BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Masalah pelayanan publik yang terjadi di Indonesia sudah menjadi permasalahan
yang belum dapat diselesaikan oleh pemerintah. Hal ini ditandai dengan masih
banyaknya keluhan masyarakat mengenai kualitas yang diberikan oleh aparatur negara.
Seiring dengan perkembangan zaman yang sarat dengan harapan dan kebutuhan
masyarakat yang semakin kompleks, dibutuhkan penataan sumber daya aparatur yang
baik dalam manajemen pemerintahan sehingga akan memberikan dampak pemerintahan
yang lebih berkualitas, lebih mampu mengemban fungsi-fungsi pelayanan publik.
Pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah atas setiap kegiatan yang
ditujukan untuk kepentingan publik atau masyarakat. Dengan demikian, kegiatan
tersebut mengandung adanya unsur-unsur perhatian dan kesediaan serta kesiapan dari
pegawai pemerintah. Rasa puas masyarakat dalam pelayanan publik akan terpenuhi
ketika apa yang diberikan oleh pegawai sesuai dengan apa yang mereka harapkan selama
ini. Dimana dalam pelayanan tersebut terdapat tiga unsur pokok, yaitu biaya yang relatif
murah, waktu untuk mengerjakan relatif lebih cepat dan mutu yang diberikan relatif
bagus. Pelayanan yang berkualitas berarti pelayanan yang mampu memberi kepuasan
kepada pelanggan (masyarakat) dan mampu memenuhi harapan masyarakat. Sebab
pelanggan adalah orang yang menerima hasil pekerjaan. Oleh sebab itu hanya pelanggan
(masyarakat) yang dapat menentuan kualitas pelayanan dan mereka pula yang dapat
menyampaikan apa dan bagaimana kebutuhan mereka.
Setalah reformasi dilaksanan pelayanan publik juga mengalami perubahan yang
semata, namun pelayanan publik sudah menjadi tanggung jawab bersama. Pemerintahan
pusat, pemerintahan daerah dan juga perusahaan milik negara mempunyai tanggung
jawab langsung di dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain,
penyelenggara pelayanan publik adalah semua instansi pemerintah. Hal ini
mengharuskan instansi pemerintah baik pusat maupun daerah senantiasa mengadakan
pembenahan menyangkut kualitas pelayanan yang dihasilkan.
Jika kita berbicara tentang pelayanan publik, ada faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas pelayanan suatu birokrasi pemerintah. Baik yang bersifat internal organisasi
seperti kewenangan diskres, sikap yang berorientasi terhadap budaya organisasi, etika
organisasi, sistem intensif maupun semangat kerja sama. Demikian juga faktor
eksternalnya antara lain budaya politik, dinamika dan perkembangan politik, pengelolaan
konflik lokal, kondisi sosial ekonomi, dan kontrol yang dilakukan oleh masyarakat dan
organisasi lembaga swadaya masyarakat (Agus Dwiyanto 2005:223)
Didalam banyaknya masalah dalam pelayanan publik yang sedang dihadapi, ada
tiga masalah besar yaitu diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan dan
rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Masalah tersebut
masih saja menjadi hal yang sangat sulit di selesaikan dan fakta mengatakan bahwa
pelayanan publik di Indonesia itu sedikit banyak yang menunjukkan kualitas yang buruk.
Salah satu penyebabnya adalah budaya organisasi di Indonesia yang banyak mengadopsi
Budaya Jawa, yang hierarkis, tertutup, sentralis, dan mempunyai nilai untuk
menempatkan pimpinan sebagai pihak yang harus dihormati. Selain itu sangat kental
budaya dimana para pelayanan publik itu memberikan pelayanan berdasarkan kedekatan
Beragam keluhan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan publik
menunjukan mendesaknya suatu harapan agar perubahan kinerja pegawai pemerintahan
kearah yang lebih baik. Untuk mendukung perubahan itu diperlukan adanya acuan baku
yang diberlakukan oleh suatu organisasi atau perusahaan. Acuan baku tersebut adalah
budaya organisasi yang secara sistematis menuntun para pegawai untuk meningkatkan
komitmen kerjanya pada organisasi atau perusahaan.
Budaya organisasi dapat difungsikan sebagai tuntutan yang mengikat para
anggotanya karena dapat diformulasikan secara formal dalam berbagai peraturan dan
ketentuan organisasi, maka individu-individu yang ada didalam organisasi secara tidak
langsung akan terikat sehingga dapat membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan
visi misi serta strategi organisasi. Proses pembentukan tersebut pada akhirnya akan
membantu dalam menghasilkan individu-individu yang cakap dan mempunyai integritas
yang tinggi sehingga menghasilkan SDM yang berkualitas dan juga akan menjadi
suksesnya suatu organisasi.
