• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN. KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) ANALISIS FINANSIAL DAN KELAYAKAN TANAMAN PERKEBUNAN PADA LAHAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN. KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) ANALISIS FINANSIAL DAN KELAYAKAN TANAMAN PERKEBUNAN PADA LAHAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)

ANALISIS FINANSIAL DAN KELAYAKAN TANAMAN PERKEBUNAN PADA LAHAN HUTAN KEMASYARAKATAN

(HKm)

Kajian Pada Masyarakat Di Kawasan Register 39 Kabupaten Tanggamus

oleh :

Ainul Mardliyah, SP.,M.Si Dayang Berliana, SP.,M.Si

Kerjasama

Konsorsium Kota Agung Utara dan STIPER Dharma Wacana Di Kabupaten Tanggamus

Tahun 2014

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang

Sejak dahulu kala masyarakat telah memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat yang telah memanfaatkan hutan sebagai lahan pertanian dan beternak untuk memenuhi kebutuhan pangan. Masyarakat memanfaatkan hutan sebagai tempat tinggal untuk menjadi tempat perlindungan dari binatang buas dan cuaca ekstrim. Masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan non kayu.

Semakin bertambahnya populasi manusia di Indonesia telah menimbulkan berbagai masalah antara lain meningkatnya kebutuhan hidup penduduk dan kebutuhan akan lahan.

Permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya tekanan terhadap sumberdaya hutan yang terus bertambah dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu, air, lapangan pekerjaan, mutu lingkungan yang baik, dan dalam perkembangannya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pangan.

Sebenarnya ini tidak perlu terjadi jika masyarakat dapat mengelola lahannya secara optimal. Pengoptimalan itu didapat dari berbagai macam bantuan-bantuan yang diberikan. Baik melalui pemerintah dan lembaga lainnya, dalam bentuk bantuan bibit ataupun bantuan berupa pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan penduduk dalam mengelola hutannya secara optimal.

Wilayah Kabupaten Tanggamus memiliki beragam kekayaan alam yang belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan karena belum tersedianya data dan informasi mengenai potensi sumber daya alam yang lengkap. Kondisi alam yang berbeda antara satu wilayah dengan yang lainnya memerlukan identifikasi potensi sumber daya alam untuk dapat

(3)

mengembangkan jenis-jenis komoditas pertanian yang sesuai dengan potensi sumber daya lahan, upaya ini akan sangat membantu peningkatan produksi komoditas.

Sub sektor perkebunan merupakan mata pencaharian dominan masyarakat di Kabupaten Tanggamus. Dalam sektor pertanian ini, hampir 40 % penduduk mengusahakan komoditas perkebunan. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan bervariasi, baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan, perkebunan besar maupun perkebunan rakyat.

Komoditas perkebunan utama yang diusahakan sebagian besar masyarakat Kabupaten Tanggamus adalah kopi, kakao, kelapa dan lada. Diantara tanaman perkebunan tersebut, kopi merupakan komoditas andalan di Kabupaten Tanggamus. Total lahan yang digunakan untuk perkebunan kopi pada tahun 2006 adalah 54.509,00 ha atau sebesar 54,56% dari luas areal perkebunan dengan produktivitas sebesar 466,51 kg/ha/th. Sedangkan total produksi pada tahun 2006 mencapai 25.453,24 ton. Luasan komoditas kopi cenderung menurun setiap tahun karena banyak petani kopi yang mulai mengganti tanamannya dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan seperti kakao. Komoditas kakao menempati urutan kedua setelah kopi. Untuk komoditas kakao dari luasan sekitar 26.190 ha kebun kakao di Lampung sekitar 47,6 % terdapat di Kabupaten Tanggamus sedangkan sisanya menyebar di kabupaten lain (Pemda Kabupaten Tanggamus,2005).

Produktivitas tanaman perkebunan selain dipengaruhi pemeliharaan yang umumnya masih dilakukan secara konvensional juga sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca sehingga produksi sangat berfluktuasi setiap tahunnya. Memperhatikan potensi yang ada dan prospek di masa depan, komoditas perkebunan tersebut merupakan komoditas unggulan yang berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Tanggamus. Melihat cukup dominannya pengusahaan komoditas perkebunan di Kabupaten Tanggamus, maka akan sangat berpengaruh terhadap

(4)

kondisi perekonomian Kabupaten Tanggamus, untuk itu perlu dilakukan analisis finansial tanaman perkebunan di kawasan perhutanan Kab. Tanggamus. sehingga dapat memberikan gambaran produksi optimal. Hal ini sesuai dengan salah satu misi pembangunan daerah Tanggamus yaitu mendorong pusat-pusat pertumbuhan yang ada agar mampu menjadi motor penggerak perekonomian Kabupaten Tanggamus dan dapat merangsang pertumbuhan daerah sekitarnya.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kelayakan usaha komoditas perkebunan pada pengelolaan hutan kemasyarakatan di Register 39 Kabupaten Tanggamus.

2. Mempelajari sistem pengelolaan hutan kemasyarakatan di di Register 39 Kabupaten Tanggamus.

1.3 Kegunaan

1. Informasi dan bahan pertimbangan bagi para kelompok tani dalam mengelola hutan kemasyarakatan dengan baik.

2. Masukan dan bahan pertimbangan bagi instansi terkait dalam pengelola hutan kemasyarakatan dan pembuatan kebijakan.

3. Informasi dan bahan perbandingan bagi kajian selanjutnya.

(5)

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Desentralisasi Kebijakan Pengelolaan Kehutanan dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community Based Forest Management)

Salah satu perubahan paradigma pembangunan kehutanan di Indonesia adalah lebih memberikan penekanan pada Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (community based forest management), atau disingkat PHBM, untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal. Seiring dengan proses desentralisasi kebijakan pengelolaan kehutanan dalam konteks OTDA yang momentumnya dimulai pada tahun 1995, PHBM dilakukan secara bersamaan dalam kerangka kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm).

Sejak tahun 1995, konsep dan kebijakan HKm telah mengalami evolusi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan (1995), kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi (1998), lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat (1999) dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya (2000). Dasar kebijakan masing-masing model HKm seperti ditayangkan pada Tabel 2.1. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan, HKm didefinisikan sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik-beratkan kepentingan menyejahterakan masyarakat. Masyarakat

(6)

pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau di sekitar hutan dengan ciri komunitas.

Tabel 2.1. Perkembangan Kebijakan Model Hutan Kemasyarakatan

Tahun Dasar Kebijakan (SK Mentri Kehutanan, PP dll)

Deskripsi Hutan Kemasyarakatan

1995 SK No.622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan

Model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan

1998 SK No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan

Model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi

1999 SK No.865/Kpts-II/1999 tentang Penyempurnaan SK No.677/Kpts- II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan

Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok- kelompok masyarakat setempat

2000 SK No.31/Kpts-II/2001 tentang

Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya

2007 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.

Pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui :

a. hutan desa;

b. hutan kemasyarakatan; atau c. kemitraan.

2007 Permenhut Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan

Model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok- kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHKm) pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu (IUPHHK HKm) pada hutan produksi.

2008 Permenhut No: P.49/Menhut- II/2008 tentang Hutan Desa

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa.

Sumber: Berbagai sumber, 2013

Kebijakan HKm pada tahun 2000 dilakukan dalam merespon UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan penyelenggaraan program HKM dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2000 tentang

(7)

Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan otonomi daerah dan peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola hutan negara diantaranya adalah:

 HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat

yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum.

 Desentralisasi pengelolaan HKm, yang semula perijinan menjadi kewenangan Kanwil

Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan Bupati/Walikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri.

 Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,

pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan nonkayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.

Terlepas dari berbagai kemajuan, legitimasi SK No.31/Kpts-II/2000 digugat oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Karena hal tersebut, saat ini Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) sedang memproses legal draft HKm dalam bentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Selain itu tidak semua pihak menerima program HKm, terutama pihak-pihak yang masih menyimpan konflik terhadap pemerintah akibat selesainya penanganan masalah gugatan status dan kepemilikan lahan dalam

(8)

kawasan hutan. Pada awal tahun 2004, belum saja polemik kebijakan HKm selesai, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru tentang Social Forestry.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, secara terus-menerus melakukan perbaikan kebijakan pengelolaan hutan bagi masyarakat. Kebijakan yang cukup monumental adalah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. PP ini memandatkan bahwa, pengelolaan hutan oleh masyarakat setempat dilaksanakan dalam konteks pemberdayaan masyarakat (Pasal 84) melalui skim kebijakan: hutan desa, hutan kemasyarakatan; atau kemitraan.

