• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN

3.1 PIR (Perkebunan Inti Rakyat)

Jumlah petani yang terlibat dalam perkebunan rakyat cukup besar dan umumnya merupakan golongan ekonomi rendah. Pemerintah telah berusaha membantu golongan lemah ini, antara lain melalui pengembangan perkebunan rakyat. Melalui proyek ini diharapkan pendapatan petani akan meningkat, petani akan memiliki kebun sendiri, kemudian lahan yang diusahakan petani yang selama ini seolah-olah diterlantarkan akan lebih bermanfaat dan dalam skala nasional akan meningkatkan produksi perkebunan. Selain itu, keikutsertaan seseorang ke dalam perkebunan kelapa sawit pola PIR ini, diharapkan dapat mendorong

orang tersebut menjadi petani pekebun yang professional dengan kata lain menjadi tuan di tanahnya sendiri.36

Sejak tahun 1967 pengusahaan perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh dua perusahaan yaitu perusahaan perkebunan Negara dan perusahaan perkebunan swasta. Pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat pola PIR-BUN merupakan salah satu bagian pembangunan ekonomi nasional serta regional yang pada dasarnya menjadi sumber devisa Negara di samping minyak dan gas bumi. Pembangunan perkebunan rakyat tersebut diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan petani serta berpengaruh juga terhadap peningkatan devisa Negara. Oleh karena itu, dalam usaha meningkatkan perekonomian petani tersebut, diperlukan kerja keras atau bantuan dari pemerintah dalam usaha mengubah pola hidup petani dari pola usaha tani yang berpindah-pindah ke pola usaha tani yang menetap.

Agar pengelolaan usahatani tersebut dapat berjalan dengan baik, maka perlu upaya peningkatan ekonomi petani plasma melalui berbagai kegiatan berupa pembinaan, bimbingan dan penyuluhan serta bantuan kemudahan untuk memperoleh kredit dan fasilitas-fasilitas lainnya sehingga pendapatan petani plasma meningkat. Dalam pola PIR, perusahaan perkebunan besar ditugaskan sebagai pembina, salah satu alasannya adalah bahwa produktivitas perkebunan besar jauh di atas perkebunan rakyat. Oleh karena itu, pemindahan teknologi dari perkebunan besar ke perkebunan rakyat dapat lebih meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat. Dengan kata lain, dengan digunakannya teknologi modern perkebunan besar oleh perkebunan rakyat, maka penghasilan petani kecil dapat ditingkatkan.

36

Dominasi perusahaan perkebunan atas kelapa sawit ini berakhir pada tahun 1975 yakni pada saat masyarakat tani di Aek Nabara, Labuhan Batu, Sumatera Utara diberi kesempatan untuk membudidayakan kelapa sawit dengan menjadi peserta Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU).37

Kehadiran pola PIR ini membawa harapan yang baru bagi pembangunan perkebunan di Indonesia khususnya perkebunan rakyat. Karena pada saat itulah, untuk pertama kalinya dalam sejarah perkebunan di Indonesia, perusahaan perkebunan yang bermodal besar baik perusahaan Negara maupun swasta bekerja sama dengan petani-pekebun yang bermodal kecil yang bisa dikatakan dengan perkebunan rakyat. Bekerja sama yang dimaksud adalah dimana perkebunan yang bermodal besar berperan sebagai inti, sedangkan petani-pekebun dan peserta proyek sebagai plasma. Perusahaan inti bertugas membina kemampuan teknis budidaya dan manajemen para petani plasma juga berkewajiban membeli seluruh hasil perkebunan petani plasma, begitu juga sebaliknya, petani plasma berkewajiban untuk Pola PIR merupakan salah satu dari pola pengembangan perkebunan rakyat. Pola Perkebunan Inti Rakyat ini mulai dirancang pada tahun 1974/1975 dan diperkenalkan dalam bentuk Proyek NES/PIR-BUN di daerah perkebunan mulai pada tahun 1977/1978 yaitu PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan PIR Trans. Sejak tahun 1984, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 853 tahun 1984, pengembangan perkebunan besar kelapa sawit dilakukan dengan pola PIR. Kemudian tahun 1986, sesuai dengan Inpres Nomor 1 tahun 1986 telah ditetapkan bahwa pengembangan perkebunan dengan pola PIR harus dikaitkan dengan program transmigrasi.

