• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMITRAAN LAHIRKAN REVOLUSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMITRAAN LAHIRKAN REVOLUSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KEMITRAAN LAHIRKAN REVOLUSI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Oleh PASPI-Monitor

RESUME

Kebijakan pengembangan pola kemitraan pada perkebunan kelapa sawit telah berhasil membuka akses petani untuk memasuki bisnis perkebunan sawit. Bahkan juga mampu menciptakan revolusi perkebunan sawit rakyat, dimana pangsa sawit rakyat mencapai 41 persen dari total luas perkebunan sawit nasional. Tidak hanya itu, perkembangan perkebunan sawit rakyat yang sangat revolusioner juga dapat dilihat dari laju peningkatan produksi minyak sawit dari perkebunan sawit rakyat dalam periode tahun 1980-2000 maupun periode tahun 2000-2020 yang mampu melampaui laju peningkatan produksi gandum atau padi pada masa green revolution dunia tahun 1965-1985.

Aktor utama yang membawa perubahan revolusioner dari perkebunan sawit rakyat Indonesia adalah petani sawit swadaya dengan sistem self-financing yang tidak membebani anggaran pemerintah. Revolusi sawit rakyat tersebut juga telah mengangkat kehidupan 2.5 juta keluarga petani atau mengeluarkan sekitar 10 juta orang dari kemiskinan sehingga kesejahterannya juga mengalami peningkatan.

Namun, dibalik keberhasilan perkembangan perkebunan sawit rakyat yang revolusioner tersebut, petani sawit masih menghadapi berbagai masalah seperti produktivitas dibawah potensi, masalah legalitas dan tata kelola berkelanjutan. Penyelesaian permasalahan tersebut maupun kebijakan pengembangan sawit rakyat melalui pengelolaan kebun sawit rakyat sehamparan dan pengembangan kemitraan baru menjadi agenda penting para stakeholder seperti petani, asosiasinya maupun pemerintah untuk segera dilaksanakan. Sehingga diharapkan kebijakan tersebut akan membawa perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai revolusi baru yakni produktivitas tinggi dan tata kelola yang lebih berkelanjutan

Palm ’ Journal

Analisis Isu Strategis Sawit

Vol. I I, No.21/06/2021

(2)

PENDAHULUAN

Sejak tahun 2006, Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit (CPO) terbesar di dunia. Pangsa produksi CPO Indonesia dalam total produksi minyak sawit dunia tahun 2020 mencapai 58 persen.

Dibalik keberhasilan peningkatan produksi minyak sawit Indonesia tersebut terdapat kontribusi petani melalui perkebunan sawit rakyat yang mengalami peningkatan yang relatif pesat dan semakin besar sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu revolusi yang setara dengan green revolution. Pangsa luas areal kebun sawit rakyat meningkat dari hanya sekitar 2 persen (1980) menjadi 41 persen (2020).

Dengan luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia yang mencapai 16.3 juta hektar dan sekitar 6.8 juta hektar diantaranya merupakan kebun sawit rakyat.

Sebelum tahun 1980, pelaku usaha perkebunan sawit di Indonesia hanya terbatas pada BUMN PTPN dan perusahaan swasta, petani tidak dianggap mampu menjadi salah satu aktor perkebunan sawit nasional. Hal tersebut didukung oleh pandangan para ahli terkait petani dinilai tidak memiliki kemampuan (secara finansial, skill, teknologi) untuk mengusahakan dan mengembangkan perkebunan kelapa sawit.

Namun pandangan para ahli tersebut keliru, mengingat saat ini petani sawit rakyat menjadi aktor yang memiliki luas kebun sawit terbesar kedua di Indonesia. Bahkan luas perkebunan sawit rakyat di Indonesia lebih luas dibandingkan dengan luas kebun sawit Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kebun sawit rakyat Indonesia merupakan kebun petani terbesar di dunia.

Perkembangan luas perkebunan sawit rakyat yang cukup revolusioner tersebut sangat menarik untuk didiskusikan. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendiskusikan isu-isu perkembangan revolusioner kebun sawit rakyat terkait bagaimana dan faktor apa saya yang mendorong (drive) investasi petani pada perkebunan sawit. Selain itu juga akan dibahas perkembangan apa yang terjadi sehingga perkebunan sawit rakyat mengalami pertumbuhan yang revolusioner

dan langkah pengembangan kebun sawit rakyat Indonesia ke depan.

