• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang T2 322013034 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang T2 322013034 BAB I"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi antara yang

satu dengan yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam

hal ini, manusia membuat suatu kelompok dimana terdapat hubungan yang

erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar ini

manusia disebut sebagai zoon politicon. Dalam hidup bermasyarakat,

manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu

akibat.

Dalam usaha melindungi masyarakat dari gangguan pelaku

pelanggar norma-norma sosial yang ada, maka salah satu sarana untuk

menanggulanginya adalah dengan hukum pidana. Hukum pidana adalah

hukum yang bersifat represif, hukum yang mempunyai sanksi istimewa,

hukum ini tak kenal kompromi, walupun si korban tindak pidana sudah

memaafkan atau tidak dituntut namun hukum pidana itu bersifat tegas,

hukum harus ditegakkan dan pelaku harus ditindak.1

Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata, dan untuk

keperluan itu oleh para ahli hukum pidana telah dipikirkan agar hukum

pidana berlaku adil sehingga timbulah bentuk-bentuk hukum pidana yang

dirumuskan dalam undang-undang dan Kitab Undang-undang (kodifikasi).

1 M. Faal, Penyaringan perkara pidana oleh Kepolisian (Diskresi Kepolisian), PT. Pradnya

(2)

2

Hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap negara di dunia

berbentuk undang-undang dan kodifikasi.

Dalam masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan

yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu berlangsung,

maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan

ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan

setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai

dengan aturan hukum yang berlaku. Adapun tindakan yang melanggar

aturan atau peraturan hukum pidana tersebut dapat disebut dengan tindak

pidana.

Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan

mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana / KUHP. Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat

jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada

suatu pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII

KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal

kejahatan - kejahatan yang hanya dituntut atas dasar pengaduan. Pengaduan

merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan

penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam

perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur

dalam Pasal 75 KUHP. Hal ini dilakukan agar korban dapat

mempertimbangkan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi

korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakanya

(3)

3

kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan

perkara yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam rangka mengatur sikap manusia agar tidak mengganggu,

merampas dan melanggar hak-hak orang lain, maka dibuatlah aturan pidana

agar orang-orang yang melakukan kejahatan dapat dikenai sanksi atau

hukuman untuk mewujudkan ketentraman, keamanan dan kesejahteraan

dalam masyarakat. Salah satu tindak pidana yang sering dilakukan oleh

seseorang adalah tindak pidana penggelapan (verduistering) sebagaimana

yang diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP.

Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini sangat sering di

jumpai dikehidupan sehari-hari. Himpitan ekonomi dengan gaya hidup yang

semakin tinggi menjadi faktor terjadinya tindak pidana penggelapan, Yang

dinamakan penggelapan adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372

KUHP:

“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai

milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau

sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Perkara penggelapan merupakan suatu delik atau tindak pidana biasa

dan bukan delik aduan. Menurut R. Tresna, istilah pengaduan (klacht) tidak

sama artinya dengan pelaporan (aangfte), bedanya adalah:2

1. Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan

pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu menjadi syarat.

2. Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan

hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.

(4)

4

3. Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana,

pengaduan di dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan.

Penggelapan bukan termasuk dalam delik aduan, maka walaupun

barang yang digelapkan telah dikembalikan, hal itu tidak dapat menjadi

alasan penghapusan hak penuntutan/peniadaan penuntutan atas delik

tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d

Pasal 85) KUHPtentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana. Walaupun barang yang gelapkan telah dikembalikan

oleh yang bersangkutan, dia tetap dapat dituntut dengan pasal penggelapan.

Namun, dengan adanya iktikad baik si pelaku, apabila ada perjanjian

perdamaian, hal itu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan

putusan saat perkara tersebut diperiksa di pengadilan.

Salah satu fungsi hukum pidana adalah sebagai alat atau sarana

terhadap penyelesaian problematika. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu

upaya untuk menanggulangi kejahatan dan mensejahterahkan masyarakat,

maka berbagai bentuk kebijakan dilakukan untuk mengatur masyarakat

dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih

luas.

