• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL KONSERVASI TEKNIS PADA PENENTUAN KETEBALAN GREEN BELT MANGROVE PANTAI BAJOE KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN MODEL KONSERVASI TEKNIS PADA PENENTUAN KETEBALAN GREEN BELT MANGROVE PANTAI BAJOE KABUPATEN BONE SULAWESI SELATAN"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN MODEL KONSERVASI TEKNIS PADA PENENTUAN KETEBALAN

GREEN BELT MANGROVE PANTAI BAJOE KABUPATEN BONE SULAWESI

SELATAN

Muhammad Arsyad Thaha 1

1

Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10 Tamalanrea Makassar, email: athaha_99@yahoo.com.

ABSTRAK

Limited engineering study is presently available on the performance of rhizophora forest as natural shore protection. The disappearance of mangrove forest as the natural protection is one reason why abrasion occurred in many coastal areas. At coastal zone where the unprotected beach situated, the hydrodinamic impact will create potentially abrasion. This paper aims to introduce an alternative conservation model in the determination of green belt width in order to mitigate the coastal area from wave attack. Based on an experimental finding, a unique relationship between the wave energy absorption and relative density of rhizophora shrub was developed to optimized green belt width zone. The model was then applied to determine the green belt width of Bajoe (Bone Regency) coastal zone. The result indicates that the calculated width range about 60 to 100 m is quite moderate compare to 286 m width calculated by existing regulation (Keppres 32/1990).

Keyword: engineering aspect, rhizophora, shore protection

1. PENDAHULUAN

Morfologi pantai Bajoe sangat dipengaruhi oleh sungai-sungai yang bermuara di pantai tersebut beserta gelombang dan pasang surut laut Teluk Bone. Karakteristik pantai di ujung utara dan selatan dari panjang pantai yang ditinjua adalah pantai berlumpur yang ditumbuhi mangrove. Meskipun dari foto udara masih terlihat membentang lajur hijau (buffer zone) mangrove, namun ketebalan tersisa sudah sangat kecil bahkan pada beberapa titik telah terbuka dan telah mengalami erosi oleh gelombang. Kajian tentang cara perlindungan pantai di Indonesia telah banyak dilakukan oleh para pakar dengan pendekatan hard structures, dan untuk menyeimbangkan pengelolaan pantai dengan soft structures, maka tulisan ini disampaikan sebagai referensi bagi pihak pengembang, untuk mengatasi permasalahan pantai yang berwawasan lingkungan khususnya tipe pantai bersubstrak lumpur.

Telah disadari secara luas bahwa ekosistem mangrove memegang peranan penting dalam memberikan jasa lingkungan sebagai pendukung utama kehidupan dan habitat biota laut penting seperti ikan, kepiting, kerang-kerangan dan lain-lain. Fungsi penting lainnya adalah melindungi pantai dari erosi/abrasi, intrusi air laut, gelombang badai/tsunami dan angin taufan (Dahuri et al, 1996). Hutan mangrove yang terlalu lebat akan menyebabkan pertumbuhan daratan pantai yang tidak normal dan akan berakibat rentannya lahan atas terhadap banjir. Secara sosial-ekonomi, tidak kurang dari 70 macam manfaat tumbuhan mangrove telah teridentifikasi diantaranya untuk kayu bakar, bahan bangunan, sumber bahan pakaian (serat sintetis), bahan mentah kertas, alkohol, obat-obatan (Saenger et al, 1983 dalam Dahuri et al, 1996).

Seperti telah disadari pula bahwa kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia sudah memprihatinkan. Luas mangrove Indonesia yang pernah mencapai 13 juta hektar, ternyata pada tahun 1993 tinggal sekitar 2,5 juta hektar (Dahuri et. al., 1996). Kerusakan itu disebabkan oleh kegiatan manusia dan alam. Pengrusakan telah pada tahap yang menghawatirkan. Eksploitasi berlebihan untuk kayu bakar, bahan bangunan, bahan baku kertas dan lain-lain serta konversi lahan hutan menjadi tambak, pemukiman, industri dan lain-lain telah menjadi penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove. Dampak yang timbul sangat besar, dalam skala mikro menyebabkan penurunan produksi perikanan, erosi dan abrasi pantai, tumbuhan dan hewan akan hilang, sumber matapencaharian bagi penduduk setempat menjadi hilang dan menyebabkan pencemaran dan intrusi air laut.