FAKTOR YANG MENDORONG KEMITRAAN PERKEBUNAN SAWIT

Perkebunan kelapa sawit secara komersial di Indonesia sudah mulai dikembangkan sejak tahun 1911 dan mengalami masa pasang surut selama masa kolonial, masa kemerdekaan dan Pemerintahan Orde Lama. Sebelum tahun 1980, pelaku perkebunan sawit hanya dilakukan oleh korporasi swasta dan BUMN PTPN. Hal ini dikarenakan akses serta penguasaan modal, teknologi, manajemen dan pasar yang diperlukan bagi bisnis perkebunan sawit umumnya jauh dari jangkauan para petani pada waktu itu.

Adanya keterbatasan tersebut meyulitkan petani secara individu untuk memasuki bisnis perkebunan kelapa sawit.

Untuk mengatasi keterbatasan dan sekaligus memfasilitasi petani masuk ke bisnis sawit, Pemerintah Indonesia mengembangkan inovasi ekosistem berupa kebijakan dan kelembagaan kerjasama antara petani dengan korporasi yang disebut sebagai kelembagaan kemitraan. Salah satu bentuk kemitraan tersebut adalah model Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Konsep dasar PIR tersebut diilhami dari model sel biologis yakni inti sel dan plasma sel. Didalam sistem sel biologis, inti sel secara alamiah memperbesar plasmanya sehingga pada waktunya inti sel akan membelah membentuk sel biologis (inti-plasma sel) baru.

Dalam pola PIR, perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta bertindak sebagai inti, sedangkan petani sekitarnya adalah plasma. Tugas dan tanggung jawab inti antara lain membangun kebun-kebun calon plasma, mempersiapkan, dan membina kemampuan calon plasma, membimbing plasma dalam memelihara dan mengelola kebun serta menampung hasil kebun plasma. Lima rangkaian kebijakan yang konsisten dilaksanakan dan menjadi pintu masuk petani menjadi salah satu aktor perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Pamin, 1998; Badrun, 2010; Sipayung, 2012),

(3)

Pertama, Kebijakan kemudahan/fasilitas kredit untuk Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) yakni PBSN I (1977-1978), PBSN II (1981- 1986) dan PBSN III (1986-1990) dengan dukungan sistem perkreditan murah sehingga perkebunan besar swasta dan BUMN berhasil bukan hanya merehabilitasi kebun yang sudah ada, tetapi juga membuka perkebunan baru.

Kedua, Kebijakan PIR baik PIR Khusus dan PIR Lokal yang dimulai tahun 1980, dimana program tersebut merupakan kelanjutan dari proyek NES (Nucleus Estate and Smallholders) mulai dari NES I sampai NES VII. Pada kebijakan PIR tersebut, perusahaan perkebunan negara bertindak sebagai inti, sedangkan plasma adalah para petani.

Ketiga, Kebijakan PIR Transmigrasi (PIR-Trans) tahun 1986. Kebijakan PIR- Trans ini merupakan penyempurnaan dari PIR sebelumnya dan dikaitkan dengan program transmigrasi.

Keempat, Kebijakan pola PIR dengan skim Kredit Koperasi Primer Anggota (PIR- KKPA) tahun 1996 yang dilaksanakan bagi masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit yang telah ada. Kebijakan pola PIR- KKPA ini dilaksanakan dan dikaitkan dengan pengembangan Koperasi Plasma, dimana perusahaan perkebunan bertindak sebagai inti dan petani sawit yang tergabung dalam koperasi sebagai plasma.

Kelima, Kebijakan Kemitraan Revitalisasi Perkebunan (Revit-Bun) tahun 2006, dimana Pemerintah menyediakan fasilitas kredit yang dikaitkan dengan pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan.

Rangkaian lima fase kebijakan dan implementasi kemitraan tersebut mewarnai perkembangan perkebunan sawit nasional.

Kebijakan kemitraan tersebut pada kenyataannya diterima pelaku investasi sebagai ekosistem yang memberi kepastian pada investasi perkebunan sawit, sehingga investasi pada perkebunan kelapa sawit meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 1).

Gambar 1. Lima Fase Kebijakan Kemitraan dan Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.

Dalam kemitraan inti-plasma pada lima model tersebut, jumlah petani plasma sebetulnya tidak terlalu besar yakni hanya sekitar 20 persen dari luas areal sawit rakyat. Namun keberhasilan perkebunan kelapa sawit Inti-Plasma tersebut terbukti memiliki triggering effect yang tinggi, mendiseminasikan pengetahuan kultur teknis kelapa sawit ke masyarakat sekitar

serta membangun kepastian pasar TBS petani dengan adanya PKS.

