6 BAB II
KAJIAN TEORITIS 2.1. Perkembangan Media Massa
Perkembangan teknologi yang tidak terelakkan menyebabkan media massa mengalami evolusi. Digitalisasi membuat media massa harus beradaptasi dengan karakteristik dan sifat internet yang serba cepat dan tak terbatas. Ketika media mulai diasosiasikan dengan Internet, muncullah istilah New Media atau media baru.
McQuail (149) menggambarkan media baru sebagai alat teknologi komunikasi dengan karakteristik yang sama, kecuali digitalisasi dan penggunaan pribadi yang lebih luas sebagai alat komunikasi. Media baru dalam pengertian ini tidak sepenuhnya mengacu pada jurnalisme online, tetapi definisi yang lebih luas mencakup semua proses komunikasi yang difasilitasi oleh teknologi internet.
McQuail (157) menjabarkan beberapa karakter pembeda antara media baru dan media lama (tanpa Internet/tradisional) dari sisi pengguna media:
1. Interaktivitas, aktivitas di media baru dari perspektif pengguna lebih banyak menghadirkan interaksi antara pengirim informasi dan penerima pesan.
2. Social Presence atau Sociability (kehadiran sosial), kontak pribadi dengan orang lain menjadi lebih mudah.
3. Media richness, media baru dapat menyentuh sesuatu yang sebelumnya tidak ada di media konvensional. Memberikan lebih banyak referensi yang berbeda dan juga melibatkan lebih banyak indra (audiovisual).
4. Autonomy, pembaca memiliki kontrol penuh dan kebebasan memilih konten yang diinginkan.
5. Playfulness, penggunaan media baru untuk mencari hiburan.
6. Privasi, yang lebih dipersonalisasi dengan memberi pengguna batasan privasi yang diperlukan.
7. Personalization, konten beragam, unik serta personal, dan juga lebih banyak pilihan.
Media baru menghadirkan cara lain dalam menggunakan media, khususnya dalam bidang pemberitaan. Jurnalisme online awalnya muncul pada awal tahun 1998, ketika Mark Drugle mengungkap skandal antara Presiden AS
Bill Clinton dan Monica Lewinsky.
Skandal tersebut terkenal dengan sebutan monicagate. Selanjutnya Drugle menyiarkan berita mengenai Monicagate lewat Internet. Pada saat yang sama, di Indonesia, jurnalisme online muncul pada saat runtuhnya pemerintahan Suharto pada tahun 1998 (Bahri, 2019: 27).
Jurnalisme online adalah bentuk berita baru di mana proses transmisi informasi dikomunikasikan melalui Internet. Berita online (online/internet) merupakan salah satu jenis berita, selama tersedia internet maka informasinya dapat diakses setiap saat. James C. Fuost, di Bahri (2019: 28) Mendeskripsikan ciri-ciri berita online, antara lain:
1. Kontrol Audiens
Jurnalistik online "dikuasai" oleh pembaca. Pembaca dapat memilih berita yang diinginkan, berpindah dari satu portal berita ke portal berita lainnya.
Wartawan harus memilih posisi kata dengan bijak agar headline tetap bisa menarik pembaca. Meski begitu, kebebasan memilih dalam jurnalistik online ini bukanlah kebebasan memilih yang mutlak, melainkan sebuah ilusi pilihan.
Sebelumnya editor, reporter dan semua yang berada di belakang proses produksi dan penyebaran berita memilih pilihan ini.
2. Non-linearitas
Jurnalistik online memungkinkan pembacanya membaca berita secara acak. Berita yang disajikan dapat dikatakan independen, sehingga pembaca dapat membaca berita secara tidak berkesinambungan.
3. Storage and retrieval
Berita dalam berita online dapat disimpan dan diarsipkan atau direkam dengan rapi agar dapat diakses kembali oleh pembaca.
4. Ruang tak terbatas
Dapat dikatakan bahwa Jurnalistik online tidak dibatasi oleh jumlah berita dan informasi yang disiarkan, atau dapat dikatakan tidak dibatasi oleh jumlah huruf ataupun kalimat, yang tergantung pada kebijakan dari masing-masing perusahaan
8 induk media.
