• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADZAN (HR. Bukhari Juz 1 : 585 dan Muslim Juz 1: 382) - 1 -

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ADZAN (HR. Bukhari Juz 1 : 585 dan Muslim Juz 1: 382) - 1 -"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

ADZAN

Adzan merupakan syiar Islam, dimana Rasulullah a tidak menyerang suatu kaum yang masih terdengar suara adzan pada kaum tersebut. Diriwayatkan dari Anas y;

ُّْزْغَي ْيُكَي ْنَل بًهَْْق بٌَِث اَزَغ اَذِإ َىبَك َنَّل َسَّ َِْيَلَع ُ َّللَّا َّٔل َص َّيِجٌَّلا َّىَأ ْعَو ْسَي نَل ْىِإَّ ْنٌَُِْع َّفَك بًًاَذَأ َعِو َس َّىِئَف ُسُظٌَْيَّ َحِج ْصُي َّٔزَح بٌَِث ْنِِْيَلَع َزبَغَأ بًًاَذَأ

”Bahwa Nabi a ketika menyerang suatu kaum, beliau tidak menyerangnya hingga datang waktu shubuh seraya mencermati. Apabila beliau mendengar adzan, maka beliau tidak menyerang mereka.

Sebaliknya apabila beliau tidak mendengar suara adzan, barulah kaum tersebut diserang.” (HR. Bukhari Juz 1 : 585 dan Muslim Juz 1: 382) Seorang muadzin memiliki keutamaan yang sangat besar. Dia akan diampuni dosa-dosanya sejauh jarak dengar suara adzannya, dan ia akan mendapat pahala sebesar pahala orang yang mengerjakan shalat bersamanya. Diriwayatkan dari Al-Barra‟ bin „Azib y bahwasanya Nabi a bersabda;

َّىِإ ََُل ُسَفْغُي ُىِ ذَؤُوْلاَّ ِمَّدَقُوْلا ِ ف َّصلا َٔلَع َىُّْْل َصَي ََُزَكِئ َلََهَّ ََّللَّا ْيَه ِسْجَأ ُلْثِه ََُلَّ ٍسِثبَيَّ ٍتْطَز ْيِه ََُعِو َس ْيَه َُُقِ د َصُيَّ َِِرْْ َص ِ دَوِث

ََُعَه َّٔل َص .

(2)

“Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya mendo‟akan orang-orang yang berada di shaf terdepan. Muadzin akan diampuni dosa-dosanya sejauh jarak dengar suara adzannya, ia dibenarkan (disaksikan) oleh setiap yang basah (yang tidur) dan yang kering (benda mati) yang mendengarnya dan ia mendapat pahala sebesar pahala orang yang mengerjakan shalat bersamanya”

(HR. Nasa’i : 646, Ahmad. Dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib) Seorang muadzin juga akan dimuliakan pada hari Kiamat kelak, yaitu ia akan menjadi orang yang paling panjang lehernya pada hari Kiamat.

Diriwayatkan dari Mu‟awiyah bin Abi Sufyan p ia berkata, Aku mendengar Rasulullah a bersabda;

ِخَهبَيِقْلا َمَْْي بًقبٌَْعَأ ِابٌَّلا ُ َْْطَأ َىًُِْْ ذَؤُوْلَا

“Muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada Hari Kiamat." (HR. Muslim : 387)

Berkata Syaikh Zakaria Ghulam Qadir Al-Bakistani;

“‟Orang yang paling panjang lehernya‟ dapat berarti orang-orang dengan amalan terbanyak. Bisa juga berarti „leher panjang‟ dalam arti yang sebenarnya, sebab pada hari Kiamat ketika orang-orang sedang menghadapi kesulitan dan dalam keadaan berdesak-desakan, diantara mereka ada yang berkeringat sampai lehernya, ada yang berkeringat sampai daun telinganya, dan ada pula yang terbenam oleh keringatnya.

Dalam kondisi seperti itu para muadzin adalah orang-orang dengan leher terpanjang dan kepala tertinggi. Mereka menantikan izin untuk masuk Surga.”

(3)

Kalau demikian keutamaan seorang muadzin, maka seharusnya seorang muslim berlomba-lomba untuk mendapatkan keutamaan tersebut, meskipun dengan mengadakan undian. Diriwayatkan dari Abu Hurairah y bahwa Rasulullah a bersabda;

ْىَأ َّلَِّإ ا ُّْدِجَي ْنَل َّنُث ِ ََّّ ْلْا ِ ف َّصلاَّ ِءاَدِ ٌلا يِف بَه ُابٌَّلا ُنَلْعَي َْْل ا ُْْوََِز ْس َلَّ َِْيَلَع اُْْوَِِز ْسَي

”Seandainya manusia mengetahui pahala yang ada di dalam adzan dan shaf (barisan) pertama, kemudian mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan mengadakan undian, niscaya mereka akan mengadakan undian.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 615 dan Muslim : 437)

DEFINISI ADZAN

Adzan adalah satu bentuk ibadah kepada Allah q dengan cara mengumandangkan masuknya waktu shalat melalui dzikir tertentu. Ini adalah definisi menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri 2.

HUKUM ADZAN

Hukum adzan adalah fardhu kifayah bagi laki-laki, bukan wanita, baik di waktu menetap maupun di perjalanan.

(4)

SYARAT SAHNYA ADZAN Syarat sahnya adzan adalah : 1. Masuknya Waktu Shalat

Diriwayatkan dari Malik bin Huwairits y ia berkata Nabi a bersabda;

ْنُكُدَحَأ ْنُكَل ْىِ ذَؤُيْلَف ُح َلَ َّصلا ِدَس َ َح اَذِإَّ

“Apabila waktu shalat telah tiba, maka hendaklah seorang diantara kalian menyeru adzan untukmu sekalian.”

(Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 628, Muslim : 674)

2. Niat

Berdasarkan keumuman hadits ‟Umar bin Khattab z, Rasulullah n bersabda;

ٓ ًََْ بَه ٍاِسْها ِ لُكِل بَوًَِّإَّ ِدبَّيِ ٌلبِث ُ بَوْعَلْْا بَوًَِّإ

“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 1 dan Muslim : 1907)

3. Berbahasa Arab

Adzan merupakan ibadah dan dzikir maka tidak boleh diganti bahasa lain. Demikian madzhab hanafi, hambali, dan Syafi‟i.

4. Tertib

Menurut mayoritas ulama‟ adzan harus tertib sesuai dengan sifat yang telah ada dalilnya.

