MODERNITAS KEDUA BAGI POLA KEPEMIMPINAN DI INDONESIA Oleh: GPB Suka Arjawa
Anthony Giddens telah mengemukakan teorinya (strukturasi) yang mengritik berbagai teori yang sudah ada sebelumnya. Sosiolog asal Inggris itu satu dekade yang lewat telah mengutarakan harus ada tinjauan ulang terhadap apa yang disebut modernisasi.
Sebelumnya, teoritisi-teoritisi lain telah banyak mengritik soal apa yang disebut modern. AC yang mampu membuat rumah sejuk, ternyata pada penelitian lanjutan mampu merusak (ozon) bumi. Bahan kimia yang menyuburkan tanaman ternyata membawa dampak penyakit degeneratif. Hal ini pun mungkin telah dikritik oleh Giddens. Kosepsi pemikiran Giddens menyerupai pemikiran rekannya, Ulrich Beck yang mengatakan bahwa konsep dan praksis modernisasi seharusnya diubah. Modernisasi boleh dikatakan telah lahir dua kali. Paling awal adalah modernisasi yang merupakan tindakan
merasionalisasikan tradisi. Modernisasi inilah yang dipakai oleh masyarakat dunia sejak revolusi industri sampai dengan paruh kedua abad ke-20. Tetapi, kini harus ada
modernisasi lagi, yaitu memodernisasi modernitas yang pertama. Inilah modernitas kedua, yakni merasionalisasi modernitas pada masyarakat industri.
Jika pupuk kimia merugikan masyarakat karena memicu munculnya penyakit degeneratif, atau merusak lingkungan tanamam, maka modernisasi seperti ini harus
dirasionalisasikan lagi. Pengolahan pupuk kompos, atau pupuk alami yang berbasis masyarakat, bisa dikatakan sebagai solusi terhadap pupuk kimia yang telah dihasilkan itu. Hampir mirip dengan kembali ke tradisi lagi. Tetapi tradisionalis demikian telah diberikan pemahaman-pemahaman dengan membuat pupuk kompos yang sifatnya ekonomis sehingga mampu dijual kepada masyarakat banyak.
Lalu, bagaimana dengan persoalan politik, terutama masalah kepemimpinan yang terjadi di Indonesia saat ini? Mungkin pemikiran-pemikiran seperti yang dikemukakan oleh Giddens (dan Beck) diatas bisa dipinjam. Modernisasi politik di Indonesia boleh dikatakan terjadi sejak tahun 1998. Dikatakan demikian karena sejak saat keruntuhan Orde Baru itu, dinamika politik Indonesia semakin terbuka, lebih bebas dan
memperlihatkan ciri-ciri yang lebih demokratis, tidak terkekang seperti pada masa Orde Baru. Dalam konteks kepemimpinan, pemilihan dilakukan oleh rakyat melalui pemilihan langsung. Presiden, gubernur, bupati sampai lurah dipilih langsung oleh rakyat. Dalam ukuran rujukan Indonesia, hal ini bisa dikatakan sebuah pembaruan bahkan sejak demokrasi terpimpin yang diterapkan Orde Lama melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah reformasi, secara sosial sistem politik Indonesia memungkinkan masyarakat dari tingkat bawah memperlihatkan gagasan-gagasan politiknya menuju hirarki yang lebih luas. Keterbukaan informasi dan komunikasi membungkinkan masyarakat mengutarakan sikap politiknya sampai ke jenjang struktural paling atas.
Akan tetapi, sampai 15 tahun reformasi yang terjadi ternyata tidak mampu memberikan sumbangan positif bagi perkembangan politik, bahkan sosial kepada masyarakat
kepemimpinan justru reformasi itu memberikan ”angin ribut” ke segala arah. Perilaku kepemimpinan tidak positif. Baik pemimpin maupun anak buahnya sering menyuap dalam bentuk apapun untuk mendapatkan jabatan, juga sering ada ketidakpusan ketika terpilih pemimpin yang baru. Sementara masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa. Pemimpin dan jajarannya terlalu elit.
Reformasi 1998 telah mengubah tradisi kepemimpinan Orde Baru yang monoton dan tidak terbuka menjadi lebih terbuka. Akan tetapi hasil reformasi 1998 pun kemudian menjadi sebuah tradisi juga. Pemimpin terlalu elit, suap menyuap, tipu menipu, ketidakpuasan rakyat seolah menjadi tradisi baru dari tradisi yang lama. Maka tradisi baru ini pun harus diubah dan dirasionalkan lagi. Inilah modernisasi kedua reformasi Indonesia.
Ketika beberapa lembaga survei melakukan kegiatannya beberapa waktu lalu, dalam tingkat nasional, terlihatlah bahwa masyarakat lapisan bawah menginginkan ada
perubahan-perubahan terhadapp pola kepemimpinan tersebut. Dalam beberapa survei itu, terlihat bahwa pemimpin-pemimpin ”konvensional” yang sebelumnya memenuhi jagat perpolitikan Indonesia kurang mendapatkan respon positif. Rakyat menginginkan adanya pemimpin alternatif dari segala aspek kepemimpinan yang ada di Indoensia. Kata-kata ”alternatif” inilah yang merupakan modernisasi kedua dari reformasi di Indonesia. Masih belum jelas sifat pemimpin yang bagaimana dikehendaki, dan model kepemimpinan bagaimana yang mendapatkan hati pada masyarakat Indoensia. Kurangnya respon terhadap pemimpin-pemimpin konvensional boleh dikatakan sebagai bentuk protes terhadap model kepemimpinan yang elitis. Elitis disini berarti kepemimpinan yang terlalu menonjolkan kepada kepemilikan power, baik yang bersifat politik maupun ekonomi. Power yang bernuansa ekonomi adalah pola kepemimpinan yang menonjolkan kekayaan. Sedangkan power yang bersikap politik adalah mereka yang terlalu
menggunakan pengaruhnya untuk memobilisasi massa termasuk dengan mobilisasi kekuatan fisik (senjata). Elitis itu juga terlihat dari kekuasaan tradisi. Masyarakat tidak memerlukan kepemimpinan yang berasal dari kepemimpinan tradisional, entah budaya agama atau klan. Dengan demikian, berbagai survei yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga itu telah memberikan gambaran baik kepada masyarakat maupun polititisi untuk mempersiapkan diri menghadapi pemilu di masa mendatang.
Modernitas kedua bagi reformasi 1998 itu tidak lain adalah menghilanhkan sifat elitis dari kepemimpinan itu untuk diarahkan kepada sifat yang populis. Ada beberapa karakter dari sifat populis dari kepemimpinan itu. Sifat populis jelas akan mengarah kepada kepentingan berbasis masyarakat. Di Indonesia, itu tidak lain kepada pemimpin yang tahu budaya dasar sosialisme Indonesia, yaitu budaya agraris dan perairan. Pemimpin yang mampu, mau dan bersedia melakoni dua sektor ini yaitu pertanian dan perairan pasti akan mendapatkan hati di masyarakat. Indonesia adalah negara pertanian karena mayoritas masyarakatnya menjadi petani. Indonesia adalah negara yang berbasis
globalisasian haruslah disandarkan kepada pertanian dan perikanan. Jika melenceng dari kasanah ini, percayalah reformasi yang terjadi tahun 1998 itu tidak akan pernah