• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan Jalan

Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarki. (Permen PU No.03/PRT/M/2012)

Jaringan jalan dapat dicerminkan dalam beberapa tingkat pengelompokkan yang berbeda. Kunci dalam merencanakan sistem jaringan jalan adalah penentuan hierarki jalan yang akan dianalisis menjadi (arteri, kolektor ataupun lokal) dan bergantung pada jenis dan tujuan. (Tamin, Tahun 2000)

2.2 Transportasi

Transportasi merupakan suatu kegiatan perpindahan baik itu benda maupun orang dari suatu tempat ketempat lain, dan juga didefinisikan bahwa transportasi sebagai pertanda sebuah kehidupan karena tanpa transportasi berarti tidak ada pergerakan yang juga berarti tidak ada kehidupan. (Alhadar, Tahun 2011)

Transporasi sangatlah berpengaruh terhadap pemerintahan, maupun kehidupan bermayarakat, kinerja sistem transportasi pada suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi demografi’s wilayah tersebut, dan kemampuan suatu sistem transportasi sangat dipengaruhi oleh tingkat kepadatan penduduk wilayah tersebut. (Amina , Tahun 2018)

2.3 Klasifikasi Jalan

Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan dari suatu fungsi/kegunaan jalan, administrasi pemerintahan, muatan sumbu yang menyangkut tentang dimensi suatu kendaraan, serta berat dari kendaraan.

(2)

Klasifikasi jalan dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu klasifikasi menurut fungsi jalan, klasifikasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan, dan klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan. (Peraturan Bina Marga, Tahun 1997)

2.3.1 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Fungsinya

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan. Pengelompokan jalan menurut fungsinya antara lain :

a. Jalan Arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan klasifikasi perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi antara kota besar atau antara pusat-pusat produksi dan eksport, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

Adapun ciri-cirinya sebagai berikut :  Dilalui oleh kendaraan berat > 10ton.

 Dilalui oleh kendaraan dengan kecepatan tinggi > 80 km/jam.

b. Jalan Kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, jumlah jalan masuk dibatasi serta melayani daerah-daerah sekitarnya.

Adapun ciri-cirinya sebagai berikut :

 Kendaraan yang melalui jalan tersebut yaitu kendaraan ringan < 10ton.  Dilalui kendaraan dengan kecepatan rata-rata (40-80 km/jam)

c. Jalan Lokal atau Jalan Penghubung merupakan jalan keperluan daerah yang sempit dan juga dipakai sebagai jalan penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang lama atau klasifikasi yang lainnya.

Adapun ciri-cirinya sebagai berikut :

 Melayani segala jenis pengguna jalan, baik kendaraan ringan maupun kendaraan berat namun dalam batas tertentu dari pusat pemukiman ataupun ke pusat industri

(3)

d. Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri-ciri perjalanan jarak pendek dengan kecepatan rata-rata yang rendah.

Selain itu klasifikasi jalan menurut fungsinya juga terbagi menjadi 2 jaringan, yaitu jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder. Dari masing-masing jaringan tersebut terbagi menjadi jalan arteri primer, jalan kolektor primer dan jalan lokal primer untuk jaringan jalan primer. Sedang untuk jaringan jalan sekunder dibagi menjadi jalan arteri sekunder, jalan kolektor sekunder, jalan lokal sekunder. (Saodang, Tahun 2010)

Penjelasan klasifikasi menurut dari ahli diatas bahwa klasifikasi jalan menurut fungsinya tidak hanya sebatas jalan arteri, kolektor, maupun lokal saja, melainkan penjelasan yang lebih kompleks mengenai suatu jenis sistem jaringan jalan yang terbagi lagi menjadi jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder. 1) Sistem Jaringan Jalan Primer

Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan yang dibuat sesuai dari rencana tata ruang perkotaan dan pelayanan kegiatan yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi dalam struktur pembangunan wilayah dengan ketentuan sebagai berikut :

 Di dalam antara satuan wilayah pengembangan suatu sistem jaringan jalan primer menghubungkan secara terus menerus hingga pada ke persil, sehingga kota jenjang di sekitarnya dapat terhubung semua.

 Sistem jaringan jalan primer dapat menghubungkan antara satu wilayah ke wilayah pengembangan.

Sistem jaringan jalan primer terbagi menjadi beberapa yaitu : a. Jaringan Arteri Primer

Jalan arteri primer adalah jaringan jalan yang menghubungkan antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan daerah.

