• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

Ibrahim (1993:125—126), berpendapat bahwa semua kelompok manusia mempunyai

bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk

mengacu berbagai objek dan konsep. Pada saat yang sama, interaksi verbal

merupakan suatu proses sosial di mana ujaran dipilih sesuai dengan norma-norma dan

harapan-harapan yang disadari secara sosial. Selanjutnya, fenomena kebahasaan bisa

dianalisis baik dalam konteks bahasa itu sendiri maupun di dalam konteks perilaku

sosial yang lebih luas. Dalam analisis bahasa secara formal objek perhatiannya adalah

seperangkat data kebahasaan yang diabstraksikan dari sudut pandang fungsi-fungsi

referensialnya. Akan tetapi, dalam menganalisis fenomena kebahasaan di dalam

semesta yang bisa ditentukan secara sosial, studi tentang penggunaan bahasa

(language usage) bisa merefleksikan norma-norma perilaku yang lebih umum.

Dari pendapat di atas, dapat diterima bahwa faktor multietnik menyebabkan

timbulnya multilingual dan diglosia yang akan menuntut masyarakat penutur bahasa

untuk menentukan sikap bahasa karena adanya pilihan bahasa. Pilihan bahasa itu

dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dari masyarakat penutur bahasa itu.

Adapun faktor internal, yaitu adanya prestise sosial—tingkah laku kebahasaan yang

menunjukkan ciri tersendiri—dan identitas diri—bahasa dipakai sebagai ciri etnik.

(2)

instrumental dan motivasi integrasi. Motivasi instrumental adalah suatu motivasi

belajar yang timbul dengan sikap pandang bahwa bahasa yang dipelajari dianggap

sebagai instrumen atau alat untuk mencapai sesuatu, sedangkan motivasi integarasi

(integrated motivation) adalah suatu motivasi yang timbul dengan sikap pandang

bahwa bahasa yang dipelajari akan menentukan hidupnya di masa yang akan datang.

Bisa saja diartikan, bahasa yang dipelajari itu dianggap untuk mengintegrasikan diri

ke dalam masyarakat baru yang akan dimasuki, (Sumarsono dan Paina, 2002).

Konsep diglosia dalam hal ini menganut konsep diglosia yang telah direvisi

dan dikembangkan oleh Fishman atas konsep diglosia oleh Ferguson. Konsep yang

dimodifikasi oleh Fishman, yakni pertama, Fishman tidak menekankan pentingnya

situasi hanya terbatas dua variasi bahasa. Dia memberikan peluang adanya ‘beberapa

kode yang berlainan’, meskipun pemisahan dikatakan ‘paling sering terjadi di

sepanjang garis bahasa H (Tinggi) dan kurang sering terjadi dalam bahasa L

(Rendah)’. Kedua, apabila Ferguson membatasi istilah ‘diglosia’ hanya untuk

kasus-kasus dalam keterkaitan linguistik yang terjadi dalam rentang tengah-tengah, Fishman

mengendorkan batasan itu. Dia mengemukankan pandangan bahwa diglosia tidak saja

ada dalam masyarakat multiligual yang secara resmi menyadari beberapa ‘bahasa’

dan tidak hanya dalam masyarakat yang menggunakan dialek dan variasi klasik,

tetapi juga dalam masyarakat yang menerapkan dialek, register yang berbeda, atau

variasi bahasa yang berbeda secara fungsional. Dengan demikian, penggunaan istilah

(3)

dari perbedaan stylistik yang paling lembut di dalam satu bahasa sampai pada

penggunaan dua bahasa yang sama sekali berbeda (Fishman, 1968).

Adanya dua bahasa di dalam suatu masyarakat tidak harus menyebabkan

persaingan. Artinya, kedua-dua bahasa itu dapat dipakai dengan “bebas”. Pemilihan

bahasa yang satu alih-alih bahasa yang lain untuk suatu peristiwa tutur bersifat

manasuka. Akan tetapi, situasi itu (yang dalam kepustakaan sosiolinguistik atau

sosiologi bahasa disebut bilingualisme tanpa diglosia) tidak dapat dipertahankan

selama-lamanya. Lambat atau cepat, bahasa yang satu menjadi lebih disukai untuk

peristiwa-peristiwa tutur yang diasosiasikan dengan “ragam tinggi” (misalnya, dalam

ranah agama dan pendidikan) dan bahasa yang lain lebih banyak digunakan dalam

peristiwa-peristiwa tutur yang diasosiasikan dengan “ragam rendah” (misalnya, dalam

ranah rumah tangga dan persahabatan). Jika pembagian ini berlangsung terus, pada

akhirnya terciptalah apa yang disebut Ferguson (1959), yaitu diglosia. Situasi yang

demikian itu disebut bilingulisme dengan diglosia, ada dua bahasa di dalam sutu

masyarakat dan kedua bahasa itu berfungsi sebagai yang satu ragam tinggi dan yang

satunya lagi sebagai ragam rendah, dan sebenarnya hal itu menunjukkan bahwa

bahasa yang satu telah “kalah” bersaing dengan bahasa yang lebih dominan dan

terdesak keranah rumah. Terdesaknya satu bahasa ke ranah rumah tidak berarti

bahasa itu punah. Situasi diglosia ini dapat bertahan lama, yakni selama pembagian

tugas antara bahasa dengan fungsi “rendah” dan bahasa dengan fungsi “tinggi”

