• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelapa Sawit Rakyat: Hubungannya Dengan Perkembangan Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir Tahun 1981-2000

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kelapa Sawit Rakyat: Hubungannya Dengan Perkembangan Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir Tahun 1981-2000"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

KELAPA SAWIT RAKYAT: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN

KECAMATAN BAGAN SINEMBAH, KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN

1981-2000

Skripsi Sarjana Disusun

O L E H

NAMA : ELISA PURBA NIM : 090706017

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

KELAPA SAWIT RAKYAT: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN

KECAMATAN BAGAN SINEMBAH, KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN

1981-2000

Yang diajukan oleh: Nama : Elisa Purba Nim : 090706017

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing,

Dra. Penina Simanjuntak, M.S., Tanggal, 12 Juli 2013 NIP. 196102261986012001

Ketua Departeman Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal, 12 Juli 2013 NIP 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

KELAPA SAWIT RAKYAT: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN

KECAMATAN BAGAN SINEMBAH, KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN

1981-2000

DIKERJAKAN

O L E H

Nama : ELISA PURBA Nim : 090706017 Pembimbing,

Dra. Penina Simanjuntak M.S., NIP. 196102261986012001

Skripsi ini diajukan kepada panitia Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Ilmu Budaya

Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum.

NIP 196409221989031001

(5)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI OLEH DEKAN DAN PANITIA UJIAN

PENGESAHAN:

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Ilmu Budaya Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada :

Tanggal : 19 Juli 2013 Hari : Jumat

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M.Hum ( ) 2. Dra. Nurhabsyah, M.Si ( )

3. Dra. Penina Simanjuntak, M.S ( )

4. Drs. Samsul Tarigan ( )

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala anugerah, kasih dan penyertaanNya yang selalu penulis rasakan sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya.

Suatu kebahagian tersendiri bagi penulis ketika mampu menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “KELAPA SAWIT RAKYAT: HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN KECAMATAN BAGAN SINEMBAH, KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 1981-2000” ini. Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini ialah untuk melengkapi persyaratan di dalam mencapai gelar sarjana di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Selain menambah referensi di Departemen Sejarah dan Perpustakaan Umum Universitas Sumatera Utara, penulis juga sangat mengharapkan agar dengan hadirnya skripsi ini mampu menambah wawasan pembaca mengenai perkebunan kelapa sawit rakyat yang mampu meningkatkan taraf kehidupan petani khususnya bagi masyarakat di kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau yang berpengaruh terhadap pertambahan penduduk serta perkembangan wilayahnya. Penulis sangat berharap, kehadiran skripsi ini bermanfaat bagi banyak orang.

Skripsi ini bukanlah mutlak gagasan penulis, akan tetapi adalah rangkaian kuliah, ditambah dengan hasil penelitian (wawancara dan observasi), dan studi kepustakaan. Penulis juga menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini. Dengan demikian, penulis belum berani mengatakan bahwa skripsi ini memiliki bobot ilmiah yang sempurna, tetapi penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya sehingga “tidak ada gading yang tak retak”.

(8)

kemungkinan tentang perbedaan pendapat bahkan kesalahan di dalam skripsi ini. Untuk itulah, demi kesempurnaannya segala kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan.

Medan, Juli 2013

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Ucapan puji syukur dan rasa terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Tuhan yang Maha Pengasih, yang telah memberikan kesehatan serta kesempatan kepada penulis, sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Istimewa sekali ucapan terima kasih yang setingi-tingginya kepada kedua orang tua yang sangat saya sayangi Ayahanda P. Purba dan Ibunda N br Sembiring. Mereka disatukan Tuhan untuk membesarkan, menyayangi, membimbing serta mendidik dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun. Kepada adik-adik saya tercinta Alberto Purba, Jhon Pranata Purba dan Michael Efrata Purba, serta sepupu saya Aldi Purba, terima kasih atas semangat, hiburan serta bantuan yang telah kalian berikan. Tidak lupa juga penulis ucapkan rasa terima kasih yang tiada henti-hentinya kepada karoku tercinta yang selalu peduli terhadap kesehatan penulis selama empat tahun masa perkuliahan di Medan.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada segenap dosen, pejabat dan staf administrasi Fakultas Ilmu Budaya dan Departemen Sejarah USU. Kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU beserta Bapak Pembantu Dekan I, II dan III.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum selaku Ketua Departemen Sejarah dan Dra. Nurhabsyah, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah sebagai pimpinan telah banyak memberikan bantuan serta pelajaran yang berharga kepada penulis selama dalam perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi ini.

(10)

segala bimbingan, nasehat, motivasi dan pengertian yang telah ibu berikan terhadap penulis, sangat membantu di dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U., selaku dosen wali penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU.

5. Kepada semua dosen di Departemen Sejarah yang terlibat dalam pemberian materi kuliah selama penulis menjadi mahasiswa dan selama penulis menyelesaikan tugas akhir ini dan bang Ampera, selaku staf administrasi Departemen Sejarah USU.

6. Terima kasih kepada Bapak Hadiyono, SH., selaku Camat Bagan Sinembah. Kepada Bapak Muktar Waslin selaku Kepala Desa Bagan Batu beserta sekretaris desa. Kepada Pak Jayono, Bapak Sururi dan Bapak Ahmadan Simatupang. Kepada pegawai BPS, Perpustakaan dan Arsip Rokan Hilir serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh informan.

7. Terima kasih kepada kakak kelompokku kak Meisya, buat semangat dan doa-doanya dan kelompok kecilku “Serafim”. Kepada bang Julianto dan kak Oriza Satyva, yang telah memberikan dorongan serta semangat dan sebagai tempat bertanya penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

8. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan penulis, stambuk 2009 yang unik, lucu dan ngangenin, sahabat yang sekaligus penulis anggap sebagai saudara

(11)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan masyarakat di kecamatan Bagan Sinembah sebelum dan setelah berkembangnya perkebunan kelapa sawit, perkembangan perkebunan kelapa sawit yang diawali melalui program pemerintah yakni dengan pola PIR serta pengaruh dari pertanian kelapa sawit rakyat tersebut terhadap perkembangan masyarakat di Kecamatan Bagan sinembah baik secara ekonomi maupun sosial.

Skripsi ini diberi judul ”Kelapa Sawit Rakyat: Hubungannya Dengan Perkembangan Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir Tahun 1981-2000”. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah yaitu: Heuristik, verifikasi yang terdiri dari kritik sumber (intern dan ekstern). Interpretasi, dan Historiografi. Dalam heuristik, penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Kemudian untuk kritik sumber digunakan untuk mendapatkan kredibilitas atau kebenaran sumber, sehingga data yang didapat dapat dipercaya dan objektif. Untuk metode interpretasi digunakan untuk membuat kesimpulan atau keterangan terhadap sumber yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada. Dalam historiografi dilakukan penyusunan hasil penelitian ke dalam karya tulis sejarah yang deskriptif analisis.

Awalnya daerah Bagan Sinembah ini merupakan kawasan yang sepi yang banyak kawasan hutannya. Namun, seiring perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat yang dikaitkan dengan campur tangan pemerintah melalui pola PIR, maka daerah ini semakin ramai ditandai dengan pertambahan serta keanekaragaman penduduknya. Ditambah lagi dengan adanya pola PIR yang dikaitkan dengan transmigrasi yang merupakan program pemerintah dalam hal penyebaran penduduk khususnya yang berasal dari pulau Jawa.

Hasil penelitian yang penulis lakukan menunjukkan bahwa perkembangan kelapa sawit rakyat tahun 1981-2000 di kecamatan Bagan Sinembah ini sejalan dengan perkembangan wilayahnya yang ditandai dengan pertambahan, penyebaran serta keanekaragaman penduduknya. Banyak masyarakat yang mulai tertarik dengan pertanian kelapa sawit karena telah menunjukkan peningkatan dalam segi ekonomi, baik yang berasal dari kecamatan Bagan Sinembah maupun yang berasal dari luar daerah terlebih dari daerah Sumatera Utara. Program yang dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan taraf kehidupan petani kelapa sawit melalui pola PIR ini cukup berhasil sehingga menarik minat banyak orang untuk menanam kelapa sawit di daerah ini. Ibarat pepatah, ada gula ada semut

(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………...i

UCAPAN TERIMA KASIH ………...iii

ABSTRAK ………...v

DAFTAR ISI ………...vi

DAFTAR TABEL ………ix

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ………...1

1.2Rumusan Masalah ……….8

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….8

1.4Tinjauan Pustaka ………...9

1.5Metode Penelitian ………...12

BAB II

KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH SEBELUM DIBUKANYA PERTANIAN KELAPA SAWIT 2.1 Letak Geografis ………16

2.2Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Bagan Sinembah Sebelum Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit Rakyat ……….………26

