BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
Temu kunci (Boesenbergia pandurata) adalah tanaman rempah asli dari Asia yang beriklim tropis yang memiliki beberapa khasiat sebagai obat tradisional karena kandungan didalamnya yang bervariasi, antara lain minyak atsiri, saponin, flavonoid pinostrolein, dan lain-lain. Khasiat temu kunci diketahui dapat digunakan sebagai obat batuk, penambah nafsu makan, sebagai obat gatal, obat sakit perut, dan ramuan herbal lainnya. Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, sehingga temu kunci sangat mudah didapat dan harganya relatif murah.
Di dalam tumbuhan temu kunci, baik rimpang, daun, batang, dan akar terdapat senyawa metabolit sekunder. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama dan penyakit. Senyawa metabolit sekunder dapat diekstrasi dari suatu bahan alam dengan cara mengeringkan bahan alam tersebut dan diekstrasi menggunakan pelarut etanol atau metanol.
mikroorganisme tersebut menggunakan obat kimia. Menurut Agung (2010), seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, eksplorasi suatu obat berkembang dengan pesat. Eksplorasi obat dapat dilakukan dari beberapa sumber, salah satunya adalah tumbuhan. Terdapat beberapa sediaan obat yang digunakan di bidang farmasi salah satunya adalah sediaan obat dalam bentuk nanopartikel.
Nanopartikel adalah partikel yang memiliki ukuran yang sangat kecil yaitu menggunakan satuan nanometer. Tidak hanya di bidang industri dan teknologi, nanopartikel juga sudah banyak digunakan di bidang medis, yaitu bagian farmasi atau obat. Nanopartikel digunakan dalam pemberian atau penghantaran obat yang berbasis liposom dan polimer. Nanopartikel dipandang sebagai carrier yang sangat baik untuk meningkatkan bioavailabilitas biomolekul, karena memiliki kemampuan difusi dan penetrasi yang lebih baik ke dalam lapisan mukus.
Penggunaan alginat pada penelitian ini dikarenakan alginat merupakan salah satu polisakarida alami yang terbuat dari rumput laut coklat (Phaeophyceae). Alginat juga merupakan substansi dengan molekul yang besar dan dapat dipisahkan dalam air, sehingga dapat memberi kekentalan yang lebih. Dalam bidang farmasi alginat sangat berguna pada proses enkapsulasi karena memiliki sifat biokompatibel.
bidang farmasi. Selain itu pemilihan komposisi yang tepat merupakan tantangan utama pada penelitian ini.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Ekstrak temu kunci (Boesenbergia pandurata) dapat dibuat dari bagian-bagian tumbuhan tersebut, diantaranya rimpang, daun, akar, dan kulit. 2. Ada berbagai jenis pelarut yang digunakan untuk membuat nanopartikel
ekstak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata), seperti etanol dan metanol sedangkan beberapa pengikat yang digunakan, seperti asam alginat dan kitosan.
3. Variasi rasio asam alginat dan CaCl2 dalam pembuatan nanopartikel ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata) berpengaruh terhadap ukuran partikel, berat endapan, dan nilai zeta potensial yang terbentuk.
4. Ada berbagai cara karakterisasi nanopartikel ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata).
C.Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka dapat dikemukakan batasan masalah sebagai berikut:
2. Pelarut yang digunakan untuk mengekstrak temu kunci (Boesenbergia pandurata) adalah etanol dan jenis pengikat yang digunakan adalah asam
alginat.
3. Variasi rasio asam alginat dan CaCl2 dalam pembuatan koloid nanopartikel herbal ekstrak temu kunci (Boesenbergia pandurata) adalah (1:1) ; (3:1) ; (5:1) ; (1:2) ; (1:3) ; (1:4) ; (10:1) ; (6,66:1) ; (3,33:1) ; dan (2,5:1) yang mengacu pada penelitian Sri Atun dan Retno Arianingrum (2015).
4. Uji nanopartikel ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata) menggunakan instrumen PSA (Particle Size Analyzer), SEM (Sceening Electron Microscopy), Zeta Sizer Nano Seris Malvem, dan Kromatografi
Lapis Tipis.
D.Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
1. Bagaimana pembuatan nanopartikel ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata) dengan asam alginat dan CaCl2 pada berbagai variasi komposisi?
2. Bagaimanakah karakter nanopartikel yang dihasilkan secara PSA, Zeta Sizer, SEM, dan KLT?
E.Tujuan Penelitian
1. Membuat nanopartikel ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata) dengan asam alginat dan CaCl2 pada berbagai variasi komposisi.
2. Menentukan karakteristik nanopartikel yang dihasilkan secara PSA, Zeta Sizer, SEM, dan KLT.
F. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi industri farmasi dan teknologi serta masyarakat sekitar, yaitu :
1. Menambah pengetahuan masyarakat tentang kegunaan ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata).
2. Pengembangan penelitian tentang sediaan nanopartikel ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata) pada industri farmasi dan teknologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diskripsi Teori
1. Temu Kunci (Boesenbergia pandurata)
Temu kunci (Boesenbergia pandurata) merupakan salah satu tanaman yang
sering digunakan untuk bumbu dapur dan memiliki khasiat obat yang bervariasi.
Rimpang temu kunci berada dalam tanah dengan panjang rimpang 5 - 30 cm.
Hidup di iklim tropis dan lembab, sehingga tanah relatif subur. Tanah yang
becek dan terlalu banyak air tidak baik untuk pertumbuhan temu kunci.
Umumnya berdaun 2 - 7 helai, daun bagian bawah berwarna merah dan helai
daunnya berwarna hijau muda. Bentuk rimpang temu kunci dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Rimpang Temu Kunci (Boesenbergia pandurata) (Sumber : www.baitulherbal.com)
Nama ilmiah temu kunci adalah Boesenbergia pandurata , dan klasifikasi
tumbuhan sebagai berikut :
Kelas : Liliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Boesenbergia
Sinonim : Gastrochilus panduratum (Roxb)
Kaempferia pandurata (Roxb)
Boesenbergia rotunda
Nama umum : Temu Kunci
Nama lokal : Temu kunci (Indonesia), koncih (Sumatera), Tamu kunci
(Minangkabau), Konce (Madura), Kunci (jawa tengah),
Dumu kunci (Bima), Tamu konci (Makasar), Tumu
kunci (Ambon), Anipa 7phrod (Hila-Alfuru), Aruhu
Konci (Haruku), Sun (Buru) Rutu kakuzi (Seram),
Tamputi (Ternate)
Nama asing : Fingerroot (Inggris), Krachai (Thailand), Chinese key
(Cina).
Selain tumbuh di daerah tropis, temu kunci juga merupakan tanaman yang
tumbuh liar pada daratan rendah di hutan jati. Memperbanyak temu kunci dapat
dilakukan dengan memotong rimpang menjadi beberapa bagian dan di setiap
bagiannya terdapat mata tunas. Kemudian ditanam dengan jarak yang tidak
Rimpang temu kunci bermanfaat untuk obat batuk yang memiliki khasiat
meluruhkan dahak, untuk obat kurang gizi yang memiliki khasiat menambah
nafsu makan, untuk obat sakit perut yang memiliki khasiat meluruhkan kentut,
untuk obat urine yang memiliki khasiat melancarkan kencing, untuk obat gatal
yang memiliki khasiat mengurangi rasa gatal, untuk obat kurap yang memiliki
khasiat menyembuhkan kurap (Hieronymus, 1998).
Selain di Indonesia, ternyata negara lain juga banyak yang memanfaatkan
temu kunci. Di Thailand, rimpang temu kunci biasa digunakan sebagai bumbu
masak. Selain itu, tanaman ini juga telah digunakan sebagai obat aphrodisiac,
disentri, antiinflamasi, kolik, serta untuk menjaga kesehatan tubuh. Di Malaysia,
rimpang temu kunci digunakan sebagai sebagai obat sakit perut dan dekoksi pada
wanita pasca melahirkan.
Aktivitas biologi temu kunci dapat diperoleh dari komponen-komponen
aktif fitokimia yang terdapat dalam temukunci. Komponen-komponen kimia
tanaman temu kunci ditemukan pada bagian rizoma. Menurut Kardono, dkk
(2003), senyawa-senyawa aktif pada temukunci terdiri atas flavanon
(pinostrobin, pinosembrin, alpinetin, dan 5,7-dimetoksiflavanon), flavon
(dimetoksiflavon dan 3’,4’,5,7-tetrametoksi flavon), kalkon (2’,6’-dihidroksi-4’-
metoksikalkon, kardamo- nin, panduratin A, panduratin B, boesenbergin A,
boesenbergin B, dan rubranin), monoterpena (geranial dan neral), dan diterpena
(asam pimarat). Beberapa struktur senyawa aktif temu kunci ditunjukan pada
Gambar 2.