5. Immediacy
Berita online dapat secara instan dan cepat menyampaikan informasi ke khalayak 6. Multimedia Capability
Berita yang ditampilkan dalam Jurnalistik online dapat disajikan dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga dalam bentuk audio dan visual.
7. Interaktivitas
Pembaca dapat berpartisipasi dalam Jurnalistik online dengan lebih mudah.
Pembaca bisa langsung berkomentar di kolom komentar atau berbagi berita melalui media sosial.
Jurnalisme online membuat berita lebih mudah, lebih cepat, beragam, serta lebih efisien. Menurut waktu kejadiannya, berita dalam jurnalisme online umumnya bersifat real-time. Dengan memberikan informasi terkini kepada khalayak, tindak lanjut media dapat dilakukan secara efektif. Hal ini tidak terlepas dari permasalahan yang mungkin timbul akibat karakter berita yang “terburu-buru”. Berita yang dihadirkan dalam berita online rentan terhadap penyimpangan dan kerancuan informasi, yang dapat memunculkan masalah akibat pembingkaian berita yang kurang tepat.
Kemudahan dalam mengakses Internet serta behaviour konsumen audiens di Internet telah menyebabkan media menyebarkan informasi melalui Internet satu demi satu. Seperti halnya situs berita online (website) Liputan6.com, pada awalnya adalah program berita yang disiarkan di bawah perlindungan SCTV yang merupakan media siaran televisi tradisional berbasis elektronik. Media cetak juga berbondong-bondong ke format online. Contohnya surat kabar Tempo yang memiliki situs online Tempo.co, situs online surat kabar Kompas bernama Kompas.com, dan surat kabar dan majalah Republika yang memiliki situs web bernama ROL. (Republika Online) dan situs dan alamat Republika.co.id di situs lain. Namun ada juga media yang muncul dalam bentuk media online sejak awal berdirinya, misalnya Detik.com yang didirikan pada tahun 1998, telah bergabung menjadi perusahaan payung besar Transmedia milik CT Corp sejak Agustus 2011.
Asep dan Romli (2012:32) membagi situs online (website) menjadi lima jenis ditinjau dari pemilik atau penerbitnya:
1. Situs web organisasi penyiaran
Ini adalah situs dari perusahaan pers atau organisasi penyiaran (misalnya surat kabar, kantor berita, televisi, dan radio) yang beroperasi online
2. Situs web organisasi komersial
Situs web organisasi atau perusahaan komersial, seperti produsen, pengecer, organisasi jasa keuangan, dan juga mencakup bisnis online.
3. Situs web pemerintah
Website informasi instansi pemerintah yang juga diawasi langsung oleh pemerintah, seperti website resmi milik Badan Lingkungan Hidup, Basarnas, dll.
4. Situs web Kepentingan
Situs informasi tentang lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, ataupun partai politik.
5. Situs web pribadi
Sering disebut sebagai blog pribadi yang dioperasikan dan dipunyai oleh individu atau orang pribadi.
Internet memberi setiap orang akses hampir tak terbatas ke berita, selama mereka terhubung ke Internet (online). Jurnalisme online atau disebut juga cyber journalism merupakan generasi baru perkembangan dunia pemberitaan. Jurnalistik online sering disebut-sebut dan diklasifikasikan sebagai jurnalistik gaya baru.
Dalam Asep dan Romli (2012), Paul Brashaw (2009) menyebutkan “Basic Principles of Online News” bahwa ada sejumlah prinsip utama berita online, disingkat B-A-S-I-C. Kelima poin tersebut adalah:
1. Keringkasan (Breavity)
Berita online seharusnya bersifat ringkas dan beradaptasi dengan aktivitas kehidupan manusia yang tinggi. Netizen pngguna internet cenderung mudah bosan dan berganti halaman dengan sangat cepat.
2. Kemampuan beradaptasi (Adaptability)
10 Jurnalis harus mampu beradaptasi dengan referensi dan apa yang dibutuhkan
khalayak.
3. Dapat dipindai (Scannability)
Pembaca tidak perlu merasa terpaksa membaca informasi atau berita, dan informasi yang disajikan lebih mudah dicerna dalam waktu singkat.