(13)

BAB III

SEJARAH PERTANIAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI KEC. BAGAN SINEMBAH

3.1PIR (Perkebunan Inti Rakyat) ……….34

3.2Pertanian Kelapa Sawit Rakyat ………...55

BAB IV

PENGARUH PERTANIAN KELAPA SAWIT RAKYAT TERHADAP PERKEMBANGAN KECAMATAN BAGAN SINEMBAH TAHUN 1981-2000 4.1 Perekonomian Masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah Setelah Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit Rakyat……….67

4.2 Keadaan Sosial Masyarakat Kec. Bagan Sinembah Setelah Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit Rakyat ………...71

4.2.1 Kepadatan Penduduk ………...71

4.2.2 Transportasi ………..82

4.2.3 Pengembangan Wilayah ………...83

4.2.4 Pendidikan ………90

4.2.5 Kesehatan……….….91

(14)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ……….93 5.2 Saran ………...95

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Bagan Sinembah tahun 2000 ………18 Tabel 2: Kriteria Pola PIR ………...40 Tabel 3: Harga Rata-rata Tandan Buah Segar (TBS) PIR Bagan Sinembah perkilo dari tahun

1984-2000 ………59 Tabel 4: Jumlah Rumah Tangga yang Berusaha menurut Jenis Lapangan Pekerjaan di

(16)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan masyarakat di kecamatan Bagan Sinembah sebelum dan setelah berkembangnya perkebunan kelapa sawit, perkembangan perkebunan kelapa sawit yang diawali melalui program pemerintah yakni dengan pola PIR serta pengaruh dari pertanian kelapa sawit rakyat tersebut terhadap perkembangan masyarakat di Kecamatan Bagan sinembah baik secara ekonomi maupun sosial.

Skripsi ini diberi judul ”Kelapa Sawit Rakyat: Hubungannya Dengan Perkembangan Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir Tahun 1981-2000”. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode sejarah yaitu: Heuristik, verifikasi yang terdiri dari kritik sumber (intern dan ekstern). Interpretasi, dan Historiografi. Dalam heuristik, penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan studi lapangan (field research). Kemudian untuk kritik sumber digunakan untuk mendapatkan kredibilitas atau kebenaran sumber, sehingga data yang didapat dapat dipercaya dan objektif. Untuk metode interpretasi digunakan untuk membuat kesimpulan atau keterangan terhadap sumber yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada. Dalam historiografi dilakukan penyusunan hasil penelitian ke dalam karya tulis sejarah yang deskriptif analisis.

Awalnya daerah Bagan Sinembah ini merupakan kawasan yang sepi yang banyak kawasan hutannya. Namun, seiring perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat yang dikaitkan dengan campur tangan pemerintah melalui pola PIR, maka daerah ini semakin ramai ditandai dengan pertambahan serta keanekaragaman penduduknya. Ditambah lagi dengan adanya pola PIR yang dikaitkan dengan transmigrasi yang merupakan program pemerintah dalam hal penyebaran penduduk khususnya yang berasal dari pulau Jawa.

Hasil penelitian yang penulis lakukan menunjukkan bahwa perkembangan kelapa sawit rakyat tahun 1981-2000 di kecamatan Bagan Sinembah ini sejalan dengan perkembangan wilayahnya yang ditandai dengan pertambahan, penyebaran serta keanekaragaman penduduknya. Banyak masyarakat yang mulai tertarik dengan pertanian kelapa sawit karena telah menunjukkan peningkatan dalam segi ekonomi, baik yang berasal dari kecamatan Bagan Sinembah maupun yang berasal dari luar daerah terlebih dari daerah Sumatera Utara. Program yang dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan taraf kehidupan petani kelapa sawit melalui pola PIR ini cukup berhasil sehingga menarik minat banyak orang untuk menanam kelapa sawit di daerah ini. Ibarat pepatah, ada gula ada semut

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejarah perkebunan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Pada umumnya perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris Barat yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Awalnya, perkebunan di Indonesia hadir sebagai sebuah sistem perekonomian baru yang belum dikenal oleh kalangan masyarakat Indonesia. Bangsa ini hanya mengenal sistem kebun sebagai sistem perekonomian tradisional, yang kegunaannya sebatas pemenuhan kebutuhan hidup dan dikerjakan dengan pola-pola tradisional.

(18)

Kedatangan Belanda ke Indonesia telah mengubah sistem perekonomian Indonesia dari sistem ekonomi subsisten menjadi komersial melalui perusahaan-perusahaan multinasional dan salah satunya adalah perusahaan perkebunan.1

Di samping memenuhi kebutuhan dalam negeri akan produk-produk perkebunan yang terus meningkat, peran perkebunan dalam pembangunan nasional yang cukup besar lainnya adalah sebagai upaya peningkatan pendapatan petani, penyediaan lapangan kerja dalam jumlah besar, pemerataan pembangunan di daerah-daerah, penciptaan efek ganda (multiplier effects) yang mendorong berkembangnya berbagai industri yang terkait termasuk industri-industri jasa, pembentukan pusat-pusat pertumbuhan baru, sejalan dengan pembangunan perkebunan baru di wilayah-wilayah yang semula terpencil, membantu pemerataan

Perkebunan tersebut mempunyai peran yang cukup signifikan dan membawa suatu perkembangan unik dalam sejarah ekonomi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, penyebaran dan komposisi penduduk serta perkembangan suatu daerah. Hal ini sangat berkaitan dengan perkebunan yang sering disebut sebagai agen pembangunan (agent of development) serta memberikan lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Setelah proklamasi kemerdekaan, komoditas perkebunan turut memberikan saham yang cukup besar dan berharga dalam menegakkan perekonomian rakyat dan Negara Indonesia, serta memainkan peran yang semakin lama semakin penting dalam pembangunan nasional. Sejak dulu usaha tani perkebunan berorientasi ekspor, dan dalam pembangunan sekarang ini komoditas perkebunan merupakan salah satu sumber pendapatan devisa nonmigas dalam jumlah yang cukup besar.

1

(19)

penyebaran penduduk, karena adanya kaitan antara program perluasan areal perkebunan dengan transmigrasi dan ikut memantapkan wawasan nusantara untuk meningkatkan ketahanan nasional.

Jika dilihat dari bentuk perusahaan perkebunan, di Indonesia dikenal tiga bentuk utama usaha perkebunan yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan Perkebunan Besar Negara (PBN). Pada penelitian ini, penulis lebih menekankan pada perkebunan kelapa sawit milik rakyat atau yang sering dikenal dengan perkebunan rakyat. Perkebunan rakyat memegang peranan yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia yakni meningkatkan perekonomian rakyat, penyerapan tenaga kerja, dan sumber devisa Negara. Selain itu, perkebunan rakyat juga dijadikan sebagai motor penggerak dari pembangunan suatu wilayah. Oleh karena itu, sejak tahun 1980 pemerintah menetapkan bahwa setiap perluasan perkebunan harus diikuti dengan pembangunan perkebunan rakyat di sekelilingnya, yaitu yang biasa disebut dengan istilah plasma.2

Tingkat pendidikan rata-rata petani di Indonesia masih sangat rendah,3

2

Kumpulan Makalah, “Proceedings: Seminar dan Panel Diskusi Pengembangan dan Pembinaan Perkebunan Rakyat (28-29 Juni 1985), Medan: Percetakan Universitas Sisimangaraja XII. hlm.104.

3

Soepadiyo Mangoensoekarjo & Haryono Semangun (ed), Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006, hlm. 37.

(20)

Mengingat pentingnya peranan dan potensi perkebunan rakyat dalam peningkatan perekonomian, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengusahaan perkebunan kelapa sawit. Sejak pelita II telah disusun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan suatu kebijaksanaan pembangunan perkebunan yang memuat tentang perkebunan rakyat sebagai sasaran utama pembangunan. Kemudian pada awal Pelita III pemerintah melancarkan program pengembangan perkebunan secara besar-besaran dengan berbagai pola, seperti pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR),4 pola Unit pelaksana Proyek (UPP), pola Swadaya, Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN), dan lain-lain.5

4

Perkebunan Inti Rakyat merupakan suatu pola pelaksanaan pengembangan perkebunan besar sebagai inti dan perkebuna rakyat sebagai plasma dengan melibatkan rakyat bukan sebagai buruh perkebunan, tetapi sebagai pekebun yang mandiri atau dengan kata lain pemerintah menyediakan kesempatan bagi rakyat yang terpilih untuk ikut dalam proyek PIR. Pola PIR ini dirancang tahun 1974/1975 dan diperkenalkan dalam bentuk proyek NES/PIR-BUN di daerah perkebunan pada 1977/1978.

5

Soepadiyo Mangoensoekarjo & Haryono Semangun (ed.), Op.Cit., hlm.6.

