• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI TERNAK DENGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTEGRASI TERNAK DENGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KELAPA SAWIT

DIDI BUDI WIJONO, LUKMAN AFFANDHY danAINUR RASYID

Loka Penelitian Sapi Potong, Grati-Pasuruan. 67184

ABSTRAK

DIDI BUDI WIJONO, LUKMAN AFFANDHY dan AINUR RASYID. 2003. Integrasi Ternak dengan

Perkebunan Kelapa Sawit. Kelapa sawit merupakan komoditas penghasil minyak nabati dan memiliki peluang strategis utnuk dikembangkan secara nasional dalam upaya peningkatan eksport non- migas dan penerimaan devisa negara. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mangalami mengalami peningkatan areal tanam sebesar 14% per tahun sehingga diperlukan teknologi yang sesuai, khususnya dalam pengelolaan kebun kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit menggunakan lahan yang cukup luas serta tenaga kerja yang banyak, sehingga membutuhkan pegelolaan manajemen yang tepat dan efisien. Peluang integrasi ternak pada perkebunan kelapa sawit cukup besar ditinjau dari teknologi budidaya dan industri kelapa sawit yang akan banyak hasil ikutannya dan potensial sebagai bahan pakan ternak. Lebih dari 80% kegagalan pengelolaan perkebunan sawit disebabkan oleh kesalahan manajemen, antara lain kebutuhan pupuk dan biaya tenaga kerja yang mencapai 30 – 50% dari biaya produksi. Dengan demikian, integrasi ternak dengan kelapa sawit merupakan kinerja simbiosis mutualisme yang tidak memberikan dampak negatif. Salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan kebun kelapa sawit adalah program integrasi dengan usaha peternakan ruminansia seperti sapi potong, sapi perah, kambing dan domba. Dengan adanya program keterpaduan antara ternak dengan kelapa sawit akan terjadi daur ulang sumberdaya local yang tersedia. Hasil samping perkebunan kelapa sawit berupa rumput liar, tanaman leguminosa penutup tanah dan limbah dari pengolahan minyak sawit dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, di samping kotoran ternaknya sangat baik untuk menyediakan unsure hara tanah. Dengan demikian, integrasi ternak ruminansia dengan perkebunan kelapa sawit akan meningkatkan efisiensi biaya pengelolaan kebun, meningkatkan produktivitas buah kelapa sawit dan peningkatan usaha ternaknya. Kata kunci: Kelapa sawit, ternak, integrasi

ABSTRACT

DIDI BUDI WIJONO, LUKMAN AFFANDHY and AINUR R. 2003. Livestock Integration on Oil Palm Plantation. Oil palm is the main commodity of vegetable oils and having strategic opportunity to be improved nationally in the efforts to increase non-oil exports and foreign exchange of the country. Oil palm plantation areas in Indonesia has increased as much as 14% per year so that suitable technologies are needed, especially in management aspects. An oil palm plantation uses wide lands and employs many workers, so that it needs suitable and efficient management. The chance of integrating livestock on the oil palm plantation is considerable from its technological and industrial point of view which will geneate potencial by products for livestock feeds. More than 80% of failure in developing oil palm plantation is caused by mismanagement, such as the needs for fertilizers and labor expenses which reaching 30–50% of total production costs. So, the integration of livestock with oil palm is a mutual symbiolism that causes no negative impacts. An alternative to improve management efficiency of oil palm plantation is an integration program with ruminant animals such as beef cattle, dairy cattle, goats and sheep. By integrating livestock with oil palms, the locally available resources could be recycled. By-products of oil palm plantation such as native grass, cover legumes and wastes from palm oil processing can be used as feedstuffs, in addition to ruminants manure which is good as a fertilizer. Therefore, ruminant integration to oil palm plantation will increase management efficiency of the plantation, productivity of the oil palm, and the ruminants as well.

