• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Fandy : Aspek Hukum Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS DI INDONESIA

Milsida Fandy, Henry Soelistyo Budi Hardijan Rusli

ABSTRACT

In the free trade era, there is an urgent need of a "rule of the game" that can create fairness in the more liberal international trade system without neglecting the social economic differences among countries. TRIPs, as part of the agreement on the establishment of WTO, is meant to control the trade related aspects of Intellectual Property Rights including trade in counterfeit goods. As a member of WTO, it is essential that Indonesia adjust its regulations on Intellectual Property Rights in accordance with TRIPs agreement.

Geographical Indication is one of the Intellectual Property Rights that needs to be protected. It is incorporated in Article 22-24, the TRIPs agreement and Article 56-

60, Indonesia's UU No. 15/2001 about Trademark. Problems in this area mostly arise from people's lacking of knowledge on Geographical Indication and the lack of Government's attention on this matter. The registration of Kopi Toraja (Toraja Coffee) as his trademark by a Japanese businessman is a notorious example of many potential problems.

To overcome this and other problems that may emerge in the future, it is important that the Indonesian Government take any necessary measures to prevent from more losses. This article analyses legal aspects of the Geographical Indication problems.

It also provides alternatives to settle the problems lawfully.

Keywords : Geographical Indication, Law no. 15-2001, article 22-24 TRIPs, WTO, Intellectual Properly Rights, Trademark.

30 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.2, Nop. 2003

(2)

PENDAHULUAN

Perdagangan bebas yang selama ini didengungkan telah menimbulkan kebutuhan akan adanya rule of the game yang dapat dipatuhi oleh semua pihak dalam perdagangan internasional. Rule of the game yang dimaksud diharapkan dapat memenuhi kebutuhan akan terciptanya sistem perdagangan yang lebih bebas, adil, dengan tetap memperhatikan perbedaan tingkat sosial ekonomi dari negara-negara dunia. Upaya yang telah ditempuh dalam menciptakan rule of the game yang dimaksud dapat dilihat melalui pembentukan beberapa persetujuan internasional dan pelembagaannya melalui lembaga-lembaga internasional.

Salah satu lampiran dalam Persetujuan Pembentukan WTO adalah Persetujuan Tentang Aspek- Aspek Dagang Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI1) Termasuk Perdagangan Barang Palsu {Agreement on Trade Related

1 Hukum kekayaan intelektual yang melindungi gagasan-gagasan dari penggunaan atau peniruan orang yang tidak berhak.

Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/TRlPs).

Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual dapat dibagi dalam dua kategori yaitu: Hak Cipta2 dan Hak Kekayaan Industri.

Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi Paten3, Merek4, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman.

2 Hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.

3 Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

4Tanda berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa.

(3)

Fandy : Aspek Hukum Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia

Sebagai konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade Organization), Indonesia harus menyesuaikan segala peraturan perundangannya di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual dengan standar TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Dalam kaitannya dengan Indikasi Geografis sebagai salah satu hak atas kekayaan intelektual, permasalahan-permasalahan yang mendesak adalah mengenai konsepsidasardan kurangjelasnya batasan-batasan yang ada dalam UU No. 15 tahun 2001 yang mengatur mengenai Indikasi Geografis ini. Berdasarkan Undang-undangNo. 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (1). Rumusan tersebut terasa tidak jelas batasannya terutama bila dilaksanakan pada saat praktek nanti. Kesulitannya adalah

menentukan tindakan-tindakan apa yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Indikasi Geografis.

Apabila kita perhatikan, indikasi geografis merupakan suatu hal yang cukup asing bagi masyarakat kita. Hal ini akan menyebabkan kerugian yang besar terhadap bangsa kita sendiri.

Banyak hal mengenai indikasi geografis yang sebenarnya merupakan milik bangsa Indonesia tetapi dalam hal ini bukan menjadi milik bangsa Indonesia, contohnya kopi Toraja. Dalam hal ini, pada dasarnya kopi Toraja merupakan milik Indonesia, karena kopi tersebut dihasilkan di daerah Indonesia. Akan tetapi karena pengetahuan mengenai indikasi geografis yang sangat rendah maka menyebabkan kopi Toraja ini menjadi milik negara lain.

POKOK PERMASALAHAN Dari uraian di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini, yaitu:

A. Bagaimanakah pengertian Indikasi Geografis, kriteria, perbedaannya dengan Indikasi Asal berdasarkan

32 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.2, Nop. 2003

(4)

pengaturannya di Indonesia pascaUUNo.15 Tahun2001 mengenai Merek ?