4. Interaktivitas (Interactivity)
Interaksi antara pembaca atau pemirsa dengan wartawan (media) menjadi lebih interaktif dan dialektis, serta pemirsa bisa lebih mudah memberi feedback ke media.
5. Komunitas dan dialog (Community and Concersation)
Media online lebih berperan sebagai jejaring komunitas dibandingkan media cetak atau media tradisional lainnya karena sifatnya yang luas dan tidak terbatas.
Jurnalisme online memungkinkan pembaca untuk berpartisipasi dalam proses jurnalistik. Dengan kata lain, kebenaran, objektivitas, serta ketidakberpihakan fakta tidak lagi sebatas di tangan wartawan, tetapi dapat dikomunikasikan antara wartawan dan khalayak. Ketika berita disinyalir tidak berimbang atau melanggar peraturan yang diatur dalam “Kode Etik Jurnalistik”, publik dapat dengan bebas atau bahkan langsung mengkritiknya.
2.2. Fungsi Media Massa
Menurut penjelasan Dennis McQuail (1987) dalam (Nurudin, 2014:34), fungsi dan peran media massa dalam aktivitas publik dewasa ini adalah:
1. Media adalah sebuah industri. Dengan kemajuan teknologi media dan penciptaan lapangan kerja, jasa dan barang, di sisi lain, industri media tunduk pada pengawasan masyarakat.
2. Media massa adalah alat kontrol dan inovasi manajemen publik, yang dapat digunakan untuk menggantikan kekuasaan atau sumber daya lainnya.
3. Media adalah forum yang memberikan informasi tentang peristiwa kehidupan domestik dan internasional.
4. Media massa memiliki fungsi sebagai alat pengembangan budaya.
Melalui media, masyarakat dapat meningkatkan pemahaman tentang budaya lama atau mendapatkan pengetahuan tentang budaya modern. Misalnya, gaya hidup dan tren modern bisa didapat dari media.
5. Media bekerja sama dengan program berita dan hiburan untuk menyajikan nilai dan penilaian normatif. Media telah menjadi sumber utama individu dan kelompok masyarakat.
2.3. Realitas Media
Dalam mengkonstruksi realitas, media massa memiliki keleluasaan penuh.
Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menggunakan kebijakan dan standar otoritatif dari setiap editor di media. Kebijakan editor sendiri mungkin dipengaruhi oleh idealisme, ideologi, kepentingan politik dan ekonomi. Namun perlu diperhatikan kepastian bahwa dalam setiap konstruksi realitas, ada realitas yang ditonjolkan, disamarkan, atau bahkan tidak diajukan sama sekali. Ada teori yang bisa menjawab fenomena ini, yakni teori persamaan media atau media equation theory, yang ingin menjawab bagaimana publik secara tidak sadar bereaksi terhadap konten yang secara otomatis disebarluaskan oleh media.
Media yang lebih ideologis lebih banyak menampilkan konstruksi realistis yang membela beberapa kelompok dan menentang kelompok yang berbeda. Dalam sistem liberal, kecenderungan ini mengarah pada peristiwa-peristiwa dalam bentuk media yang partisipan dan media yang non partisipan. Faktor kepentingan media telah melahirkan fenomena konglomerasi media, memberikan investor kemampuan untuk membentuk konstruksi realitas yang ada. Model ini terutama karena investor merasa dirugikan oleh mereka. (Hamad, 2004: 26).
Sebuah berita layak untuk diberitakan apabila mengandung nilai berita. Ini merupakan ketentuan yang tertulis dalam kode etik jurnalistik, yaitu berita harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a. Gunakan bahasa yang akurat, teliti dan tepat.
b. Lengkap, adil dan berimbang.
c. Berita harus objektif dan tidak boleh mencampuradukkan fakta dengan pandangan wartawan.
d. Berita yang ringkas, detail dan terpercaya.
12 2.4. Framing Media
Pembingkaian atau framing senantiasa dilakukan media saat menyajikan dan menyampaikan informasi kepada publik. Agar mudah dipahami oleh publik, informasi tersebut dibingkai atau dikonstruksikan oleh media sedemikian rupa.