(21)

Pertanian kelapa sawit rakyat merupakan penggerak ekonomi yang terbesar pada masyarakat di Riau khususnya di Kecamatan Bagan Sinembah. Namun, harga kelapa sawit yang tidak menentu sering menimbulkan kerugian bagi para petani sawit yang memiliki modal kecil dan lahan yang tidak luas. Hal ini berdampak pada hampir semua kalangan di daerah ini, terutama pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Para pedagang pun sering mengeluh akibat penurunan harga kelapa sawit. Ketika harga kelapa sawit turun, maka terjadilah kelumpuhan perekonomian di daerah ini karena sebagian besar masyarakat di Bagan Batu memiliki mata pencaharian sebagai petani kelapa sawit. Bila harga kelapa sawit tinggi, petani diuntungkan, sehingga kestabilan harga kelapa sawit menentukan kestabilan perekonomian di daerah ini.

Awalnya, daerah ini merupakan kawasan hutan yang sedikit penduduknya, yang hanya didiami oleh beberapa penduduk pendatang dari Sumatera Utara dan penduduk asli Riau yakni suku Melayu yang pada saat itu masih belum menetap tinggal di desa Bagan Sinembah karena daerah tersebut pada saat itu yakni sekitar tahun 1950an dianggap tidak menjanjikan dari segi ekonomi. Namun, seiring dengan perkembangan pertanian kelapa sawit, daerah ini berubah menjadi daerah yang ramai, ditandai dengan pertambahan angka penduduknya. Selain itu, perkembangan pertanian kelapa sawit yang begitu luar biasa ini, menjadikan Bagan Batu dijuluki sebagai “Kota Sawit”.

(22)

dan akan menimbulkan perkembangan serta perkembangan itu sendiri akhirnya menarik buat orang lain, demikian seterusnya. Dalam ilmu ekonomi, hal ini sering dijelaskan dengan teori pertumbuhan kegiatan ekonomi yang berakumulatif.6

Secara teoritis pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, kawasan atau pun daerah tertentu akan diikuti oleh perubahan-perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Perubahan pola konsumsi masyarakat misalnya merupakan salah satu aspek yang terlihat paling jelas. Aktivitas migrasi yang berlangsung dari satu wilayah ke wilayah tertentu pun merupakan imbas positif yang berkembang sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan.7 Semakin baik perkembangan ekonomi suatu daerah maka kemungkinan terjadinya pertambahan angka migrasi pun akan semakin meningkat. Sama halnya seperti yang dialami oleh daerah Sumatera Timur yang semakin pesat pertambahan angka penduduknya ketika pertanian telah berkembang dan menunjukkan perkembangan dari segi ekonomi. Seperti pepatah ada gula ada semut begitulah keadaan yang bisa digambarkan terhadap daerah Bagan Sinembah pada saat itu. Perkembangan perekonomian sejalan dengan pertambahan jumlah penduduknya. Dengan kata lain, dengan adanya kegiatan-kegiatan pembangunan, terlebih pada sektor perkebunan, dapat mempengaruhi pola dan tingkat gerak penduduk. Begitu pula sebaliknya, gerak penduduk dapat mempengaruhi dan memperlancar pembangunan serta mengakibatkan perubahan sosial-ekonomi.8

6

Urbanus M. Ambardi, Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah: Konsep dan Pengembangan,

Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT, 2002, hlm. 61.

7

Abdul Haris & Nyoman Andika (ed), Dinamika Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia: dari perspektif makro ke realitas mikro, Yogyakarta: LESFI, 2002, hlm.21.

8

Muhammad Idrus Abustam, Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial: kasus tiga komunitas padi sawah di Sulawesi selatan, Jakarta: UI-Press, 1990, hlm. Vii.

(23)

dikenal dengan masyarakat yang dinamis, baik itu perubahan yang lamban prosesnya ataupun dengan proses yang cepat.

Persoalan di atas menarik untuk dikaji, karena pertanian kelapa sawit rakyat memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian masyarakat di daerah ini dan membawa perubahan-perubahan yang bersifat positif yakni kemajuan-kemajuan yang dialami oleh daerah ini salah satunya adalah pertambahan serta keanekaragaman penduduknya yang mencakup perkembangan perekonomian masyarakat suatu wilayah. Di samping itu, menurut pengamatan saya, masalah ini juga belum pernah diteliti. Penelitian mengenai pengaruh pertanian kelapa sawit rakyat terhadap perekonomian terlebih bagi perkembangan wilayah di daerah Riau sudah pernah dilakukan, tetapi khusus di Kecamatan Bagan Sinembah belum pernah dilakukan. Inilah alasan saya meneliti pertanian kelapa sawit rakyat yang terletak di Kecamatan Bagan Sinembah, Riau.

Cakupan kajian ini adalah Kecamatan Bagan Sinembah sebagai satu bagian dari Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Batasan temporalnya adalah tahun 1981-2000. Batasan waktu berkaitan dengan pola PIR yang telah dirancang oleh pemerintah tahun 1974/1975 dan di desa Bagan Sinembah9

9

Awalnya Bagan Sinembah adalah nama sebuah desa, namun sejalan dengan perkembangan penduduknya maka berkembang menjadi sebuah Kecamatan yang terdiri dari beberapa desa.

(24)

masyarakat, serta perkembangan wilayah Bagan Sinembah, yakni dengan semakin banyaknya bangunan permanen di daerah ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan argumentasi di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini memfokuskan kepada :

1. Bagaimana keadaan Kecamatan Bagan Sinembah sebelum dibukanya pertanian kelapa sawit?

2. Bagaimana perkembangan pertanian kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan Sinembah tahun 1981-2000 ?

3. Bagaimana pengaruh pertanian kelapa sawit rakyat terhadap perkembangan masyarakat di Kecamatan Bagan Sinembah Tahun 1981-2000?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diungkap dalam penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan keadaaan Kecamatan Bagan Sinembah sebelum dibukanya pertanian kelapa sawit.

2. Menjelaskan perkembangan pertanian kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan Sinembah tahun 1981-2000.

(25)

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini nantinya adalah :

1.

Bagi displin Ilmu Sejarah, dapat menambah referensi sejarah pertanian kelapa sawit di daerah Bagan Sinembah khususnya sejarah pertanian kelapa sawit rakyat.

2.

Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan penjelasan tentang pengaruh perkebunan kelapa sawit khususnya kelapa sawit rakyat terhadap perkembangan masyarakat di daerah Bagan Sinembah tahun 1981-2000.

3.

Aspek praktis diharapkan dari hasil penelitian ini adalah menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk menangani masalah perekonomian khususnya pada sektor perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah Bagan Sinembah dan di Indonesia pada umumnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam kajian ini, selain akan melakukan penelitian ke lapangan, peneliti juga menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku-buku dan laporan sebagai bentuk studi kepustakaan yang akan dilakukan selama penelitian.

(26)

perkembangan yang sangat pesat. Perkebunan tersebut yang pada saat itu menghasilkan tanaman tembakau di tanah Deli yang dirintis oleh Jacobus Nienhuys. Terbukti pada saat itu tembakau yang dihasilkan merupakan produk yang sangat menguntungkan di pasar perdagangan di Eropa yang kemudian menjadikan Deli penghasil daun pembungkus cerutu termasyhur di dunia.

Sejak itu wilayah Medan menjadi ramai hingga sekarang ini. Dengan berkembangnya perkebunan di Sumatera Timur, maka semakin berkembanglah perekonomian di daerah tersebut. Berdatanganlah penduduk dari daerah lain yakni dari Tapanuli, Jawa (kuli kontrak), Minangkabau dan lain sebagainya. Hal serupa juga terjadi di daerah Bagan Sinembah. Setelah pertanian kelapa sawit berkembang dan menunjukkan hasilnya dalam bentuk peningkatan perekonomian maka mulai berdatanganlah para penduduk dari daerah lain seperti dari Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan lain sebagainya.

(27)

rakyat diharapkan lebih mampu memperoleh pendapatan yang lebih layak. Dari penjelasan buku ini, kita bisa menyimpulkan bahwa pola PIR yang diterapkan oleh pemerintah sangat membantu perkebunan rakyat dalam mengembangkan pertanian kelapa sawitnya sehingga sangat membantu dalam bidang perekonomian.

Fachri Yasin dalam Agribisnis Riau: Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan

(2003), mengkaji tentang perkebunan kelapa sawit yang semakin penting peranannya dalam ekonomi Indonesia karena membawa kontribusi besar terhadap perolehan devisa Negara. Pada periode pertama pembangunan jangka panjang tahap pertama (PJP-I), subsektor perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Riau10

10

A.Z. Fachri Yasin, Agribisnis Riau: Pembangunan Perkebunan Berbasis Kerakyatan, Pekanbaru: UNRI Press, 2003. Hlm. 100.