B. Bagaimana penyelesaian permasalahan Indikasi Geografis yang terjadi di Indonesia yaitu Kasus Kopi Toraja ?

C. Bagaimana aspek pengaturan Indikasi Geografis di Indonesia?

Analisis Mengenai Aspek Hukum Indikasi Geografis di Indonesia

Sebelum membahas kasus Kopi Toraja yang terjadi di Indonesia, perlu terlebih dahulu dibahas pengertian mengenai indikasi geografis dan perbedaannya dengan indikasi asal sesuai dengan ketentuan Undang- undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Seperti telah diuraikan dalam Bab II mengenai pengertian indikasi geografis, Indikasi Geografis secara konseptual dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada

barang yang dihasilkan.

Perbedaannya dengan indikasi asal telah diuraikan pula dalam Bab II, yaitu terletak pada

ketentuan mengenai pendaftarannya. Dengan kata lain,

indikasi asal pada dasarnya adalah tanda yang serupa dengan tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis, tetapi perlindungannya diberikan tanpa harus didaftarkan.5

Jadi perbedaannya hanya terletak pada kewajiban dari pendaftarannya saja. Indikasi Asal menunjukkan asal produk yang bersangkutan dan tidak perlu didaftarkan.

Analisis Kasus Kopi Toraja Salah satu permasalahan mengenai Indikasi Geografis yang tercatat di Indonesia adalah kasus Kopi Toraja. Kopi Toraja yang berdasarkan namanya merupakan hak masyarakat Indonesia, pada kenyataannya telah didaftarkan oleh pengusaha Jepang, yaitu milik Key Coffee, Inc. Japan.

Dari fakta permasalahan tersebut, dapat dianalisis secara bertahap sebagai berikut:

Tahap I : Analisis mengenai tingkat pengetahuan dan kepedulian

(5)

Fandy : Aspek Hukum Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia

masyarakat Indonesia terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) khususnya mengenai indikasi geografis.

Tahap II : Analisis mengenai tingkat antisipasi para pengusaha lokal dalam melindungi produknya tersebut.

Tahap III : Analisis mengenai peran pemerintah dalam ikut melindungi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), khususnya mengenai Indikasi Geografis.

Secara spesifik akan dianalisis mengenai Peraturan Pemerintah yang diamanatkan pembentukannya oleh Undang- undang No.14 Tahun 1997 dan Undang-undang No. 15 Tahun 2001 mengenai Merek.

1. Analisis Tahap Pertama

mengenai Tingkat Pengetahuan dan Kepedulian Masyarakat

Indonesia terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual, khususnya mengenai Indikasi Geografis.

Kasus penggunaan nama daerah sebagai Indikasi Geografis oleh perusahaan asing terjadi lebih disebabkan karena Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) tidak

disosialisasikan. Hal ini merupakan kendala yang mendasar yang menyebabkan kasus Kopi Toraja terjadi.

Dengan kata lain, karena masih rendahnya pendidikan masyarakat Indonesia atau karena ketidakmengertian masyarakat akan permasalahan HaKI, sehingga dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk keuntungan mereka.

Berdasarkan pengamatan terhadap permasalahan- permasalahan yang timbul dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan di Indonesia pada dasarnya masih tergolong rendah. Hal itu merupakan salah satu penyebab rendahnya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai Indikasi Geografis. Dengan rendahnya pengetahuan mengenai Indikasi Geografis ini, maka masyarakat Indonesia juga tidak peduli terhadap HaKI.

Sejauh ini terbukti bahwa masyarakat Indonesia belum menyadari arti pentingnya pendaftaran Indikasi Geografis. Padahal pendaftaran merupakan salah

satu bentuk publikasi dari

34 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.2, Nop. 2003

(6)

produk yang dihasilkannya.

Pada kenyataannya masyarakat Indonesia masih

berpikir dalam kerangka hukum adat {customary law) yang tidak mengenal arti yuridis dari pendaftaran.

Berdasarkan ketentuan Pasal 56 sampai dengan 60 UU No. 15 Tahun 2001, tampak bahwa pihak yang harus lebih proaktif pada dasarnya adalah masyarakat sendiri. Sebab, Indikasi Geografis ternyata melibatkan perhatian masyarakat, khususnya yang memiliki kepentingan langsung.

2. Analisis Tahap Kedua mengenai tingkat antisipasi para pengusaha lokal dalam melindungi produknya.

Selain alasan yang diuraikan pada analisis tahap pertama yakni kurangnya pendidikan dan tingkat kepedulian masyarakat terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yang

menjadi penyebab permasalahan kopi Toraja

adalah kurangnya antisipasi dari pengusaha lokal.

Pengusaha lokal dalam hal ini

dianggap kurang jeli dalam melihat potensi yang ada. Yang dimaksud dengan pengusaha lokal adalah pengusaha Indonesia yang akan mengalami kerugian yang sangat besar.