Perkara tindak pidana penggelapan kususnya di unit III Penyidikan

Sat Reskrim Polrestabes Semarang periode Januari 2014 sampai dengan

Agustus 2014 laporan yang masuk mencapai 30 laporan, dari angka tersebut

6 diantaranya pelapor menghendaki proses penyidikanya di tangguhkan

dengan pertimbangan kedua belah pihak yang berperkara telah

(5)

5

telah saling memaafkan, sedangkan sisa perkara-perkara tersebut masih

dalam tahap penyelidikan dengan berbagai macam hambatan dan di

limpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum.

Perkara tindak pidana penggelapan yang laporannya dicabut oleh

pelapor dan menghendaki penyelesaian secara damai cepat ditindak lanjuti

oleh Penyidik, menurut Penyidik hal itu merupakan penilaian positif karena

beban perkara yang ditangani juga berkurang begitu juga dengan perkara

yang tidak ada penyelesaian secara damai yang harus ditindak lanjuti sampai

berkas perkaranya dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum selama tidak

terdapat hambatan-hambatan dalam prosesnya cepat direspon karena

keterbatasan waktu yang telah diatur dalam undang-undang.

Perkara tindak pidana penggelapan yang ditangani di Polrestabes

sampai berlanjut dan dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum pada

umumnya karena pelaku tidak sanggup dan tidak bisa menghadirkan

kembali kerugian yang dialami oleh pelapor/korban, sebab lain karena

korban menghendaki pembelajaran hukum kepada pelakunya. Contoh

perkara tindak pidana penggelapan yang menghendaki prosesnya

ditangguhkan dibawah ini :

(6)

6

benar mobil sudah laku terjual dengan kesepakatan harga Rp. 150.000.000. namun uang hasil penjualanya sebagian digunakan oleh ANDI dan ANDI berjanji dalam waktu satu minggu uang yang digunakan tersebut akan dikembalikan karena dengan alasan tersebut diterima JOHAN, setelah satu minggu JOHAN menagih kepada ANDI tentang uang yang digunakan tersebut namun ANDI tidak bisa mengembalikanya sehingga oleh JOHAN dilaporkan kepada Kepolisian, setelah diproses oleh kepolisian dilakukan penyelidikan dan penyidikan terbukti perbuatan ANDI cukup bukti dan memenuhi unsur pasal 372 KUHP dan dilakukan penahanan, dalam perjalanan waktu ANDI dan keluarganya berupaya untuk dapat mengembalikan uang yang digunakan tersebut kepada JOHAN, maka kerugian JOHAN telah dikembalikan sehingga JOHAN memohon kepada kepolisian untuk mencabut laporan dengan alasan bahwa uangnya telah dikembalikan dan ia menuangkan dalam pernyataan bahwa permasalahan tersebut telah dimaafkan sehingga JOHAN meminta agar proses hukumnya selesai ditingkat kepolisian saja dan tidak dilanjutkan sampai ke Kejaksaan maupun Pengadilan, dengan berbagai pertimbangan sehingga kepolisian menangguhkan proses penyidikan yang sudah berlangsung, walaupun perkara/kasus tersebut bukan delik aduan.

Dari perkara/kasus diatas walaupun pihak korban/pelapor telah

berdamai dan mengajukan permohonan pencabutan laporan, kepolisian tidak

mempunyai dasar atau landasan hukum untuk menghentikan proses

penyidikan tersebut sampai ketahap penuntutan di kejaksaan dan mendapat

putusan hukum tetap di pengadilan jika tujuan hukum untuk mencari suatu

kepastian, namun jika hukum bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan

kemanfaatan atas pencabutan laporan kepolisian membutuhkan sarat

adminstrasi yang mendukung pemufakatan kedua belah pihak antara pihak

pelapor maupun terlapor yang diketahui oleh pihak ketiga contoh keluarga

para pihak, RT, RW ataupun pihak kelurahan bahwa perkara/kasus tersebut

telah di selesaikan secara damai, saling memaafkan dan tidak saling

menuntut dikemudian hari, dan pihak terlapor menyadari perbuatanya

(7)

