• Tidak ada hasil yang ditemukan

STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) (Makalah Manajemen Pendidikan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) (Makalah Manajemen Pendidikan)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) (Makalah Manajemen Pendidikan)

Oleh :

Ayu Septiana 1213022008 Dewi Susilowati 1213022012 Mia Fatma Riasti 1213022041 M. Reza Pratama 1213022036 Pandu Galih Prakoso 1213022053 Ririn Andriyatin 1213022062 Ryna Aulia Falamy 1213022066

PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

2014

(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah Standar Pelayanan Minimal.

Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas mata kuliah Manajemen Pendidikan.

Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.

Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan dari rekan-rekan semua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dosen mata kuliah Manajemen Pendidikan yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada penulis sehingga termotivasi dalam menyelesaikan tugas ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbang pikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Bandar Lampung, 20 Mei 2014

Penulis

(3)

iii DAFTAR ISI

COVER ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan ... 2

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Standar Pelayanan Minimal (SPM) ... 4

B. Tujuan Penyusunan SPM (Standar Pelayanan Minimal) ... 6

C. Manfaat Standar Pelayanan Minimal (SPM) ... 6

D. Prinsip Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) ... 7

E. Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal ... 8

F. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam SPM ... 9

G. Standar Pelayanan Minimum (SPM) Badan Layanan Umum (BLU) ... 10

H. Masalah dalam Kualitas dan Pelayanan Pendidikan ... 11

I. Langkah Penyelesaian Masalah dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pendidikan ... 12

J. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) ... 16

K. Kebijakan Standar Pelayanan Minimal di Indonesia ... 26

(4)

iv BAB III PENUTUP

kesimpulan ... 32

DAFTAR PUSTAKA

(5)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Standar pelayanan minimal adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Sebagai sebuah kebijakan, standar pelayanan minimal sudah selayaknya didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memadai mulai dari undang- undang, peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri terkait. Di sisi lain sebagai sebuah kebijakan, standar pelayanan minimal sedang dalam proses pencarian bentuk dan sosialisasi yang membutuhkan waktu tidak sedikit, mengingat perlunya kesamaan pemahaman antara perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan di lapangan, terlebih lagi seringnya terjadi proses penyesuaian kebijakan yang disebabkan oleh dinamika masyarakat yang menjadi obyek kebijakan. Oleh sebab itu pelembagaan suatu kebijakan tidak terlepas dari proses perkembangan dalam rangka beradaptasi dengan lokus kebijakan. Proses adaptasi kebijakan tersebut pada umumnya terwadahi dalam bentuk ketentuan peralihan yaitu suatu periode waktu sebuah kebijakan mempersiapkan lokus kebijakan. Di sisi lain obyek kebijakan diberi kesempatan untuk melakukan adaptasi terhadap pemberlakuan kebijakan.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas dan dalam rangka turut mensukseskan kebijakan SPM, penulis memandang perlu menyajikan tulisan singkat ini

(6)

2 mengenai Kebijakan Standar Pelayanan Minimal. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjembatani perumus kebijakan yang ada di Pusat dengan pelaksana kebijakan yang ada di Daerah serta untuk mensosialisasikan kebijakan SPM secara lebih luas.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian Standar Pelayanan Minimal (SPM)?

2. Apakah Tujuan Penyusunan SPM (Standar Pelayanan Minimal?

3. Apakah Manfaat Standar Pelayanan Minimal (SPM)?

4. Apakah Prinsip Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)?

5. Apakah Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)?

6. Apakah Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam SPM?

7. Apakah Standar Pelayanan Minimal (SPM) BLU (Badan Layanan Umum)?

8. Apakah Masalah Dalam Kualitas Dan Pelayanan Pendidikan?

9. Bagaimana Langkah Penyelesaian Masalah Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan?

10. Bagaimanakah Keputusan Menteri Pendidkan dan Kebudayaan RI tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)?

11. Bagaimanakah Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Di Indonesia?

C. Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Standar Pelayanan Minimal (SPM)

2. Mengetahui Tujuan Penyusunan SPM (Standar Pelayanan Minimal 3. Mengetahui Manfaat Standar Pelayanan Minimal (SPM)

4. Mengetahui Prinsip Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

5. Mengetahui Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

6. Mengetahui Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam SPM

(7)

3 7. Mengetahui Standar Pelayanan Minimal (SPM) BLU (Badan Layanan

Umum)

8. Mengetahui Masalah Dalam Kualitas Dan Pelayanan Pendidikan 9. Mengetahui Langkah Penyelesaian Masalah Dalam Meningkatkan

Kualitas Pendidikan

10. Mengetahui Keputusan Menteri Pendidkan dan Kebudayaan RI tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)

11. Mengetahui Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Di Indonesia

(8)

4 BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Pengertian standar pelayanan minimal merupakan suatu istilah dalam pelayanan publik (public policy) yang menyangkut kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Menurut Oentarto, et al.

(2004:173) menjelaskan bahwa Standar pelayanan minimal memiliki nilai yang sangat strategis baik bagi pemerintah (daerah) maupun bagi masyarakat (konsumen). Adapun nilai strategis tersebut yaitu:

1. Pertama, bagi pemerintah daerah: standar pelayanan minimal dapat dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk membiayai penyediaan pelayanan;

2. Kedua, bagi masyarakat: standar pelayanan minimal dapat dijadikan sebagai acuan mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah (daerah).

Dengan demikian pelayanan yang bermutu/berkualitas adalah pelayanan yang berbasis masyarakat, melibatkan masyarakat dan dapat diperbaiki secara terus menerus. Disisi lain, pemerintah dituntut untuk bekerja secara efisien dan efektif dalam hal pelayanan kepada masyarakat.

SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib pemerintah yang berhak diperoleh setiap

(9)

5 warga secara minimal. Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan.

Pengertian SPM juga dapat dijumpai pada beberapa sumber, antara lain :

1. Undang-Undang 32 tahun 2004 penjelasan pasal 167 (3), menyatakan bahwa SPM adalah standar suatu pelayanan yang memenuhi persyaratan minimal kelayakan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, pasal 20 (1) b menyatakan bahwa APBD yang disusun dengan pendekatan kinerja memuat standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan;

3. Lampiran Surat Edaran Dirjen OTDA Nomor 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002 menyatakan Standar Pelayanan Minimal adalah tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat.

4. Peraturan Pemerintah RI No.65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM.

5. Penerapan Standar Pelayanan Minimal. SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.

6. Permendagri No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.

Dari berbagai pengertian tersebut, secara umum dapat diikhtisarkan bahwa SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya SPM akan menjamin minimal pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat

(10)

6 dari pemerintah. Dengan adanya SPM maka akan terjamin kuantitas dan atau kualitas minimal dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan publik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa pelaksanaan urusan wajib merupakan pelayanan minimal sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa, SPM ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini departemen teknis, sedangkan pedoman penyusunan SPM ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 167 (3).

B. Tujuan Penyusunan SPM (Standar Pelayanan Minimal)

1. Pedoman bagi BLU dalam penyelenggaraan layanan kepada masyarakat;

2. Terjaminnya hak masyarakat dalam menerima suatu layanan;

3. Dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan alokasi anggaran yang dibutuhkan;

4. Alat akuntabilitas BLU dalam penyelenggaraan layanannya;

5. Mendorong terwujudnya checks and balances;

6. Terciptanya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan layanan BLU

C. Manfaat Standar Pelayanan Minimal (SPM)

SPM mempunyai beberapa manfaat, antara lain :

1. Memberikan jaminan bahwa masyarakat akan menerima suatu pelayanan publik dari pemerintah daerah sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat.

(11)

7 2. Dengan ditetapkannya SPM akan dapat ditentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.

3. Menjadi dasar dalam menentukan anggaran berbasis kinerja.

4. Masyarakat dapat mengukur sejauhmana pemerintah daerah memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat, sehingga hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah kepada masyarakat.

5. Sebagai alat ukur bagi kepala daerah dalam melakukan penilaian kinerja yang telah dilaksanakan oleh unit kerja penyedia suatu pelayanan.

6. Sebagai benchmark untuk mengukur tingkat keberhasilan pemerintah daerah dalam pelayanan publik.

7. Menjadi dasar bagi pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh institusi pengawasan.

Manfaat Penerapan Standar Pelayanan Minimal, menurut sumber lain : a. Memberikan jaminan bahwa masyarakat

b. Dapat ditentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan

c. Sebagai landasan dalam menentukan perimbangan Keuangan d. Menjadi dasar dalam menentukan anggaran berbasis Kinerja e. Sebagai alat ukur penilaian kinerja

f. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pemerintah g. Menjadi dasar bagi pelaksanaan pengawasan h. dapat memperjelas tugas pokok Pemerintah

i. Mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat

D. Prinsip Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Dalam penyusunan dan menetapkan SPM, perlu diperhatikan prinsip- prinsip sebagai berikut :

(12)

8 1. Konsensus, yaitu disepakati bersama oleh komponen-komponen atau unit-unit kerja yang ada pada lembaga yang bersangkutan.

Sederhana, yaitu mudah dimengerti dan dipahami.

2. Nyata, yaitu memiliki dimensi ruang dan waktu serta persyaratan atau prosedur teknis.

3. Terukur, yaitu dapat dihitung atau dianalisa.

4. Terbuka, yaitu dapat diakses oleh seluruh warga lapisan masyarakat.

5. Terjangkau, yaitu dapat dicapai bersama SPM jenis-jenis pelayanan dasar lainnya dengan menggunakan sumber-sumber daya daan dana yang tersedia.

6. Akuntabel, yaitu dapat dipertanggungjawabkan kepada public.

7. Bertahap, yaitu mengikuti perkembangan kebutuhan dan kemampuan keuangan, kelembagaan, dan personil dalam pencapaian SPM.

E. Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Beragamnya kondisi daerah, baik kondisi ekonomi, sosial, budaya, maupun kondisi geografis akan berdampak pada kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain setiap daerah mempunyai kemampuan yang berbeda dalam

mengimplementasikan SPM. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dalam penerapan SPM perlu dipahami. Prinsip-prinsip tersebut adalah : 1. SPM diterapkan pada seluruh urusan wajib pemerintah daerah.

2. SPM dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah pusat.

3. SPM bersifat dinamis, dalam arti selalu dikaji dan diperbaiki dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi nasional dan perkembangan daerah.

(13)

9 4. SPM harus dijadikan acuan dalam perencanaan daerah, penganggaran, pengawasan, pelaporan dan sebagai alat untuk menilai pencapaian kinerja.

Prinsip-Prinsip Penerapan Standar Pelayanan Minimal :

a. SPM disusun sebagai alat pemerintah pusat dan pemerintahan daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib;

b. SPM ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan untuk Pemerintah dan Pemerintahan Daerah (provinsi, kabupaten/kota);

c. Penerapan Standar Pelayanan Minimal oleh Pemerintahan Daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayanan dasar nasional;

d. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan, serta mempunyai batas waktu pencapaian;

e. SPM harus dijadikan acuan dalam perencanaan

daerah,penganggaran, pengawasan, pelaporan dan sebagai alat untuk menilai pencapaian kinerja;

f. SPM harus fleksibel dan mudah disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan kelembagaan serta personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.

F. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam SPM

1. Penyajian SPM

2. Kesesuaian SPM dengan perkembangan kebutuhan dan kemampuan Satker

3. Rencana Pencapaian SPM 4. Indikator Pelayanan

5. Adanya tandatangan pimpinan Satker dan Menteri terkait

(14)

10 G. Standar Pelayanan Minimal (SPM) BLU (Badan Layanan Umum)

Sebagai salah satu lembaga pelayanan kepada masyarakat umum, BLU perlu menetapkan standar pelayanan minimal (SPM).

1. Untuk menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas pelayanan umum yang diberikan oleh BLU, kepala daerah menetapkan standar pelayanan minimal BLU dengan peraturan kepala daerah.

2. Standar pelayanan minimal, dapat diusulkan oleh pemimpin BLU.

3. Standar pelayanan minimal, harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.

4. Standar pelayanan minimal harus memenuhi persyaratan :

a. Fokus pada jenis pelayanan; Mengutamakan kegiatan pelayanan yang menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU.

b. Terukur; Merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

c. Dapat dicapai; Merupakan kegiatan nyata, dapat dihitung tingkat pencapaiannya, rasional, sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya.

d. Relevan dan dapat diandalkan; merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU.

e. Tepat waktu. Merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.

Dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat, diperlukan biaya operasional maupun non operasional, oleh karena itu BLU diperbolehkan memungut biaya tersebut kepada penerima layanan, dengan ketentuan sebagai berikut :

(15)

11 1. BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan

atas barang dan/atau jasa layanan yang diberikan.

2. Imbalan atas barang dan/atau jasa layanan, ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya satuan per unit layanan atau hasil perinvestasi dana.

3. Tarif, termasuk imbal hasil yang wajar dari investasi dana dan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya per unit layanan.

4. Tarif layanan, dapat berupa besaran tarif atau pola tarif sesuai jenis layanan BLU yang bersangkutan.

H. Masalah Dalam Kualitas Dan Pelayanan Pendidikan

a) Lemahnya sistem pendidikan serta pelayanan dalam kegiatan belajar mengajar

Sistem pendidikan di Indonesia sangat lemah dalam proses belajar mengajar, ini bisa dilihat adanya pergantian mentri maka berganti pula sistem pendidikan yang diterapakan. Tidak bakunya standar pendidikan kita juga menyebabkan ketidapastian dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan. Bahkan untuk menetapkan standar kelulusan pun Indonesia masih sering kebingungan. Tidak hanya sekedar masalah kurikulum, kualitas pengajar pun bisa dibilang tidak sesuai dengan standar yang seharusnya. Kebanyakan para guru yang ditugaskan oleh tiap sekolah untuk memberikan transfer ilmu seperti kebingungan dalam mengajar. Entah karena bingung dengan standar pendidikan yang selalu berubah atau karena memang tidak ahli dalam bidang yang diajarkan.

b) Kinerja Tenaga Kependidikan belum maksimal

Berbeda dengan kebanyakan negara, Indonesia memperbolehkan semua lulusan institusi pendidikan keguruan menjadi tenaga pengajar, tanpa perlu melewati ujian dalam hal kesiapan untuk memberikan ilmu pengetahuan dan keahlian mereka pada kondisi

(16)

12 sekolah yang beragam. Pada waktu yang sama terdapat kesulitan untuk memberhentikan tenaga pengajar yang tidak mampu mengajar. Saat ini, dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma 4. Dari jumlah itu, 1 juta guru mengajar di Sekolah Dasar dan 173 ribu mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta. Ini yang membuat kualitas pendidikan menjadi rendah.

c) Kualitas pelayanan pendidikan pun bisa sangat memprihatinkan Masih banyaknya bangunan sekolah yang sangat buruk kondisinya.

Sekolah- sekolah yang beratapkan langit pun sering kita temui.

Lantainya pun terbuat langsung dari tanah, serta tidak cukupnya buku-buku yang seharusnya didapatkan oleh setiap siswa. Belum lagi mahalnya biaya sekolah dan kuliah yang menyebabkan banyak orangtua yang enggan untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Padahal kita semua tahu bahwa pendidikan merupakan hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Inilah realita yang dialami dunia pendidikan di Indonesia.

I. Langkah Penyelesaian Masalah Dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Sejumlah permasalahan dalam pendidikan menunjukkan perlunya suatu agenda reformasi yang didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar di Indonesia. Peningkatan kualitas pendidikan ini dapat dilakukan melalui :

1. Menerapkan manajemen berbasis sekolah

Diharapkan sekolah serta masyarakat dapat ikut berkontribusi dalam peningkatan mutu pendidikan dasar secara signifikan.

(17)

13 Peningkatan manajemen berbasis sekolah dapat ditempuh dengan cara:

a) Persiapkan tenaga pengajar yang lebih baik dalam mengelola sekolah.

Bangun dan kembangkan program pelatihan yang efektif dalam perencanaan dan pembuatan anggaran, pengelolaan keuangan, membuat suatu penilaian dan strategi komunikasi bagi kepala sekolah dan anggota komite sekolah.

b) Menciptakan hibah pendidikan yang pro-orang miskin untuk proyek-proyek yang didasarkan atas insiatif sekolah dan masyarakat.

Beberapa hibah dapat merangsang munculnya inovasi serta percobaan dalam mencari sistem pendidikan yang baik, terutama dengan maksud untuk mengurangi ketimpangan yang terjadi di daerah miskin. Bantuan khusus amat dibutuhkan bagi sekolah- sekolah dengan kualitas yang masih dibawah standar minimal.