Faktanya, pola kemitraan Inti-Plasma tersebut juga mampu menarik jutaan petani di setiap daerah untuk masuk memasuki bisnis sawit meskipun tidak sebagai plasma.

Para petani sawit yang non-plasma inilah kemudian disebut sebagai petani sawit swadaya atau mandiri (independent smallholder). Penyebutan swadaya atau -

2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 14.0 16.0

Juta Hektar

Rakyat Negara Swasta PIR

Lokal PIR Transmigrasi

PIR-

KKPA PIR Revit-bun

(4)

mandiri disebabkan karena petani tersebut mampu mengembangkan kebun sawitnya dengan inisiatif sendiri, pembiayaan sendiri (self-financing) dan belajar sendiri dari petani plasma yang ada disekitarnya atau dari petani yang telah berhasil lebih dahulu.

Berbeda dengan petani plasma yang luas kebun sawitnya ditetapkan pemerintah sama untuk setiap peserta plasma yakni 2 hektar per keluarga, namun petani sawit swadaya memiliki luas kebun sawit yang diusahakan bervariasi tergantung kemampuan sendiri dari luas kurang dari 2 hektar hingga lebih dari 25 hektar.

Petani sawit swadaya tersebut bertumbuh lebih cepat dan lebih meluas.

Sekitar 80 persen dari luas areal perkebunan sawit rakyat adalah luas kebun sawit yang dimiliki oleh petani sawit swadaya tersebut.

Petani sawit swadaya inilah yang memotori revolusi perkebunan sawit rakyat di Indonesia.

REVOLUSI PERKEBUNAN SAWIT RAKYAT

Pola PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya mampu menarik masuknya jutaan petani untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawitnya secara mandiri telah membawa perubahan yang cukup revolusioner dalam industri sawit di Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit rakyat (Saragih, 2015, 2016, 2017;

Sipayung, 2017). Bahkan perubahan tersebut dapat dikatakan menyamai revolusi hijau yang pernah terjadi pada padi dan gandum dunia.

Berdasarkan data Statistik Kelapa Sawit (Kementerian Pertanian, 2021), luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat dari hanya sekitar 294 ribu hektar tahun 1980 menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 dan terus meningkat menjadi 16.3 juta hektar pada tahun 2020.

Pada periode yang sama produksi minyak sawit juga megalami peningkatan dari 721 ribu ton (1980) menjadi 7 juta ton (2000) dan 49 juta ton tahun 2020. Artinya periode 20 tahun pertama (1980-2000), produksi minyak sawit meningkat seribu persen dan kemudian meningkat 700 persen pada periode 20 tahun berikutnya (2000-2020).

Perkembangan yang lebih revolusioner terjadi pada perkebunan kelapa sawit rakyat yang meningkat dari hanya 6 ribu hektar (1980) menjadi 1.2 juta hektar (2000) dan menjadi 6.8 juta hektar (2020). Hal ini berarti dalam 40 tahun luas kebun sawit rakyat meningkat hampir 6.8 juta hektar atau sekitar 170 ribu hektar setiap tahun.

Tidak hanya luas areal, produksi sawit rakyat juga mengalami peningkatan yang revolusioner yaitu dari hanya sekitar 770 ton (1980) menjadi 1.9 juta ton (2000) atau meningkat 2400 persen selama 20 tahun pertama. Produksi minyak sawit dari perkebunan sawit rakyat tersebut kembali mengalami peningkatan menjadi 17.3 juta tahun 2020, atau meningkat sekitar 900 persen dalam 20 tahun kedua.

Peningkatan luas areal perkebunan sawit rakyat tersebut telah merubah peta pelaku sawit nasional. Jika tahun 1980, pangsa sawit rakyat hanya 2 persen kemudian meningkat menjadi 28 persen tahun 2000 dan menjadi 41 persen pada tahun 2020 (Gambar 2).

Gambar 2. Perubahan Pangsa Perkebunan Sawit Rakyat dalam Perkebunan Kelapa Sawit Nasional (Sumber; Kementerian Pertanian RI, 2021)

2%

68%

30%

1980

28%

58% 14%

2000

Rakyat Negara Swasta

41%

4%

55%

2020

(5)

Peningkatan produksi minyak sawit baik secara total nasional khususnya pada level perkebunan sawit rakyat bukan hanya dikategorikan sebagai perubahan revolusioner yang biasa, karena pencapaiannya melebihi pencapaian green revolution dunia. Selama 20 tahun green revolution dunia berlangsung (1965-1980), peningkatan produksi padi yang dicapai hanya 84 persen dan gandum 162 persen (Byerlee et al., 2017). Sedangkan peningkatan produksi minyak sawit dari perkebunan sawit rakyat tersebut mencapai 2400 persen selama periode tahun 1979- 2000 dan 900 persen selama periode tahun 2000-2020. Bukankah perkebunan sawit rakyat di Indonesia lebih revolusioner dari green revolution?

