VI. PENGEMBANGAN DECISION NETWORK YANG DIOPTIMASI DENGAN FUZZY INFERENCE SYSTEM UNTUK PENYUSUNAN KALENDER TANAM DINAMIK
6.1. Pendahuluan
Secara umum, prinsip utama dalam pemodelan optimisasi adalah menentukan solusi terbaik yang optimal dari suatu tujuan yang dimodelkan melalui suatu fungsi objektif. Dalam hal ini, konsep dan prinsip ekonomis memegang peranan penting sebagai parameter/indikator keberhasilan. Solusi optimal yang dimaksud adalah solusi yang layak untuk diambil sebagai suatu keputusan dan dapat mengatasi semua kendala yang muncul dalam pencapaian fungsi tujuan tersebut. Dalam berbagai bidang, tingkat keuntungan yang maksimal atau tingkat kerugian yang minimal menjadi fungsi tujuan yang ingin dicapai. Sehingga secara alamiah, proses optimisasi sangatlah familiar dengan kehidupan manusia secara umum (Sudradjat et al. 2009).
Lebih lanjut Sudradjat et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi optimal akan menjadi suatu tantangan untuk dicapai apabila muncul berbagai kendala yang membatasi pencapaian kondisi optimal tersebut. Sebagai contoh pada pemodelan optimisasi pola tanam pada lahan kering, terdapat variabel keputusan yang tidak diketahui besarannya sebelum kondisi terbaik yang optimal tercapai dengan mengatasi seluruh kendala yang ada.
Optimisasi decision network dimaksudkan dengan mencari nilai fungsi utilitas yang paling optimal sebagai masukan untuk kalender tanam dinamik.
Optimisasi diformulasi dengan menggunakan fuzzy inference system (FIS).
Pengujian keabsahan model merupakan tahapan yang penting dalam pemodelan, karena harus selalu disadari bahwa tidak ada model simulasi yang berlaku untuk segala keadaan. Model selalu dikembangkan berdasarkan sejumlah asumsi yang membatasi keabsahan model. Pertimbangan akhir dari model yang teruji adalah model yang memenuhi kriteria : (1) model konseptual yang memberikan representasi baik bagi proses sesungguhnya; dan (2) lulus pengujian yang dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi model dengan hasil pengamatan eksperimental dan pengukuran lapang (Pawitan 2002). Pengujian tersebut merupakan validasi model. Menurut Handoko (2002) validasi model identik dengan pengujian hipotesis yang dalam hal ini, model itu sendiri merupakan hipotesisnya. Validasi model dapat dilakukan melalui beberapa cara
mulai dari yang bersifat deskriptif misalnya melalui perbandingan secara grafis, yaitu membandingkan antara hasil keluaran model dengan hasil pengukuran lapang pada grafik. Cara ini lebih mudah dilihat dan dibayangkan proses yang dimodelkan serta bagaimana kesamaan atau perbedaannya dengan hasil pengamatan lapang. Dalam bab ini, selain pemaparan mengenai fungsi risiko, juga dipaparkan perihal verifikasi (validasi) fungsi risiko.
6.2. Metodologi
6.2.1. Optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS
Fungsi risiko yang memetakan kombinasi keputusan dengan kejadian iklim ke nilai kerugian diformulasi dengan model Fuzzy Inference System (FIS). Hal ini dengan pertimbangan bahwa data yang tersedia sangat sedikit, sehingga tidak mampu memprediksi parameter model dengan baik. Dengan model FIS, tranformasi dari kombinasi pola tanam dengan kejadian iklim ke nilai risiko dilakukan berdasarkan kepakaran. Pengetahuan berdasar pakar tersebut selanjutnya diformalkan dengan aturan atau rule yang berbentuk (Jika ... Maka ...) dan dinyatakan dalam logika fuzzy. Dengan demikian, faktor ketidakpastian terakomodasi dan keterbatasan data dapat diatasi. Diagram model FIS secara umum adalah sesuai gambar berikut :
VI.
VII.
Gambar 6.1 Model FIS untuk pendugaan nilai risiko
Pada Gambar 6.1, x sebagai peubah input dalam penelitian ini terdiri dari 3 peubah, yaitu indeks SST Nino 4, Panjang Musim Hujan (PMH), dan Curah Hujan
Musim Kemarau (CHMK). Selanjutnya ketiga input tersebut akan memasuki rule 1 hingga rule ke r, untuk menghasilkan himpunan fuzzy output yang merupakan nilai risiko kekeringan. Nilai prediksi risiko ini, yaitu y, dihitung dengan formula defuzzykasi terhadap himpunan fuzzy aggregate dari hasil semua rule. Proses Fuzzy Inference System (FIS) dilakukan di Mathlab ver.7. Pada optimisasi dengan menggunakan FIS digunakan data observasi dan digunakan untuk menghitung fungsi risiko Kabupaten Pacitan.