(5)

5. Muwalah

Artinya antara lafazh-lafazh adzan tidak ada senggang waktu yang lama, baik itu dengan; diam, tidur, pingsan, berbincang-bincang, dan sebagainya. Jika senggang waktunya lama, maka seorang muadzin harus memulai dari awal.

6. Satu Muadzin

Maksudnya lafazh adzan dari awal hingga akhir dibaca oleh satu muadzin (tidak gabungan).

7. Tidak Boleh Ada Kesalahan (Lahn)

Kesalahan pada adzan terbagi menjadi 2(dua), antara lain : a. Kesalahan yang menjadikan adzan tidak sah

Yaitu jika kesalahan tersebut dapat merubah arti, misalnya;

melafadzkan سَجْكَأ ُ َّللََّا dibaca زبَجْكَأ ُ َّللََّا. Ini merubah arti karena رٌزبَجْكَأ

merupakan bentuk jamak dari رٌسْجَك yang artinya gendang atau beduk.

b. Kesalahan yang menjadikan adzan tetap sah, tetapi dimakruhkan Yaitu jika kesalahan tersebut tidak sampai merubah arti, misalnya melafadzkan سَجْكَأ ُ َّللََّا dibaca سَجْكَأ ََّللََّا dengan memfathahkan huruf ha‟

(ٍ), atau حَلَ َّصلا َٔلَع َّيَح dibaca حَلَ َّصلا َٔلَع بَّيَح dengan

memanjangkan huruf ya‟ (ي)

Termasuk makruh pula melakukan mulahhan ( رٌيَّح َلُه), yaitu

mengumandangkan adzan dengan cara melagukannya seakan-akan ia menarik lafazh-lafazh yang dilagukan (meliuk-liuk). Adzannya sah tetapi makruh hukumnya.

(6)

KRITERIA MUADZIN Kriteria muadzin adalah : 1. Muslim

Adapun non muslim, maka adzannya tidak sah dengan kesepakatan ulama‟, karena orang kafir tidak diterima ibadahnya sehingga masuk Islam terlebuh dahulu.

2. Mumayyiz

Mumayyiz adalah bisa membedakan antara manfaat dan madharat, maka anak kecil yang mumayyiz adzannya sah, sekalipun belum baligh.

Tamyiz biasanya dimulai sejak anak berusia 7(tujuh) tahun.

3. Laki-laki

Adzan dan iqamah adalah fardhu kifayah bagi laki-laki, bukan wanita. Berdasarkan hadits;

رٌخَهبَقِإ َلََّّ رٌىاَذَأ ِءب َسِ ٌلا َٔلَع َسْيَل

“Tidak ada adzan dan iqamah bagi para wanita.” (HR. Baihaqi) Berkata Syaikh ‟Abdul ‟Aziz bin ‟Abdullah bin Baz t;

”Tidak disyari‟atkan bagi wanita adzan dan tidak pula iqamah, baik ketika mereka muqim (dirumah) ataupun dalam perjalanan. Adzan dan iqamah termasuk kekhususan kaum pria. Sebagaimana yang telah diterangkan oleh hadits-hadits shahih dari Rasulullah a.”

Akan tetapi jika seseorang wanita adzan dan iqamah dikalangan mereka sendiri tanpa terdengar oleh laki-laki, maka hal itu tidak mengapa. „Umar y pernah ditanya;

“Bolehkah kaum wanita adzan?” beliau marah kemudian menjawab,

“Apakah aku melarang seorang untuk berdzikir kepada Allah?”

(HR. Ibnu Abu Syaibah dalam Mushannaf 1/223) Imam Syafi‟i t berkata;

”Wanita tidak boleh mengeraskan suaranya. Ia adzan dengan suara pelan yang bisa didengar sendiri dan didengar oleh teman-temannya.

Demikian juga halnya dengan iqamah.”

(7)

4. Seorang yang Suaranya Bagus

Disunnahkan yang menjadi muadzin adalah orang yang suaranya bagus. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Mahdzurah y;

َىاَذ ْاا ََُوَّلَعَف َُُرْْ َص ََُجَجْعَأ َنَّل َسَّ َِْيَلَع ُ َّللَّا َّٔل َص ُّيِجٌَّلَا

“Bahwa Nabi a kagum dengan suaranya, kemudian beliau mengajarinya adzan.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

5. Mengetahui Waktu

Seorang yang tidak mengetahui waktu shalat, maka tidak boleh melakukan adzan, karena inti tujuan adzan adalah pemberitahuan waktu shalat. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata dalam kitab Asy-Syarhul Mumti‟ 2/47;

”Muadzin tidak berkewajiban untuk mengetahui sendiri secara langsung tentang tibanya waktu shalat. Karena Ibnu Ummi Maktum y (salah seorang muadzin Rasulullah a) adalah seorang yang buta, dan dia tidak akan mengumandangkan adzan kecuali setelah diberitahu oleh sahabat yang lainya dengan perkataan, َذ ْ َج ْصَأ َذْ َج ْصَأ (telah Shubuh...., telah Shubuh....). Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari.”

Catatan :

Apabila ada beberapa orang yang berebut untuk menjadi muadzin, maka yang dipilih adalah orang yang paling bagus suaranya, kemudian paling bagus agama dan akalnya, kemudian orang yang dipilih oleh para jama‟ah, kalau belum bisa menentukan pilihan juga, maka diadakan undian. Berkata Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri 2 dalam Mukhtasharul Fiqhil Islami;

”Bila ada dua orang atau lebih yang berebut menjadi muadzin maka harus didahulukan orang yang paling bagus suaranya, kemudian paling bagus agama dan akalnya, kemudian orang yang dipilih oleh para tetangga (jama‟ah), kemudian diadakan undian.

Dan, boleh saja memilih dua orang muadzin untuk satu masjid.”

(8)

HAL-HAL YANG DISUNNAHKAN BAGI MUADZIN Hal-hal yang disunnahkan bagi muadzin adalah : 1. Mengharapkan Wajah Allah r dengan Adzannya

Dari „Utsman bin Abil „Ash y, dia berkata;

ْيِهَْْق َمبَهِإ ْيٌِْلَعْجِا َِّللَّا َ ْ ُسَز بَي َ بَق .