Secara kontinum, PP ini kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Permenhut Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan yang memungkinkan pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada kelompok-kelompok masyarakat setempat, baik pemanfaatan hasil hutan non kayu (IUPHKm) pada hutan lindung dan hutan produksi, maupun hasil hutan kayu (IUPHHK HKm) pada hutan produksi. Dimungkinkannya akses masyarakat terhadap hasil hutan kayu dalam skim kebijakan HKm merupakan sebuah kebijakan yang dinantikan sejak tahun 1995 ketika HKm saat itu pertama kali didesain sebatas dalam bentuk model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan. Kebijakan HKm yang dinantikan selanjutnya adalah bagaimana skim ini diterjemahkan pelaksanaannya di dalam kawasan hutan konservasi sebagaimana dimungkinakn oleh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.

Pembaharuan kebijakan tidak berhenti di HKm saja. Pada tahuan 2008, kemudian diterbitkan Permenhut No: P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa dimana dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan serta mewujudkan pengelolaan

(9)

hutan yang adil dan lestari, hutan negara dapat dikelola untuk kesejahteraan desa melalui Hutan Desa. Hadirnya skim kebijakan Hutan Desa bagi sebagian kalangan menjadi jalan tengah pengembangan akses secara komunal dalam bentuk komunitas desa atas belum terjawabnya bagaimana hutan adat diatur kemudian. Kalangan tersebut melihat, ketika bingkai kebijakan tentang hutan adat belum dicapai, maka kebijakan hutan desa bisa menjadi alternative masyarakat adat memiliki akses komunal melalui pemerintahan desa.

2.2. Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan 1. Biaya Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan

Biaya secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi suatu tujuan. Jadi biaya pengusahaan hutan rakyat adalah segala bentuk korbanan ekonomi yang dikeluarkan atau akan dikeluarkan untuk mencapai tujuan pembangunan hutan rakyat. Pada prinsipnya biaya yang terlibat dalam pengusahaan hutan rakyat dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu biaya produksi tetap (fixed cost) dan biaya produksi berubah (variable cost).

Biaya produksi tetap adalah semua jenis biaya yang tidak berubah besarnya walaupun jumlah barang yang dihasilkan berubah, misalnya sewa tanah. Sedangkan biaya produksi berubah adalah biaya produksi yang besarnya tergantung dari jumlah barang yang dihasilkan, misalnya membeli pupuk, bibit, upah tenaga kerja (Sumarta, 1963 dalam Hayono, 1996).

2. Pendapatan Usaha Hutan Kemasyakatan

Pendapatan adalah penerimaan total dari penjualan hasil produksi sebelum dikurangi dengan biaya produksi. Besarnya Pendapatan dipengaruhi oleh jumlah barang yang dihasilkan/diproduksi dan harga masing-masing jenis dan kualitas produk. Pendapatan dari usaha hutan rakyat diperoleh dari penjualan kayu rakyat baik berupa kayu pertukangan maupun kayu bakar.

(10)

3. Analisis Finansial Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan

Analisis finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam suatu proyek. Analisis finansial pengelolaan hutan rakyat dapat dipakai sebagai ukuran keberhasilan dalam pengelolaan hutan rakyat lebih lanjut bagi masyarakat maupun pemerintah untuk menentukan langkah-langkah perbaikan dan peningkatan manfaat di masa yang akan datang, sehingga penggunaan dan alokasi sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara lebih efisien dan efektif.

Menurut Gittinger (1986), dalam menilai suatu proyek yang menggunakan Discounted Cash Flow (DCF) atau aliran kas yang berdiskonto berdasarkan pada tiga kriteria, yaitu :

1. Net Present Value (NPV), yaitu nilai kini atau sekarang dari suatu proyek setelah dikurangi dengan seluruh biaya pada suatu tahun tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun bersangkutan dan didiskontokan pada tingkat bunga yang berlaku.

2. Benefit Cost Ratio (BCR), adalah suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh proyek dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek.

3. Internal Rate of Return (IRR), adalah suatu tingkat suku bunga maksimal yang dibayarkan oleh suatu proyek untuk semua investasi dan sumberdaya yang digunakan.

Proyek diprioritaskan pelaksanaannya (layak), apabila nilai NPV>0, BCR>1 dan IRR lebih besar daripada suku bunga yang berlaku.

4. Pendapatan Rumah Tangga Petani

(11)

Pendapatan rumah tangga adalah kumpulan dari pendapatan anggota-anggota rumah tangga dari masing-masing kegiatannya. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dari penjualan, konsumsi keluarga akan komoditi yang dihasilkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan komoditi tersebut.

Biro Pusat Statistik (1993), menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga petani tidak hanya berasal dari usaha pertaniannya saja, tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain di luar sektor pertanian, seperti perdagangan, jasa pengangkutan, industri pengolahan, dan lain-lain.

Bahkan kadang penghasilan di luar usaha pertanian justru lebih besar daripada pendapatannya dari pertanian.

Sedangkan Kartasubrata (1980), menjelaskan bahwa pendapatan rumah tangga menurut sumbernya dibagi menjadi dua golongan, yaitu pendapatan kehutanan, adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di hutan, dan pendapatan non kehutanan, yaitu pendapatan yang berasal dari hasil kegiatan di luar kehutanan.

2.3. Studi Kelayakan Usahatani pisang

Pencapaian tujuan usaha harus memenuhi beberapa kriteria kelayakan usaha. Artinya, jika dilihat dari segi bisnis, suatu usaha sebelum dijalankan harus dinilai pantas atau tidak untuk dijalankan. Pantas artinya layak atau akan memberikan keuntungan dan manfaat yang maksimal. Agar tujuan perusahaan dapat tercapai sesuai keinginan, apapun tujuan perusahaan (baik profit, sosial, maupun gabungan dari keduanya). Apabila ingin melakukan investasi, terlebih dahulu hendaknya dilakukan sebuah studi. Tujuannya adalah untuk menilai apakah investasi yang akan ditanamkan layak atau tidak untuk dijalankan atau dengan kata lain, jika usaha tersebut dijalankan, akan memberikan manfaat atau tidak (Anonymous, 2012).

(12)

Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, pupuk, benih, dan pestisida) dengan efektif, efisien, dan kontinyu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan usahataninya meningkat. (Rahim dan Diah, 2008).

Menurut Firdaus (2005) studi kelayakan adalah suatu laporan yang membahas dan menilai suatu usulan investasi akan dilaksanakan atau direalisasikan dalam suatu usahatani yang produktif dan dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti dan tujuan bahwa seluruh biaya yang dikeluarkan untuk proyek tersebut dapat ditutupi oleh pendapatan. Sementara menurut Herianto (2007) menyatakan bahwa studi kelayakan adalah suatu penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek dilaksanakan dengan berhasil. Tujuan dilakukan studi kelayakan adalah menghindari keterlanjuran penanaman modal yang besar untuk kegiatan yang tidak menguntungkan.

Studi kelayakan yang juga sering disebut dengan feasibility study merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan usaha / proyek yang direncanakan. Pengertian layak dalam penilaian studi kelayakan adalah kemungkinan dari gagasan usaha / proyek yang akan dilaksanakan memberikan manfaat (benefit), baik dalam arti finansial maupun dalam arti sosial benefit ( Ibrahim, 2009 ).

Apabila dalam perhitungan studi kelayakan usahatani mengalami kegagalan itu hanya terjadi karena adanya faktor uncontrollable seperti bencana alam (banjir, gunung meletus, kebakaran hutan, gempa), perubahan peraturan pemerintah, dan disamping itu penggunaan data yang tidak relevan (Ibrahim, 2009). Suatu usahatani dapat dikatakan layak atau tidak untuk dilakukan, dapat dilihat dari efisiensi penggunaan biaya dan besarnya perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya.

