• Tidak ada hasil yang ditemukan

: Undangan Sebagai Narasumber dalam Kegiatan Diskusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan ": Undangan Sebagai Narasumber dalam Kegiatan Diskusi"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PERHIMPUNAN PELAJAR INDONESIA KOTA DEN HAAG International Institute of Social Studies

Kortenaerkade 12, 2518 AX, Den Haag, Netherlands www.ppikotadenhaag.org | ppikotadenhaag@gmail.com

Den Haag, 2 Desember 2021 No : 002/EKS/PPI-KDH/21-22/XII/2021

Lampiran : 2 (dua) halaman

Hal : Undangan Sebagai Narasumber dalam Kegiatan Diskusi

Yth.

Binsar Jonathan Pakpahan

Dean of Public Relations and Associate Professor in Ethics and Public Theology Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

Dengan hormat,

Sehubungan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2021 dan melihat adanya kebutuhan pendekatan khusus dalam menindaklanjuti pelanggaran HAM di masa lalu, kami mengundang Bapak sebagai narasumber dalam kegiatan diskusi dengan topik “Mempertimbangkan Pendekatan Restorative Justice dalam Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM” yang akan diselenggarakan pada:

Hari/Tanggal : Jumat, 10 Desember 2021 Pukul : 19.00 s.d. 21.00 CET

Metode : Daring menggunakan aplikasi Google Meet

Terlampir Term of Reference (TOR) kegiatan diskusi. Untuk konfirmasi kehadiran dan keterangan lebih lanjut dapat menghubungi Ika Narwidya Putri (+31613861557). Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

Ketua PPI Kota Den Haag

Intan Kusumaning Tyas

(3)

2 PERHIMPUNAN PELAJAR INDONESIA KOTA DEN HAAG

International Institute of Social Studies

Kortenaerkade 12, 2518 AX, Den Haag, Netherlands www.ppikotadenhaag.org | ppikotadenhaag@gmail.com

TERM OF REFERENCE

Kegiatan Diskusi “Mempertimbangkan Pendekatan Restorative Justice dalam Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM”

Latar Belakang

Sudah 73 tahun sejak Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dicetuskan pada 10 Desember 1948. Telah lebih dari dua dasawarsa lewat sejak isu Hak Asasi Manusia (HAM) semakin mendapat perhatian dalam aturan perundang-undangan Indonesia, dibuktikan dengan UUD 1945 yang memuat satu bab khusus tentang HAM (khususnya dalam Pasal 28) setelah amandemen kedua.

Indonesia pasca-Reformasi memang menyaksikan perkembangan diskursus dan penguatan HAM yang cukup menggembirakan. Selain amandemen konstitusi yang disebut di atas, terbit pula UU No.

39/1999 yang lebih operasional dalam upaya menjamin pemenuhan hak asasi setiap orang.

Termasuk di dalamnya adalah amanat membentuk satu badan khusus yang menangani isu ini, yakni Komisi Nasional HAM atau dikenal Komnas HAM.

Belum lagi, perlu juga disebut berbagai organisasi non-pemerintah yang memberi perhatian khusus pada isu HAM, utamanya setelah keruntuhan Orde Baru. Sebagiannya melalui pendekatan legal- formal (Lembaga Bantuan Hukum), fokus pada isu kebebasan pers (Aliansi Jurnalis Independen), hak perempuan (Kalyanamitra dan Jurnal Perempuan) hak pekerja (Trade Union Rights Center), atau isu kebebasan beragama (Setara Institute dan Wahid Foundation).

Namun sayangnya, perkembangan yang patut dicatat ini juga berjalan beriringan dengan pelanggaran HAM yang terus terjadi. Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih sering kita dengar kabarnya. Militerisme di Papua tak jarang juga muncul dalam berita, meski lebih sering coba ditutup-tutupi, dan pemenuhan hak pekerja masih sering diabaikan.

Belum lagi jika kita bicara penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Aksi Kamisan yang diadakan tiap minggunya dan sudah berlangsung lebih dari 500 kali di depan Istana Negara untuk mengingatkan para pemegang kuasa akan kasus-kasus pelanggaran yang sebagiannya dilakukan negara tak kunjung memperlihatkan hasil memuaskan. Hingga hari ini, kekerasan Talangsari 1984, penculikan dan penghilangan para aktifis pada 1998, dan dalang di balik pembunuhan Munir tak pernah serius ditangani negara.

(4)

3 PERHIMPUNAN PELAJAR INDONESIA KOTA DEN HAAG

International Institute of Social Studies

Kortenaerkade 12, 2518 AX, Den Haag, Netherlands www.ppikotadenhaag.org | ppikotadenhaag@gmail.com

Yang terbesar, tentu saja politisida yang menghabisi ratusan ribu hingga jutaan kelompok kiri dan mereka yang dicap komunis pada rentang 1965-1966. Pengasingan, penghilangan hak kewarganegaraaan dan politik bagi sebagian kelompok ini juga masih berlangsung hingga puluhan tahun kemudian di bawah Orde Baru (misalnya dengan pelabelan Eks-Tapol di KTP mereka).

Pada 2015 silam, untuk memperingati setengah abad peristiwa ini, diupayakan pengadilan rakyat (International People’s Tribunal 1965) di Den Haag untuk mendorong lebih jauh pengungkapan kasus ini. Meski tak punya kekuatan mengikat, proses pengadilan yang dilakukan secara sangat serius (dengan menghadirkan bukti, saksi, dan korban) ini setidaknya memberi tekanan moral pada Indonesia untuk menindaklanjuti upaya yang telah dilakukan, meski sampai saat ini belum ada kemajuan berarti yang kita saksikan.

Melihat kebuntuan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM (utamanya yang terjadi di masa lalu) ini, menjadi penting untuk mempertimbangkan berbagai tawaran lain yang datang utamanya dari akademisi. Restorative Justice menjadi salah satu yang patut dicatat.

Tujuan dan Sasaran Kegiatan

Tujuan:

● Memperkenalkan diskursus restorative justice dalam perbincangan terkait HAM.

● Membangun nalar kritis dalam melihat pelanggaran HAM masa lalu.

Sasaran:

● Mahasiswa International Institute of Social Studies (ISS) yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kota Den Haag.

Waktu dan Tempat

Hari, tanggal : Jumat, 10 Desember 2021 Pukul : 19.00 – 21.00 CET

Tempat : Google Meeting (link menyusul)

(5)

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

PEMBICARA DALAM DALAM WEBINAR PERHIMPUNAN PELAJAR INDONESIA KOTA DEN HAAG DENGAN TEMA MEMPERTIMBANGKAN PENDEKATAN RESTORATIVE

JUSTICE DALAM UPAYA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM ONLINE, 10 DESEMBER 2021

Perhimpunan Mahasiswa Kota Den Haag mengundang saya untuk menyampaikan penelitian mengenai ingatan sebagai alternatif penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia. Saya menyampaikan bahwa ide teologi mengingat bisa menjadi dasar bagi keadilan restoratif yang dikembangkan. Meski demikian, keadilan restoratif memiliki berbagai kelemahan juga dan memiliki tendensi over-religious.