Eriyanto (2015: 3) mendeskripsikan analisis bingkai sebagai analisis untuk mengenali dan memahami media dalam membingkai realita. Kerangka tersebut dilakukan melalui proses konstruksi di mana realitas sosial dijelaskan dengan arti tertentu yag mana media meyakini hal tersebut. Pan & Kosicki mendefinisikan framming dalam Eliya (2019: 29) sebagai proses menjelaskan secara kognitif dan mengartikulasikan realitas. Dengan kata lain, framming adalah proses pengungkapan makna melalui keyakinan, dan pengalaman wartawan ketika mendefinisikan fakta. Apa yang terlihat dan terpampang di media merupakan hasil interpretasi wartawan atas sebuah fenomena. Eliya (2019: 30) mengemukakan bahwasanya media massa adalah alat untuk berdiskusi secara terbuka tentang isu- isu yang melibatkan wartawan, sumber berita, dan public.
Analisis framming memfokuskan pada bagaimana media mengemas, menyusun, serta membingkai berita. Lewat framing, suatu isu yang disajikan dalam media dipahami dalam beberapa bentuk (Eriyanto, 2015: 3). Bagaimana media memaknai dan memahami realitas, dan bagaimana menyajikan realitas kepada khalayak.
Media dianggap memiliki caranya sendiri dalam mengkonstruksi suatu isu yang bisa berbeda dari satu media dengan media lain. Perbedaan konsep, ideologi, minat, dan referensi orang-orang di balik layar juga berpengaruh terhadpa cara peristiwa dikonstruksi. Dalam analisis framming, fokusnya bukan pada apakah media melaporkan secara positif atau negatif, tetapi bagaimana media mengembangkan kerangka tersebut (Eriyanto, 2017: 7).
Metode analisis framming berbeda dengan metode analisis isi. Dalam analisis isi, perhatian utama ialah isi pesan atau teks. Sebaliknya, dalam analisis framming, fokusnya adalah pada pembentukan teks dari teks, dan bagaimana wartawan mengkonstruksi isu serta menyajikannya kepada audiens.
Analisis framming ini diturunkan dari konsep paradigma konstruktivis, yang dapat dipaparkan sebagai berikut (Eriyanto, 2015: 22):
1. Peristiwa serta fakta dalam paradigma konstruktivis merupakan hasil konstruksi realitas yang sifatnya subjektif serta bergantung pada perspektif wartawan.
Konstruktivis berasumsi bahwa kebenaran fakta adalah relatif dan tidak berlaku untuk semua konteks.
2. Media merupakan agen konstruksi informasi, berbeda dengan pemikiran positivis yang meyakini media merupakan saluran yang netral dan apa adanya 3. Berita bukanlah cerminan dari kenyataan, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial seperti konsep, kepentingan, dan nilai dari para wartawan serta ideologi yang dianut media.
4. Dari perspektif konstruktivis, berita sifatnya subjektif, karena seorang reporter tidak dapat mengabaikan pendapatnya ketika melaporkan suatu isu, karena dia memandangnya dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Bagi positivis, berita harusnya objektif, dan analisa untuk mengetahui apakah terdapat prasangka, favoritisme, atau ketidaksetaraan. Praktik berita yang tidak berimbang—sumber yang tidak setara, jumlah laporan berita yang berbeda, dll. adalah salah dari perspektif positivisme, sedangkan dalam pandangan konstruktivis, itu dianggap sebagai praktek jurnalistik. Untuk memahami mengapa praktik jurnalisme seperti ini, peneliti mengkaji bagaimana suatu peristiwa disusun, bukan dengan menelaah sumber bias.
5. Wartawan dipandang sebagai partisipan yang menghubungkan subjektivitas aktor sosial. Wartawan berpartisipasi dalam menjelaskan dan mendefinisikan isu.
Realitas terbentuk melalui pemahaman dan makna subjektif reporter. Wartawan lebih dari sekadar pengamat dalam perspektif positivisme.
6. Nilai, etika, opini, dan pilihan moral tidak dapat dipisahkan dari wartawan yang melaporkan peristiwa tersebut. Dalam cara pandang positivis, reporter harus objektif serta membedakan pandangan dari fakta. sebaliknya, menurut kaum konstruktivis, jurnalis harus mempunyai pendapat serta pemahaman tersendiri saat meliput pemberitaan.