ِدَزْقاَّ ْنُُِهبَهِإ َذًَْأ :

اًسْجَأ ًَِِاَذَأ َٔلَع ُرُخْأَي َلَّ بًًِ ذَؤُه ْرِخَّراَّ ْنِِِفَع ْضَأِث

“‟Wahai Rasulullah, jadikanlah aku imam bagi kaumku.‟ Beliau bersabda, „Engkau adalah imam mereka. ikutilah orang yang terlemah diantara mereka (jadikan ia sebagai patokan), dan angkatlah muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya.‟” (HR. Ibnu Majah : 714) Berkata Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri 2 dalam Mukhtasharul Fiqhil Islami;

”Hendaknya muadzin tidak menerima upah atas adzannya. Namun yang bersangkutan boleh menerima imbalan yang diberikan oleh baitul maal umat Islam untuk para muadzin, bila mereka melaksanakan tugasnya karena Allah.”

2. Suci dari Hadats Besar dan Hadats Kecil

Adzan merupakan salah satu bentuk dzikir kepada Allah q, dan disunnahkan bagi orang yang berdzikir untuk suci dari hadats besar dan hadats kecil. Berdasarkan hadits Al-Muhajir bin Qunfudz y. Dia mengucapkan salam kepada Nabi a, yang sedang berwudhu. Beliau tidak menjawab salamnya hingga menuntaskan wudhunya. Beliau lalu menjawab dan berkata;

“Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawabmu.

Hanya saja aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” (HR. Ibnu Majah : 280)

(9)

3. Berdiri Menghadap Kiblat Ibnul Mundzir t berkata;

“Telah disepakati bahwa berdiri saat mengumandangkan adzan termasuk sunnah. Karena adzan tersebut menjadi lebih terdengar. Dan termasuk sunnah adalah menghadap kiblat saat mengumandangkan adzan. Karena para muadzin Rasulullah a dahulu adzan sambil menghadap kiblat.”

4. Menolehkan Kepala dan Leher ke Kanan Saat Mengucapkan

“Hayya „alash Shalah” dan ke Kiri Saat Mengucapkan “Hayya „alal Falah”

Ini adalah tata cara inilah yang paling shahih dan tata cara inilah yang dikuatkan oleh ulama‟ Iraq dan sekelompok ulama‟ dari negeri Khurasan. Hal ini berdasarkan hadits;

َغَلَث بَّوَل ََُقٌُُع ََْٓل

"

ِح َلَ َّصلا َٔلَع َّيَح "

ْزِدَز ْسَي ْنَلَّ ًلَّبَو ِ َّ بًٌْيِوَي

“Dia (Bilal y)menggerakkan lehernya ke kanan dan ke kiri ketika sampai pada ucapan “Hayya „alash shalah” dan dia tidak memutar tubuhnya.” (HR. Abu Dawud)

Muadzin hanya menolehkan kepala dan lehernya, sedangkan dadanya tetap menghadap kiblat dan kedua kakinya tidak bergeser dari tempat semula. Ini adalah pendapat Jumhur ulama‟. Adapun menggerakkan dada, maka tidak ada dasarnya sama sekali dalam sunnah, sebagaimana disebutkan dalam Tamamul Minnah.

5. Memasukkan Dua Jari ke Dalam Dua Telinga Berdasarkan hadits dari Abu Juhaifah y ia berkata;

َِْيًَُذُأ ْيِف ٍُبَعَج ْصِإَّ بٌَُُبََُّ بٌَُُبَُ ٍُبَف ُعَّجَزَرَأَّ ُىِ ذَؤُي ًلَّ َلَِث ُذْيَأَز

“Aku pernah melihat Bilal y adzan dan aku perhatikan mulutnya kesana-kemari dan dua jari-jarinya menutup kedua telinganya.”

(HR. Ahmad dan Tirmidzi : 264)

(10)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata dalam Fathul Bari 2/115;

“Tidak ada dalil yang menentukan jari mana yang dimasukkan kedalam telinga ketika adzan. Namun Imam An-Nawawi t telah menetapkan secara pasti bahwa yang dimasukkan kedalam telinga adalah Jari Telunjuk. Dan penyebutan kata „jari‟ dalam bahasa arab merupakan kiasan dari ujung jari.”

Dan diantara para ulama‟ yang berpendapat jari telunjuklah yang dimasukkan kedalam telinga adalah; Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, Al-Auza‟i, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Nu‟man, dan Ibnul Hasan n. Diantara faidah memasukkan dua jari ke dalam dua telinga adalah; agar suara lebih kuat dan keras, serta agar orang yang jauh atau yang tidak mendengar dapat mengetahui bahwa dia sedang adzan.

6. Mengeraskan Suara Ketika Menyeru Berdasarkan sabda Nabi a;

“Tidaklah jin, manusia, dan yang lainnya mendengar suara muadzin melainkan akan memberikan kesaksian di hari Kiamat.”

(HR. Nasa’i : 625) Kecuali apabila dia adzan untuk sendiri atau jama‟ah yang sudah hadir saja, maka boleh dengan tidak terlalu mengeraskan suara.

BACAAN ADZAN

Dari Abu Mahdzurah y ia berkata;

َعْي ِجْسَّزلا َِْيِف َسَكَرَف َىاَذ ْاا ََُوَّلَع َنَّل َسَّ َِْيَلَع ُ َّللَّا َٔل َص َّيِجٌَّلا َّىَأ

“Bahwa Nabi a mengajarinya adzan lalu beliau menyebut tarji‟

(mengulangi dua kali).”

(HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

(11)

Bacaan adzan adalah sebagaimana hadits dari „Abdullah bin Zaid bin

„Abdi Rabbih y, dia berkata;

“Ketika Rasulullah a telah sepakat untuk manabuh lonceng, padahal beliau membenci hal itu karena menyerupai kaum nasrani, aku bermimpi berpapasan dengan seseorang pria di malam hari. Ia mengenakan dua pakaian hijau sambil membawa lonceng. „Aku berkata kepadanya,

„Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng?‟ Ia bertanya,

„Apakah yang engkau perbuat dengannya?‟ Aku menjawab, „Kami menggunakan untuk menyeru shalat.‟ Dia berkata, „Maukah aku kutunjukkan (cara) yang lebih baik dari itu?‟ Aku berkata; „Tentu‟ Dia berkata, „Katakanlah;

ُسَجْكَأ ُ َّللََّا ُسَجْكَأ ُ َّللَّا

ُسَجْكَأ ُ َّللَّا ُسَجْكَأ ُ َّللَّا

َُّللَّا َّلَِّإ َََلِإ َلَّ ْىَأ ُدَِ ْ َأ َُّللَّا َّلَِّإ َََلِإ َلَّ ْىَأ ُدَِ ْ َأ

َِّللَّا ُ ْْ ُسَز ا ًدَّوَ ُه ْىَأ ُدَِ ْ َأ َِّللَّا ُ ْْ ُسَز ا ًدَّوَ ُه ْىَأ ُدَِ ْ َأ

ِحَلَ َّصلا َٔلَع َّيَح ِحَلَ َّصلا َٔلَع َّيَح

ِ َلََفلا َٔلَع َّيَح ِ َلََفلا َٔلَع َّيَح

ُسَجْكَأ ُ َّللََّا ُسَجْكَأ ُ َّللَّا

َُّللَّا َّلَِّإ َََلِإ َلَّ

‟Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. ‟Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Marilah menuju shalat, Marilah menuju shalat. Marilah menuju keberuntungan,

(12)

Marilah menuju keberuntungan. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar.

Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah.‟

...

Ketika pagi tiba, aku mendatangi Rasulullah a dan kuberitahukan kepada beliau tentang apa yang telah kulihat (dalam mimpi). Lalu Rasulullah a bersabda, „Sesungguhnya ini adalah mimpi yang benar insya Allah.‟ Kemudian beliau menyuruh adzan. Dan Bilal y budak yang dimerdekakan oleh Abu Bakar y mengumandangkan adzan dengan lafadz tersebut.”

(HR. Abu Dawud : 469, Tirmidzi : 189, Ibnu Majah : 706)

Adapun dalam adzan Shubuh, setelah membaca, َلََفلا َٔلَع َّيَح maka

muadzin membaca;

ِم ٌَّْْلا َيِه رٌسْيَخ ُح َلَ َّصلَا ِمٌَّْْلا َيِه رٌسْيَخ ُح َلَ َّصلَا

“Shalat lebih baik dari tidur. Shalat lebih baik dari tidur.”

Hal ini berdasarkan hadits dari Anas y ia berkata:

ِس ْجَفْلا يِف ُىِ ذَؤُوْلا َ بَق اَذِإ ِخٌَّ ُّسلا َيِه َ بَق ِ َلََفْلا َٔلَع َّيَح :

:

ِم ٌَّْْلا َيِه رٌسْيَخ ُح َلَ َّصلَا

“Termasuk sunnah adalah bila muadzin pada waktu fajar telah membaca

“Hayya „alal Falah” ia mengucapkan “Ash-Shalaatu Khairum minan Naum.”” (HR. Ibnu Khuzaimah)

(13)

Catatan :

 Disunnahkan agar muadzin menggabungkan dua takbir dalam satu nafas. Dari „Umar bin Khattab y, ia mengatakan bahwa Rasullah a bersabda;

“Jika muadzin mengatakan „Allahu Akbar, Allahu Akbar.‟ Maka hendaklah seorang diantara kalian mengatakan, „Allahu Akbar, Allahu Akbar.‟ Kemudian jika mengatakan „Asyhadu allaa ilaaha illallaah.‟ Maka dia mengatakan, „Asyhadu allaa ilaaha illallaah.‟

……” (HR. Abu Dawud : 527)

Berkata Imam Nawawi t dalam Syarah Muslim;

“Disini terdapat isyarat yang menjelaskan bahwa muadzin menggabungkan setiap dua takbir dalam satu nafas. Dan pendengar juga menjawab seperti itu.”

 Ketika cuaca yang sangat dingin, terjadi angin kencang, atau hujan di malam hari yang sekiranya memberatkan jama‟ah untuk berangkat ke masjid, maka muadzin disunnahkan membaca;

ِ ب َحِ سلا ْيِف اُّْْل َص َّلََّأ

”Ingatlah, shalatlah di rumah.”

Atau;

ْنُكِرُْْيُث ْيِف اُّْْل َص

”Shalatlah di rumah-rumah kalian.”

Sebagai ganti ‟Hayya 'Alas Shalah‟, atau setelah membaca ‟Hayya 'Alal Falah‟, atau setelah selesai mengucapkan lafazh adzan semuanya. Perintah untuk shalat dirumah itu bukan suatu kewajiban, namun hanya sekedar suatu keringanan.

(14)

 Disunnahkan adzan pada awal waktu. Hal ini berdasarkan perkataan Jabir bin Samurah y;

ِذْق َْْلا ِيَع َىاَذَ ْلْا ُس ِ خَؤُي َلَّ رٌ َلَِث َىبَك بًئْي َ َخَهبَقِ ْلْا َسَّخَأ بَوَثُزَّ .

.

”Bilal y tidak biasa mengakhirkan adzan dari waktunya dan kadang-kadang ia sedikit mengakhirkan iqamah.”

(HR. Ibnu Majah : 713. hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil)

 Khusus untuk waktu shubuh hendaknya dikumandangkan adzan pertama sebelum masuk waktunya. Dari Ibnu „Umar p, Nabi a bersabda;

ٍمُْزْكَه ِ مُأ ُيْثِا َيِابٌَُي َّٔزَح اُْثَس ْ اَّ اُْلُكَف ٍلْيَلِث ُىِ ذَؤُي ًلَّ َلَِث َّىِإ ََُل َ بَقُي َّٔزَح يِابٌَُي َلَّ َٔوْعَأ ًلَُجَز َىبَكَّ

َذ ْ َج ْصَأ :

َذ ْ َج ْصَأ

“Sesungguhnya Bilal y akan beradzan pada malam hari maka makan dan minumlah sampai Ibnu Maktum y beradzan. Ia (Ibnu Maktum y) adalah laki-laki buta yang tidak akan beradzan kecuali setelah dikatakan kepadanya: Engkau telah masuk waktu Shubuh engkau telah masuk waktu Shubuh.” (Muttafaq ‘alaih) Nabi a telah menjelaskan hikmah mendahulukan adzan (pertama) Shubuh dari waktunya dengan sabdanya;

“Janganlah adzan Bilal y menghalangi salah seorang dari kalian dari sahur. Karena sesungguhnya dia adzan –atau beliau bersabda; menyeru di malam hari agar orang yang shalat malam diantara kalian kembali (istirahat) dan juga untuk membangunkan orang yang tidur diantara kalian.”

(15)

Adzan shubuh yang pertama dilakukan ketika waktu sahur (beberapa saat menjelang terbitnya fajar shadiq) dan ini pendapat yang ditetapkan oleh Imam An-Nawawi t. Telah diketahui bahwa jarak antara waktu sahur Rasulullah a dengan permulaan shalat shubuh beliau itu seukuran waktu yang dibutuhkan untuk membaca sekitar 50(lima puluh) ayat, sebagaimana dalam hadits dari Zaid bin Tsabit y yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Berkaitan dengan hal ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam kitab Fathul Bari 4/138 menjelaskan;

“Yaitu ayat yang sedang-sedang, tidak terlalu panjang tapi juga tidak terlalu pendek. Membacanya tidak terlalu cepat, tapi juga tidak terlalu pelan.”