7

dapat dipertimbangkan oleh kepolisian dampak baik buruknya,

memperhatikan situasi masyarakat setempat, apabila perkara/kasus tersebut

di tangguhkan prosesnya, karena tugas pokok kepolisian sebagai pelindung,

pengayom dan pelayanan masyarakat selain penegakan hukum juga

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, berdasarkan

pertimbangan tersebut sehingga prosesnya di tangguhkan.

Lebih lanjut adanya paradigma baru dalam proses penegakan hukum

pidana yang disebut dengan pendekatan “Restorative Justice” atau

“Keadilan Restoratif”. Pendekatan ini dinilai menawarkan solusi lebih

efektif karena bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku,

keluarga dan masyarakat guna memperbaiki perbuatan/akibat perbuatan

melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai

landasan untuk memperbaiki tata kehidupan bermasyarakat.

Berbicara soal penegakan hukum adanya keharusan menjalankan

hukum sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri dan dapat memprioritaskan

ketiga tujuan hukum ini tanpa ada yang di kecualikan, sehingga tercipta

suatu keadaan yang aman. Hal ini berlaku juga bagi Kepolisan Republik

Indonesia sebagaimana yang di amanahkan dalam Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yakni dalam Pasal 13

tentang tugas dan wewenang Polri.

Pada dasarnya kehadiran dan tugas Polisi tak lepas dari

permasalahan dan tindak Pidana, Polisi dapat menjadi pengayom dan

pelindung masyarakat juga dapat memberikan rasa nyaman dalam

(8)

8

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hukum pidana tidak

mengenal adanya kompromi, namun pada kenyataannya ada beberapa

perkara pidana itu diselesaikan langsung oleh polisi tanpa melalui jaksa

maupun pengadilan. Perkara-perkara tersebut pada umumnya berupa jenis

tindak pidana ringan dan dikarenakan si korban mau menerima permohonan

maaf dari si pelaku dimana penyelesaiannya dengan cara berdamai. Dengan

adanya wewenang polisi yang sangat besar bisa mengarah ke perbuatan

kesewenang-wenangan atau diskriminasi. Oleh karena itu perlu landasan

moral dan etika serta pengawasan-pengawasan.

Terdapat berbagai kasus yang menggambarkan tindakan para aparat

penegak hukum tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya.

Tetapi penegak hukum dalam hal ini polisi masih ada yang bertindak bijak

dalam memutuskan perkara pidana, terutama tindak pidana penggelapan.

Maka dalam thesis ini penulis ingin membahas proses penyelesaian perkara

tindak pidana penggelapan yang memperlihatkan kewenangan polisi dalam

menyelesaikan perkara tidak hanya berdasarkan aturan hukum formal yang

berlaku, tapi juga menggunakan pendekatan keadilan restoratif,

sebagaimana pengaturan ketentuan-ketentuan hukumnya memberikan

keadilan lebih baik untuk pelaku maupun korban dan keluarga korban.

Berdasarkan latar belakang yang terurai sebelumnya, maka disusunlah thesis

ini dengan judul “Penyelesaian perkara tindak pidana Penggelapan

dengan pendekatan Restoratif Justice “ (Studi Penelitian di Polrestabes

(9)

9

B.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut :

Apa yang menjadi landasan hukum dalam Penyelesaian perkara tindak

pidana penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes

Semarang?

C.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis Penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dengan

pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes Semarang.

D.

Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka

penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis :

Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga dapat

mengembangkan pengetahuan dalam bidang hukum dan menjadi bahan

referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang tentu lebih

mendalam lagi, khususnya dalam proses Penyelesaian Perkara tindak

pidana penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice.