Budaya organisasi sering juga disebut dengan budaya kerja, karena budaya
organisasi tidak bisa dipisahkan dengan kinerja dari sumber daya manusia yang ada di
perusahaan tersebut. Budaya kerja suatu organisasi berbeda antara organisasi satu dengan
yang lainnya, hal itu dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh
setiap orang dalam organisasi berbeda. Sebuah perusahaan yang memiliki budaya kerja
yang baik, dapat dilihat dan diamati oleh peninjauan dari luar maupun dalam perusahaan
tersebut. Pengamat tersebut akan merasakan suasana kerja yang khas yang membedakan
perusahaan tersebut dengan perusahan lainnya.
Dewasa ini para aparatur negara masih belum mampu menunjukkan upaya
budaya kerja aparatur Negara yang bertanggung jawab. Budaya organisasi pemerintah
dewasa ini lebih banyak mencirikan budaya organisasi yang kurang sehat.
Organisasi pemerintah masih mengidap penyakit birokrasi serius yang dicirikan
oleh penekanan pada proses ketimbang tujuan, kewenangan lebih penting daripada
pelayanan, bentuk lebih penting ketimbang isi, dan tradisi lebih penting ketimbang
adaptabilitas. Ini terlihat dari berbagai keluhan masyarakat terhadap layanan birokrasi
yang lebih banyak menyulitkan ketimbang mempermudah.
Untuk memperbaiki budaya kerja yang baik membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk merubahnya, maka itu perlu adanya pembenahan-pembenahan yang dimulai dari
sikap dan tingkah laku pemimpinnya kemudian diikuti para bawahannya, terbentuknya
budaya kerja diawali tingkat kesadaran pemimpin atau pejabat yang ditunjuk dimana
besarnya hubungan antara pemimpin dengan bawahannya sehingga akan menentukan
suatu cara tersendiri apa yang dijalankan dalam perangkat satuan kerja atau organisasi.
Sebuah instansi negara yang memiliki budaya kerja yang baik, dapat dilihat dan
diamati oleh masyarakat yang menerima pelayanan publik. Hal ini juga dapat dilihat di
Kantor Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Samsat Medan Selatan. UPT Samsat Medan
Selatan merupakan perwakilan Lembaga Pemerintah yang bergerak dalam pemberian
pelayanan kepada publik, yaitu berupa pelayanan kepengurusan kepemilikan kendaraan
bermotor kepada masyarakat.
Pandangan masyarakat terhadap kualitas pelayanan di Kantor UPT SAMSAT
Medan Selatan beragam, tetapi secara umum kualitas pelayanan yang di berikan sudah
cukup memuaskan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian yang diraih oleh
instansi milik Negara ini dengan masuk kedalam nominasi TOP Inovasi Pelayanan
Customer Servive Information Desk di depan pintu masuk Samsat untuk memudahkan
para wajib pajak mendapatkan informasi yang jelas mengenai proses pengurusan STNK
maupun BBN-KB, menyediakan mesin simulator informasi pajak kenderaan bermotor,
dan lain sebagainya. (Sumber: Hasil Pra Penelitian)
Sebagai pelayan masyarakat (public service) sudah seharusnya UPT Samsat Medan
Selatan memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Pelayanan yang
berkualitas selain bermanfaat bagi masyarakat juga bermanfaat terhadap citra aparat
pemerintah itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas juga berkaitan dengan budaya
organisasi yang dianut oleh para anggota organisasi tersebut. Weick, 1987 (dalam
Tjiptono, 2000) melakukan penelitian dengan judul “organizational culture as a source
of high reliability”. Penelitian tersebut dilakukan pada 10 perusahaan jasa perbankan
yang ada di California. Variabel yang diteliti meliputi budaya organisasi yang diadaptasi
dari Schein yang dihubungkan dengan kinerja perusahaan, dalam hal ini adalah
keandalan perusahaan jasa perbankan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa budaya
organisasi yang kuat dapat membuat organisasi lebih dapat diandalkan. Dengan kata lain
semakin kuat terbentuknya budaya organisasi pada perusahaan akan berpengaruh
terhadap kinerjanya yaitu menghasilkan produk atau jasa atau pelayanan yang
berkualitas.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Erna Dora Siregar (2009) dengan judul
penelitian “Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik (Studi
tentang Pelayanan STNK di Kantor Bersama Samsat Pematang Siantar)”. Indikator yang
diteliti adalah kebersamaan, peran pemimpin, dan intensitas untuk variabel budaya
organisasi. Sedangkan untuk variabel kualitas pelayanan publik indikatornya adalah
kemudahan mengakses, kreabilitas, kesopanan, responsivitas, kompetensi. Hasl yang
kualitas pelayanan publik. Dengan 73.96% persentasi pengaruh antara budaya organisasi
publik terhadap kualitas pelayanan publik di Kantor Bersama Samsat pematang Siantar.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik (Studi Pada Kantor Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Samsat Medan Selatan)”
1.2.Perumusan Masalah
Perumusan masalah sangat penting agar diketahui arah jalannya suatu penelitian
dan untuk lebih memudahkan penelitian nantinya. Hal ini senada dengan pendapat “Agar
penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis merumuskan
masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi dan dengan
apa” (Arikunto, 1998:17)
Berdasarkan uraian diatas maka penulis dalam melakukan penelitian ini
merumuskan masalah sebagai berikut : “Bagaimana Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kantor Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Samsat Medan Selatan”
1.3.Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana Budaya Organisasi di Kantor Unit Pelayanan
Terpadu (UPT) Samsat Medan Selatan
2. Untuk mengetahui bagaimana Kualitas Pelayanan Publik di Pegawai di
Kantor Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Samsat Medan Selatan
3. Untuk mengetahui bagaimana Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap
Kualitas Pelayanan Publik di Pegawai di Kantor Unit Pelayanan Terpadu
1.4.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk menambah dan
meningkatkan cara berpikir positif serta mengembangkan kemampuan
menganalisa permasalahan yang dihadapi di lapangan.
