0,01) dengan perlakuan 2%

(A1) dan 5% (A2). Uji beda nyata terkecil (BNT) (Lampiran 5b) lama pemasaran 24 jam (B1), 48 jam (B2) juga berbeda sangat nyata (α < 0,01) dengan 72 jam (B3). Uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata (α < 0,01) terhadap interaksi perlakuan penambahan garam dan lama pemasaran.

Berdasarkan perhitungan secara statistik diperoleh pula nilai yang lebih besar dari

(14)

52

Tabel BNT 0,05 dan 0,01 (Lampiran 5c). Data lengkap hasil uji analisis sidik ragam (ANSIRA) dan uji beda nyata terkecil (BNT) TPC (Total Plate Count) disajikan pada (Lampiran 4 dan Lampiran 5).

Menurut Sukarsa (1980), garam sebagai bahan pengawet mempunyai senyawa NaCl yang sangat berperan dalam pengawetan ikan yang berguna untuk menghambat secara selektif pertumbuhan mikroba. Konsentrasi garam yang tinggi mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Kemampuan media pendingin es ditambah garam dalam pempercepat penurunan suhu ikan akan menghasilkan suhu akhir ikan yang rendah berdampak positif terhadap upaya mempertahankan kesegaran ikan.

Rendahnya suhu dan kecepatan penurunan suhu ikan dapat menghambat proses biokimia dan pertumbuhan bakteri pembusuk. Menurut Khairi (2012), garam berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan. Garam (NaCl) dalam cairan es akan terurai menjadi bentuk ion-ion, yaitu Na+ dan Cl¯ yang akan menganggu mikroba, terutama bakteri secara fisik dan fisiologis. Na+ akan menyebabkan perubahan tekanan osmotik antara di luar dan di dalam membran plasma sel bakteri. Air di dalam membran tertarik ke luar dan akhirnya menjadi lisis sehingga pertumbuhan bakteri terhambat. Ion Cl- menyebabkan penurunan daya larut oksigen sehingga kebutuhan oksigen oleh bakteri menjadi terbatas dan akhirnya mempengaruhi pertumbuhannya. Hal ini yang menyebabkan sampel ikan lalosi merah (C. chrysozona) jika semakin banyak persentase garam yang digunakan jumlah bakteri (TPC) dapat berkurang. Selain itu, keluarnya air dari daging ikan yang diserap oleh ion Na+ pada garam maka kadar air pada ikan juga ikut berkurang. Sehingga pertumbuhan bakteri dapat terhambat disebabkan karena air yang menjadi media

(15)

53

pertumbuhan bakteri telah berkurang. secara umum jumlah kadar air mempengaruhi pertumbuhan bakteri.

4.3 Kadar Air

Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap jumlah kadar air ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis sidik ragam (ANSIRA) Lampiran 6. Gambar 5 berikut adalah jumlah kadar air berdasarkan perlakuan penambahan garam selama masa pemasaran.

Gambar 5. Histogram pengaruh perlakuan penambahan garam terhadap jumlah kadar air ikan lolosi merah (C. chrysozona) selama masa pemasaran rantai dingin ( = 0 jam, = 24 jam, = 48 jam, = 72 jam).

Histogram pada Gambar 5 menunjukan bahwa perlakuan penambahan garam dan lama pemasaran memberikan pengaruh yang sangat nyata (α < 0,01) terhadap jumlah kadar air yang ada pada ikan lolosi merah (C. chrysozona). Pada perlakuan penambahan garam konsentrasi 2% (A1) selama masa pemasaran, kadar air

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

0% (A0) 2 % (A1) 5 % (A2) 10% (A3)

perlakuan (A)

a d e a c e a b c a a c

f f f f

Jumlah kadar air (%)

Konsentrasi Garam

(16)

54

mengalami peningkatan mulai dari 73%, hingga 88%. Pada penambahan garam konsentrasi 5% (A2) juga mengalami peningkatan kadar air 72% hingga 85%, demikian juga dengan penambahan garam konsentrasi 10% (A3) selama masa pemasaran kadar air mengalami peningkatan dari 71%, hingga 85%. Berdasarkan pengamatan, terjadi peningkatan jumlah kadar air yakni terendah 72% pada ikan lolosi merah (C. chrysozona) yang baru di tangkap (A0) dan kadar air tertinggi yaitu 88% pada perlakuan penambahan garam 2% selama 72 jam (A1 B3), namun jumlah kadar air ini masih lebih rendah dari jumlah kadar air pada perlakuan tanpa penambahan garam 72 jam masa pemasaran (A0 B3) yakni 89%. Jumlah kadar air yang terdapat pada perlakuan tersebut tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh AOAC 2007, dimana nilai kandungan air dalam kisaran normal pada ikan segar yaitu 70-85%. Jumlah kadar air yang meningkat dalam coolbox dapat mengaktifkan kembali bakteri yang sebelumnya tidak aktif pada suhu rendah sehingga bakteri dengan cepat berkembang biak, karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Selain itu jumlah air yang berlebihan akan membuat karakteristik organoleptik seperti tekstur dan kenampakan dapat menurun dengan cepat. Voksresensky (1965) mengemukakan bahwa, komponen utama terbesar pada tubuh ikan adalah air. Dengan menaburkan kristal garam pada tubuh ikan akan menyebabkan air terekstraksi keluar dari jaringan tubuh ikan, karena kristal garam yang ditaburkan akan menyerap air yang terdapat dalam jaringan tubuh ikan. Selain itu sifat kimia garam yang berfungsi sebagai bakteriostatis dan bakteriosidal.