 Tatswib (ucapkan, “Ash-shalatu khairum minan naum.” „Shalat itu lebih baik daripada tidur‟) adalah pada adzan shubuh yang kedua, dan inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh „Abdul Aziz bin

„Abdullah bin Baz t dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin t.

 Disunnahkan bagi yang mendengar adzan untuk mengucapkan sebagaimana yang diucapkan muadzin. Dari Abu Said Al-Khudri y bahwa Rasulullah a bersabda;

ُىِ ذ َؤُوْلا ُ ُْقَي بَه َلْثِه اُْلُْقَف َءاَدِ ٌلا ُنُزْعِو َس اَذِإ

“Apabila engkau sekalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan muadzin.” (Muttafaq ‘alaih)

Kecuali pada bacaan ِحَلَ َّصلا َٔلَع َّيَح dan ِ َلََفلا َٔلَع َّيَح

dijawab dengan ِ َّللَّبِث َّلَِّإ َحَُّْق َلََّّ َ َْْح َلَّ sebagaimana hadits dari

„Umar bin Khattab y didalam shahih Muslim.

(16)

 Seorang yang mendengar bacaan muadzin “Ash-Shalaatu Khairum minan Naum,” maka juga menjawab, “Ash-Shalaatu Khairum minan Naum” berdasarkan keumuman hadits Abu Said Al-Khudri y. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dan Syaikh Abu Malik Kamal 2.

Adapun jawaban “Shadaqta wa Bararta” haditsnya tidak shahih, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.

 Disunnahkan bagi seorang yang telah selesai menjawab adzan agar bershalawat kepada Nabi a dengan shalawat Ibrahimiyah (shalawat yang biasa dibaca ketika tasyahud akhir). Diriwayatkan dari ‟Abdullah bin ‟Amr bin Ash y bahwa ia mendengar Nabi a bersabda;

ًََُِّئَف َّيَلَع اُّْل َص َّنُث ُ ُْقَي بَه َلْثِه اُْلُْقَف َىِ ذَؤُوْلا ْنُزْعِو َس اَذِإ اًس ْشَع بَِِث َِْيَلَع ُ َّللَّا َّٔل َص ًح َلَ َص َّيَلَع َّٔل َص ْيَه

“Apabila kamu mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan. Kemudian bacalah shalawat untukku, karena sesungguhnya berangsiapa yang membaca shalawat untukku satu kali maka dengan itu Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.” (HR. Muslim : 384)

 Disunnahkan pula bagi orang yang telah selesai mendengar adzan untuk membaca do‟a seperti pada hadits Jabir dan Sa‟ad bin Abi Waqqash p.

Dari Jabir y, Rasulullah a bersabda;

َءاَدِ ٌلا ُعَو ْسَي َيي ِح َ بَق ْيَه :

“Barangsiapa yang seusai mendengar adzan, lalu mengucapkan,

(17)

ا ًدَّوَ ُه ِدآ ِخَوِئبَقْلا ِح َلَ َّصلاَّ ِخَّهبَّزلا ِحَْْعَّدلا ٍِِرَُ َّةَز َّنَُِّللا

ِى

اًاُْوْ َه بًهبَقَه َُْثَعْثاَّ َخَلي ِ َفْلاَّ َخَلي ِسَْْلا ََُر ْدَعَّ يِرَّلا ِى

„Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini serta shalat yang akan didirikan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan keutamaan. Tempatkanlah ia pada kedudukan yang mulia sebagaimana engkau janjikan.‟

ِخَهبَيِقْلا َمَْْي يِزَعبَف َ ََُل ْذَّلَح

Maka ia layak mendapat syafa‟atku pada hari kiamat.”

(HR. Bukhari : 614, Abu Dawud : 525, Tirmidzi : 211) Dari Sa'ad bin Abi Waqqash y, dari Rasulullah a bahwa beliau bersabda;

َىِ ذ َؤُوْلا ُعَو ْسَي َيي ِح َ بَق ْيَه

”Barangsiapa ketika mendengar muadzin ia mengucapkan,

ٍُُدْجَع اًدَّوَ ُه َّىَأَّ ََُل َكيِس َ َلَّ ٍَُدْحَّ ُ َّللَّا َّلَِّإ َََلِإ َلَّ ْىَأ ُدَِ ْ َأ بًٌيِا ِم َلَ ْسِ ْلْبِثَّ ًلَّْ ُسَز ٍدَّوَ ُوِثَّ بِّثَز ِ َّللَّبِث ُذي ِضَز َُُلْ ُسَزَّ

‟Aku bersaksi bahwasanya tiada Rabb yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya dan bahwa Muhammad adalah hambaNya dan utusanNya. Aku ridha dengan Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agama.‟

(18)

َُُجًَْذ ََُل َسِفُغ

Maka dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim : 386)

 Disunnahkan melakukan adzan bagi orang yang shalat sendirian.

Dari Uqbah bin Amir y dia berkata, aku mendengar Rasulullah a bersabda;

ٍلَجَجِث ٍخَّيِظ َ ِاْأَز ْيِف ٍنٌََغ ْيِعاَز ْيِه َّلَجََّّزَع َكُّثَز ُتَجْعُي َلَجََّّزَع ُ َّللَّا ُ ُْْقَيَف ييِ ل َصُيَّ ِح َلَ َّصلِل ُىِ ذَؤُي ْيِدْجَع َٔلِإ اُّْسُظًُْا :

ي ْيِدْجَعِل ُدْسَفَغ ْدَق ييِ ٌِه ُفبَخَي َح َلَ َّصلا ُنْيِقُيَّ ُىِ ذَؤُي اَرَُ

َخٌََّجْلا َُُزْلَخْاَأَّ

”Rabbmu merasa takjub terhadap seorang penggembala kambing di puncak gunung. Dia adzan dan mengerjakan shalat. Maka Allah r berfirman, ‟Lihatlah hambaKu ini, dia mengumandangkan adzan dan shalat karena takut kepadaKu. Sungguh Aku telah mengampuni hambaKu ini dan memasukkannya ke Surga.”

(HR. ِ Abu Dawud : 1203, Nasa’i : 664) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t berkata;

”Dalam hadits ini terdapat faidah dalam bab fiqih, yaitu disunnahkan adzan bagi orang yang shalat sendirian.”

Adzan pada shalat Jum‟at dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar khutbah. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri 2.