2. Senyawa Metabolit Sekunder
Di era modern ini kimia bahan alam banyak dibicarakan, terutama pada
pembentukan struktur dan sifat-sifat metabolit sekunder. Hakekatnya, antara
metabolit primer dan metabolit sekunder hanya memiliki sedikit perbedaan.
Gula-gula yang lazim, seperti glukosa, fruktosa, manosa fungsi dan sifat
kimianya telah dipelajari secara mendalam oleh biokimiawan, dan dimasukan
dalam kelompok pertama (metabolit primer). Sedangkan senyawa gula yang
jarang dan kaitannya masih dekat seperti khalkosa, streptosa, mikaminosa, yang
diketahui sebagai konstituen antibiotik dan ditemukan oleh pakar kimia organik
dikategorikan sebagai metabolit sekunder. Asam amino pokok prolin dipandang
sebagai metabolit primer, tetapi asam pipekolat cincin lingkar-6 yang analog
dengan prolin diklasifikasikan sebagai metabolit sekunder atau dikenal sebagai
Flavanoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang ada di dalam
tumbuhan temu kunci (Boesenbergia pandurata). Flavanoid Merupakan suatu
kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa
ini merupakan zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian zat warna kuning yang
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan (Achmad, 1986). Flavanoid terdapat di
dalam semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepungsari,
bunga, buah, dan biji, tetapi tidak ditemukan pada tumbuhan laut (alga),
mikroorganisme, bakteri, jamur, dan lumut (Scheuer, 1987).
Struktur dasar flavanoid ditunjukkan pada Gambar 3. Senyawa flavanoid
adalah senyawa yang mengandung �15, terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki karakteristik bentuk
hidroksilasi resolsinol, dan cincin B biasanya 4-, 3, 4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi.
Gambar 3. Kerangka Dasar Flavanoid (Hardjono, 1995)
3. Nanopartikel
Aplikasi nanoteknologi di masa depan dapat mencakup penggunaan sistem
nano atau nanopartikel untuk mendeteksi awal penyakit dan pengiriman agen
terapi. Visi dari nanoteknologi adalah nanopartikel dapat mencari target yang
terdapat dalam tubuh (misalnya, sebuah sel kanker) dan melakukan pengobatan.
Jenis perlakuan yang dapat diterapkan oleh nanopartikel adalah melepaskan obat
sistemik dari terapi obat secara umum, misalnya kemoterapi. Nanopartikel dapat
memberikan perbaikan signifikan dalam pencitraan sel biologis tradisional dan
jaringan dengan menggunakan mikroskop fluorescence sebaik Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dari berbagai macam bagian tubuh. Komposisi kimia
membedakan nanopartikel yang digunakan di kedua teknik ini.
Area teknologi nanopartikel terbagi menjadi tiga, yaitu pencitraan optikal
dengan menggunakan tipe nanopartikel quantum dots, MRI menggunakan tipe
nanopartikel super paramagnetic iron oxid, dan pengiriman obat dan gen yang
menggunakan tipe nanopartikel berbasiskan liposom dan polimer. Tipe
nanopartikel yang terakhir ini yang digunakan pada aplikasi terapi kanker,
dimana karakteristik signifikan yaitu pengiriman yang ditargetkan oleh
fungsionalisasi permukaan.
Sistem pengiriman obat berbasis polimer dapat dikategorikan polymeric
drugs, polymeric-protein conjugates, polymeric-drug conjugates, dan polymeric
micelles. Polymeric drugs biasanya polimer alami yang dikenal memiliki
antivirus atau karakteristik antitumor. Polimer juga dapat diemulsikan ke dalam
partikel-partikel berukuran nanometer dimana obat-obatan dapat
digunakan. Polimeric-protein conjugates biasanya menggunakan Polyethylene
glycol (PEG). PEG terkenal dengan daya larut air yang tinggi dan
biokompatibilitas yang sangat baik. Polymeric-drug conjugates ditujukan
meningkatkan kelarutan dan kekhususan dari obat-obat berat dengan molekul
membentuk micelles dalam larutan dengan obat yang terdapat di dalam micelles
tersebut.
Dalam dunia kedokteran, sifat ini akan terpakai secara luas untuk
mendeteksi sel-sel tumor dalam tubuh. Hal ini dikarenakan ukuran yang lebih
kecil dibandingkan sel tubuh, sehingga nanopartikel dapat keluar masuk sel
tubuh dengan mudah dan tidak mengganggu kerja sel. Sel kanker dan sel normal
mempunyai susunan kimiawi yang berbeda, sehingga ketika partikel memasuki
2 sel tersebut akan mengeluarkan cahaya luminisens yang berbeda. Dengan data
warna yang didapat, dokter dapat segera mendeteksi keberadaan sel kanker baik
letak maupun ukuran. Selain itu dalam dunia obat, ukuran nanopartikel
diaplikasikan dalam proses tablet nanopartikel dan pengkapsulan nanopartikel.
Sifatnya yang mudah larut akan meningkatkan daya serap obat oleh tubuh.
Nanopartikel dipandang sebagai carrier yang sangat baik untuk
meningkatkan bioavailabilitas biomolekul, karena memiliki kemampuan difusi
dan penetrasi yang lebih baik ke dalam lapisan mukus. Banyak sekali aplikasi
nanoteknologi di bidang medis, misalnya pembuatan spinel ferrite NiFe2O4 yang
dilapisi oleh PEG (Polyvinyl Ethylene Glycol) guna kepentingan biomedik
seperti magnetic resonance imaging sebuah alat untuk membantu
mengidentifikasi penyakit dengan memanfaatkan medan magnet dan energi
gelombang radio untuk menampilkan gambar stutur dan organ dalam tubuh.
Kepentingan biomedik lainnya adalah drug delivery atau sistem penghantaran
obat, tissue repair atau perbaikan jaringan tubuh, dan magnetic fluid
method” atau metode tabung pembakaran, dan masih banyak lagi (Alif dan
Prastyo, 2011).
Sifat unik yang dimiliki nanopartikel disebabkan secara langsung oleh sifat
fisikokimianya. Karena itu, penentuan karakteristik nanopartikel diperlukan
untuk mendapatkan pengertian mekanis dari perilaku nanopartikel. Pengertian
yang mendalam dapat digunakan dalam memperkirakan kinerja secara in vivo
juga diperlukan dalam merancang partikel, pengembangan formulasi, dan
mengatasi masalah-masalah dalam proses pembuatan nanopartikel.
Karakterisasi nanopartikel antara lain ukuran dan distribusi ukuran partikel,
morfologi partikel, persen penjeratan zat aktif, profil melepaskan zat aktif secara
in vitro dan in vivo untuk mengetahui tingkat avaibilitas suatu obat dalam tubuh,
dan kemampuan penetrasi menembus barier fisiologis. Ukuran partikel
mempengaruhi secara langsung terhadap keunikan sifat dari nanopartikel, karena
itu penentuan ukuran dan distribusi ukuran nanopartikel harus dilakukan.
Beberapa metode dapat digunakan dalam penentuan seperti penghamburan
cahaya dinamis (Dynamic Light Scattering/DLS), penghamburan cahaya statis
(Static Light Scattering/SLS), ultrasonik spektroskopi, turbidimetri, NMR,
Coulter counter, dan lain sebagainya.
Bentuk dan keadaan permukaan nanopartikel penting untuk diketahui
karena hal ini dapat memberikan informasi tentang sifat pelepasan obat. Untuk
melihat permukaan nanopartikel dapat digunakan mikroskop elektron
pemindaian (Scanning Electron Microscopy/SEM), mikroskop elektron
(atomic force microscopy). Perbedaan mendasar dari TEM dan SEM adalah pada
cara elektron ditembakkan mengenai sampel. Pada TEM, sampel disiapkan
sangat tipis sehingga elektron dapat menembusnya kemudian hasil tembusan
tersebut dapat diolah menjadi gambar. Sedangkan SEM, sampel tidak ditembus
oleh elektron sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan
sampel yang ditangkap oleh detektor. Untuk mikroskop daya atom (atomic force
microscopy) merupakan alat untuk mempelajari struktur permukaan secara
atomik.
Sediaan nanopartikel dapat dibuat dengan berbagai metode, hingga saat ini
ada beberapa metode pembuatan nanopartikel yang sering digunakan, yaitu
metode presipitasi, penggilingan (milling methods), salting out, fluida
superkritis, polimerisasi monomer, polimer hidrofilik, dan dispersi pembentukan
polimer (Soppimath, Kulkarni, & Aminabhavi, 2001; Mansouri, et al., 2011).
Adapun penjelasan dari keenam metode tersebut adalah :
a. Metode emulsifikasi menggunakan prinsip difusi antara pelarut yang larut air
seperti aseton atau metanol dengan pelarut organik tidak larut air seperti
kloroform dengan penambahan polimer. Difusi yang terjadi antara dua pelarut
tersebut mengakibatkan emulsifikasi pada daerah diantara dua fase pelarut.