(2)

PENDAHULUAN

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diandalkan untuk meningkatkan ekspor dan penerimaan devisa negara sehingga memerlukan penanganan dan pengelolaan yang efektif guna peningkatan produktivitasnya. Kelapa sawit adalah tanaman keras sebagai salah satu sumber penghasil minyak nabati yang bermanfaat luas dan memiliki keunggulan dibandingkan minyak nabati lainnya. Demikian pula budidaya kelapa sawit tidak memerlukan teknologi tinggi namun untuk mendapatkan hasil yang maksimal diperlukan pengelolaan yang intensif dan terpadu (ANONIMUS, 2002)

Areal perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1978 mengalami laju perkembangan yang sangat pesat sampai tahun 1999 menjadi 2.975 ribu ha, meningkat sebesar 25 kali lipat. Perkebunan sawit tersebut merupakan usaha perkebunan rakyat yang bermitra dengan perkebunan besar (32,7%), usaha perkebunan besar milik negara (16,6%) dan swasta (50,7%). Perkembangannya didominasi oleh perkebunan rakyat dan swasta, sedangkan perkebunan negara relatif lebih kecil (ANONIMUS,

2003). Perkembangan pertanaman kelapa sawit di Indonesia cukup menggembirakan, yakni 14%/tahun dan akan terus bertumbuh mengingat lahan yang sesuai agroekosistem dan agroklimatnya untuk kelapa sawit masih cukup luas.

Kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit semenjak tahun 1986 mulai dilaksanakan terkait dengan program di bidang transmigrasi dan koperasi dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sejalan dengan perkembangan pentingnya diversifikasi usaha dan sumber pendapatan bagi petani, terbuka kesempatan ternak masuk ke wilayah pengembangan perkebunan yang sampai periode tahun tujuh puluhan masih terlarang.

Peluang alternatif untuk memperbaiki pengelolaan perkebunan kelapa sawit adalah dengan mengintegrasikan usaha peternakan, khususnya ternak ruminansia seperti sapi potong, sapi perah dan domba/kambing (PT PERKEBUNAN II, 1994; DAMANIK, 1994; DITJEN BINA PRODUKSI

PERTERNAKAN, 2002). Dengan demikian, kebutuhan pakan ternak dapat dipenuhi dengan memanfaatkan vegetasi dan hasil samping industri perkebunan kelapa sawit. DIWYANTO et al.

(1996) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara tropis di kawasan katulistiwa dengan areal yang cukup luas, maka persediaan bahan pakan ternak sebetulnya bukan merupakan kendala dalam usaha peternakan sapi potong. Banyak potensi bahan baku pakan lokal yang belum diolah atau dimanfaatkan secara maksimal, antara lain berupa limbah perkebunan seperti pucuk tebu, limbah tanaman pangan seperti jerami, limbah industri meliputi molases, ampas, dedak, bungkil dsb.

Integrasi ternak ke dalam perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan pendekatan konsep LEISA (Low Ekternal Input System Agriculture), di mana ketergantungan antara tanaman perkebunan dan ternak dapat memberi keuntungan pada kedua subsektor tersebut. Oleh karena itu, program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan penerapan teknologi yang tepat/sesuai sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini menjadikan daur ulang “resource driven” sumber daya yang tersedia secara optimal. Hasil samping dari limbah perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dan sisa pakan serta hasil panen yang tidak dapat digunakan untuk pakan dapat didekomposisi menjadi kompos sebagai penyedia unsur hara untuk meningkatkan kesuburan lahan.

Kondisi produktivitas ternak sangat tergantung kepada ketersediaan pakan yang berkualitas untuk mendapatkan produksi yang optimal. Kekurangan zat nutrisi pakan akan mempengaruhi seluruh fungsi faali tubuh, yang mana sampai dengan 95% dipengaruhi oleh faktor lingkungan, termasuk pakan yang diberikan.

(3)

dan permintaan daging. Bila dilihat dari kecenderungan permintaan daging dalam negeri, diperkirakan pada tahun 2000-2001 diperlukan daging sapi sebanyak 670.000 ton yang setara dengan sapi siap potong sebanyak 4.000.000 ekor. Sementara pasokan dari dalam negeri dengan teknologi dan kebijakan yang ada sekarang dan dengan asumsi peningktaan populasi rata-rata 2-3% maka baru akan tersedia 395.000 ton daging atau setara dengan 2.500.000 ekor sapi siap potong (ANONIMUS, 1998).

Prediksi pada tahun 2005 kebutuhan daging yang berasal dari sapi menyumbang pangsa 25,41%. Dengan jumlah penduduk 210,4 juta jiwa dan tingkat pertumbuhan penduduk 1,66%, diperhitungkan kebutuhan daging sapi sebesar 404,2 ribu ton pada tahun 2002 dan 499,0 ribu ton pada tahun 2005. Dengan program reguler, pengembangan peternakan hanya dapat menghasilkan daging sekitar 249,7 ribu ton. Dengan demikian, akan terdapat kesenjangan pasokan sebesar 250 ribu ton daging pada tahun 2005 (ANONIMUS, 2001).

