• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengkonstruksi Hukum Progressif Pada Pembagian Harta Bersama di Indonesia. Sukiati Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Mengkonstruksi Hukum Progressif Pada Pembagian Harta Bersama di Indonesia. Sukiati Universitas Islam Negeri Sumatera Utara"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Mengkonstruksi Hukum Progressif Pada Pembagian Harta Bersama di Indonesia

Sukiati

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara sukiatisugiono@uinsu.ac.id

Milhan

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

@uinsu.ac.id

Nurasiah

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

@uinsu.ac.id

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Pola pembagian harta bersama yang terjadi di Pengadilan Agama dan praktiknya di Tengah Masyarakat Indonesia, kecenderungan dan alasan praktik harta bersama berkembang dan semakin langgeng, seolah cenderung mengabaikan hukum negara.

Pengumpulan Data dilakukan dengan metode dokumentasi, Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara. Wawancara dan FGD dilakukan dengan mendata praktik praktik pembagian harta bersamadi Pengadilan dan yang dilakukan di tengah masyarakat dan alasan mengapa praktik ini menjadi sangat hidup. Dengan memilih lokasi masyarakat Aceh, masyarakat Batak, masyarakat Jawa, Melayu dan Ternate.

Penelitian ini menemukan dua pola pembagian harta bersama. Pertama pembagian yang bersifat normative tekstual dan pembagian bersifat progressive kontekstual. Pembagian yang bersifat normative tekstual adalah pembagian harta bersama yang dilakukan secara normative dan merujuk kepada undang-undang dengan pembagian setengah: setengah (50:50), sebagai mana yang diamanatkan undang-undang. Kedua,merujuk kepada polapembagian yang bersifatprogressif Kontekstual, yaitu pembagian yang mengacu kepada keadilan dan kontribusi suami isteri selama masa perkawinan.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembagian harta bersama juga dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama, jenis harta yang harus dimasukkan atau tidak dimasukkan ke dalam harta bersama antara lain: Harta bawaan; Harta warisan; Hadiah; Hibah; Wasiat; Sedekah; Hutang; Asuransi;

Mahar/ Mas kawin; harta pinjam pakai; harta pihak ketiga; modal bersama; harta bawaan yang melekat pada harta bersama. Aspek kedua yang harus diperhatikan dalam pembagian harta bersama adalah beberapa variable berikut ini; nafkah;

kontribusi; tanggungjawab; Akhlak dan Moral; Kesungguhan; Jumlah Anak yang akan diasuh salah satu pihak; Monogami/poligami; Waktu/Lama perkawinan.

Keywords: Konstruksi Hukum Progressive, Pembagian Harta Bersama, aplikasi

pembagian harta bersama

(2)

A. Pendahuluan

Ketentuan harta bersama bersumber dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Undang-undang Perkawinan harta Bersama diatur di dalam Bab VII tentang Harta Bersama dalam perkawinan yang terdiri dari tiga pasal yaitu pasal 35, 36 dan 37. Dalam KHI persoalan harta Bersama diatur dalam Bab XIII tentang Harta Benda dalam Perkawinan yang dituangkan dalam pasal 85 sampai dengan pasal 95. Dalam hubungannya dengan pembagian harta bersama KHI menjelaskan bahwa duda dan janda berhak separuh dari harta perkawinan bila tidak ada perjanjian di awal. Dari kedua hukum ini maka telah ditetapkan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan adalah menjadi harta bersama. Dengan kata lain, bagian suami atau istri menurut undang-undang bagian istri atau suami dalam hal harta bersama adalah seperdua bagi masing-masing pasangan atau yang lebih dikenal dengan istilah fifty fifty (50:50).

Selain harta bersama kedua sumber peraturan tentang harta bersama ini juga menyebutkan tentang harta bawaan, yaitu harta yang diperoleh di luar perkawinan.

Mengenai harta bawaan diatur dalam pasal 35 ayat 2 dan pasal 36 ayat 2 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974. Secara khusus mengenai harta bawaan KHI mengatur di dalam pasal 87.

Harta bawaan yang dibawa oleh masing-masing suami istri menjadi hak masing-masing selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Oleh karena itu istri dibenarkan bertindak hukum terhadap hartanya sendiri tanpa persetujuan suami atau pengadilan.

Kebolehan ini merupakan kemajuan berfikir masyarakat Indonesia dibandingkan masa penjajahan.

Meskipun secara normatif, hak-hak suami atau istri benar-benar ditempatkan setara dalam hal harta bersama, akan tetapi praktek yang sering terjadi di lapangan menyangkut sengketa harta bersama, seringkali diselesaikan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pembagian harta bersama yang telah ditetapkan undang-undang adalah seperdua pada kenyataannya tidak terlaksana dengan baik. Terutama bila dikaitkan dengan adat, budaya dan kearifan lokal yang mempengaruhinya, tentu saja pembagian harta bersama tidak sesuai lagi dengan yang diamanatkan undang-undang dan KHI.

Apalagi praktik penyelesaian harta bersama dari satu daerah dengan daerah lain di Indonesia berbeda satu sama lain. Ada daerah yang membagi harta bersama secara sama antara suami juga istrinya. Ada daerah lain menjadikan harta bersama seperti membagi harta warisan. Suami memperoleh dua bagian sementara istrinya memperoleh satu bagian.

Pembagian seperti ini sebagaimana terjadi di Jawa yang dikenal istilah Sak pikul sak Gendong. Sak pikul berarti dua porsi, dikarenakan bagian depan dan bagian belakang turut memikul bendanya sedangkan sak gendong berarti satu gendong dan merupakan satu porsi karena hanya bagian di depan karena digendong dan itu hanya di bagian depan saja.

1

Dengan kata lain, pelaksanaan pembagian harta bersama atau penyelesaian sengketa harta bersama memiliki pola-pola yang berbeda. Apabila dikaitkan dengan keputusan-keputusan

1 Abdul Basith Junaidy, ‘Harta Bersama dalam Hukum Islam di Indoensia.’ Jurnal al-Qanun, Surabaya:

fakultas Syariah dan Hukum UIN sunan Ampel, 2014, 357. Lihat juga Isamil Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 45.

(3)

pengadilan, maka dapat dikatakan penyelesaiannya masih dipengaruhi oleh budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat.

2

Dengan kata lain pengaruh budaya dan kearifan lokal juga mempengaruhi pelaksanaan harta bersama di kalangan masyarakat Indonesia.

Dari pemaparan di atas, penelitian ini mengulas tentang pola-pola pembagian harta bersama yang terjadi di Indonesia. Terkait dengan perbedaan budaya dan kearifan lokal dalam penyelesaian sengketa harta bersama dalam praktik peradilan agama. Kajian ini akan fokus pada sejauh mana hakim memahami dan mempertimbangkan kondisi lokal dan fenomena dalam masyarakat dalam upaya menyelesaikan pendistribusian harta bersama ketika terjadi sengketa melalui putusannya. Tulisan ini mengkaji pola-pola pembagian yang diselesaikan di Pengadilan Agama Indonesia. Selanjutnya studi ini memfokuskan pada bagian-bagian penting yang dapat disusun dalam aplikasi pembagian harta bersama.