(4)

Warga kota Pematangsiantar merupakan masyarakat yang dwibahasa, baik

aktif maupun pasif. Dalam situasi demikian, masyarakat tutur mempunyai pilihan

bahasa untuk berinteraksi secara verbal dengan orang lain, lebih-lebih dengan gayub

lain yang berbeda bahasa. Dengan demikian, secara umum situasi diglosia

berlangsung pada masyarakat itu. Sejalan dengan itu, menurut Fishman (1968), jika

diglosia bocor, bahasa yang satu merambah atau merembes ke ranah penggunaan

bahasa yang lain, akibatnya, bahasa yang disebut terakhir ini kemudian terdesak

penggunaannya. Akibatnya, bisa terjadi pergeseran bahasa (language shift), karena

dalam banyak hal, satu bahasa selalu dipakai penutur dan bahasa lain yang semula

dikuasai tidak lagi diturunkan kepada anak-anaknya. Anak-anaknya pun kelak lebih

tidak mampu menurunkan bahasa itu kepada generasi berikutnya. Jika hal itu terjadi

secara terus-menerus dalam beberapa generasi, terjadilah kepunahan bahasa

(language death). Namun, manakala diglosia tidak bocor dan tiap bahasa tetap

bertahan pada posisi ranah masing-masing, tidak ada satu bahasa pun yang bergeser

atau punah; masing-masing bahasa akan mempertahankan diri. Diglosia bahasa

(language mainternance) itu pun bergantung pada banyak faktor, seperti, ekonomi,

agama, dan politik

Sejalan dengan keheterogenan etnik di kota Pematangsiantar yang berdampak

ketersediaan pilihan bahasa untuk berinteraksi secara verbal dengan orang lain

menuntut sikap penutur untuk memilih bahasanya. Sikap berbahasa merupakan tata

keyakinan yang berhubungan dengan bahasa yang berlangsung relatif lama, tentang

(5)

bertindak dengan cara tertentu yang disukainya (Anderson, 1974). Sikap terhadap

suatu bahasa dapat pula dilihat dari bagaimana keyakinan penutur terhadap suatu

bahasa; bagaimana perasaan pernutur terhadap bahasa itu; bagaimana kecenderungan

bertindak tutur (speech act) terhadap suatu bahasa. Sikap bahasa bisa positif (kalau

dinilai baik atau disukai) dan juga bisa negatif (kalau dinilai jelek dan tidak disukai).

Adapun ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa yang dirumuskan oleh Garvin

dan Mathiot dalam Fishman (1968), sebagai berikut.

1) Kesetiaan bahasa (language loyalty), yang mendorong suatu masyarakat

mempertahankan bahasanya; bila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain.

2) Kebanggaan bahasa (language pride), yang mendorong orang mengembangkan

bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan

manyarakat.

3) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang

untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; merupakan faktor

yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan

bahasa (language use).

Kontak antarbahasa dan pemakaiannya dengan segala latar belakang sosialnya

memberikan pandangan tentang adanya keragaman pilihan. Pilihan bahasa dapat

seragam dan dapat pula tidak seragam. Ketepatan pemilihan bahasa di kalangan

masyarakat pemakainya dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan domain yang

(6)

yang menyebabkan varietas yang satu lebih tepat digunakan daripada varietas yang

lainnya. Ketepatan itu merupakan hubungan faktor lokasi, topik, dan partisipan.

Sejalan dengan itu, variasi sosiolinguistik mengimplikasikan bahwa para

penutur memiliki pilihan di antara varietas-varietas bahasa. Pilihan ini bisa antara

satu bahasa dengan bahasa yang lain, tergantung pada situasi (alih kode) atau

menggunakan elemen-elemen dari satu bahasa, sementara itu, juga menggunakan

bahasa yang lain (campur kode) atau antara berbagai varian di dalam satu sistem

bahasa.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Sejalan dengan penelitian ini, Keller dalam Astar dkk. (2003), misalnya, telah

meneliti pemakaian bahasa di daerah Pays Doc, Prancis Selatan.