37

P3RSU merupakan bagian dari pola pembangunan perkebunan rakyat yang dikenal dengan nama Unik Pelaksana Proyek (UPP) dan pada proyek tersebut tiap petani peserta mendapat jatah tanah seluas 2 ha

menjual seluruh hasil kebun plasma kepada perusahaan inti. Selain itu, petani plasma juga diharuskan untuk memelihara kebun plasma sesuai dengan bimbingan teknis budidaya yang telah diberikan oleh perusahaan inti.

Pemerintah berharap dengan adanya pola PIR ini, kedua pihak yang terkait di dalamnya yakni perusahaan inti dan petani plasma dapat bekerja sama dengan baik, dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi artinya mereka dapat saling membutuhkan dan saling memberi keuntungkan. Agar seluruh masyarakat pekebun di Indonesia terlebih di desa Bagan Batu dapat terbantu dalam segi ekonomi sehingga mereka dapat meningkatkan taraf kehidupan keluarga mereka dengan adanya pola PIR ini. Apabila dengan bimbingan yang baik, maka produktivitas perkebunan kelapa sawit pola PIR ini diharapkan sama atau hampir sama dengan perkebunan besar.

PIR-Perkebunan yang pertama dilaksanakan adalah melalui Nucleus Estate Smallholder Project yang lebih dikenal dengan proyek NES dengan pembiayaan yang bersumber dari Bank Dunia. Proyek NES-I dilaksanakan mulai tahun 1977 di dua lokasi yaitu Alue Merah, Aceh dan Tabenan, Sumatera Selatan. Proyek NES ini dilaksanakan di berbagai daerah sampai dengan NES-V. Sejak saat itu pola PIR di bidang perkebunan berkembang hampir ke seluruh pelosok tanah air, terutama di daerah-daerah yang memiliki potensi untuk perkebunan dan salah satunya terletak di daerah Riau tepatnya di desa Bagan Sinembah, kemudian dikembangkan proyek PIR-khusus yang dipadukan dengan penyelenggaraan program pemerintah yakni program transmigrasi. Selanjutnya PIR-khusus lebih dimantapkan dengan Inpres No.1 Tahun 1986 yang diberi nama PIR-Transmigrasi

Jika dilihat dari sumber dana dan peserta proyek, Proyek NES/PIR-BUN terdiri dari empat model PIR yakni PIR-Lokal, PIR-Khusus, PIR-Berbantuan, dan PIR-Trans. Pada bentuk pola PIR yang pertama yakni PIR-Lokal ini, sumber dananya berasal dari Bank Dunia, pesertanya adalah penduduk setempat dan lokasinya pun di sekitar perkebunan yang sudah ada. Pola yang pertama ini berbeda dengan pola PIR-Khusus, PIR-bantuan, dan PIR- Trans. Perbedaannya terletak pada penyediaan tanaman pangan dan lahan pekarangan termasuk rumah yang tidak diberikan atau disediakan kepada petani peserta melainkan hanya tanaman pokok seluas 2 ha. Menurut analisa penulis, hal ini terjadi karena peserta pada pola ini berasal dari penduduk setempat yang dianggap telah memiliki rumah dan tanaman pangan di sekitar perkebunannya, yang berbeda jauh dengan peserta PIR-khusus, PIR-bantuan dan PIR-Trans yang merupakan bukaan baru dan pesertanya merupakan para transmigran yang berasal dari pulau Jawa.

PIR-Bantuan merupakan suatu pola PIR, di mana pesertanya adalah para petani di sekitar proyek yang tanahnya terkena pembangunan PIR, atau petani yang dikaitkan dengan lokasi yang bersedia bergabung menjadi petani plasma, lokasi perkebunannya merupakan bukaan baru sehingga pemerintah menyediakan tanaman pangan dan lahan pekarangan seluas 1 ha dan sumber dananya berasal dari bantuan luar negeri. Kemudian Pola PIR-Khusus, merupakan suatu pola yang pesertanya adalah penduduk baru, yang didatangkan dari Pulau Jawa melalui program transmigrasi dan sumber dananya swadana atau PIR-Swadana, yaitu pola PIR dengan sumber dana dalam negeri dan lokasinya juga merupakan bukaan baru. Selanjutnya PIR-khusus, yang lebih dimantap-kembangkan dengan pola PIR-Trans.