2. Bagi Fisip USU, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai referensi
bagi mahasiswa yang tertarik dalam bidang ini.
3. Bagi pihak Pegawai di Kantor Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Samsat
Medan Selatan, dapat memberikan masukan dan saran-saran dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik.
1.5.Kerangka Teori
Dalam rangka menyusun penelitian ini dan untuk mempermudah penulis didalam
menyelesaikan penelitian ini, maka dibutuhkan suatu landasan berfikir yang dijadikan
pedoman untuk menjelaskan masalah yang sedang disorot. Pedoman tersebut disebut
kerangka teori. Menurut Sugiono (2005 : 55) menyebutkan landasan teori perlu
ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar
perbuatan coba-coba. Dengan demikian yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini
adalah :
1.5.1. Budaya Organisasi
1.5.1.1.Pengertain Budaya Organisasi
Berdasarkan Peraturan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 39 Tahun 2012 Bab II Gambaran Umum,
yang menjadi acuan bagaimana para pegawai melakukan kegiatan untuk
mencapai tujuan atau cita-cita organisasi.
Menurut Peter F. Drucker dalam Tika (2006 : 4), budaya organisasi
adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang
pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang
kemudian diwariskan kepada anggota-anggota baru berbagai cara sebagai
cara yang tepat untuk, memahami, memikirkan dan merasakan terhadap
masalah-masalah terkait seperti diatas.
Victor S.L Tan dalam Tunggal (2007 : 2) berpendapat bahwa,
budaya organisasi merupakan suatu norma yang terdiri dari suatu
keyakinan, sikap, core values, dan pola perilaku yang dilakukan orang
dalam organisasi. Keyakinan adalah semua asumsi dan persepsi tentang
sesuatu, orang dan organisasi secara keseluruhan, dan diterima sebagai
sesuatu yang benar dan sah.
Jadi berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengertian Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi atau keyakinan,
nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan
pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah
adaptasi eksternal dan integrasi internal untuk mencapai tujuan atau
cita-cita suatu organisasi.
1.5.1.2.Karakteristik Budaya Organisasi
Luthans (1998) mengidentifikasi ada enam karakteristik penting.
Pertama, observed behavioral regularities, yaitu apabila para partisipan
organisasi saling berinteraksi satu dengan yang lain, maka mereka akan
berhubungan dengan rasa hormat dan cara bertindak. Kedua, norms, yaitu
standar-standar perilaku yang ada, mencakup pedoman tentang berapa
banyak pekerjaan yang harus dilaksanakan dan perbuatan-perbuatan apa
saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Ketiga, dominant values, yaitu ada sejumlah values (nilai) utama
yang organisasi anjurkan dan mengharapkan kepada para anggota
organisasi untuk menyumbangkannya misalnya kualitas produk yang
tinggi, absensi yang rendah dan efisiensi yang tinggi. Keempat,
philosophy, yaitu ada sejumlah kebijakan yang menyatakan keyakinan
organisasi tentang bagaimana para karyawan dan atau para pelanggan
diperlakukan.
Kelima, rules, yaitu ada sejumlah pedoman yang pasti yang
berhubungan dengan kemajuan atau cara berhubungan dengan kemajuan
atau cara berhubungan yang baik dalam organisasi. Para karyawan baru
(newcomers) harus mempelajari ikatan atau rules yang telah ada sehingga
mereka dapat diterima sebagai full-fled get anggota kelompok. Keenam,
organizational climate, yaitu ada suatu “feeling” yang menyeluruh yang
dibawa oleh physical layout, cara para anggota organisasi berinteraksi,
dan cara para anggota organisasi memperlakukan dirinya menghadapi
pihak pelanggan dan pihak luar lainnya.
Lebih lanjut Stephen P.Robbin dalam Tika (2006 : 10) memberikan
karakteristik-karakteristik budaya organisasi sebagai berikut:
1. Inisiatif Individual
Yaitu Tingkat tanggung jawab, kebebasan atau indepedensi yang
Inisiatif individual tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau
pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk
memajukan dan mengembangkan organisasi atau perusahaan.