2. Manfaat Praktis :

(10)

10

a) Memberi manfaat bagi institusi untuk kepentingan penegakan

hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berfikir dan

cara bertindak dalam mengambil keputusan guna mewujudkan

tujuan hukum.

b) Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti dan

memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi

peristiwa penggelapan dalam kehidupan sehari-hari.

E.

Kerangka Pemikiran

Untuk memahami apa itu delik aduan, sebaiknya memahami

pengertian dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri, karena untuk

pengertian tentang delik aduan berpijak pada defenisi dan pendapat ahli

tentang itu, tetapi haruslah lebih dahulu kita arahkan titik pandang dan titik

perhatian kita pada satu pertanyaan yaitu apa itu delik ?

Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain

untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak

pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih

belum didapat satu sinonim dan/atau terjemahan kata yang terpola dan

diakui secara umum untuk peristilahan Strafbaar feit ini. Masing-masing

sarjana menyampaikan pengertian dan pernyataan yang berbeda pula.

Kesalahan adalah keadaan bathin (psikis) dari orang yang melakukan

perbuatan itu serta hubungan antara keadaan bathin itu dengan perbuatan

yang dilakukan sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya itu.

(11)

11

Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana merupakan soal yang lazim disebut

masalah kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan antara

keadaan bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah

kesengajaan, kealfaan, serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggung

jawab.

Dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

menegaskan:

Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Lamintang (dalam Tongat) mengemukakan penjelasannya mengenai

tindak pidana penggelapan yaitu:3

Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV KUHP lebih

tepat disebut sebagai tindak pidana penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kepercayaan”. Sebab, inti dan tindak pidana yang

diatur dalam BAB XXIV KUHP tersebut adalah “penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kepercayaan”. Karena dengan

penyebutan tersebut maka akan lebih memudahkan bagi setiap orang untuk mengetahui perbuatan apa yang sebenarnya dilarang dan diancam pidana dalam ketentuan tersebut.

Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab

XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.4

1) Penggelapan biasa

Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur

dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan

hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu

yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2) Penggelapan Ringan

3 Tongat, Hukum Pidana Materiil. UMM Press, Malang, 2006, h. 57.

4 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 29, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2011, h.

(12)

12

Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.

3) Penggelapan dengan Pemberatan

Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).

4) Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).

Dasar hukum yang dijadikan landasan atau pedoman dalam

penelitian ini adalah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van

Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Peraturan Kepala Kepolisian

RI No.: 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan

perkara Pidana di Lingkungan Kepolisisan Negara Republik Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Kepolisian berada

di tengah-tengah masyarakat, setiap detik, setiap jam, setiap hari. Selain

bertugas sebagai penegak hukum (law enforcement) dan pemelihara

ketertiban (order maintenance), Polisi juga bertugas sebagai pengayom,

pelindung dan pelayan masyarakat. Sebagai penegak hukum, tugas

Kepolisian senantiasa bersinggungan dengan kehidupan sosial

kemasyarakatan yang akan selalu memungkinkan terjadi benturan-benturan

yang berakibat memunculkan persepsi masyarakat yang kurang

menguntungkan bagi aparat kepolisian. Dalam pelaksanaan tugasnya kadang

kala polisi harus mengambil tindakan-tindakan yang merupakan

(13)

13

Namun demikian beberapa pihak memandang bahwa tindakan Kepolisian

yang dilakukan rentan untuk menimbulkan arogansi dan tindakan

kesewenang-wenangan dari aparat kepolisian itu sendiri, yang justru akan

memperburuk citra kepolisian. Oleh karena itu, diperlukan suatu

pertimbangan-pertimbangan dan langkah-langkah agar diskresi Kepolisian

dapat dijalankan dengan baik dan benar dimata hukum serta nantinya dapat

mencapai tujuan terpeliharanya keamananan dan ketertiban di tengah

masyarakat.

Roescoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam,

mengartikan diskresi kepolisian yaitu: an authority conferred by law to act

in certain condition or situation; in accordance with official’s or an official

agency’s own considered judgement and conscience. It is an idea of morals,

belonging to the twilight zone between law and morals. (diskresi kepolisian

adalah suatu tindakan pihak yang berwenang untuk bertindak pasti atas

dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya

sendiri).5 Jadi, diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil

keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah

pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya.

Dalam praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih

banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan Diskresi ini,

terutama dalam penanganan kasus pidana. Padahal, Pasal 18

Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi.

(14)

14

Selengkapnya Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik menyebutkan:

(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya

dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang

dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu

tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta

resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.

Pentingnya peranan penegak hukum dalam memberantas suatu

tindak pidana adalah berdasarkan konsep sistem peradilan pidana terpadu

(integrated criminal justice system. Oleh Frakfuther, Pound. Moley dan

Warner membentuk National Commision on Crime and Criminal Justice

yang bertujuan untuk menyusun suatu mekanisme administrasi peradilan

pidana yang mendukung tujuan pencegahan dan pemberantasan kejahatan.6

Konsep Restorative Justice pada dasarnya mengandung ukuran

keadilan yang tidak lagi mengacu pada teori pembalasan yang setimpal dari

korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun

perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan

dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk

6 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme,

(15)

15

bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila

diperlukan.

Mengapa diperlukan pendekatan restorative justice? Jawabannya

karena sistem peradilan pidana yang selama ini dianut hakikatnya lebih

mengedepankan keadilan retributive (pembalasan) dan restitutive (ganti

rugi), serta memberikan wewenang yang sangat besar kepada Negara

dan/atau mendelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan

Hakim) untuk menyelesaikan seluruh perkara pidana. Hal ini pada tataran

empirisnya ternyata dinilai kurang memuaskan. Sebab pelaku dan

korbannya tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan

yang mereka inginkan. Karena itu tidak mengherankan apabila suatu tindak

pidana yang seharusnya dapat diselesaikan melalui kesepakatan antara para

pihak, senantiasa harus di bawa ke pengadilan, sehingga menimbulkan

kejenuhan perkara di pengadilan.

Padahal melalui pendekatan Restorative Justice (Keadilan

Restoratif) suatu tindak pidana dapat diselesaikan secara adil dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait

dalam suatu tindak pidana, untuk secara bersama-sama mencari

penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula suatu kondisi

hubungan antar individu, kelompok, keluarga, dan kemasyarakatan, yang

tercederai oleh perbuatan pelaku pidana.

Di Indonesia pendekatan Restorative Justice sebenarnya sudah

(16)

16

keagamaan maupun hubungan kemasyarakatan lainnya dengan cara

mendamaikan pihak korban dan pelaku pidana, dengan atau tanpa

melibatkan institusi kepolisian ataupun kejaksaan.

Dari berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses

dialog antara pelaku dengan korban merupakan modal dasar dan bagian

terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan

korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya,

mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan

keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog

juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari

kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak

pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula

masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil

kesepakatan dan memantau pelaksanaannya.

Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media

komunikasi yang menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi.

Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui baik dalam model

penyelenggaraan restorative justice seperti :

1. Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dengan

korban) ialah suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara

pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan

fasilitator dalam pertemuan tersebut.

2. Conferencing adalah suatu forum yang sama dengan VOM, namun

(17)

17

hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi

juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau

kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun

alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin

terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak

pidana yang terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan

kepentingan akan hasil dari musyawarah serta mereka juga dapat

berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan

akhirnya.

3. Circles, ialah suatu model penerapan restorative justice yang

pelibatannya paling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya,

yaitu forum yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator

saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan

perkara tersebut.

Ketiga model pendekatan restoratif justice tersebut pada dasarnya

merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang

merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat. Dari nilai

dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari nilai dasar yang

ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat. Akan

tetapi penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi

(18)

18

F.

METODE PENELITIAN

Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan

konsisten.7 Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti

tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.8

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu:

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada

penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis

empiris/socio legal. Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum

dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian di lapangan untuk

melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan tindak pidana penggelapan di

Polrestabes Semarang.