(28)

Sementara itu, Mulyadi S dalam Ekonomi Sumber Daya Manusia: Dalam Perspektif Pembangunan (2006), mengkaji tentang pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk diakibatkan oleh empat komponen yaitu kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), migrasi masuk dan migrasi keluar. Selisih antara kelahiran dan kematian disebut pertumbuhan alamiah (natural-increase), sedangkan selisih antara migrasi masuk dan migrasi keluar disebut migrasi neto (net-migration). Mulyadi juga menambahkan mengenai gambaran laju pertumbuhan penduduk, berdasarkan hasil pendataan, dikemukakan bahwa laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Provinsi Riau yaitu sebesar 3,85%. Buku ini sangat membantu penulis untuk menjelaskan pertambahan penduduk yang terjadi di daerah Bagan Sinembah melalui migrasi yang sangat berkaitan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit di daerah ini. Buku yang ditulis oleh Mulyadi ini juga menjelaskan bahwa migrasi merupakan perpindahan sumber daya manusia yang umumnya disebabkan oleh alasan ekonomi seperti menyangkut pekerjaan.

1.5 Metode Penelitian

Dalam menulis kejadian masa lalu yang dituangkan dalam historiografi harus menggunakan metode sejarah. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau11

11

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985. Hlm. 32.

(29)

Tulisan sejarah dianggap ilmiah jika tulisan tersebut menggunakan metode sejarah. Dalam penerapannya, metode sejarah ada empat tahapan yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Heuristik yaitu proses menemukan dan mengumpulkan sumber sesuai dengan permasalahan penelitian. Heuristik berasal dari bahasa Yunani Heurinkein

yang artinya to find. To find di sini berarti tidak hanya menemukan, tetapi mencari terlebih dahulu baru menemukan12

Sementara itu metode wawancara (studi lapangan) dilakukan kepada orang-orang yang terlibat atau tidak terlibat langsung dengan aktivitas di perkebunan kelapa sawit khususnya perkebunan kelapa sawit rakyat di daerah Bagan Sinembah. Wawancara . Metode yang digunakan untuk pengumpulan data atau sumber adalah studi pustaka (library research) dan studi lapangan (field research). Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah sumber tertulis, baik primer maupun sekunder, berupa buku, artikel, laporan penelitian, skripsi, tesis, serta disertasi yang berkaitan dengan objek penelitian yang terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Daerah Sumatera Utara, Perpustakaan FISIP USU, Lembaga Penelitian Kelapa Sawit (LPKS) yang berada di jalan Brigjen Katamso, Medan, Lembaga Penelitian USU, dan Perpustakaan Umum Unimed. Selain buku, sumber tertulis lainnya juga berupa arsip, dokumen serta laporan dari pemerintah daerah baik desa maupun pada tingkat Kabupaten Rokan Hilir, yang terdapat di kantor kepala desa Bagan Batu, Kantor Camat Bagan Sinembah, Perpustakaan & Arsip Daerah Kabupaten Rokan Hilir, Dinas Perkebunan Kab. Rokan Hilir, Dinas Kependudukan Kab Rokan Hilir, kantor BPS Rokan Hilir yang terletak di Bagan Siapi-api, sekitar ± 4 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan dari objek penelitian, serta ke PTP Nusantara V Tanah Putih, Riau.

12

(30)

dilakukan dengan cara wawancara mendalam untuk memperoleh data secara lengkap tentang permasalahan penelitian. Penentuan informan dilakukan melalui seorang informan kunci yaitu masyarakat yang telah lama tinggal di desa Bagan Sinembah serta masyarakat yang dianggap mengetahui secara detail permasalahan pertanian kelapa sawit rakyat di Bagan Sinembah khususnya bagi para peserta PIR yang masih ada dan informan selanjutnya ditentukan berdasarkan informan kunci ini atau yang dikenal dengan snow ball sampling.13

Tahapan selanjutnya adalah interpretasi yaitu membuat analisis dan sintesis terhadap data yang telah diverifikasi. Hal ini diperlukan untuk membuat sumber-sumber yang tampaknya terlepas satu dengan yang lainnya menjadi satu hubungan yang saling berkaitan. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta sehingga terdapat pemahaman terhadap fakta sejarah baik secara tematis maupun kronologis dapat diungkapkan. Meskipun fakta bersifat objektif tetapi tetap mengandung sifat subjektif karena ditafsirkan oleh seseorang. Setelah data terkumpul maka tahapan selanjutnya dilakukan kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern. Kritik ekstern menyangkut dokumennya yaitu meneliti apakah dokumen itu memang dibutuhkan, apakah asli atau palsu, utuh atau sudah diubah sebagian. Kritik intern berupa meneliti serta isi dari data atau sumber untuk menilai kelayakan data akan permasalahan penelitian. Tujuan dari kritik intern ini ialah untuk mendapatkan kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut, apakah isi dari sumber dapat dipercaya atau tidak. Hal ini dilakukan melalui pengelompokan data dan membandingkannya dengan data yang lain.

13

(31)

Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan membuat kesimpulan keterangan atau sumber informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada. Dalam artian sebagai sejarawan, kita harus kritis terhadap data atau sumber yang ada, tidak langsung mempercayainya begitu saja atau “menelannya secara bulat-bulat”.

(32)

BAB II

KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH SEBELUM DIBUKANYA PERTANIAN KELAPA SAWIT

2.1 Letak Geografis

Kecamatan Bagan Sinembah adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Merupakan pintu gerbang masuk ke wilayah provinsi Riau dari arah Sumatera Utara. Jarak menuju ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagan Siapi-api kurang lebih 180 Km atau sekitar 4 jam jarak tempuh, dengan menggunakan kendaraan bermotor. Sedangkan jarak menuju Pekan Baru yang merupakan ibu kota Provinsi Riau kurang lebih 360 Km atau sekitar 5-6 jam jarak tempuh. Secara geografis, Kecamatan Bagan Sinembah berada di ketinggian 10 meter dari permukaan laut. Luas Wilayah Kecamatan Bagan Sinembah ini secara keseluruhannya sekitar 847, 35 Km2, 89% dari luas wilayah tersebut terdiri dari dataran, selebihnya merupakan daerah bergelombang yakni sekitar 11%.14

Kecamatan ini terdiri atas 14 desa , yang kesemuanya sudah definitif antara lain, desa Bahtera Makmur, Gelora, Pelita, Kencana, Pasir Putih, Balai Jaya, Balam Sempurna, Lubuk Jawi, Bagan Sinembah, Panca Mukti, Salak, Bagan Bhakti, Harapan Makmur, dan Bagan

Kecamatan Bagan Sinembah memiliki batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Simpang Kanan dan Kecamatan Kubu 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pujud

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bangko Pusako

14

(33)

Batu. Desa-desa di kecamatan Bagan Sinembah merupakan wilayah dataran. Dan setiap desa atau lebih dikenal dengan kepenghuluan yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah dipimpin oleh seorang kepala desa atau datuk penghulu. Dalam menjalankan tugasnya kepala desa dibantu oleh beberapa aparatnya. Di Bagan Sinembah ini, aparat desa sudah lengkap. Seluruh desa sudah memiliki sekretaris dan telah dilengkapi dengan Badan Perwakilan Kepenghuluan (BPK) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Pada setiap desa atau

kepenghuluan yang ada di kecamatan Bagan Sinembah telah terbentuk RT dan RW, jumlah RT dan RW pada setiap desa cukup bervariasi, berkisar antara 8 sampai 74 untuk RT dan 2 sampai 25 untuk RW.15

15

BPS dan BAPPEDA Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Bagan Sinembah dalam Angka 2004,

Bagan Siapiapi: BPS Kabupaten Rokan Hilir, 2005, hlm. 2.