6.2.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS
Verifikasi terhadap fungsi risiko dilakukan dengan membandingkan kekeringan yang diperoleh dari data observasi lapang dan dibandingkan dengan kekeringan yang diperoleh dari model.
6.3. Hasil dan Pembahasan
6.3.1. Analisis Optimasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS Fungsi risiko bencana kekeringan digunakan untuk mengetahui seberapa besar bencana kekeringan dapat dihitung berdasarkan data-data kekeringan dan luas tambah tanam historis. Optimasi dilakukan untuk mengetahui berapa kerugian yang paling minimal yang mungkin diperoleh berdasarkan pilihan teknologi yang digunakan, atau seberapa besar kerugian dapat ditekan pada penanaman berikutnya apabila diketahui informasi prediksi komponen fungsi risiko.
Ada beberapa tahapan dalam proses fuzzy inference system (FIS).
Tahapan tersebut meliputi; perumusan masalah, penyusunan fuzzy membership, penyusunan rule, serta proses lain di mathlab. Perumusan masalah merupakan penentuan input dan output sebagai peubah penentu. Terdapat tiga peubah penentu, yaitu; anomali SST Nino 4 bulan Agustus (oC), panjang musim hujan (PMH) dalam dasarian, dan akumulasi curah hujan musim kemarau (bulan Mei hingga Agustus). Digunakan SST Nino 4 bulan Agustus sebagai acuan untuk prediksi curah hujan, karena pada bulan Agustus hampir >60% anomali curah hujan di wilayah Indonesia mencapai nilai negatif (Aldrian 2003). Sedangkan output adalah bencana kekeringan. Data yang digunakan merupakan data tahunan.
Langkah selanjutnya adalah penyusunan fuzzy membership (penetapan fungsi keanggotan), yaitu penentuan range nilai sehingga dapat diketahui pada posisi mana nilai tersebut berada. Range nilai tersebut adalah sebagai berikut;
peubah SST Nino 4 meliputi range nilai antara -2 hingga 2 dengan acuan penetapan dari data jangka panjang (Tabel 6.1), panjang musim hujan berada dalam kisaran 1 hingga 36 dasarian, curah hujan musim kemarau berada pada kisaran <85% hingga >115% dari rata-rata tahunan untuk empat bulan musim kemarau (Mei hingga Agustus). Sedangkan bencana kekeringan diklasifikasikan menjadi tidak terkena, terkena ringan, terkena sedang, berat dan puso. Dimana tidak terkena berarti tidak mengalami kejadian, atau kejadian tersebut sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Terkena ringan mempunyai rentang dari nol hingga
<Q1 (quartile 1) dari luas kekeringan, terkena sedang (Q1<luas kekeringan<Q2), terkena berat (Q2<luas kekeringan<Q3), dan puso (>Q3). Rentang fuzzifikasi ini dapat berbeda-beda pada setiap kecamatan, karena baik input terutama curah hujan musim kemarau dan panjang musim hujan berbeda, juga outputnya, mengalami luas kekeringan yang berbeda, sehingga rentangnya menjadi tidak sama antar kecamatan.
Tabel 6.1 Contoh himpunan fuzzy untuk input (Anomali SST Nino 4, PMH dan CHMK)
Himpunan Fuzzy
Klasifikasi Representasi Interval
Rentang Fuzzifikasi Anomali
SST Nino4
La-Nina 1 trapesium < -2.0, -1.5, -1.0 -0.5>
Normal 2 trapesium < -1.0, -0.5, 0.5 1.0 >
El-Nino 3 trapesium < 0.5 1.0, 1.5, 2.0 >
PMH Rendah 1 trapesium < 1, 1, 8, 12 >
Sedang 2 trapesium < 8, 12, 18, 22 >
Tinggi 3 trapesium < 18, 22, 36, 36 >
CHMK BN 1 trapesium < 0, 0, 115, 165>
N 2 segitiga <115, 165, 215 >
AN 3 trapesium < 165, 215, 600, 600>
Tabel 6.2 Contoh himpunan fuzzy untuk output (Kekeringan) Himpunan
Fuzzy
Klasifikasi Representasi Interval
Rentang Fuzzifikasi
Kekeringan Tidak ada 1 0 atau nilai dapat diabaikan
Ringan 2 < 25 % luas kekeringan
Sedang 3 25 - 50% luas kekeringan
Berat 4 50 – 75% luas kekeringan
Puso 5 >75% luas kekeringan
Tabel 6.3 Contoh himpunan fuzzy untuk kekeringan Kecamatan Tulakan
Himpunan Fuzzy
Klasifikasi Representasi Interval
Rentang Fuzzifikasi
Kekeringan Tidak ada 1 0 atau nilai dapat diabaikan
Ringan 2 Luas kekeringan < 1,86 ha Sedang 3 1.86 < luas Kekeringan< 7.04 ha
Berat 4 7.04 < luas Kekeringan < 43.02 ha Puso 5 Luas kekeringan >43.02 ha
Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan.