Menurut Hamm (1960) dalam Sumaryanto (1984), pada saat es curai dan garam yang telah melebur dan ikan terendam dalam larutan garam maka air akan

(17)

55

dipindahkan ke jaringan daging ikan yang mengakibatkan daging mengembang. Hal ini yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar air pada ikan lolosi merah (C.

chrysozona). Kadar air dalam bahan makanan ikut menentukan kesegaran dan daya

awet bahan makanan tersebut. Secara khusus kadar air merupakan indikator bagi kemajuan perkembangan bakteri, karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri. Sehingga semakin meningkat kadar air pada ikan semakin meningkat pula jumlah bakteri pada ikan.

Untuk mengetahui pengaruh penambahan garam dan lama pemasaran terhadap jumlah kadar air pada ikan lolosi merah (C. chrysozona) segar, maka dilakukan analisis sidik ragam (ANSIRA). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANSIRA) penambahan garam dan lama pemasaran memberikan pengaruh sangat nyata (α < 0,01) terhadap jumlah kadar air. Hal ini karena F hitung menunjukan nilai yang lebih besar dari F tabel 5% dan 1%.

Berdasarkan uji beda nyata terkecil (BNT) (Lampiran 7a), perlakuan penambahan garam 10% (A3) berbeda sangat nyata (α < 0,01) dengan perlakuan 2%

(A1) dan 5% (A2). Hal ini karena konsentrasi 10% (A3) garam lebih banyak dari 2%

(A1) dan 5% (A2) dapat membuat es curai dan garam lebih lama melebur sehingga jumlah kadar air lebih sedikit. Berdasarkan perhitungan secara statistik diperoleh nilai lebih besar dari Tabel BNT 0,05 dan 0,01

Uji beda nyata terkecil (BNT) (Lampiran 7b) lama pemasaran 24 jam (B1), 48 jam (B2) juga berbeda sangat nyata (α < 0,01) dengan 72 jam (B3). Uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata (α < 0,01) terhadap interaksi perlakuan penambahan garam dan lama pemasaran. (Lampiran 7c).

(18)

56

Data lengkap hasil uji analisis sidik ragam (ANSIRA) dan uji beda nyata terkecil (BNT) kadar air disajikan pada (Lampiran 6 dan Lampiran 7).

Dari berbagai perlakuan yang diberikan penambahan garam 10% (A3) dengan lama pemasaran 24 jam (B1), 48 jam (B2) diketahui memliki jumlah kadar air yang paling sedikit, hal ini karena keberadaan garam yang ditaburkan ke es curai dapat memperlambat proses peleburan es curai sehingga ikan lolosi merah (C. chrysozona) masih layak untuk dikonsumsi hingga pada 48 jam (B2) masa pemasaran.

Gambar

Gambar  3.  Histogram  pengaruh  perlakuan  penambahan  garam  terhadap    nilai  organoleptik  ikan  lolosi  merah  (C
Gambar 4.  Histogram pengaruh perlakuan penambahan garam terhadap  nilai  TPC  (Total  Plate  Count)  ikan  lolosi  merah  (C
Gambar 5.  Histogram  pengaruh  perlakuan  penambahan  garam  terhadap  jumlah  kadar  air  ikan  lolosi  merah  (C

Referensi

Dokumen terkait

Trust Dilemma (dilema percaya), dapat dijelaskan pada kondisi pihak pertama sedang menghadapi dilema percaya pada pihak kedua, tetapi pihak pertama tidak yakin bahwa

Program Kegiatan yang telah disusun dalam Renja PD Dinas Kebakaran Kota Yogyakarta merupakan hasil analisis dan kajian yang cermat untuk menjadi pedoman di dalam

Mempelajari matematika pada dasarnya memahami konsepnya. Pada umumnya di sekolah SMAN. 8 Banda Aceh, model konvensional yang bersifat ceramah lebih berperan guru pada saat

Untuk itu peneliti merancang kegiatan pembelajaran dengan cara yang berbeda dari siklus I, dimana pada siklus II ini peneliti lebih menantang anak untuk membuat sebuah hasil

Sejauh ini, penulis belum menemukan penelitian yang membahas mengenai visualisasi motif tenun hasil anak usia dini di Suku Baduy Luar yang mendasari kekuatan dan

Efektivitas model pembelajaran kooperatif teknik find someone who dalam meningkatkan penguasaan kosakata bahasa jepang tingkat dasar.. Universitas pendidikan indonesia

yang mengeluarkan suara tidak setuju adalah para pemegang saham/kuasanya yang sah yang bersama-sama memegang/memiliki 357.492.688 saham atau mewakili 5,098% dari

*$lusi dari permasalahan yang terakhir yaitu dengan )ara mengadakan kegiatan umat bersih. &#34;al ini bertujuan agar mush$la disini kembali terawat dan dapat dimanfaatkan