Hal ini sama dengan konsep dasar crop livestock system (CLS), yaitu integrasi sistem padi ternak, dimana petani memelihara ternak pada hamparan padi yang jeraminya diproses untuk pakan sapi dan kotorannya untuk kompos tanaman (ANONIMUS, 2002). Hampir 2/3 dari penduduk miskin di negara-negara berkembang memelihara ternak dan 60% di antaranya bergantung pada sistem tanaman ternak (ILRI, 2000, disitasi HUTABARAT, 2002).

Implementasi program keterpaduan antara perkebunan dan peternakan ini akan dapat mendorong akselerasi/percepatan pembangunan yang terdesentralisasi sesuai semangat Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (DITJEN BINA PRODUKSI PERTERNAKAN,

2002).

Dengan demikian, integrasi antara tanaman kelapa sawit dan ternak diharapkan akan meningkatkan efektivitas pengelolaan kebun kelapa sawit dan meningkatkan produktivitasnya sebagai bahan baku minyak sawit untuk dalam negeri maupun diekspor ke luar negeri. Sedangkan limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan kotoran ternaknya sebagai kompos untuk tanaman kelapa sawit. Dengan demikian, dukungan pakan baik dari limbah kelapa sawit atau rumput di sekitarnya akan dapat memenuhi kebutuhan ternak dengan tujuan penggemukan maupun pembibitan, khususnya di areal perkebunan kelapa sawit, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan karyawan atau petani di sekitar perkebunan, demikian pula dapat meningkatkan populasi ternak sebagai penghasil daging guna memenuhi kebutuhan daging secara nasional.

Konsep integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit disusun sebagai pengembangan konsepsi berorientasi ke depan, terutama dalam menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas. Oleh karena itu, diperlukan penelitian dan masukan dari berbagai pihak.

TUJUAN DAN SASARAN Tujuan

1. Meningkatkan produktivitas perkebunan kelapa sawit yang mendukung pengembangan ternak. 2. Meningkatkan efsiensi tenaga kerja dengan pemanfaatan ternak

3. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekerja perkebunan. 4. Membuka dan meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha.

(4)

5. Memanfaatkan sumber daya lokal untuk pembangunan secara optimal. 6. Mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah.

7. Mendukung pelestarian plasma nutfah dan lingkungan hidup.

Sasaran

1. Strategi pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal melalui sistem dan pola agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.

2. Meningkatkan peran serta masyarakat petani dalam pembangunan perkebunan dan peternakan secara terintegrasi.

POTENSI DAN PERMASALAHAN Perkebunan kelapa sawit

Industri kelapa sawit terdiri dari beberapa segmen industri, yaitu budidaya perkebunan, “mill” berupa pengolahan kelapa sawit menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel Oil (PKO), industri pengolahan dan perdagangan. Masalah utama dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah rendahnya produktivitas dan mutu hasil perkebunan rakyat. Hal tersebut disebabkan oleh sistem pengelolaan kebun yang tidak efisien, karena jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menyiangi tanaman gulma di bawah pohon kelapa sawit terlalu banyak, dan pupuk yang digunakan untuk tanaman kelapa sawit menggunakan pupuk buatan yang biayanya sangat mahal. Menurut laporan SIRAIT (1989) bahwa sebesar 30−50% dari biaya pemerliharaan tanaman kelapa sawit

adalah untuk pupuk dan tenaga kerja. Lebih 80% kegagalan disebabkan oleh manajemen yang tidak efisien (SIAHAAN, 1983, disitasi SIRAIT, 1989).

Hasil utama dari pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit atau dikenal dengan nama Palm Kernel Oil (PKO). Sedangkan hasil sampingnya berupa bungkil inti sawit, serat perasan buah, tandan buah kosong dan lumpur minyak sawit mempunuai prospek yang baik untuk bahan pakan ternak. Peranan CPO sebagai sumber utama penghasil minyak makan dan produk turunannya yang sangat bermanfaat dan sangat prospektif untuk dikembangkan, seperti biodiesel sebagai sumber energi masa depan yang dapat diperbaharui (renewable energy). Di samping produk ikutan pengolahan kelapa sawit, vegetasi yang ada dikawasan perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.