Den Haag 10 Desember 2021

Binsar J. Pakpahan, Ph.D

(6)

Keadilan Restoratif sebagai Alternatif Penyelesaian Kasus Hak Asasi di Indonesia

Binsar Jonathan Pakpahan

b.pakpahan@stftjakarta.ac.id

Pendahuluan

Dalam sebuah serial televisi Stan Lee’s Superhuman, sebuah program yang didedikasikan untuk mencari manusia dengan kemampuan super, Brad Williams memperlihatkan kemampuannya untuk mengingat segala sesuatu yang terjadi padanya. Williams memiliki eidetic memory (ingatan visual) mengenai peristiwa yang dia alami, lihat, baca, sampai 50 tahun. Ingatannya begitu luar biasa sehingga dia mengalahkan sebuah tim yang menggunakan google search untuk mencari peristiwa apa saja yang terjadi pada sebuah tanggal acak. Di 2021, kita tidak perlu belajar seperti Williams untuk mengakses ingatan, meski mungkin tidak secepat kemampuannya menavigasi berbagai ingatan, selama kita memiliki akses ke internet. Pencarian ingatan terletak di genggaman kita.

Pada saat ini kita juga memiliki kemewahan dan kutukan untuk menyimpan ingatan masa lalu dengan berbagai cara. Teknologi yang mempertahankan ingatan menjadi komoditas, dengan atau tanpa kita sadari, membuat kita berlomba untuk menyimpan segala momen. Storage atau penyimpanan menjadi produk yang membuat kita berlomba untuk memasukkan ingatan ke dalam berbagai tempat karena tidak ingin kehilangan ingatan tersebut. Dengan teknologi digital, kita bisa memiliki ingatan akan sebuah peristiwa dalam bentuk video, gambar, dan rekaman suara, tanpa tahu bahwa kita masih memilikinya. Jika kita membuka eksternal harddisk atau data dalam komputer, kita akan segera menemukan berbagai foto yang kita justru sudah tidak ingat lagi. Penyimpanan ingatan juga dipermudah teknologi media sosial yang membebaskan kita dari kesulitan pembatasan kapasitas penyimpanan.

Kemampuan untuk mengingat bisa menjadi sebuah berkat dan kutuk pada saat yang sama.

Ingatan menjadi berkat ketika mampu membawa kebahagiaan karena peristiwa yang menyenangkan kembali lagi, namun menjadi kutuk ketika peristiwa menyedihkan dan traumatis selalu kembali kepada kita. Peristiwa traumatis, ketidakadilan, kehilangan, dan rasa sakit, akan muncul kembali melalui berbagai media ingatan, tanpa kita mampu untuk mengontrol kapan dia muncul, dan sampai kapan dia harus disimpan. Setiap cerita mengenai rasa sakit bisa dengan mudah dieksploitasi untuk kepentingan

(7)

yang menceritakannya. Sekali ingatan dibagi ke publik, terutama di media sosial, ingatan tersebut sudah menjadi ingatan publik, dan ada kemungkinan untuk tetap tersimpan selamanya.

Sementara itu Miroslav Volf, seorang teolog Protestan, berargumen bahwa pada akhirnya, setelah pengampunan terjadi, kita harus bisa melepaskan ingatan masa lalu yang menyakitkan. Dengan melakukannya, kita akan mencapai rekonsiliasi yang terakhir. Bagaimana Volf bisa menjawab kemungkinan tersimpannya semua ingatan yang menyakitkan, dan apakah ada cara lain untuk mengelolanya? Pertanyaan penting yang diajukan oleh penelitian ini adalah bagaimana dalam teologi Kristen, kita bisa mengelola ingatan negatif ketika ingatan itu tidak pernah berakhir? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan melihat berbagai model ingatan tanpa akhir yang muncul dalam media sosial, ide Volf mengenai akhir dari ingatan yang menyakitkan, serta mencari jawaban untuk mengelola ingatan tanpa akhir tersebut.

Media Sosial dan Tantangannya

Media sosial tidak memiliki satu definisi. Ketika melihat siapa pengguna, tujuan, serta bagaimana dia digunakan, Vlad menangkap sentimen perbedaan definisi media sosial dan memberikan beberapa definisi,

Social media, defined in 2011, in the Oxford dictionary, consists in the “web-sites and applications used for social networking”, has conquered the entire world in over 48 years since the first email was sent. Social media has changed lives and permanently revolutionized the way of communication. In general, social media is a term that describes the multitude of digital platforms that allow interaction, networking, and collaboration among those who use them. For users, social media means socialization, full freedom of expression, source of information, deciding factor, entertainment, research, interest-based interaction, playground. For brands, social media is the most convenient, new and fast space for conversation, connecting to relevant audiences, establishing long-term relationships, accessing communities, dialogue, promotion, rapid feedback and monitoring.

In the literature, social media is mainly presented as a marketing and communication tool. But this is far more than that, as with the development of technology and the digital area in all fields, social media becomes a basic component in the development of any type of business.1

Dari beberapa definisi di atas, dan untuk kepentingan penelitian ini, kita akan memahami media sosial sebagai tempat users berinteraksi melalui platform internet, berbagi ide, perasaan, promosi bisnis, dan lainnya melalui teks, gambar, dan video. Interaksi ini tidak selalu berlangsung dua arah karena ada juga pengguna media sosial yang berbagi konten tanpa memberi respons kepada reaksi yang ditujukan kepadanya. Menurut website Statista, berdasarkan jumlah pengguna aktif, 7 media sosial yang paling popular adalah Facebook, Youtube, WhatsApp, Facebook Messenger, Instagram,

1Denisa Elena Vlad, Concepts of Quality Connected to Social Media and Emotions (Wiesbaden, Germany: Springer Gabler, 2020), 1, https://doi.org/10.1007/978-3-658-28867-9.

(8)

Welxin/WeChat, dan Tiktok.2

Media sosial membawa kita kepada cara belajar dan komunikasi yang lebih mengandalkan interaksi visual.3Pengguna media sosial semakin didorong untuk melakukan pengiriman atau upload gambar atau video. Mulanya, gambar dan video dianggap bisa mengurangi jarak emosi yang dimiliki antara pengirim dan pembaca dalam pesan teks. Lambat laun, media sosial semakin memfokuskan diri kepada model pemasangan gambar atau video karena dianggap lebih otentik dan emotionally connected.4 Media visual juga membantu proses penyebarluasan kesaksian, atau disebut sebagai witnessing receptivity. Witnessing receptivity adalah perubahan dari pembaca yang memiliki jarak dari kejadian, yang setelah menerimanya justru menjadi saksi atas teks yang dikirimkan.5Akibatnya, fungsi kamera yang tadinya adalah untuk menangkap momen berubah menjadi alat komunikasi. Tiktok misalnya sedang digunakan sebagai alat mengajar,6Facebook dan Twitter digunakan untuk kampanye politik dan menyampaikan ide perubahan,7dan Youtube serta Instagram sebagai bagian pelaksanaan misi bagi gereja.8

Sebagai tempat untuk menyimpan ingatan, media sosial memiliki competing memories. Di masa keterbukaan informasi, dan keinginan untuk berbagi mengenai peristiwa yang terjadi di sekitar kita,9kita juga mengalami apa yang dinamakan masa pascakebenaran (post-truth).10Cosentino bahkan menghubungkan era ini kepada media sosial dan mengatakan,

The flows of post-truth cultural and political practices enabled by global social media are thus creating a plurality of epistemic ruptures and crises in multiple local contexts, which are exacerbated and exploited by influence operations by State actors, such as the covert media

2“• Most Used Social Media 2020 | Statista,” accessed March 5, 2021,

https://www.statista.com/statistics/272014/global-social-networks-ranked-by-number-of-users/.