Penelitian ini menarik dan penting dilakukan mengingat kajian tentang hukum keluarga tidak pernah tidak mengalami persoalan yang aktual. Sebagai sebuah pranata sosial keluarga dan hukum yang berkaitan dengan keluarga selalu mengalami sentuhan-sentuhan dengan fenomena masyarakat yang lain, baik sosial, ekonomi bahkan teknologi. Penelitian dengan judul ‘Pola Pembagian Harta Bersama di Indonesia (Sebuah Upaya untuk Pembuatan Aplikasi Pembagian Harta Bersama)’ merupakan gambaran dari sentuhan hukum keluarga dengan persoalan social budaya, ekonomi dan teknologi. Oleh karena itu, pembahasan tentang ragam pola pembagian harta bersama ini menjadi menarik dan penting, terutama apalagi kemudian akan coba dikembangkan dengan pembuatan aplikasi pembagian harta bersama, untuk menjawab dan memenuhi relevansi revolusi industry 4.0. Kemudian studi ini ingin menjawa pertanyaan Bagaimana pola pembagian harta bersama di Pengadilan Agama di Indonesia. Apa saja variabel yang harus diperhatikan dalam melakukan pembagian harta bersama. Terakhir, unsur-unsur apa sajakah yang diperlukan dalam membuat aplikasi pembagian harta bersama.

B. Literature Review

1. Hukum yang Progressive

Gagasan hukum yang progressif dikemukakan oleh Satjipto Raharjo, sosiologi hukum Indonesia dapat dianggap sebagai pencetusnya. Tak berselang lama gagasan tersebut mencuat ke permukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah. Apa yang digagas oleh Satjipto Rahardjo menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Atau mungkin kekosongan hukum yang terjadi. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.

3

Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif –yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri– bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat. Dalam proses

2 Livia Holden dan Euis Nurlaelawati, Nilai-nilai Budaya dan Keadilan bagi Perempuan di Pengadilan Agama Indonesia: Praktik Terbaik (Yogyakarta: SUKA Press, 2019)

3 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. ix

(4)

pencariannya itu, Satjipto Rahardjo berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.

4

Berbeda dengan positivisme hukum yang berpusat pada aturan (teks), hukum progresif membalik paham ini. Kejujuran dan ketulusan menjadi mahkota penegakan hukum. Empati, kepedulian, dan dedikasi menghadirkan keadilan, menjadi roh penyelenggara hukum.

Kepentingan manusia (kesejahteraan dan kebahagiaannya) menjadi titik orientasi dan tujuan akhir hukum. Para

penegak hukum menjadi ujung tombak perubahan.5

Berdasarkan uraian di atas, hukum progresif memiliki karakteristik yang membedakannya dengan yang lain.

6

Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Manusia atau perbuatan manusia selalu merupakan suatu unikum. Kendati demikian, karakteristik itu tidak mendapatkan tempat dalam hukum. Di sini hukum sudah bekerja seperti mesin yang tinggal memencet tombol saja, ibarat mesin tomat (subsumptie automaat). Sementara itu, hukum harus bekerja dengan rumusan-rumusan hukum dalam perundang-undangan, yang telah menyempitkan atau mereduksi perbuatan manusia yang unik itu ke dalam skema atau standar tertentu.

Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum.

Mempertahankan status quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur semuanya, dan manusia adalah untuk hukum.

Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistik, normatif dan legalistik.

Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya dirubah lebih dulu. Dalam hubungan dengan ini, ada hal lain yang berhubungan dengan penolakan terhadap cara berhukum yang pro status quo tersebut, yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah ke dalam perundang-undangan. Substansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk ke lembaga atau badan legislatif.

Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum akan memunculkan sekalian akibat dan risiko yang ditimbulkan, maka cara kita berhukum sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum tertulis. Secara ekstrim kita tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukum yang tertulis itu. Menyerah bulat-bulat seperti itu adalah sama dengan membiarkan diri kita diatur oleh teks formal tertulis yang belum tentu benar-benar berisi gagasan asli yang ingin dituangkan ke dalam teks tersebut dan yang memiliki risiko bersifat kriminogen.

4 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, hlm 10-11; Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 22-25.

5 Sudijono Sastroatmojo, 2005, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September, hlm. 186.

6 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Jakarta, 2007), hlm. 139- 147.

(5)

Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Ini bertentangan dengan diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia di sini merupakan konsekuensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. Di atas telah dijelaskan betapa besar risiko dan akibat yang akan dihadapi apabila kita “menyerah bulat-bulat” kepada peraturan. Cara berhukum yang penting untuk mengatasi kemandegan atau stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi yang membuta kepada teks undang- undang. Cara seperti ini bisa dilakukan, apabila kita melibatkan unsur manusia atau perbuatan manusia dalam berhukum. Karena pada dasarnya the life of law has not been logic, but experience.

Tentu saja, sifat hukum yang bersifat profressive ini akan sejalan dengan Principles of freedom of Justice in Decidene. Hakim dalam menyelesaikan konflik yang dihadapkan kepadanya harus dapat menyelesaikan secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari eksekutif. Dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya. Tetapi penentuan fakta- fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri.

7

Dengan demikian, jelas bahwa hakim atau para hakim memiliki kekuasaan yang besar terhadap para pihak yang bersengketa berkenaan dengan masalah atau konflik yang dihadapkan kepada hakim atau para hakim tersebut. Namun dengan demikian berarti pula bahwa para hakim

dalam menjalankan

tugasnya sepenuhnya memikul tanggung jawab yang besar dan harus menyadari tanggung jawabnya tersebut, sebab keputusan hakim dapat membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan orang-orang lain yang terkena oleh jangkauan keputusan tersebut.

Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat membekas dalam batin para yastisinbel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.

8

Landasan yuridis dan filosofis kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yang mandiri dan bebas dari segala bentuk campur tangan dari luar inilah yang menjadi landasan bagi hakim untuk keluar dari menetapkan porsi pembagian harta bersama berbeda dari tekstual pasal-pasal di dalam Undang-undang Perkawinan dan KHI.

Lansadan progressive kontekstual inilah yang menjadi ciri bagi pembagian harta bersama. Karena keadilan menjadi prinsip yang utama, maka hakim harus berani menolak status quo di dalam menafsirkan hukum yang sesuai kenyataan. Menolak status quo berarti hakim tidak lagi bertumpu pada paradigma positivisme hukum di dalam menafsirkan konstitusi.

Dalam positivisme hukum kedudukan teks bersifat otonom dan independen dari penafsir.

Ketika seseorang menafsirkan suatu teks hukum, orang tersebut tidak diperbolehkan melampaui otonomi dan independensi teks yang ditafsirkan. Hal demikian dimaksudkan agar penafsiran yang dihadilan bersifat objektif dan lepas dari subjektivitas penafsir, serta keterkaitannya dengan nilai-nilai, budaya, politik, dan ekonomi. Akibatnya, benar atau tidaknya suatu penafsiran dilihat dari kesesuaiannya dengan makna teks yang sudah diketahui.

7 Firman Floranta Adonara, “Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi Principles of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional Mandate ,” Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015 , hal. 218.

8 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hakim,Sinar Grafika, 2002, Jakarta,h. 29.

(6)

Bentuk hukum progressif dalam penegakan hukum positif Islam di Pengadilan Agama untuk mewujudkan keadilan dalam pembagian harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah dengan ijtihad tatbiqii yang dilakukan para hakim, yaitu ijtihad dalam penerapan hukum dengan melihat hukum kasus atau ‘hukum kasuistis’ dengan melihat fakta atau peristiwa yang melatarbelakangi sengketa atau perkara, lalu hakim setelah memperhatikan segala hubungan keterkaitannya langkah berikutnya mencarikan hukum yang tepat untuk kasus tersebut.