Untuk menyelamatkan ekosistem pantai yang terancam rusak, telah ditempuh berbagai upaya seperti konservasi, reservasi dan rehabilitasi. Kajian ekologis dan sistem pelestarian telah banyak dilakukan untuk menyusun perangkat dan pedoman pengelolaan daerah pantai. Dari sekian banyak kajian tersebut sebagian diantaranya telah diakomodasi dalam penetapan berbagai peraturan dan perundang-undangan seperti Instruksi Menteri Pertanian No.13/Ins/Um/7/1975, SK Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/I/78 serta SKB Menteri Kehutanan dan Pertanian No. KB.550/246/KPTS/4/1984 dan No. 082/Kpts-II/1984, UU No.5 tahun 1990, dan terakhir Keppres No. 32 tahun 1990

(2)

tentang lebar jalur hutan pantai yaitu 130 P, dimana P adalah tinggi pasang surut. Namun agaknya perangkat tersebut belum cukup efektif meredam laju pengrusakan dan kerusakan hutan. Kelemahannya adalah belum terakomodasinya aspek-aspek yang terkait dengan hutan mangrove, sosialisasi yang kurang dan tata ruang yang belum jelas (Dahuri et. al., 1996). Dari aspek fisik/teknis, hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung alami pantai dari abrasi/erosi gelombang, banjir, ancaman gelombang badai dan tsunami serta angin taufan.

Salah satu aspek yaitu fungsi teknis mangrove sebagai pelindung pantai dari erosi/abrasi gelombang telah diteliti oleh Thaha (2000). Erosi/abrasi pantai disebabkan oleh gelombang yang sampai ke pantai dengan memindahkan energinya baik melalui gerusan arus bolak balik pada gelombang tidak pecah, gesekan arus dan turbulensi bangkitan gelombang pecah. Karena erosi/abrasi adalah fungsi dari energi gelombang, maka oleh Thaha(2000) dilakukan uji simulasi model rumpun bakau dalam meredam energi gelombang. Hasilnya dapat digunakan untuk menentukan tebal minimal green belt mangrove untuk mencegah terjadinya abrasi/erosi daratan pantai. Pengamanan daerah pantai menjadi sangat penting apabila pada lahan bagian belakang digunakan untuk berbagai aktivitas ekonomi seperti pertambakan dan perindustrian. Dalam tulisan ini akan dibandingkan lebar jalur hijau mangrove yang dihitung berdasarkan Keppres 32 tahun 1990 dan dihitung berdasarkan persamaan hasil penelitian tersebut untuk.

2. FUNGSI TERPADU MANGROVE

Filosofi pengelolaan daerah pantai haruslah berorientasi pada suatu pengertian bagaimana mengembangkan dan mengelola potensi daerah tersebut secara optimal berdasarkan daya dukung lingkungan. Tiga fungsi mangrove yaitu ekologis, fisik perlindungan dan social ekonomi harus dipenuhi secara terpadu sehingga diharapkan proses ekologis tetap dapat berjalan normal dan daerah pesisir dapat terlindung dari bahaya abrasi/erosi, banjir, angin taufan, intrusi air laut serta masyarakat tetap dapat memperoleh hasil hutan, mendapatkan lahan untuk berusaha memperbaiki kualitas hidupnya. Kajian-kajian yang ada perlu di evaluasi kesesuaiannya selanjutnya ditetapkan menjadi pedoman/kebijakan untuk digunakan dalam program penataan daerah pantai sebelum tindakan penyelamatan lingkungan terlambat dilakukan.

Rumusan optimalisasi fungsi jalur hijau mangrove adalah bahwa fungsi hutan yang optimal hanya dapat diperoleh pada suatu ukuran lebar jalur hijau yang ideal yang berada diantara lebar yang besar dan kecil sebagaimana dilihat pada matriks Tabel 1. Berapa ukuran lebar yang ideal ? perlu kajian komprehensif yang mempertimbangkan keterpaduan ketiga fungsi tersebut. Ukuran ideal tersebut sangat tergantung pada kondisi lokasi masing-masing daerah, dan untuk itulah ukuran ideal tersebut perlu dirumuskan dalam bentuk persamaan matematika dan atau kurve hubungan parameter tak berdimensi yang digeneralisir agar berlaku umum.