Aktor utama yang membawa perubahan revolusioner dari perkebunan sawit rakyat Indonesia adalah petani sawit swadaya.

Petani tersebut secara mandiri membangun kebun sawitnya dengan self-financing atau memanfaatkan investasi pribadi masyarakat atau investasi non fasilitas. Dengan demikian, revolusi perkebunan sawit rakyat yang dibiayai secara mandiri (self-financing) tidak membebani anggaran pemerintah.

Revolusi sawit rakyat tersebut juga telah mengangkat setidaknya 2.5 juta keluarga petani atau 10 juta rakyat pedesaan dari kemiskinan. Para petani sawit dan keluarganya telah menjadi masyarakat berpendapatan menengah-atas di kawasan pedesaan (PASPI, 2014). Dengan ekonomi berbasis kebun sawit, banyak generasi muda atau anak petani sawit rakyat yang mampu menikmati pendidikan tinggi.

Dengan demikian, kebijakan kemitraan PIR dan variasinya yang dikeluarkan pemerintah Indonesia khususnya sejak tahun 1980-1996 dapat dikategorikan sebagai kebijakan sukses dan memiliki triggering effect yang besar yang menciptakan revolusi perkebunan sawit rakyat dan hingga mampu mengantarkan Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia sejak tahun 2006.

Setelah berhasil mencapai level revolusioner, sudah saatnya bagi petani dengan perkebunan sawitnya untuk membuat pencapaian revolusioner lainnya yang lebih berkualitas. Berbagai masalah yang dihadapi petani sawit seperti

produktivitas rendah yang masih jauh dari potensinya sebagai implikasi dari penggunaan benih kualitas rendah dan kultur teknis yang tidak optimal (Sipayung, 2012&2018; Daemeter, 2015; Winroct International, 2017), masalah legalitas lahan dan tatakelola yang belum berkelanjutan (Rist et al., 2010, INOBU, 2016; Nurfatriani et al., 2019; Bakthary et al., 2021).

Pengelolaan kebun sawit rakyat sehamparan dan pengembangan kemitraan baru sangat diperlukan untuk menyelesaikan berbagai masalah kebun sawit rakyat (PASPI, 2019). Jika model kemitraan generasi pertama berhasil menciptakan revolusi pada perkebunan sawit rakyat, maka pola kemitraan generasi kedua diharapkan mampu membawa perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai revolusi baru yakni produktivitas tinggi dan tata kelola yang lebih berkelanjutan.

KESIMPULAN

Kebijakan pengembangan pola kemitraan pada perkebunan kelapa sawit telah berhasil membuka akses petani untuk memasuki bisnis perkebunan sawit. Bahkan juga mampu menciptakan revolusi perkebunan sawit rakyat, dimana laju peningkatan produksi minyak sawit dari perkebunan sawit rakyat dalam periode tahun 1980-2000 maupun dalam periode tahun 2000-2020 mampu melampaui laju peningkatan produksi gandum atau padi pada masa green revolution dunia tahun 1965-1985.

Revolusi perkebunan sawit rakyat tersebut juga sebagian besar dibiayai secara mandiri (self-financing) atau tidak membebani anggaran pemerintah. Revolusi sawit rakyat tersebut juga telah mengangkat kehidupan 2.5 juta keluarga petani atau mengeluarkan sekitar 10 juta orang dari kemiskinan sehingga kesejahterannya juga mengalami peningkatan. Namun, dibalik keberhasilan perkembangan perkebunan sawit rakyat yang revolusioner tersebut, petani sawit masih menghadapi berbagai masalah seperti produktivitas dibawah potensi, masalah legalitas dan tata kelola berkelanjutan. Solusi untuk menyelesaikan perrmasalahan tersebut adalah pengelolaan

(6)

kebun sawit rakyat sehamparan dan pengembangan kemitraan baru, dimana solusi tersebut harus menjadi agenda penting yang dilakukan oleh petani, asosiasinya maupun bagi pemerintah di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Badrun M. 2010. Lintasan 30 Tahun Pengembangan Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan. Kementerian Pertanian RI.