9

2. Harta Bersama dalam Hukum Positif Indonesia

Dasar hukum tentang eksistensi harta bersama diatur dalam beberapa ketentuan hukum positif Indonesia. Pasal 35 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Artinya, harta bersama adalah keseluruhan harta yang diperoleh sesudah suami- istri berada dalam hubungan suami-istri atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.

10

Dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) disebutkan juga bahwa sejak dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum telah terjadi harta bersama antara suami-istri, sejauh hal itu tidak ada ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.

11

Atas dasar ini, Sayuti Thalib mendefinisikan harta bersama sebagai harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Artinya, harta bersama adalah harta yang didapat atas usaha mereka bersama-sama atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.

12

Terkait hubungannya sebagai harta dalam perkawinan, Ter Haar - sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto - mengatakan bahwa harta perkawinan dapat dipisahkan menjadi empat macam: pertama, harta yang diperoleh suami atau istri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan masing- masing; kedua, harta yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan; ketiga, harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai milik bersama; keempat, harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.

13

Selain hukum tertulis, konsep harta bersama pada dasarnya juga telah dikenal dalam hukum adat, kendati nomenklaturnya memiliki perbedaan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Masyarakat Minangkabau menyebut harta bersama dengan sebutan haroto surang, masyarakat Kalimantan menyebutnya dengan barang perpantangan, sementara masyarakat Jawa menyebutnya dengan barang gini atau harta gono-gini. Masyarakat Melayu di Sumatera Timur seperti Tanjung Pura dan Deli Serdang menyebut harta bersama dengan harta syarikat, masyarakat Aceh menyebutnya dengan hareute shareukat, sementara masyarakat Melayu-Riau menyebutnya dengan harta seperturutan. Masyarakat Bugis

9 Akhmad Khisni, “Ijtihad Progresif dalam Penegakan Hukum Positif Islam di Pengadilan Agama tentang Pembagian Harta Bersama,” Jurnal Hukum Ius Quiaiustum, No.3 Vol.19 Juli 2012: 455-470.

10 Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35, dan KHI Pasal 85.

11 KUHPerdata Pasal 119.

12 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 89.

13 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm. 45.

(7)

menyebutnya dengan cakkara, masyarakat Bali menyebutnya druwe gabro, sementara masyarakat Pasundan menyebutnya dengan guna kaya, barang sekaya, campur kaya atau kaya reujeung.

14

Sebagian norma hukum adat di atas mengatur bahwa jika terjadi perceraian atau salah seorang dari suami atau istri meninggal atau hilang (mati secara hukum), maka harta bersama dibagi menurut porsinya masing-masing, yang dalam masyarakat adat di daerah Jawa dikenal istilah sak pikul sak gendhongan. Artinya bahwa harta bersama itu dibagi tiga bagian: suami mendapat dua bagian sedangkan istri mendapat satu bagian. Di Nanggroe Aceh Darussalam pembagiannya sama dengan di Jawa, yaitu dua bagian untuk suami dan satu bagian untuk istri.

15

Akan tetapi pola pembagian ini tidak umum dilakukan dalam masyarakat hukum adat.

16

Menurut Imam Sudiyat, pembagian yang umum dilakukan oleh masyarakat adat di Indonesia adalah dengan menggunakan pola pembagian sama rata, artinya masing-masing dari suami istri mendapat bagian yang sama. Hal ini didasarkan pada peran yang sama antara suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga. Pola pembagian sama rata ini dalam adat Jawa disebut dengan ̳sepikul segendong’ atau dalam adat Bali dikenal dengan ̳sasuhun sarembat‘.

17

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah menjadi Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, tidak diatur secara tegas pembagian harta bersama bila terjadi perceraian antara suami dan istri. Ketentuan mengenai pembagian dan besarnya porsi perolehan masing-masing suami-istri dari harta bersama dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 dan Pasal 97. Dalam Pasal 96 disebutkan bahwa apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

Sementara Pasal 97 menyebutkan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak mendapatkan separuh dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

18

Pasal-pasal di atas menegaskan bahwa pembagian harta bersama antara suami dan istri yang cerai hidup maupun yang cerai mati, atau karena salah satunya hilang, maka masing- masing mereka mendapat setengah dari harta bersama. Aturan ini tidak memperhitungkan siapa yang bekerja, dan atas nama siapa harta itu terdaftar. Selama harta benda itu diperoleh selama dalam masa perkawinan sesuai dengan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka harta yang diperoleh tersebut merupakan harta bersama dan dibagi dua, masing-masing dari suami-istri mendapat bagian yang sama.

Penerapan ketentuan ini sudah sepenuhnya diterima. Hal ini dapat dilihat dari berbagai putusan pengadilan, baik pada tingkat pertama, tingkat banding, bahkan tak sedikit yurisprudensi berupa putusan Mahkamah Agung RI yang telah meresepsinya, baik sebelum lahirnya UU Perkawinan seperti tercermin dalam putusan Nomor: 424.K/Sip/1959 tanggal 9 Desember 1959 ataupun pasca lahirnya UU Perkawinan seperti putusan Nomor:

14 Zikri Darussamin, Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam (Yogyakarta: LKiS, 2014), hlm. 42.

15 M. Anshari MK, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah-Masalah Krusial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 145.

16 Sukanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm. 119.

17 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 149.

18 Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 dan 97.

(8)

1448.K/Sip/1974 tanggal 9 November 1976, putusan Nomor: 90.K/Ag/1992 tanggal 30 September 1993 dan berbagai putusan lainnya.

C. Metodologi

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan interdisipliner sosio legal, yang secara metodologis dikombinasikan dengan tradisi penelitian kualitatif yang berbasis pada grounded theory dan tradisi penelitian hukum empiris-eksplanatif-evaluatif,

19

yang masing-masing pendekatan ini diterjemahkan ke dalam rumusan dan tujuan penelitian ini.

Dari lima tradisi penelitian kualitatif, penelitian ini dimasukkan pada jenis penelitian grounded theory, karena selain berhubungan dengan adanya perbedaan konsep

20

harta bersama di kalangan masyarakat Indonesia, juga terdapat banyak masalah dalam penyelesaian harta bersama berasal dari hukum positif (KUHAPerdata, UU Perkawinan dan KHI) terkait harta bersama ini.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mencari pengetahuan atau pemahaman berbagai relasi yang saling terkait di balik suatu realitas pelaksanaan pembagian harta bersama di kalangan masyarakat Indonesia. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kualitatif sebagai data primer. Peneliti akan lebih banyak mengarahkan analisis terhadap data kualitatif karena menyangkut aktivitas dan dinamika yang terjadi dalam suatu lingkup penerapan hukum secara empiris. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memperoleh external validity, melainkan lebih bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai suatu realitas dalam konteksnya yang spesifik. Hal ini memberi keluasan dan keluwesan peneliti memberi tafsir dan analisis terhadap data yang diperoleh.

Penelitian ini akan dilakukan dengan mengambil lokus pengadilan Agama dan Masyarakat. Wilayah Indonesia yang akan dijadikan lokasi penelitian meliputi wilayah Sumatera misalnya Aceh, Sumatera Utara, Jawa, Jawa dan Bagian Timur seperti Makassar atau Ternate. Pengadilan Agama dijadikan lokus penelitian mengingat bahwa pada dasarnya penyelesaian dan pembagian harta bersama secara hukum normatif terjadi di Pengadilan.