7. Etika, nilai, serta pilihan moral merupakan bagian integral dari penelitian.
8. Khalayak memiliki interpretasi tersendiri terhadap sebuah berita. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, wartawan mempunyai pemikiran dan pemahaman mereka sendiri ketika melaporkan peristiwa. Jadi, hal yang sama juga terjadi pada pembaca yang megkonsumsi berita. mereka bukan subjek yang pasif, ia dapat memaknai berita yang disajikan dengan cara yang berbeda sesuai dengan pengalaman, pemahaman, serta ideologi yang mereka yakini.
Eriyanto, (2015: 47) menjelaskan bahwa pendekatan konstruktivis memiliki
14 dua karakteristik. Pertama, pendekatan konstruktivis menekankan pada politik
makna dan proses bagaimana orang menciptakan gambaran realitas. Makna tidak dianggap mutlak, nyata, objektif, serta statis. Ketika seseorang menginterpretasikan informasi, makna adalah proses yang positif. Kedua, pendekatan konstruktivis memperlakukan aktivitas komunikasi sebagai aktivitas dinamis. Komunikator dapat menggunakan gambaran tertentu, pilihan nada dan cara-cara lain untuk menyampaikan informasi kepada komunikator, dan memberi makna tersendiri pada peristiwa yang disampaikannya.
Framming secara singkat mencoba mengenali bagaimana media membingkai suatu isu. Kerangka semacam ini dapat dilakukan dengan memilih pertanyaan serta cara menulis berita hingga cara menyajikan berita
.
Eriyanto (2015:81) menjabarkan bahwa framing memiliki dua aspek utama.
Pertama, pemilihan fakta. Proses ini dilandasi pada asumsi bahwasanya wartawan mustahil melihat suatu isu tanpa perspektif tertentu. Dalam proses ini, ada dua kemungkinan, apa yang dipilih dan apa yang dibuang. Peristiwa dilihat dari aspek tertentu. Kedua, menuliskan fakta-fakta yang berkaitan dengan cara menyajikan fakta-fakta yang dipilih kepada publik. Kata-kata, gambar, dan proporsi apa yang digunakan untuk menyajikan fakta.
Teori Framing Robert N. Entman
Secara universal teori framming mempunyai empat model utama, yaitu Murray Edelman, Robert N. Entman, William A. Gamson, dan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Keempat model ini mempunyai kesamaan dalam mengulas bagaimana media membentuk konstruksi makna atas realitas. Yang membedakan keempatnya ialah pada metode serta cara menganalisisnya.
Jisuk Woo (1996) menjelaskan tiga elemen utama framing dalam Eriyanto (2015: 327). Yang pertama adalah tingkat struktur makro. Struktur makro dianggap sebagai kerangka tataran wacana—teks dan konteks yang disajikan oleh media.
Bagaimana media memahami fenomena tersebut? Bagaimana media memahami protes dari 212 pengunjuk rasa? Apakah harus diartikan sebagai aksi menuntut keadilan ataupun tindakan destruktif yang menganggu ketertiban umum?
Tingkatan selanjutnya yang disebutkan Jisuk ialah struktur mikro. Hal ini dapat dilihat dari cara media menampilkan atau menghilangkan sisi atau bagian tertemtu. Sisi apa yang ditonjolkan, dan sisi mana yang sebenarnya dilupakan.
Sumber, fakta, dan pilihan sudut pandang adalah bagian dari hierarki struktur mikro ini. Tingkat ketiga yaitu tingkat retoris, tingkatan ini berfokus pada bagaimana menekankan fakta dan bagaimana menekankan fakta. Hal ini dapat ditekankan dengan memilih grafik ataupun foto, kalimat ataupun diksi dalam berita.
Perbedaan dari keempat model framming di atas terletak pada rincian analisis yang diajukan. Dalam model Edelman dan Entman, tidak terdapat unsur retorika untuk menganalisis secara rinci bagaimana kata, kalimat, dan gambar untuk memahami pembingkaian. Walau begitu, skema/perangkat framming keduanya tetap memungkinkan dilakukannya analisis unsur retorika, meski tidak serinci model Gamson serta Kosicki.