Partikel yang berada diantara dua fase pelarut tersebut berukuran lebih kecil
dari kedua fase pelarut itu sendiri (Soppimath, Kulkarni, & Aminabhavi,
2001).
b. Metode presipitasi adalah sebuah proses dimana bahan dilarutkan ke dalam
pH, suhu, atau perubahan pelarut kemudian segera menghasilkan presipitasi
zat aktif dengan partikel yang lebih kecil (Haskel, et al., 2009). Metode ini
menggunakan agen penahan tegangan permukaan yang cukup besar untuk
menahan agregasi. Kelemahan metode ini adalah nanopartikel yang terbentuk
harus distabilisasi untuk mencegah timbulnya kristal berukuran mikro dan zat
aktif yang hendak dibuat nanopartikelnya harus larut, setidaknya dalam salah
satu jenis pelarut. Sementara diketahui bahwa banyak zat aktif memiliki
kelarutan rendah baik di air maupun pelarut organik (Junghanns & Muller,
2008).
c. Metode milling atau penggilingan merupakan teknik standar yang telah
digunakan dalam beragam bidang aplikasi industri untuk mengurangi ukuran
partikel. Besarnya pengurangan ukuran diatur oleh energi penggilingan, yang
ditentukan oleh kekerasan intrinsik obat, media grinding, dan penggilingan.
Pengurangan ukuran partikel lewat penggilingan dapat dijelaskan oleh tiga
mekanisme kunci yang saling mempengaruhi, yakni gesekan antara dua
permukaan karena tekanan yang dihasilkan melampaui kekuatan inheren
partikel, sehingga mengakibatkan frakturasi (patahan atau retakan), gaya
gesek yang dihasilkan (shear force) mengakibatkan pecahnya partikel
menjadi beberapa bagian, dan deagregasi terkait kolisi (tabrakan) antar
agregat pada laju diferensial yang tinggi (Vijaykumar, et al., 2010).
d. Metode fluida superkritis menggunakan senyawa yang memiliki suhu dan
tekanan di atas titik kritis. Senyawa yang termasuk dalam golongan ini antara
pengganti pelarut organik yang berbahaya bagi lingkungan (Soppimath,
Kulkarni, & Aminabhavi, 2001).
e. Metode polimerisasi monomer menggunakan senyawa polialkilsianoakrilat
(PACA). Metil atau etil sianoakrilat dimasukkan dalam media asam dengan
penambahan surfaktan. Monomer sianoakrilat ditambahkan dalam campuran
yang sedang diaduk dengan magnetic stirrer. Senyawa obat ditambahkan baik
sebelum penambahan monomer maupun setelah reaksi polimerisasi. Suspensi
nanopartikel yang terbentuk dimurnikan dengan ultrasentrifugasi (Soppimath,
Kulkarni, & Aminabhavi, 2001).
f. Metode polimer hidrofilik tidak memerlukan surfaktan seperti metode
polimerisasi monomer. Polimer yang digunakan dalam metode ini merupakan
polimer larut air seperti kitosan larut air, natrium alginat dan gelatin.
Nanopartikel umumnya terbentuk secara spontan ataupun dengan
penambahan pengemulsi (Soppimath, Kulkarni, & Aminabhavi, 2001).
Metode polimer hidrofilik juga biasa disebut metode gelasi ionik. Diantara
metode-metode tersebut, metode gelasi ionik atau polimer hidrofilik ini
dinilai sebagai metode yang paling mudah dilakukan. Metode gelasi ionik
melibatkan proses sambung silang antara polielektrolit dengan adanya
pasangan ion multivalennya. Gelasi ionik seringkali diikuti dengan
kompleksasi polielektrolit yang berlawanan. Pembentukan ikatan sambung
silang ini akan memperkuat kekuatan mekanis dari partikel yang terbentuk
Dari sekian banyak aplikasi nanopartikel dibidang medis, nanopartikel
berguna sebagai pembawa obat dan sistem pengantar obat yang telah
berkembang beberapa tahun terakhir. Ukuran nanopartikel yang kecil
menyebabkan ekstrak mudah larut dan memiliki efisiensi penyerapan yang
tinggi di usus (Poulain & Nakache, 1998). Selain lebih mudah mencapai target
manfaat pengaplikasian nanopartikel untuk obat herbal adalah meningkatkan
stabilitas obat, memungkinkan memasukkan obat lipofilik dan hidrofilik.
4. Alginat
Alginat adalah polimer murni yang berasal dari asam uronat yang tersusun
secara rantai linier yang panjang seperti pada Gambar 4. Berat molekul dari
asam alginat bervariasi tergantung dari metode preparasi dan sumber rumput
lautnya, sedangkan untuk natrium alginat memiliki berat molekul pada kisaran
antara 35.000 sampai 1,5 juta (Champan & Champan, 1980). Alginat juga
merupakan polisakarida asam yang tersusun dari polimer gula sederhana.
Alginat membentuk garam yang larut dalam air dengan kation monovalen
seperti natrium alginat dengan berat molekul yang rendah.
Alginat terkandung dalam alga coklat (Phaeophyceae) seperti Sargassum
sp. Alginat dalam alga coklat terdapat dalam bentuk garam dari natrium, kalium,
kalsium, dan magnesium (Lembi & Waaland, 1988). Spesifikasi alginat secara
komersial bervariasi tergantung pemakaiannya dalam bidang industri. Alginat
yang digunakan dalam industri makanan dan farmasi harus memenuhi
persyaratan bebas dari selulosa dan warnanya sudah dipucatkan sehingga
dan dipucatkan sehingga berwarna agak putih sampai putih bersih. Di samping
grade tersebut, ada pula yang disebut industrial grade yang masih diizinkan
adanya beberapa bagian dari selulosa dengan warna granula bervariasi dari
coklat sampai putih (McNeely & Pettitt ,1973).
Gambar 4 . Struktur Alginat
Alginat digunakan secara luas dalam industri sebagai bahan pengental,
pensuspensi, penstabil, pembentuk film, pembentuk gel, disintegrating agent,
dan bahan pengemulsi. Sehubungan dengan fungsi tersebut, maka alginat banyak
dibutuhkan oleh berbagai industri, seperti industri farmasi (5%), tekstil (50%),
makanan dan minuman (30%), kertas (6%), serta industri lainnya (9%)
(Anggadiredja, dkk., 2006). Friedli dan Schlager (2005) menyatakan bahwa
alginat digunakan dalam industri farmasi pada proses enkapsulasi karena
sifatnya yang biokompatibel dan murah.
Tepung asam alginat berwarna putih, sedangkan natrium alginat berwarna
adanya unsur natrium. Kandungan air yang lebih tinggi dalam natrium alginat
disebabkan adanya pengaruh garam yang bersifat higroskopis. Kandungan air
dalam alginat bervariasi tergantung pada kelembaban lingkungannya. Semakin
tinggi kelembaban lingkungan, maka semakin tinggi pula kandungan air dalam
natrium alginat. Natrium, kalium, dan propilen glikol alginat (PGA) dapat
dilarutkan dalam air untuk menambah kekentalan.
Alginat dimanfaatkan dalam bentuk asam alginat atau garam natrium alginat
dan kalsium alginat pada bidang farmasi dan kosmetik. Alginat dapat digunakan
sebagai pengental yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan shampoo cair
serta sebagai bahan sediaan untuk minyak rambut dan larutan pencuci rambut
(Anggadiredja, dkk, 2006). Dalam indusri kosmetik, alginat digunakan sebagai
bahan untuk skin lotion dan produk lainnya berupa jeli dan krim.
5. PSA (Particle size analyzer)
Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengetahui ukuran suatu
partikel yaitu:
a. Metode ayakan (Sieve analysis)
b. Laser Diffraction (LAS)
c. Metode sedimentasi
d. Electronical Zone Sensing (EZS)
e. Analisa gambar (mikrografi)
f. Metode kromatografi
Sieve analysis dalam dunia farmasi sering kali digunakan dalam bidang
mikromeritik, yaitu ilmu yang mempelajari tentang ilmu dan teknologi partikel
kecil. Metode yang paling umum digunakan adalah analisa gambar (mikrografi).
Metode ini meliputi metode mikroskopi dan metode holografi. Alat yang sering
digunakan adalah SEM, TEM dan AFM. Namun seiring dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan yang lebih mengarah ke era nanoteknologi, para peneliti mulai
menggunakan Laser Diffraction (LAS). Metode ini dinilai lebih akurat untuk bila
dibandingkan dengan metode analisa gambar maupun metode ayakan (sieve
analysis), terutama untuk sample-sampel dalam orde nanometer maupun
submikron. Contoh alat yang menggunakan metode LAS adalah Particle Size
Analyzer (PSA). Alat ini menggunakan prinsip Dynamic Light Scattering (DLS).
Mengukur ukuran dan distribusi ukuran nanopartikel secara lebih
kuantitatif, dilakukan pengukuran menggunakan Particle Size Analyzer (PSA)
seri zetasizer. PSA seri zetasizer paling banyak digunakan untuk pengukuran
ukuran nanopartikel, koloid, protein, zeta potensial, dan bobot molekul. Alat ini
mampu mengukur ukuran partikel dan molekul yang berada dalam rentang 0,15
nm sampai 10 µm.