(34)

Tabel 1

Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Bagan Sinembah tahun 2000

No Desa Luas Wilayah (Km2) Jumlah Penduduk (jiwa)

1 Bahtera Makmur 150.75 9,688

2 Gelora 7.08 1,316

3 Pelita 11.53 1,245

4 Kencana 6.99 1,435

5 Pasir Putih 139.21 6,842

6 Balai Jaya 111.52 13,290

7 Balam Sempurna 203.05 19,366

8 Lubuk Jawi 11.58 1,576

9 Bagan Sinembah 75.76 5,351

10 Panca Mukti 8.51 1,443

11 Salak 5.81 1,006

12 Bagan Bhakti 7.05 1,276

13 Harapan Makmur 8.53 1,671

14 Bagan Batu 99.98 22,453

(35)

Satu hal yang menarik dari Kecamatan Bagan Sinembah ini, yaitu sampai sekarang penyebutan desa masih menggunakan kata kepenghuluan dan datuk penghulu untuk menyebut kepala desanya. Hal ini sudah menjadi peraturan daerah yakni bagi setiap daerah yang masuk ke dalam Kabupaten Rokan Hilir wajib menggunakan kata kepenghuluan untuk menyebut sebuah desa.16 Cara kerja atau struktur keorganisasian kepenghuluan ini sebenarnya sama saja seperti sistem keorganisasian desa, hanya saja penyebutannya yang berbeda. Dengan kata lain kepenghuluan dan desa itu sama saja. Menurut data sejarah, sebelum tahun 1979, di daerah ini untuk penyebutan sebuah desa menggunakan kata kepenghuluan. Namun setelah lahirnya UU No.5 Tahun 1979, penyebutan kepenghuluan diganti menjadi desa dan berdasarkan UU No.22 1999 secara historis penyebutan desa diganti menjadi kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang datuk penghulu. Penyebutan datuk penghulu ini dianggap lebih terhormat daripada kepala desa.17

Tidak bisa dipungkiri, bahwa evolusi pembangunan sebuah wilayah, kota maupun Negara sebagian besar bermula dari perkembangan entitas sebuah desa. Desa dalam pengertian umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat di manapun di dunia ini. Sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan terutama yang tergantung pada kegiatan pertanian. Pengertian desa secara umum lebih sering dikaitkan dengan pertanian. Egon E. Bergel misalnya, mendefenisikan desa sebagai “setiap pemukiman para petani (peasants)”.18

Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, hlm.29-30.

(36)

hal yang selalu harus terlekat pada setiap desa, begitu juga sebaliknya, desa tidak harus dikaitkan dengan kegiatan pertanian, hanya saja kebanyakan desa di Indonesia khususnya yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada kegiatan pertanian, namun tidak semua, ada juga desa yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada bidang lain seperti bidang perikanan, industri rumahan (home industry) atau kegiatan pekerjaan tangan dan lain sebagainya. Yang menjadi ciri utama dari suatu desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal yang menetap dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Atau dengan kata lain, sebuah desa ditandai dengan keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Keterikatan terhadap wilayah ini di samping sebagai tempat tinggal, juga sebagai penyangga kehidupan mereka.

Terbentuknya suatu desa tidak terlepas dari insting manusia, yang secara naluriah ingin hidup bersama keluarga suami/istri dan anak serta sanak familinya, yang kemudian lazimnya memilih suatu tempat kediaman bersama. Tempat kediaman tersebut dapat berupa suatu wilayah dengan berpindah-pindah terutama terjadi pada kawasan tertentu hutan atau areal lahan yang masih memungkinkan keluarga tersebut berpindah-pindah. Hal ini masih dapat ditemukan pada beberapa suku asli di Sumatera, seperti kubu, suku anak dalam, beberapa warga melayu asli, juga di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, Kalimantan dan Papua.19

19

Op. Cit., Hal. 10-11.

(37)

Istilah desa itu sendiri semula hanya dikenal di Jawa, Madura dan Bali. Desa dan

dusun berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tanah ai, tanah asal atau tanah kelahiran.

Dusun dipakai di daerah Sumatera Selatan dan juga di Batak. Di Maluku dikenal istilah

dusundati. Tidak hanya sekedar nama, menurut beberapa ahli seperti van den Berg dan Kern, desa-desa di Jawa menyerupai desa-desa di India.20

Berbeda dengan perkembangan peradaban di Negara-negara Eropa yang menggunakan kota sebagai pusat peradaban dan desa menjadi sumber ekonomi semata, perkembangan peradaban di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan di wilayah pedesaan. Awal perkembangan kota-kota Indonesia sendiri dimulai dari dua tipe pedesaan yakni pedesaan berbasis pertanian (inland atau agrarian) dan tipe pedesaan yang berbasis pesisir.

21

Berkembangnya suatu daerah yang semula masih terbelakang, baik dari segi perkembangan ekonomi maupun pertambahan jumlah penduduknya, akan mengakibatkan terciptanya desa-desa baru. Pemecahan suatu desa disebabkan oleh alasan yang objektif, yakni karena adanya perkembangan, maupun karena adanya kebijakan tertentu oleh pemerintah. Munculnya desa-desa baru juga disebabkan oleh berubahnya status unit-unit pemukiman transmigran (UPT) yang setelah lima tahun dalam binaan kemudian resmi berstatus desa. Sehingga, pada 25 Juni 1987, berdasarkan keputusan Bupati, Kepala Daerah

Sama halnya dengan keberadaan kecamatan Bagan Sinembah ini. Awalnya Kecamatan Bagan Sinembah belum ada, yang dikenal saat itu hanya desa Bagan Sinembah yang masuk ke dalam Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis.

20

Ibid., hal. 48. 21

M.A.Chozin, Pembangunan Perdesaan dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat,

(38)

Tingkat II Bengkalis Nomor: KPTS.151/VII/1987 Bagan Sinembah dimekarkan menjadi 7 desa perwakilan kecamatan Kubu di Bagan Batu yaitu:

1. Desa Induk Bagan Sinembah, Kepala desanya Wan Muhammad Nor 2. Desa Bagan Batu, Kepala desanya Wan Bahrum Noor

3. Desa Bahtera Makmur, Kepala desanya H. Nurdin AR 4. Desa Pasir Putih, Kepala desanya A. Marlani

5. Desa Balai Jaya, Kepala desanya H. Wan Muchtar Noor

6. Desa Balam Sempurna, Kepala desanya H. Abdul Azis Hasibuan 7. Desa Simpang Kanan, Kepala desanya M. Yazid Hamta

(39)

nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, pembentukan kecamatan harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah;22

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;

Mengingat:

2. Undang-undang Nomor 12 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kabupaten dalam lingkungan daeerah Provinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara tahun 1956 Nomor 25);

3. Undang-undang nomor 61 tahun 1958 tentang penetapan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 tentang pembentukan daerah-daerah swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 75)

4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah (Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 38);

Memutuskan:

1. Membentuk Kecamatan Bagan Sinembah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bengkalis, yang meliputi wilayah: a. Desa Bagan Batu; b. Desa Simpang Kanan; c. Desa Bagan Sinembah; d. Desa Pasir Putih; e. Desa Bahtera Makmur; f. Desa Balai Jaya; g. Desa Balam Sempurna.

2. Wilayah Kecamatan Bagan Sinembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), semula merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kubu. Dengan dibentuknya Kecamatan

22

(40)

Bagan Sinembah, maka wilayah Kecamatan Kubu dikurangi dengan Kecamatan Bagan Sinembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Berdasarkan musyawarah, mufakat serta dukungan seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Bagan Sinembah yang semula merupakan bagian dari Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis secara resmi terbentuk sebagai suatu kecamatan definitif, tepatnya pada hari rabu, tanggal 4 Januari 1995, yang dipimpin oleh seorang camat yang pertama bernama Drs. H. Wan Achmad Saiful. Dan sebagai hari jadi yang pertama, berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 1995, Kecamatan Bagan Sinembah terdiri dari 15 desa antara lain, desa Bagan Batu, Bagan Sinembah, Bahtera Makmur, Pasir Putih, Balai Jaya, Balam Sempurna, Simpang kanan, Gelora, Pelita, Harapan Makmur, Salak, Panca Mukti, Kencana, Bagan Bakti dan Lubuk Jawi.

Berdasarkan UU No.53 Tahun 1999, tepatnya pada bulan Oktober 1999 Kabupaten Bengkalis beralih menjadi Kabupaten Rokan Hilir. Kabupaten Rokan Hilir dibentuk dari tiga kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih. Negeri-negeri tersebut dipimpin oleh seorang kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Kerajaan Siak. Distrik pertama didirikan Belanda di Tanah Putih pada saat menduduki daerah ini tahun 1890. Setelah Bagan Siapiapi yang dibuka oleh pemukim-pemukim Cina berkembang pesat, Belanda memindahkan pemerintahan kontroleurnya ke kota ini tahun 1901. Sejak itu Belanda membangun kota pelabuhan modern terlengkap di masanya mengimbangi pelabuhan lainnya di selat Malaka.23

23

Ibid.,

(41)

pada Oktober 1999, ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Kabupaten baru di Provinsi Riau yakni Kabupaten Rokan Hilir yang ibukotanya terletak di Bagan Siapiapi.

