1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pembelajaran IPA merupakan sebuah pembelajaran yang menekankan pada konsep pembelajaran mengenai fenomena-fenomena nyata alam sekitar agar peserta didik dapat mengembangkan kompetensi dan mendapatkan pengalaman secara langsung (Safitri, Subiki, & Wahyuni, 2018: 22). IPA memiliki tujuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), membantu manusia dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta mendorong manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan (Wijaya & Fajar, 2020: 9). Keberhasilan dari tujuan tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah sebagai pembuat kebijakan, pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan, serta masyarakat yang mendukung sumber daya yang dibutuhkan oleh sekolah (Asmuri, Sarwanto, & Masykuri, 2018: 73). Sehingga tujuan pembelajaran IPA menjadi dasar untuk menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki mutu dan kualitas tinggi (Hayati, Rosana, & Sukardiyono, 2019: 249).
Hasil survei yang dilakukan oleh PISA (Program for International Student Assessment) pada tahun 2018, Indonesia berada di peringkat sepuluh terbawah untuk kategori sains. Pada kategori sains Indonesia meraih rata-rata skor 396 dan menduduki peringkat 63 dari 71 negara yang disurvei (OECD, 2018).
Hasil survei tersebut mengandung makna bahwa kualitas pendidikan di negara Indonesia, khususnya dalam bidang sains memerlukan perhatian khusus dan pengkajian lebih lanjut untuk menemukan solusi agar kualitas pendidikan di Indonesia semakin berkembang. Optimalisasi penerapan kurikulum 2013 dalam pembelajaran IPA menjadi salah satu upaya dalam memperbaiki kualitas pembelajaran IPA di Indonesia.
Hakikat dari IPA merupakan sebuah proses penemuan konsep dari suatu fenomena yang dilakukan secara sistematis. Kaitannya dengan hal tersebut, Rahim (2019: 26) mengatakan bahwa dengan mempelajari sains, peserta didik dapat memahami diri dan lingkungan tempat tinggalnya serta aplikasi dari sains itu commit to user
sendiri dalam kehidupan. Pendapat tersebut mengandung makna bahwa pembelajaran IPA sebagai ilmu pengetahuan sangat erat kaitannya dengan lingkungan sekitar termasuk kehidupan bermasyarakat serta kaitannya dengan penerapan keilmuan tersebut menjadi teknologi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih belum ada kolaborasi antara unsur-unsur yang saling berkaitan tersebut.
Empat unsur penting yakni proses, produk, sikap serta aplikasi dari keilmuan itu sendiri dalam kehidupan menjadi hakikat dalam keilmuan IPA.
Kenyataannya pembelajaran masih terfokus pada IPA sebagai produk yang meliputi fakta, konsep, prinsip maupun hukum. Pembelajaran belum menghubungankan dengan permasalahan lingkungan, teknologi serta masyarakat.
Hal tersebut menjadi penyebab pembelajaran kurang bermakna dan membuat kelas menjadi pasif (Sari, et al., 2016). Keadaan tersebut menunjukkan jika pemahaman IPA sebagai proses, sikap, serta aplikasi dalam kehidupan sehari-hari belum dikembangkan secara maksimal. Sehubungan dengan hal tersebut, guru perlu memilih pendekatan serta metode pembelajaran yang bukan hanya bertumpu pada penguasaan materi namun juga mengacu pada proses yang terjadi di dalamnya.
Kurikulum 2013 menuntut peserta didik untuk turut serta secara aktif saat pembelajaran berlangsung (Astuti, Haryanto, & Prihatni, 2018: 8). Dalam hal ini guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan tak hanya menjadi satu-satunya sumber belajar bagi peserta didik (Hayati, et al., 2019: 249).
Guru bertanggung jawab untuk memotivasi peserta didik lebih agar mau mencari tahu konsep pengetahuan secara mandiri. Pengetahuan tersebut bisa didapatkan dari fenomena alam sekitar atau berbagai media yang dapat digunakan sebagai sumber belajar. Pengalaman secara nyata dari alam sekitar dapat membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan membuat peserta didik lebih cepat memahami konsep materi (Ardiansyah, Wahyuni, & Handayani, 2015: 75). Hal ini tentunya juga didukung oleh sarana pendukung pembelajaran salah satunya yaitu bahan ajar. commit to user
Bahan ajar yaitu sekumpulan materi pembelajaran yang disusun dengan rinci sehingga dapat dipahami dan dapat memenuhi kebutuhan belajar peserta didik (Rochmawati, Wahyuni, & Bachtiar, 2017). Hasil wawancara kepada guru IPA SMP Negeri 1 Banyudono menunjukkan bahwa bahan ajar yang menjadi acuan yaitu BSE (Buku Sekolah Elektronik) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Lembar Kerja Peserta Didik, serta buku pendamping dari penerbit.