(13)

Agar dapat menentukan suatu usahatani tersebut layak atau tidak, dalam mengevaluasi usahatani yang telah dijalankan pada dasarnya harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

1. R/C >1, dengan menentukan R/C saja dapat diketahui bahwa usahatani tersebut layak atau tidak.

2. π/C > bunga bank yang berlaku

3. Produktifitas Tenaga kerja lebih besar dari tingkat upah yang berlaku 4. Produksi > BEP Produksi

5. Penerimaan (Rp) > BEP Penerimaan (Rp) 6. Harga > BEP

7. Jika terjadi penurunan harga produksi maupun peningkatan harga faktor produksi sampai batas tertentu tidak menyebabkan kerugian

Dalam hal untuk menganalisis titik impas modal yang dikeluarkan berdasarkan jumlah produk dan harga yang ditentukan dapat dilakukan analisis BEP (Break Even Point), serta untuk mengetahui perbandingan antara total penerimaan dan total biaya dapat dihitung menggunakan analisis R/C Ratio.

Keuntungan : π = TR – TC Dimana : π = Benefit Absolute

TR = Total Revenue TC = Total Cost

Untuk menentukan suatu usaha layak atau tidak dapat menggunakan rumus R/C rasio yang secara matematis dituliskan sebagai berikut :

R/C Ratio = TR/TC

Dimana : Ada tiga kriteria dalam perhitungan, yaitu :

(14)

a. R/C > 1, usahatani menguntungkan dan layak diusahakan b. R/C = 1, usahatani berada pada titik impas (Break Event Point) c. R/C < 1, usahatani tidak menguntungkan atau tidak layak diusahakan.

2.3.1. B/C Rasio

Benefit-cost ratio dapat dikatakan sebagai ratio perbandingan antara penerimaan yang

diterima dengan biaya yang dikeluarkan dalam usaha. JIka ratio menunjukan hasil nol maka dapat dikatakan bahwa usaha tidak memberikan keuntungan finansial. Demikian juga jika ratio menunjukan angka kurang dari 1 maka usaha yang dilakukan tidak memberikan keuntungan dari kegiatan yang dilaksanakan ( Rahim, 2008 ).

B/C R = Benefit Tahunan/ Total Biaya Tahunan Dimana :

B : benefit / keuntungan C : cost / biaya

Keterangan : B/C R < 1 , artinya usahatani yang dijalankan tidak menguntungkan B/C R > 1 , artinya usahatani yang dijalankan menguntungkan B/C R = 1 , artinya pendapatan dengan pengeluaran sama / impas

B/C ratio atau Benefit and Cost Ratio merupakan salah satu konsep yang dapat menentukan kelayakan sebuah proyek biasanya B/C ratio digunakan untuk menentukan kelayakan sebuah proyek yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum. B/C ratio menyatakan tiap investasi yang ditanamkan. Lata belakang munculnya analisis manfaat biaya adalah kaitanya dengan munculnya undang – undang pengendalian banjir pada tahun 1936 di Amerika yang menyebutkan bahwa proyek akan didanai hanya jika “manfaat yang dihasilkan bagi siapa saja melebihi biaya yang diperkirakan”. (Ratio, Agus, Puryani, 2011) metode benefit cost ratio adalah salah satu metode yang sering digunakan dalam tahap – tahap evaluasi awal perencanaan

(15)

investasi sebagai analisis tambahan dalam rangka memvalidasi hasil evaluasi yang telah dilakukan dengan metode lainnya. Dismaping itu metode ini sangat baik dilakukan dengan metode lainnya. (Giatman, MSIE, Drs. M., 2006)

Dimana :

PVbenefit = present value dari keuntungan PVcost = present value dari biaya

Dari rumus diatas yang digunakan sebagai acuan adalah nilai benefit dan cost, jadi penerapan aplikasi dari cara ini.

1. Menggambar cash flownya dengan jelas

2. Hitung PV benefitnya dan PV costnya dan masukan dalam rumus diatas

3. Kita akan mendapatkan nilai B/C R – nya jika > 1 maka proyek layak dijalankan jika < 1 maka sebaliknya

4. Jika semua > 1 maka mencari nilai B/C R yang terbesar 5. Jika semua < 1 maka mencari nilai B/C R yang terkecil 2.3.2. Net Present Value

Net Present Value (NPV) atau nilai tunai bersih, merupakan kelayakan metode yang

menghitung selisih antara manfaat atau penerimaan dengan biaya atau pengeluaran. Atau dapat juga diartikan Net Present Value sebagai selisih antara Present Value dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan kas bersih (aliran kas operasional maupun kas terminal). Metode penilaian ini adalah mengukur selisih antara total arus kas masuk (input) setiap tahun dengan

(16)

total arus kas keluar (biaya) setiap tahun setelah didiskontokan dengan suku bunga yang berlaku pada saat usahatani dijalankan dengan acuan pada suku bunga Bank Indonesia.

Untuk menghitung nilai sekarang tersebut perlu ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang dianggap relevan. Pada dasarnya tingkat bunga tersebut adalah tingkat bunga yang berlaku saat dilakukan keputusan investasi, masih terpisah waktu mulai mengaitkan keputusan investasi dengan keputusan pembelanjaan. Perhatian disini keterkaitan hanya akan mempengaruhi tingkat bunga, bukan aliran kas. Apabila nilai sekarang penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi, maka proyek ini dikatakan menguntungkan sehingga diterima bila NPV lebih besar 0, artinya di mana nilai sekarang penerimaan total lebih besar dari pada nilai sekarang biaya total.

2.3.3. Internal Rate of Return

Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat bunga yang menunjukkan nilai

bersih sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh investasi proyek atau tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Atau dengan kata lain persentase keuntungan usahatani dalam kegiatan produksi, yang merupakan sebagai alat ukur kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga modal. Menurut Hermanto, F.( 1999 ) dapat dihitung menggunakan formulasi sebagai berikut :

Rumus : Ip + {{NPV p : (NPVp - NPVn)} x (In – Ip)

Dimana : Ip : % tingkat suku bunga (df) menghasilkan NPV positif Ip : % tingkat suku bunga (df) menghasilkan NPV negatif NPVp : Jumlah NPV positif

NPVn : Jumlah NPVnegatif Cara lain menggunakan rumus sebagai berikut :

(17)

IRR = I1 + NPV1 x (i2 – i1) NPV1 – NPV2

Dimana : I1 = tingkat bunga 1 (tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1) I2 = tingkat bunga 2 (tingakt discount rate yang menghasilkan NPV2) NPV1 = net present value 1

NPV 2 = net present value 2

Pada dasarnya Internal Rate of Return harus di cari dengan cara Trial And Error dengan serba coba-coba. Penentuan tarif kembalian dilakukan dengan metode Trial And Error dengan cara sebagai berikut :

a) Mencari aliran kas masuk bersih pada tarif kembalian yang dipilih secara sembarang di atas atau dibawah tarif kembalian investasi yang diharapkan.

b) Menginterpolasikan kedua tarif kembalian tersebut untuk mendapatkan tarif kembalian sesungguhnya.

IRR lebih merupakan suatu indikator efisiensi dari suatu investasi, berlawanan dengan NPV, yang mengindikasikan value atau suatu besaran uang. IRR merupakan effective compounded return rate annual yang dapat dihasilkan dari suatu investasi atau yield dari suatu investasi.

Suatu investasi dapat dilakukan apabila rate of returnnya lebih besar daripada return yang diterima apabila kita melakukan investasi ditempat lain misalnya di bank.

2.3.4. Break Even Poin (BEP)

Break Even Point (BEP) dapat diartikan sebagai suatu titik atau keadaan dimana

perusahaan di dalam operasinya tidak memperoleh keuntungan dan tidak menderita kerugian.

Dengan kata lain, pada keadaan itu keuntungan atau kerugian sama dengan nol. Hal tersebut dapat terjadi bila perusahaan dalam operasinya menggunakan biaya tetap, dan volume

(18)

penjualan hanya cukup untuk menutup biaya tetap dan biaya variabel. Apabila penjualan hanya cukup untuk menutup biaya variabel dan sebagian biaya tetap, maka perusahaan menderita kerugian, dan sebaliknya akan memperoleh memperoleh keuntungan bila penjualan melebihi biaya variabel dan biaya tetap yang harus di keluarkan.