Kadang-kadang alasan terbentuknya desa tercantum dalam nama desa, dari nama desa dapat diketahui alasan terbentuknya suatu masyarakat desa tertentu.24 Kata Bagan Sinembah sendiri memiliki berasal dari bahasa Melayu. Adapun arti dari kata Bagan adalah tempat, dan kata sinembah, diambil dari nama seorang pendatang dari Sumatera Utara yaitu Janombah, yang kemudian pengucapannya oleh orang Melayu berubah menjadi sinembah. Sehingga dapat disimpulkan secara sederhana bahwa arti dari Bagan Sinembah ialah tempat si Janombah.25

Selain penyebutan kata kepenghuluan, hal lain yang cukup menarik untuk dikaji dari sisi historis ialah mengenai kata Sinembah yang merupakan nama Kecamatan dari desa Bagan Batu sendiri. Jika kita mendengar kata Sinembah maka banyak yang heran dan bertanya-tanya. Mengapa kata sinembah ada dan dijadikan sebagai nama tempat di daerah tersebut, padahal kata Sinembah sendiri erat kaitannya dengan bahasa Batak dari Sumatera Utara, namun nama atau kata tersebut ada di desa Bagan Sinembah yang merupakan kawasan suku Melayu. Itulah hal pertama yang ditanyakan orang ketika mendengar kata sinembah.

Menurut sejarahnya, Bagan Sinembah berasal dari kata Bagan Jasinombah yang artinya tempat pondok persinggahan. Letaknya di sekitar sungai Bagan Sinembah yang populernya merupakan tempat persinggahan masyarakat. Karena jarak yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka, maka bagi orang yang juga membuka serta mengambil hasil hutan di daerah Bagan Sinembah tersebut terpaksa singgah ataupun numpang istirahat di pondok itu, terlebih

24

Op. Cit., hal.11.

25

(42)

bagi masyarakat Kubu di mana pada saat itu jarak tempuh menuju Kubu bisa sampai berhari-hari.

Menurut informasi yang dapat dipercaya bahwa nama Sinembah berasal dari nama Jasinombah Siregar yang merupakan masyarakat dari Tapanuli Selatan yang merantau ke daerah Riau tepatnya di daerah Salak Bagan Sinembah sekarang, ia mulai membuka hutan dan hidup di daerah tersebut dengan memanfaatkan hasil hutan yang seadanya serta membangun sebuah pondok atau gubuk gubuk didekatnya sebagai tempat tinggalnya. Pada saat daerah itu sudah mulai ramai dikunjungi orang maka Jasinombah tidak berada di tempat atau menghilang secara misterius, yang secara positif beliau tidak diketahui oleh orang lagi keberadaannya dan saat itu masih zaman penjajahan Belanda lebih kurang sekitar abad ke-19 daerah tersebut disebut kepenghuluan Hulu Kubu dan Penghulunya bernama Penghulu Gundah, Hulu Kubu tersebut masih dalam wilayah Kecamatan Kubu.26

2.2Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kec. Bagan Sinembah sebelum Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit

Sebelum dibukanya perkebunan kelapa sawit dengan program pemerintah, daerah ini merupakan daerah yang sepi dan sangat sulit dijangkau karena jalur transportasinya yang belum memadai. Menurut informasi, masyarakat yang mendiami daerah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan setelah berkembangnya perkebunan kelapa sawit.27

26

Darsono, Sejarah Bagan Sinembah: Bagan Sinembah Kota Sawit (Hari Jadi Kecamatan Bagan Sinembah ke-17), Bagan Batu, 2012.

27

Op. Cit., Bapak Muktar Waslin

(43)

Sigambal dan lain sebagainya) karena menurut jarak, mereka lah yang paling dekat dengan wilayah Bagan Sinembah, yang terdiri dari orang-orang Jawa, Tapanuli, baik Selatan maupun Utara dan orang-orang Melayu yang merupakan penduduk asli daerah ini. Kebanyakan mereka lebih memilih tinggal di daerah Kubu. Pada saat itu belum ditentukan batas wilayah antara Provinsi Riau dengan Provinsi Sumatera Utara sehingga untuk menjaga keamanan maka dikirimlah utusan dari Kodam yang berada di Pulau Jawa ke daerah Bagan Sinembah yang kemudian menjadi penduduk lokal di daerah ini.28

Karena hasil hutan di daerah ini cukup baik seperti adanya kayu damar, gaharu, rotan dan jenis kayu lainnya yang dianggap bernilai dan dibutuhkan sampai ke luar negeri maka mulai dibuka perusahaan balok di sekitar daerah tersebut. Dibukanya perusahaan balok, maka mulailah dirintis jalan sebagai jalur transportasi atau pengangkutan balok-balok tersebut yang dikenal dengan jalan balok. Kondisi tanahnya juga masih memprihatinkan terdiri dari tanah merah, yang berlumpur ketika musim hujan sehingga tidak jarang truk lengket di dalamnya dan berabu ketika musim kemarau. Sebelum adanya jalan balok ini, Mereka bermata pencaharian sebagai pencari ikan, berdagang dan mengambil hasil hutan seperti damar, rotan, gaharu dan lain sebagainya. Pada saat itu Bagan Sinembah merupakan penghasil hutan rotan (Rotan Batu, Rotan Sogo, Rota Dahanan) yang bisa dikatakan cukup baik sehingga sampai mengekspor ke luar negeri seperti Singapura dan penghasil Jernang, damar mata kucing yang diolah menjadi pewarna kain atau pakaian yang sekarang disebut wanted. Selain itu, mereka juga berkebun, tetapi hanya sebatas pemenuhan kebutuhan pangan seperti menanam padi, ubi, jagung dan lain sebagainya.

28

(44)

orang Sumatera Utara yang hendak ke daerah Bagan Sinembah ini harus ke Tasik terlebih dahulu. Tasik merupakan perkumpulan kayu balok yang dijadikan sebagai tempat penyeberangan. Ketika orang hendak ke Bagan Sinembah dari arah Sumatera Utara maka harus ke hulu Kota Pinang terlebih dahulu dengan naik boat menyeberang selama kurang lebih 2 jam kemudian melewati jalan darat lagi hingga sampai ke daerah Bagan Sinembah.29 Begitulah keadaan transportasi saat itu, ketika perkebunan kelapa sawit belum berkembang.

Seiring perkembangannya, masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mulai membuka hutan serta membuka perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit dan karet dengan kualitas yang rendah. Masyarakat yang membuka perkebunan tersebut ada yang menetap dan adapula yang tidak menetap. Mereka masih berpindah-pindah dan mencari daerah yang dianggapnya lebih baik karena pada saat itu daerah Bagan Sinembah masih sangat sepi dan bagi sebagian orang dianggap tidak memungkinkan untuk membawanya ke taraf kehidupan yang lebih baik sehingga mereka menjual lahan mereka dan bahkan meninggalkannya begitu saja. Inilah yang di kemudian hari menjadi salah satu penyebab adanya konflik kepemilikan tanah di daerah ini. Bagi masyarakat yang menetap di daerah tersebut, mereka dengan sabar merawat pertanian mereka, walaupun hasil yang didapatkan belum memadai akibat belum terampilnya mereka dalam berkebun dan bibit yang digunakan pun masih berkualitas rendah. Terbukti, kesabaran mereka membuahkan hasil. Lambat laun perkebunan semakin berkembang sehingga mereka berhasil meningkatkan taraf kehidupan mereka melalui perekonomian pertanian kelapa sawit ini.

29

(45)

2.2.1 Tingkat Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan “figur pengelola” di kalangan petani.30 Sebelum dibukanya pertanian kelapa sawit, tingkat pendidikan masyarakat yang mendiami daerah ini masih rendah dan bahkan tidak pernah mengecap pendidikan secara formal di sekolah sama sekali. Hanya beberapa orang yang lulusan SMA, yakni masyarakat dari Sumatera Utara yang bekerja di PTP IV Gunung Pamela.31

30

Bahtiar Saleh Abbas dan Burhani Syah, Beberapa aspek sosial ekonomi petani kelapa sawit proyek pengembangan perkebunan rakyat Sumatera Utara, Buletin BPP Medan, 1981, 12 (1), hlm 23-25.

31

Awalnya, yang menjadi perusahaan inti dari perkebunan rakyat di desa Bagan Sinembah adalah PTP IV Gunung Pamela, Sumatera Utara.

(46)

BAB III

SEJARAH PERTANIAN KELAPA SAWIT RAKYAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH

Sebelum membahas sejarah pertanian kelapa sawit rakyat di Kecamatan Bagan Sinembah, ada baiknya dibahas sejarah atau pun riwayat kedatangan kelapa sawit di Indonesia terlebih dahulu. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Walaupun demikian, ada yang mengatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika.32

Istilah kelapa mungkin dimaksudkan sebagai istilah umum untuk jenis palem. Meskipun demikian, perkataan sudah ada sejak lama. Beberapa tempat (desa di Pulau Jawa) sudah ada yang menggunakan nama “sawit” sebelum kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848 yang ditanam di Kebun Raya Bogor. Dalam bahasa Jawa Kawi “sawit” artinya siedhakep, kalung. Nama lain dalam bahasa Jawa adalah kelapa sewu dan dalam bahasa Sunda sering disebut sebagai salak minyak atau kelapa ciung.