Prinsip kerja dari alat ini adalah hamburan cahaya (DLS). Dengan teknik
DLS ini, PSA dapat diaplikasikan untuk mengukur ukuran dan distribusi ukuran
dari partikel dan molekul yang terdispersi atau terlarut di dalam sebuah larutan,
contohnya adalah protein, polimer, misel, karbohidrat, nanopartikel,
6. SEM (Scanning Electron Microscopy)
Teknologi nanopartikel tidak lepas dengan mikroskop sebagai alat pembesar
untuk melihat struktur partikel kecil tersebut. Ukuran nanometer membutuhkan
mikroskop yang mempunyai ketelitian tinggi tidak dapat menggunakan
mikroskop biasa. Nanopartikel diperlukan mikroskop dengan panjang
gelombang yang lebih pendek dari cahaya sehingga pada tahun 1932 diciptakan
mikroskop elektron. Mikroskop elektron menggunakan sinar elektron yang
panjang gelombangnya lebih pendek dari panjang gelombang cahaya. Dalam
pembesaran obyek, mikroskop elektron juga menggunakan lensa, namun bukan
berasal dari jenis gelas seperti pada mikroskop optik tetapi menggunakan lensa
jenis magnet. Sifat medan magnet ini mengontrol dan mempengaruhi elektron
yang melaluinya, sehingga berfungsi menggantikan sifat lensa pada mikroskop
optik (Oktavina, 2009).
SEM mempunyai depth offield yang besar, yang dapat memfokus jumlah
sampel yang lebih banyak pada satu waktu dan menghasilkan bayangan yang
baik dari sampel tiga dimensi. SEM juga menghasilkan bayangan dengan
resolusi tinggi, yang berarti mendekati bayangan yang dapat diuji dengan
perbesaran tinggi. Kombinasi perbesaran yang lebih tinggi, darkfield, resolusi
yang lebih besar, dan komposisi serta informasi kristallografi membuat SEM
merupakan satu dari peralatan yang paling banyak digunakan dalam penelitian,
R&D industry khususnya industri semikonduktor.
Fungsi mikroskop elektron scanning atau SEM adalah dengan memindai
komposisi molekul. Energi dari elektron menuju ke sampel secara langsung
dalam proporsi jenis interaksi elektron yang dihasilkan dari sampel. Serangkaian
energi elektron terukur dapat dihasilkan yang dianalisis oleh sebuah
mikroprosesor yang canggih yang menciptakan gambar tiga dimensi atau
spektrum elemen yang unik yang ada dalam sampel dianalisis. Ini adalah
rangkaian elektron yang dibelokkan oleh tumbukan dengan elektron sampel.
Sebelum menjelajahi jenis elektron dihasilkan oleh SEM khas, pemahaman
dasar dari teori elemen yang dikelilingi diklasifikasikan tabel periodik perlu
disebutkan. Sepanjang sejarah banyak fisikawan, matematikawan, dan ahli kimia
mempelajari unsur-unsur di bumi.
7. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis merupakan metode pemisahan yang paling
popular dan banyak digunakan karena memberikan banyak keuntungan
diantaranya yaitu peralatan yang dibutuhkan sederhana, murah, waktu analisis
singkat dan daya pisah yang cukup baik serta sampel yang dibutuhkan sedikit
(Sudjadi, 2008). Pemisahan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi
atau partisi oleh fase diam dipisahkan oleh gerakan pelarut pengembang.
Pemilihan eluen (fase gerak) yang tepat merupakan langkah penting dalam
keberhasilan analisis menggunakan KLT. Pemilihan ini didasarkan pada prinsip
“like dissolve like”. Eluen dipilih sebaiknya menggunakan campuran pelarut
organik yang mempunyai polaritas serendah mungkin, hal ini untuk mengurangi
serapan dari setiap komponen dari campuran pelarut. Jika komponen-komponen
sistem menjadi sistem partisi. Campuran yang baik memberikan fasa gerak yang
mempunyai kekuatan bergerak sedang, tetapi sebaiknya dihindari mencampur
lebih dari dua komponen terutama karena campuran yang lebih kompleks cepat
mengalami perubahan-perubahan fasa terhadap perubahan-perubahan suhu
(Hardjono, 1991).
Identitas noda pada plat dinyatakan dengan harga Rf (Retordation factor)
merupakan rasio jarak noda terhadap titik awal dibagi jarak eluen terhadap titik
awal. Secara matematis dapat dituliskan :
Rf = �
ℎ
Dengan l = jarak noda dari titik awal ke titik akhir setelah proses
pengembangan dan h = jarak eluen dari titik awal ke batas akhir eluen. Harga Rf
berkisar 0 – 0,999.
B.Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai temu kunci (Boesenbergia pandurata) sudah pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian berhubungan dengan
kegunaan yang bervariasi dari temu kunci (Boesenbergia pandurata) seperti
antiinflamasi, antioksidan, dan antikanker. Sehingga nanopartikel cocok untuk
bentuk obat yang mudah dihantarkan kedalam tubuh. Yun , et al.,(2006) telah
membuktikan bahwa Panduratin A yang merupakan derivat dari kalkon juga
mempunyai berbagai efek biologis, seperti antiinflamasi, analgetik, dan
antioksidan. Pada penelitian sebelumnya, telah dibuktikan bahwa panduratin A
lebih lanjut menunjukkan bahwa Panduratin A berpotensi sebagai antikanker
dengan mekanisme aksi menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon HT29.
Pada kanker kolon, panduratin A lebih poten dari pada inhibitor selektif COX-2,
misalnya Celecoxib, dan obat-obat antitumor (5-flurouracil and Cisplatin).
Adapun kandungan temu kunci telah diteliti oleh Kirana, et al., (2006).
Penelitian ini menjelaskan bahwa panduratin A dapat menghambat pertumbuhan
sel kanker payudara MCF7 dan sel adenokarsinoma kolon HT-29 pada manusia
melalui penghambatan COX-2 yang merupakan faktor penting dalam
perkembangan inflamasi dan sel tumor. Panduratin A juga telah dibuktikan
mempunyai aktivitas antimutagenik melalui induksi Quinon Reduktase (QR)
yang merupakan enzim fase II. Enzim fase II memiliki peran penting dalam
mekanisme pertahanan sel dan metabolisme, seperti detoksifikasi
senyawa-senyawa elektrofilik. Sel HT-29 yang diperlakukan dengan panduratin A
menunjukkan adanya gejala apoptosis, misalnya membran yang
menggelembung, pemendekan kromatin. Karena kandungan temu kunci yang
banyak, maka temu kunci cocok diteliti lebih lanjut.
Penelitian mengenai pembuatan nanopatikel telah dilakukan oleh Sri Atun
dan Retno Arianingrum (2015). Objek penelitian adalah Kamferia rotunda,
pembuatan nanopartikel menggunakan metode gelasi ionik dengan kitosan dan
Na-TPP. Hasil pengukuran nanopartikel adalah antara 172 sampai 877 nm,
dengan nilai zeta potensial antara +28,06 sampai +38,03 mV.
Penelitian yang berhubungan dengan nanopartikel juga telah dilakukan oleh
ekstrak temu kunci melainkan ekstrak kulit buah manggis dan untuk pengikat
kandungannya bukan menggunakan alginat melainkan kitosan. Penelitian yang
dilakukan Raditya, Effionora, dan Mahdi (2013) mengoptimalkan metode gelasi
ionik antara kitosan dan natrium tripolifosfat guna mendapatkan formulasi yang
terbaik. Penelitian mengenai nanopartikel juga sudah dilakukan oleh Ronny
Martien, dkk (2012) yang membahas metode nanopartikel untuk sistem
penghantaran obat. Nanopartikel relatif lebih mudah menembus berbagai
pembatas biologis, sehingga menjadi kurang spesifik jika digunakan dengan
tujuan aplikasi khusus.
C.Kerangka Berpikir
Obat kimia marak digunakan dikalangan masyarakat, meskipun
menimbulkan efek samping. Hal ini menyebabkan obat herbal mulai banyak
digunakan lagi karena terbuat dari bahan yang alami. Penggunaan bahan alami
dalam obat-obatan dapat meminimalisir efek samping. Penggunaan nanopartikel
pada penelitian ini dilatarbelakangi kemampuan nanopartikel sebagai carrier
yang sangat baik untuk meningkatkan bioavailabilitas biomolekul, yaitu
meningkatkan kemampuan penyerapan dan peredaran obat di dalam tubuh.