3Kerstin Schankweiler, Verena Straub, and Tobias Wendl, “Image Testimonies: Witnessing in Times of Social Media” dalam Image Testimonies: Witnessing in Times of Social Media, edited by Kerstin Schankweiler, Verena Straub, and Tobias Wendl, Routledge Studies in Affective Societies (London; New York: Routledge, 2019), 3–4, https://doi.org/10.4324/9780429434853-1.

4Vlad, Concepts of Quality Connected to Social Media and Emotions, 3-4.

5Schankweiler, Straub, and Wendl, Image Testimonies, 4-6.

6Neve Fear-Smith, “TikTok Is Being =Used as an Educational Tool - [Talking Influence],” January 12, 2021, https://talkinginfluence.com/2021/01/12/tiktok-is-being-used-as-an-educational-tool/.

7Joss Hands, Gadget Consciousness: Collective Thought, Will and Action in the Age of Social Media, Digital Barricades: Interventions in Digital Culture and Politics (London: Pluto Press, 2019).

8Emmanuel B. Olusola, “Digital Church and E-Culture in the New Media Age: The Spectrum of Nigeria,”

African Ecclesial Review 57, no. 3 & 4 (2015): 220-222, https://www.scribd.com/document/368083171/Inaku-K- Egere-Social-Media-and-Mission-based-Marketing-Approach-for-New-Evangelization-in-the-Digital-Age. Inaku K.

Egere, “Social Media and Mission-Based Marketing Approach for the New Evangelization in the Digital Age,”

African Ecclésial Review 188, no. 4 (2015): 203.

9Jacob Johanssen, Psychoanalysis and Digital Culture: Audiences, Social Media, and Big Data, Routledge Studies in New Media and Cyberculture (New York; London: Routledge, 2019), 70–93.

10Gabriele. Cosentino, Social Media and the Post-Truth World Order: The Global Dynamics of

Disinformation (Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan, 2020). Post-truth didefinisikan oleh Cosentino sebagai masa di mana orang kehilangan kepercayaan terhadap sumber informasi konvensional dan mempercayai apa yang mereka rasa sesuai dengan pendapat mereka.

(9)

manipulation campaigns carried by the Kremlin-backed Internet Research Agency (IRA).11

Dengan media sosial, kita tidak lagi mengenal sumber media otoritatif dan lebih percaya kepada sumber yang kita anggap sesuai dengan preferensi kita. Kita sulit memiliki ukuran kebenaran media karena dia informasi datang kepada kita karena apa yang disebut sebagai media bubble.12 Lebih sulit lagi, kita sekarang berada dalam genggaman media sosial yang cenderung menyensor apa yang kita tampilkan berdasarkan aturan yang mereka umumkan,13dan kepentingan yang ada di balik organisasi mereka. Seringkali kepentingan yang mereka miliki dipengaruhi oleh politik mereka dalam pemahaman,

Rather, politics is understood in more general terms, as ways of world-making—the practices and capacities entailed in ordering and arranging different ways of being in the world. Drawing on insights from Science and Technology Studies (STS), politics here is more about the making of certain realities than taking reality for granted (Mol, 2002; Moser, 2008; Law, 2002).14

Dengan pemaparan di atas, kita bisa memahami bahwa kebenaran informasi dan ingatan dalam media sosial tergantung kepada jenis media, apa kebijakan media tersebut, dan media bubble para pembacanya. Meski demikian, pengetahuan bahwa kompleksitas algoritma pemilihan (masalah potensi dan promosi), kekuatan persona online (masalah otoritas), serta otentisitas pembicara/influencer (masalah originalitas) menjadi tantangan yang perlu dieksplor lebih lanjut dalam pembahasan mengenai kebenaran ingatan dalam dunia media sosial.

Media Sosial dan Antara Ingatan tanpa Akhir dan Pelupaan Kolektif

Media sosial memiliki fungsi yang ganda, yaitu sebagai tempat mengingat tanpa akhir dan tempat pelupaan kolektif. Sebagai bagian dari proses mengingat tanpa akhir, media sosial memiliki tempat penyimpanan ingatan tak terbatas, bahkan tidak juga dibatasi oleh kematian.15Dengan kata

11Cosentino, 16.

12Media bubble adalah “an environment in which one’s exposure to news, entertainment, social media, etc., represents only one ideological or cultural perspective and excludes or misrepresents other points of view” (Dictionary.com s.v. “media bubble”). Media bubble membuat kita hanya membaca apa yang kita ingin baca, karena algoritma media sosial atau berita bahkan mesin pencari disesuaikan dengan apa yang mereka [baca: AI dari mesin pencari atau media sosial] pikir sesuai dengan kebutuhan kita berdasarkan terminologi yang kita masukkan di mesin pencari atau media sosial. Bahkan media nasional di Amerika Serikat juga diduga berdasarkan media bubble mereka sendiri sehingga polaritas antara pendukung Demokrat dan Republikan di Amerika Serikat akan semakin luas. Lihat Jack Shafer and Tucker Doherty, “The Media Bubble Is Worse than You Think,” Politico, 2017, https://www.politico.com/magazine/story/2017/04/25/media-bubble-real-journalism- jobs-east-coast-215048.

13Tarleton Gillespie, Custodians of the Internet: Platforms, Content Moderation, and the Hidden Decisions That Shape Social Media (New Haven; London: Yale University Press, 2018), 5–9.

14Taina Bucher, If...Then: Algorithmic Power and Politics, Oxford Studies in Digital Politics (Oxford:

Oxford University Press, 2018), 3, https://doi.org/10.1093/oso/9780190493028.001.0001.

15Yang menarik adalah Facebook akan tetap menyimpan data user yang sudah mati, kecuali dengan persyaratan berikut: “(1) Anda bisa memilih untuk menunjuk kontak pewaris untuk mengelola akun kenangan Anda atau menghapus permanen akun Anda dari Facebook. (2) Jika Anda memilih untuk tidak menghapus akun

(10)

lain, semua data yang pernah diposting akan disimpan oleh media sosial, sampai media sosial itu bangkrut atau tidak lagi ada.

Eichhorn memperlihatkan kesulitan untuk menghilangkan jejak digital sebagai seseorang yang bertumbuh di era media sosial.16Bahkan ketika kita menghapus sebuah foto dari media sosial kita, kita tidak pernah tahu apakah dia akan hilang selamanya. Eichhorn melihat bahwa di awal popularitas internet, berbagai penelitian sosial khawatir akan hilangnya masa kecil anak yang menggunakan internet secara berlebihan. Sementara itu, pada masa abad XXI, Eichhorn lebih khawatir akan apa yang disebutnya “perpetual childhood” yaitu ketika anak menggunakan media sosial, membangun imej tentang masa kecilnya sendiri tanpa campur tangan orang dewasa yang, karena internet, membuat childhood tinggal selamanya.17 Contoh yang diberikan Eichhorn memperlihatkan sisi “abadi” dari ingatan media sosial.

Kita bisa mengambil contoh ketika seseorang memasukkan video pertengkaran dirinya dengan orang lain di akun Youtube-nya, bahkan setelah dia nanti mati, video itu akan tetap ada menjadi testimoni mengenai pertengkaran yang pernah dimilikinya, kecuali jika dia menghapus videonya.

Bahkan ketika seseorang menghapus unggahan foto atau videonya, user lain bisa mengunduh dan menyimpan foto atau video tersebut tanpa seizin sang pemilik.