Desain dari bahan ajar tersebut umumnya masih belum mencerminkan pemahaman IPA sebagai proses, produk, sikap, serta aplikasi. Setiap bahan ajar belum sepenuhnya menunjukkan keterkaitan antara ilmu pengetahuan (sains) dengan lingkungannya serta masyarakat dan juga penerapannya dalam kehidupan.
Hasil observasi lapangan di SMP Negeri 1 Banyudono saat pelaksanaan magang kependidikan menunjukkan jika isi dari masing-masing bahan ajar belum mencakup seluruh komponen IPA. Misalnya BSE dari Kemendikbud yang dirancang untuk membantu peserta didik berpikir aktif menemukan suatu konsep melalui berbagai kegiatan eksperimen yang tersedia. Akan tetapi, materi yang tersedia di dalamnya tidak dibahas secara mendalam. Sehingga peserta didik sulit untuk menggunakan BSE untuk dipelajari secara mandiri. Sedangkan buku pendamping lebih menekankan pada teori serta konsep dan tidak banyak menyinggung IPA dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan tersebut sejalan dengan pendapat Sari, Wahyuni, & Supriadi (2016) yang mengungkapkan jika bahan ajar di lapangan masih banyak membahas tentang konsep yang bersifat teoritis yang berisi rangkuman materi dan latihan soal-soal, masih jarang membahas tentang peran sains dalam kehidupan sehari-hari.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut yaitu membuat sebuah inovasi baru untuk bahan ajar bagi peserta didik. Salah satu upaya tersebut yaitu mengembangkan sebuah bahan ajar yang dapat digunakan peserta didik dalam belajar mandiri. Bahan ajar yang dimaksud berupa modul. Modul sendiri merupakan bahan ajar yang didesain dengan tujuan, urutan kegiatan pembelajaran, serta evaluasi yang dapat digunakan secara mandiri oleh peserta didik dan dapat meningkatkan keterampilan serta pengetahuan (Hayati, et al., 2019: 249). Seperti commit to user
yang diungkapkan oleh Rochmawati, et al. (2017) jika penyajian materi dalam modul dianggap lebih efektif dan menarik, karena membantu meningkatkan motivasi belajar serta membantu peserta didik menguasai konsep lebih cepat.
Desain modul yang dikembangkan harus sesuai dengan hakikat keilmuan IPA yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar dan aplikasi dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai yaitu pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, dan Society) atau bisa disebut dengan pendekatan salingtemas (sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat).
Pendekatan SETS adalah pendekatan yang beorientasi pada peserta didik dimana pendekatan ini menghubungkan antara pembelajaran dengan peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar. Pendekatan SETS mengandung empat konsep seperti yang dijelaskan oleh Rahim (2019: 27) dalam studinya yang menyatakan bahwa pengertian dari pendekatan SETS itu sendiri merupakan sebuah pembelajaran yang menggabungkan empat unsur penting, yaitu sains (Science), lingkungan (Environment), teknologi (Technology), dan masyarakat (Society) dalam membelajarkan peserta didik serta menanamkan konsep tentang energi terbarukan.
Pendekatan SETS merupakan pendekatan pembelajaran yang cocok untuk diterapkan agar para pembelajar tidak hanya menguasai konsep materi, namun juga berorientasi kepada proses dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Harahap, Indriyanti, dan Mariyanti (2017: 96) yang mengungkapkan bahwa pendekatan SETS dapat meningkatkan pemahaman serta kemampuan peserta didik dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah didapat guna menghadapi permasalahan yang ditemukan sehari-hari.
Sebuah pendekatan akan berhasil diterapkan dalam pembelajaran apabila disampaikan dengan cara atau metode yang tepat dan sesuai. Beberapa metode pembelajaran dapat diterapkan dalam pendekatan SETS, salah satunya yaitu metode eksperimen. Rahim (2019: 27) berpendapat jika pendekatan SETS dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan di dalam kelas serta membentuk interaksi sosial, sehingga guru mengembangkan metode pada pendekatan SETS dengan metode eksperimen melalui kegiatan praktikum. Hal ini sesuai dengan commit to user
pendapat Yulianti (2015: 36) yang mengatakan jika salah satu metode pembelajaran IPA yang mampu merangsang keterampilan proses dari peserta didik antara lain, metode eksperimen, demonstrasi, dan juga diskusi.