Ketentuan persyaratan penyusunan teknis jalan arteri primer adalah :  Kecepatan yang didesain paling rendah 60 km/jam

(4)

 Lalu-lintas jarak jauh tidak boleh tergantung oleh lalu-lintas ulang alik, lalu-lintas lokal, dan kegiatan lokal

 Jumlah jalan masuk dibatasi sedemikian rupa sehingga ketentuan poin 1,2, dan 3 dapat terpenuhi.

 Persimpangan yang sebidang harus dilakukan pengaturan tertentu.  Jalan arteri primer ini didesain tidak boleh terputus hingga memasuki

kawasan perkotaan atau kawasan sub-urban perkotaan. b. Jalan Kolektor Primer

Jalan kolektor primer adalah jaringan yang menghubungkan pusat aktivitas daerah dengan pusat aktivitas daerah lokal.

Persyaratan desain teknis yang disusun pada jalan sebagai berikut :  Kecepatan yang diperbolehkan minimal 40 km/jam.  Lebar badan jalan minimal 9m.

 Kapasitas lebih besar dibanding volume lalu-lintas rata-rata.

 Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan dengan ketentuan poin 1,2 dan 3 tetap terpenuhi.

 Persimpangan sebidang harus dilakukan pengaturan khusus.

 Jalan tidaklah boleh terputus saat memasuki kawasan perkotaan dan atau kawasan pengembangan perkotaan.

c. Jalan Lokal Primer

Jalan lokal primer merupakan jaringan jalan yang menghubungkan pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antar pusat kegiatan lingkungan dengan pusat kegiatan lingkungan lainnya.

Persyaratan desain teknis yang disusun pada jalan ini sebagai berikut :  Kecepatan yang didesain paling rendah 20 km/jam.

 Lebar badan jalan minimal 7,5m.

 Jalan lokal primer tidak boleh terputus saat memasuki kawasan pedesaan.

(5)

2) Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan yang menghubungkan antar kawasan di dalam perkotaan yang diatur secara berjenjang sesuai dengan fungsi kawasan yang menghubungkannya.

Sistem jaringan jalan sekunder terbagi menjadi : a. Jalan Arteri Sekunder

Jalan arteri sekunder merupakan jalan yang menghubungkan suatu kawasan primer dengan kawasan sekunder satu atau menghubungkan kawasan sekunder dua.

Persyaratan desain jalan arteri sekunder adalah sebagai berikut :  Kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam.

 Lebar badan jalan minimal 11m.

 Memiliki kapasitas jalan yang lebih besar dibandingkan volume lalu-lintas rata-rata.

 Arus lalu-lintas yang cepat tidak terganggu oleh lalu-lintas yang lambat.  Persimpangan sebidang harus dilakukan dengan pengaturan tertentu. b. Jalan Kolektor Sekunder

Jalan kolektor sekunder merupakan jalan yang menghubungkan suatu kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder keduan lainnya, atau kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

Persyaratan desain jalan kolektor sekunder adalah :  Kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.  Lebar badan jalan minimum 9m.

 Arus lalu-lintas cepat tidak boleh terganggu oleh arus lalu-lintas yang lambat.

 Persimpangan sebidang lurus harus dilakukan dengan pengaturan tertentu.

(6)

c. Jalan Lokal Sekunder

Jalan lokal sekunder merupakan jalan yang menghubungkan suatu kawasan sekunder kesatu dengan perumahan/pemukiman, kawasan sekunder kedua dengan perumahan/pemukiman, ataupun kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

Persyaratan untuk desain jalan lokal sekunder diantaranya adalah :  Kecepatan rencana minimum 10 km/jam

 Lebar badan jalan minimu yaitu 7,5m d. Jalan Lingkungan Sekunder

Jalan lingkungan sekunder merupakan jalan yang menghubungkan antara kawasan persil dalam kawasan perkotaan.

Ketentuan persyaratan desain jalan lingkungan sekunder diantaranya adalah :  Kecepatan rencana minimum adalah 10 km/jam.

 Lebar badan jalan rencana minimum 6,5m.

 Desain jalan lingkungan sekunder diperuntukan untuk kendaraan roda 3 atau lebih.

 Jalan lingkungan sekunder yang tidak diperuntukan bagi kendaraan roda 3 ataupun lebih harus mempunyai lebar jalan minimum 3,5m.