Dalam kasus konflik massal seperti genosida Perang Dunia II, ingatan berfungsi untuk mengajar agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Namun demikian, sampai kapan kita harus mengingat masa lalu yang menyakitkan? Apakah tidak ada alternatif yang bisa kita miliki untuk mengelola ingatan yang tidak berakhir ini?

Sementara itu, sisi lain dari media sosial adalah pelupaan. Dalam hal politik, media sosial bisa digunakan sebagai teknik pelupaan dari masalah sesungguhnya. Berita digunakan sebagai pengalih perhatian dari masalah sebenarnya, mulai dari kontroversi hingga konspirasi. Gutsche Jr. menuliskan collective forgetting sebagai akibat dari pengalihan isu media sebagai, “The act by media and public voices that shape dominant interpretations of current-day events and issues in ways that maintain power structures for future remembrance.”18Mereka yang mengontrol media akan mampu memilih

secara permanen, akun akan dijadikan kenangan jika kami mendapat informasi tentang kematian Anda. Perlu dicatat, tidak akan ada orang mati yang mampu untuk menghapus akunnya secara permanen. “Apa Yang Akan Terjadi Pada Akun Facebook Saya Jika Saya Meninggal? | Pusat Bantuan Facebook,” accessed March 5, 2021, https://www.facebook.com/help/103897939701143.

16Kate Eichhorn, The End of Forgetting: Growing Up with Social Media (Cambridge, MA; London, UK:

Harvard University Press, 2019), https://doi.org/10.1177/1461444820929996.

17Eichhorn, 12.

18Robert E. Gutsche, Jr., Media Control News as an Institution of Power and Social Control, Paperback (New York; London, 2015), 185.

(11)

ingatan apa yang ditampilkannya.

Beberapa kejadian di Indonesia juga diselesaikan dengan cara pengalihan ingatan. Dengan menampilkan isu baru, ingatan orang Indonesia akan dengan mudah teralihkan ke masalah baru, sehingga meski masalah sebelumnya belum teratasi, kita sudah lanjut ke diskusi mengenai masalah yang baru. Dalam tahun 2021 saja, kita sudah memusatkan perhatian ke peristiwa pesawat Sriwijaya Air 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu dalam penerbangannya menuju Pontianak, dilanjutkan dengan berita bencana alam di Mamuju, Majene, Tanahkumbuh, Manado, sehingga kita tidak membicarakan Gerakan bersenjata di Papua pada 22 Januari, bebasnya Abu Bakar Ba’asyir pada 8 Januari, berita korupsi kedua Menteri di akhir 2020, atau kasus video yang menjerat artis Giselle Anastasia yang tak terdengar lagi. Gutsche Jr. menangkap kebingungan akan banjir berita dan menyatakan,

By presenting news as a product of social confusion, where there are no clear answers to social conditions and crisis (at least, no clear answers the press would be interested in providing that might be counter to the authority of the power elite) the press direct public consciousness away from any avenues that might implicate power structures while working to align the ideologies of the power elite in ways that will pacify audiences. Likewise, controversy as a focus of press coverage delegitimizes any interrogation of the power elite and its role in the very characteristics of the status quo that’s contributed to the issues with which the public may be at odds.

Berita bisa digunakan untuk membingungkan dan menjauhkan perhatian dari elite politik yang menjadi karakteristik dari metode pengalihan fokus oleh media.

Dengan teknik pengalihan perhatian, kita sepertinya melupakan, tetapi ingatan tersebut tetap ada di media. Berbeda dengan foto atau DVD yang kita salah letakkan lalu hilang, foto dan video yang tersebar di media sosial bisa kembali dengan instan ketika kita memasukkan keywords yang tepat di mesin pencari google. Sewaktu-waktu, ketika ingatan yang belum selesai muncul kembali, konflik lama kembali diangkat.

Miroslav Volf dan Ingatan yang Akan Berakhir

Salah satu cara untuk mengatasi ingatan tentang konflik yang tanpa akhir adalah dengan menyelesaikan konflik tersebut. Dengan penyelesaian perasaan kita akan ingatan konflik, kita mampu mengingat peristiwa tanpa memiliki ingatan perasaan yang sama ketika peristiwa itu terjadi.

Perbedaan ingatan peristiwa dan ingatan perasaan akan peristiwa tersebut bisa dilihat dari contoh berikut. Seseorang bisa mengingat apa yang terjadi pada Final Piala Dunia 2014, siapa yang mencetak gol kemenangan Jerman malam itu, dsb., dan dapat mengingatnya sepuluh tahun kemudian.

Sementara perasaan kita terhadap sebuah peristiwa dapat berubah. Ketika menontonnya, seseorang

(12)

bisa merasakan emosi yang menyenangkan ketika tim kesayangannya menang, namun sepuluh tahun kemudian dia akan memiliki ingatan akan emosi yang dirasakannya tanpa merasakan hal yang serupa.

Ingatan akan peristiwa yang terjadi dan emosi yang dirasakan atas peristiwa itu adalah dua hal yang berbeda. Ingatan akan peristiwa bisa memudar namun ingatan akan emosi yang dirasakan bisa tetap kuat diingat, seperti saya tidak ingat lagi kapan saya bertemu dengan istri saya untuk pertama kali, namun saya mengingat bahwa saya sangat bahagia waktu itu. Demikian pula sebaliknya, saya dapat mengingat detail sebuah peristiwa tanpa mengingat lagi apa yang saya rasakan waktu itu. Masa lalu yang diingat dalam media sosial dapat dikeloka ketika ingatan akan perasaan yang muncul dari peristiwa tersebut diselesaikan. Tanpa penyelesaian, ingatan perasaan yang menyakitkan dapat diwariskan kepada generasi penerus, bahkan tanpa menjelaskan ingatan akan peristiwa yang terjadi.

Sebuah kelompok dapat mengingat perasaan benci dan marah mereka terhadap kelompok lain, lalu bertindak berdasarkan ingatan itu, tanpa benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam ingatan peristiwa yang lalu.

Salah satu cara untuk menyelesaikan perasaan akan ingatan bisa kita ambil dari teolog Kristen Miroslav Volf yang berbicara mengenai pengampunan, rekonsiliasi, dan akhir dari ingatan. Miroslav Volf lahir dalam konteks perang Yugoslavia. Volf tinggal di Serbia dalam sebuah keluarga Kristen denominasi Pentakosta.19Ayah Volf adalah setengah-Jerman dan ibunya adalah bagian dari minoritas di Republik Ceko. Topik pengampunan merupakan sesuatu yang sentral di dalam teologi Volf yang tidak dapat dipisahkan dari pemikirannya tentang eskatologi dan eklesiologi.20 Volf berusaha merangkul semua orang—baik itu sebagai korban atau pelaku, atau apa pun kelompok etnis atau latar belakang agama asal mereka—dalam persekutuan kasih Allah; dan memberikan harapan bahwa akhirnya keadilan Allah akan terpenuhi.

The End of Memory adalah kumpulan versi revisi dari kuliah tahunan Stob yang dihadiri oleh Volf di kampus Calvin College dan Calvin Theological Seminary untuk menghormati Henry J. Stob tahun

19Mark Oppenheimer, “Embracing Theology: Miroslav Volf Spans Conflicting Worlds,” Christian Century 120 (January 2003), 18. Peter Kuzmic mengusulkan bahwa Kekristenan evangelikal Kroasia berbeda dari model Pentakostal Amerika, karena mereka menawarkan perlindungan dari kontrol terhadap pemikiran komunis dan ideologi etno-religius. Lihat sendiri deksripsi Volf dalam perbedaan denominasi di Eropa Timur dalam “Fishing in the Neighbor’s Pond: Mission and Proselytism in Eastern Europe,” International Bulletin of Missionary Research 20 No. 1, January 1996, 25–31.