Metode eksperimen dapat memberikan pengalaman secara langsung kepada peserta didik dalam hal penemuan konsep pembelajaran. Menurut Suliman, Sarwanto dan Suparmi (2017), metode eksperimen merupakan metode pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara langsung dalam pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan pengalaman belajar secara langsung dengan membuktikan sendiri melalui proses ilmiah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari, et al. (2016) yang menyatakan bahwa modul pembelajaran IPA berbasis Salingtemas di SMP yang dikembangkan dinyatakan valid. Hasil belajar peserta didik setelah menggunakan modul tersebut pun tergolong tinggi.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka telah dilakukan penelitian berjudul: “Pengembangan Modul SETS (Science, Environment, Technology, and Society) pada Materi Cahaya dan Alat Optik Kelas VIII SMP/MTs”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas timbul masalah, antara lain:
1. Keefektifan bahan ajar menjadi salah satu komponen keberhasilan dari sebuah pembelajaran. Masalah yang dihadapi yaitu bahan ajar yang telah ada belum efektif apabila dipelajari secara mandiri oleh peserta didik.
Sehingga diperlukan bahan ajar yang lebih bervariasi.
2. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa desain bahan ajar yang ada belum sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Belum ada keterkaitan antara konsep serta teori keilmuan IPA dengan lingkungan serta aplikasinya di dalam masyarakat.
commit to user
3. Dalam proses pembelajaran, guru dituntut agar lebih kreatif dalam menerapkan pendekatan dan metode mengajar dalam rangka pembaharuan metode mengajar yang lebih bervariasi.
C. Pembatasan Masalah
Kualitas sebuah penelitian tidak terletak pada keluasan masalah melainkan terletak pada kedalaman dari pengkajian pemecahan masalahnya. Oleh karena itu tidak semua masalah yang telah diidentifikasi di atas akan diteliti, untuk itu perlu dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, and Society).
2. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen.
3. Materi yang digunakan yaitu materi “Cahaya dan Alat Optik” kelas VIII semester 2.
D. Rumusan Masalah
Dari beberapa paparan diatas, masalah yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana kelayakan modul SETS (Science, Environment, Technology, and Society) pada materi cahaya dan alat optik kelas VIII SMP/MTs?”.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk membuktikan kelayakan modul SETS (Science, Environment, Technology, and Society) pada materi cahaya dan alat optik kelas VIII SMP/MTs.
commit to user
F. Spesifikasi Produk yang Dikembangkan
Spesifikasi produk yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu:
1. Modul yang dikembangkan berupa modul SETS (Science, Environment, Technology, and Society) pada materi cahaya dan alat optik kelas VIII SMP/MTs.
2. Bahan ajar yang dikembangkan ini menggunakan pendekatan SETS dan metode eksperimen.
3. Materi yang digunakan yaitu cahaya dan alat optik pada kelas VIII semester 2 (dua).
4. Bagian-bagian pada modul pembelajaran IPA ini diadaptasi dari format modul oleh Depdiknas (2008: 3), antara lain: bagian pembuka, inti, dan penutup. Bagian pembuka terdiri dari: halaman awal modul, kata pengantar, daftar isi, petunjuk penggunaan modul, daftar isi, peta konsep, dan pengantar.
Bagian inti terdiri dari 6 kegiatan pembelajaran: “Ayo Amati dan Diskusi!”,
“Ayo Buktikan!”, “Ayo Pahami Kembali!”, “Ayo Belajar Teknologi!”, “Ayo Hubungkan!”, dan “Ayo Ingat Kembali”. Bagian penutup terdiri dari:
rangkuman, evaluasi, kunci jawaban, daftar pustaka, dan glosarium.
G. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian pengembangan ini diharapkan:
1. Manfaat Teoritis
a. Menghasilkan suatu bahan ajar yang berkualitas dengan pendekatan SETS dan metode eksperimen.
b. Sebagai referensi untuk melakukan penelitian selanjutnya mengenai modul SETS (Science, Environment, Technology, and Society) pada materi lainnya.
c. Memberikan wawasan kepada guru tentang perlunya memilih pendekatan dan metode pembelajaran serta modul pembelajaran yang tepat untuk peserta didik agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. commit to user
2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru
Penyusunan modul SETS ini diharapkan dapat dijadikan referensi untuk penyusunan bahan ajar pada materi lainnya.
b. Bagi Peserta Didik
Manfaat modul SETS bagi peserta didik ialah mendapatkan bahan ajar yang bermutu dan menarik, serta meningkatkan kemandirian dan kreativitas peserta didik dalam menerapkan konsep keilmuan dalam kehidupan.
c. Bagi Sekolah
Bagi sekolah modul SETS diharapkan menambah bahan ajar, menambah wawasan dalam membelajarkan IPA di dalam kelas serta pertimbangan untuk memutuskan strategi pengembangan media.
d. Bagi Peneliti
Manfaat bagi peneliti, modul diharapkan dapat memberikan wawasan serta pengalaman dalam mengembangkan sebuah modul yang layak untuk digunakan dalam mengajarkan IPA serta sebagai dasar untuk melakukan pengembangan berikutnya.
commit to user