Dengan demikian, diperoleh pemecahan yang tepat terhadap

masalah tersebut. Jadi penelitian yuridis empiris disebut juga studi

hukum terhadap norma/aturan (law in books) dan dalam aksi/tindakan

(Law in Action), dimana penelitian ini ingin mengkaji tentang

penyelesaian tindak pidana penggelapan dalam kewenangan polisi.

Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu

penelitian empiris, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mumuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 1.

(19)

19

hukum antara lain pendekatan undang-undang (statue approach),

pendekatan kasus (case approach), pendekatan filosofis .9 Dari

beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan

undang-undang (statue approach) yakni Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP), Peraturan Kepala Kepolisian RI No.: 12 Tahun 2009

tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan perkara Pidana di

Lingkungan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia, dan pendekatan

komparatif (comparative approach).

2. Metode Pendekatan

Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode

penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian

nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum dilingkungan

masyarakat, Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam

hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris

dapat di katakan sebagai penelitian sosiologis, yang diambil dari

fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan

pemerintah.10 3. Bahan Hukum

Untuk memperoleh data dalam penyusunan tesis ini

menggunakan sumber data sekunder. Data ini didapat dengan

melakukan penelitian bahan kepustakaan, dan didukung atau dilengkapi

dengan data-data yang diperoleh melalui wawancara. Studi kepustakaan

(20)

20

dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi pustaka sumber data,

identifikasi bahan hukum yang diperlukan dan inventarisasi bahan

hukum (data) yang diperlukan tersebut.

Data sekunder dibagi atas beberapa bahan hukum, yaitu :

1) Bahan Hukum Primer, berupa Undang-undang, meliputi :

a) Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian.

d) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen

Penyidikan Tindak Pidana.

e) Data Penanganan perkara di Polrestabes semarang (Iptu Slamet

Widodo, Penyidik pada Unit II Sat Reskrim Polrestabes

Semarang).

2) Bahan Hukum Sekunder.

Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta

memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian

dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian, berupa

buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti. Seperti Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS

tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui

Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala

(21)

21

Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian

Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

3) Bahan Hukum Tersier yaitu kamus hukum, dan kamus Bahasa

Indonesia.

Sumber data lain, selain data sekunder, penulis juga

menggunakan data primer, yaitu wawancara dengan Pejabat yang

berkompeten.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah dengan cara : Studi Kepustakaan.

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder.

Dalam studi kepustakaan ini dilakukan terhadap bahan-bahan hukum

primer dan sekunder. Dalam hal ini peneliti memperoleh data

kepustakaan dari buku-buku atau literatur lainnya.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu

penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan

diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu

kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian.

Bahan-bahan hukum yang telah terkumpul selanjutnya

dianalisis guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah

Referensi

Dokumen terkait

Matematika siswa kelas VII MTs Darul Falah Bendiljati Kulon Sumbergempol Tulungagung Nilai Cohen’s = 1,21 62,2% Berarti termasuk kriteria tinggi Besar pengaruh model

Undang-undang berlaku bagi orang yang ada, baik di dalam suatu wilayah negara maupun di luar negaranya (asas personalitas, misalnya dalam Pasal 5 KUHP apabila di negara

HUKUM YANG OBJEKNYA KEPENTINGAN UMUM, ATAU DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI ATURAN HUKUM YANG MENGATUR HUBUNGAN ANTARA NEGARA DENGAN PERSEORANGAN ATAU. HUBUNGAN ANTARA NEGRA DENGAN

[r]

Latar belakang Sirup maltosa merupakan bahan baku utama dalam produksi.. makanan dan

Apabila pada saat pembuktian kualifikasi ditemukan pemalsuan data maka perusahaan tersebut akan diberi sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan jika

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

In conclusion, there is significant correlation between students’ mastery in collocation and their achievement in reading comprehending at the second semester students of