20Volf menggambarkan eklesiologi Gereja Bebas di dalam bukunya, After Our Likeness: The Church as the Image of the Trinity (Grand Rapids, Michigan: Williams B. Eerdmans, 1998). Dalam buku ini ia berusaha untuk membangun eklesiologi yang didasarkan atas iman dan persekutuan yang didasarkan pada tradisi, ekumenis, dan Katolik. Dia juga mendasarkan eklesiologinya pada teologi Trinitarian yang terhubung dengan seluruh teologi yang akan kita lihat nanti dalam bagian ini dari bab ini. Lihat juga respons Katolik oleh Ralph Del Colle, “Communion and the Trinity: The Free Church Ecclesiology of Miroslav Volf—A Catholic Response,”

Pneuma: The Journal of the Society for Pentecostal Studies Volume 22, No. 2 (Fall 2000), 303–327.

(13)

2002.21Aslinya, kuliah Volf dibagi menjadi tiga bagian: Quick Forgetting, Obligatory Remembering;

Truthfulness, Integration, Exemplarity; and Memory of Liberation, Memory of Reconciliation. Namun kemudian, Volf berubah pikiran dan mempresentasikan revisi dari tiga bagian Love’s Memory lectures:

Dante’s Strange Vision, Three Great Defenders of Forgetting, Eschatological Non Remembrance:

Meaning, Identity, dan Final Consummation. Terakhir di dalam bukunya, Volf kembali membagi idenya ke dalam tiga bagian: Remember; How Should We Remember; dan How Long Should We Remember.

Volf menulis The End of Memory, ketika ia muncul untuk berbicara tentang eksplorasi baru yang menekankan pentingnya memori-memori di dalam situasi kultural kontemporer. Dalam sejarah kekerasan dan konflik dunia, terdapat perasaan terhadap perlunya mengingat kejahatan-kejahatan yang dilakukan dan diderita. Di dalam sebuah wawancara, ia mengatakan bahwa memori ini penting karena,

we live in such a fast-paced culture, in which we have a hard time remembering what’s transpired only a few days or a month ago. We’re glued to this ever-shifting and changing present, so we feel that memory is slipping away from us. We want to hold onto memories, because we rightly believe that part of our identity is what we remember about ourselves and our interactions with others.

Part of our identity as a nation depends on what has happened to us in the past.22

Memori menjadi sebuah unsur yang penting, karena budaya yang serba cepat membuat kita sadar bahwa kita perlu memiliki pemahaman memori dalam rangka merasakan identitas. Karena itu, kita mencoba untuk mendapatkan suatu pegangan dari beberapa memori yang dapat menghubungkan kita dengan identitas kita. Hal ini juga terjadi dengan memori traumatis, ketika korban dan pelaku menghubungkan identitas mereka dengan peran mereka. Namun, memori ini—seperti yang Volf jelaskan—tidak salah. Oleh karena itu, berpegangan dengan memori menyakitkan dari masa lalu dapat dengan mudah mengalihkan kita memegang senjata apabila kita tidak mengingatnya dengan tepat.

Memori dapat berbahaya, karena dapat membantu untuk menyembuhkan penderitaan masa lalu.

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, kita melihat kebutuhan berbicara tentang “ingatan dan memori” secara sosial, psikologis, dan filosofis. Volf berpikir bahwa the memory boom—seperti yang ia sebut—disebabkan oleh dua hal. Yang pertama adalah karena kehidupan serba cepat, budaya bergerak maju, paradoks membuat kita mencoba untuk memahami memori baru, dan memperingati peristiwa-peristiwa tertentu tanpa memiliki waktu yang cukup untuk merenungkan makna peristiwa- peristiwa tersebut. Oleh karena itu, “the memory boom tries to compensate for an actual memory

21Kuliah Miroslav Volf tersedia di dalam http://www.calvinseminary.edu/ continuingEd/

stob/pastLectures.php, diakses Agustus, 2008.

22Collin Hansen, “Redeeming Bitterness: Miroslav Volf Tells How to Stop the ‘Shield of Memory’ from Turning into a Sword,” Christianity Today 51 no. 5 (May 2007), 50.

(14)

bust.23 Penyebab kedua adalah konsensus untuk mengingat peristiwa besar dunia dalam rangka menghormati para korban agar kekerasan masa lalu di dunia kita, tidak akan terjadi lagi pada masa depan.

Pertanyaan mendasar bagi Volf adalah bagaimana kita dapat merangkul tanpa penolakan. Volf memandang pengampunan sebagai gema kasih Allah terhadap umat manusia. Hal tersebut merupakan sesutu yang telah diberikan. Allah telah mengampuni, karena itu manusia juga harus harus mengampuni. Langkah pertama untuk memulihkan ingatan adalah dengan mengarah kepada pengampunan. Pengampunan juga merupakan alat untuk memutus siklus balas dendam. Baginya, pengampunan “breaks the power of the remembered past and transcends the claims of the affirmed justice and so makes the spiral of vengeance grind to a halt.”24Meskipun memutus siklus balas dendam, pengampunan bukanlah pengganti keadilan. Volf berpendapat bahwa orang yang telah diampuni dan bersedia mengampuni adalah orang-orang yang akan sangat mampu mengejar keadilan tanpa mengubah perannya secara terbalik, ketika telah diubah oleh keadilan restoratif. Faktanya, menurut Volf, rangkulan merupakan bagian dari definisi keadilan. Volf meringkas posisi keduanya dengan mengatakan, “to agree on justice you need to make space in yourself for the perspective of the other, and in order to make space, you need to want to embrace the other…The knowledge of justice depends on the will to embrace.”25Dengan pernyataannya tentang keadilan yang bergantung atas kesediaan untuk merangkul sesamanya, Volf telah menolak posisi para pemikir postmodern yang ragu-ragu untuk membentuk seperangkat aturan keadilan. Dia juga menolak gagasan keadilan tunggal, karena umat manusia berbeda satu dengan yang lain. Kehendak untuk merangkul menjadi universal, karena yang dapat digunakan bagi semua orang, dan tidak singular, karena tergantung di atas kehendak sendiri.

Volf menjelaskan bahwa, jika digunakan dengan benar, memori merupakan faktor penting dalam pengampunan. Namun demikian, memori juga dapat digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang menyakiti kita, karena memori masa lalu yang menyakitkan itu dapat membuat korban menjadi pelaku. Pertanyaan yang Volf ajukan adalah bagaimana kita dapat mengingat dengan cara yang konstruktif bahwa memori menjadi jembatan dengan lawan, bukan sebagai alat pembalasan. Volf mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mengeksplorasi memori lukanya sendiri, ketika ia diinterogasi oleh Kapten G. selama wajib militer di tahun 1984. Volf merasa begitu terancam dan dikerasi oleh interogasi tersebut, sehingga pengalaman

23Volf, The End of Memory, 40.

24Volf, Exclusion and Embrace, 121. Volf sependapat dengan Hannah Arendt bahwa Yesus melawan ketidakadilan dan penindasan dari logika Lamekh dengan menyatakan bahwa setiap orang untuk mengampuni tujuh puluh tujuh kali (Matius 18:21–22). Lihat Hannah Arendt, The Human Condition: A Study of the Central Dilemmas Facing Modern Man (Garden City: Doubleday, 1959), 212–214.