Penelitian mengenai pembuatan nanopartikel ekstrak etanol temu kunci
(Boesenbergia pandurata) dengan alginat perlu ketelitian yang lebih untuk
menentukan banyaknya alginat yang diperlukan sebagai pengikat kandungan
temu kunci agar tidak larut dalam pelarut lain. Nanopartikel yang dibuat
memiliki keunggulan dalam penghantaran obat ke reseptor. Kandungan temu
Pembuatan nanopartikel diawali dengan mengekstrak temu kunci menggunakan
etanol. Setelah dilakukan percobaan berulang kali dari berbagai prosedur, hasil
nanopartikel perlu dikarakterisasi untuk mengetahui ukuran nanopartikel yang
dibuat. Karakterisasi sebagai upaya mengetahui ukuran nanopartikel yang dibuat
menggunakan PSA (Particle size analyzer). Kestabilan partikel dapat diketahui
dengan mengukur zeta potensialnya untuk melihat kestabilan suatu larutan
koloid dengan zeta sizer. Endapan keringnya dikarakterisasi menggunakan SEM
(Scanning Electron Microscopy) untuk melihat bentuk morfologi partikel. Serta
identifikasi menggunakan KLT untuk melihat kesamaan ekstrak etanol temu
BAB III
METODE PENELITIAN A.Subjek dan Objek Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah temu kunci (Boesenbergia pandurata) 2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah nanopartikel ekstrak temu kunci (Boesenbergia pandurata) .
B.Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat :
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah PSA (Particle Size Analyzer) HORIBA LB-550 (IK 03 TP 016), SEM (Scanning Electron Microscopy), Zeta Sizer nano seris malvem, satu set evaporator buchii 190, gelas bekker,
corong biasa, erlenmeyer, gelas ukur 100 ml dan 15 ml, pipet volum 5 ml, kertas saring, serbet, tisue, spatula, magnetic stirer, dan satu set alat KLT (Kromatografi Lapis Tipis).
2. Bahan :
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata), asam alginat, etanol teknis 96%, etanol p.a, NaOH, CaCl2, akuades, dan kloroform.
C.Prosedur Penelitian
1. Ekstraksi dengan maserasi
Temu kunci (Boesenbergia pandurata) sebanyak 10 kg dicuci bersih, dikupas, dipotong kecil-kecil, dikeringkan dan dibuat serbuk dengan cara digiling. Kemudian maserasi dengan pelarut etanol teknis sebanyak ± 4L hingga sampel terendam. Maserasi dilakukan selama 24 jam dengan wadah tertutup. Setelah 24 jam, sampel yang direndam disaring menggunakan serbet hingga diperoleh ekstrak etanol. Sampel yang diperas direndam kembali dalam etanol sebanyak 3 kali pengulangan. Setelah itu hasil maserasi ekstrak etanol disaring kembali menggunakan kertas saring.
2. Evaporasi
Hasil maserasi dievaporasi dengan evaporator Buchii agar pelarut menguap dan ekstrak etanol yang didapat adalah pekat. Suhu saat evaporasi dibawah titik didih pelarut yaitu 60°C.
3. Pembuatan nanopartikel ekstrak temu kunci
Ekstrak temu kunci yang sudah kental tersebut ditimbang dalam botol flacon seberat 1 gram. Kemudian dilarutkan dalam 35 ml etanol p.a dicampur dengan 15 ml akuades dalam gelas bekker 2000 ml, asam alginat dalam 100 ml NaOH 0,1 M dan larutan CaCl2 sebanyak 350 ml.
Tabel 1. Perbandingan Alginat dan CaC�2
4. Setelah semua bahan tercampur dilakukan pengadukan dengan magnetic stirer selama kurang lebih 2 jam.
5. Setiap variasi rasio asam alginat dan CaCl2 dilakukan sebanyak 3 kali.
6. Koloid Nanopartikel asam alginat - ekstrak temu kunci kemudian dipisahkan dengan cara sentrifugasi.
7. Padatan nanopartikel ekstrak etanol temu kunci dicuci dengan akuades menggunakan kertas saring agar C�− yang masih ada dalam padatan hilang. Kemudian padatan yang sudah dicuci dimasukan dalam freezer dengan suhu
Sampel Alginat(%) CaCl2 (%) Rasio
1 0,1 0,1 1:1
2 0,3 0,1 3:1
3 0,5 0,1 5:1
4 0,1 0,2 1:2
5 0,1 0,3 1:3
6 0,1 0,4 1:4
7 0,1 0,01 10:1
8 0,1 0,015 6,66:1
9 0,1 0,02 5:1
10 0,1 0,03 3,33:1
± -4°C selama kurang lebih 2 hari. Penyimpanan diletakan dalam lemari es dengan suhu ± 3°C sampai menjadi bubuk kering.
8. Karakterisasi fisik nanopartikel alginat - ekstrak temu kunci menggunakan alat PSA menunjukkan bahwa proses pembuatan nanopartikel tersebut secara gelasi ionik dapat menghasilkan partikel berukuran nanometer.
9. Penentuan ukuran nanopartikel larutan nanofluida zeta potensial menggunakan Zeta Sizer Nano Seris Malvem (dalam seri PSA).
10. Karakterisasi fisik nanopartikel alginat - ekstrak temu kunci menggunakan alat SEM menunjukkan bentuk 3 dimensi senyawa yang dihasilkan atau morfologi permukaan senyawa.
11. Karakterisasi dengan KLT untuk mengetahui adanya kandungan temu kunci dalam sediaan nanopartikel. Plat KLT 7x7 cm dengan 0,5 cm di batas atas dan batas bawah. Jarak setiap sampel 1 cm, mulai dari A = sampel 7; B = sampel 8; C = sampel 9; D = sampel 10; E = sampel 11; dan F = ekstrak etanol temu kunci.
D.Teknik Analisis Data
1. Data kuantitatif untuk mengetahui ukuran nanopartikel ekstrak temu kunci dengan PSA, ukuran zeta potensial menggunakan Zeta Sizer Nano Seris Malvem, dan menghitung nilai Rf menggunakan KLT.
E.Diagram Alir Prosedur Penelitian
Larutan 3 350 ml CaC�2 Larutan 2
100 ml Alginat Larutan 1
1 gram Ekstrak temu kunci, 35 ml etanol, 15 ml akuades
Disimpan dalam lemari es Koloid Nanopartikel ekstrak herbal temu kunci Ditambahkan larutan 3 dan diaduk dengan magnetic stirer selama 2 jam
Larutan 1 dan Larutan 2 diaduk homogen dalam gelas beker menggunakan
magnetic stirer
Karakterisasi dengan PSA dan zeta sizer
Hasil sentrifuge berupa endapan coklat diletakan di kertas saring untuk dicuci dengan akuades
Endapan yang sudah di cuci dengan akuades diletakan di frezer (-4°C) selama 2 hari
Endapan kering berupa serbuk kering berwarna coklat muda
Larutan dan endapan
dipisahkan dengan sentrifuge
Endapan yang membeku disimpan dalam lemari es (3°C) hingga mengering
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Hasil Penelitian
1. Hasil Ekstasi
Ekstrasi menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol diikuti
dengan penguapan menghasilkan ekstrak kental berwarna coklat tua seperti
pada Gambar 5. Rimpang temu kunci seberat 10 kg menyusut menjadi 3 kg
setelah menjadi serbuk. Ekstrak kental hasil maserasi terbentuk seberat 47,621
gram. Rendemen dapat dihitung dari serbuk temu kunci dan ekstrak kental temu
kunci dan mendapatkan rendemen sebesar 1,587 %.
Rendemen = �� � �
�� � � � x 100%
= , �
� x 100 % = 1,587 %
Gambar 5. Hasil Ektrak Etanol Temu Kunci
2. Data Hasil PSA dan Zeta Sizer
Berdasarkan prosedur yang sudah dilakukan, pembuatan koloid nanopartikel
6. Adapun endapan hasil sentrifuge setelah kering berbentuk serbuk halus
berwarna coklat muda yang ditunjukkan pada Gambar 7. Endapan yang
terbentuk memiliki struktur yang halus dan ringan setiap butirannya.
Gambar 6. Koloid Nanopartikel Ekstrak Etanol Temu Kunci
Hasil penelitian menunjukan sampel dengan ukuran nanopartikel (< 1000
nm) yang paling besar adalah sampel 11 . Rasio asam alginat dan CaCl2 (2,5:1)
dengan persen (%) alginat 0,1 dan persen (%) CaCl2 0,04. Ukuran persen (%)
nanopartikel sebesar 95,2% adalah 339 – 877 nm dan ukuran mikropartikel
sebesar 4,8% adalah 2269 – 3905 nm. Nilai zeta potensial rata-rata untuk sampel
11 adalah -72,1 mV.