Dampak dari kurangnya antisipasi para pengusaha lokal telah mengakibatkan kopi Toraja mengalami kesulitan untuk diekspor ke luar negeri dan sulit untuk

memasuki pasaran Internasional karena telah

didaftarkannya kopi Toraja sebagai merek dagang oleh pengusaha Jepang.

Hal seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila para pengusaha lokal dapat mengantisipasi terjadinya kasus-kasus seperti ini.

Apalagi kopi Toraja yang berasal dari Sulawesi Selatan ini, telah dikenal kualitasnya secara internasional.

3. Analisis Tahap Ketiga mengenai tingkat peran pemerintah dalam ikut melindungi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yaitu mengenai Indikasi Geografis

(7)

Fandy : Aspek Hukum Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia

Selain alasan-alasan di atas, pemerintah dalam hal ini juga dinilai kurang

berpartisipasi untuk mencegah pelanggaran ini. Hal ini dapat dilihat dari bukti belum disusunnya Peraturan Pemerintah yang sejak tahun

1997 telah diperintahkan untuk disusun. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 maupun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001, menegaskan hal itu. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah peraturan mengenai tata cara pendaftaran Indikasi Geografis. Dalam ketentuan Pasal 56 (9) Undang- undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek tercantum bahwa ketentuan mengenai tata cara pendaftaran Indikasi Geografis diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Selain belum disusunnya Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pendaftaran

Indikasi Geografis, Pemerintah juga kurang efektif

mensosialisasikan arti penting perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual khususnya dalam bidang Indikasi Geografis.

Pemerintah dalam hal ini

kurang peduli terhadap perlindungan Indikasi Geografis yang ada di Indonesia. Pemerintah terkesan hanya membuat aturan mengenai Indikasi Geografis secara teori saja. Artinya, dalam hal ini pemerintah tidak pernah peduli terhadap kasus- kasus yang terjadi pada prakteknya.

Pada dasarnya, kasus kopi Toraja ini sangat membutuhkan peran serta Pemerintah. Tanpa adanya sistem perlindungan Indikasi Geografis yang efektif di Indonesia, maka sia - sialah segala usaha dari berbagai pihak untuk mempertahankan kopi Toraja sebagai hak milik pihak Indonesia.

Analisis Aspek Pengaturan Indikasi Geografis di Indonesia

Analisis terhadap aspek pengaturan Indikasi Geografis perlu dirujukkan pada Undang- undang mengenai Merek, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001. Sebelum diundangkannya undang-undang tersebut, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek yang

36 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.2, Nop. 2003

(8)

merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun

1992. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001, masalah Indikasi Geografis diatur dalam Pasal 56 - 60. Yang diatur dalam pasal-pasal tersebut tidak hanya mengenai Indikasi Geografis, tetapi juga mengenai Indikasi Asal.

Adapun tindakan pelanggaran atas Indikasi Geografis sebagaimana diatur dengan UU No. 15 tahun 2001 meliputi 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu :

a. Tindak Pidana Kejahatan Pasal 92 UU No. 15 tahun 2001. menentukan bahwa tindakan yang termasuk kejahatan adalah:

Penggunaan secara sengaja dan tanpa hak terhadap tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak lain yang telah terdaftar untuk barang yang sama atau sejenis.

Penggunaan secara sengaja dan tanpa hak terhadap tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain yang telah terdaftar untuk barang yang sama atau sejenis.

b. Tindak Pidana Pelanggaran Pasal 94 UU No. 15 Tahun 2001 mengatur ketentuan bahwa yang termasuk dalam pelanggaran adalah tindakan memperdagangkan barang dan/

atau jasa yang diketahui, atau patut diketahui bahwa barang dan jasa tersebut adalah hasil pelanggaran dari Pasal 90, 91, 92, dan Pasal 93.

Pengertian Indikasi Geografis ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) yang menyatakan bahwa "Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan."

Perlindungan Indikasi Geografis dibangun dari kenyataan adanya beberapa daerah atau geografi yang memiliki faktor-faktor alam yang dapat mempengaruhi atau memberi ciri pada produk yang dihasilkan di daerah tersebut.

Faktor-faktor tersebut meliputi lingkungan alam, seperti iklim, air, tanah, dan kondisi geografis, ataupun faktor manusia. Yang perlu

(9)

Fandy : Aspek Hukum Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia

ditegaskan adalah bahwa Indikasi Geografis hanyalah sekedar tanda.

Sama halnya dengan merek, tanda tersebut diartikan sebagai identitas, tetapi yang sekaligus merujuk daerah asal barang.

Indikasi asal adalah tanda yang hampir serupa dengan tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis, tetapi perlindungannya diberikan tanpa harus didaftarkan.