Kelahiran pola PIR Trans ditandai dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) nomor 1 tahun 1986, tentang perkembangan perkebunan dengan pola PIR yang dikaitkan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Ada empat hal atau pertimbangan yang melatarbelakangi diterapkannya pola PIR-Trans ini yaitu untuk meningkatkan produksi komoditas non-migas, meningkatkan pendapatan petani, membantu pengembangan wilayah, dan menunjang keberhasilan program transmigrasi. Selain itu di dalam pola PIR-Trans ini dikenal pula beberapa jenis proyek mengenai PIR, seperti proyek PIR-akselerasi, yaitu proyek PIR-perkebunan yang dikembangkan di pemukiman transmigrasi yang sudah ada, yang merupakan atas permintaan para transmigran pada lahan usaha yang seluas 1 ha, terdiri dari 0,50 tanaman pangan dan 0,50 lahan pekarangan, pesertanya merupakan transmigran dan transmigran yang berasal dari penduduk setempat atau bisa dikatakan transmigran yang sudah lama tinggal di daerah bersangkutan serta telah menjadi penduduk setempat.

Seperti halnya PIR-BUN sebelumnya, PIR Trans juga terdiri dari dua komponen yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yaitu perusahaan inti dan petani peserta. Perusahaan inti ditetapkan dengan SK Menteri Pertanian sedangkan penentuan calon petani peserta dilakukan oleh Menteri Transmigrasi dan Pemerintah Daerah berdasarkan syarat- syarat yang telah ditentukan oleh Menteri Pertanian. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel di bawah ini.

Tabel 2

Kriteria dari pola PIR

No Kriteria PIR-Lokal PIR-Khusus PIR-

Bantuan

PIR-Trans

1 Tanaman pokok 2 ha 2 ha 2 ha 2 ha 2 Tanaman pangan 0 ha 0,75 ha 0,75 ha 0,50 ha 3 Lahan Pekarangan 0 ha 0,25 ha 0,25 ha 0,50 ha 4 Peserta Penduduk lokal Transmigran Penduduk

lokal

Transmigran dan APPDT*

5 Rumah (m2) Tidak ada 36 36 36

6 Lokasi Sekitar perkebunan yang sudah ada

Bukaan baru Bukaan baru Bukaan baru

7 Sumber dana Bank dunia Swadana Bantuan Luar negeri

Kredit Khusus

Sumber: Buku Perkebunan dari NES ke PIR oleh Rofiq Ahmad. Hal 31.

*

APPDT adalah transmigran yang berasal dari penduduk setempat

Dalam pola PIR, fasilitas umum seperti jalan, sekolah, rumah ibadah, klinik dan lain- lain juga merupakan bagian dari proyek. Lahan kebun inti berstatus Hak Guna Usaha (HGU), sedangkan kebun plasma beserta lahan tambahannya menjadi hak milik petani peserta, lengkap dengan sertifikat tanah. Penyerahan unit-unit kebun plasma berupa lahan pangan,

dan perumahan atau yang lebih dikenal dengan istilah konversi, dilakukan pada saat kebun mulai menghasilkan. Selama menunggu konversi, para petani peserta berstatus sebagai karyawan kebun inti. Dan selama masa tunggu ini merupakan masa yang sangat penting dilihat dari segi pengembangan sumber daya manusia, khususnya dalam pengembangan kemampuan petani peserta dalam hal berkebun kelapa sawit yang baik, sesuai dengan petunjuk perkebunan inti. Kemudian, pada saat kebun mulai menghasilkan, para petani peserta mulai membayar utang-utang mereka berupa seluruh biaya yang menyangkut pengembangan unit kebun serta lahan tambahan kepada pemerintah. Karena pola ini merupakan program pemerintah untuk meningkatkan taraf perekonomian petani kecil maka, pembayarannya pun sangat meringankan para petani peserta yakni berupa cicilan perbulan dan cicilan perbulam ini pun diperoleh dari 30% pendapatan dari hasil perkebunannya dengan masa tenggang yang cukup panjang.