Adapun hasil utama dan hasil ikutan pengolahan kelapa sawit sebagai berikut:

1. Produk utama kelapa sawit:

(1). Crude Palm Oil (CPO) adalah minyak buah kelapa sawit. (2). Palm Kemel Oil (PKO) adalah minyak inti biji sawit.

(5)

(1) Palm Pressing Fibre (PPF) adalah serat buah sawit merupakan sisi perasan buah sawit. (2) Palm Sludge (PS) adalah lumpur sawit merupakan cairan sisa pengolahan minyak sawit. (3) Palm Kernel Cake (PKC) adalah bungkil kelapa sawit berupa sisi ekstraksi inti sawit.

3. Produk perkebunan kelapa sawit:

(1) Oil Palm Fronds (OPF) adalah pelepah daun sawit berupa bagian dalam pangkal batang daun kelapa sawit.

(2) “Empty Fruits Bunch” (EFB) adalah tandan buah kosong atau tandan yang dikastrasi atau tidak berbiji.

4. Produk lahan perkebunan kelapa sawit:

Produk Hijauan Antar Tanaman (HAT) adalah vegetasi di lahan perkebunan (leguminosa, semak, ilalang, rumput lapangan).

Peranan perkebunan sawit sebagai salah satu sumber yang dapat digunakan sebagai lahan pengembangan ternak sangatlah mendukung, ditunjang oleh peranan vegetasi lahan sebagai penutup tanah dan pakan ternak, serta produk samping perkebunan dan industri pengolahan buah sawit sebagai pakan ternak. Sebagaimana tanaman perkebunanan lain yang bercirikan tanaman keras, hasil samping yang didapatkan merupakan limbah dengan nilai nutrisi rendah dan kandungan lignin yang cukup tinggi. Diperlukan teknologi pengolahan pakan hijauan dalam upaya memaksimalkan kandungan nutrisi dan manfaat limbah perkebunan sebagai pakan pengganti/substitusi pada saat kemarau yang dicirikan dengan terbatasnya ketersediaan pakan hijauan.

Kotoran dan sisa pakan ternak dapat mengurangi biaya kebutuhan pupuk yang sekaligus dapat mengurangi biaya produksi disamping menjaga kelestarian bahan organik tanah, khususnya di wilayah perkebunan yang berlereng dan memberikan tambahan pendapatan usahatani (HUTABARAT, 2002). Sedangkan hasil olahan tandan buah digunakan sebagai bahan utama pangan dan bahan dasar industri makanan, sabun, cat, kosmetik.

Ternak di areal perkebunan

Permintaan produk peternakan terus meningkat sebagai konsekuensi adanya peningkatan jumlah penduduk, bertambahnya proporsi penduduk perkotaan, pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang perlunya makanan yang berkualitas dan bergizi serta adanya dukungan membaiknya pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, secara rutin peternakan tidak mampu menyediakan produk daging dan susu untuk memenuhi permintaan konsumen dan industri, sehingga berakibat ketergantungan terhadap impor makin besar. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi guna peningkatan populasi ternak, khususnya pada areal dekat perkebunan kelapa sawit atau areal yang jauh di dalam perkebunan kelapa sawit, dengan harapan petani peternak tidak mengganggu tanaman kelapa sawit dengan cara diberikan modal dan bekal pengetahuan cara beternak, pemanfaatan areal yang kosong untuk pakan ternak serta cara pengelolaan kotoran sapi yang digunakan untuk pupuk sehingga akan menambah pendapatan pertani peternak.

(6)

Pengembangan ternak disesuaikan dengan kondisi sumber daya lokal perkebunan, seperti ternak ruminansia sangat potensial untuk dikembangkan pada areal perkebunan kelapa sawit karena kebutuhan pakan dapat dicukupi dari vegetasi perkebunan kelapa sawit dan memanfaatkan hasil samping pengolahan kelapa sawit. Pengelolaan ternak di perkebunan kelapa sawit masih konvensional dengan pemanfaatan perkebunan hanya pada saat musim kering dan musim tanam (ARITONANG, 1986).