25Volf, Exclusion and Embrace, 220.

(15)

ini tidak dapat ia lupakan. Volf memunculkan pertanyaan,

How then should I relate to Captain G. in my imagination now that his wrongdoing was repeating itself only in my memory? How should I, a victim of his abuse, remember him and what he had done to me? Like the people of God throughout the ages, I often prayed the words of the psalmist:

“Do not remember the sins of my youth or my transgressions; according to your steadfast love remember me, for your goodness’ sake, O Lord” (Ps. 25:7). What would it mean for me to remember Captain G. and his wrongdoing the way I prayed for God to remember me and my wrongdoing? How should the one who loves remember the wrongdoer and the wrongdoing?26 Dalam mengingat Volf ingin merangkul semua orang di dalam kasih Allah, dan termasuk Kapten G, si pelaku, atau “It is to remember the wrongdoing suffered as a person committed to loving the wrongdoer.”27Jika digunakan dengan tepat, proses akhir rekonsiliasi menurut Volf adalah tindakan melupakan sakit hati masa lalu. Langkah terakhir ini mengasumsikan bahwa, “the matters of “truth”

and “justice” have been taken care of, that perpetrators have been named, judged, and (hopefully) transformed, that victims are safe and their wounds healed, a forgetting that can therefore ultimately take place only together with the creation of “all things new.”28Pemikiran melupakan dalam teologi pengampunan Volf hanya dapat terjadi, ketika semua langkah yang diperlukan telah dipenuhi; langkah- langkah yang merupakan kebenaran dan keadilan.

Pernyataan tesis Volf di bagian ketiga dari buku ini adalah, “memories of suffered wrongs will not come to the minds of the citizens of the world to come, for in it they will perfectly enjoy God and one another in God.”29 Pada akhirnya, kita harus melepaskan memori masa lalu yang salah.

“Rekonsiliasi akhir” akan menjadi tujuan mengingat seperti itu, dan karena itu akan menjadi momen melupakan masa lalu yang menyakitkan, karena keadilan telah diwujudkan. Dia berpendapat,

What function would these memories serve in a secure world of perfect love? If those who wanted to keep such memories alive were the perpetrators, would we be wrong in suspecting that they could not forgive themselves for what they had done and therefore needed living memories to keep blaming themselves? If they were the victims, would it not be likely that they wanted to hold onto these memories because they cherished resentment against perpetrators or at least wanted to hold it in reserve? If we remembered wrongs suffered in a secure world of perfect love, might now our memory be doing the bidding of the desire for revenge—either on ourselves or on others?30

Argumen Volf dalam melepaskan memori masa lalu yang menyakitkan ialah karena Kristus telah mati untuk kita. Kristus menanggung konsekuensi dari dosa manusia; sehingga dosa telah terlepas dari orang berdosa. Saat Kristus mati, dosa juga mati. Pengampunan adalah gema dari anugerah Allah.

26Miroslav Volf, “God Forgiveness and Ours: Memory of Interrogations, Interrogations of Memory,”

Anglican Theological Review (2007), 218–219.

27Volf, “God Forgiveness and Ours”, 219.

28Volf, Exclusion and Embrace, 131.

29Volf, The End of Memory, 177.

30Volf, The End of Memory, 207.

(16)

Hal ini benar-benar skandal dari tidak mengingat pelanggaran. Meski begitu, Volf berpendapat, “But if God’s reconciling self-giving for the ungodly stands at the center of our faith, then nothing stands in the way of opting for grace, with its pain and delight, of forgiving and ultimately releasing the memory of suffered wrongs.”31Dari sudut pandang eskatologisnya, Volf melihat Kristus sebagai pendamai akhir yang akan membawa memori tertinggi—yang akan mengingat semuanya dan akhirnya menyembuhkan masa lalu. Kristus tidak hanya akan menyembuhkan masa lalumu, tetapi juga mengingat dan mengakui rasa sakitmu. Identitas masa lalu yang penuh rasa sakit dapat diubah menjadi identitas seseorang yang telah ditebus oleh Kristus.32

Namun kemudian, pertanyaan sesungguhnya adalah dapatkah kita benar-benar lupa?

Haruskah kita membuat tujuan dalam perjalanan mengingat kita dalam rangka pengampunan dan rekonsiliasi? Dapatkah kita mengingat dan mengampuni? Dapatkah kita mengampuni dan tetap mengingat kesalahan masa lalu? Hal ini merupakan tempat bagi pertanyaan-pertanyaan penelitian kita tentang pemikiran Volf tentang melupakan sebagai tindakan terakhir rekonsiliasi.

Volf berurusan dengan masalah memori dalam kaitannya dengan sebuah pengampunan masa lalu, karena ia menunjukkan bahwa pengampunan adalah hadiah yang darinya para korban akan memperlakukan para pelaku seakan-akan tidak pernah terjadi sebuah pelanggaran. Pertanyaan yang telah diangkat dan yang telah dijawab adalah tentang bagaimana kita harus mengingat. Sekarang, ia mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa jauh yang perlu kita mengingat. Volf mengatakan bahwa pengampunan penuh akan melupakan pelanggaran masa lalu. Ini adalah tujuan akhir dari pengampunan.

Bagaimana dengan orang yang mengampuni, tetapi tidak melupakan? Volf berpendapat bahwa terdapat dua hal yang terjadi, ketika kita mengampuni tetapi tidak melupakan. Pertama, memori masa lalu akan menjadi persediaan dan dapat digunakan untuk melancarkan pertempuran.

Kedua, masa lalu akan diampuni, tetapi para pelaku tidak akan dibebaskan dari dosanya, karena label

31Volf, The End of Memory, 209.

32Abraham van de Beek dalam “A Shared Story for Reconciliation—Which Story?” Journal of Reformed Theology Vol. 2 No. 1 (2008), 22, berbagi keraguan tentang melupakan masa lalu dengan bertanya, “Can there be a sustainable story for the future if there is not a shared story of the past?” Dalam pencariannya tentang cerita berkelanjutan untuk masa depan yang dapat diterapkan oleh korban dan pelaku, dan sejalan dengan apa yang Volf sarankan, van de Beek menyarankan untuk mengingat cerita salib. Dengan menempatkan

argumennya secara teologis alkitabiah ia berpendapat bahwa satu-satunya ingatan dan identitas baru bagi orang Kristen adalah kematian Kristus. Kematian Kristus membawa cerita hidup baru, karena menaklukan kematian. Dia berkata, “We must give up our identity and share the story of God. We must share the cup He drank and be prepared to remember his death in the Lord’s Supper we share his story, and we share it jointly.

That is the only story that reconciles because it ends our identity (26).” Cerita Allah ini adalah cerita keseluruhan dari masa lalu dan “remembrance of all human stories (26).”

(17)

“pelaku” di dalam dirinya masih melekat di dalam memori kita.33Akan tetapi, apakah hal tersebut benar-benar berjalan di jalannya?