2.3.2 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan Jalan

Menurut wewenang pembinaan dalam Direktorat Jendral Bina Marga tahun 2006 jalan dikelompokan menjadi Jalan Nasional, Jalan Propinsi, Jalan Kabupaten, Jalan Kotamadya, dan Jalan Khusus.

Masing-masing dari klasifikasi menurut wewenang pembinaan jalan diatas dikelompokan lagi sebagai berikut :

1) Jalan Nasional

Yang termasuk dalam kelompok jalan nasional adalah :  Jalan arteri primer

 Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota propinsi  Jalan lain yang mempunyai nilai strategis terhadap kepentingan

(7)

ekonomi tetapi mempunyai pertanan yang menjamin kesatuan dan keutuhan nasional yang melayani daerah-daerah yang rawan dan lain-lain. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan nasional dilakukan dengan Keputusan Menteri.

2) Jalan Provinsi

Yang termasuk kelompok jalan provisi adalah sebagai berikut :

 Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kotamadya.

 Jalan kolektor primer yang menghubungkan antar ibukota kabupaten/kotamadya.

 Jalan lain yang mempunyai kepentingan strategis terhadap kepentingan provinsi.

 Jalan daerah khusus ibukota jakarta yang tidak termasuk jalan nasional.

Penetapan status suatu jalan sebagai jalan provinsi dilakukan dengan keputusan menteri dalam negeri atas usul pemerintah daerah tingkat 1 yang bersangkutan, dengan memperhatikan pendapat menteri.

3) Jalan Kabupaten / Kotamadya

Yang termasuk kelompok jalan kabupaten/kotamadya adalah :

 Jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi.

 Jalan lokal primer

 Jalan sekunder dan jalan lain yang tidak termasuk dalam kelompok jalan nasional , jalan provinsi dan jalan kotamadya. Penetapan status suatu jalan sebagai jalan kabupaten/kotamdya dilakukan dengan keputusan gubernur kepala daerah tingkat 1, atas usul pemerintah daerah tingkat 2 yang bersangkutan.

4) Jalan Desa

 Jaringan jalan sekunder di dalam kotamadya.

 Jaringan jalan sekunder di dalam desa yang merupakan hasil swadaya masyarakat, baik yang ada di desa maupun di kelurahan.

(8)

5) Jalan Khusus

Yang termasuk dalam kelompok jalan khusus adalah :

 Jalan yang dibangun dan dipelihara oleh instansi/badan hukum/perorangan untuk melayani kepentingan masing-masing.  Penetapan suatu ruas jalan khusus dilakukan oleh instansi/badan

hukum/perorangan yang memiliki ruas jalan khusus tersebut dengan memperhatikan perdoman yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum.

2.3.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Muatan Sumbu

Klasifikasi jalan di Indonesia juga dikelompokan berdasarkan muatan sumbu antara lain yaitu jalan kelas I, jalan kelas II, jalan kelas IIIA, jalan kelas IIIB, dan jalan kelas IIIC.

1) Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5m, ukuran panjang tidak melebihi 18m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar dari 10ton, yang saat ini masih belum digunakan di Indonesia, namun sudah mulai dikembangkan di berbagai negara maju salah satu contohnya di negara Perancis yang mampu menampung sumbu terberat yaitu 13ton.

2) Jalan Kelas II, adalah jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5m, ukuran panjang tidak melebihi 18m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10ton, jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai untuk angkutan peti kemas/kendaraan berat.

3) Jalan Kelas IIIA, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2,5m, ukuran panjang tidak melebihi 18m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8ton.

4) Jalan Kelas IIIB, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi

(9)

2,5m, ukuran panjang tidak melebihi 12m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8ton.

5) Jalan Kelas IIIC, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran tidak melebihi 2,1m, ukuran panjang tidak melebihi 9m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 8ton.

2.4 Simpang

Simpang adalah suatu titik pada sistem lalulintas dapat memicu kecelakaan karena jalan tersebut adalah pertemuan ruas jalan sebidang maupun jalan tidak sebidang yang merupakan titik terjadinya konflik lalulintas (Wikrama, 2011).