Menurutnya, jumlah penutur bahasa daerah Occitan, Gascon, Langedocian,

dan Provoncel di Pays Doc tersebut mengalami penurunan. Bahasa-bahasa tersebut

kebanyakan hanya dikuasai dengan baik oleh masyarakat yang sudah berumur

lima puluh tahun ke atas sedangkan masyarakat kelompok usia muda lebih menguasai

bahasa Prancis. Hal itu menyebabkan fungsi dan peran bahasa daerah itu tergeser oleh

perkembangan bahasa Prancis yang begitu pesat. Hal lain yang juga dapat

mempercepat pergeseran bahasa tersebut adalah karena di daerah-daerah tersebut

terdapat industri yang didatangi oleh para imigran dari Italia dan Spanyol.

Selain itu, Sumarsono (1993) telah pula meneliti diglosia bahasa Melayu

(7)

dwibahasawan karena hampir setiap anggota gayup tersebut mampu menguasai

bahasa gayup yang lain. Dengan demikian, di dalam gayub Loloan, bahasa Melayu

Loloan dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosia. Bahasa Melayu Loloan

hanya berperan dalam ranah rumah tangga, ketetanggaan, dan agama. Akhirnya

Suamarsono menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya diglosia itu cenderung

‘bocor’. Maksudnya, pemakai bahasa Indonesia sudah mulai merembes ke ranah

rumah tangga, ketetanggaan, dan kekariban.

Berkaitan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di

atas, penelitian itu telah menginspirasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang

fenomena diglosia dan sikap kebahasaan, khususnya penutur bahasa Simalungun di

kota Pematangsiantar.

2.3 Kerangka Berpikir

Dengan pembatasan bahwa faktor internal dan eksternal mempengaruhi pilihan

bahasa maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat

digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1 : Kerangka Berpikir Faktor Internal Faktor Eksternal Prestise Sosial Identitas Diri Motivasi Instrumental Motivasi Integrasi Sikap Bahasa Masyarakat Tutur R ana h P ili ha n B ah as a

(8)

2.4 Klarifikasi Istilah

Klarifikasi istilah pada tulisan ini dimaksudkan agar terciptanya persamaan persepsi

tentang istilah yang digunakan sebab istilah-istilah yang muncul pada tulisan ini

adakalanya mempunyai makna yang berbeda pada bidang ilmu di luar linguistik.

Oleh karena itu, makna istilah-istilah tersebut ditinjau berdasarkan konsep

sosiolinguistik. Adapun istilah-istilah itu, yakni:

1) sikap bahasa adalah kepercayaan, penilaian, dan pandangan terhadap bahasa,

penutur bahasa atau masyarakatnya serta kecenderungan untuk berperilaku

terhadap bahasa, penutur bahasa atau masyarakatnya di dalam cara tertentu,

2) ranah adalah lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, merupakan

kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat (misalnya, keluarga, pendidikan,

tempat kerja, keagamaan, dsb.). Sementara itu, ranah penggunaan bahasa adalah

susunan situasai atau cakrawala interaksi yang pada umumnya di dalamnya

digunakan satu bahasa. Dibandingkan dengan situasi sosial, ranah adalah

abstraksi dari persilangan antara status hubungan-peran, lingkungan, dan pokok

bahasan tertentu. Ranah yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini adalah

ranah kekeluargaan, pergaulan, pekerjaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi,

terminal, keagamaan, adat, dan tetangga,

3) diglosia adalah tingkatan perbedaan linguistik dari perbedaan stylistik yang paling

lembut di dalam satu bahasa sampai pada penggunaan dua bahasa yang sama

(9)

4) fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat

deterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam), dan

Gambar

Gambar 1  : Kerangka Berpikir Faktor Internal Faktor Eksternal Prestise Sosial Identitas Diri Motivasi InstrumentalMotivasi Integrasi Sikap Bahasa  Masyarakat Tutur  Ranah Pilihan Bahasa

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pentingnya pengaruh salinitas terhadap mikroalga dalam pertumbuhan, kepadatan, dan senyawa bioaktif (protein, lemak, karbohidrat, dan pigmen)

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran kontekstual dengan metode snowball

Objective: To analyze the diagnostic accuracy of VAS compared to PNIF in measurement of nasal obstruction in patients with persistent allergic rhinitis. Method: This

Setelah dilakukan uji chi-square disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara antara motivasi suami pada ibu hamil terhadap pemeriksaan kehamilan (ANC) di

Bahan ajar yang akan di rancang membutuhkan sumber sebagai informasi utama dalam penyusunan bahan ajar. Sumber bahan ajar yang digunakan berbasis dari hasil

Pemulihan Kerugian Penurunan Nilai atas Aset Non Keuangan untuk periode tiga bulan yang berakhir pada 31 Maret 2012 adalah sebesar Rp 87 juta, menurun signifikan sebesar Rp 6.399

Terimakasih juga kepada seluruh staff BATAN atas ilmu yang sangat bermanfaat, nasehat yang membangun, atas motivasi dan arahan yang telah diberikan selama

Diharapkan dapat memberikan informasi mengenai faktor- faktor yang dapat mempengaruhi kesuksesan untuk melakukan corporate turnaround ketika perusahaan mengalami financial