Faktanya adalah Volf masih mengingat persis peristiwa di antara dirinya dan Kapten G. Jika dia mengampuni kapten, berdasarkan penelusurannya, ia perlu melupakan peristiwa traumatis. Volf mengatakan,

When I granted that I ought to love Captain G—love not in the sense of warm feeling but in the sense of benevolence, beneficence, and search for communion—much of what I wrote in the book followed, at least in rough outline if not in detail. But every time I wrote about loving Captain G. a small-scale rebellion erupted in my soul. “I love my parents and relatives; I love my wife and children; I love my friends; I love pets and wild geese. I might even love nosy neighbors and difficult colleagues, but I don’t love abusers—I just don’t and never will,” screamed the leader of my internal insurrection. And at times it would not have taken much to make me switch sides—except that loving those who do me harm was precisely the hard path on which Jesus called me to follow him, a path that reflects more than any other the nature of his God and mine.34

Fakta bahwa dirinya mengingat dengan jelas, bahkan ketika ia menjadikannya sebagai contoh dari argumennya, mengarahkan kepada pertanyaan apakah Volf benar-benar dapat mencapai tujuan akhir dalam rekonsiliasi, yakni melupakan masa lalu yang telah direkonsiliasi. Hal ini menunjukkan bahwa Volf belum benar-benar berdamai dengan masa lalunya, yakni dengan Kapten G. Dia masih dapat mengatakan bahwa keadilan belum final, karena dirinya tidak pernah bertemu kembali dengan Kapten untuk dapat berekonsiliasi sepenuhnya;35sehingga Volf tidak dapat mencapai tindakan utama, yakni melupakan. Namun demikian, ini memberikan kita pertanyaan lain, apakah pengampunan yang nyata sungguh-sungguh menuntut tindakan melupakan dan melepaskannya dari memori? Bukankah itu yang Volf maksud dengan mengingat dan mengampuni? Dapatkah kita sungguh-sungguh mengingat masa lalu kita yang traumatis tanpa dendam apapun dan tetap dapat mengampuni?

Di dalam eksplorasi tentang bagaimana Allah memperlakukan dosa masa lalu kita, ia berpikir bahwa akhirnya Allah akan melupakan kesalahan kita yang diampuni. Volf mengatakan, “Scripture explicitly states that God doesn’t even remember our sins. They don’t come to God’s mind (Jeremiah 31:34; Hebrews 8:12; 10:17).”36Kemudian Volf mengakui bahwa ia tidak dapat sepenuhnya memahami sifat dasar pengetahuan Allah tentang pengampunan dosa. Inilah sebabnya mengapa Volf mendasari pemahamannya tentang sejarah Kekristenan, untuk mengusulkan bahwa para penulis spiritual dan

33Volf, Free of Charge, 176.

34Volf, “God Forgiveness and Ours”, 225.

35Dalam Volf, The End of Memory, 84, ia berpendapat bahwa “Any healing of the wronged without involving the wrongdoer therefore, can only be partial. To complete the healing, the relationship between the two needs to be mended…Reconciliation with the wrongdoer completes the healing of the person who suffered the wrong.”

36Volf, Free of Charge, 173.

(18)

para teolog telah menggemakan Allah tidak mengingat dosa kita. Inilah sebabnya mengapa Volf mengatakan bahwa dalam mengampuni, akhirnya kita akan membiarkannya menyelinap pergi; yang awalnya menghasilkan istilah “mengampuni dan melupakan”.

Berulang kali, Volf menggunakan pemikiran tentang memori dan peringatan atas dosa (dan rasa bersalah) di Perjanjian Lama, di dalam arti antropologi, yaitu untuk memanggil kembali suatu tindakan atau peristiwa ke dalam pikiran seseorang. Dia mengatakan bahwa akhirnya Allah akan melupakan dosa-dosa kita berdasarkan Yeremia 31:34 dan Ibrani 8:12. Dia menggunakan Mazmur 25:7 untuk berpendapat bahwa saat menyatakan Allah tidak mengingat dosa kita, berarti kita harus memperlakukan pernyataan yang sama terhadap yang lain.

Penggunaan terminologi ingatan dan memori dalam Alkitab oleh Volf tidak tepat. Gagasan Alkitabiah tentang peringatan memiliki makna yang lebih dalam, dari sekadar mengingat sesuatu dari masa lalu ke dalam pikiran seseorang. Dalam Perjanjian Lama, peringatan berarti mengingatkan manusia dari karya penyelamatan Allah terhadap mereka dan untuk tetap setia kepada perjanjian.

Faktanya, Perjanjian Lama sebenarnya merupakan kitab peringatan dosa-dosa Israel dan anugerah Allah, yang mencatat dosa-dosa Israel, dan bagaimana mereka mengingat dosa-dosa mereka dan meminta pengampunan dari Allah. Saat Allah mengingat dosa Israel, biasanya diikuti dengan hukuman.

Setelah menghadapi hukuman Allah, Israel akan mengakui kesalahan dan mengakui dosa-dosanya.

Pengakuan mereka akan terdiri dari ingatan yang baik dari apa yang benar-benar dilakukan pada masa lalu, bukan hanya tindakan salah mereka di generasi mereka sendiri, tetapi juga di generasi sebelum mereka. Saat Allah mengampuni mereka, Allah mengingat dosa-dosa mereka. Meskipun polanya berulang, satu hal yang penting untuk dicatat: Israel tidak mengingat apa yang telah mereka lakukan pada masa lalu. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang kurang dalam pemikiran Volf tentang penggunaan memori dan ingatan dalam Alkitab.

Oleh karena itu, kita sekarang dapat mempertanyakan kesimpulan Volf bahwa ketidakadilan masa lalu harus dilupakan, ketika para korban telah ditebus dan para pelaku telah berubah dan hubungan mereka telah ditegaskan melalui rekonsiliasi. Tercatat bahwa langkah-langkah yang Volf tandai sangatlah sulit; apakah melupakan sungguh-sungguh mungkin? Dapatkah kita benar-benar “no longer think of the injury?”37Satu hal yang mengherankan apabila ini haruslah menjadi tujuan akhir rekonsiliasi, dan berpikir bahwa jika kita dapat secara sungguh-sungguh mengingat kesalahan yang dilakukan pada masa lalu, dan menapis perasaan negatif terhadap memori, maka kita telah mencapai tujuannya.

37Volf, The End of Memory, 209.

(19)

Teologi INgatan sebagai bagian dari Keadilan Restoratif

Ingatan tanpa akhir dalam media sosial akan terus menetap. Kita tidak bisa mengatur durasi atau isi dari ingatan tersebut. Dalam hal ingatan mengenai konflik, yang bisa dikelola, dan juga menjadi tugas dari teologi, adalah untuk mengolah ingatan perasaan kita akan peristiwa tersebut. Karena itu, pelupaan kolektif juga bukan pilihan jangkar panjang karena ingatan tetap ada. Gereja-gereja bisa memperdalam teologinya mengenai ingatan konflik masa lalu dan mendorong penyelesaian ingatan- ingatan yang belum terjadi. Dengan mengangkat ingatan tersebut, gereja justru sedang memberi ruang kepada mereka yang terpinggirkan dan didiamkan. Ketika gereja melakukannya dengan cara yang benar, perasaan akan ingatan tersebut bisa berubah. Gereja memiliki tugas untuk mengingat ingatan yang selama ini didiamkan, ambil saja beberapa contoh: tragedi Mei 1998, pembantaian Peristiwa 1965 kedua, pembantaian di Timor Leste, berbagai kasus pelanggaran hak asasi di Papua, dsb. Jika ingin mengelola perasaan akan ingatan tersebut, gereja harus memproses dan mengakui ingatan peristiwanya.