Persimpangan adalah lokasi pada suatu siste lalulintas yang terjadi persilangan atau perpotongan dua atau lebih jalan. Didaerah perkotaan simpang yang sering dijumpai adalah persimpangan yang tak bersinyal, yang memiliki tingkat arus lalu-lintas dan rasio belokan di jalan minor yang relatif kecil, namun apabila arus lalu-lintas dari jalan minor cukup besar maka perlu diterapkan simpang bersinyal karena tingkat kecelakaan pada simpang tersebut meningkat (Wijayanto, 2017)

Simpang adalah titik pada suatu lalu-lintas yang memepertemukan dua atau lebih jalan. Simpang dapat diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan cara pengaturannya yakni simpang bersinyal dan simpang tak bersinyal. Simpang bersinyal ialah simpang yang memiliki lampu lalu-lintas sehingga kendaraan/pengguna jalan hanya boleh melewati persimpang sesuai dengan pengaturan sinyal lempu lalu-lintas yakni ketika lampu berwarna hijau. Simpang tak bersinyal adalah simpang yang tidak atau belum diberi sinyal lampu lalu-lintas sehingga pengendara/pengguna jalan harus memutuskan sendiri waktu pas untuk melewati simpang tersebut (Asusanto, 2016).

Menurut Munawar (dalam Asusanto, tahun 2016) persimpangan memiliki beberapa macam bentuk yakni :

1) Simpang bentuk bundaran 2) Simpang bentuk T

(10)

2.5 Titik Konflik Lalu Lintas

Dearah simpang merupakan bagian lalulintas yang rawan terjadi keceakaan itu dikarenakan pad simpang jalan terdapat banyak konflik lalulintas, konflik lalu-lintas dapat terjadi pada persimpangan karena adanya jalan yang bersilangan dan akhirnya kendaraan menghambat pergeraka satu samalain. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai konflik lalu-lintas baik itu persimpangan dengan empat lengan maupun dengan tiga lengan yang dapat dilihat pada

Gambar 2.1 Konflik Empat Lengan dan Gambar 2.2 Konflik Tiga Lengan

a. Konflik pada persimpangan dengan empat lengan

Gambar 2.1 Konflik Empat Lengan

(11)

b. Konflik pada persimpangan dengan tiga lengan

Gambar 2.2 Konflik Tiga Lengan

(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), tahun 1997) Dimana ;

● Titik Konflik Persilangan (3 titik) ∆ Titik Konflik Penggabungan (3 titik) ○ Titik Konflik Penyebaran (3 titik)

2.6 Pemakaian Sinyal pada Simpang 2.6.1 Fase Sinyal

Fase sinyal umumnya memiliki dampak yang besar pada tingkat kinerja dan keselamatan lalu-lintas sebuah persimpangan daripada jenis pengaturan. Waktu hilang sebuah simpang bertambah dan rasio hijau untuk setiap fase berkurang apabila fase tambahan diberikan. Maka sinyal akan efisian bila dioperasikan hanya pada dua fase, yaitu hanya waktu hijau untuk konflik utama yang dipisahkan. Tetapi dari sudut keselamatan lalu-lintas belok kanan dipisahkan dengan lalu-lintas terlawan, yaitu dengan fase sinyal terpisah untuk lalu-lintas belok kanan. (MKJI, tahun 1997 : 2-34)

(12)

2.6.2 Intergreen dan Lost Time

Dalam analisis perencanaan, waktu antar hijau (intergreen) dapat diasumsukan berdasarkan nilai pada Tabel 2.1 di bawah ini.

(Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Tahun 1997) Waktu sinyal merah yang diperlukan untuk pengosongan pada akhir setiap fase dan harus memberi kesempatan bagi kendaraan terakhir (melewati garis henti pada akhir fase sinyal kuning), berangkat dari titik konflik sebelum kedatangan kendaraan yang datang pertama dari fase sinyal berikutnya (melewati garis henti pada awal sinyal hijau) pada titik yang sama. Apabila periode sinyal merah semua untuk masing-masing akhir fase telah ditentukan, waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah dari waktu-waktu antar hijau (IG), lihat gambar 2.3.

Gambar 2.3 Titik konflik kritis dan jarak untuk keberangkatan dan kedatangan panjang waktu kuning pada sinyal lalu-lintas perkotaan di Indonesia biasanya adalah 3,0 detik. (MKJI, tahun 1997)

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997) 1

(13)

2.7 Penentuan Waktu Sinyal pada Simpang 2.7.1 Pemilihan Tipe Pendekat

Pemilihan tipe pendekat (Approach) yaitu termasuk tipe pelindung (Protected=P) atau tipe terlawan (Opposed=O). (Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI), tahun 1997)

2.7.2 Lebar Efektif Pendekat

Lebar efektif (WE) dari setiap pendekatan berdasarkan informasi tentang lebar pendekat (WA), lebar masuk (Wmasuk) dan lebar keluar (Wkeluar).