2. Membangun jaminan kualitas dan sistem pengawasan secara nasional

Sistem pelaporan informasi pendidikan dengan cara lama yang sentralistis telah berakhir. Sistem tersebut harus digantikan dengan mekanisme yang lebih ditentukan oleh kebutuhan akan informasi dan kemampuan daerah, sistem itu juga harus dapat melayani kebutuhan manajemen di setiap jenjang pendidikan serta menekankan standar kecakapan dan akuntabilitas. Pada tingkat sekolah, informasi pendidikan merupakan alat untuk mengevaluasi pemahaman murid dalam mata pelajaran tertentu, dan informasi ini juga berperan sebagai alat komunikasi mengenai kebutuhan serta keberhasilan yang telah dicapai oleh sekolah kepada orang tua maupun kepada komunitas sekolah pada umumnya.

(18)

14 3. Meningkatkan kualitas pengajaran melalui reformasi jenjang karir

guru

Tenaga pengajar merupakan media utama dimana melalui mereka murid-murid belajar dan alokasi dana untuk gaji guru memakan sebagian besar anggaran publik. Para tenaga pengajar di Indonesia sepakat mengenai perlunya kebutuhan untuk mereformasi profesi guru. Reformasi ini dapat ditempuh melalui :

a. Memperkenalkan sistem akreditasi yang transparan.

Sistem akreditasi ini harus mencakup program pelatihan sebelum mengajar selama dua tahun ke depan. Seluruh proses akreditasi tersebut diselesaikan dalam waktu 4 tahun ke depan.

Berbagai program pelatihan tersebut juga diharuskan untuk mendapatkan akreditasi ulang setiap lima tahun sekali.

Kemudian publikasikan secara lebih luas hasil dari proses akreditasi tersebut, termasuk hasil dari akreditasi ulang. Untuk mendukung sistem akreditasi ini, pihak pemerintahan daerah serta pihak sekolah diharapakan agar mempekerjakan tenaga pengajar yang hanya berasal dari program yang telah terakreditasi.

b. Tempatkan dan promosikan guru berdasarkan kualitas.

Mengentikan praktek pembelian posisi guru dan gantikan dengan menciptakan suatu ujian praktek dan proses sertifikasi untuk para guru di tingkat nasional, kemudian kemukakan secara terbuka proses pendaftaran serta seleksinya.

Publikasikan hasil ujian praktek guru tersebut kepada media massa. Para guru juga dituntut untuk selalu memperbarui sertifikat mereka secara periodik dalam rangka promosi jabatan.

(19)

15 c. Memulai program pengembangan untuk seluruh jenjang karir

bagi guru dan kepala sekolah.

Program tersebut harus meliputi persiapan pra-mengajar, kemudian penempatan mengajar dan terakhir pengembangan profesi yang berkelanjutan.

d. Meningkatkan kesejateraan guru

Pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan guru, kita bias melihat banyak guru yang berpenghasilan rendah namun tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar.

4. Restrukturisasi peran departemen pendidikan

Sebagai bagian dari pergantian pemerintahan, departemen pendidikan dituntut untuk melakukan restrukturisasi dan transformasi di masa yang akan datang. Tugas utama kementrian pendidikan di era desentralisasi bukan lagi memberikan pelayanan pendidikan secara langsung. Tugas kementrian harus meliputi pembuatan kebijakan, mengatur standar pendidikan, mengukur performa, pemberdayaan unit- unit pendidikan yang telah didesentralisasi untuk mencapai standar kualitas, merangsang inovasi serta memperluas pembelajaran melalui eksperimen, dan memberikan perhatian besar pada ketimpangan pendidikan diantara daerah yang kaya dengan miskin serta fokus pada ketidakmampuan daerah miskin untuk menyediakan pendidikan dengan kualitas yang mencukupi. Lembaga yang sentralistis serta birokrasi yang besar sudah tidak dibutuhkan lagi untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Pada kenyataannya, hal itu malah akan menghambat pembangunan.

Penetapan sistem pendidikan yang baku serta tidak harus

(20)

16 berubah pada setiap pergantian menteri harus bisa menjadi target pemerintah. Hal ini bisa memberikan kepastian bagi setiap pengajar dan sekolah.

J. Keputusan Menteri Pendidkan dan Kebudayaan RI tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM)

1. Pasal 3

a) Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Sekolah Dasar (SD)/ Madrasah

Ibtidaiyah (MI) terdiri atas :

a. 95 % anak dalam kelompok usia 7-12 tahun bersekolah di SD/MI.

b. Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 % dari jumlah sis-wa yang bersekolah.

c. 90 % sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan secara nasional.

d. 90 % dari jumlah guru SD yang diperlukan terpenuhi.

e. 90 % guru SD/MI memiliki kualifikasi sesuai dengan kompe-tensi yang ditetapkan secara nasional .

f. 95 % siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran.

g. Jumlah siswa SD/MI per kelas antara 30 – 40 siswa.

h. 90 % dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu

pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan”

dalam mata pelajaran membaca, menulis dan berhitung untuk kelas III dan mata pelajaran bahasa, matematika, IPA dan IPS untuk kelas V.

(21)

17 i. 95 % dari lulusan SD melanjutkan ke Sekolah Menengah

Pertama

(SMP)/Madrasah Tsana-wiyah (MTs).

b) SPM Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/

Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas:

a. 90 % anak dalam kelompok usia 13 -15 tahun bersekolah di SMP/MTs.

b. Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 % dari jumlah siswa yang ber-sekolah.

c. 90 % sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai

dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional.

d. 80 % sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya.

e. 90 % dari jumlah guru SMP yang diperlukan ter-penuhi.

f. 90 % guru SMP/MTs memiliki kualifikasi, sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

g. 100 % siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata

pelajaran.

h. Jumlah siswa SMP/MTs per kelas antara 30 – 40 siswa.

i. 90 % dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu

pendidikan standar nasional mencapai nilai “memuaskan”

dalam mata pelajaran

Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, dan IPS di kelas I

dan II.