Adapun syarat-syarat masuk menjadi peserta PIR di Kecamatan Bagan Sinembah ini tidak berbeda dengan syarat pada peserta PIR pada umumnya, yaitu KTP, Surat nikah, dan KK, hanya saja yang membedakan adalah asal pesertanya. Untuk masuk ke dalam program PIR ini, calon peserta harus terlebih dahulu mengajukan surat permohonan menjadi peserta proyek perkebunan kepada Direktorat Jenderal Perkebunan. Ketika calon peserta sudah memenuhi syarat, maka Dirjen Perkebunan membuat surat persetujuan. Kemudian diadakanlah suatu kontrak kerja berupa surat perjanjian yang berisi tentang hak dan kewajiban petani peserta dengan perkebunan inti. Setelah itu, petani peserta membuat surat pernyataan menyangkut persetujuan serta kesediaannya mengikuti perjanjian tersebut, sehingga resmilah calon peserta menjadi peserta proyek.

Di Kecamatan Bagan Sinembah, Perkebunan Inti rakyat ini dimulai masa penanamannya sekitar tahun 1981 yang dikenal dengan istilah PIR-Lokal dengan luas areal perkebunan 4.703 Ha dan jumlah peserta sebanyak 2.354. Karena begitu luasnya daerah PIR- lokal yang akan dijadikan sebagai areal perkebunan kelapa sawit maka masa penanamannya dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilakukan pada tahun 1981-1982 seluas 508 Ha dengan peserta sebanyak 254, tahap kedua pada tahun 1982-1983 seluas 1000 Ha dan pesertanya berjumlah 500 orang, tahun 1983-1984 yang merupakan tahap ketiga dibuka perkebunan kelapa sawit seluas 1.228 Ha dan pesertanya sebanyak 614 orang dan tahap terakhir pada tahun 1984-1985 sebanyak 986 peserta dengan luas areal penanaman sekitar 1.967 Ha.38

Selain PIR-Lokal, pada tahun 1983-1984 mulai pula dibuka PIR-khusus di daerah ini yakni sekitar daerah paket A dan B, luas areal perkebunannya 1000 Ha dengan 500 peserta.

Di dalam Perkebunan inti rakyat lokal ini, sudah tentu yang menjadi pesertanya adalah penduduk lokal, baik yang tanahnya terkena pembangunan PIR maupun yang tidak atau petani yang dikaitkan dengan lokasi yang bersedia bergabung menjadi petani plasma serta peladang berpindah dari kawasan hutan terdekat. Pada saat itu, kebanyakan yang menjadi penduduk lokal di daerah ini adalah penduduk yang berasal dari Labuhan Batu yang membuka lahan di daerah ini dan ditambah dengan suku asli yakni suku Melayu serta para tentara yang memang khusus didatangkan dari Jawa oleh pemerintah dengan alasan pengamanan. Mereka-mereka inilah yang menjadi peserta PIR lokal ini yang lokasinya sekarang kita kenal dengan sebutan pirdam dan pirlokal di daerah Bagan Batu.

38

Sama halnya seperti PIR-Lokal, mengenai areal lahan perkebunan kelapa sawit yang terlalu luas maka pengerjaannya juga dilakukan secara bertahap. Tahap kedua dikerjakan pada tahun 1984-1985, sekitar 2.488 Ha lahan yang dibuka sebagai lahan perkebunan kelapa sawit di daerah paket C sampai paket H dengan 1.244 peserta. Peserta PIR-sus ini terdiri dari masyarakat yang sengaja didatangkan dari Pulau Jawa melalui program transmigrasi yang selanjutnya dikenal dengan PIR-Trans.39

Lahan yang digunakan sebagai areal pengembangan Perkebunan Inti Rakyat ini, ada yang berasal dari hutan yang dibuka sendiri oleh pemerintah dan ada pula yang merupakan bekas lahan petani. Mengenai lahan yang sudah diusahakan oleh petani dan masuk ke dalam wilayah PIR maka pemerintah mengganti rugi lahan mereka tetapi hanya sekedar yang dikenal dengan sebutan uang saku hati dan orang yang memiliki lahan tersebut menjadi peserta PIR. Selain itu, karena merasa tidak sanggup mengelola lahan tersebut dan ditambah lagi untuk mendapat lahan pada saat itu sangat mudah tidak seperti sekarang sehingga mereka tidak berfikir panjang untuk memberikan lahannya kepada program PIR, dan sebagai

Sesuai dengan program pemerintah, yakni berupa Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) nomor 1 tahun 1986, tentang perkembangan perkebunan dengan pola PIR yang dikaitkan dengan program transmigrasi yang dikembangkan oleh pemerintah maka pada tahun 1986-1987 mulai dibuka PIR-Trans di daerah ini seluas 2.500 Ha lahan perkebunan kelapa sawit dengan 1.250 peserta yang telah ditentukan oleh pemerintah yakni yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian, yang berasal dari pulau Jawa dan ditempatkan di daerah paket I sampai paket M.