Indikasi Asal hanya menunjukkan asal produk yang bersangkutan dan tidak perlu didaftarkan. Sebagai tanda, Indikasi Asal sebenarnya memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai Indikasi Geografis, tetapi oleh yang berhak, tanda tersebut tidak didaftarkan atau memang sengaja hanya digunakan semata- mata untuk menunjukkan asal suatu barang atau jasa. Jika dilihat ketentuan dalam UU No. 15Tahun 2001, perbedaan antara indikasi geografis dan indikasi asal hanya terletak pada status pendaftarannya.

Pelanggaran Indikasi Geografis terjadi bilamana dengan itikad tidak baik dan tanpa ijin masyarakat daerah asal/lembaga yang diberi kewenangan atau yang mewakilinya:

(a) Memalsukan Indikasi Geografis terdaftar.

(b) Memperdaya masyarakat dengan mengelabui asal-usul, proses pembuatan, ciri, kualitas dan kegunaan.

Banyak produk khas Indonesia yang namanya telah didaftarkan sebagai merek oleh para pengusaha asing. Salah satunya, kopi khas Indonesia asal Toraja yang didaftarkan oleh perusahaan di Jepang. Dalam hal demikian produk kopi dengan menggunakan nama Toraja tidak akan bisa diekspor ke Jepang. Secara teknis hukum hal itu dapat dilakukan melalui beberapa pilihan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu :

Pilihan I : Pihak Indonesia mengajukan pendaftaran Kopi Toraja sebagai indikasi geografis.

Bila dapat disetujui, maka pihak Jepang yang saat ini telah mendaftarkan Kopi Toraja dapat diberi kesempatan menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai Indikasi Geografis. Artinya, apabila pihak Jepang dianggap beritikad baik dalam menggunakan tanda Kopi

38 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.2, Nop. 2003

(10)

Toraja maka ia dijinkan untuk menggunakan tanda tersebut selama 2 tahun. Setelah itu tanda Kopi Toraja dikembalikan kepada pihak Indonesia. Skenario seperti ini harus didukung dengan tersedianya ketentuan mengenai tata cara permohonan pendaftaran Indikasi Geografis. Ini berarti, Pemerintah harus segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 56 (9) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Pilihan II: Pihak Indonesia dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran terhadap Kopi Toraja.

Dasar dari gugatan pembatalan itu adalah "bahwa indikasi geografis 'Kopi Toraja' adalah milik masyarakat (adat) Toraja".

Gugatan pembatalan ini dapat dilakukan oleh pihak Indonesia berdasarkan Persetujuan TRIPs, mengingat Indonesia dan Jepang merupakan negara anggota WTO.

2. Aspek pengaturan Indikasi Geografis perlu dirujukkan pada Undang-undang mengenai Merek, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001.

Sebelum diundangkannya undang-undang tersebut, Indikasi Geografis diatur dalam Undang-undang Nomor

14 Tahun 1997 tentang Merek yang merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992. Dalam Undang- undang Nomor 15 Tahun 2001, masalah Indikasi Geografis diatur dalam Pasal 56 - 60.

Yang diatur dalam pasal-pasal tersebut tidak hanya mengenai Indikasi Geografis, tetapi juga mengenai Indikasi Asal.

Adapun tindakan pelanggaran atas Indikasi Geografis sebagaimana diatur dengan9 UUNo. 15 tahun 2001 meliputi 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu:

a. Tindak Pidana Kejahatan b. Tindak Pidana Pelang-

garan

Referensi

Dokumen terkait

Disarankan kepada pihak RSUD Kota Langsa untuk meningkatkan pendidikan dan  pelatihan bagi perawat pelaksana di ruang rawat bedah, melakukan upaya promosi kesehatan

Penelitian ini merupakan PTK dimana dalam pelaksanaannya tidak hanya melihat hasil yang dicapai oleh siswa akan tetapi untuk mengetahui bagaimana aktivitas guru mengelola

Dalam penelitian ini untuk menemukan sumber-sumber sejarah digunakan studi pustaka. Studi pustaka dilakukan di perpustakaan, didalam perpustakaan

Hal itu dicapai dengan menggunakan konsep desain yang menjadi ciri khas bandar Djakarta yaitu garden seafood yang diaplikasikan pada elemen interior baik

Responden adalah penerima pelayanan publik yang pada saat pencacahan sedang berada di lokasi unit pelayanan dan telah menerima pelayanan dari aparatur penyelenggara

Lalu LSPB 6 tentang Kita Sebagai Manajer Penanggulangan Bencana karena pertambangan jika tidak sesuai dengan prosedur akan berakibat pada rusaknya alam yang menyebabkan

Materi Kelas Indikator Soal Level Kognitif No Soal Bentuk Soal 1 Memahami hak kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga dalam kehidupan sehari-hasil Hak dan

NO. Saya merasa puas dengan pendapatan yang saya terima setiap bulan. Saya merasa puas dengan kebutuhan sandang yang saya pakai. Saya merasa puas dengan pemenuhan