Kajian aspek ekologis terbatas pada analisis produktivitas serasah mangrove dengan asumsi bahwa tolok ukur utama fungsi lingkungan mangrove adalah produksi serasah. Dilihat dari segi ekosistem pantai, hutan mangrove mempunyai arti penting karena memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus, partikel-partikel dedritus ini menjadi sumber makanan bagi berbagai macam biota laut (Dahuri et. al., 1996). Head dalam Halisah dan Kurniaty (1997) melaporkan produksi serasah normal hutan bakau adalah 6 -8,8 ton/ha/tahun.

Tabel 1. Untung rugi dimensi jalur hijau mangrove (Thaha, 2002)

Lebar J Hijau

Keuntungan Kerugian Keterangan

Besar 1. Pantai terlindung 2. Ekologis sukses

1. Lahan usaha sempit 2. Potensi banjir di lahan atas

Dibutuhkan rumusan lebar/tebal hutan maksimal

Ideal Optimal Minimal

1. Perlu rangkaian riset

2. Salah satu bagian telah diteliti Thaha. Kecil Lahan usaha luas 1. Potensi erosi/abrasi

2. Resiko tsunami 3. Ekosistem rusak

Dibutuhkan rumusan lebar/tebal hutan minimal

3. PENENTUAN LEBAR JALUR HIJAU (GREEN BELT)

a.

Berdasarkan Keppres No.32 tahun 1990.

Suatu hasil kajian yang dipresentasekan pada Panel Diskusi Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove yang berlangsung di Ciloto pada tanggal 27 Februari – 1 Maret 1986, yang akhirnya

(3)

diakomodasi dalam KEPPRES 32 Tahun 1990 dan digunakan sebagai pedoman penetapan lebar jalur hijau (buffer zone) hingga saat ini. Besarnya lebar jalur hijau mangrove menurut Keppres tersebut adalah:

B = 130 x P (1)

Dimana P adalah tinggi/kisaran pasang surut, sedangkan angka 130 berasal dari produksi organik hutan mangrove.

b.

Berdasarkan Hasil Penelitian Terakhir (Model Konservasi Teknis)

Thaha (2000) melakukan simulasi model fisik rumpun bakau (rhizophora) umur 4-5 tahun di laboratorium dan mendapatkan bahwa peredaman energi gelombang dipengaruhi oleh kerapatan relatif perakaran, ketebalan hutan dan panjang gelombang. Hasil penelitian tersebut disajikan dalam Persamaan (2) berikut:

         

=

LCos

β

B

ζ

m

e

s

K

t

K

.

(2)

Dimana, Kt = koefisien transmisi gelombang; Ks = koefisien shoaling; ζ = kerapatan relative perakatan bakau; B = ketebalan mangrove (rishopora); L= panjang gelombang; Cos β = sudut datang gelombang dan

m = konstanta bernilai 14,8. Kerapatan relatif perakaran bakau (ζ) didefenisikan sebagai rasio (dalam %) antara volume akar terendam terhadap volume air yang merendamnya dalam satu panjang gelombang (Thaha, 2000). Rumusan kerapatan relatif perakaran bakau diillustrasikan dalam persamaan berikut:

100 W d L α 1 S W 1 S L V ζ

+ + = (3)

Dimana V adalah volume rerata perakaran satu pohon bakau, W adalah unit lebar rumpun dan α adalah faktor volume terendam ( fungsi dari kedalaman air d dan tinggi perakaran bakau z). α= 0.95 untuk d/z=1 dan α = 0.67 untuk d/z=0.5. Hubungan ζ (%) dengan d/z disajikan pada Gbr. 1.