Bakhtary, HF Haupt, C Luttrell, D Landholm, Jelsma. 2021. Promoting Sustainable Oil Palm Production by Independent Smallholders in Indonesia: Perspectives From Non-State Actors. GIZ Germany.

Byerlee D, WP Falcon, RL Naylor. 2017. The Tropical Oil Crop Revolution Food, Feed, Fuel, and Forests. Oxford University Press.

Daemeter 2015. Overview of Indonesian Oil Palm Smallholder Farmer. Darmeter Consulting.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2020.

Statistik Perkebunan Kelapa Sawit.

Kementerian Pertanian RI.

INOBU. 2016. A Profile of Oil Palm Smallholders and Their Challenges of Farming Independently. Institute Penelitian Inovasi Bumi.

Nurfatriani F, Ramawati G, Kartika Sari, H Komariddin. 2019. Optimization of Crude Palm Oil Fund to Support Smallholder Oil Palm Replanting in Reducing Deforestation in Indonesia.

Sustainability MDP.

Pamin K. 1998. A Hundred and fifty years of oil palm development in Indonesia:

From the Bogor Botanical Garden to the Industry. Proceedings 1998 International Oil Palm Conference:

Commodity of The Past, Today and The Future: 3-25.

[PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Insitute. 2014. Industri Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan:

Peranan Industri Minyak Sawit dalam Pertumbuhan Ekonomi, Pembangunan Pedesaan, Pengurangan Kemiskinan dan Pelestarian Lingkungan. Bogor.

[PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Insitute. 2019. Era Baru Pengembangan Sawit Rakyat Sekawasan dan Basis Energi Biohidrokarbon. Jurnal Monitor. 5(44):

1705-1712.

Rist L, L Feintrenie, P Levang. 2010. The Livelihood Impacts of Oil Palm:

Smallholders in Indonesia. Biodiverse Conserv.

Saragih B. 2015. Suara Agribisnis 2: Revolusi Sawit Rakyat, Hindari Pengalaman Pahit Karet Rakyat. Bogor: IPB Press.

Saragih B. 2016. Indonesia Oil Palm Industry:

Recent Development and Socio-Economic and Environmental Issues. Paper Presentasi di Wageningen University Netherland.

Saragih B. 2017. Produktivitas Sumber Pertumbuhan Minyak Sawit yang Berkelanjutan. Presentasi pada Pertemuan Teknis Kelapa Sawit 2017 di Solo.

Saragih B. 2017. Oil Palm Smallholder in Indonesia : Origin, Developmemt Strategy and Contribution to the National Economy. World Plantation Conference and Exhibition, Jakarta.

Sipayung T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor: IPB Press

Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Bogor:

Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.

Wonrock International. 2017. The Key Caracteristics of Independent Smallholders in the context of Sustainabolity. Colloborative Study Winrock International, USAID and SPKSI

Gambar

Gambar 1.  Lima Fase Kebijakan Kemitraan dan Perkembangan Luas Perkebunan Kelapa Sawit  Indonesia
Gambar 2.  Perubahan  Pangsa  Perkebunan  Sawit  Rakyat  dalam  Perkebunan  Kelapa  Sawit  Nasional (Sumber; Kementerian Pertanian RI, 2021)

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Di tengah suasana yang serba meriah dan marak itu, semoga saja esai ini bisa jadi pengingat bagi banyak pihak, termasuk pemilik/pengelola Galeri Nadi: bahwa ada banyak harapan

example of the small Slovenian town of Brežice, which lies in the southeast of the country, a few kilometres from the Slovenian-Croatian border and just over thirty kilometres

Jawapan hendaklah ditulis dengan jelas dalam ruang yang disediakan dalam kertas soalan. Tunjukkan

Hal tersebut menjadi dasar peneliti untuk melakukan penelitian terhadap pendekatan metode regresi longitudinal tobit yang digunakan untuk melakukan analisis

a) Menggunakan sensor getar jenis Piezo electric sehingga setiap adanya perubahan atau perambatan gelombang dari lempeng tektonik baik secara horizontal maupun vertikal akan

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri infusa daun mangga bacang ( Mangifera foetida L.) terhadap pertumbuhan Shigella flexneri ,

Untuk melakukan pengujian validitas terhadap instrumen penelitian strategi KMS yang nantinya akan diterapkan untuk meningkatkan kinerja dosen di STIKOM Bali dilakukan