Adanya kotoran sapi dapat mengurangi biaya pengadaan pupuk yang sekaligus dapat mengurangi biaya produksi di samping menjaga kelestarian bahan organik tanah, khususnya di wilayah perkebunan yang berlereng (HUTABARAT, 2002). GINTING (1991) melaporkan bahwa ternak dapat berperan sebagai industri biologis dan penyiang biologis sekaligus mampu meningkatkan produksi daging dan penyedia kompos. Pemeliharaan intensif untuk ruminansia besar secara empiris mencegah pemadatan tanah dan sentuhan langsung dengan tanaman yang dikuatirkan merusak tanaman pokok, sedangkan untuk ruminansia kecil tidak bermasalah secara penggembalaan bebas/ekstensif.

MODEL INTEGRASI

Ternak ruminansia berpotensi besar untuk mendukung upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit yang pengelolaannya tidak terlepas dari faktor pemupukan dan perbaikan tektur tanah. Dengan demikian, tampaklah ternak bertindak sebagai bioindustri dan berperan ganda, yaitu pemroses limbah sawit dan pemberantas gulma, pemanfaatan limbah naungan tanah yang biasa digunakan pada saat tanaman muda ataupun pada lahan berkelerengan, tenaga kerja (penghela) dan dapat bertindak sebagai sumber penghasilan bagi petani kelapa sawit.

Integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan biaya produksi yang berkaitan dengan biaya pengadaan bahan kimiawi untuk pemberantasan tanaman pengganggu dan tenaga kerja. Vegetasi (rerumputan) lahan perkebunan tersebut digunakan sebagai pakan ternak untuk menghasilkan daging.

Alternatif pola pemeliharaan ternak secara intensif atau semi intensif tergantung pada jenis ternak serta disesuaikan sumber daya alam yang ada. Pemeliharaan ternak ruminansia besar dan ruminasia kecil lebih memiliki nilai tambah dan umpan balik yang sinergis dengan kebutuhan perkebunan.

Pembibitan. Pembibitan ternak ditentukan oleh kapasitas tampung vegetasi lahan perkebunan.

Usaha ini diharapkan berperan sebagai penyedia ternak bakalan dan mencukupi kebutuhan bibit. Untuk usaha ini tidak terlalu diperlukan pakan berkualitas tinggi.

Penggemukan. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan yang optimal diperlukan perlakuan

khusus, terutama pemberian pakan tambahan dan pemeliharaan yang intensif.

KEBUTUHAN TEKNOLOGI

Untuk menunjang keberhasilan sitem integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit dibutuhkan teknologi tepat guna dan sosialisasi berkelanjutan dalam hal:

(7)

c. Pendugaan kapasitas tampung lahan perkebunan untuk jenis ternak tertentu d. Manajemen pemeliharaan ternak yang efisien

Gambar 1. Diagram integrasi ternak-kelapa sawit PENUTUP

Pembangunan pola integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit sangat potensial untuk menggerakkan perekonomian berbasis pertanian di pedesaan, menghasilkan komoditi ekspor, memperkuat ketahanan pangan, mendorong pertumbuhan perekonomian daerah dan meningkatkan penghasilan pekerja.

Untuk terwujudnya pengembangan integrasi ternak dengan perkebunan kelapa sawit diperlukan dukungan dan komitmen dari berbagai pihak, yaitu koperasi petani, pengusaha/investor, perbankan, perguruan tinggi, peneliti, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

DAFTAR PUSTAKA KELAPA SAWIT DAGING BUAH CPO PS TEKNOLOGI PPF BIJI SAWIT PKO TEKNOLOGI TERNAK VEGETASI TANDAN & DAUN OPF & EFB TEMPURUNG

(8)

ANONIMUS. 1994. Produksi Beberapa Komoditas Utama Perrtanian. Pembangunan Pertanian di Indonesia.

Departemen Pertanian. pp. 6-11.

PT PERKEBUNAN II. 1994. Prospek dan kendala usaha ternak domba kebun sawit seberang. Pros. Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sei Putih. Sub Balitnak Sei Putih. pp. 87-93.

ANONIMUS, 1998. Buku Statistik Peternakan. Ditjen Peternakan, Deptan, Jakarta.

ANONIMUS. 2003. Perkembangan Kelapa Sawit. Ditjen Perkebunan. http://www.go.id/ditjenbun/statistik/

perkemb-swt.htm

ANONIMUS. 2002. Peluang Investasi. DPMD Kutai Timur. http://www.kitaitimur.com/ pinvestasi/pi-sawit.htm

ARITONANG D. 1986. perkebunan kelapa sawit, sumber pakan ternak di Indonesia. J. Litbang Pertanian. 4 (4):

93-99.