39

imbalannya mereka memasukkan nama-nama anak mereka ke dalam peserta PIR selain daripada uang saku hati yang telah diberikan oleh pemerintah.40

Kemudian pada 1996 terjadi pemecahan menjadi PTPN V. PTPN V berdiri pada 11 Juni 1996 dibentuk melalui PP No. 10/1996 dan akte notaris Harun Kamil, SH No. 38 tahun 1996 yang diperbaharui dengan akte notaris Sri Rahayu Hedi Prasetyo SH No. 01 tanggal 01 Oktober 2002 dan terakhir diperbaharui dengan akte notaris oleh H. Budi Suyono, SH No. 40 tanggal 26 Juni 2009. PTPN V ini berasal dari kebun pengembangan proyek eks PTP-II, eks

Karena untuk dapat menjadi perusahaan inti, PN/PT Perkebunan , PBSN atau PBSA harus berbadan hukum Indonesia dan dinilai pemerintah memiliki kemampuan yang cukup dari segi dana, tenaga dan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai perusahaan inti. Awalnya, yang menjadi perusahaan inti dari perkebunan rakyat di Desa Bagan Sinembah ini adalah PTP IV, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 17 Maret 1979 Nomor 178/kpts/u.m/III/1979 yang menunjuk daerah Riau sebagai daerah pengembangan PTP IV Gunung Pamela. Dengan dikeluarkannya surat Nomor 593/Bun/1174 oleh Gubernur Riau berdasarkan surat yang terlebih dahulu dikirim oleh PTP IV Gn. Pamela pada tanggal 9 Februari 1980 Nomor 04.3/x/07/1980 mengenai areal pengembangan PTP IV di daerah Bagan Sinembah, Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Maka mulailah pembukaan areal perkebunan PTP IV dilakukan dengan luas tanah 25.000 Ha yang terletak di Kecamatan Kubu dan Tanah Putih tersebut.

40

PTP-IV, dan eks PTP-V yang berlokasi di Provinsi Riau dan yang menjadi perusahaan inti dari perkebunan rakyat yang ada di Kecamatan Bagan Sinembah sekarang.41

41

Ibid., Bapak Jayono

Di dalam program PIR ini, selain lahan perkebunan kelapa sawit seluas 2 Ha, setiap petani peserta juga berhak atas lahan pekarangan termasuk rumah seluas 0,25 ha yang telah dibuat oleh pemerintah sehingga peserta tinggal menempati saja dan lahan pangan 0,75 ha. Lahan pangan yang diberikan oleh perusahaan inti ini dapat dimanfaatkan untuk pengusahaan tanaman pangan. Dan lahan pekarangan tersebut diserahkan apabila telah siap dioalah dan rumah telah selesai dibangun di atasnya. Kemudian lahan kebun mulai diserahkan kepada petani plasma apabila tanaman yang diusahakan telah mencapai umur menghasilkan, memenuhi standar fisik yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perkebunan dan petani peserta telah menandatangai akad kredit dari Bank Pemerintah. Lahan pekarangan dan lahan kebun plasma diberikan kepada petani peserta dengan hak milik. Dan sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan tersebut, untuk sementara disimpan di bank pemberi kredit sebagai agunan.

Perusahaan inti berhak atas lahan perkebunan inti. Lahan ini merupakan tanah Hak Guna Usaha (HGU) untuk jangka waktu 35 tahun, dan pada waktu akan berakhir, hak guna tanah tersebut dapat diperpanjang maksimal 25 tahun. Lahan perkebunan inti ini dapat dimanfaatkan untuk kebun inti, emplasemen (satuan bangunan), dan pabrik pengolahan. Perlu dijelaskan bahwa biaya untuk pembangunan kebun inti ini termasuk pengolahannya ditanggulangi oleh perusahaan inti.