Model Gamson banyak menekankan makna dalam bentuk simbolik, yang secara tidak langsung dapat menarik atensi khalayak. Model Kosicki telah banyak diterapkan pada metode linguistik, seperti penggunaan kata, bentuk kalimat, dan pilihan struktur yang mengarahkan bagaimana media mengonstruksi suatu peristiwa.
Menurut Robert N. Entman, konsep framing digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek realitas tertentu oleh media.
(Eriyanto, 2015: 220). Kerangka tersebut memperlakukan proses seleksi dan penyorotan selaku proses konstruksi yang dilakukan oleh media. Bagaimana berita itu disajikan dan bagian mana yang dianggap penting agar media bisa menyorotinya.
Eriyanto (2015: 222) mengemukakan bahwa menurut Entman, framework memiliki dua dimensi utama:
1. Penyeleksian isu, berkaitan dengan pilihan fakta. Aspek mana yang harus dipilih untuk ditampilkan? Reporter memilah aspek-aspek tertentu dari masalah. Mana yang termasuk dalam berita (included), dan mana yang tidak termasuk dalam berita (excluded).
16 2. Aspek yang menonjol berkaitan dengan penulisan fakta. Hal ini terkait dengan
penggunaan kalimat, foto serta gambar yang disajikan ke pembaca
Entman (Eriyanto, 2015: 222) lebih lanjut mengelaborasi konsep framing dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir dari kejadian yang sedang dibahas, meliputi: Mendefinisikan Masalah, interpretasi masalah atau diagnosis (Diagnose Causes), penilaian atau Membuat keputusan etis (Make moral judgement ) serta saran atau solusi yang ditawarkan ketika menghadapi masalah (Treatment recommendation).
1. Define problems atau pendefinisian masalah
Merupakan komponen pertama yang dapat dilihat sebagai framing/pembingkaian dan adalah bingkai utama. Berisi tentang bagaimana jurnalis memahami dan mendefinisikan suatu masalah. Bagaimana peristiwa dilihat dan sebagai masalah apa?
2. Diagnose causes atau diagnosis penyebab masalah
Elemen yang digunakan untuk menentukan penyebab dan penyebab masalah.
Elemen ini lebih fokus pada siapa yang diyakini media berada di pihak pelaku dan siapa yang menjadi korban. Apa alasan dari kejadian ini? Siapa pelakunya atau penyebab masalahnya?
3. Make moral judgement ataupun membuat keputusan moral
Digunakan untuk memberikan argumen, alasan, atau pembenaran untuk definisi masalah yang menunjang gagasan. Nilai moral seperti apa yang dipakai dalam menerangkan permasalahan?
4. Treatment recommendation ataupun penekanan penyelesaian
Digunakan untuk mengevaluasi apa yang diinginkan wartawan, mana yang dianggap sebagai kebenaran, dan solusi atau metode pemecahan masalah yang diperoleh dari kejadian yang dilaporkan. Elemen ini tergantung pada bagaimana insiden itu dilihat serta siapa yang dianggap sebagai pemicu permasalahan. Solusi apa yang diberikan untuk menyelsaikan masalah tersebut?
PENELITIAN TERDAHULU
Sebagai pendukung, referensi, dan pembanding, peneliti menggunakan penelitian terdahulu yang berasal dari jurnal dan skripsi yang berhubungan dengan penelitian ini. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Roisatul Amanah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan konstruksi pemberitaan mengenai isu Jokowi 3 periode oleh media online Tempo.co dan CNN Indonesia.
Peneliti menemukan bahwa tempo dalam pemberitaannya secara terang-terangan menolak masa jabatan Jokowi 3 periode. Sedangkan CNN Indonesia menunjukkan keberpihakannya pada Jokowi. Persamaannya dengan penelitian ini yaitu sama- sama menghadirkan dua media untuk membandingkan framing yang digunakan oleh kedua media. Sedangkan perbedaannya dengan penelitian ini yaitu terletak pada focus isu pemberitaan, penelitian yang dilakukakan Roisatul Amanah berfokus pada wacana penambahan masa jabatan Jokowi, sementara penelitian ini berfokus meneliti pemberitaan mengenai demonstrasi menolak Jokowi tiga periode.