Apalagi mengingat ragamnya budaya dan kearifan lokal terkait harta bersama, namun tidak langsung di bawah undang-undang atau hukum. Kebijakan dan keputusan dapat saja mengadopsi tradisi budaya dalam mengambil keputusan namun lokus pengadilan Agama menjadi panduan atau titik focus lokasi penelitian ini dilakukan. Penelitian ini memungkinkan juga mengumpulkan data dari fakta penyelesaian dan pembagian harta bersama di luar pengadilan, yang dilakukan melalui mediasi di luar pengadilan. Apalagi pola-pola yang berkaitan dengan harta dalam hukum keluarga sangat mungkin dilakukan melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) dalam hal ini mediasi.

Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam pada narasumber penelitian dan studi literatur. Mengacu pada Carolyn Boyce (2006), wawancara mendalam adalah teknik penelitian kualitatif yang melibatkan melakukan wawancara individu intensif dengan sejumlah kecil responden untuk mengeksplorasi perspektif mereka tentang ide, program, atau situasi tertentu

19 Herlambang P. Wiratraman, 2013. Penelitian Sosio-Legal dan Konsekuensi Metodologisnya, Center of Human Rights Law Studies (HRLS), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, h.7, diakses dari https://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/06/penelitian-sosio-legal-dalam-tun.pdf

20 John Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing, Among Five Traditions , ed.II, California: Sage Publication, h.120-121.

(9)

secara spesifik. Narasumber yang diwawancarai adalah aktivis media sosial yang bertindak sebagai opinion maker. Narasumber dipilih berdasarkan kelayakan dan ketersediaan akses peneliti terhadap narasumber dan kompetensi mereka, bukan atas representativeness (keterwakilan).

21

Peneliti memiliki kepentingan pada siapa yang paling mungkin memberikan data dan apakah data yang mereka berikan sudah memadai atau belum untuk menjelaskan permasalahan yang sedang diteliti.

Selain menggunakan teknik wawancara untuk mengumpulkan data, penelitian ini juga menggunakan teknik studi dokumentasi dan literatur. Penggunaan dokumentasi semata- mata untuk mendukung perolehan data yang berada dan tersebar dalam keputusan hakim tentang pembagian harta bersama. Data dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mencari, menemukan dan memeriksa kembali putusan hakim yang relevan. Data ini penting karena dokumentasi tersebut merupakan sumber informasi yang lestari. Selain itu, dokumentasi tersebut merupakan bukti yang dapat mendukung analisis dan menghindari kesalahan interpretasi. Dokumen merupakan sumber data yang alami yang bukan hanya muncul dalam konteksnya, tetapi juga menjelaskan konteks itu sendiri.

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan tiga metode yaitu pertama metode dokumentasi. Metode ini dilakukan untuk menggali data dari dokumen-dokumen keputusan Pengadilan Agama terhadap keputusan penyelesaian atau pembagian harta bersama yang pernah dilakukan. Kedua, metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah wawancara. Metode ini akan digunakan untuk menggali data melalui diskusi terfokus bersama para hakim, tokoh agama, masyarakat, dan bila mungkin mediator yang terlibat dalam penyeleaian atau pembagian harta bersama. Data yang akan didiskusikan berkaitan dengan pola penyelesaian dan pembagian harta bersama dan kaitannya dengan pertimbangan apa yang mempengaruhi pola pembagian harta bersama tersebut. Pengaruh social budaya dan kearifan local, jumlah istri, porsi pembagian, hal-hal apa yang dipertimbangkan di dalam pembagian tersebut menjadi bagian pertayaan penting dari FGD ini. Selain itu, hal yang tidak kalah penting dalam diskusi ini adalah bagian-bagian atau unsur-unsur apa yang penting dimasukkan dalam membuat aplikasi penyelesaian harta bersama. Metode ketiga yaitu Focus Group Discussion (FGD) dimaksukan untuk menedapatlan data yang bergam dan multi disipliner. Keempat yaitu indepth interview. Indepth interview atau wawancara mendalam dimaksudkan untuk menggali data secara detil mengenai praktik harta bersama dan konsep-konsep yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia terkait praktik penyelesaian dan pembagian harta bersama.

Termasuk di dalam wawancara ini akan menjadi poin penting adalah hal yang sama didiskusikan dalam FGD yaitu antara lain porsi pembagian harta bersama dan hal apa yang menjadi pertimbangannya, pengaruh yang mendominasinya serta hal-hal yang menjadi masukkan bagi pembuatan aplikasi pembagian harta bersama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam penelitian ini adalah hakim, mediator, tokoh agama, tokoh masyarakat, masyarakat dan ahli Informasi dan Tekhnologi (IT).

Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis deskriptif kualitatif yakni menyajikan, mengorganisir, mereduksi dan menyimpulkan data digunakan pada sumber- sumber wawancara. Sedangkan analisis data dengan teknik coding (koding) dilakukan untuk

21 Bernard, H. R. (1998). Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approaches.

Walnut Creek: AltaMira Press.

(10)

melakukan kategorisasi konsep. Koding dilakukan dengan cara pengkodean terbuka, pengkodean aksial dan pengkodean selektif. Selain, itu analisis data juga menggunakan matriks kondisional.

22

Data-data tersebut selanjutnya diproses dan dibuat kategori. Keabsahan data dilakukan dengang menggunakan trianggulasi literature dan dokumentasi.

Selanjutnya data disajikan secara interpretative dan descriptive. Data yang terkumpul dikompilasi secara tematik berdasarkan informasi yang diperoleh. Kompilasi data dilakukan melalui pemilahan yang relevan dengan masalah penelitian. Bagian akhir dari metode analisis data adalah mencari dan menemukan interelasi dan koherensi data dari lapangan yang digali dari sumber penelitian berupa pandangan- pandangan narasumber yang diwawancarai. Data yang terkumpul dikompilasi secara tematik berdasarkan informasi yang diperoleh. Kompilasi data dilakukan melalui pemilahan yang relevan dengan masalah penelitian.

D. Temuan dan Pembahasan

1. Kekaburan Dalam Filosofi dan Legitimasi Eksistensi Hukum Harta Bersama Seperti dapat dibaca dalam Bab analisis literatur, eksistensi harta Bersama mewujud ketika terjadinya perpisahan antara suami isteri baik itu perpisahan hidup atau mati. Begitupun, harus diketahui bahwa konsep dan asumsi aturan harta Bersama dalam KHI berbeda dengan aturan hukum Barat. Kekaburan tentang perbedaan konsepsi ini mewarnai pemahaman masyarakat Muslim bahkan para akademisi sebagaimana tampak dalam pernyataan pernyataan responden FGD penelitian ini yang akhirnya mempengaruhi pemikiran dan pendapat mereka tentang pembagian harta bersama dan proporsi serta kalkulasi pembagian harta bersama antara suami dan isteri.