Meskipun kelapa sawit bukanlah tanaman asli Indonesia, namun kenyataannya tanaman ini mampu hadir, tumbuh dan berkembang dengan baik di luar daerah asalnya termasuk di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas perkebunan yang handal. Awalnya, kelapa sawit di Indonesia dijadikan sekedar tanaman hias langka di Kebun Raya Bogor, dan sebagai tanaman penghias jalanan atau pekarangan.

33

32

Ir. Yan Fauzi, dkk, Kelapa sawit: Budi daya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran, Jakarta: Penebar Swadaya, 2002, hlm. 1.

33

(47)

Tahun 1848¸ Pemerintah Kolonial Belanda pertama kali memperkenalkan tanaman kelapa sawit di Indonesia dengan mendatangkan empat batang bibit kelapa sawit dari Mauritius dan Amsterdam yang kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor. Selanjutnya hasil anakannya dipindahkan ke Deli, Sumatera Utara. Di tempat ini, selama beberapa puluh tahun, kelapa sawit yang telah berkembang biak hanya berperan sebagai tanaman hias di sepanjang jalan di Deli sehingga potensi yang sesungguhnya belum kelihatan.34

Melihat hal tersebut, pemerintah kolonial Belanda yang mengetahui lebih banyak tentang sisi ekonomis kelapa sawit, berupaya menarik minat masyarakat Indonesia terhadap pengusahaan tanaman kelapa sawit. Beberapa percobaan penanaman kelapa sawit yang disertai dengan kegiatan penyuluhan dilakukan di Muara Enim tahun 1869, Musi Hulu tahun 1870 dan di Belitung tahun 1890.35

Tanaman kelapa sawit ini mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Orang yang merintis usaha ini adalah Adrien Hallet, seorang Belgia yang telah belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Ia mengusahakan perkebunan kelapa sawitnya di Sungai Liput (Aceh) dan Pulu Radja (Asahan). Rintisan Hallet ini kemudian diikuti oleh K. Schadt, seorang Jerman yang mengusahakan perkebunannya di daerah Tanah Itan Ulu di Deli. Dan budidaya kelapa sawit yang diusahakan secara komersial oleh A. Hallet ini

Dan hasilnya ternyata belum memuaskan, masyarakat pekebun masih belum yakin terhadap prospek ekonomis perkebunan kelapa sawit sehingga peranan kelapa sawit belum berubah yakni hanya sebagai tanaman hias di jalanan.

34

Tim Penulis PS, Kelapa Sawit: Usaha Budidaya, Pemanfaatan Hasil, dan Aspek Pemasaran,

Jakarta: Penebar Swadaya, 1997, hlm.2-3.

35

(48)

kemudian diikuti oleh K. Schadt, yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang.

Pada masa penjajahan Belanda, perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang lokasinya hanya ada di pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh ini berkembang dengan pesat. Awalnya, perkebunan-perkebunan kelapa sawit tersebut dimiliki oleh perorangan. Dalam perkembangannya, usaha perkebunan perorangan ini tergeser dan akhirnya tergantikan oleh perusahaan perkebunan asing milik swasta Belanda, Prancis dan Belgia yang bermodal besar. Masa pendudukan Jepang, luas areal dan produksi perkebunan kelapa sawit di Indonesia menurun drastis. Bahkan menjelang tahun 1943, pemerintahan Pendudukan Jepang menghentikan secara keseluruhan produksi perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemerintah Pendudukan jepang yang lebih mengutamakan tanaman pangan untuk keperluan logistik perang dibandingkan tanaman perkebunan atau industri.

(49)

Setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia pada 10 Desember 1957, pemerintah mengambil alih atau menasionalisasikan perkebunan asing yang ada di Indonesia dengan alasan politik dan keamanan. Pemerintah menempatkan perwira-perwira militer di setiap jenjang manajemen perkebunan yang bertujuan mengamankan jalannya produksi. Pemerintah juga membentuk BUMIL (buruh militer) yang merupakan wadah kerjasama antara buruh perkebunan dengan militer.

Memasuki pemerintahan orde baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagai penghasil devisa Negara. Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai tahun 1980 luas lahan mencapai 294.560 ha. Sejak saat itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program perkebunan inti rakyat perkebunan (PIR-Bun).

(50)

Di atas telah diuraikan bagaimana sejarah kedatangan kelapa sawit sampai ke Indonesia bagaimana dimulainya perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang awalnya hanya sebagai tanaman hias di jalan. Di Kecamatan Bagan Sinembah sendiri, perkebunan kelapa sawit ini dimulai dengan adanya program pemerintah di desa Bagan Sinembah yang merupakan cikal bakal dari kecamatan Bagan Sinembah sekarang yakni dengan adanya pola PIR. Awalnya desa Bagan Sinembah merupakan kawasan hutan. Walaupun dikatakan kawasan hutan, namun ada juga beberapa masyarakat yang tinggal di daerah ini yang bisa dikatakan mencoba-coba menanam kelapa sawit dan karet, dengan kualitas bibit yang rendah dan hasilnya juga tentu rendah. Kala itu tidak banyak yang tertarik untuk menanam kelapa sawit di daerah ini terlebih suku aslinya yakni suku Melayu yang lebih memilih tinggal di daerah Kubu dari pada di desa Bagan Sinembah karena daerah tersebut pada saat itu masih sepi dan perkebunan kelapa sawit pun saat itu dianggap tidak menjanjikan.

3.1 PIR (Perkebunan Inti Rakyat)

(51)

orang tersebut menjadi petani pekebun yang professional dengan kata lain menjadi tuan di tanahnya sendiri.36

Sejak tahun 1967 pengusahaan perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh dua perusahaan yaitu perusahaan perkebunan Negara dan perusahaan perkebunan swasta. Pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR-BUN merupakan salah satu bagian pembangunan ekonomi nasional serta regional yang pada dasarnya menjadi sumber devisa Negara di samping minyak dan gas bumi. Pembangunan perkebunan rakyat tersebut diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan petani serta berpengaruh juga terhadap peningkatan devisa Negara. Oleh karena itu, dalam usaha meningkatkan perekonomian petani tersebut, diperlukan kerja keras atau bantuan dari pemerintah dalam usaha mengubah pola hidup petani dari pola usaha tani yang berpindah-pindah ke pola usaha tani yang menetap.

Agar pengelolaan usahatani tersebut dapat berjalan dengan baik, maka perlu upaya peningkatan ekonomi petani plasma melalui berbagai kegiatan berupa pembinaan, bimbingan dan penyuluhan serta bantuan kemudahan untuk memperoleh kredit dan fasilitas-fasilitas lainnya sehingga pendapatan petani plasma meningkat. Dalam pola PIR, perusahaan perkebunan besar ditugaskan sebagai pembina, salah satu alasannya adalah bahwa produktivitas perkebunan besar jauh di atas perkebunan rakyat. Oleh karena itu, pemindahan teknologi dari perkebunan besar ke perkebunan rakyat dapat lebih meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat. Dengan kata lain, dengan digunakannya teknologi modern perkebunan besar oleh perkebunan rakyat, maka penghasilan petani kecil dapat ditingkatkan.

36

(52)

Dominasi perusahaan perkebunan atas kelapa sawit ini berakhir pada tahun 1975 yakni pada saat masyarakat tani di Aek Nabara, Labuhan Batu, Sumatera Utara diberi kesempatan untuk membudidayakan kelapa sawit dengan menjadi peserta Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU).37

Kehadiran pola PIR ini membawa harapan yang baru bagi pembangunan perkebunan di Indonesia khususnya perkebunan rakyat. Karena pada saat itulah, untuk pertama kalinya dalam sejarah perkebunan di Indonesia, perusahaan perkebunan yang bermodal besar baik perusahaan Negara maupun swasta bekerja sama dengan petani-pekebun yang bermodal kecil yang bisa dikatakan dengan perkebunan rakyat. Bekerja sama yang dimaksud adalah dimana perkebunan yang bermodal besar berperan sebagai inti, sedangkan petani-pekebun dan peserta proyek sebagai plasma. Perusahaan inti bertugas membina kemampuan teknis budidaya dan manajemen para petani plasma juga berkewajiban membeli seluruh hasil perkebunan petani plasma, begitu juga sebaliknya, petani plasma berkewajiban untuk Pola PIR merupakan salah satu dari pola pengembangan perkebunan rakyat. Pola Perkebunan Inti Rakyat ini mulai dirancang pada tahun 1974/1975 dan diperkenalkan dalam bentuk Proyek NES/PIR-BUN di daerah perkebunan mulai pada tahun 1977/1978 yaitu PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan PIR Trans. Sejak tahun 1984, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 853 tahun 1984, pengembangan perkebunan besar kelapa sawit dilakukan dengan pola PIR. Kemudian tahun 1986, sesuai dengan Inpres Nomor 1 tahun 1986 telah ditetapkan bahwa pengembangan perkebunan dengan pola PIR harus dikaitkan dengan program transmigrasi.