(19)

 Diperbolehkan melakukan adzan didalam masjid dengan menggunakan mikrofon. Sebagaimana fatwa dari Lajnah Da‟imah, sebagai berikut;

”Adzan didalam masjid dengan menggunakan mikrofon, baik pada hari Jum‟at dan atau pun shalat lima waktu yang lainnya, bukanlah suatu bid‟ah. Bahkan itu termasuk nikmat Allah q kepada kaum muslimin. Karena mikrofon dapat membantu untuk menyampaikan suara adzan lebih jauh dan sekaligus untuk dakwah supaya umat manusia kembali kejalan Allah q.”

(Fatawa Lajnah Da‟imah 6/199 – 200)

 Apabila seorang berada didalam masjid, maka setelah dikumandangkan adzan dilarang keluar dari masjid, kecuali dalam keadaan darurat, seperti; sakit, memperbarui wudhu karena batal, khawatir ketinggalan rombongan safar, menjadi imam dimasjid lain, dan sebagainya. Dari Abu Sya‟tsa‟ y, dia berkata;

رٌلُجَز َمبَقَف ُىِ ذَؤُوْلا َىَّذَأَف َحَسْيَسُُ ْيِثَأ َعَه ِدِج ْسَوْلا ْيِف اًاُْْعُق بٌَُّك َيِه َجَسَخ َّٔزَح ٍُُس َصَث َحَسْيَسُُ ُْْثَأ ََُعَجْرَأَف ْي ِشْوَي ِدِج ْسِوْلا َيِه َّٔل َص ِن ِسبَقْلا بَثَأ ٔ َصَع ْدَقَف اَرَُ بَّهَأ َحَسْيَسُُ ُْْثَأ َ بَقَف ِدِج ْسَوْلا َنَّل َسَّ َِْيَلَع ُ َّللَّا

“Kami pernah duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah y, maka muadzin pun mengumandangkan adzan. Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit dan berjalan keluar masjid. Kemudian Abu Hurairah y mengikutinya dengan pandangannya hingga ia keluar masjid. Lalu Abu Hurairah y berkata, „Orang ini mendurhakai Abul Qasim (Nabi Muhammad a).‟” (HR. Muslim Juz 1 : 655) Imam An-Nawawi t berkata;

“Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya keluar dari masjid setelah adzan dikumandangkan hingga ia selesai mengerjakan shalat fardhu, kecuali karena udzur.”

(20)

IQAMAH

DEFINISI IQAMAH

Iqamah adalah satu bentuk ibadah kepada Allah q dengan cara memberitahukan tentang pelaksanaan shalat melalui dzikir tertentu. Ini adalah definisi menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri 2.

HUKUM IQAMAH

Hukum iqamah adalah fardhu kifayah.

BACAAN IQAMAH

Diriwayatkan dari Ibnu Umar y yang menyatakan;

ٌَْٔثَه ٌَْٔثَه َنَّل َسَّ َِْيَلَع ُ َّللَّا َّٔل َص َِّللَّا ِ ْْ ُسَز ِدَِْع َٔلَع ُىاَذَ ْلْا َىبَك ِذَهبَق ْدَق ُح َلَ َّصلا ِذَهبَق ْدَق ُ ُْْقَر َكًََّأ َّلَِّإ ًحَّسَه ًحَّسَه ُخَهبَقِ ْلْاَّ

ُح َلَ َّصلا

”Dahulu adzan pada masa Rasulullah a dibaca dua kali dua kali, sedangkan iqamah dibaca satu kali satu kali, kecuali engkau membaca,

”Qad qaamatish shalah Qad qaamatish shalah.” (Shalat telah didirikan. Shalat telah didirikan.)”

(HR. Abu Dawud : 510 dan Nasa’i : 628, lafazh ini miliknya)

(21)

Bacaan iqamah dengan 11(sebelas) kalimat, yaitu :

ُسَجْكَأ ُ َّللََّا ُسَجْكَأ ُ َّللََّا

َُّللَّا َّلَِّإ َََلِإ َلَّ ْىَأ ُدَِ ْ َأ َِّللَّا ُ ْ ُسَز اًدَّوَ ُه َّىَأ ُدَِ ْ َأ

ِح َلَ َّصلا َٔلَع َّيَح ِ َلََفْلا َٔلَع َّيَح ُحَلَ َّصلا ِذَهبَقْدَق

ُحَلَ َّصلا ِذَهبَقْدَق ُسَجْكَأ ُ َّللََّا ُسَجْكَأ ُ َّللََّا َُّللَّا َّلَِّإ َََلِإ َلَّ

‟Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Marilah menuju shalat. Marilah menuju keberuntungan. Shalat telah didirikan, Shalat telah didirikan.

Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah.” (HR. Abu Dawud : 603)

(22)

Atau dengan 10(sepuluh) kalimat, yaitu :

ُسَجْكَأ ُ َّللََّا ُسَجْكَأ ُ َّللََّا

َُّللَّا َّلَِّإ َََلِإ َلَّ ْىَأ ُدَِ ْ َأ َِّللَّا ُ ْ ُسَز اًدَّوَ ُه َّىَأ ُدَِ ْ َأ

ِح َلَ َّصلا َٔلَع َّيَح ِ َلََفْلا َٔلَع َّيَح ُحَلَ َّصلا ِذَهبَقْدَق

ُحَلَ َّصلا ِذَهبَقْدَق ُسَجْكَأ ُ َّللََّا َُّللَّا َّلَِّإ َََلِإ َلَّ

‟Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Marilah menuju shalat. Marilah menuju keberuntungan. Shalat telah didirikan, Shalat telah didirikan.

Allah Maha Besar. Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah.”

(HR. Abu Dawud : 510 dan Nasa’i : 682, lafazh ini miliknya)

(23)

Catatan :

 Adzan dan iqamah dilakukan baik di waktu muqim (menetap) maupun di perjalanan. Dari Malik bin Huwairits y, ia berkata;

”Ada dua orang laki-laki datang kepada Nabi a karena hendak bepergian, lalu beliau bersabda;

بَوُكُسَجْكَأ بَوُكَّهُؤَيِل َّنُث بَوْيِقَأ َّنُث بًَِ ذَأَف بَوُزْجَسَخ بَوُزًَْأ اَذِإ

"Jika kalian berdua keluar (bepergian) maka kumandangkanlah adzan lalu iqamah, kemudian hendaklah orang yang lebih tua di antara kalian mengimami kalian berdua.”

(Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari : 630, lafazh ini miliknya dan Muslim : 674)

 Hendaknya melakukan Tarassul (pelan-pelan) ketika adzan dan hadar (cepat-cepat) ketika iqamah. Dari „Umar bin Khattab y ia berkata, Nabi a bersabda;

“Jika Muadzin membaca Allahu Akbar lalu salah seorang diantara kalian menjawab Allahu Akbar. Kemudian ketika muadzin membaca Asyhadu alla Ilahaillallah, ia menjawab Asyhadu alla Ilahaillallah, ……” (HR. Muslim : 385)

Imam Ash-Shan‟ani t dalam kitab Subulus Salam 1/129 menyatakan;

“Hadits ini adalah dalil tentang disyariatkannya tarassul ketika adzan. Karena yang dimaksud dengan adzan adalah pemberitahuan bagi orang yang jauh. Dan jika adzan dilakukan dengan tarassul tentu suaranya akan lebih sampai kepada pendengar. Selain itu, hadits ini juga merupakan dalil disyariatkannya hadar ketika iqamah. Karena yang dimaksud dengan iqamah adalah pemberitahuan kepada orang yang telah hadir (bahwa shalat akan segera dilaksanakan). Maka yang lebih sesuai dalam iqamah adalah hadar, supaya iqamah cepat selesai sehingga bisa segera melaksanakan tujuan, yaitu shalat.”

(24)

 Disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah qabliyah antara adzan dan iqamah. Berdasarkan hadits dari ‟Abdullah bin Mughaffal y ia berkata, Nabi a bersabda;

ِخَثِلبَّثلا يَف َ بَق َّنُث رٌح َلَ َص ِيْيًَاَذَأ ِ لُك َيْيَث رٌح َلَ َص ِيْيًَاَذَأ ِ لُك َيْيَث َءب َ ْيَوِل

“Antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalat (sunnah), antara dua adzan (adzan dan iqamah) ada shalat (sunnah),”

kemudian Nabi a bersabda pada kali ketiga, “Bagi siapa yang menginginkannya.” (HR. Bukhari Juz 1 : 601)

Disunnahkan seorang muslim untuk memperbanyak do‟a antara adzan dan iqamah, karena waktu tersebut merupakan waktu yang mustajab untuk berdo‟a. Dari Anas y, dia mengatakan bahwa Rasulullah a bersabda;

ِخَهبَقِ ْلْاَّ ِىاَذَ ْلْا َيْيَث ُّاَسُي َلَّ ُءبَعُّدلَا

“Do‟a antara adzan dan iqamah tidak ditolak.”

(HR. Tirmidzi Juz 1 : 212 dan Abu Dawud : 517)

 Tidak ada batasan waktu tertentu antara adzan dan iqamah, yang terpenting diberikan waktu yang cukup bagi para jama‟ah untuk melakukan persiapan menghadiri shalat. Ibnu Baththal t berkata;

“Tidak ada batasan (waktu) dalam hal ini, kecuali kepastian tentang masuknya waktu dan berkumpulnya orang hendak shalat.”

Tidak diragukan lagi memperlambat iqamah dari adzan termasuk tindakan tolong-menolong yang dianjurkan dalam perkara kebaikan dan taqwa.

(25)

 Muadzin lebih berkuasa atas adzan, sedangkan imam lebih berkuasa atas iqamah. Sehingga muadzin tidak boleh mengumandangkan iqamah kecuali dengan aba-aba dari imam, melihat kehadirannya, atau berdirinya, dan sebagainya. Ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-tuwaijiri 2.

 Apabila imam tetap yang telah ditunjuk datang terlambat, maka boleh mempersilakan salah seorang yang hadir untuk menjadi imam shalat. Berkata Syaikh ‟Abdul ‟Aziz bin ‟Abdullah bin Baz t;

”Jangan tergesa-gesa melakukan iqamah sampai imam memerintahkan supaya dilakukan iqamah. Yang demikian itu dalam waktu seperempat jam, sepertiga jam, atau kurang lebih dari itu. Apabila ternyata imam terlambat datang, maka boleh mempersilakan salah seorang yang hadir untuk menjadi imam shalat.”

 Para makmum hendaknya tidak bangkit, setelah mendengar iqamah kecuali setelah melihat imam. Ini adalah pendapat jumhur ulama‟. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Qatadah y bahwa Rasulullah a bersabda;

ْيًَِّْسَر َّٔزَح اُْْهُْْقَر َلََف ُح َلَ َّصلا ِذَوْيِقُأ اَذِإ

“Apabila shalat telah didirikan (yaitu iqamah), maka janganlah kalian berdiri hingga melihatku.”

(HR. Bukhari Juz 1 : 611, Muslim Juz 1 : 604) Jika imam berada didalam masjid, maka hendaknya makmum tidak bangkit kecuali melihat imam bangkit, karena bangkitnya imam sama maknanya dengan keluarnya imam kepada jama‟ahnya. Ini adalah pendapat Syaikh Abu Malik Kamal 2.

(26)

 Disyariatkan adzan dan iqamah bagi untuk shalat jama‟ dan shalat yang terlewatkan -misalnya karena tertidur atau lupa.- Disebutkan dalam sebuah riwayat;

“Nabi a dan para sahabatnya tertidur pada suatu perjalanan hingga shalat shubuh terlewatkan. Ketika itu Nabi a menyuruh Bilal y (untuk adzan dan iqamah), lalu Bilal y pun adzan dan iqamah.”

(HR. Abu Dawud : 420)

 Apabila shalat yang terlewat lebih dari satu –termasuk shalat jama‟-, maka cukup adzan sekali dan iqamah untuk tiap-tiap shalat fardhu. Berdasarkan hadits Ibnu Mas‟ud y, dia berkata;

“Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah a dari mengerjakan 4(empat) shalat pada hari perang Khandaq. Hingga berlalulah malam menurut kehendak Allah.

Maka beliau menyuruh Bilal y adzan kemudian iqamah lalu shalat Zhuhur, kemudian iqamah shalat „Ashar, kemudian iqamah lalu shalat Maghrib, kemudian iqamah lalu shalat „Isya‟.”

(HR. Nasa’i : 638, Tirmidzi : 179)

 Disunnahkan adzan ketika mengakhirkan shalat Zhuhur dan shalat Isya‟, jika pada tempat tersebut belum diadzani. Berkata Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri 2 dalam Mukhtasharul Fiqhil Islami;

”Bila seseorang mengakhirkan shalat Dzuhur karena cuaca yang sangat panas, atau mengakhirkan shalat Isya‟ ke waktu yang paling utama maka disunnahkan mengumandangkan adzan ketika hendak mengerjakan shalat.”