2. Toleransi terhadap tindakan beresiko
Suatu budaya organisasi dikatakan baik apabila dapat memberikan
toleransi kepada anggota atau para pegawai agar dapat bertindak
agresif dan inovatif untuk memajukan organisasi atau perusahaan
serta berani mengambil resiko terhadap apa yang dilakukannya.
3. Pengarahan
Pengarahan dimaksudkan sejauh mana organisasi atau perusahaan
dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang
diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi,
misi, dan tujuan organisasi. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap
kinerja organisasi atau perusahaan.
4. Integrasi
Integrasi dimaksudkan sejauh mana organisasi atau perusahaan
dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara
yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit tersebut dapat
mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan.
5. Dukungan manajemen
Dukungan manajemen dimaksudkan sejauh mana para manajer
dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan
yang jelas terhadap bawahan.
Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau
norma-norma yang berlaku di dalam suatu organisasi atau
perusahaan.
7. Identitas
Dimaksudkan untuk sejauh mana para anggota suatu organisasi atau
perusahaan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu
kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja
tertentu atau keahlian profesional tertentu.
8. Sistem imbalan
Sejauh mana alokasi imbalan (kenaikan gaji, promosi dan
sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan
didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya.
9. Toleransi terhadap konflik
Sejauh mana para pegawai atau karyawan di dorong untuk
mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. Perbedaan
pendapat merupakan fenomena yang sering terjadi dalam suatu
organisasi atau perusahaan. Namun, perbedaan pendapat dan kritik
tersebut bisa digunakan utnuk melakukan perbaikan atau perubahan
strategi utnuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan.
10.Pola komunikasi
Sejauh mana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang
formal. Kadang-kadang hierarki kewenangan dapat menghambat
terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antar
karyawan itu sendiri.
Tika, Moh. Pabundu (2006 : 14) dalam bukunya Budaya Organisasi
dan Peningkatan Kinerja Perusahaan menyatakan terdapat sepuluh fungsi
utama budaya organisasi. Pertama, sebagai batas pembeda terhadap
lingkungan, organisasi maupun kelompok lain. Batas pembeda ini karena
adanya identitas tertentu yang dimiliki oleh suatu organisasi atau
kelompok yang tidak dimiliki organisasi atau kelompok lain. Kedua,
sebagai perekat bagi anggota organisasi dalam suatu organisasi. Hal ini
merupakan bagian dari komitmen kolektif dari anggota organisasi. Mereka
bangga sebagai seorang pegawai suatu organisasi atau perusahaan. Para
pegawai mempunyai rasa memiliki, partisipasi, dan memiliki rasa
tanggung jawab atas kemajuan perusahaannya.
Ketiga, mempromosikan stabilitas sistem sosial. Hal ini
tergambarkan dimana lingkungan kerja dirasakan positif, mendukung, dan
konflik serta perubahan diatur secara efektif. Keempat, sebagai
mekanisme dalam memadu dan membentuk sikap serta perilaku
anggota-anggota organisas. Dengan dilebarkannya mekanisme kontrol,
didatarkannya struktur, diperkenalkannya tim-tim dan diberi kuasanya
anggota organisasi oleh orgnisasi, makna bersama yang diberikan oleh
suatu budaya yang kuat memastikan bahwa semua orang diarahkan kearah
yang sama. Kelima, sebagai integrator. Budaya organisasi dapat dijadikan
integrator karena adanya sub-sub budaya baru. Kondisi seperti ini
biasanya dialami oleh adanya perusahaan-perusahaan besar dimana setiap
unit terdapat sub budaya baru.
Keenam, membentuk perilaku bagi anggota-anggota organisasi.
bagaimana mencapai suatu tujuan organisasi. Ketujuh, sebagai saran
untuk menyelesaikan masalah-masalah pokok organisasi. Budaya
organisasi diharapkan dapat mengatasi masalah adaptasi terhadap
lingkungan eksternal dan masalah integrasi internal. Kedelapan, sebagai
acuan dalam menyusun perencanaan pemasaran, stegmentasi pasar,
penetuan positioning yang akan dikuasai perusahaan tersebut.
Kesembilan, sebagai alat komunikasi. Budaya organisasi dapat
berfungsi sebagai alat komunikasi antara atasan dan bawahan atau
sebaliknya, serta antar anggota organisasi. Budaya sebagai alat
komunikasi tercermin pada aspek-aspek komunikasi yang mencakup
kata-kata, segala sesuatu yang bersifat material dan perilaku. Kesepuluh,
sebagai penghambat berinovasi. Budaya organisasi bisa menjadi
penghambat dalam berinovasi. Hal ini terjadi apabila budaya organisasi
tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang menyangkut lingkungan
eksternal dan integrasi internal.
Dengan demikian, fungsi budaya organisasi adalah sebagai perekat
sosial dalam mempersatukan anggota-anggota dalam mencapai tujuan
organisasi berupa ketentuan atau nilai-nilai yang harus dikatakan dan
dilakukan oleh anggota-anggota organisasi. Budaya organisasi dapat pula
berfungsi sebagai kontrol atas perilaku anggota-anggota organisasi.