(22)

18 j. 70 % dari lulusan SMP/ MTs melanjutkan ke Sekolah

Menengah

Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)/ Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK).

2. Pasal 4

a. SPM Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) terdiri atas :

a. 60 % anak dalam kelompok usia 16-18 tahun bersekolah di SMA/MA dan SMK;

b. Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 % dari jumlah siswa yang ber-sekolah.

c. 90 % sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetap-kan secara nasional.

d. 80 % sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya.

e. 90 % dari jumlah guru SMA/MA yang diperlukan terpenuhi.

f. 90 % guru SMA/MA memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

g. 100 % siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran.

h. Jumlah siswa SMA/MA per kelas antara 30 – 40 siswa.

i. 90 % dari siswa yang mengikuti uji sampel mutu standar nasional mencapai nilai “memuaskan” dalam mata pelajaran bahasa Inggris, Geografi, Matematika Dasar untuk kelas I dan II

(23)

19 j. 25 % dari lulusan SMA/ MA melanjutkan ke perguruan

tinggi yang ter-akreditasi.

b. SPM Pendidikan SMK terdiri atas :

a. Angka Putus Sekolah (APS) tidak melebihi 1 % dari jumlah siswa yang ber-sekolah.

b. 90 % sekolah memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang di-tetapkan secara nasional.

c. 80 % sekolah memiliki tenaga kependidikan non guru untuk melaksanakan tugas administrasi dan kegiatan non mengajar lainnya.

d. 90 % dari jumlah guru SMK yang diperlukan ter-penuhi.

e. 90 % guru SMK memiliki kualifikasi sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

f. 100 % siswa memiliki buku pelajaran yang lengkap setiap mata pelajaran.

g. Jumlah siswa SMK perkelas antara 30 – 40 siswa.

h. 20 % dari lulusan SMK melanjutkan ke Perguruan Tinggi yang terakreditasi.

i. 20 % dari lulusan SMK diterima di dunia kerja sesuai dengan keahliannya.

3. Pasal 5 (Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Non Formal) a) SPM pendidikan keaksaraan terdiri atas :

a. Semua penduduk usia pro-duktif (15-44 tahun) bisa membaca dan menulis.

b. Jumlah orang buta aksara dalam kelompok usia 15-44 tahun tidak

melebihi 7 %.

(24)

20 c. Jumlah orang buta aksara dalam kelompok usia di atas

44 tahun tidak melebihi 30 %.

d. Tersedianya data dasar keaksaraan yang diperbarui secara terus menerus.

b) SPM kesetaraan Sekolah Dasar (SD) terdiri atas : a. Sebanyak 85 % dari jumlah penduduk usia sekolah

yang belum bersekolah di SD/MI menjadi peserta didik Program Paket A.

b. Peserta didik program paket A yang tidak aktif tidak melebihi 10 %

c. Sebanyak 100 % peserta didik memiliki modul Program Paket A.

d. Sejumlah 95 % peserta didik yang mengikuti ujian akhir Program Paket A lulus ujian kesetaraan.

e. Sejumlah 95 % lulusan Program Paket A dapat melan- jutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SMP, MTs, atau Program Paket B).

f. Sejumlah 90 % peserta didik yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan men-dapat nilai memuaskan.

g. Sejumlah 100 % dari tutor Program Paket A yang diperlukan terpenuhi.

h. Sebanyak 90 % tutor Program Paket A memiliki kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

i. Sejumlah 90 % pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis pembelajaran.

j. Sebanyak 100 % peserta didik memiliki sarana belajar.

k. Tersedianya data dasar kesetaraan sekolah dasar yang diperbarui secara terus menerus.

(25)

21 c) SPM Kesetaraan Sekolah Menengah Pertama (SMP) terdiri

atas :

a. Sebanyak 90 % dari jumlah penduduk usia sekolah yang belum bersekolah di SMP/MTs menjadi peserta didik Program Paket B.

b. Peserta didik Program Paket B yang tidak aktif tidak melebihi 10 %.

c. Sebanyak 100 % peserta didik memiliki modul Program Paket B.

d. Sejumlah 80 % peserta didik yang mengikuti ujian akhir Program

Paket B lulus ujian kesetaraan.

e. Sejumlah 50 % lulusan Program Paket B dapat memasuki dunia kerja.

f. Sejumlah 50 % lulusan Program Paket B dapat me- lanjutkan ke

jenjang pen-didikan yang lebih tinggi (SMA, SMK, MA, atau Program

Paket C).

g. Sejumlah 90 % peserta didik Program Paket B yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan mendapat nilai memuaskan.

h. Sejumlah 100 % tutor Program Paket B yang di- perlukan terpenuhi.

i. Sebanyak 90 % tutor Program Paket B memiliki kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

j. Sejumlah 90 % pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki sarana

dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis pembelajaran.