Di Barat, konsep tentang harta Bersama menyatu atau inheren dan menjadi bagian dari pengertian dan definisi perkawinan itu sendiri. Jadi, walaupun harta bersama mewujud operasionalnya ketika adanya perpisahan, akan tetapi ide harta bersama merupakan suatu fakta dalam aktifitas dan kesadaran para pihak pasangan suami istri sejak awal perkawinan bukan hanya ketika telah terjadi pertengkaran atau perpisahan. Sementara dalam hukum Islam, aturan harta bersama adalah suatu aturan tambahan dan bukan ketetapan asal. Dalam penilaian derjat ahkamul khamsah, harta bersama mungkin masuk ke dalam hukum sunnah bukan wajib. Secara kepentingannya, hukum harta bersama dirumuskan untuk memenuhi kebutuhan hajiyyat atau malah tahsiniyyat dan bukan daruriyyat. Dari segi kekuatan hukumnya, aturan harta bersama dalam KHI juga belum mencapai tingkat Undang-Undang dan karenanya masih sangat terbuka untuk dibaca ulang dan dilakukan perubahan. Secara realita, rumah tangga masyarakat Muslim Indonesia pada umumnya juga masih merasa “tidak enak” membicarakan harta bersama dan terbukti mayoritas nihil informasi mengenai hukum ini. Intinya, keberadaan perangkat hukum harta bersama sejauh ini belum built in sebagai bagian dari kehidupan perkawinan melainkan hadir dalam kondisi perkawinan ‘tidak normal’ atau bermasalah. Keterbedaan ini sering tidak disadari sehingga menghadapkan apple to apple kasus harta bersama masyarakat Muslim dengan masyarakat di luar Islam. Hal ini memunculkan kesimpangsiuran analisis harta bersama hingga menggiring kepada pembahasan dan argumen-argumen yang melebar (kurang relevan)

22 John Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing, Among Five Traditions , ed.II, California: Sage Publication, h.120-121.

(11)

ketika mendiskusikan proporsi pembagian dan alternatif alternatif kalkulasi pembagian harta bersama antara suami dan istri.

Tampak bahwa aturan harta bersama dalam hukum Islam Indonesia berpijak pada dua

‘tungku’ asumsi. Asumsi tersebut yaitu di satu sisi pemikiran tentang harta perkawinan masih merujuk kepada prinsip fikih tradisional bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga dan konsekuensinya laki-laki yang wajib bekerja mencari nafkah. Akhirnya, harta dalam perkawinan asasnya adalah harta suami dan di bawah penguasaan suami yang penggunaannya harus melalui sepengetahuan suami dan izin suami. Isteri dalam hal ini hanya memiliki hak mengelola dan hak menggunakan tetapi dengan izin suami. Ringkasnya, dikarenakan suami bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah rumah tangga, artinya wajib bekerja, maka harta dalam rumah tangga adalah harta suami. Dalam hal ini tampak bahwa kepemilikan harta perkawinan itu direlasikan dengan status kepala rumah tangga suami. Lalu, konsep bekerja didefinisikan sebagai status pekerja atau buruh yang menghasilkan materi dan komoditi ekonomi. Dengan analisis inilah, maka seorang responden lulusan Timur Tengah jurusan fikih

23

menyatakan bahwa pengakuan adanya harta isteri dalam perkawinan ini mestinya diformulasi dengan kaidah berikut ini :

“Al-aslu fi maal al-usrah huwa maal al-zauj illa an takuuna qarinatu yadullu maal al- zauji”

Seorang responden lainnya bapak (I) yang sudah bergelar doktor

24

malah menyatakan bahwa bagaimana bisa suatu penelitian hukum dilakukan tentang sesuatu yang justru tidak ada basisnya dalam mazhab klasik. Maksud pernyataannya adalah bahwa dalam mazhab yang empat tidak terdapat hukum tentang harta bersama, apalagi soal angka hitung-hitungannya.

Pemahaman inilah yang meluas hingga pernah terjadi suatu insiden yang mengenaskan di mana seorang pengurus MUI dilempar dengan al-qur’an oleh seseorang yang memprotes pembagian harta bersama yang dia lakukan dengan 50 ; 50. Tetapi kemudian seorang responden berprofesi panitera bapak (Y)

25

menyatakan bahwa adalah mubazir memperdebatkan dan mendiskusikan dasar hukum harta bersama lagi karena sudah diketahui secara luas (bahwa itu adalah pembaharuan hukum di Indonesia) dan hukumnya sendiri telah lama menjadi Law in Action.

Sekilas argumen ini tampak akan mengunci perdebatan dan menghapus kebingungan serta kekaburan analisis hukum harta bersama, akan tetapi justru di sinilah mulainya sistematika pemikiran itu dipertanyakan.

Pertanyaan itu karena KHI sendiri dengan tegas masih menerapkan hukum dasar fikih klasik bahwa Suami adalah kepala rumah tangga. Setelah menerapkan metode fikih klasik di satu sisi, KHI kemudian memakai metode ‘uruf dengan memotong dan memangkas logika konsekuensial fikih klasik tersebut. Di sini bertemu dua metode yang kesimpulannya bisa dipertentangkan dan harus dicari metode pelengkap untuk menyelesaikan kontradiksi dimaksud. Di satu sisi, KHI masih mempertahankan bahwa suami adalah kepala rumah tangga sementara ‘uruf memberlakukan ide kapitalisasi tenaga isteri, artinya tenaga isteri mengerjakan pekerjaan rumah harus dihitung sebagai suatu kapital dan bernilai ekonomi dan karenanya dia juga memiliki andil dalam meng-input harta, dan akhirnya berhak atas harta dalam perkawinan.

Bukan dengan izin suami sepihak tetapi isteri sekarang memiliki kedudukan balance dengan

23 Hasanuddin Dollah, FGD penelitian harta bersama di hotel Nivia,07 Agustus 2021

24 Iwan, FGD penelitian harta bersama di hotel Nivia,07 Agustus 2021

25 Yasir, FGD penelitian harta bersama di hotel Nivia,07 Agustus 2021

(12)

suami dalam penguasaan dan wewenang. Kedua suami istri adalah pemilik dan keduanya harus bersepakat setara dalam pengelolaan dan penggunaan. Hal ini tentu menyalahi sistematika argumen bahwa suami adalah kepala rumah tangga, yang juga diakui KHI, sebagai berikut : (1) Bahwa suami adalah kepala rumah tangga;(2) Suami yang wajib bekerja mencari kebutuhan ekonomi (3) Harta dalam rumah tangga adalah harta pencaharian suami dan karenanya milik serta penguasaan di tangan suami; (4) Isteri harus melayani suami (5) Bila isteri bekerja atau menghasilkan ekonomi harus seizin suami, lalu (6) Dikarenakan melalui izin suami maka semua penghasilan istri digabung sebagai harta rumah tangga di bawah penguasaan dan kepemilikan suami.

Akan tetapi, sistematika argumen di atas sekali lagi di cut off dengan mengadopsi ‘uruf yang merumuskan asas rumah tangga adalah suatu ‘Kerjasama’. Dengan asas rumah tangga adalah ‘Kerjasama’ maka sistematika argumennya adalah sebagai berikut, (1) Suami dan Isteri sama-sama bertangung jawab menjalankan operasional kehidupan rumah tangga; (2) Suami dan isteri berbagi kerja dan tanggung jawab; (3) Istri secara otomatis sebagai partner dari suami dalam membangun dan menjalankan roda rumah tangga; (4) Istri bekerja di luar rumah adalah suatu tuntutan dan hak untuk mengembangkan diri; (5) Apa yang dilakukan dan didapat suami dan juga istri secara otomatis menjadi milik bersama, (6) Karena milik bersama maka penggunaan dan kewenangannya adalah dengan kesepakatan dan izin kedua belah pihak suami isteri.