Selain hak, perusahaan inti dan petani peserta juga memiliki kewajiban yakni perusahaan inti berkewajiban membangun perkebunan inti lengkap dengan fasilitas pengolahannya yakni PKS (Pabrik Kelapa Sawit) yang dapat menampung hasil kebun inti dan kebun plasma. Melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan petunjuk dan standar fisik yang telah ditetapkan oleh Departemen Pertanian dan Direktur Jenderal Perkebunan. Pembiayaan untuk pembangunan perkebunan plasma juga harus ditanggung terlebih dahulu oleh perusahaan inti, dalam hal ini, pihak bank telah menyediakan kredit investasi dengan bunga untuk pertama kalinya meminjam sebesar 16% per tahun. Besarnya suku bunga ini dapat ditinjau kembali oleh pemerintah sesuai dengan perkembangannya. Dan pada saat kebun plasma diserahkan kepada petani peserta, pembiayaan ini diambil alih oleh bank pemerintah. Pembiayaan yang dimaksud meliputi pembiayaan pembangunan kebun plasma dari tahap persiapan sampai saat penyerahannya kepada petani peserta termasuk bunganya. Perusahaan inti juga bertindak sebagai pelaksana penyiapan lahan pekarangan dan pembangunan rumah petani peserta sesuai dengan petunjuk teknis Departemen Transmigrasi. Memberikan petunjuk teknis budidaya kepada petani peserta sehingga petani mampu mengelola kebun plasamanya dengan baik. Dan membeli seluruh hasil kebun plasma dengan harga beli yang layak dan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan serta membantu proses pengembalian kredit petani peserta.

Adapun yang menjadi kewajiban petani peserta yakni mengusahakan kebun plasmanya sesuai dengan petunjuk teknis budidaya yang diberikan oleh perusahaan inti yang berkaitan dengan penanaman dan pemeliharaan perkebunan serta menjual seluruh hasil kebun plasmanya kepada perusahaan inti dengan harga jual yang sesuai dengan pedoman

Menteri Pertanian serta mengganti biaya pembangunan kebun plasma dengan membayar kredit lunak jangka panjang dari pemerintah yaitu 30% dari pendapatan petani per bulan dan ini dilakukan setelah perkebunan diserahkan oleh perusahaan inti kepada petani peserta atau setelah perkebunan kelapa sawit itu telah menghasilkan sekitar 4-6 tahun sesudah masa penanaman.

Pelaksanaan pembangunan perkebunan pada hakekatnya merupakan tanggung jawab petani sendiri beserta keluarganya, sedangkan pemerintah atau pihak lain sifatnya hanya memberikan bantuan, yang dapat diwujudkan dalam bentuk bimbingan, penyuluhan, kredit modal kerja, sarana produksi dan kemudahan lainnya. Sehingga dalam rangka mewujudkan tanggung jawab tersebut diperlukan upaya untuk merubah perilaku dan memotivasi petani agar bersedia menggunakan teknologi di dalam pengelolaan usaha tani perkebunan mereka. Dengan demikian diharapkan akan terwujud suatu penerapan teknologi yang berdaya guna sehingga pendapatan petani beserta keluarganya dapat ditingkatkan.

Kelompok Tani dan KUD

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, organisasi kelompok tani yang dinamis yakni para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab, sikap displin, keterampilan yang cukup dan kemauan untuk belajar terutama dalam hal yang berkaitan dengan pengelolaan usahataninya sangat diperlukan terutama dalam menggali dan mengelola seluruh sumber daya dan teknologi seoptimal mungkin. Poktan adalah pengorganisasian petani pekebun atas dasar kesadaran dan kepentingan petani untuk mencapai keberhasilan usahataninya. Dalam satu kelompok tani, biasanya anggotanya berjumlah kurang lebih sekitar 22 anggota atau petani peserta. Keberadaan kelompok tani ini terlihat pada saat pengadaan sarana produksi

yang lebih murah, gotong royong dalam perawatan tanaman, pengadaan sarana angkutan hasil, pengolahan serta pemasaran hasil.

Selain diartikan sebagai organisasi atas organisasi dan kepentingan bersama, poktan

juga dimaksudkan sebagai kumpulan petani yang terikat secara informal atas dasar keserasian, kesamaan kondisi lingkungan seperti sosial, ekonomi dan sumber daya,

Dokumen terkait