1. Manfaat Analisis Break Even (Titik Impas)

Analisis Break even secara umum dapat memberikan informasi kepada pimpinan, bagaimana pola hubungan antara volume penjualan, cost/biaya, dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh pada level penjualan tertentu. Analisis break event dapat membantu pimpinan dalm mengambil keputusan mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Jumlah penjualan minimal yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak mengalami kerugian.

b. Jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh keuntungan tertentu.

c. Seberapa jauhkah berkurangnya penjualan agar perusahaan tidak menderita rugi.

d. Untuk mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya dan volume penjualan terhadap keuntungan yang diperoleh.

2. Jenis Biaya Berdasarkan Break Even (Titik Impas).

Biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Variabel Cost (biaya Variabel)

Variabel cost merupakan jenis biaya yang selalu berubah sesuai dengan perubahan volume penjualan, dimana perubahannya tercermin dalam biaya variabel total. Dalam

(19)

pengertian ini biaya variabel dapat dihitung berdasarkan persentase tertentu dari penjualan, atau variabel cost per unit dikalikan dengan penjualan dalam unit.

2. Fixed Cost (biaya tetap)

Fixed cost merupakan jenis biaya yang selalu tetap dan tidak terpengaruh oleh volume

penjualan melainkan dihubungkan dengan waktu (function of time) sehingga jenis biaya ini akan konstan selama periode tertentu. Contoh biaya sewa, depresiasi, bunga. Berproduksi atau tidaknya perusahaan biaya ini tetap dikeluarkan.

3. Semi Varibel Cost

Semi variabel cost merupakan jenis biaya yang sebagian variabel dan sebagian tetap, yang kadang-kadang disebut dengan semi fixed cost. Biaya yang tergolong jenis ini misalnya:

Sales expense atau komisi bagi salesman dimana komisi bagi salesman ini tetap unutk range

atau volume tertentu, dan naik pada level yang lebih tinggi.

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kaitan antara biaya, volume penjualan, volume produksi yang nantinya untuk menentukan titik impas dimana perusahaan tidak mengalami kerugian maupun tidak mendapatkan keuntungan. Analisis break even point sangat membantu manajemen dalam berbagai hal, misalnya dalam masalah dampak pengurangan biaya tetap terhadap titik impas, atau dampak peningkatan harga terhadap laba. Analisis ini sangat berguna bagi manajemen di dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.

Analisis break even merupakan cara atau teknik yang digunakan oleh manajer perusahaan untuk mengetahui tingkat penjualan berapakah perusahaan tidak mengalami laba dan tidak pula mengalami kerugian (Sigit, 2002). Impas adalah suatu keadaan perusahaan dimana jumlah total penghasilan besarnya sama dengan total biaya atau besarnya laba konstribusi sama dengan total biaya tetap, dengan kata lain perusahaan tidak memperoleh laba

(20)

tetapi juga tidak menderita rugi (Supriyono, 2000). Analisis break even point merupakan salah satu analisis keuangan yang sangat penting dalam perencanaan keuangan.

Analisis break even point biasanya lebih sering digunakan apabila perusahaan mengeluarkan suatu produk yang artinya dalam memproduksi sebuah produk tentu berkaitan dengan masalah biaya yang harus dikeluarkan kemudian penentuan harga jual serta jumlah barang atau jasa yang akan diproduksi atau dijual ke konsumen (Khasmir, 2008).

Analisis break even point memiliki manfaat sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui hubungan volume penjualan (produksi), harga jual, biaya produksi dan biaya – biaya lain serta mengetahui laba rugi perusahaan.

2) Sebagai sarana merencanakan laba.

3) Sebagai alat pengendalian (controlling) kegiatan operasi yang sedang berjalan.

4) Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan harga jual.

5) Sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan perusahaan misalnya menentukan usaha yang perlu dihentikan atau yang harus tetap dijalankan ketika perusahaan dalam keadaan tidak mampu menutup biaya – biaya tunai (Kuswadi, 2005).

(21)

BAB III.

METODE PENELITIAN

3.1 .Metode Pengambilan Contoh

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Agung Utara Kabupaten Tanggamus. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja). Kabupaten Tanggamus dipilih menjadi daerah penelitian atas dasar pertimbangan bahwa Kabupaten ini merupakan kabupaten yang menerapkan pembangunan HKm register 28 Pematang Neba dan Register 32 Gn Rendingan.

Kawasan HKm tersebut memiliki fungsi yang sangat krusial yakni salah satunya sebagai catchmen area atau daerah tangkapan air batu tegi.

Responden yang dijadikan sampel (unit contoh) adalah masyarakat anggota gapoktan HKm yang telah mendapatkan ijin Penetapan areal kelola hutan tahun 2013. Responden tersebut merupakan responden yang tinggal di kawasan register 28 yaitu Wira Karya Sejahtera, kawasan register 32 yaitu gapoktan Mahardika dan gapoktan di kawasan register 30 yaitu Beringin Jaya. Jumlah sampel dipilih secara Quota sampling, yaitu berjumlah 300 responden.

Pra survei ke lapangan dan pengumpulan data lebih lengkap dilakukan pada tahun 2015.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan pengamatan langsung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara dengan petani (responden) melalui kuisioner (daftar pertanyaan). Data sekunder diperoleh dari lembaga terkait/instansi terkait, laporan-laporan, publikasi dan pustaka

(22)

lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Berikut penjelasan mengenai metode pengumpulan data dan informasi :

(1) Studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari data sekunder yang relevan mengenai peraturan perundangan yang berkaitan dengan hutan kemasyarakatan, data sosial ekonomi penduduk, data pelaksanaan kegiatan HKm, dan sebagainya.

(2) Observasi, yaitu dengan cara mengamati dan/atau menghitung obyek penelitian di lapangan secara langsung, seperti jenis tanaman, produksi tanaman, biaya produksi, dan pendapatan usahatani.

(3) Wawancara dengan cara ”dept interview”, yaitu dengan melakukan tanya jawab kepada informan kunci guna menggali informasi mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan HKm, pendampingan yang dilakukan KORUT, dan produksi tanaman. Responden yang dijadikan responden terdiri atas anghota kelompok tani Mulya Agung, Tribuana, dan Tulung Agung.

(4) Kuesioner, yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden yang dijadikan obyek penelitian.

3.4 . Metode Pengolahan Data

Penerimaan dan Pendapatan Petani Hutan Kemasyarakatan

Penerimaan merupakan perkalian jumlah hasil produk dengan harga satuannya.

Selanjutnya pendapatan merupakan selisih total penerimaan (total revenue) dengan total biaya yang dikeluarkan dalam usaha pengelolaan hutan (total cost). Untuk menentukan pendapatan dengan cara membagi jenis pendapatannya. Misalnya perolehan pendapatan dari komoditas perkebunan, jasa, dagang, dan lainnya. Secara sistematis untuk menentukan pendapatan dituliskan sebagai berikut:

(23)

Pendapatan = TR-TC Keterangan :

TR = Total Revenue TC = Total Cost

Analisis Kelayakan Usaha

1. Net Persent Value (NPV)

Net Persent Value merupakan nilai sekarang dari manfaat atau pendapatan dan biaya atau pengeluaran. Dengan demikian apabila NPV bernilai positif dapat diartikan juga sebagai besarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha. Sebaliknya NPV yang bernilai negatif menunjukan kerugian.

Keterangan : Bt = penerimaan (benefit) pada tahun ke-t Ct = cost pada minggu/bulan/tahun

df = discount factor

df1 = 18 % tingkat suku bunga dilokasi usahatani df2 = n % tingkat suku bunga keperluan analisis NPV dapat dituliskan kedalam bentuk rumus sebagai berikut :

NPV = PVB – PVC

Dimana : a. PVB (present variable benefit) diperoleh dari penerimaan dikalikan dengan df PVC (persent value cost) diperoleh dari biaya dikalikan dengan Df.

b. Df adalah konstanta 1 : (1 + i ) atau tingkat suku bunga Keterangan : NPV > 0 , artinya usahatani tersebut menguntungkan

NPV < 0 , artinya usahatani tersebut tidak layak atau rugi.

Perhitungan ini diukur dengan nilai uang sekarang dengan kriteria sebagai berikut:

a. Bila NPV > 0, maka investasi dinyatakan layak (feasible)

b. Bila NPV < 0, maka investasi dinyatakan tidak layak (no feasible) c. Bila NPV = 0, maka investasi berada pada posisi break event point.

