A. Latar Belakang
Pengukuran kinerja organisasi sektor publik merupakan isu yang relatif baru.
Kebaruan isu pengukuran kinerja lebih terletak pada pendekatan dan komprehensifitas indikator pengukur kinerja. Sebelum era reformasi, indikator pengukuran kinerja lebih bertumpu pada faktor input dan output, sehingga pelaporan yang dilakukan pun hanya memberikan informasi dari mana input diperoleh dan digunakan untuk apa. Anggaran berbasis line item di era orde baru menjadi contoh riil bagaimana sistem pengukuran kinerja dilakukan. Hanya saja seiring perkembangan tuntutan publik terhadap akuntabilitas kinerja berbagai organisasi sektor publik, maka indikator kinerja tersebut belum cukup.
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada awal 1997 membuat perekonomian menjadi porak poranda. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pentingnya tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Akibatnya banyak muncul kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kualitas
pelayanan publik yang semakin memburuk.
Keadaan tersebut mendorong munculnya era reformasi di Indonesia pada tahun 1998 sebagai wujud kesadaran masyarakat akan pentingnya perubahan untuk memulihkan perekonomian. Masyarakat menuntut agar pengelolaan negara dilaksanakan secara amanah dan bertanggung jawab guna terwujudnya good governance. Ulum (2004:27) mengemukakan bahwa semangat good governance akhir – akhir ini meningkat seiring dengan meningkatnya semangat reformasi di Indonesia.
Pada tahap berikutnya, mulainya dirancang berbagai regulasi dan mekanisme pertanggungjawaban yang berbasis pada kinerja yang lebih komprehensif dan integratif dengan indikator kinerja berbasis input, output, outcome, benefit, dan impact. Sehingga analisis yang dilakukanpun juga berkembang, tidak hanya ekonomis, tetapi juga efektif dan efisien. Realitas tuntutan publik tersebut berdampak signifikan pada strategi dan sistem pengukuran dan pelaporan kinerja untuk organisasi sektor publik.
Menurut Ulum (2004:31) terdapat tiga prinsip dasar dalam setiap penyelenggaraan good governance. Ketiga prinsip tersebut adalah transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Dalam pelaksanaan good governance, akuntabilitas publik merupakan elemen terpenting dan merupakan tantangan utama yang dihadapi pemeritah. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan masyarakat kepada pemeritah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan maupun kegagalan pelaksanaan program dan kebijakan yang telah ditetapkan.
Menanggapi tuntutan tersebut, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan peraturan baru tentang akuntabilitas lembaga publik tertuang pada UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara pasal 55 yang menyebutkan bahwa lembaga pemerintah wajib menyusun laporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah. Undang-undang tersebut kemudian diperkuat dengan UU No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksanaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara pasal 4 yang menyatakan bahwa pemeriksaan pengelolaan keuangan negara terdiri dari pemeriksaan laporan keuangan, kinerja, dan tujuan khusus. Aturan pelaksanaan terhadap bentuk laporan keuangan yang dimaksud tertuang dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Sedangkan untuk laporan kinerja baru diundangkan berikutnya melalui PP No. 8 Tahun 2006 tentang pelaporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah.
Lembaga publik adalah lembaga yang memiliki tujuan utama untuk memberikan pelayanan kepada publik, bukan untuk memaksimumkan laba. Oleh karena itu, lembaga publik harus mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Salah satu lembaga publik yang ada di Indonesia adalah Badan Keswasdayaan Masyarakat (BKM) yang terdapat di setiap kelurahan. Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) adalah lembaga otonom dan independen yang dibentuk oleh utusan masyarakat dengan tujuan utama untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat khususnya masalah kemiskinan, serta menumbuhkan kembali ikatan dan solidaritas sosial antar warga agar saling bekerjasama demi kebaikan bersama.
BKM bertugas sebagai pengawas proses pemanfaatan BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang dikelola oleh Unit Pengelola Keuangan (UPK), serta merumuskan, menyusun, dan menetapkan aturan main dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya masyarakat yang yang berasal dari dana PNPM. Sumber modal BKM berasal dari BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) ya ng diberikan oleh PNPM. Dana ini kemudian disalurkan kepada masyarakat miskin melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) untuk usaha ekonomi produktif (dana bergulir), pembangunan sarana prasarana dasar dan pengembangan sosial. (AD BKM Bina Sejahtera pasal 10). Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) adalah suatu kelompok masyarakat yang beranggotakan sekurang- kurangnya tiga orang yang dibentuk berdasarkan tujuan sosial, tujuan pembelajaran dan domisili yang sama. Anggota KSM minimal 3 orang dan 2/3 dari anggotanya berasal dari keluarga miskin.
Hal di atas membuat akuntabilitas menjadi sangat penting untuk dilaksanakan oleh semua lembaga publik, terutama BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang notabene institusi lokal yang bertujuan memberdayakan masyarakat miskin perkotaan.