1.5.2. Kualitas Pelayanan Publik
1.5.2.1.Pengertian Pelayanan Publik
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009, pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangkaian kegiatan dalam
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
Menurut Kurniawan (dalam Sinambela, 2006 : 5) pelayanan publik
diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai
dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Menurut Santosa (2008: 57), pelayanan publik adalah pemberian
jasa, baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah, atau pun
pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna
memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat. Dengan
demikian, yang memberikan pelayanan publik kepada masyarakat luas
bukan hanya instansi pemerintah, melainkan juga pihak swasta. Pelayanan
publik yang dijalankan oleh instansi pemerintah bermotif sosial-politik,
yakni menjalankan tugas pokok dan mencari dukungan suara sedangkan
pelayanan publik oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari
keuntungan.
Penyeleggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara
negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan
undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik dan badan hukum lain
yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Maka dapat dirumuskan yang menjadi unsur yang terkandung dalam
pelayanan publik adalah:
1. Pelayanan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh suatu badan
2. Objek yang dilayani adalah masyarakat (publik) berdasarkan
kebutuhannya.
3. Bentuk pelayanan yang diberikan berupa barang dan jasa.
4. Ada aturan dan sistem dan tata cara yang jelas dalam
pelaksanaannya.
Dengan demikian, pelayanan publik adalah segala kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap
warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan
administrasi dan diatur oleh undang-undang yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik yaitu
instansi pemerintah baik pusat maupun daerah serta pihak swasta.
1.5.2.2.Bentuk-Bentuk Pelayanan Publik
Pemerintah melalui lembaga dan seluruh aparaturnya bertugas
menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat.
Adapun kegiatan yang dilakukan oleh aparatur terdiri dari berbagai
macam bentuk.
Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63
Tahun 2003, pelayanan publik dibagi berdasarkan 3 kelompok, yaitu:
1. Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu bentuk pelayanan yang
menghasilkan berbagai macam dokumen resmi yang dibutuhkan
oleh masyarakat atau publik.
2. Kelompok Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan
berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan publik.
3. Kelompok Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan
Menurut Moenir (2002: 190) bentuk pelayanan ada tiga macam
yaitu:
1. Pelayanan dengan lisan
Pelayanan dengan lisan ini dilakukan oleh petugas-petugas bidang
hubungan masyarakat, bidang layanan informasi dan bidang-bidang
lain yang tugasnya memberikan penjelasan dan keterangan kepada
masyarakat mengenai berbagai fasilitas layanan yang tersedia. Agar
layanan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku pelayanan, yaitu:
a. Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam
bidang tugasnya
b. Mampu memberikan penjelasan apa saja yang perlu dan lancar,
singkat tetapi cukup jelas sehingga memuaskan bagi mereka
yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu.
c. Bertingkah laku sopan dan ramah tamah.
d. Meski dalam keadaan sepi tidak berbincang dengan pegawai
lainnya karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan
melalaikan tugas.
2. Pelayanan melalui Tulisan
Dalam bentuk tulisan, layanan yang diberikan dapat berupa
pemberian penjelasan kepada masyarakat dengan penerapannya
berupa tulisan suatu informasi mengenai hal atau masalah yang
a. Layanan berupa petunjuk, informasi dan sejenis yang ditujukan
pada orang-orang yang berkepentingan, agar memudahkan
mereka dalam berurusan dengan instansi atau lembaga.
b. Pelayanan berupa reaksi tertulis atas permohonan, laporan,
keluhan, pemberitahuan dan lain-lain
3. Pelayanan berbentuk Perbuatan
Pelayanan dalam bentuk perbuatan adalah pelayanan yang diberikan
dalam bentuk perbuatan atau hasil perbuatan, bukan sekedar
kesanggupan dan penjelasan secara lisan.
1.5.2.3.Standart Pelayanan Publik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, standar pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi:
1. Dasar Hukum
Setiap bentuk kebijakan pelayanan publik yang dikeluarkan
oleh instansi pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan,
harus memiliki dasar hukum yang disahkan oleh Peraturan
Perundangan untuk menandakan bahwa pelayanan yang
diberikan merupakan pelayanan publik yang sah menurut
hukum dan perundangan.
2. Sistem, Mekanisme dan Prosedur
Bentuk pelayanan publik yang diberikan oleh suatu instansi
pemerintahan harus memiliki sistem yang jelas, mekanisme
pelaksanaan yang mudah diimplementasikan oleh seluruh
masyarakat serta memiliki prosedur atau tata laksana yang jelas
3. Jangka Waktu Penyelesaian
Pelayanan publik yang diberikan oleh suatu instansi pemerintah
dalam pelaksanaannya harus memiliki batas waktu penyelesaian
kegiatan yang efisien, pelayanan publik yang diberikan kepada
masyarakat dilakukan dalam standar waktu yang singkat.