Disebutkan dalam Minhatul Alam oleh ‟Abdullah Al-Fauzan t;

”Namun hal ini jika disuatu tempat yang belum diadzani –seperti tanah lapang-. Adapun bila disuatu masjid yang sudah diadzani, maka hukumnya tidak wajib karena telah gugur dengan adanya adzan umum terebut. Kalau memang ingin adzan juga boleh, tetapi hendaknya tidak dengan suara keras agar tidak mengganggu orang yang mendengar.”

(27)

 Adzan dan iqamah hanya dilakukan untuk shalat lima waktu dan shalat Jum‟at saja. Tidak ada adzan dan iqamah pada shalat Idul Fitri dan Idul Adh-ha. Jabir bin Samurah y berkata;

َلَّ َّ ٍحَّسَه َسْيَغ ِيْيَديِعْلا َنَّل َسَّ َِْيَلَع ُ َّللَّا َّٔل َص ِ يِجٌَّلا َعَه ُذْيَّل َص ٍخَهبَقِإ َلََّّ ٍىاَذَأ ِسْيَغِث ِيْيَرَّسَه

”Aku shalat dua „Ied (Fitri dan Adh-ha) bukan sekali-dua kali bersama Nabi a tanpa adzan dan iqamah.” (HR. Muslim)

 Adapun untuk shalat gerhana menggunakan panggilan khusus, yaitu ‟Ash-Shalatu Jami‟ah‟ dan disunnahkan mengulangi panggilan tersebut beberapa kali jika diperlukan. Berkata Syaikh

‟Abdul ‟Aziz bin ‟Abdullah bin Baz t;

”Telah tetap dari Nabi a bahwasanya beliau menyuruh untuk memanggil orang untuk shalat gerhana dengan ucapan, ‟Ash- Shalatu Jami‟ah‟ (mari berkumpul untuk shalat). Dan sunnahnya orang yang memanggil itu mengulang-ulangi ucapan tersebut hingga ia yakin bahwa panggilan tersebut telah didengar oleh orang lain. Dan tidak ada batasan tertentu pada pengulangannya, sepanjang pengetahuan kami. Dan Allah jualah yang berkuasa memberikan taufiq.”

 Ada beberapa shalat yang tidak memiliki adzan, iqamah, atau panggilan tertentu, seperti; shalat tarawih, shalat jenazah, shalat

‟Ied, shalat istisqa‟, dan semisalnya.

(28)

Tidak disyari‟atkan membisikkan adzan dan iqamah di telinga bayi. Karena hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut adalah hadits palsu. Hadits tersebut adalah;

َٓس ْسُيْلا ًَُِِذُأ ْيِف َمبَقَأَّ ٌَْٔوُيْلا ًَُِِذُأ ْيِف َىَّذَأَف رٌاُْْلَْْه ََُل َدِلُّ ْيَه ِىبَيْج ِ صلا ُّمُأ ٍَُّس َ َر ْنَل

“Barangsiapa dianugerahi anak kemudian ia adzan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya, maka anak itu kelak tidak akan diganggu jin.”

Berkata Syaikh Al-Albani t;

“Maudhu‟, diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dengan sanad di dalamnya terdapat dua orang perawi yang dituduh memalsukan hadits, dan perawi yang ketiga dha‟if. Silakan lihat dalam Silsilah Hadits Dha‟if : 321.”

(29)

MARAJI’

1. Al-Adzanu wal Iqamah (Al-Mafhumu wal Fadha‟ilu wal Adabu wasy Syurutuhu) fi Dhau‟il Kitabi was Sunnah, Sa‟id bin Wahf Al- Qahthani.

2. Al-Jami‟ush Shahih, Muhammad bin Ismai‟l Al-Bukhari.

3. Al-Jami‟ush Shahih Sunanut Tirmidzi, Muhammad bin Isa At- Tirmidzi.

4. Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, ‟Abdul ‟Azhim bin Badawi Al-Khalafi.

5. As-Silsilah Adh-Dha‟ifah, Muhammad Nashiruddin Al-Albani.

6. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al- Asqalani.

7. Fiqhus Sunnah lin Nisaa‟i wa ma Yajibu an Ta‟rifahu Kullu Muslimatin minal Ahkam, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.

8. Mukhtasharul Fiqhil Islami, Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri.

9. Nida‟atur Rahman li Ahlil Iman, Abu Bakar Jabir Al-Jazairi.

10. Shahih Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al- A‟immah, Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.

11. Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi.

12. Shahihul Matjar Ar-Rabih fi Tsawabil ‟Amalish Shalih, Zakaria Ghulam Qadir Al-Bakistani.

13. Taisirul ‟Allam Syarhu Umdatil Ahkam, ‟Abdullah bin

‟Abdurrahman Ibnu Shalih Alu Bassam.

14. Tuhfatul Ikhwan bi Ajwibatin Muhammatin Tata‟allaqu bi Arkanil Islam, „Abdul „Aziz bin „Abdullah bin Baz.

15. Fiqih Adzan & Iqamat, Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi.

16. Hukum Seputar Adzan & Iqomat, Abul Harits Khaliful Hadi.

Referensi

Dokumen terkait

'HQJDQ EHUEDJDLSHUWLPEDQJDQ WHUVHEXW SHQXOLV EHULQLVLDWLI XQWXN PHQJHPEDQJNDQ EDKDQDMDUEHUEDVLV PXOWLPHGLD GDODPEHQWXN PXOWLPHGLD SUHVHQWDVL SHPEHODMDUDQ DWDX PXOWLPHGLD

merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan

Dengan kondisi siswa yang berjumlah cukup banyak untuk satu ruang kelasnya, diperlukan metode dan pendekatan belajar yang baik agar siswa dapat memahami pelajaran yang

Dijelaskan oleh Majid (2013) bahwa metode ceramah merupakan cara yang digunakan untuk mengembangkan proses pembelajaran dengan cara penuturan (lecturer), metode ceramah juga

Pada siklus II, Kegiatan pembelajaran semakin mengarah pada pembelajaran dengan metode Peta Konsep, siswa sudah terbiasa dengan kelompoknya dan bekerja sama dengan

dan Arisanti, C.I.S., 2013, Optimasi Komposisi Span 60 dan Tween 80 Sebagai Emulgator Terhadap Stabilitas Fisik Dalam Formulasi Cold Cream Ekstrak Kulit Buah

Pedesain animasi di computer yang lebih umum disebut dengan animator, hanya perlu menganimasikan objek antar keyframe tidak perlu lagi membuat animasiframe demi frame seperti

Artikel hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut: (a) judul (maksimal 10 kata) (b) nama penulis (c) abstrak (abstract) dalam bahasa Indonesia dan Inggris