Persentase nanopartikel yang paling kecil adalah sebesar 0%. Persentase
tersebut terdapat pada sampel 1, 2, 3, 5, dan 6. Sebelas sampel yang diukur
ukuran partikelnya dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 6 sampai
Lampiran 16, dan nilai zeta potensial secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 17 sampai Lampiran 21. Secara singkat dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengukuran Ukuran Partikel dan Nilai Zeta Potensial
Sam- pel Alginat (%) CaCl2 (%) % Nano Ukuran nano (nm) % Mikro Ukuran mikro (nm) Berat (gr) Rerata Zeta Potensial (mV) Warna
1 0,1 0,1 0 100
2269-3409
0,569 - Coklat
muda
2 0,3 0,1 0 100
1005-3409
0,576 - Coklat
muda
3 0,5 0,1 0 100
3905-5122
0,894 - Coklat
muda
4 0,1 0,2 16,5
510-669
83,5 6000 0,649 24,2 Coklat
muda
5 0,1 0,3 0 100
1151-1318
0,637 - Coklat
muda
6 0,1 0,4 0 100
1318-6000
0,597 - Coklat
muda
7 0,1 0,01 80,8
226-877
19,2
1005-1318
0,167 -89,5 Coklat muda
8 0,1 0,015 83,3
259-877
16,7
1005-1981
0,227 -84,7 Coklat muda
9 0,1 0,02 90.2
197-877
9,8
1005-1151
0,246 -82,1 Coklat muda
10 0,1 0,03 65,5
259-877
34,5
1005-1510
0,228 - Coklat
muda
11 0,1 0,04 95,2
339-877
4,8
2269-3905
0,182 -72,1 Coklat muda
3. Data Hasil SEM
Karakterisasi menggunakan SEM bertujuan untuk melihat morfologi
permukaan partikel atau bentuk 3 dimensi partikel dan ukuran partikel tersebut.
sehingga dapat menghasilkan gambar permukaan secara mendetail. Analisis
SEM yang telah dilakukan menghasilkan perbesaran dari 100x – 5000x. Sampel
yang dianalisis menggunakan SEM adalah sampel 11 yang menunjukkan ukuran
partikel terkecil. Gambar permukaan partikel atau electron micrograph
perbesaran 5000x menunjukkan bahwa bentuk partikel yang lonjong seperti
pada Gambar 8. Electron micrograph perbesaran 100x,500x, dan 1000x dapat
dilihat pada Lampiran 22.
Gambar 8. Hasil SEM Sampel 11 dengan Perbesaran 5000x (a); dan (b)
4. Hasil KLT
Hasil identifikasi dengan KLT menggunakan plat silika gel ditunjukkan
pada Gambar 9. Data hasil KLT diperoleh Rf A = 0,66; Rf B = 0,61; Rf C =
0,60; Rf D = 0,60; Rf E = 0,65; dan Rf F = 0,71. Eluen yang digunakan adalah
kloroform.
A B C D E F
Gambar 9. Kromatogram hasil KLT
Keterangan :
A = Sampel 7
B = Sampel 8
C = Sampel 9
D = Sampel 10
E = Sampel 11
F = Ekstrak etanol temu kunci
B.Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk membuat nanopartikel dari ekstrak etanol
rimpang temu kunci (Boesenbergia pandurata) pada berbagai variasi komposisi
asam alginat dan CaCl2 dengan persen (%) nanopartikel paling besar.
Identifikasi tumbuhan dengan surat keterangan yang terlampir pada Lampiran 5
dilakukan untuk menyakinkan bahwa rimpang temu kunci yang digunakan
PSA (Particle size analyzer) HORIBA LB-550 (IK 03 TP 016). Sedangkan
untuk mengetahui ukuran zeta potensial koloid nanopartikel tersebut
menggunakan alat Zeta Sizer Nano Seris Malvem.
1. Ekstrasi dengan Maserasi Rimpang Temukunci (Boesenbergia
pandurata)
Rimpang temu kunci kotor seberat 10 kg dibersihkan, dipotong kecil-kecil,
dan dijemur hingga kering. Rimpang kering kemudian digiling sampai
berbentuk serbuk seberat 3 kg untuk proses maserasi. Rimpang temu kunci
banyak mengandung senyawa polar, semipolar, dan non polar sehingga
maserasi menggunakan pelarut etanol teknis. Etanol mampu melarutkan
banyak senyawa metabolit sekunder. Titik didih etanol cukup rendah yaitu
78,37 °C sehingga mudah untuk diuapkan. Bubuk rimpang temu kunci seberat
3 kg direndam dengan etanol ± 4L selama 24 jam. Bubuk rimpang temu kunci
yang sudah disaring kemudian direndam kembali dalam etanol sebanyak 3 kali
pengulangan. Ekstrak etanol yang disaring dari hasil rendaman kemudian
dievaporasi agar senyawa-senyawa metabolit sekunder yang larut dalam etanol
tidak rusak oleh suhu yang tinggi. Ekstrak kental hasil evaporasi seberat 47,261
gram. Hasil evaporasi berupa ekstrak rimpang temu kunci yang kental
berwarna coklat tua seperti ditunjukan Gambar 5.
2. Pembuatan Koloid Nanopartikel Ekstrak Herbal Temu Kunci
(Boesenbergia pandurata) dengan Karakterisasi menggunakan PSA dan
Preparasi koloid nanopartikel diawali dengan menimbang bahan-bahan
yang diperlukan yaitu 1 gram ekstrak kental temu kunci, CaCl2, dan alginat.
Jumlah CaCl2 dan alginat sesuai dengan komposisi (dalam persen) seperti pada
Tabel 1, dan untuk jumlah asam alginat dan CaCl2 yang diperlukan dapat
dilihat pada Lampiran 1. Ekstrak kental yang sudah disiapkan kemudian
dilarutkan dalam etanol p.a sebanyak 35 ml dan ditambah 15 ml akuades
hingga semua larut menggunakan magnetic stirer. Setelah semua ekstrak kental
larut, 100 ml larutan alginat (sudah dilarutkan dalam NaOH 0,1 M) dan larutan
CaCl2 sebanyak 350 ml ditambahkan. Sebanyak 500 ml campuran diaduk
dengan kecepatan yang konstan menggunakan magnetic stirer selama ± 2 jam.
Kecepatan pengadukan yang konstan berguna dalam pembentukan partikel
berukuran nano. Penggunaan alginat pada penelitian ini dikarenakan alginat
merupakan polimer biokompatibel, biodegradabel, dan tidak toksik terhadap
tubuh. Kandungan temu kunci (Boesenbergia pandurata) yang terjerat dalam
polimer ini akan dilepaskan secara bertahap di dalam tubuh apabila
diaplikasikan sebagai obat herbal. Polimer ini juga akan mengalami swelling
atau pembengkakan sebelum terdegradasi dan pecah. Penggunaan CaCl2
dengan konsentrasi yang rendah pada beberapa sampel bertujuan agar tidak
terjadi ikatan yang terlalu banyak antara ion Ca2+ dengan gugus karboksilat
dari alginat. Metode ini disebut metode gelasi ionik dengan menggunakan
pasangan polimer asam alginat dan CaCl2. Pemilihan metode gelasi ionik untuk
pembuatan nanopartikel dikarenakan metode ini adalah metode yang paling
Koloid yang terbentuk disimpan dalam lemari es (± 3°C) untuk proses
lebih lanjut. Larutan tersebut kemudian dikarakterisasi menggunakan PSA
(Particle size analyzer) untuk mengetahui ukuran partikel yang ada dalam
larutan. Hasil dari setiap komposisi ditunjukan pada Tabel 4. Partikel dengan
ukuran nano paling banyak ada pada sampel 11 yaitu sebesar 95,2 % dengan
ukuran 339 – 877 nm dapat dilihat pada Lampiran 16.
Sebanyak 95,2% partikel pada sampel 11 berukuran < 1000 nm sehingga
dapat disimpulkan bahwa larutan sampel 11 memiliki ukuran nanopartikel
hampir 100%. Sebanyak 4,8% partikel pada sampel 11 berukuran mikro karena
diameter ukuran partikelnya > 1000 nm. Jumlah partikel berkukuran nano >
90% dapat diukur zeta potensialnya menggunakan Zeta Sizer Nano Seris
Malvem. Nilai rerata zeta poensial sampel 11 adalah -72,1 mV ditunjukan pada
Lampiran 21. Nilai zeta potensial pada sampel 4 menunjukkan nilai 24,2 mV
yang dinilai sangat kecil dibandingkan keempat sampel lainnya. Nilai zeta
potensial partikel dengan ukuran mikro lainnya tidak diukur karena dapat
dipastikan nilainya sangat kecil. Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 17
sampai Lampiran 21.
Sampel 11 merupakan sampel dengan komposisi yang optimal karena
sampel 11 memenuhi empat standart yang menentukan keoptimalan komposisi.