DAMANIK, K. 1994. Integrasi ternak domba dengan perkebunan kelapa sawit: prospek dan tantangannya. Pros. Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sei Putih. Sub Balitnak Sei Putih. pp. 100-113.

DITJEN BINA PRODUKSI PETERNAKAN. 2002. Integrasi Ternak Sapi dengan Perkebunan Kelapa sawit. Direktorat

Jendral Pengembangan Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

DIWYANTO, K., A. PRIYANTI dan D. ZAINUDIN. 1996. Pengembangan ternak berwawasan agribisnis di pedesaan

dengan memanfaatkan limbah pertanian dan pemilihan bibit yang tepat. J. Litbang Pertanian. 15(1) : 1-6. HUTABARAT, T.S.P.N. 2002. Pendekatan Kawasan dalam Pembangunan Peternakan. Direktorat Jendral Bina

Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. pp. 1-13.

GINTING S.P. 1991. Keterpaduan ternak ruminansia dengan perkebunan :2. Pola pemeliharaan dan produksi

ternak. J. Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 10 (1): 9-12.

SIRAIT, H. J. 1989. Sumbangan simulasi agrometeorologi terhadap pengelolaan budidaya kelapa sawit. Pros.

Seminar Sehari Peningkatan Pemanfaatan Agrometeorologi Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Pengembangan Perkebunan. Kerjasama Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia. Badan Litbang Kehutanan dan Pertanian. pp. 253-265.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Dalam mengintegrasikan sapi potong pada perkebunan kelapa sawit, berapa ekor sapi sekiranya yang layak dipelihara untuk satuan luas perkebunan

Jawaban:

1. Kemampuan lahan tanaman perkebunan kelapa sawit untuk budidaya sapi potong sangat tergantung pada kondisi tanaman kelapa sawit, produksi tanaman sela dan sistem pemeliharaan ternak (Grazing atau cut and carry). Kondisi umur tanaman kelapa sawit sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman selanya. Pada tahun pertama lahan masih terbuka dan setelah umur 3–5 tahun produksi tanaman sela mengalami penurunan sebesar 10–15%, akibat semakin lebarnya canopy daun tanaman sawit. Oleh karena itu untuk memenuhi kecukupan pakan setelah umur tanaman 5 tahun sangat tergantung kepada agroplantation (limbah tanaman dan limbah industri kelapa sawit). Beberapa laporan menunjukkan kemampuan kapasitas tampung untuk sapi potong pada tanaman berumur 1–3 tahun adalah 1–3 ekor ha-1 tahun-1, sampai

(9)

10 tahun hanya mampu sekitar 0,4 ekor ha tahun . Prediksi kemampuan kapasitas lahan perkebunan untuk memelihara berbagai jenis ternak perlu dilakukan pengamatan lapang mencakup prediksi secara empiris kebutuhan dan produksi hijauan pakan serta dilanjutkan dengan pengamatan kesesuaian lapangan lahan perkebunan dengan perlakuan berbagai jenis ternak.

Gambar

Gambar 1. Diagram integrasi ternak-kelapa sawit

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

[r]

40 tentang system jaminan social nasional menjelaskan bahwa JKN menjamin biaya pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan nasional secara gotong royong wajib oleh seluruh

Sapaan kekerabatan bahasa Melayu Riau dialek Kubu Kabupaten Rokan Hilir Sapaan kekerabatan adalah sapaaan yang digunakan oleh mayarakat Kubu untuk menyapa orang Kubu yang

amplikon fragmen DNA genom EBV dengan teknik PCR konvensional adalah konsentrasi DNA virus yang rendah pada sampel penelitian yang digunakan, karena konsentrasi

Penulis telusuri bahwa sejak lahirnya Muhammadiyah memang sudah dapat diketahui asas gerakannya, namun pada tahun 1938-1942 di bawah kepemimpinan Kyai Mas Mansur mulai

Untuk mengatasi masalah ini maka ekstrak kombinasi Temulawak dan Sambung nyawa akan dibuat dalam bentuk sediaan Self-nanoemulsifying drug delivery system (SNEDDS) karena

( Sapotacea ) terhadap reproduksi imago betina Crocidolomia pavonana , mengevaluasi waktu paruh (LT 50 ) dan fitotoksisitas ekstrak pada berbagai tanaman