4. Biaya/Tarif
Pelayanan publik pada hakikatnya adalah bentuk pelayanan
yang diberikan kepada masyarakat. Oleh karena itu biaya atau
tarif yang diberikan harus memiliki standar harga yang dapat
dijangkau oleh masyarakat. Dengan kata lain harga untuk
pelayanan publik adalah harga yang murah.
5. Produk Pelayanan
Pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi dapat dikatakan
sebagai pelayanan publik apabila produk yang dihasilkan dapat
berupa publik good, publik service dan administration service.
6. Sarana, Prasarana dan Fasilitas
Keefektifan pelayanan publik yang diberikan oleh organisasi
dapat dilihat dari ketersediaan sarana dan prasarana dalam
proses pemberian pelayanan serta terdapat fasilitas yang
memadai demi kenyamanan pelanggan atau masyarakat.
7. Kompetensi Pelaksana
Petugas pemberi pelayaanan publik harus memiliki keahlian,
kreativitas serta kemampuan yang menyangkut sikap dan
perilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Setiap organisasi pemerintah harus memiliki sarana yang
menampung aspirasi masyarakat yang berisi kritik, saran dan
juga pengaduan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pemberian pelayanan publik kepada masyarakat.
9. Jumlah Pelaksana
Organisasi pemerintahan memiliki pelaksanaan pelayaanan
yang memadai agar dalam pemberian pelayanan dapat berjalan
efektif.
1.5.2.4.Pengertain Kualitas Pelayanan Publik
Menurut Albrecht dan Zemke (dalam Dwiyanto, 2005:145) bahwa
kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek,
yaitu sistem pelayanan, sumber daya manusia pemberi pelayanan, strategi,
dan pelanggan (costumers)
Sedangkan Sinambela (2006:6) berpendapat bahwa, kualitas
pelayanan berhubungan erat dengan pelayanan yang sistematis dan
komprehensif yang dikenal dengan konsep pelayanan prima. Kualitas
pelayanan publik merupakan mutu/kualitas pelayanan birokrat terhadap
masyarakat yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan
pelanggan/masyrakat (meeting the needs of customers).
Kemudian menurut Tjandra (2005: 3) tujuan dari pelayanan publik
adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan masyarakat pada
umumnya. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Kualitas atau mutu
pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan
kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur
pemerintah sebagai abdi masyarakat.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
kualitas pelayanan publik adalah totalitas dari karakteristik suatu produk
barang atau jasa atas segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan public sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan. Sehingga kualitas pelayanan berhubungan erat
dengan pelayanan yang sistematis dan komprehensif yang dikenal dengan
konsep pelayanan prima.
1.5.2.5.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik
Suatu pelayanan yang komprehensif yang diberikan oleh pegawai
pemerintah dapat dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur dari
pelayanan tersebut yaitu pada saat terjadinya suatu interaksi antara
pegawai pemerintah sebagai pemberi pelayanan dengan masyarakat
sebagai konsumen dari pelayanan yang diberikan.
Menurut Dwiyanto (dalam Tangklisan, 2005: 223) ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan itu sendiri adalah:
1. Faktor internal antara lain kewenangan direksi, sikap yang
berorientasi terhadap perubahan, budaya organisasi, etika organisasi,
sistem internship maupun semangat kerjasama.
2. Faktor eksternal antara lain budaya politik, dinamika dan
perkembangan politik, pengelolaan konflik lokal, kondisi sosial
ekonomi dan kontrol yang dilakukan oleh masyarakat serta
Sedangkan menurut Moenir (2002: 88) faktor-faktor yang
mendukung pelayanan, sebagai berikut:
1. Faktor Kesadaran yaitu kesadaran para pejabat serta petugas yang
berkecimpung dalam kegiatan pelayanan. Kesadaran para pegawai
pada segala tingkatan terhadap tugas yang menjadi
tanggungjawabnya dapat membawa dampak yang sangat positif
terhadap organisasinya.
2. Faktor Aturan yaitu aturan dalam organisasi yang menjadi landasan
kerja pelayanan. Aturan ini mutlak kebenarannya agar organisasi
dan pekerjaan dapat berjalan teratur dan terarah, oleh karena itu
harus dipahami oleh organisasi yang berkepentingan/bersangkutan.
3. Faktor Organisasi merupakan alat serta sistem yang memungkinkan
berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan dalam usaha pencapaian
tujuan.
4. Faktor Pendapatan yaitu pendapatan pegawai yang berfungsi
sebagai pendukung pelaksanaan pelayanan. Pendapatan yang cukup
akan memotivasi pegawai dalam melaksanakan pekerjaan dengan
baik.
5. Faktor Keterampilan Tugas yaitu kemampuan dan keterampilan
petugas dalam melaksanakan pekerjaan. Ada tiga kemampuan yang
harus dimiliki, yaitu kemampuan manajerial, kemampuan teknis dan
kemampuan untuk membuat konsep.