Dikarenakan argumen ini, seorang responden penelitian ini lalu mempertanyakan konsistensinya, yaitu apakah suami-suami harus selalu minta izin kepada isteri setiap akan mempergunakan uangnya ? Sambil bercanda, para responden menyatakan sudah berapa banyak dosa para suami karena duduk di warung kopi bahkan hingga beberapa jam pula atau sekedar membeli rokok,

26

dan seterusnya, mengingat bahwa semua uang suami sekarang adalah harta bersama dan penggunaannya atas izin kedua belah pihak.

Akan tetapi kemudian terjadi ‘anomali’ argumentasi atau dengan kata lain pembelokan analisis. Akhirnya, sistematika argumentasi harta bersama menjadi tumpang tindih antara fikih tekstual dan ‘uruf sebagai berikut. Bahwa suami adalah kepala rumah tangga karena al-Qur’an mengatakan al-Rijalu Qawwamuna ‘ala al-Nisa dan tertuang dalam pasal 86 Bab VIII KHI.

Lalu, suami adalah pihak yang wajib memenuhi biaya rumah tangga, artinya pihak yang wajib bekerja menghasilkan ekonomi. Sebagaimana nas al-qur’an, wa ‘alal mauludi lahu rizquhunna wa kiswatuhunna bil ma’ruf ….dan hadis Iza anfaqo al-Rojulu ‘ala Ahlihi yahtasibuha fahuwa lahu sodaqotun….(Hadis dari Ibn Mas’ud). Karena suami kepala rumah tangga dan dia yang wajib memberi nafkah dan artinya dia bekerja mendapatkan mata pencaharian, dan isteri wajib melayani suami maka isteri wajib mengantongi izin suami bila hendak bekerja di luar rumah Selanjutnya terjadi anomali yang berbeda dengan alur argumentasi di atas ketika asumsinya “suami adalah kepala rumah tangga”, yaitu, Dikarenakan suami telah memberikan izin, artinya izin telah dikantongi istri maka apa-apa yang dihasilkan dalam jalur atau koridor dari izin tersebut adalah menjadi milik istri dan harta yang didapat secara hakiki merupakan milik individu istri di bawah penguasaan dan wewenang istri

= Pendapatan isteri yang bekerja ini umumnya dikuasai oleh isteri baik penyimpanan maupun penggunaannya, dan walaupun isteri memiliki penghasilan tetapi mereka tetap

26 Responden Azhari Akmal Tarigan, FGD, hotel Nivia, 07 Agustus 2021

(13)

mempersepsikan bahwa mereka tidak wajib mengeluarkan uang mereka untuk belanja rumah tangga. Lalu terjadi anomali lagi di mana sekarang penghasilan isteri tersebut, dengan dasar

‘uruf, menjadi harta bersama. Begitu juga sebaliknya, suami yang sudah melekat dalam keyakinan bahwa hartanya adalah dalam penguasaannya karena dia kepala rumah tangga sekarang hartanya menjadi harta bersama.

Intinya, yang dikatakan anomali dalam uraian ini adalah bahwa KHI tetap memakai prinsip suami adalah kepala rumah tangga sebagaimana pendapat fikih klasik, akan tetapi di tengahnya argumentasi berbelok bahwa harta suami adalah harta bersama dengan teori fikih bahwa suami dan isteri bersyarikat dan dengan nilai ‘uruf yang mengakui harta perkawinan.

2. Formulasi Kalkulasi Pembagian Harta Bersama dan Pembaharuan Praktik Hakim

Bila bagian sebelumnya menganalisis tentang filosofi eksistensi aturan harta bersama dari pembahasan dan pernyatan pernyatan para responden yang dilibatkan dalam penelitian ini, maka berikutnya adalah menganalisis berbagai data pendapat responden tentang pembagian di angka 50:50 dan digiring kepada konteks pembahasan perbandingan dalam fenomena kasus, hukum di luar hukum Islam dan perspektif gender dan keadilan

Penelitian ini menemukan perbedaan denganapa yang disimpulkan oleh peneliti sebelumnya tentang kreatifias hakim dalam mengeksplorasi masalah harta bersama serta proporsi pembagiannya. Yang dimaksud adalah penelitian Mesraini, seorang dosen universitas UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

27

Penelitian itu mengungkapkan bahwa para hakim tidak keluar dari Peraturan perundangan dalam membagi jumlah harta bersama yaitu dibagi dua atau 50;50 tanpa melihat perbedaan kondisi. Sementara penelitian ini menemukan fakta yang berbeda di lapangan dari mulai responden hakim di lokasi penelitian Aceh, Jawa, dan Ternate serta Sumatera. Penelitian ini menemukan bahwa para hakim berusaha untuk menganalisis masalah dan perkara secara kasuistis dan mempertimbangkan faktor-faktor dan kondisi masalah serta keadaan para pihak. Seperti yang diungkapkan oleh seorang hakim senior di Pengadilan Agama, bahwa seorang hakim tidak sembarang memutuskan persoalan harta bersama, tidak bisa cepat dan terdesak. Hal ini menurutnya karena seorang hakim mesti meneliti secara detail aspek aspek yang berkaitan dengan keakuaratan. Misalnya keakuratan dokumen, keakuratan eksistensi benda dan surat, keakuratan pemasukan dan pengeluaran. Semua itu harus diteliti sebelum memutuskan jumlah bagian masing-masing suami isteri. Walaupun dia belum pernah memutuskan sendiri dan belum menangani perkara sengketa harta bersama, namun ia cenderung untuk mengikuti terlebih dahulu patokan yang diberikan dalam KHI, yaitu membagi 50:50 walaupun tidak menutup kemungkinan ia akan memberikan angka berbeda dari yang ditetapkan pasal 97 KHI.

Ketua pengadilan tinggi (PTA)Ternate sebaliknya sudah pernah memutuskan perkara yang ditanganinya dengan pembagian yang tidak mengikuti proporsi 50:50. Saat itu dia mengatakan membatalkan putusan di bawahnya yang membagi 50;50. Selain itu, persidangan banding yang ditanganinya juga pernah menguatkan putusan PA yang memutuskan memberi proporsi berbeda dalam pembagian harta bersama antara suami isteri yaitu 70:30. Data-data

27 Mesraini, seorang dosen universitas UIN Syarif Hidayatullah, lihat tulisannya, Ahkam Jurnal Ilmu Syariah vol. XII, Januari (2012), “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama (Jakarta : Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, 2012). Hlm. 61.

(14)

perbedaan ini akan lebih menjelaskan kreatifitas hakim dalam keputusan-keputusan hakim sejak masa dahulu di berbagai daerah Indonesia, sejak dari wilayah Barat, Jawa dan Timur.

Seorang hakim di PA Aceh yaitu ibu (H) menjelaskan bahwa terdapat data di mana keputusan hakim tahun 1975 telah melangkah maju dengan memberikan bagian 40:60 kepada pasangan yang bersengketa. Di PA Medan sendiri juga didapati sejumlah putusan yang progresif terkait harta bersama ini di masa-masa yang lalu.