Berdasarkan fungsi keanggotaan dan penetapan rule, akan diperoleh gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. sebagai contoh jika SST Nino 4 bernilai +2, panjang musim hujan <10 dasarian, curah hujan musim kemarau <85% dari nilai rata-rata tahunan (bawah normal/BN), dan luas tambah tanam berada pada kisaran >115% (atas normal atau AN) maka bencana kekeringan yang terjadi akan berada pada kisaran yang cukup luas. Misal, jika SST Nino4 =1.12, PMH =13, CHMK =54, maka kekeringan yang mungkin terjadi adalah seluas 250 ha. Namun demikian penetapan rule perlu menggunakan logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh.
Gambar 6.2 Fungsi keanggotaan untuk Anomali SST Nino4
Gambar 6.3 Fungsi keanggotaan untuk CHMK
Gambar 6.4 Fungsi keanggotaan untuk PMH
Gambar 6.5 Fungsi keanggotaan untuk kekeringan
Gambar 6.6 Contoh pilihan skenario di fuzzy rule
Gambar 6.7 Contoh output di fuzzy rule
6.3.2. Verifikasi fungsi risiko yang diformulasi dengan model FIS
Verifikasi terhadap fungsi risiko disajikan pada Gambar 6.8. Dari aspek output nilai risiko kekeringan, terlihat bahwa prediksi nilai kekeringan dengan model FIS memberikan nilai prediksi yang mengikuti pola observasi sebenarnya.
Namun demikian, secara umum ada trend bahwa prediksi dengan FIS berbias ke atas. Hampir semua prediksi berada di atas nilai observasi (kecuali pada tahun terakhir dan kecuali untuk Kecamatan Tulakan). Hal ini terjadi karena ada beberapa hal yang ditempuh. Pertama, karena sudah diperkirakan lebih dahulu, air tidak akan mencukupi, maka petani tidak melakukan penanaman. Kedua, dilakukannya strategi antisipasi/adaptasi, sehingga dilakukan langkah-langkah penanaman yang memperhitungkan kondisi ketersediaan air, sehingga kerugian yang ditimbulkan dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, maka pada kondisi observasi/riil di lapang, kekeringan sering mendekati nilai lebih rendah daripada yang dihitung dengan model, hal itu terjadi karena petani tidak melakukan penanaman. Oleh karena itu perlu satu faktor koreksi dari model tersebut agar hasil prediksi menjadi lebih tepat. Kepakaran dalam menentukan selang fuzzy (fuzzy membership) juga memberikan kontribusi terhadap ketepatan hasil prediksi.
Hasil FIS sangat jelas terlihat terutama pada tahun-tahun ketika terjadi El- Nino, dan terjadi kekeringan seperti pada tahun 1991, 1994, 1997 dan 2007 pada sebagian besar kecamatan (Gambar 6.8). Dengan hasil tersebut, FIS dapat digunakan untuk memprediksi kejadian kekeringan dalam bentuk luasan yang mungkin terjadi. Informasi SST Nino 4 yang dituangkan kemudian dalam prediksi curah hujan, sehingga berikutnya dapat menghitung CHMK dan PMH, diharapkan dapat memberikan informasi prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi.
Hasil regresi linier antara nilai Kekeringan observasi dengan nilai kekeringan hasil FIS diperoleh koefisien determinasi pada selang yang cukup lebar yaitu dari 0.37 (Kecamatan Arjosari) hingga 0.88 (Kecamatan Ngadirojo/ Gambar 6.9). Namun demikian, koefisien determinasi stasiun terbanyak berada pada nilai 0.7. Hal ini memperlihatkan bahwa hingga sekitar 70% dari persamaan diakomodir oleh model/persamaan, sedangkan sisanya tidak dapat dijelaskan oleh model. Prediksi FIS pada tahun 2003 memperlihatkan kemungkinan terjadi kekeringan yang cukup luas, namun diperkirakan antisipasi petani sebelumnya dapat menekan kemungkinan terjadi kerugian pada wilayah yang luas.