Pertama adalah persen jumlah nano yang ada dalam koloid nanopartikel
menunjukkan angka yang paling besar, yaitu 95,2%. Kedua adalah ukuran
nano menujukkan rentang 339 – 877 nm, rentang tersebut masih dalam
kedua adalah sampel 9 dan terdapat partikel dengan ukuran 197 nm, namun
tidak terlihat perbedaan yang signifikan dikarenakan jumlah partikel dengan
ukuran 197 nm tersebut hanya sebanyak 0,3 % dari total partikel yang
terbentuk. Untuk mengetahui data yang lebih lengkap mengenai jumlah persen
nano disetiap ukuran partikel nano pada sampel 9 dan 11 dapat dilihat pada
Lampiran 14 dan Lampiran 16. Ketiga, berat endapan yang terbentuk pada
sampel 11 adalah 0,182 gram, berat tersebut menunjukkan berat yang lebih
kecil dibandingkan sampel 9, meskipun ada berat endapan yang lebih kecil
(sampel 7), sampel tersebut tidak menunjukkan jumlah nano yang lebih banyak
dari sampel 11. Keempat, nilai rerata zeta potensial sampel 11 adalah -72,1
mV, yaitu nilai zeta potensial yang sudah dalam kategori baik (>30 mV, tanda
+/- tidak berpengaruh pada nilai). Zeta potensial akan memberikan gambaran
adanya gaya tolakan antar partikel dan menyebabkan sistem dispersi stabil.
Dengan mempertimbangkan keempat standar komposisi yang optimal, sampel
11 merupakan sampel yang memiliki keempat standart tersebut.
3. Endapan dalam Larutan Nanopartikel dan karakterisasi menggunakan
SEM
Koloid nanopartikel ekstrak temu kunci yang sudah diukur diameter
ukuran partikel dan nilai zeta potensial dipisahkan endapannya dengan
dipusingkan menggunakan centrifuge. Menurut Pupuh dan Sari (2014),
endapan terbentuk dari ikatan antara ion Ca2+ dengan gugus karboksilat dari
alginat. Pada proses pelarutan alginat, terjadi dekompleksasi karena ion Na+
dalam CaCl2, terjadi kompleksasi gugus karboksilat dalam alginat dengan ion
divalen Ca2+ sehingga terbentuk endapan. Endapan yang terbentuk dari proses
sentrifugasi dicuci degan akuades untuk menghilangkan sisa C�−.
Endapan yang telah dicuci dengan akuades dimasukan dalam freezer (±
-4°C) selama ± 2 hari dan setelah itu disimpan dalam lemari es (3°C) sampai
terbentuk endapan kering. Endapan yang sudah kering berwarna coklat muda
dengan struktur bubuk halus. Endapan tersebut dikarakterisasi menggunakan
SEM untuk mengetahui bentuk 3 dimensinya atau morfologi permukaan
partikel.
Penggunaan CaCl2dengan konsentrasi yang rendah dimaksudkan agar
tidak terjadi ikatan yang telalu banyak antara ion Ca2+ dengan gugus
karboksilat dari alginat. Ikatan-ikatan yang terbentuk tersebut menyebabkan
terbentuknya endapan pada larutan nanopartikel ekstrak temu kunci
(Boesenbergia pandurata), endapan yang terbentuk berpengaruh pada hasil
pengukuran diameter partikel dengan PSA. Komposisi CaCl2 yang tinggi
menyebabkan ukuran partikel pada larutan berukuran besar atau mikropartikel,
sehingga persentase nano dalam partikel hanya mencapai 16,5 %, sedangkan
komposisi dengan CaCl2 kosentrasi rendah persentase nanopartikel semakin
besar dari 65,5% - 95,2 %. Koloid dengan persentase nanopartikel kecil
menghasilkan endapan kering berbobot 0,569 gram – 0,894 gram. Berbeda
dengan koloid berpersentase nanopartikel besar, endapan keringnya hanya
berbobot 0,167 gram – 0,246 gram. Data lengkap mengenai berat endapan
Analisis menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dilakukan
pada sampel 11 yang menunjukkan ukuran % nano paling banyak yaitu 95,2 %.
Perbesaran 100x hingga 5000x hasil SEM padatan atau endapan larutan
nanopartikel tersebut dapat dilihat secara jelas bentuk morfologinya pada
permukaan partikel dan dapat juga dilihat ukuran partikel pada partikel padat
nanopartikel ekstrak etanol temu kunci. Kesepuluh perbedaan electron
micrograph terletak pada perbesarannya dapat dilihat pada Lampiran 22.
Perbesaran 5000x merupakan perbesaran yang paling jelas menunjukan bentuk
partikel nanopartikel ekstrak etanol temu kunci yaitu berbentuk lonjong.
Ukuran partikel padatan dari koloid nanopartikel ekstrak etanol temu kunci
dengan alginat berkisar 0,752 – 1,764 µm.
4. Hasil KLT
Hasil pembuatan nanopartikel ekstrak etanol temu kunci berupa serbuk
berwarna coklat muda diidentifikasi menggunakan KLT .Analisis kromatografi
lapis tipis ini bertujuan untuk identifikasi senyawa yang terdapat pada hasil
pembuatan nanopartikel ekstrak etanol temu kunci dan eksrak etanol temu
kunci.
Analisis senyawa dengan kromatografi lapis tipis ini dimulai dengan
melarutkan sampel ke dalam etanol p.a. Sampel yang diidentifikasi adalah
sampel 7 sampai sampel 11 dan ekstrak etanol temu kunci untuk
membandingkan hasil pembuatan nanopartikel ekstrak etanol temu kunci
dengan ekstrak etanol temu kunci. Sampel 7 sampai sampel 11 dianggap
kunci. Etanol digunakan sebagai pelarut karena senyawa hasil nanopartikel
ekstrak etanol temu kunci dan ekstrak etanol temu kunci bersifat polar.
Kemudian sampel yang sudah dilarutkan dengan etanol p.a dan ditotolkan pada
plat silika untuk masing-masing sampel dengan jarak antar sampel sebesar 1
cm. Pengaturan jarak ini dibuat sebesar 1 cm agar tidak terjadi percampuran
noda pada tiap sampel selama proses elusidasi. Selanjutnya plat dimasukkan
dalam chamber yang berisi eluen (fasa gerak).
Pemilihan eluen dalam kromatografi lapis tipis ini sebaiknya
menggunakan pelarut organik yang mempunyai polaritas serendah
mungkin.Hal ini bertujuan untuk mengurangi serapan dari setiap komponen
dari campuran pelarut sehingga sampel lebih terikat pada fasa diam daripada
fasa geraknya. Sehingga eluen yang digunakan adalah kloroform.
Proses elusidasi ini membawa totolan tiap sampel tampak sebagai bercak
kuning kecoklatan. Dengan bantuan lampu UV pada panjang gelombang 366
nm hasil KLT pemisahan yang cukup baik dengan standart Rf yang baik
berkisar antara 0,2 – 0,8. Perhitungan Rf menunjukkan hasil Rf A = 0,66; Rf B
= 0,61; Rf C = 0,60; Rf D = 0,60; Rf E = 0,65; dan Rf F = 0,71. Perhitungan
nilai Rf dapat dilihat pada Lampiran 2. Karena harga Rf yang hampir sama
dapat disimpulkan bahwa keenam sampel tersebut menghasilkan senyawa yang
sama. Dengan kata lain kandungan temu kunci yang ada pada ekstrak etanol
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Nanopartikel ekstrak etanol temu kunci (Boesenbergia pandurata) dengan
asam alginat dan CaCl2 pada berbagai variasi komposisi berhasil dibuat
dengan 11 variasi komposisi, dan komposisi yang paling optimal adalah
sampel 11 dengan rasio konsentrasi (2,5:1) dalam bentuk persen (%) asam
alginat dalam NaOH 0,1 % dan persen (%) CaCl2 0,04 %.
2. Hasil karakterisasi komposisi yang optimal menggunakan PSA adalah
menunjukkan ukuran nano 339 – 877 nm sebanyak 95,2 %. Karakterisasi
menggunakan Zeta Sizer menghasilkan nilai rerata zeta potensial adalah -72,1
mV, sedangkan karakteriasi menggunakan SEM terlihat bentuk partikel yang
lonjong dengan ukuran partikel 0,752 – 1,764 µm. Hasil KLT menunjukkan
nilai keenam sampel baik yaitu dengan nilai Rf A = 0,66; Rf B = 0,61; Rf C =
0,60; Rf D = 0,60; Rf E = 0,65; dan Rf F = 0,71,dengan kata lain kandungan
temu kunci masih tetap sama baik pada ekstrak etanol maupun nanopartikel
ekstrak etanolnya.
B.Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebagai
berikut:
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengaplikasikan nanopartikel
ekstrak etanol temu kunci secara nyata dan aman.
3. Perlu dilihat bentuk partikel padatan setiap variasi komposisinya untuk
membandingkan bentuk di setiap komposisi yang berbeda.
4. Perlu dilakukan pengembangan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
khasiat nyata nanopartikel ekstrak etanol temu kunci pada tubuh.
5. Perlu dilakukan penelitian dengan metode yang lain untuk melihat hasil
DAFTAR PUSTAKA
Abednego Bangun. (2012) . Ensiklopedia Tanaman Obat Indonesia. Bandung: Indonesia Publishing House.
Agung Endro Nugroho . (2010) . Prinsip Aksi dan Nasib Obat dalam Tubuh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anggadireja . (1992) . Rumput Laut (Algae Makro Laut) dalam Obat Tradisional Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI.