Bila data subjektif diakumulasi dengan data praktek hakim maka akan lebih mematahkan kesimpulan penelitian yang menyatakan tidak adanya pembaharuan dalam penerapan pembagian harta bersama. Seluruh hakim di seluruh lokasi penelitian ini sampai tingkat yang begitu jauh menyepakati bahwa angka 50:50 tidak menjadi suatu ketetapan stagnan bila saja mereka menerima perkara. Mereka akan memutuskan dengan melihat jenis permasalahannya dan sumber pokok masalah pertengkaran. Sejak dari hakim di Aceh, ibu (Y) mengatakan bahwa dia setuju kalau keputusan pembagian harta bersama tidak otomatis sama di semua kasus. Bersama dengan hakim senior di PA Aceh, bapak (L) mengatakan bahwa mereka bisa saja memutuskan sampai ke tingkat proporsi 75 : 25 untuk isteri dan suami bila si isteri bekerja dan mengerjakan lagi pekerjaan rumah. Mantan Rektor UIN Aceh bapak (FW) yang selanjutnya menjadi ketua Lembaga Adat Aceh juga mengkonfirmasi bahwa memang angka pembagian 50;50 tidak mutlak di lapangan. Memang dinyatakannya bahwa angka 50:50 adalah titik berangkat. Setiap kali bapak FW menangani perkara di tingkat peradilan adat,

28

dia akan mengatakan bahwa secara tertulis dalam pasal hukum pemerintah bahwa hitungannya adalah bagi dua. Akan tetapi dia akan memberikan pengarahan, orientasi, pencerahan dan juga sugesti agar para pihak dan keluarga berpikir baik baik apakah pembagian dua itu sudah dirasa adil oleh keduanya. Lalu dia memberikan data dan fakta kenapa isteri harus diberi lebih dan dia secara aktif meminta pengertian suami kalau isterinya pantas mendapatkan lebih. Nanti selanjutnya dia akan menyerahkan kepada kedua pihak dan keluarga untuk menyepakati berapa jumlah masing-masing sebaiknya. Begitu juga halnya dengan pendapat dari pihak hakim peradilan Medan. Ibu (N), seorang hakim peradilan Medan, mengatakan bahwa sebenarnya angka atau jumlah bagian itu melihat kontribusi dari masing-masing pihak suami isteri. Angka itu bisa saja bergeser sampai ke batas 80 : 20 kalau memang satu pihak memberikan andil dalam pemasukan. Tetapi hal ini terjadi juga bagi isteri, katanya. Misalnya suami sudah bekerja maksimal dan hasilnya maksimal, lalu isteri juga tidak melakukan tanggungjawabnya, dan melakukan suatu kesalahan maka mungkin juga akan mendapat proporsi di bawah 50-50.

Para hakim di Ternate juga demikian, mereka pada dasarnya tidak mematok pemahaman bahwa harus memutuskan 50;50. Mereka merasa memiliki kewenangan untuk memutuskan berbeda dari angka 50;50. Hanya saja mereka belum pernah menangani kasus perkara harta bersama. Demikian pula yang dikatakan bapak Yasir, seorang panitera di

28 Sebagaimana diketahui dan dapat dilihat dalam sistem hukum kemasyarakatan daerah Istimewa Aceh, dikenal adanya tradisi peradilan adat yang sangat terlembaga dari mulai tingkat desa kelurahan, kecamatan, dan seterusnya sampai kabupaten. Semuanya terintegrasi satu sama lain dan terstruktur. Kasus-kasus awalnya akan ditangani secara peradilan desa secara hirarki, dan bila tidak bisa juga diselesaikan baru boleh di daftar di Pengadilan Agama pemerintah. Umumnya kasus selesai di tingkat peradilan adat ini dan eksekusi serta prosesnya banyak berdasarkan musyawarah kekeluargaan sebagaimana sebenarnya hakikat jati diri peradilan yang dikehendaki Islam. Pelaksana dan hakim-hakim peradilan adat ini sejak dari tingkat desa sampai kota adalah dari kalangan tokoh-tokoh masyarakat, akademisi dan cendekiawan serta ulama. Mereka ini resmi ditunjuk melalui proses yang sudah baku dan dikenal dan diformalisasi juga dengan pengesahan dari pihak pemerintah.

(15)

pengadilan Agama. Menurutnya, dalam memutuskan perkara harus ada pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis. Jadi hakim dalam memutuskan perkata tidak ada alasan untuk berpatok pada teks aturan atau pasal karena itu adalah standar pokok. Mungkin inidapat diasosiasikan kepada pemikiran Syahrur tentang batas Atas suatu hukum. Bagaimana ketetapan akhirnya sangat terkait dengan situasi dan detaik kasus yang tidak mungkin sama antara satu dengan lainnya.

Pasal 97 KHI menyatakan bahwa janda atau duda cerai hidup dan mati masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Hal ini karena asumsi KHI isteri memiliki kedudukan seimbang debgan kedudukan suami dalam kehidupan bersama dan dalam kehidpan masyarakat sehingga konsekuensinya hukumnya juga seimbang yaitu seperdua.

Akan tetapi hakim dalam mengadili perkara harus mempertimbangakn aspek yuridis, filosofis dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dalam putusan pengadilan adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice) yang bisa dipahami juga atau termasuk di dalam keadilan nurani masyarakat ini yaitu keadilan ekonomi dan keadilan gender.

29

Aspek Yuridis merupakan aspek utama dan pokok dengan berpatokan kepada undang- undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator undang-undang harus memahami UU dengan mencari UU yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim harus menilai apakah UU tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan.

30

Di sisi lain, hakim juga harus memahami Undang Undang sebagai suatu system di mana antara satu peraturan dengan peraturan lain tidak boleh bertentangan.

Inti dari temuan ini dapat dianalisis bahwa hakim di lapangan dalam memahami aturan dan mempraktikkan pembagian harta bersama telah berusaha menerapkan code of conduct di atas dan telah berupaya untuk melakukan pemahaman dan pelaksanaan hukum secara yuridis, filosofis dan sosiologis.

3. Penutup

Pembagian harta bersama di Pengadilan Agama di Indonesia secara umum dapat dibagi kepada dua pola. Pertama pembagian yang bersifat normative tekstual dan pembagian bersifat progressive kontekstual. Pembagian yang bersifat normative tekstual adalah pembagian harta bersama yang dilakukan secara normative dan merujuk kepada undang-undang dengan pembagian setengah: setengah (50:50), sebagai mana yang diamanatkan undang-undang.

Pembagian dengan pola ini berlaku kepada keluarga pasangan suami istri dengan tiga model.

Model pertama yaitu suami yang bekerja dan berpenghasilan dan istri mengelola dan mengatur rumah tangga dan menjaga keluarga. Model kedua, yaitu model keluarga yang pasangan suami istrinya, sama-sama bekerja dan sama-sama berpenghasilan seimbang yang digunakan untuk kepentingan bersama dalam keluarga. Ketiga, model keluarga yang sama-sama bekerja, namun penghasilan suami lebih kecil dibandingkan penghasilan istri. Namun demikian, suami

29 Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, (Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006), hlm. 2.

30 Ahmad Rifa’I, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm. 126.

(16)

menunjukkan kesungguhan dalam berupaya dan bertanggungjawab kepada keluarga, peduli dan perhatian kepada keluarga, baik di tempat kerja maupun di rumah.

Bahwa dalam pembagian harta bersama saat terjadi perceraian adalah masing-masing suami isteri mendapatkan separo bagian, merupakan aspek yuridis yang harus dipedomani.