(24)

Atau dapat menggunakan teori menurut Kasmir dan Jakfar (2007:p100), “Net Present Value” (NPV) atau nilai bersih sekarang merupakan perbandingan antara PV kas Bersih

(PV of Proceed) dengan PV investasi (Capital Outlays) selama umur investasi. Selisih antara nilai kedua PV tersebutlah yang kita kenal dengan Net Present Value (NPV).

Rumus dalam Metode Net Present Value (Kasmir dan Jakfar, 2007) adalah:

dimana :

PRt = Arus kas setelah pajak pada periode t, io = Pengeluaran awal investasi,

n = Lamananya Proyek yang di jalankan

k = Tingkat diskon ( discount factor ), yaitu tingkat

pengembalian minimum yang diinginkan atas suatu investasi.

2. IRR (Internal Rate Return)

Menurut Nurmalina (2009), Mengukur besaran internal rate of retrurn (IRR) adalah tingkat discount rate (dr) yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Besaran yang dihasilkan dari perhitungan ini adalah dalam satuan persentase (%). Suatu usahatani dinyatakan layak apabila IRR-nya lebih besar dari opportunity cost of capital-nya (DR). Pada umumnya dalam menghitung tingkat IRR dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi di antara discount rate yang lebih rendah (menghasilkan NPV positif) dengan tingkat discount rate yang lebih

tinggi (yang menghasilkan NPV negatif). Pada tingkat bunga tersebut menggambarkan besarnya Internal Rate of Return dari usul investasi tersebut, cara ini dinamakan interpolasi.

Sedangkan menurut Gunawan Adi Saputro (2007) mengatakan bahwa “ Internal Rate Of Return adalah tingkat discount rate yang dapat menjadikan sama nilai sekarang dari outlay

1 k

-io

NPV PRt

n

1 t

1

(25)

dengan nilai sekarang dari proceed investasi yang bersangkutan. “ Internal Rate Of Return adalah tingkat dikonto yang menyamakan nilai sekarang arus kas dengan investasi awalnya.

Dewi Astuti (2004: 109). Dan menurut Bambang Riyanto (1997: 129) Internal Rate Of Return dapat diidentifikasi sebagai tingkat bunga yang akan menjadi jumlah nilai sekarang dari proceed yang diharapkan akan diterima sama dengan jumlah nilai sekarang dari pengeluaran modal. Pada dasarnya IRR harus dicari dengan cara trial and error.

Rumus :

Dimana :

IRR = Internal Rate of Return yang dicari i1 = Tingkat bunga ke- 1

i2 = Tingkat bunga ke- 2 NPV1 = NPV ke- 1 NPV2 = NPV ke- 2

3. Net B/C

Menurut Ibrahim (2003: 49), menyatakan bahwa Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan hasil nilai perbandingan antara hasil net benefit yang telah di discount positif dengan net benefit yang telah di discount negatif. Selanjutnya, Soeharto (1992) mengatakan bahwa Net Benefit Cost merupakan perbandingan antara net benefit yang telah di discount positif dengan net benefit yang di discount negatif . Secara matematis dapat dituliskan kedalam rumus sebagai berikut :

Rumus :

df2-df1

df2 x NPV - df1 NPV

df1 df1 NPV

IRR 



 

Net B/C =

(26)

Metode ini merupakan integrasi dari data yang diperoleh dengan metode lain (Bimo Walgito, 2010)

4. Gross B/C

Menurut Kasmir (2003:51) Gross B/C Ratio atau Gross Benefit Cost menyatakan bahwa hasil nilai perbandingan antara benefit kotor yang telah di discount dengan biaya secara keseluruhan yang telah di discount. Selanjutnya Soeharto (1992) menyatakan perbandingan antara benefit kotor yang telah di discount dengan biaya secara keseluruhan yang telah di discount. Secara matematis Gross B/C dinyatakan kedalam rumus sebagi berikut :

Rumus :

Jika : Gross B/C > 1 (satu) berarti proyek (usaha) layak dikerjakan, Gross B/C < 1 (satu) berarti proyek tidak layak dikerjakan,dan Gross B/C = 1 (satu) berarti proyek dalam keadaan BEP.

5. BEP

Menurut T. Horngren, Srikant M Datar, dan Gorge Foster (2003:75) mendefinisikan BEP ( Break Event Point) sebagai titik impas yang artinya volume penjualan dimana pendapatan dan jumlah bebannya sama, tidak terdapat laba maupun rugi bersih. Hansen dan Mowen (2005:274) mengartikan Break Even Point bahwa titik dimana total pendapatan sama

n i

n i

n

i

n

r C

r B C

B Gross

1 1

) 1 (

) 1 ( /

(27)

dengan total biaya, titik dimana laba sama dengan nol. Menurut Reza Lingga (2003: 436) Break Even Point adalah suatu titik atau suatu keadaan dimana perusahaan di dalam operasinya tidak

memperoleh keuntungan dan tidak menderita rugi.

Dengan kata lain pada keadaan itu keuntungan dan kerugian sama dengan nol, hal ini bisa terjadi apa bila perusahaan dalam operasinya menggunakan biaya tetap dan volume penjualan hanya cukup untuk menutup biaya tetap dan biaya variabel. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan dengan kata lain, pada keadaan break event point keuntungan atau kerugian sama dengan nol. Suatu kondisi dimana perusahaan tidak memperoleh laba dan tidak menderita kerugian atau TR (total revenue)= TC (total cost), dimana laba = 0.

Analisis BEP adalah suatu analisis yang bertujuan untuk menemukan satu titik, dalam satuan unit atau rupiah, yang menunjukkan biaya-biaya yang dikeluarkan pengusaha sama dengan pendapatan pengusaha . Titik itu disebut sebagai titik break even / BEP (break even point). Kegunaan analisis BEP adalah dapat diketahui pada volume penjualan berapa

perusahaan mencapai titik impasnya, tidak rugi tetapi juga tidak untung, sehingga apabila penjualan melebihi titik tersebut maka perusahaan mulai mendapatkan untung.

Estimasi biaya yang diperlukan dalam analisi BEP adalah Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan dengan besar yang tetap, tidak tergantung pada volume penjualan dan biaya variable (variable cost) yaitu biaya yang besarnya bervariasi sesuai dengan jumlah unit yang dijual. Beberapa pendekatan mengenai break even point diantaranya pendekatan break even dengan unit dan dengan rupiah.

Dalam perhitungan BEP dengan pendekatan matematik dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu atas dasar unit dan atas dasar rupiah. Seperti pada pengertian BEP bahwa:

1. Usahatani tidak memperoleh laba atau menderita rugi

(28)

2. Total penghasilan sama dengan total biaya 3. Laba sama dengan nol

persamaannya sebagai berikut :

Penghasilan = Biaya

Bila : P = Harga jual per unit (Rp) BV = Biaya variable (Rp)

BT = Biaya tetap total selama satahun dan (Rp) Q = Kuantitas penjualan (Kg)

Rumus :

BEP = Break even point.

T p-1 = Tahun sebelum terdapat BEP

TC1 = Jumlah total cost yang telah di–discount.

Bp-1 = Jumlah benefit yang telah di-discount sebelum break even point.

Bp = Jumlah benefit pada break even point berada.

Biaya–biaya yang digunakan dan keuntungan yang diperoleh dalam usahatani dapat dihitung melalui perhitungan NPV, Gross B/C, Net B/C dan IRR. Dari semua nilai perhitungan tersebut lebih dari 1 maka usahatani yang dijalankan layak untuk diusahakan. Usaha layak untuk dijalankan artinya setiap petani yang menjalankan usahataninya memperoleh keuntungan dari produksi pertanian yang dihasilkan.

Dengan kriteria bila nilai perhitungan kurang dari 1 maka usahatani yang dijalankan tidak layak atau petani rugi karena tidak memperoleh keuntungan dari produksi usahatani yang dijalankan. Kriteria selanjutnya bila nilai perhitungan dari hasil produksi usahatani sama

(29)

dengan nol maka nilai produksi usahatani berada dalam titik impas atau dalam kondisi BEP.

Usahatani pada saat kondisi BEP artinya usahatani yang dijalankan tidak mendapatkan keuntungan dan tidak juga mendapatkan kerugian.