1. Untuk semua tipe pendekat (P dan O)

Jika WLTOR > 2 meter, maka WE = WMASUK ,tidak termasuk belok kiri. Jika WLTOR < 2 meter, maka WE = WA , termasuk gerakan belok kiri. Dimana :

WA = Lebar Pendekat

WLTOR = Lebar Pendekat dengan Belok Kiri langsung 2 Untuk tipe pendekat (protected = P)

Jika WKELUAR < WE x (1 – PRT – PLTOR), WE sebaiknya diberi nilai baru = WKELUAR

Dimana :

PRT = Rasio Kendaraan Belok Kanan

PLTOR = Rasio Kendaraan Belok Kiri Lanngsung 2.7.3 Arus Jenuh Dasar (So)

Arus jenuh dasar adalah besarnya keberangkatan antrian kendaraan di dalam pendekat selama kondisi ideal (smp/jam hijau). Lihat gambar 2.4 di bawah ini.

(14)

Gambar 2.4 Arus Jenuh Dasar untuk Pendekat Tipe P 2.7.4 Faktor Penyesuaian

Penetapan faktor koreksi untuk nilai arus lalu-lintas dasar kedua tipe

Approach (Protected dan Opposed) pada persimpangan adalah sebagai berikut.

a. Faktor koreksi ukuran kota ( FCS), sesuai Tabel 2.2

(15)

b. Faktor penyesuaian hambatan samping (FSF) ditentukan sesuai tabel 2.3

(16)

c. Faktor penyesuaian kelandaian (FG) sesuai gambar 2.5

Gambar 2.5 Faktor Penyesuaian untuk Kelandaian d. Faktor penyesuaian parkir (FP) sesuai gambar 2.6

Gambar 2.6 Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Parkir Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997)

(17)

e. Faktor Penyesuaiam Belok Kanan (FRT)

Keterangan :

FRT = Faktor Penyesuaian Belok Kanan PRT = Rasio Kendaraan Belok Kanan

Atau bisa didapatkan nilainya sesuai gambar 2.7

Gambar 2.7 Faktor Penyesuaian untuk Belok Kanan f. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)

Keterangan :

FLT = Faktor Penyesuaian Belok Kiri PLT = Rasio Kendaraan Belok Kiri

Atau dapatkan nilainya sesuai dengan grafik gambar 2.8 Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997)

(18)

Gambar 2.8 Faktor Penyesuaian untuk Belok Kiri g. Nilai Arus Jenuh

Arus jenuh dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (S0) yaitu arus jenuh pada keadaan standar, dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dimana :

S0 = Arus Jenuh Dasar

FCS = Faktor Koreksi Ukuran Kota FSF = Faktor Koreksi Hambatan Samping FG = Faktor Koreksi Kelandaian

FP = Faktor Koreksi Parkir

FRT = Faktor Koreksi Belok Kanan FLT = Faktor Koreksi Belok Kiri

(19)

2.7.5 Rasio Arus

Perbandingan arus lalu-lintas dengan arus jenuh (FR), berikut adalah rumus yang digunakan dalam perbandingan tersebut :

FR = Q

S ...(2.5)

Dimana :

FR = Rasio Arus

Q = Arus Lalu-lintas (smp/jam) S = Arus Jenuh (smp/jam)

Sedangkan dalam menghitung arus kritis digunakan rumus :

PR = FRcrit⁄IFR ...(2.6) Dimana :

PR = Rasio Arus

FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase sinyal

IFR = Perbandingan Arus Simpang ∑(FRcrit) 2.8 Waktu Siklus

2.8.1 Waktu Siklus Pra Penyesuaian

Untuk mengetahui waktu siklus pra penyesuaian digunakan rumus berikut: ...(2.7)

Dimana :

Cua = Waktu Siklus Pra Penyesuaian Sinyal (detik) LTI = Total Waktu Hilang per Siklus (detik) IFR = Rasio Arus Simpang

Waktu siklus sebelum penyesuaian juga dapat diperoleh dari grafik gambar 2.9

(20)