Nuansa putusan tersebut juga menyiratkan salah satu asas hukum perkawinan menyangkut perlunya keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri. Norma hukum berada pada lini kewajaran yang logis, tetapi tetap saja tidak dapat dipergunakan untuk menakar keadilan yang marwah pencapaiannya selalu bersifat kasuistis. Oleh sebab itu, pegangan paling inti, agar suatu putusan pengadilan itu mengarah pada sektor keadilan, harus mencermati kontribusi suami isteri dalam menegakkan rumah tangga, dan unsur kontribusi suami isteri ini layak dijadikan pedoman dalam rangka membagi harta bersama akibat terjadinya perceraian.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pembagian harta bersama juga dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama, jenis harta yang harus dimasukkan atau tidak dimasukkan ke dalam harta bersama antara lain: Harta bawaan; Harta warisan; Hadiah; Hibah;

Wasiat; Sedekah; Hutang; Asuransi; Mahar/ Mas kawin; Apakah ada harta pinjam pakai di dalam harta bersama?; Apakah ada harta pihak ketiga di dalam harta?; Apakah ada modal bersama melekat dalam satu usaha?; Apakah ada harta bawaan yang melekat pada harta bersama?. Aspek kedua yang harus diperhatikan dalam pembagian harta bersama adalah beberapa variable berikut ini; nafkah; kontribusi; tanggungjawab; Akhlak dan Moral;

Kesungguhan; Jumlah Anak yang akan diasuh salah satu pihak; Monogami/poligami;

Waktu/Lama perkawinan.

Unsur-unsur yang diperlukan dalam membuat aplikasi pembagian harta bersama juga merupakan dari indicator dan variable yang harus dipertimbangkan hakim dalam memutuskan perkara harta bersama. Unsur-unsur tersebut meliputi dua aspek yang telah dijelaskan di dalam kesimpulan nomor dua di atas. Unsur-unsur penting lainnya dalam pembuatan aplikasi pembagian harta bersama adalah unsur kemudahan dalam penggunaan aplikasi. Selanjutnya, hal yang harus ada dalam aplikasi adalah unsur edukasi dan sosialisasi tentang harta bersama baik dari segi variabel dan jumlah yang mungkin. Ketiga, memngandung unsur angka yang menjelaskan porsi yang mungkin dibagi. Keempat, unsur deskripsi dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan.

Dari hasil penelitian ini, saran-saran dapat diajukan sebagai rekomendasi. Penelitian ini dapat memberi wacana berbeda dan memperkaya literatur tentang pembagian harta bersama yang unik di Indonesia. Variable-variabel atau indikator yang telah dirumuskan dapat memberikan masukan kepada kebijakan hukum. Variable-variabel atau indikator yang telah dirumuskan dapat menjadi lampiran bagi Kompilasi Hukum Islam untuk menjadi rujukan bagi hakim dalam menganalisis masalah-masalah pembagian harta bersama.

Aplikasi yang telah disusun memiliki beberapa fungsi dan kontribusi. Fungsi pertama, sebagai sarana edukasi kepada masyarakat. Kedua, sebagai panduan atau pedoman dasar bagi para pihak, suami atau istri, untuk memahami tentang hal-hal apa saja dapat dimasukkan dan tidak dimasukkan sebagai harta bersama. Ketiga, sebagai panduan dan pedoman dasar bagi mediator untuk membantu memediasi pasangan dalam masalah pembagian harta bersama.

Keempat, menjadi bahan panduan awal bagi para hakim dalam menganalisis dan

menyelesaikan permasalahan pembagian harta bersama di pengadilan.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Junaidy, Abdul Basith. ‘Harta Bersama dalam Hukum Islam di Indoensia.’ Jurnal al- Qanun, Surabaya: fakultas Syariah dan Hukum UIN sunan Ampel, 2014.

Muhammad Syah, Isamil. Pencaharian Bersama Suami Istri di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Livia Holden dan Euis Nurlaelawati, Nilai-nilai Budaya dan Keadilan bagi Perempuan di Pengadilan Agama Indonesia: Praktik Terbaik. Yogyakarta: SUKA Press, 2019.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2006.

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2003.

Sudijono Sastroatmojo, 2005, “Konfigurasi Hukum Progresif”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 2 September.

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Jakarta, 2007.

Firman Floranta Adonara, “Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi Principles of Fredom of Justice in Decidene The Case as a Constitutional Mandate ,” Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 2, Juni 2015.

Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hakim,Sinar Grafika, 2002, Jakarta.

Akhmad Khisni, “Ijtihad Progresif dalam Penegakan Hukum Positif Islam di Pengadilan Agama tentang Pembagian Harta Bersama,” Jurnal Hukum Ius Quiaiustum, No.3 Vol.19 Juli 2012.

Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum ISlam

KUHPerdata

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986.

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1981.

Zikri Darussamin, Integrasi Kewarisan Adat Melayu-Riau dengan Islam. Yogyakarta:

LKiS, 2014.

M. Anshari MK, Hukum Perkawinan di Indonesia Masalah-Masalah Krusial.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Sukanto, Meninjau Hukum Adat di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1981.

Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Herlambang P. Wiratraman, 2013. Penelitian Sosio-Legal dan Konsekuensi Metodologisnya, Center of Human Rights Law Studies (HRLS), Fakultas Hukum Universitas Airlangga, diakses dari https://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/06/penelitian- sosio-legal-dalam-tun.pdf

Creswell, John. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing, Among Five Traditions, ed. II, California: Sage Publication.

Bernard, H. R. Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approaches. Walnut Creek: AltaMira Press. 1998.

Hasanuddin Dollah, FGD penelitian harta bersama di hotel Nivia,07 Agustus 2021 Iwan, FGD penelitian harta bersama di hotel Nivia,07 Agustus 2021

Yasir, FGD penelitian harta bersama di hotel Nivia,07 Agustus 2021 Responden Azhari Akmal Tarigan, FGD, hotel Nivia, 07 Agustus 2021

Mesraini. “Konsep Harta Bersama dan Implementasinya di Pengadilan Agama. Ahkam Jurnal Ilmu Syariah Vol. XII, 2012. Januari

Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Jakarta: Pusdiklat MA RI, 2006.

Rifa’i, Ahmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.

Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Belum lagi beragam putusan lain yang berkorelasi dengan variasi akibat hukum dari suatu putusan MK, baik yang terkait pemilu maupun tidak.. Diskursus mengenai

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menggunakan metode kromato- grafi lapis tipis, didapatkan hasil dari 12 sampel jamu kunyit asam yang dijual di Malioboro dan di

(1) Telah dibuat kendali katup pada simulator instrumen pengolah air umpan ketel dengan indikator TDS berbasis Arduino yang dapat mengatur kerja katup secara otomatis.

(1995) yang meneliti benih kedelai menghasilkan karakter yang terkait dengan vigor kekuatan tumbuh benih yang dikendalikan secara genetik dan mempengaruhi produktivitas

Hasil analisis keragaman terhadap data yang diperoleh menunjukkan bahwa komposisi media tanam berpengaruh tidak nyata (P > 0,05) terhadap variabel pertumbuhan tanaman,

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Dalam hal ini Dinas Perhubungan perlu menanamkan dan menerapkan saling kerja sama antar pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan, budaya keterbukaan dan rasa menghargai

Pemilu 1955, telah mengajarkan pada kita akan kehidupan demokrasi, kebebasan berpartai /multi partai yang sangat subur, pelaksanaan yang sangat jurdil, sehingga menjadi model