(30)

BAB IV.

GAMBARAN UMUM WILAYAH

4.1 Gambaran Kabupaten Tanggamus

Kabupaten Tanggamus adalah salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang memiliki potensi cukup besar dilihat dari sektor ketersediaan sumber daya alamnya maupun luas wilayahnya yang mencakup sekitar 2721.88 Km2. Kabupaten Tanggamus terbentuk dan menjadi salah satu Kabupaten di Propinsi Lampung berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1997 yang diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 dan diresmikan menjadi Kabupaten pada tanggal 21 Maret 1997. Adapun jumlah penduduk Kabupaten Tanggamus adalah 542.439 jiwa.

Data mengenai keadaan geografis kabupaten Tanggamus dapat dilihat dari catatan BPS, yakni menurut data BPS (2011), Kabupaten Tanggamus berbatasan dengan 3 wilayah daratan dan juga berbatasan dengan laut. Ibu kota kabupaten Tanggamus adalah Kota Agung, berada di sepanjang pinggir laut. Dari segi geografis, posisi kabupaten Tanggamus sangatlah unik dan menarik, ada gunung Tanggamus dan juga memiliki laut. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tanggamus sangatlah kaya jika dilihat dari kekayaan sumber daya alam. Memiliki gunung, dan laut, serta banyak sungai serta hutan-hutan. Kota Agung memiliki udara yang terasa panas karena berada dipinggir pantai yang terik.

Dilihat dari aspek geografi Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104o 18’ - 105o 12’ Bujur Timur dan antara 5o 05’ – 5o 56’ Lintang Selatan. Koordinat ini membatasi wilayah seluas 21855,46 km2 untuk luas daratan ditambah dengan luas wilayah laut seluas 1.779,50 km2

(31)

dengan luas keseluruhan 4.634,96 Km 2. Luas wilayah kabupaten Tanggamus, dapat dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 2. Luas Kabupaten Tanggamus

No Kecamatan Luas

Km2 Persentase

1. Wonosobo 209,63 4,52

2. Semaka 170,90 3,69

3. Bandar Negeri Semuong 98,12 2,12

4. Kota Agung 76,93 1,66

5. Pematang Sawa 185,29 4,00

6. Kota Agung Barat 101,30 2,19

7. Kota Agung Timur 73,33 1,58

8. Pulau Panggung 437,21 9,43

9. Ulu Belu 323,08 6,97

10. Air Naningan 186,35 4,02

11. Talang Padang 45,13 0,97

12. Sumberejo 56,77 1,22

13. Gisting 32,53 0,70

14. Gunung Alip 25,68 0,55

15. Pugung 232,40 5,01

16. Bulok 51,68 1,12

17. Cukuh Balak 133,76 2,89

18. Kelumbayan 121,09 2,61

19. Limau 240,61 5,19

20. Kelumbayan Barat 53,67 1,16

Luas Darat 2.855,46 61,61

Luas laut 1.779,50 38,39

Jumlah Total 4.634,94 100,00

Sumber: BPS, 2013

Potensi sumber daya alam di Tanggamus tidak hanya penting untuk ekonomi, melainkan juga sebagai penyeimbang ekologi. Hutan dan sungai-sungai besar yang mengaliri wilayah Tanggamus merupakan penyangga bagi keseimbangan dan kelestarian alam di wilayah tersebut.

Di Tanggamus ini ada dua sungai besar yakni bernama Way Sekampung dan Way Semangka. Way berarti sungai. Kata Way akan sering kita temui di Lampung, karena etnik Lampung sangat erat kaitannya dengan way atau sungai. Sungai menjadi saksi bagi

(32)

perkembangan peradaban masyarakat Lampung pada umumnya. Sebagai transportasi utama pada masa dahulunya dan penghubung antara satu tempat dengan tempat lain dan menjadi media bagi terjadinya kontak kebudayaan.

Sungai juga memiliki fungsi penting selain sebagai sumber kehidupan yakni sebagai sarana penting dalam berdirinya suatu kampung, dan sungai menjadi penting dalam membangun rumah-rumah. Bahkan bagi para ketua adat atau disebut sebagai Penyimbang adat, sebagian besar memiliki tempat pemandian sendiri di sungai. Bahkan pada peristiwa adat tertentu, penyimbang atau raja wajib mandi di sungai, dan masyarakat umum tidak boleh mandi di sungai. Artinya sungai tidak hanya menjadi sumber kehidupan untuk kebutuhan dasar, melainkan juga sebagai symbol status dan kedudukan. Di kabupaten tanggamus. selain kedua sungai utama tadi, terdapat juga beberapa sungai yang mengairi wilayah kabupaten tanggamus antara lain: Way Pisang, Way Gatal, Way Semah, Way Sengharus, Way Bulog, dan Way Semong. Hal lain yang patut untuk diperhatikan berkaitan dengan keadaan wilayah kabupaten tanggamus adalah gunung yang berada di wilayah ini. tercatat lima gunung yang berada si wilayah Kabupaten Tanggamus, antara lain gunung Tanggamus (2.102m) di Kecamatan Kota Agung, Gunung Suak (414m) di kecamatan Cukuh Balak, Gunung Pematang Halupan (1.646 m) berada di Kecamatan Wonosobo, Gunung Rindingan (1.508m) di Kecamatan Pulau Panggung dan Gunung Gisting (786m) di Kecamatan Gisting. ( BPS, 2011) Dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 3. Nama dan Tinggi Gunung Di Kabupaten Tanggamus

No Nama Gunung Tinggi (m) Kecamatan

1 Gunung Tanggamus 2.102 Kota Agung

2 Gunung Suak 414 Cukuh Balak

(33)

3 Gunung Pematang Haluan

1.646 Wonosobo

4 Gunung Rindingan 1.508 Pulau Panggung

5 Gunung Gisting 786 Gisting

Sumber : Dinas Pekarjaan Umum

RPJP Kabupaten Tanggamus mencantumkan bahwa Visi Kabupaten Tanggamus untuk periode 2005-2025 adalah “Masyarakat yang Sejahtera dan Tanggamus Sai Tanggom”. Visi ini merupakan cita-cita sekaligus komitmen daerah, yang terdiri dari dua kata kunci, yaitu masyarakat yang sejahtera dan daerah sai tanggom. Masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang menjalankan agamanya secara taat dalam suasana budaya yang kreatif dan disukung manusia yang maju, indah dan berwibawa. Menurut data BPS tahun 2011 (Tanggamus dalam Angka), kabupaten Tanggamus sebagian Barat semakin ke Utara mengikuti lereng bukit barisan. Bagian Selatan meruncing dan mempunyai sebuah teluk yang besar yaitu Teluk Semaka. Di Teluk Semaka terdapat sebuah pelabuhan yang merupakan pelabuhan antar pulau dan terdapat tempat pendaratan ikan.

Sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Lampung selatan, Kabupaten Tanggamus memiliki batas -batas wilayah administratif dengan kabupaten lainnya, apalagi wilayah Pringsewu sudah menjadi kabupaten sendiri berpisah atau mekar dari Tanggamus, batas-batas administratifnya adalah sebagai berikut:

- sebelah Utara berbatsan dengan kabupaten Lampung Barat dan kabupaten Lampung Tengah.

- sebelah Selatan berbatasan dengan samudra Indonesia - sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Lampung Barat - sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Pringsewu

(34)

Luas wilayah daratan kabupaten Tanggamus adalah 2855,46 Km2 di tambah luas wilayah laut seluas 1799,50 Km2 di sekitar Teluk Semaka, dengan panjang pesisir 210 Km topografi wilayah daratan bervariasi antara daratan rendah dan daratan tinggi, yang sebagian merupakan daerah berbukit sampai bergunung, yakni sekitar 40% dari seluruh wilayah dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai dengan 2115 m. Potensi sumber daya alam yang dimiliki kabupaten tanggamus sebagian besar di manfaatkan untuk kegiatan pertanian. selain itu masih terdapat beberapa sumber daya alam lain yang potensial adalah pertambangan dan energi listrik (BPS, 2011).