Anggadireja JT, Zatnika A, Purwoto H, dan Istini S. (2006). Rumput Laut. Jakarta: Penebar Swadaya.
Anonim. (2012) . Nanopartikel dan Aplikasinya dibidang medis. Diakses dari http://nano.or.id/article/nanopartikel-dan-aplikasinya-di-bidang-medis pada tanggal 13 Juni 2015.
A.Oktaviana. (2009). Teknologi Pengindraan Mikoskopi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Baitul Herbal, Indonesia. Baitul Herbal Photography: Rimpang Temu Kunci. Diakses dari
http://baitulherbal.com/tanaman-herbal/tanaman-herbal-indonesia-temu-kunci/ pada tanggal 17 Agustus 2015.
Chapman, V. J. & D. J Chapman . (1980) . Seaweed and Their Uses, 3�� ed.
New York: Chapman and Hall.
Eriawan, Susi Kusumaningrum, Olivia Bunga, Nizar, dan Marhamah . (2014). Pengujian Aktivitas Antiacne Nanopartikel Kitosan – Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana). Media Litbangkes. Vol. 24 No. 1, Mar 2014, 19 - 27.
Friedli, AC & Schlager IR. (2005) . Demonstrating encapsulation and release: a new take on alginate complexation and the nylon rope trick. Journal ChemistryEducation 82: 1017 - 1020.
Hardjono Sastrohamidjojo. (1995). Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hardjono Sastrohamidjojo. (2001). Kromatografi Edisi Kedua. Yogyakarta: Liberty
Neutron Scattering Studies of Thiol Capped Gold Nanoparticles. Journal of Nanoscience and Nanotechnology,Vol 9 6434 - 6438.
Hieronymus Budi Santoso. (1998). Tanaman Obat Keluarga TOGA 1.
Yogyakarta: Kanisius.
Junghanns & Rainer, H. Muller . (2008). Nanocrystal Technology, Drug
Delivery and Clinical Applications. International Journal of
Nanomedicine, 3(3), 295 - 309.
Jurnal IPB, Indonesia. Jurnal IPB Image: Beberapa Struktur Senyawa Aktif pada
Rimpang Temu Kunci.
Kardono L, Artanti N, Dewiyanti I, dan Basuki T. (2003). Iselected Indonesian
Medicinal Plants: Monographs and Descriptions. Jakarta: Gramedia.
Kirana, C., G.P Jones, I.R Record, and G.H McIntosh. (2006). Anticancer Properties of Panduratin A Isolated from Boesenbergia Pandurata (Zingiberaceae). Journal of Natural Medicine. 61: 131 - 137.
K.S, Soppimath, Kulkarni AR, Aminabhavi TM. (2001). Chemically Modified Polyacrylamide-g-guargum-based Crosslinked Anionic Microgels as
pH-sensutive Drug Delivery Systems: Preparation and Characterization. J
Control (10;75(3)).
Lembi, C & Waaland. (1988). Algae and Human Affairs. New York: Chambridge Univ. Press.
Malvern. (2012). Zetasizer Range. Diakses dari http://www.malvern.com/labeng
/products/zetasiser/zetasizer.html pada 3 April 2016, jam 11.30 WIB.
Mansouri, P, SB Bahrami, SS Kordestani, & Hmirzadeh. (2011). Poly (vinyl alcohol)-chitosan Blends: Preparation, Mechanical and Physical Properties. Iranian Polymer Journal 12. Hlmn 139 - 146.
M.I Alif dan T.R Prastyo. (2011). Aplikasi Nanopartikel untuk biomedik. Semarang: Jurusan Fisika MIPA Universitas Negeri Semarang.
Nekkanti, Vijjaykumar., Marella S, R Rudhramaraju & R Pillai. (2010). Media Milling Process Optimization for Manufacture of Drug Nanoparticles
Using Design of Experiments(DOE). AAPS, USA, Nov-10.
Plantus. (2008). Fingerroot (Boesenbergia pandurata Roxb. Schult).Diakses dari
Pourlain, N & E. Nakache. (1998). Nanoparticles from Vesicles Polymerization.II. Evaluation of Their Encapsulation Capacity. Journal Polym.Sci . 36(17): 3035 - 3043.
Pupuh Findia U dan Sari Edi C. (2014). Enkapsulasi Pirazinamid Menggunakan Alginat dan Kitosan. Journal of Chemistry (Vol.3, Nomor 3).
Purwantiningsih Sugita, Napthaleni , Mersi Kurniati, dan Tuti Wukirsari. (2010). Enkaptulasi Ketoprofen dengan Kitosan-Alginat Berdasarkan Jenis dan Ragam Kosentrasi Tween80 dan Span 80. Makara Sains (Vol. 14, No.2). hlmn 107 - 112.
Raditya Iswanda, Effionora Anwar, dan Mahdi Jufri. (2013). Formulasi
Nanopartikel Veramil Hidroklorida dari Kitosan dan Natrium
Tripolofosfat dengan Metode Gelasi Ionik. Jurnal Farmasi Indonesia
(vol.6 No.4). hlmn 201 - 210.
Ronny Martien, Adhyatmika, Iramie D. K. Irianto, Verda Farida, dan Dian Purwita Sari. (2012). Perkembangan Teknologi Nanopartikel sebagai Sistem Penghantaran Obat. Majalah Farmaseutik (Vo;.8, No. 1). Hlmn 133 - 144.
Rusdi. (1990). Tumbuhan sebagai Sumber Bahan Obat. Padang: Pusat Penelitian Andalas.
S.A. Achmad. (1986). Buku Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta:
Karunika Jakarta Universitas Terbuka.
Scheuer, P.J. (1987). Bioorganic Marine Chemistry Vol.1. Berlin : Springer Verlag.
Sri Atun dan Retno Arianingrum. (2015). Synthesis Nanoparticles of Chloroform Fraction from Kaempferia rotunda Rhizome Loaded Chitosan and Biological Activity as an Antioxidant. International Journal of Drug Delivery Technology (5(4)). Hlmn. 138 - 142.
Sudjadi. (2008). Metode Pemisahan. Yogyakarta: UGM Press.
WH, McNeely & Pettitt DJ. (1973). Algin. Di dalam Whistler RL, editor.
Industrial Gums: Polysaccharides and Their Derivatives. 2nd Ed. New
York:Academic Press.
Lampiran 1. Perhitungan Jumlah Bahan yang Digunakan
Berdasarkan variasi komposisi Alginat pada tabel 1 dapat dihitung jumlah bahan
yang diperlukan. Untuk alginat setiap persen yang tertera sama dengan gram per
100 ml NaOH 0,1 M dan untuk CaCl2 sama dengan gram per 100 ml akuades.
Setiap komposisi membutuhkan 100 ml alginat dan 350 ml CaC� .
a. Sampel 1
Alginat 0,1 % = 0,1 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,3 gram
CaCl2 0,111 % = 0,111 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 1,332 gram
b. Sampel 2
Alginat 0,3 % = 0,3 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,9 gram
CaCl2 0,111 % = 0,111 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 1,332 gram
c. Sampel 3
Alginat 0,5 % = 0,5 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 1,5 gram
CaCl2 0,111 % = 0,111 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 1,332 gram
d. Sampel 4
Alginat 0,1 % = 0,1 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,3 gram
CaCl2 0,222 % = 0,222 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 2,664 gram
e. Sampel 5
CaCl2 0,333 % = 0,333 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 3,996 gram
f. Sampel 6
Alginat 0,1 % = 0,1 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,3 gram
CaCl2 0,444 % = 0,444 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 5,328 gram
g. Sampel 7
Alginat 0,1 % = 0,1 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,3 gram
CaCl2 0,01 % = 0,01 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 0,12 gram
h. Sampel 8
Alginat 0,1 % = 0,1 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,3 gram
CaCl2 0,015 % = 0,015 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 0,18 gram
i. Sampel 9
Alginat 0,1 % = 0,1 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,3 gram
CaCl2 0,02 % = 0,02 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
pengulangan) = 0,24 gram
j. Sampel 10
Alginat 0,1 % = 0,1 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,3 gram
CaCl2 0,03 % = 0,03 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
k. Sampel 11
Alginat 0,1 % = 0,1 gram x 3 (3 kali pengulangan) = 0,3 gram
CaCl2 0,04 % = 0,04 gram x 4(dibutuhkan 350 ml) x 3(3 kali
Lampiran 2. Perhitungan Nilai Rf Kromatografi Lapis Tipis
Secara sistematis perhitungan Rf menggunakan rumus:
Rf =
ℎ
Dengan l = jarak noda dari titik awal ke titik akhir setelah proses pengembangan
(cm), dan h = jarak eluen dari titik awal ke batas akhir eluen (cm).
a. Rf A (sampel 7) = �
� = 0,66
b. Rf B (sampel 8) = , �
� = 0,61
c. Rf C (sampel 9) = , �
� = 0,60
d. Rf D (sampel 10