0 100 200 300 400 500
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
Arjosari
0 50 100 150 200 250 300
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Donorojo
0 100 200 300 400 500 600 700 800
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
Kebonagung
0 50 100 150 200 250 300
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nawangan
0 50 100 150 200 250 300 350
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
Ngadirojo
0 50 100 150 200 250 300 350
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Pacitan
0 50 100 150 200 250 300
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
Punung
0 50 100 150 200 250 300
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Pringkuku
0 100 200 300 400 500 600
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
luas terkena kekeringan (ha)
Tegalombo
Observasi FIS
0 300 600 900 1200 1500
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tulakan
Observasi FIS
Gambar 6.8 Hasil verifikasi FIS dengan observasi
y = 0.629x + 68.32 R² = 0.3763 0
100 200 300 400
0 100 200 300 400 500
FIS
Arjosari
y = 1.7979x + 15.532 R² = 0.7597 0
100 200 300 400
0 50 100 150 200 250
Donorojo
y = 0.5483x + 41.86 R² = 0.7052 0
100 200 300 400 500
0 200 400 600 800
FIS
Kebonagung
y = 2.0232x + 14.356 R² = 0.7631 0
100 200 300 400
0 50 100 150 200
Nawangan
y = 1.8843x + 9.4229 R² = 0.8821 0
50 100 150 200 250 300 350
0 50 100 150 200
FIS
Ngadirojo
y = 1.4875x + 38.197 R² = 0.7108 0
100 200 300 400 500
0 50 100 150 200 250 300
Pacitan
y = 0.7073x + 30.289 R² = 0.7344 0
100 200 300 400 500
0 100 200 300 400 500 600
FIS
Luas terkena kekeringan observasi (ha) Tegalombo
y = 0.3424x + 67.828 R² = 0.6339 0
100 200 300 400 500 600
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 Luas terkena kekeringan observasi (ha)
Tulakan y = 1.9578x + 14.425
R² = 0.7599 0
100 200 300 400
0 50 100 150 200
FIS
Punung
y = 1.3984x + 17.942 R² = 0.7628 0
100 200 300 400
0 50 100 150 200 250 300
Pringkuku
Gambar 6.9 Perbandingan nilai kekeringan observasi dengan hasil keluaran FIS
6.4. Simpulan
Fungsi risiko bencana kekeringan digunakan untuk mengetahui seberapa besar bencana kekeringan dapat dihitung berdasarkan data-data kekeringan dan luas tambah tanam historis. Optimasi dilakukan untuk mengetahui berapa kerugian yang paling minimal yang mungkin diperoleh berdasarkan pilihan teknologi yang digunakan, atau seberapa besar kerugian dapat ditekan pada penanaman berikutnya apabila diketahui informasi prediksi komponen fungsi risiko.
Sistem inferensi fuzzy dapat digunakan sebagai tool untuk prediksi luas kekeringan yang mungkin terjadi, dengan memasukkan nilai input yang digunakan.
Berdasarkan fungsi keanggotaan dan penetapan rule, akan diperoleh gambaran/prediksi kekeringan yang mungkin terjadi. Namun demikian penetapan rule perlu menggunakan logika yang baik, sehingga dapat diperoleh kepekaan dalam penentuan/prediksi kekeringan yang diperoleh.
Hasil regresi linier antara nilai kekeringan observasi dengan nilai kekeringan hasil FIS diperoleh koefisien determinasi pada selang yang cukup lebar yaitu dari 0.37 (Kecamatan Arjosari) hingga 0.88 (Kecamatan Ngadirojo).
Dalam penetapan rule untuk fuzzy inference system, diperlukan kepekaan yang cukup tinggi untuk menghasilkan prediksi yang mendekati ketepatan, oleh karena itu diperlukan suatu tool lain seperti algoritma genetika sebagai alat bantu dalam meningkatkan tingkat ketepatan.
Sistem inferensi fuzzy merupakan suatu alat ukur dalam penyusunan fungsi risiko, sebagai bagian dari decision network untuk mendukung kalender tanam dinamik. Oleh karena itu, bahasan pada bab selanjutnya memaparkan mengenai pengembangan kalender tanam dinamik.