(26)

22 k. Tersedianya data dasar ke-setaraan Sekolah Menengah

Pertama (SMP)

yang di-perbarui secara terus menerus.

d) SPM Kesetaraan Sekolah Menengah Atas (SMA) terdiri atas:

a. Sebanyak 70 % dari jumlah penduduk usia sekolah yang belum bersekolah di SMA/MA, SMK menjadi pe- serta didik Program Paket C.

b. Peserta didik Program Paket C yang tidak aktif tidak melebihi 5 %.

c. Sebanyak 60 % peserta didik memiliki modul Program Paket C.

d. Sejumlah 80 % peserta didik yang mengikuti ujian akhir Program Paket C lulus ujian kesetaraan.

e. Sejumlah 60 % lulusan Program Paket C dapat memasuki dunia kerja.

f. Sejumlah 10 % lulusan Program Paket C dapat me- lanjutkan ke jenjang pendidik- an yang lebih tinggi.

g. Sejumlah 90 % peserta didik Program Paket C yang mengikuti uji sampel mutu pendidikan mendapat nilai memuaskan.

h. Sejumlah 100 % tutor Program Paket C yang di- perlukan terpenuhi.

i. Sebanyak 90 % tutor Program Paket C memiliki kualifikasi sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

j. Sejumlah 90 % pusat kegiatan belajar masyarakat memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis pembelajaran.

(27)

23 k. Tersedianya data dasar ke-setaraan Sekolah Menengah

Atas (SMA)

yang diperbarui secara terus menerus.

e) SPM Pendidikan Keterampilan dan Bermata pencaharian terdiri atas:

a. Sebanyak 25 % anggota masyarakat putus sekolah, pengangguran, dan dari keluarga pra sejahtera menjadi peserta didik dalam

kursus-kursus/pelatihan/kelompok be lajar usaha/magang.

b. Sebanyak 100 % lembaga kursus memiliki ijin ope- rasional dari pemerintah atau pemerintah daerah.

c. 25 % lembaga kursus dan lembaga pelatihan ter- akreditasi.

d. Sebanyak 100 % kursus/ pelatihan/kelompok belajar usaha/magang dibina secara terus menerus.

e. Sejumlah 90 % lulusan kursus, pelatihan, magang, kelompok

belajar usaha dapat memasuki dunia kerja.

f. Sejumlah 100 % tenaga pendidik, instruktur, atau penguji praktek kursus-kursus/ pelatihan/kelompok belajar usaha/magang yang diperlu-

kan terpenuhi.

g. Sebanyak 90 % tenaga pendidik, instruktur, atau penguji praktek kursus/ pelatihan/kelompok belajar usaha/magang memiliki kualifikasi

sesuai dengan standar kompetensi yang di-persyaratkan.

h. Sejumlah 75 % peserta ujian kursus-kursus memperoleh ijazah atau sertifikat.

i. Sejumlah 90 % kursus-kursus/pelatihan/kelompok belajar

(28)

24 usaha/magang memiliki sarana dan prasarana minimal sesuai dengan standar teknis yang ditetapkan.

j. Tersedianya data dasar kursus –

kursus/pelatihan/kelompok belajar usaha/magang yang diperbarui secara terus menerus.

f) SPM Pendidikan Taman Kanak-kanak terdiri atas : a. 20 % jumlah anak usia 4-6 tahun mengikuti program

TK/RA.

b. 90 % guru layak mendidik TK/RA dengan kualifikasi se-suai dengan standar kom-petensi yang ditetapkan se- cara nasional.

c. 90 % TK/RA memiliki sarana dan prasarana belajar/

bermain.

d. 60 % TK/RA menerapkan manajemen berbasis sekolah sesuai

dengan manual yang ditetapkan oleh Menteri.

g) SPM Pendidikan pada Taman Penitipan Anak, Kelompok Bermain atau yang sederajat terdiri atas :

a. 65 % anak dalam kelompok 0–4 tahun meng-ikuti kegiatan Tempat

Penitipan Anak, Kelompok Bermain atau yang sederajat.

b. 50 % jumlah anak usia 4-6 tahun yang belum ter-layani pada program PAUD jalur formal mengikuti program PAUD jalur non formal.

c. 50 % guru PAUD jalur non formal telah mengikuti pelatihan di bidang PAUD.

4. Pasal 6 (Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Kepemudaan)

(29)

25 a) SPM Pendidikan Kepemudaan terdiri atas :

a. Tersedianya 5 program ke- pemudaan oleh lembaga kepemudaan untuk meningkatkan kapasitas kemampuan pemuda di bidang kewirausahaan, kepemim-pinan, wawasan kebangsaan, kebudayaan dan, pendidikan.

b. Partisipasi pemuda dalam kegiatan pembangunan, pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, social ekonomi, dan kemasyarakatan meningkat 5 % setiap tahun.

c. Angka pengangguran pemuda menurun 5 % setiap tahun.

5. Pasal 7 (Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Kegiatan Pendidikan Olah Raga)

a) SPM Olahraga Pendidikan, Masyarakat dan Prestasi terdiri atas:

a. 65 % jumlah siswa yang mengikuti kegiatan cabang olahraga yang beragam di luar mata pelajaran olahraga di sekolah.

b. 100 % terbukanya kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi dan berkreasi dalam pendidikan jasmani yang tertuang dalam kurikulum.

c. 70 % siswa yang memiliki tingkat kebugaran yang baik.

d. 15 Klub Olahraga Pelajar yang dibina di wilayah kabupaten/kota.

e. 10 siswa per satuan pendidikan yang terpilih mengikuti POPDA (Pekan Olahraga Pelajar Daerah) tingkat provinsi.

f. Satu lapangan terbuka dapat digunakan 5 sekolah.

g. 1 orang guru pendidikan jasmani mengajar 9 rombongan belajar.

(30)

26 h. 75 % peralatan olahraga telah sesuai dengan cabang

olahraga.

i. Berfungsinya BAPOPSI (Badan Pembina Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia) di Kabupaten/Kota.

j. 7 cabang olahraga yang di kompetisikan secara teratur minimal setiap dua tahun sekali.

k. 80 % berfungsinya Komite Olahraga Nasional Daerah (KONIDA) tingkat Kabupaten/ Kota.

K. Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Di Indonesia

Standar pelayanan minimal sebagai sebuah kebijakan memiliki kedudukan yang kuat dan bersifat spesifik mengingat konsekuensi hukum yang disandangnya karena bersifat mengikat seluruh penyelenggara negara dan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok. Sebagai sebuah kebijakan, standar pelayanan minimal selalu didukung oleh peraturan perundang-undangan yang merupakan dasar hukum pemberlakuannya dan memiliki arti yang spesifik sesuai dengan pemaknaan istilah yang digunakan sesuai dasar hukumnya. 7 Di Indonesia, kebijakan standar pelayanan minimal (SPM) secara nasional muncul dalam upaya pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 200011 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom pada Penjelasan Pasal 3 ayat (2). Secara lebih tegas kebijakan SPM mulai efektif diberlakukan berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100/757/OTDA/2002 yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota se-Indonesia mengenai Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Pertimbangan yang dikemukakan dalam pemberlakuan SPM antara lain adalah: Pertama, Terwujudnya dengan segera penyelenggaraan kewenangan wajib dan penentuan serta penggunaan standar pelayanan minimal dalam rangka mendorong penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah;

(31)

27 Kedua, penyelenggaraan kewenangan wajib merupakan penyediaan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) sebagai tolok ukur yang ditentukan oleh Pemerintah;

Ketiga, dalam pemantauan penyelenggaraan SPM banyak ditemukan permasalahan yang bervariasi baik di Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Kebanyakan Daerah belum melaksanakan SPM karena merupakan hal baru, dan konsep SPM belum lengkap sehingga sulit untuk diterapkan. Namun di sisi lain SPM harus diterapkan secara tepat karena berdampak terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Daerah baik dari segi perencanaan dan pembiayaan maupun pertanggungjawaban. Pendidikan dan Kesehatan, namun beberapa instansi pemerintah telah menyusun standar pelayanan minimal sebagai respon dari PP No. 25/2000, seperti Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah mengenai Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal Bidang Penataan Ruang, Perumahan dan Pemukiman dan Pekerjaan Umum berdasarkan Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001. Hal ini seperti disinggung dalam SE Mendagri No. 100/757/OTDA/2002 yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa “Untuk itu Pemerintah, dalam hal ini Departemen/LPND telah menerbitkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal (PSPM).

Dalam kurun waktu tiga tahun selanjutnya, beberapa instansi pemerintah dan beberapa pemerintah daerah melaksanakan kegiatan penyusunan SPM berdasarkan SE Mendagri tersebut. Namun sebelum kebijakan SPM tersebut berlaku secara efektif, UU No. 22/1999 yang menjadi cantholan kebijakan SPM telah diganti dengan UU No.

32/2004. Satu tahun kemudian tepatnya tanggal 28 Desember 2005 telah diterbitkan ketentuan baru mengenai SPM berdasarkan PP No.

65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal yang agak berbeda dengan kebijakan SPM sebelumnya.

(32)

28 Perbedaan yang mendasar dari kedua kebijakan SPM tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pertama, dalam kebijakan SPM berdasarkan PP No. 65/2005, SPM diartikan sebagai ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal, sedangkan menurut SE Mendagri No. 100/757/OTDA/2002, SPM diartikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang berkaitan 9 dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dengan demikian pengertian SPM berdasarkan PP No. 65/2005 lebih tegas menyebutkan “jenis dan mutu pelayanan dasar“ sebagai tolok ukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah (kewenangan wajib daerah) dan secara eskplisit menyebutkan arti kata minimal dari sudut pandang rakyat dengan klausul “yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.

b. Kedua, dalam kebijakan SPM berdasarkan PP No. 65/2005, SPM hanya untuk Urusan Wajib Pemerintah yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) dan urusan pilihan tidak menggunakan SPM tetapi standar kinerja, sedangkan pada kebijakan SPM berdasarkan SE Mendagri No.

100/757/OTDA/2002, SPM ditujukan untuk Kewenangan Wajib dan tidak dikenal istilah Kewenangan Pilihan (kewenangan = urusan pemerintahan) ; Ketiga, dalam ketentuan SPM yang baru (2005) hanya dikenal SPM Nasional yang disusun oleh Departemen Teknis/LPND dan tidak dikenal tingkatan SPM seperti: SPM Nasional yang disusun Departemen Teknis/LPND, SPM Provinsi yang disusun oleh Pemerintah Provinsi dan SPM Kabupaten/Kota yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota seperti pada kebijakan sebelumnya; Keempat, dalam ketentuan SPM yang sebelumnya Daerah mendapat tugas untuk menyusun SPM sesuai dengan kondisi riil, potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pada kebijakan yang baru, Daerah hanya memiliki

(33)

29 tugas untuk menerapkan SPM dengan menyusun rencana pencapaian SPM berdasarkan SPM yang disusun oleh departemen teknis/LPND yang telah mendapatkan rekomendasi dari DPOD (Dewan Pertimbangan otonomi Daerah) dan telah dikonsultasikan dengan Tim Konsultasi SPM; Kelima, dalam ketentuan SPM tahun 2005, kegiatan pembinaan dan pengawasan yang berupa kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan secara berjenjang, yaitu:

Pemerintah (Menteri/Pimpinan LPND) melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penerapan SPM oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Propinsi melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penerapan SPM oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sedangkan pada kebijakan SPM sebelumnya kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah di Daerah terhadap pelaksanaan SPM oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Hal yang perlu dicatat dalam Kebijakan SPM berdasarkan PP No.