Ketika kita mampu mengolah ingatan konflik yang menyakitkan dengan tawaran jalan pengampunan, pada akhirnya melupakan bukanlah tujuan akhir. Kita bisa menggunakan ingatan tersebut sebagai pelajaran setelah perasaan kita atasnya kita kelola. Ketika saya marah kepada seseorang karena pernah melukai saya, hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah jalan mengingat dan penyelesaian perasaan saya atas ingatan tersebut. Ketika saya selesai memproses ingatan tersebut, saya bisa saja berjumpa dengan ingatan tersebut di masa depan dan tidak memiliki perasaan yang sama ketika pertama kali merasakannya. Dengan pengelolaan ingatan, saya bisa tertawa mengingat masa ketika saya menangis.

Daftar Pustaka

“• Most Used Social Media 2020 | Statista.” Accessed March 5, 2021.

https://www.statista.com/statistics/272014/global-social-networks-ranked-by-number-of- users/.

“Apa Yang Akan Terjadi Pada Akun Facebook Saya Jika Saya Meninggal? | Pusat Bantuan Facebook.”

Accessed March 5, 2021. https://www.facebook.com/help/103897939701143.

Arendt, Hannah. The Human Condition: A Study of the Central Dilemmas Facing Modern Man.

Garden City: Doubleday, 1959.

van de Beek Abraham. “A Shared Story for Reconciliation—Which Story?” Journal of Reformed Theology Vol. 2 No. 1 (2008).

Bucher, Taina. If...Then: Algorithmic Power and Politics. Oxford Studies in Digital Politics. Oxford:

Oxford University Press, 2018. https://doi.org/10.1093/oso/9780190493028.001.0001.

Cosentino, Gabriele. Social Media and the Post-Truth World Order: The Global Dynamics of

(20)

Disinformation. Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan, 2020.

Del Colle, Ralph. “Communion and the Trinity: The Free Church Ecclesiology of Miroslav Volf – A Catholic Response.” Pneuma: The Journal of the Society for Pentecostal Studies, Volume 22, No 2 (2000): 303-327.

Egere, Inaku K. “Social Media and Mission-Based Marketing Approach for the New Evangelization in the Digital Age.” African Ecclésial Review 188, no. 4 (2015): 186–205.

Eichhorn, Kate. The End of Forgetting: Growing Up with Social Media. Cambridge, MA; London, UK:

Harvard University Press, 2019. https://doi.org/10.1177/1461444820929996.

Fear-Smith, Neve. “TikTok Is Being =Used as an Educational Tool - [Talking Influence],” January 12, 2021. https://talkinginfluence.com/2021/01/12/tiktok-is-being-used-as-an-educational-tool/.

Gutsche, Jr., Robert E. Media Control News as an Institution of Power and Social Control. Paperback.

New York; London, 2015.

Hands, Joss. Gadget Consciousness: Collective Thought, Will and Action in the Age of Social Media.

Digital Barricades: Interventions in Digital Culture and Politics. London: Pluto Press, 2019.

Hansen, Collin. “Redeeming Bitterness: Miroslav Volf Tells How to Stop the ‘Shield of Memory’

from Turning into a Sword.” Christianity Today 51 no 5 (2007).

Johanssen, Jacob. Psychoanalysis and Digital Culture: Audiences, Social Media, and Big Data.

Routledge Studies in New Media and Cyberculture. New York; London: Routledge, 2019.

Olusola, Emmanuel B. “Digital Church and E-Culture in the New Media Age: The Spectrum of Nigeria.”

African Ecclesial Review 57, no. 3 & 4 (2015): 206–24.

https://www.scribd.com/document/368083171/Inaku-K-Egere-Social-Media-and-Mission- based-Marketing-Approach-for-New-Evangelization-in-the-Digital-Age.

Oppenheimer, Mark. “Embracing Theology: Miroslav Volf Spans Conflicting Worlds.” Christian Century 120 (2003): 18-23.

Schankweiler, Kerstin, Verena Straub, and Tobias Wendl, eds. Image Testimonies: Witnessing in Times of Social Media. Routledge Studies in Affective Societies. London; New York: Routledge, 2019.

https://doi.org/10.4324/9780429434853-1.

Shafer, Jack, and Tucker Doherty. “The Media Bubble Is Worse than You Think.” Politico, 2017.

https://www.politico.com/magazine/story/2017/04/25/media-bubble-real-journalism-jobs-east- coast-215048.

Tarleton Gillespie. Custodians of the Internet: Platforms, Content Moderation, and the Hidden Decisions That Shape Social Media. New Haven; London: Yale University Press, 2018.

Vlad, Denisa Elena. Concepts of Quality Connected to Social Media and Emotions. Wiesbaden, Germany: Springer Gabler, 2020. https://doi.org/10.1007/978-3-658-28867-9.

Volf, Miroslav. After Our Likeness: The Church as the Image of the Trinity. Grand Rapids: Williams B. Eerdmans, 1998.

Volf, Miroslav. Exclusion and Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness, and Reconciliation. Nashville: Abingdon Press, 1996.

Volf, Miroslav. Free of Charge: Giving and Forgiving in a Culture Stripped of Grace. Grand Rapids:

Zondervan: 2006.

Volf, Miroslav. “God Forgiveness and Ours: Memory of Interrogations, Interrogations of Memory.”

Anglican Theological Review (2007).

Volf, Miroslav. The End of Memory: Remembering Rightly in a Violent World. Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Co., 2006.

Tentang Penulis

(21)

Binsar Jonathan Pakpahan adalah pendeta Huria Kristen Batak Protestan yang diutus menjadi dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menjabat sebagai Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik, pengampu matakuliah Filsafat dan Teologi Publik. Memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Fakultas Teologi Vrije Universiteit, Amsterdam (2011) dalam bidang Teologi Sistematika. Publikasi utamanya adalah God Remembers: Towards a Theology of Remembrance as a Basis of Reconciliation in Communal Conflict (Amsterdam: VU University Press, 2012). Telah menerbitkan berbagai artikel di jurnal internasional dan Indonesia. Sekarang sedang menyelesaikan disertasi habilitasi di Evangelisch- Theologische Fakultät, Westfälische Wilhelms-Universität (WWU) Münster, Jerman (sejak 2016), atas tema peran rasa malu dan hormat di komunitas Kristen Indonesia dalam praktik pengampunan dan kontribusinya terhadap pembentukan norma masyarakat Indonesia. Dia aktif di akun Instagram

@binsarjpakpahan

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal mengenai garis singgung lingkaran terdiri dari : (a) kesulitan konsep

Penelitian ini melihat seperti apa perkembangan visual komik strip unggahan ulang dari komunitas Komikin Ajah yang muncul di Instagram dalam kurun waktu tahun 2014

Communication Objective Dari riset penyelenggara pasca event yang dilakukan melalui 60 responden yang mengetahui Klub sepatu roda kota Semarang, sebanyak 43, yang berminat gabung

[r]

mengimplementasikan program, sebab tanpa adanya sumber daya manusia yang baik maka program tidak akan berjalan dengan lancar. Sumber daya manusia dalam pelaksanaan

Perhimpunan kelab peminat sering kali wujud di atas talian namun peminat turut mengadakan perhimpunan untuk saling bertemu, beramah mesra dengan satu sama lain

Tanaman penutup tanah dari jenis tanaman kacang-kacangan mempunyai residu hara (C organik dan P total tanah) dan populasi mikroba tanah serta pertumbuhan dan hasil kubis yang

substrat selalu berenang dengan aktif yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kematian massal (96,7%); (2) substrat berdiameter butir 63‒250 µm menghasilkan laju