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) juga harus melaksanakan akuntabilitas guna mewujudkan good governance serta untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Di
samping itu, pelaksanaan akuntabilitas juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja lembaga tersebut. Garnita (2008) dalam penelitiannya tentang pengaruh akuntabilitas terhadap kinerja instansi pemerintah menyatakan bahwa akuntabilitas terbuki berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja instansi pemerintah.
Landasan program yaitu adanya suatu kepercayaan bahwa kemiskinan adalah fenomena multidimensional yang harus dicarikan solusinya melalui kemandirian ekonomi dan sosial. Atas dasar pemikiran inilah, maka konsep dasar pelaksanaan kerja BKM adalah tridaya, yaitu sebagai organisasi lokal dalam 1) pengembangan ekonomi, 2) perlindungan sosial, dan 3) pelestarian lingkungan. Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan pentingnya akuntabilitas pun mulai meningkat.
Akuntabilitas keuangan dan program dapat dibangun jika suatu instansi memiliki sistem akuntansi, keuangan, dan pengendalian internal yang andal, relevan, serta mampu memenuhi kebutuhan seluruh pemangku kepentingan dalam perencanaa, pelaksanaan, dan pengawasan operasional instansi tersebut. Baridwan (2000) dan Widjajanto (2001) menyatakan bahwa sistem akuntansi dan keuangan mampu mengkoordinasi dan mentransformasi data secara akurat dan cepat menjadi informasi yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan. Informasi yang dihasilkan dari suatu sistem akan berguna untuk perancanaan sampai dengan pengawasan kinerja organisasi.
Dari hasil penelitian Rahmadewi (2009) ditemukan bahwa penyelanggaraan pengelolaan keuangan sekolah di SMAN 3 Malang dilakukan dengan menerbitkan RKAS RSBI SMAN 3 Malang tahun pelajaran 2008/2009 beserta laporan realisasi kegiatan dan anggaran sekolah RSBI SMAN 3 Malang tahun 2008/2009 kepada publik (wali murid) dan hasil dari analisis tersebut ditemukan bahwa penyelanggaraan pengelolaan keuangan sekolah memenuhi 98,8% tingkatan kategori implementasi akuntabilitas yang dipakai oleh Bappena yang dapat dikatakan akuntabel.
Penelitian lain dilakukan oleh Sa’ban (2009) tentang akuntabilitas laporan keuangan Madrasah Aliyah Muhammadiyah Malang. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa laporan keuangan Madrasah Aliyah Muhammadiyah Malang dapat dikatakan akuntabel karena delapan dari sembilan indikator akuntabilitas sudah terpenuhi.
Wulaningtyas (2008) meneliti tentang Analisis Efektifitas dan Akuntabilitas Kinerja Keuangan Badan Keswadayaan Masyarakat Kota Malang Berdasarkan Persperktif Stakeholder. Hasil kesimpulan penelitian tersebut adalah BKM kurang efektif dalam
menjalankan program dan kurang memiliki rasa tanggung jawab untuk menyukseskan program, karena BKM hanya menyalurkan dana tanpa memotivasi KSM untuk menyukseskan usahanya serta terdapat perbedaan perspektif antara stakeholder internal dan stakeholder eksternal dalam menilai efektifitas dan akuntabilitas kinerja keuangan BKM.
Adanya beberapa penelitian di atas menunjukan bahwa akuntabilitas lembaga publik sangat penting untuk diteliti. Namun, penelitian – penelitian tersebut belum menunjukan adanya penelitian tentang akuntabilitas keuangan dan non keuangan di Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pelaksanaan akuntabilitas pada Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM). Objek yang dipilih oleh peneliti adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di Kota Malang. Hal ini dikarenakan Kota Malang merupakan kota terbesar nomor dua di Jawa Timur. Kota Malang merupakan daerah otonom. Dengan demikian, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Akuntabilitas Keuangan dan Nonkeuangan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Berdasarkan Perspektif Stakeholders (Studi Pada BKM di Kota Malang)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana akuntabilitas keuangan dan non keuangan pada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di Kota Malang berdasarkan perspektif stakeholder internal?
2. Bagaimana akuntabilitas keuangan dan non keuangan pada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di Kota Malang berdasarkan perspektif stakeholder eksternal?
3. Apakah terdapat perbedaan perspektif dalam menilai akuntabilitas keuangan dan non keuangan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) antara stakeholder internal dan stakeholder eksternal ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis akuntabilitas keuangan dan non keuangan BKM berdasarkan perspektif stakeholder internal .
2. Untuk menganalisis akuntabilitas keuangan dan non keuangan BKM berdasarkan perspektif stakeholder eksternal.
3. Untuk menganalisis apakah terdapat perbedaan perspektif dalam menilai akuntabilitas keuangan dan non keuangan BKM antara stakeholder internal dan stakeholder eksternal
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Bagi Para Stakeholder Eksternal
Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan akuntabilitas keuangan dan nonkeuangan.
b. Bagi para stakeholder internal (Pengurus Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan UPK)
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam menerapkan dan meningkatkan akuntabilitas keuangan dan non-keuangan.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi ilmiah bagi penelitian selanjutnya atau sebagai informasi data bagi peneliti lain yang mengambil topik yang sama dengan obyek yang berbeda.