65/2005 adalah sebagai berikut: Pertama, semua peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan SPM dan tidak sesuai lagi dengan PP No. 65/2005 wajib diadakan penyesuaian paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya PP ini yaitu tanggal 28 Desember 2007; Kedua, Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non- Departemen menyusun SPM yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang bersangkutan paling lambat dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak PP ini berlaku yaitu tanggal 28 Desember 2008.

Untuk memenuhi ketentuan tersebut di atas maka pada tanggal 7 Februari 2007 diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Peraturan Menteri Dalam Negeri ini mengatur mengenai empat hal pokok mengenai penyusunan dan penetapan SPM yang meliputi: (a) jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM; (b) Indikator dan nilai SPM; (c) Batas waktu

(34)

30 perencanaan SPM, dan (d); Pengorganisasian Penyelenggaraan SPM.

Adapun keempat ruang lingkup pengaturan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM mengacu pada kriteria:

a) Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM merupakan bagian dari pelaksanaan urusan wajib daerah;

b) Pelayanan dasar yang di-SPM-kan merupakan pelayanan yang sangat mendasar yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal sehingga dijamin ketersediaannya oleh konstitusi, rencana jangka panjang nasional, dan konvensi internasional yang sudah diratifikasi, tanpa memandang latar belakang pendapatan, sosial, ekonomi, dan politik warga;

c) Penyelenggaraan pelayanan dasar tersebut didukung dengan data dan informasi terbaru yang Iengkap secara nasional serta latar belakang pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pelayanan dasar dengan berbagai implikasinya, termasuk implikasi kelembagaan dan pembiayaannya;

d) Pelayanan dasar yang di-SPM-kan terutama yang tidak menghasilkan keuntungan materi.

Berdasarkan kriteria di atas maka jenis pelayanan yang berpedoman pada SPM dapat ditentukan dengan melakukan analisis terhadap bidang urusan wajib sesuai UU No. 32/2005 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat, dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

(35)

31

(36)

32 BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah :

1. SPM merupakan standar minimal pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya SPM akan menjamin minimal pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat dari pemerintah.

2. Pelayanan yang bermutu/berkualitas adalah pelayanan yang berbasis masyarakat, melibatkan masyarakat dan dapat diperbaiki secara terus menerus.

3. SPM ditetapkan oleh pemerintah pusat dalam hal ini departemen teknis, sedangkan pedoman penyusunan SPM ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 167 (3).

4. Prinsip-prinsip penyusunan dan penetapan SPM yaitu Konsensus, nyata, terukur, terbuka, terjangkau, akuntabel, dan bertahap.

5. Syarat yang harus dipenuhi SPM yaitu focus pada jenis pelayanan, terukur, dapat dicapai, relevan dan dapat diandalkan, dan tepat waktu.

6. Masalah mengenai pelayanan pendidikan yang ada di Indonesia yaitu lemahnya sistem pendidikan serta pelayanan dalam kegiatan belajar mengajar, kinerja tenaga kependidikan belum maksimal dan kualitas pelayanan pendidikan yang sangat memprihatinkan 7. Solusi mengenai permasalah pelayanan pendidikan yang ada yaitu

menerapkan manajemen berbasis sekolah, membangun jaminan

(37)

33 kualitas dan sistem pengawasan secara nasional, dan meningkatkan kualitas pengajaran melalui reformasi jenjang karir guru

(38)

34 DAFTAR PUSTAKA

http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/09/standar-pelayanan-minimal.html http://noer-visioner.blogspot.com/2012/03/masalah-dalam-kualitas-dan- pelayanan.html

http://www.dindikptk.net/news.php?readmore=42

http://myfortuner.wordpress.com/2013/03/10/standar-pelayanan-minimal- pendidikan/

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/12/11/standar-pelayanan-minimal- pendidikan-dasar/

http://aulakehidupan.blogspot.com/2013/04/standar-pelayanan-minimal.html http://bappeda.sulteng.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=11 91:perlunya-standar-pelayanan-minimal-spm-bagi-satuan-kerja-perangkat-daerah- skpd-provsulteng&catid=150:sekretariat&Itemid=489

Referensi

Dokumen terkait

Untuk di Indonesia, penelitian Darmadi (2011) menunjukkan bahwa pada tahun 2010 Bank Syariah Mandiri dan Muamalat memiliki pelaporan tata kelola yang lebih baik dari

Model yang digunakan dalam regresi berganda untuk melihat pengaruh kejelasan sasaran anggaran, pengendalian akuntansi dan sistem pelaporan terhadap akuntabilitas kinerja

tyvinį kriterijų ar pasirinkimo principą, kaip jis buvo traktuojamas Vakarų klasikinėje ar post- modernistinėje estetikoje 6 • Skonį ir skanavimą aptarsiu kaip pakankamai

Dalam tulisan ini, penelitian akan difokuskan kepada pola asuh yang diterapkan oleh para orang tua dan guru terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak-anaknya

INTERAKSI ANFAWW PEMlMPlN DAN PENGIKUT Dl DESA LEUWISADEMG, KEGAMATAN LEUWILIAQIG,. KABUPATEN BOGOR, JAWA

Tujuan dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk memberikan keterampilan pengolahan ubi jalar ungu menjadi produk kembang goyang bagi Ibu-ibu PKK dan anggota

hukum tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria) sesuatu yang melekat. padanya dimasukkan dalam pengertian benda bukan tanah dan

Hipotesis yang akan dijawab melalui penelitian antara lain pengaruh faktor ibu ( empati, h arga d iri, pe ngasuhan, k ematangan, p engalaman k ehamilan d an melahirkan,