Gambar 1. Kurve penentuan nilai kerapatan perakaran bakau ζ (Thaha, 2002)

c. Perbandingan Hitungan Dimensi Jalur Hijau

Dari dua cara perhitungan dimensi jalur hijau yang diterapkan pada Pantai Bajoe yaitu berdasarkan Keppres 32 tahun 1990 dan hasil penelitian terakhir, seperti terlihat dalam Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa Keppres 32 membutuhkan lebar jalur hijau yang cukup besar yaitu sekitar 195 m, sedangkan berdasarkan hasil penelitian terakhir diperlukan hanya berkisar 30,50 m termasuk tebal keamanan (safety layer) yang dipersiapkan rusak pada saat badai berlangsung. Perbedaan yang ada terdapat pada kemampuan mengakomodasi parameter-parameter lapangan yang berpengaruh diantaranya tinggi dan panjang gelombang (Hi dan L), tinggi pasang surut (d), kerapatan tumbuhan dan /atau perakaran bakau (ζ).

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.03 0.035 0.04 0.045 0.05 0 10 20 30 40 50 60 70 Jumlah Akar (btg) K e ra p a ta n p e ra k a ra n (ζ) Kerapatan phn 0,25 btg/m2; d/z=1 Kerapatan phn 0,25 btg/m2; d/z=0,5 Kerapatan phn 1 btg/m2; d/z=1 Kerapatan phn 1 btg/m2; d/z=0,5

(4)

Tabel 2. Perbandingan dimensi jalur hijau untuk green belt Pantai Bajoe berdasarkan Keppres 32 tahun 1990 dan hasil penelitian terakhir (Thaha, 2000)

No. Parameter Keppres 32 Konservasi Teknis (Thaha, 2000)

1 Persamaan 130 P          

=

LCos

β

B

ζ

m

e

s

K

t

K

.

2 P 220 cm 220 cm 3 Kt - 0,22 4 Hi - 94 cm 5 ζ - 2,0% 6 L (Tmax = 6 dt) - 20,34 m 7 Safety layer - 10 m B (Lebar Jalur H) 286 m 81 m

4. DISKUSI DAN KESIMPULAN

Kerusakan daerah pantai di Indonesia yang sudah pada tahap yang memprihatinkan akibat hilangnya perlindungan pantai alami seperti hutan pantai, perlu segera dicermati sebelum segalanya terlambat. Abrasi pantai oleh gelombang yang sudah terjadi di mana-mana adalah permasalahan teknis, demikian juga fungsi fisik mangrove melindungi pantai dari abrasi juga masalah teknis. Dengan demikian penyelesaian masalah ini juga harus dikaji secara teknis dan tidak cukup hanya dengan aspek ekologis dan social-ekonomis. Hutan bakau yang terlalu tipis kurang dari batas minimal sesuai persamaan (2) akan menyebabkan abrasi pantai pada saat gelombang badai. Sedangkan hutan yang terlalu tebal di samping akan berpotensi menyebabkan banjir di hulunya, juga tidak memberi peluang masyarakat membuka usaha budidaya di belakangnnya. Parameter alam seperti gelombang, pasang surut, kelandaian pantai, sedimen, jenis dan kerapatan hutan bahau di setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga mutlak harus diperhitungkan dalam penentuan lebar hutan, sementara dalam Keppres 32/1990 hal itu belum terakomodasi. Tebal hutan bakau yang ada di kawasan Pantai Bajoe Kabupaten Bone saat ini hanya tersisa berkisar 0 - 30 m, jika dihitung berdasarkan hasil penelitian Thaha (2000) lebar yang diperlukan berkisar 81 m, sedangkan berdasarkan Keppres 32/1990 lebar yang dibutuhkan mencapai 286 m. Kajian komprehensif dan sinerji antara aspek teknis, ekologis dan social-ekonomis mendesak dilakukan untuk menyempurnakan peraturan penetapan lebar jalur hijau yang ada.

UCAPAN TERIMA KASIH

Atas bantuan data lapangan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan-Jeneberang dan kepercayaan PT. Surya Perkasa Raya selaku konsultan perencana melakukan studi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri R., Rais J., Ginting S.P., Sitepu M.J., 1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara

Terpadu, Cetakan pertama, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Dean, R. G. and R. a. Dalrymple, 1993, Water Waves Mechanics for Engineer and Scientist, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Dubi A. and Torum A., 1994, Wave Damping by Kelp Vegetations, Journal of Coastal Engineering, Tokyo.