Gambar 2.9 Penetapan Wakyu Siklus Pra Penyesuaian

Waktu siklus yang layak digunakan pada simpang adalah seperti yang terdapat pada tabel 2.4 berikut :

2.8.2 Waktu Fase Hijau (Green Time)

Untuk setiap fase dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Dimana :

gi = Waktu Hijau dalam fase-i (detik)

Cua = Waktu Siklus Pra Penyesuaian Sinyal (detik) LTI = Total Waktu Hilang per Siklus (detik) PRi = Perbandingan fase FRcrit/∑(FRcrit)

Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997)

(21)

Berdasarkan fase waktu hijau yang diperoleh dan telah dibulatkan, serta waktu hilang (LTI) dapat dihitung dengan rumus :

2.9 Penentuan Kapasitas

Dalam menentukan kapasitas dari simpang dipengaruhi oleh kapasitas dari setiap pendekatan dan nilai dari derajat kejenuhan. Penentuan kapasitas setiap pendekat dan pembahasan mengenai perubahan-perubahan yang harus dilakukan jika kapasitas tidak mencukupi.

2.9.1 Kapasitas pada Tiap Pendekat

(22)

Derajat Kejenuhan dapat ditentukan dengan rumus berikut

2.10 Karakter Lalu Lintas

Perilaku/Karakter ber lalu-lintas dipengaruhi oleh panjangnya antrian, jumlah kendaraan terhenti dan tundaan. Antrian merupakan jumlah kendaraan yang antri dalam satu pendekat. Jumlah kendaraan terhenti adalah jumlah kendaraan dari arus lalu-lintas yang terpaksa berhenti sebelum melewati garis henti akibat dari pengaturan sinyal pada simpang. Tundaan adalah waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melalui simpang, dan tundaan terssebut terdiri dari :

2.10.1 Jumlah Antrian (NQ)

Jumlah antrian (NQ) dapat ditentukan dengan rumus : a. Bila DS > 0,5 maka :

b. Bila DS < 0,5 maka :

NQ1 = 0 ...(2.13)

Jumlah antrian kendaraan dihitung, kemudian dihitung jumlah antrian satuan mobil penumpang yang datang selama fase merah (NQ2) dengan rumus sebagai berikut :

(23)

Untuk antrian total (NQ) dihitung dengan menjumlahkan kedua hasil tersebut yaitu NQ1 dan NQ2 :

(24)

peluang untuk pembebanan (POL) sebesar 5% untuk perancanaan.

Gambar 2.10 Grafik Perhitungan Jumlah Antrian (NQMAX) dalam simpang 2.11 Kendaraan Terhenti (NS)

Jumlah kendaraan terhenti merupakan jumlah kendaraan dalam arus lalu-lintas yang terpaksa berhenti sebelum melewati garis henti pada simpang akibat dari pengaturan fase sinyal. Angka henti sebgai jumlah rata-rata per smp untuk perencanaan dihitung dengan rumus sebagai berikut :

NS = (0,9 x NQ)

(Q x c) x 3600 ...(2.17)

Dimana :

NS = Angka Henti (stop/smp)

NQ = Jumlah rata-rata antrian smp pada awal fase sinyal hijau Q = Arus Lalu-lintas (smp/jam)

C = Waktu Siklus (detik)

(25)

menggunakan rumus sebagai berikut :

Sedangkan angka henti total seluruh simpang dihitung dengan rumus:

2.12 Tundaan (Delay)

Tundaan merupakan waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melalui persimpangan apabila dibandingkan dengan lintasan tanpa melalui suatu simpang. Tundaan tersebut terdiri dari :

a. Tundaan Lalu-lintas

Tundaan lalu-lintas merupakan waktu tunggu yang disebabkan oleh interaksi lintas dengan gerakan lintas yang bertentangan. Tundaan lalu-lintas rata-rata pada tiap pendekat dihitung menggunakan rumus berikut :

DT = (A x c) + (NQ1 x 3600)C ...(2.20) Keterangan:

DT = Rata-rata tundaan lalu-lintas tiap pendekat (det/smp) c = Waktu Siklus yang disesuaikan (detik)

A = 1,5 x (1 – GR)2 / (1 – GR x DS) C = Kapasitas (smp/jam)

(26)

Tundaan geometrik disebabkan karena perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok pada simpang atau terhenti oleh fase sinyal merah. Tundaan geometrik rata-rata (DG) setiap pendekatan :

Tundaan rata-rata pada tiap pendekat (D) merupakan jumlah dari tundaan lalu-lintas rata-rata dan tundaan geometrik setiap pendekat :

Tundaan total pada persimpangan adalah :

(27)

Tingkat pelayanan berdasarkan KM 14 tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu-lintas di Jalan diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Tingkat Pelayanan A, dengan kondisi :

 Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi.  Kepadatan lalu-lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat

dikendalikan oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan maksimum/minimum dan kondisi fisik jalan.

 Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa atau dengan sedikit tundaan.

2. Tingkat Pelayanan B, dengan kondisi :

 Arus stabil dengan volume lalu-lintas sedang dan kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi lalu-lintas.

 Kepadatan lalu-lintas rendah hambatan internal lalu-lintas belum mempengaruhi kecepatan.

 Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya dan lajur jalan yang digunakan.

3. Tingkat Pelayanan C, dengan kondisi :

 Arus stabil kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh volume lalu-lintas yang lebih tinggi.

 Kepadatan lalu-lintas sedang karena hambatan internal lalu-lintas meningkat.

 Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur ataupun mendahului.

4. Tingkat Pelayanan D, dengan kondisi :

 Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu-lintas yang tinggi dan kecepatan masih bisa ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan kondisi arus.

 Kepadatan lalu-lintas sedang namun fluktuasi volume lalu-lintas dan hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang besar.

(28)

menjalankan kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir untuk waktu yang singkat.

5. Tingkat Pelayanan E, dengan kondisi :

 Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu-lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah.

 Kepadatan lalu-lintas tinggi karena hambatan internal lalu-lintas tinggi.

 Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek. 6. Tingkat Pelayanan F, dengan kondisi :

 Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang.

 Kepadatan lalu-lintas sangat tinggi dan volume sama dengan kapasitas jalan serta terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup lama.

 Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun arus turun sampai 0. Tingkat pelayanan pada suatu jalan tergantung pada arus lalu-lintas, pengertian ini digunakan oleh Highway Capacity Manual, yang mempunyai enam buah tingkat pelayanan, yaitu sesuai dengan Tabel 2.5

Gambar

Gambar 2.1 Konflik Empat Lengan
Gambar 2.2 Konflik Tiga Lengan
Gambar  2.3  Titik  konflik  kritis  dan  jarak  untuk  keberangkatan  dan  kedatangan  panjang  waktu  kuning  pada  sinyal  lalu-lintas  perkotaan  di  Indonesia  biasanya adalah 3,0 detik
Gambar 2.4 Arus Jenuh Dasar untuk Pendekat Tipe P  2.7.4  Faktor Penyesuaian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Biplot dengan Dekomposisi Nilai Singular Biasa dan Kekar untuk Pemetaan Provinsi Berdasarkan Prestasi Mahasiswa IPB” adalah

Hasil dari kegiatan Nonton Bareng Film Sejarah di Dusun Canggal Bulu adalah masyarakat menjadi semakin cinta akan tanah air dan memiliki semangat nasionalisme yang

Mengatasi permasalahan tersebut, peneliti berencana untuk mengembangkan lembar kegiatan siswa (LKS) yang dapat mencapai kompetensi sekaligus penguasaan keterampilan

Kombinasi media tanam organik mampu menyediakan nutrisi yang leng- kap bagi tanaman tetapi dalam jumlah sedikit, oleh karena itu diperlukan tambahan nutrisi supaya kebutuhan

(1) Perorangan warga negara Indonesia atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), yang melakukan usaha budidaya tanaman tertentu di atas skala tertentu

Tiap-tiap saldo rekening yang tercantum dalam kolom-kolom neraca saldo digabungkan dengan angka-angka yang tercantum didalam penyesuaian dan jumlah ini kemudian dicantumkan

Magister Pendidikan Ekonomi; berijazah Sarjana (S1) dengan disiplin ilmu (1) Sarjana Pendidikan Ekonomi (Pendidikan Dunia Usaha, Ekonomi Koperasi, Tata Niaga,

Berbeda halnya dengan bahasa-bahasa yang ada di Eropa seperti yang ditemukan Brown dan Gilman (dalam Hymes, 1970) dan Braun (1988) yang secara tegas mengklaim bahwa kaum