Kabupaten Tanggamus memiliki kawasan hutan lindung dan hutan Negara (taman nasional). Beberapa hutan register di Tanggamus, telah mendapatkan izin pengelolaan HKm dari menteri kehutanan. Dari peta hutan sebelumnya dapat dilihat bahwa hutan terbanyak ada di kawasan Tanggamus. Beberapa register telah mendapatkan izin untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat tani. Masyarakat tani sangat antusias dalam memperoleh izin ini, meskipun mereka harus memenuhi syarat tertentu, yakni hutan harus tetap dipelihara kelangsungan hidupnya. Hal yang menarik adalah mereka sudah memiliki kearifan lokal dalam memelihara hutan, yakni dikenal dengan nama lokalnya reppong. Reppong adalah tanaman tajuk tinggi, yang wajib ditanam di hutan yang mereka jadikan kebun. Reppong itu bisa jadi tanamanya adalah durian, dan tanaman tinggi lainnya yang dapat membuat tanah tidak longsor dan selalu terjaga kelestariannya ( B. Vivit Nurdin, 2013).

HKm adalah kawasan hutan Negara yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekaligus masyarakat berkewajiban melestarikannya. Masyarakat yang sudah memperoleh izin HKm diperbolehkan memanfaatkan hutan, tetapi sekaligus diwajibkan untuk memelihara hutan agar tidak rusak. HKm juga berupaya untuk memberdayakan masyarakat di kawasan hutan. Sebagai

(35)

sebuah solusi dalam menyelesaikan masalah kerusakan hutan, HKm merupakan sebuah solusi yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah hutan ini. Namun HKm tidak akan berjalan kalau hanya ditumpukan kepada masyarakat pengguna hutan saja melainkan harus ada sinergi antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat dalam merehabilitasi hutan ( B.

Vivit Nurdin, 2013)

4.2 BATAS ADMINISTRATIF DAN BATAS CULTURE AREA

Secara administrative sudah dijelaskan di atas bahwa Kabupaten Tanggamus berbatasan dengan beberapa kabupaten, dan lautan. Batas administrative ini tidaklah mencerminkan batas- batas budaya. Demikian juga dengan masyarakat petani perambah, bagi petani batas-batas administrative bukanlah hal yang penting, yang paling utama adalah bagaimana bisa berkebun dengan mendapatkan lahan. Kawasan hutan yang mereka pergunakan terkadang sudah melewati batas-batas administarif Tanggamus. Bagi petani, tidak ada batas administrative yang ada hanyalah bahwa mereka terus mencari lahan atau tanah untuk bisa ditanami tanaman yang menguntungkan mereka.

Dari sisi administrative, pekon atau desa yang ada di kabupaten Tanggamus adalah 302 pekon / kelurahan dengan 20 kecamatan (BPS, 2011). Sesudah reformasi, satuan terkecil wilayah administrative adalah Pekon, yakni nama kampung bagi sebutan masyarakat adat Lampung di Tanggamus. System desa kemudian dihapuskan dibeberapa daerah di luar Jawa.

Batas administratif berbeda dengan batas culture area, dimana batas adinistratif merupakan batas kabupaten, kecamatan dan desa yang dibuat oleh negara. Batas culture area merupakan batas-batas budaya, dimana batas – batas terlihat dari kampung tua dan perbedaan etnik diantaranya (Nurdin, 2013) . Peta Tanggamus secara administrative dan culture area dapat dilihat dalam peta-peta berikut ini

(36)

Gambar 1. Administrative Kabupaten Tanggamus

(37)

Gambar 2. Culture Area di Kabupaten Tanggamus

(38)

Sumber : Peta diolah peneliti dari hasil survey, 2013.

4.3 Gambaran Umum Gabungan Kelompok Tani

Kabupaten Tanggamus mencadangkan areal kelola HKm seluas 50.000 hektar yang terbagi 3 (tiga) kesatuan wilayah kelola dibawah tanggung jawab dinas kehutanan dan perkebunan kabupaten Tanggamus, KPHL Kotaagung Utara dan KPHL Batu Tegi. (sumber dishutbun Kab. Tanggamus). Dari luasan cadangan areal kelola tersebut, ada 31 (tiga puluh satu) Gapoktan pengelola HKm, dengan rincian sbb ;

1. 5 (lima) gapoktan telah memiliki SK Menhut tentang Penetapan Areal Kerja (PAK) dan IUPHKm Pemda Tanggamus pada tahun 2008.

2. 8 (delapan) gapoktan telah memiliki SK Menhut tentang Penetapan Areal Kerja (PAK) dan IUPHKm Pemda Tanggamus pada tahun 2009.

3. 18 (delapan belas) gapoktan baru memiliki SK Menhut tentang Penetapan Areal Kerja (PAK) pada tahun 2013.

4.3.1 Letak Geografis

Secara umum letak geografis Gapoktan Wirakarya Sejahtera, Mahardika dan Beringin Jaya berada di ketinggian antara 500 dpl sampai dengan 1000 dpl, dengan topografi berbukit.

4.3.2 Administratif

(39)

Secara Administratif Gapoktan Wiarakarya Sejahtera, Mahardika dan Beringin Jaya terletak di Kawasan Hutan Lindung Register 39 Kotaagung Utara dan berada dalam Pengelolaan Dinas Kehutanan Tanggamus.

Berdasarkan Penetapan Areal Kerja (PAK) yang telah diserahkan oleh Menteri kehutanan Pada tahun 2013 bahwa Gapoktan Wirakarya Sejahtera memiliki luas 4.305 Ha, Gapoktan Mahardika memiliki luas 2.340 Dan Gapoktan Beringin memiliki luas Jaya 871 1.540 Ha.

4.4 Karakteristik Sosial responden 4.4.1 Umur

Bakir dan Manning (1984) mengemukakan bahwa umur produktif untuk bekerja di negara-negara berkembang umumnya adalah 15-55 tahun. Kemampuan kerja seseorang petani juga sangat dipengaruhi oleh tingkat umur petani tersebut, karena kemampuan kerja produktif akan terus menurun dengan semakin lanjutnya usia petani. Susantyo (2001) menyatakan bahwa petani-petani yang lebih tua tampaknya cenderung kurang aktif melakukan difusi inovasi berusahatani daripada mereka yang relatif umur muda. Petani yang berumur lebih muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa umur petani akan mempengaruhi motivasi dalam mengikuti kegiatan hutan kemasyarakatan. Berdasarkan survey yang telah dilakukan, umur petani responden dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi umur petani anggota gapoktan Beringin jaya, Mahardika dan Wira Karya Sejahtera

No Umur

(Tahun)

Jumlah responden (orang)

Total %

Beringin jaya Mahardika Wira karya sejahtera

1 <17 0 0 0 0,00 0,00

2 17-55 54 109 87 250,00 92,25

(40)

3 >55 1 9 11 21,00 7,75

Jumlah 55 118 98 271,00 100

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui petani responden berkisar pada usia antara 17 sampai lebih dari 55 tahun. Tabel 5 tersebut juga menunjukkan bahwa petani responden lebih banyak didominasi oleh petani yang berusia 17-55 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas petani berada dalam usia yang masih produktif untuk bekerja, sehingga akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam berusahatani dan kemampuan bekerja masih baik.

4.4.2 Tingkat Pendidikan

Pendidikan yang ditempuh seseorang baik secara formal dan non formal akan sangat mempengaruhi perilakunya baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Rukka (2003) menyatakan bahwa pendidikan umumnya akan mempengaruhi cara dan pola pikir petani.

Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin efisien dia bekerja dan semakin banyak juga dia mengikuti serta mengetahui cara-cara berusahatani yang lebih produktif dan lebih menguntungkan.

Selanjutnya dikemukakan, bahwa tingkat pendidikan yang dipunyai seseorang tenaga kerja bukan saja dapat meningkatkan produktivitas dan mutu kerja yang dilakukan, tetapi sekaligus mempercepat proses penyelesaian kerja yang diusahakan. Berdasarkan pendapat di atas maka terdapat kecenderungan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani dengan motivasi mereka dalam menerapkan hutan kemasyarakatan. Sebaran tingkat pendidikan petani responden dapat dilihat pada Tabel 6.