6. Faktor Sarana yaitu sarana yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas
alat bantu dan fasilitas lain yang melengkapi seperti fasilitas
komunikasi.
1.5.2.6.Tolak Ukur Kualitas Pelayanan Publik
Menurut Zeitham dkk (dalam Boediono, 2003: 114) ada lima
dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan, yaitu:
1. Bukti Langsung (tangibles), yang meliputi fasilitas fisik,
pegawai, perlengkapan dan sarana komunikasi. Fasilitas fisik
yang dimaksud disini adalah seperti gedung perkantoran, ruang
tunggu untuk customer, telepon dan komputer.
2. Daya tanggap (responsiveness), suatu karakteristik kecocokan
dalam pelayanan manusia, mampu yaitu keinginan para staf
untuk membantu masyarakat dalam memberikn pelayanan
dengan tanggapan. Keinginan itu seperti kemauan aparat
birokrasi untuk memberikan informasi-informasi yang terkait
dengan waktu pelayanan, syarat-syarat program langsung.
3. Keandalan (reability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan
yang menyajikan dengan segera dan memuaskan. Hal ini dapat
dilihat dari kemampuan dan kecakapan aparat dalam
mengerjakan tugas-tugas yang dibebankan dan menjadi
kewajibannya dengan cepat sesuai dengan waktu yang
dijanjikannya.
4. Jaminan (assurance), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan,
dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf, bebas dari
bahaya, resiko atau skeraguan. Yaitu seperti kepastian yang
merasa yakin bahwa tugas yang dilaksanakannya akan bebas
dari kesalahan.
5. Empati (emphaty) yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para
pelanggan. Hal ini seperti bagaimana aparat menciptakan
komunikasi eksternal untuk meningkatkan kualitas
pelayanannya.
Selain kelima dimensi tersebut, menurut Gasperz (dalam Tjandra,
2005: 20), hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kualitas
pelayanan mulai dari waktu tunggu, waktu proses hingga waktu
penyelesaian suatu produk pelayanan sebagai berikut:
1. Akurasi pelayanan, berkaitan dengan realitas pelayanan dan bebas
dari kesalahan.
2. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, terutama
bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan pelanggan (internal
maupun eksternal).
3. Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan
penanganan keluhan dari pelanggan.
4. Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan penerimaan
pesanan dan penanganan keluhan pelanggan.
5. Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan erat dengan
banyaknya outlet, banyaknya petugas yang melayani, banyaknya
6. Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi untuk
memberikan pola-pola baru dalam pelayanan, features dari
pelayanan.
7. Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas penanganan
permintaan khusus.
8. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan
lokasi, ruang dan tempat pelayanan, kemudahan menjangkau,
tempat parkir kendaraan, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk
dan bentuk-bentuk lain.
9. Atribut pendukung pelayanan lainnya, seperti lingkunga kebersihan,
ruang tunggu dan fasilitas lainnya.
1.5.3. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kualitas Pelayanan Publik
Pelayanan publik sebagai suatu proses kinerja organisasi, keterikatan dan
pengaruh budaya organisasi sangatlah kuat. Secara spesifik peran penting yang
dimainkan oleh budaya organisasi didalam menjalankan suatu organiasi adalah
membantu menciptakan rasa memiliki terhadap organisasi, menciptakan jati diri
para anggota organisasi, menciptakan keterikatan emosional antara organisasi dan
pekerja yang terlibat didalamnya, membantu menciptakan stabilitas organisasi
sebagai sistem sosial, dan menemukan pola pedoman perilaku sebagai hasil dari
norma-norma kebiasaan yang terbentuk dalam keseharian.
Begitu kuatnya pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku para anggota
organisasi, maka budaya organisasi mampu menetapkan tapal batas untuk
membedakan dengan organisasi lain, mampu membentuk identitas organisasi dan
identitas kepribadian anggota organisasi, mampu mempermudah terciptanya
mampu meningkatkan kemantapan keterikatan sistem sosial, dan mampu
berfungsi sebagai mekanisme pembuatan makna dan simbol-simbol kendali
perilaku para anggota organisasi.
Budaya organisasi yang baik tentunya akan mampu menciptakan kualitas
pelayanan yang baik pula. Karena budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap
perilaku para anggota organisasi, sehingga jika suatu budaya organisasi mengarah
kepada budaya organisasi yang berkualitas, maka tidak heran jika anggota
organisasi juga akan berkualitas. Hal ini dikarenakan tindakan mereka akan
secara otomatis berbuat sebaik mungkin demi tetap bertahannya kebudayaan yang
telah mereka miliki dan akan mempertahankannya.
1.6.Hipotesis
Hipotesis berasal dari kata “hypo” yang berarti dibawah dan “thesa” yang berarti
kebenaran. Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan.
Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang
relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan
data. (Sugiyono, 2005: 70)
Adapun hipotesis yang dirumuskan peneliti dalam penelitian ini, adalah:
1. Hipotesis kerja (H1)
Hipotesis kerja adalah hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara
variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok. Hipotesis kerja
dari penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh yang positif antara budaya organisasi terhadap kualitas pelayanan publik”
Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya perbedaan
antara dua variabel, atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y.
Hipotesis nol dari penelitian ini adalah “Tidak terdapat pengaruh yang positif antara budaya organisasi terhadap kualitas pelayanan publik”
1.7.Definisi Konsep
Menurut Singarimbun (2006: 33), konsep adalah istilah dan definisi yang
digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok,
atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial. Untuk menghindari kesalahan dari
pemaknaan terhadap konsep maka perlu ada batasan-batasan dalam memahami suatu
konsep dengan cara mendefinisikan kosep secara jelas.
Maka berdasarkan judul yang dipilih oleh peneliti, yang menjadi konsep dari
penelitian ini adalah:
1. Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi atau keyakinan, nilai-nilai dan
norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah
laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan
integrasi internal.
2. Kualitas Pelayanan Publik adalah totalitas dari karakteristik suatu produk
barang atau jasa atas segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan public sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan. Sehingga kualitas pelayanan berhubungan erat dengan
pelayanan yang sistematis dan komprehensif yang dikenal dengan konsep
pelayanan prima.
1.8.Definisi Oprasional
Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan cara mengukur
pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Singarimbun, 2006: 46).
Melalui pengukuran ini dapat diketahui indikator apa saja sebagai pendukung untuk
dianalisis dari variabel-variabel tersebut.
Definisi operasional merupakan uraian dari konsep yang sudah dirumuskan dalam
bentuk indikator-indikator agar lebih memudahkan dalam operasional dari sudut
penelitian. Adapun yang menjadi definisi operasinal dalam penelitian ini yaitu:
1. Variabel bebas (X), budaya organisasi diukur dengan indikator, sebagai berikut:
a. Inisiatif Individual
Yaitu Tingkat tanggung jawab, kebebasan atau indepedensi yang dipunyai
setiap anggota organisasi dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individual
tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi
sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan
organisasi atau perusahaan.
b. Pengarahan
Pengarahan dimaksudkan sejauh mana organisasi atau perusahaan dapat
menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan
harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi.
Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi atau perusahaan.
c. Integrasi
Integrasi dimaksudkan sejauh mana organisasi atau perusahaan dapat
mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang
terkoordinasi. Kekompakan unit-unit tersebut dapat mendorong kualitas dan
kuantitas pekerjaan yang dihasilkan.
Dukungan manajemen dimaksudkan sejauh mana para manajer dapat
memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas
terhadap bawahan.
e. Kontrol
Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau
norma-norma yang berlaku di dalam suatu organisasi atau perusahaan.
f. Identitas
Dimaksudkan untuk sejauh mana para anggota suatu organisasi atau
perusahaan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu kesatuan dalam
perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian
profesional tertentu.
g. Toleransi terhadap konflik
Sejauh mana para pegawai atau karyawan di dorong untuk mengemukakan
konflik dan kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena
yang sering terjadi dalam suatu organisasi atau perusahaan. Namun,
perbedaan pendapat dan kritik tersebut bisa digunakan utnuk melakukan
perbaikan atau perubahan strategi utnuk mencapai tujuan organisasi atau
perusahaan.
h. Pola komunikasi
Sejauh mana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.
Kadang-kadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola
komunikasi antara atasan dan bawahan atau antar karyawan itu sendiri.
2. Variabel terikat (Y), kualitas pelayanan publik diukur dengan indikator, sebagai
1. Bukti Langsung (tangibles), yang meliputi fasilitas fisik, pegawai,
perlengkapan dan sarana komunikasi. Fasilitas fisik yang dimaksud disini
adalah seperti gedung perkantoran, ruang tunggu untuk customer, telepon
dan komputer.
2. Daya tanggap (responsiveness), suatu karakteristik kecocokan dalam
pelayanan manusia, mampu yaitu keinginan para staf untuk membantu
masyarakat dalam memberikan pelayanan dengan tanggapan. Keinginan itu
seperti kemauan aparat birokrasi untuk memberikan informasi-informasi
yang terkait dengan waktu pelayanan, syarat-syarat program langsung.
3. Keandalan (reability), yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang
menyajikan dengan segera dan memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari
kemampuan dan kecakapan aparat dalam mengerjakan tugas-tugas yang
dibebankan dan menjadi kewajibannya dengan cepat sesuai dengan waktu
yang dijanjikannya.
4. Jaminan (assurance), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat
dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf, bebas dari bahaya, resiko atau
skeraguan. Yaitu seperti kepastian yang diberikan oleh aparat untuk membuat
masyarakat pengguna jasa merasa yakin bahwa tugas yang dilaksanakannya
akan bebas dari kesalahan.
5. Empati (emphaty) yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan
komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan. Hal ini
seperti bagaimana aparat menciptakan komunikasi eksternal untuk