Hughes S. A., 1993, Physical Models and Laboratory Techniques in Coastal Engineering, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore.

Katharina M. A., 2001, Model Matematis Perambatan Gelombang Melalui Rumpun Bakau Menggunakan Metode Karakteristik, Tugas Akhir S1 Teknik Sipil UGM, Yogyakarta.

Nur Yuwono, 1986, Teknik Pantai, Vol. I, penerbit KMTS, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Nur Yuwono, 1996, Perencanaan Model Hidraulik, Lab. Hodraulik dan Hidrologi, PAU IT UGM, Yogyakarta. Nybakken J. W., 1986, Biologi Laut (Suatu Pendekatan Ekologis), PT. Gramedya, Jakarta.

Sumedi N., 1996, Kajian Rehabilitasi Hutan Mangrove Di Kawasan Sinjai Timur, Prosiding Strategi Pembangunan Hutan Tanaman Industri Di Sulawesi, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Makassar.

(5)

Sumedi N., Adi R. N., 1997, Konservasi Perairan dan Pantai Tropis Di Sulawesi Selatan, Prosiding Strategi Pembangunan Hutan Tanaman Industri Di Sulawesi, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Makassar.

Thaha A., 2001, Simulasi Rumpun Bakau (Rhizophora) Sebagai Peredam Energi Gelombang, Thesis Magister Teknik Pantai Pps UGM, Yogyakarta.

Thaha A., Triatmadja R., Nur Yuwono, 2001, The Performace of Rhizophora As Natural Shore Protection, Paper dalam prosiding Seminar Nasional Teknik Pantai, PAU-IT UGM, Yogyakarta.

Thaha A., Triatmadja R., Nur Yuwono, 2001, Engineering Aspect of Mangroves As Shore Protection and Their

Applications, Paper tambahan untuk prosiding The International Symposium on Fishway and Tropical River Eco-hydraulics (Fish-TREC), Yogyakarta.

Verhagen H. J., 1998, Environmentally Friendly Shoreline Protection, Home page of Dicea, Department of Hydraulic Engineering IHE, Netherland.

(6)

Gambar

Tabel 1. Untung rugi dimensi jalur hijau mangrove (Thaha, 2002)  Lebar J
Gambar 1. Kurve penentuan nilai kerapatan perakaran bakau ζ (Thaha, 2002)
Tabel 2. Perbandingan dimensi jalur hijau untuk green belt Pantai Bajoe berdasarkan Keppres 32 tahun 1990  dan hasil penelitian terakhir (Thaha, 2000)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka perlu dilakukan penelitian mengenai Pengaruh Model Guided Discovery Terhadap Kesadaran Metakognitif dan Hasil Belajar

Kesimpulan berdasarkan penelitian yang dilakukan pada press release PT. Bank Sumut peneliti tidak menemukan adanya strategi yang khusus dilakukan ketika menulis press release oleh

Kemampuan siswa untuk memiliki atau mencapai ketiga ranah pendidikan yang disebut dengan taksonomi bloom tentulah merupakan suatu usaha atau upaya guru untuk memotivasi siswa

menunjukkan bahwa sebagian besar ibu balita di Puskesmas Caringin Kecamatan Babakan Ciparay bulan Maret – Mei 2017 pada penelitian ini memiliki pengetahuan yang

Ketepatan menjelaskan ciri- ciri Divisi Bryophyta, kelas Hepaticeae dan kelas Musci, bangsa sampai ketingkat familia dan genus serta beberapa contoh species dari

Pengujian dan penelitian meliputi pengujian sifat mekanik tanah yang telah dicampur dengan serbuk limbah keramik yaitu pengujian berat volume dan uji Triaksial tipe

1Chronicles 29:11 Thine, O LORD, is the greatness, and the power, and the glory, and the victory, and the majesty: for all that is in the heaven and in the earth is thine

Selain penugasan yang bersifat lintas sektoral dan kebendaharaan umum negara dan pengelolaan aset, pada tahun 2012 juga telah dilaksanakan penugasan dari Presiden (Pemerintah)