37

(53)

menjual seluruh hasil kebun plasma kepada perusahaan inti. Selain itu, petani plasma juga diharuskan untuk memelihara kebun plasma sesuai dengan bimbingan teknis budidaya yang telah diberikan oleh perusahaan inti.

Pemerintah berharap dengan adanya pola PIR ini, kedua pihak yang terkait di dalamnya yakni perusahaan inti dan petani plasma dapat bekerja sama dengan baik, dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi artinya mereka dapat saling membutuhkan dan saling memberi keuntungkan. Agar seluruh masyarakat pekebun di Indonesia terlebih di desa Bagan Batu dapat terbantu dalam segi ekonomi sehingga mereka dapat meningkatkan taraf kehidupan keluarga mereka dengan adanya pola PIR ini. Apabila dengan bimbingan yang baik, maka produktivitas perkebunan kelapa sawit pola PIR ini diharapkan sama atau hampir sama dengan perkebunan besar.

(54)

Jika dilihat dari sumber dana dan peserta proyek, Proyek NES/PIR-BUN terdiri dari empat model PIR yakni PIR-Lokal, PIR-Khusus, PIR-Berbantuan, dan PIR-Trans. Pada bentuk pola PIR yang pertama yakni PIR-Lokal ini, sumber dananya berasal dari Bank Dunia, pesertanya adalah penduduk setempat dan lokasinya pun di sekitar perkebunan yang sudah ada. Pola yang pertama ini berbeda dengan pola Khusus, bantuan, dan PIR-Trans. Perbedaannya terletak pada penyediaan tanaman pangan dan lahan pekarangan termasuk rumah yang tidak diberikan atau disediakan kepada petani peserta melainkan hanya tanaman pokok seluas 2 ha. Menurut analisa penulis, hal ini terjadi karena peserta pada pola ini berasal dari penduduk setempat yang dianggap telah memiliki rumah dan tanaman pangan di sekitar perkebunannya, yang berbeda jauh dengan peserta PIR-khusus, PIR-bantuan dan PIR-Trans yang merupakan bukaan baru dan pesertanya merupakan para transmigran yang berasal dari pulau Jawa.

(55)

Kelahiran pola PIR Trans ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) nomor 1 tahun 1986, tentang perkembangan perkebunan dengan pola PIR yang dikaitkan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Ada empat hal atau pertimbangan yang melatarbelakangi diterapkannya pola PIR-Trans ini yaitu untuk meningkatkan produksi komoditas non-migas, meningkatkan pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah, dan menunjang keberhasilan program transmigrasi. Selain itu di dalam pola PIR-Trans ini dikenal pula beberapa jenis proyek mengenai PIR, seperti proyek PIR-akselerasi, yaitu proyek PIR-perkebunan yang dikembangkan di pemukiman transmigrasi yang sudah ada, yang merupakan atas permintaan para transmigran pada lahan usaha yang seluas 1 ha, terdiri dari 0,50 tanaman pangan dan 0,50 lahan pekarangan, pesertanya merupakan transmigran dan transmigran yang berasal dari penduduk setempat atau bisa dikatakan transmigran yang sudah lama tinggal di daerah bersangkutan serta telah menjadi penduduk setempat.

(56)

Tabel 2

Kriteria dari pola PIR

No Kriteria PIR-Lokal PIR-Khusus

PIR-Bantuan

PIR-Trans

1 Tanaman pokok 2 ha 2 ha 2 ha 2 ha 2 Tanaman pangan 0 ha 0,75 ha 0,75 ha 0,50 ha 3 Lahan Pekarangan 0 ha 0,25 ha 0,25 ha 0,50 ha 4 Peserta Penduduk lokal Transmigran Penduduk

lokal

Bukaan baru Bukaan baru Bukaan baru

7 Sumber dana Bank dunia Swadana Bantuan Luar negeri

Kredit Khusus

Sumber: Buku Perkebunan dari NES ke PIR oleh Rofiq Ahmad. Hal 31.

*

APPDT adalah transmigran yang berasal dari penduduk setempat

(57)

dan perumahan atau yang lebih dikenal dengan istilah konversi, dilakukan pada saat kebun mulai menghasilkan. Selama menunggu konversi, para petani peserta berstatus sebagai karyawan kebun inti. Dan selama masa tunggu ini merupakan masa yang sangat penting dilihat dari segi pengembangan sumber daya manusia, khususnya dalam pengembangan kemampuan petani peserta dalam hal berkebun kelapa sawit yang baik, sesuai dengan petunjuk perkebunan inti. Kemudian, pada saat kebun mulai menghasilkan, para petani peserta mulai membayar utang-utang mereka berupa seluruh biaya yang menyangkut pengembangan unit kebun serta lahan tambahan kepada pemerintah. Karena pola ini merupakan program pemerintah untuk meningkatkan taraf perekonomian petani kecil maka, pembayarannya pun sangat meringankan para petani peserta yakni berupa cicilan perbulan dan cicilan perbulam ini pun diperoleh dari 30% pendapatan dari hasil perkebunannya dengan masa tenggang yang cukup panjang.

(58)

Di Kecamatan Bagan Sinembah, Perkebunan Inti rakyat ini dimulai masa penanamannya sekitar tahun 1981 yang dikenal dengan istilah PIR-Lokal dengan luas areal perkebunan 4.703 Ha dan jumlah peserta sebanyak 2.354. Karena begitu luasnya daerah PIR-lokal yang akan dijadikan sebagai areal perkebunan kelapa sawit maka masa penanamannya dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilakukan pada tahun 1981-1982 seluas 508 Ha dengan peserta sebanyak 254, tahap kedua pada tahun 1982-1983 seluas 1000 Ha dan pesertanya berjumlah 500 orang, tahun 1983-1984 yang merupakan tahap ketiga dibuka perkebunan kelapa sawit seluas 1.228 Ha dan pesertanya sebanyak 614 orang dan tahap terakhir pada tahun 1984-1985 sebanyak 986 peserta dengan luas areal penanaman sekitar 1.967 Ha.38

Selain PIR-Lokal, pada tahun 1983-1984 mulai pula dibuka PIR-khusus di daerah ini yakni sekitar daerah paket A dan B, luas areal perkebunannya 1000 Ha dengan 500 peserta.

Di dalam Perkebunan inti rakyat lokal ini, sudah tentu yang menjadi pesertanya adalah penduduk lokal, baik yang tanahnya terkena pembangunan PIR maupun yang tidak atau petani yang dikaitkan dengan lokasi yang bersedia bergabung menjadi petani plasma serta peladang berpindah dari kawasan hutan terdekat. Pada saat itu, kebanyakan yang menjadi penduduk lokal di daerah ini adalah penduduk yang berasal dari Labuhan Batu yang membuka lahan di daerah ini dan ditambah dengan suku asli yakni suku Melayu serta para tentara yang memang khusus didatangkan dari Jawa oleh pemerintah dengan alasan pengamanan. Mereka-mereka inilah yang menjadi peserta PIR lokal ini yang lokasinya sekarang kita kenal dengan sebutan pirdam dan pirlokal di daerah Bagan Batu.

38

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel  4
+4

Referensi

Dokumen terkait

Terapi Komuniti mempunyai kaedah kemahiran vokasional dan hidup bersosialisasi yang menerapkan nilai kerjasama dan dedikasi dengan melatih penghuni menyesuaikan diri dengan

Peningkatan degradasi pada sinar matahari mencapai hingga 99,18% sedangkan pada sinar UV hanya 79,29% selama 120 menit, hal tersebut menunjukkan bahwa energi foton dari sinar

Bagi tersangka yang telah berada dalam proses penahanan penyidik tersangka memiliki hak-hak yang terdapat dalam KUHAP sebagai berikut : Berhak menghubungi

Kenakalan anak setiap tahun meningkat, dapat dilihat pada data terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) dari Direktorat Putusan Pengadilan Negeri

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut: Berdasarkan dari hasil analisis regresi disimpulkan bahwa kompensasi

Jadi pada dasarnya, yang dimaksud dengan Perencanaan atau Planning ini dalam Manajemen adalah menentukan tujuan organisasi dan memutuskan cara yang terbaik untuk

Sedangkan pasal 148, bila putusan denda yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana Narkotika maka pelaku dijatuhi penjara paling lama 20

Jenis penelitian ini adalah Causality merupakan penelitian untuk mengetahui pengaruh antara satu atau lebih variabel bebas (independent variable) terhadap variabel