(41)

Tabel 6. Distribusi tingkat pendidikan petani anggota gapoktan Beringin jaya, Mahardika dan Wira Karya Sejahtera

No Tingkat

Pendidikan

Jumlah responden (orang)

Total % Beringin

jaya

Mahardik a

Wira karya sejahtera

1 SD 25 56 46

127,0

0 46,86

2 SMP 13 37 28 78,00 28,78

3 SMA 15 22 23 60,00 22,14

4 Perguruan Tinggi 2 3 1 6,00 2,21

Jumla

h 55 118 98

271,0

0 100

Tingkat pendidikan formal petani responden masih rendah, sebagian besar dari petani responden bersekolah sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu sekitar 46,86 persen, seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tingkat Pendidikan formal akan berpengaruh dalam pengambilan keputusan usahatani, terutama yang terkait dengan adopsi teknologi yang baik bagi peningkatan produksi usahataninya. Proses penyerapan teknologi akan berjalan dengan mudah jika tingkat pendidikan petani responden semakin tinggi. dimana teknologi tersebut dapat membuat petani lebih efisien dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan.

4.4.3 Pengalaman Usahatani

Padmowihardjo (1994) mengemukakan bahwa pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan berpengaruh terhadap proses belajar. Orang yang telah berpengalaman terhadap sesuatu yang menyenangkan, apabila pada suatu saat diberi kesempatan untuk mempelajari hal yang sama, maka ia telah memiliki perasaan optimis untuk berhasil. Sebaliknya jika orang yang mempunyai pengalaman mengecewakan suatu saat diberi

(42)

kesempatan untuk mempelajari hal tersebut lagi, maka ia sudah memiliki perasaan pesimis untuk

berhasil, disamping itu petani yang lebih lama pengalaman dalam berusahatani hutan kemasyarakatan akan lebih selektif dan tepat dalam memilih jenis inovasi yang akan diterapkan dibandingkan dengan petani yang pengalaman usahataninya relatif masih muda.

Oleh karena itu, besar kemungkinan bahwa pengalaman dalam berusahatani di hutan kemasyarakatan dapat mempengaruhi motivasi petani dalam mengelola hutan kemasyarakatan dengan baik.

Tabel 7. Distribusi pengalaman usahatani petani anggota gapoktan Beringin jaya, Mahardika dan Wira Karya Sejahtera

No

Pengalaman usahatani

(Tahun)

Jumlah responden (orang)

Total % Beringin

jaya Mahardika

Wira karya sejahtera

1 1_8 14 49 30 93,00 34,32

2 9_16 24 44 39 107,00 39,48

3 17_24 10 14 19 43,00 15,87

4 25_32 6 7 5 18,00 6,64

5 33_40 1 4 5 10,00 3,69

Jumlah 55 118 98 271,00 100,00

Pengelolaan hutan kemasyarakatan di daerah kajian telah mulai dikembangkan oleh para petani sebelum dikeluarkannya izin pengelolaan hutan kemasyarakatan, usahatani di HKm diusahakan secara turun temurun dan telah menjadi cara hidup mereka. Sehingga jika dilihat dari pengalaman usahatani di HKm sebanyak 39,48 persen petani responden telah mengusahakan usahatani di hutan kemasyarakatan.

(43)

Pengalaman berusahatani akan berpengaruh pada tingkat efisiensi teknis, karena petani akan cenderung menggunakan teknologi berdasarkan pengalaman yang telah sesuai dengan kondisi alam di lokasi penelitian. Sementara teknologi yang diberikan lewat penyuluhan seringkali sulit diterima oleh petani. Pengalaman berusahatani yang masih kurang akan menyebabkan tingkat efisiensi teknis tersebut belum efisien karena belum menemukan teknologi yang tepat.

1.4.4. Luas Lahan Usahatani

Lahan yang diusahakan oleh petani responden terdiri dari lahan hutan kemasyarakatan dan non HKm, akan tetapi tidak semua petani memiliki lahan non HKm. Distribusi sebaran luas lahan HKm yang dimiliki petani dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Distribusi luas lahan HKm petani anggota gapoktan Beringin jaya, Mahardika dan Wira Karya Sejahtera

No Luas (Ha)

Jumlah responden (orang)

Total % Keterangan Beringin

jaya Mahardika

Wira karya sejahtera

1 <1 21 0 9 30,00 11,07 Rendah

2 1_3 32 112 86 230,00 84,87 Sedang

3 >3,01 2 6 3 11,00 4,06 Tinggi

Jumlah 55 118 98 271,00 100

Berdasarkan Tabel dapat diketahui bahwa sebanyak 84,87 persen responden merupakan petani dengan lahan kurang dari 1-3 ha. Sementara petani lain tersebar dengan luas lahan yang berbeda-beda, sebanyak 11,07 persen petani menggarap lahan seluas kurang dari 1 hektar.

Sebanyak 4,06 persen memiliki lahan garapan seluas lebih dari 3,01 hektar. Luas lahan ini akan berpengaruh pada tingkat pendapatan usahatani dan efisiensi teknis, karena petani seringkali sulit memperhitungkan penggunaan faktor produksi yang efisien untuk lahan yang dimilikinya terutama untuk luas lahan yang kecil.

(44)

BAB V.

ANALISIS FINANSIAL DAN KELAYAKAN KOMODITI PERKEBUNAN PADA AREAL HUTAN KEMASYARAKATAN

5.1. Penerimaan Usahatani

Penerimaan usahatani responden terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan yang langsung diterima, yang berasal dari penjualan hasil produksi. Penerimaan usahatani anggota kelompok tani Beringin jaya, mahardika dan wirakarya sejahtera berasal dari tanaman kakao, kopi, cengkeh, jengkol, kelapa, lada, padi, pala, petai, pisang dan cabai.

Di hutan kawasan petani responden diperkenankan untuk memetik hasil tanaman MPTS. Produksi kopi di Kabupaten Tanggamus masih rendah yakni sekitar 1150,8867925 kg/ha/th, bila ditinjau dari nilai ekonomi belum menghasilkan produksi yang maksimal yaitu 1200-1500 kg/ha/th. Rendahnya produksi kopi selain di sebabkan oleh faktor kesesuaian juga disebabkan antara lain oleh sistem pengelolaan yang masih sangat konvensional. Perkebunan kopi di daerah survei pada umumnya merupakan perkebunan rakyat skala kecil dan diusahakan dengan teknik budidaya secara tradisional.

Rendahnya skala pengusahaan dan cara budidaya yang masih sangat tradisional menyebabkan produktivitas dan mutu kopi yang dihasilkan masih sangat rendah. Selain itu faktor cuaca juga sangat mempengaruhi. Sebagaimana diketahui, areal perkebunan kopi di register sebagian besar terletak di dataran tinggi dan sisanya di dataran rendah. Untuk daerah dataran tinggi kemarau panjang akan menyebabkan petani kopi di daerah ini mengalami panen

Gambar

Gambar 1. Administrative Kabupaten Tanggamus
Gambar 2.  Culture Area di Kabupaten Tanggamus
Tabel 9. Nilai NPV,B/C Rasio dan IRR masing-masing komoditi
Gambar 3. Mekanisme Pemasaran Komoditas Perkebunan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan keterangan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam hal pelaksanaan jual beli tersebut, sehubungan dengan sistem yang makan dulu baru bayar, tetapi dalam

Pertumbuhan populasi jamur pada perlakuan oleh konsentrasi ekstrak daun cempaka yang semakin meningkat juga menunjukkan penekanan pertumbuhan yang ditandai dengan makin renggangnya

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan intrakurikuler yang wajib diikuti oleh mahasiswa Program Kependidikan Universitas Negeri Semarang sebagai pelatihan

Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Bea Meterai Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi di Indonesia di

Pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan pelayanan kesehatan Pemerintah dan swasta dibidang medis yang meliputi pelayanan medis dasar, pelayanan

Pemberian dukungan instrumental kepada informan “PT” di berikan dalam bentuk uang dan bukan pekerjaan dari Keluarga, tetapi di luar keluarga adapun yang sering membantu

Berdasarkan Hasil Penetapan Pemenang Nomor : 469 /Pokja ULP/APBK/BMCK/AGR/2016 tanggal 21 Mei 2016, Pokja ULP Kabupaten Aceh Tenggara Dinas Bina Marga dan Cipta Karya berdasarkan

Berdasarkan hasil analisis data dan simulasi kerja koordinasi proteksi dengan menggunakan software ETAP pada jaringan distribusi di Gardu Induk Majenang 150 kV yang