• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sampah

Sampah adalah sisa proses yang dihasilkan dalam bentuk padat selama aktivitas manusia sehari-hari dan / atau proses alam (UU No. 18 Tahun 2008).

2.2 Tempat Penampungan Sementara

Tempat sebelum sampah diangkut ke tempat daur ulang, pengolahan, atau tempat pembuangan sampah terpadu disebut tempat penampungan sementara (TPS) (UU No. 18 Tahun 2008).

2.3 Tempat Pemrosesan Akhir

Tempat pembuangan limbah secara aman bagi manusia dan lingkungan disebut tempat pemrosesan akhir (TPA) (UU No. 18 tahun 2008).

2.4 Pengangkutan Sampah

Pengangkutan sampah adalah subsistem yang dibuat untuk mengangkut sampah secara langsung dari sumber sampah atau dari lokasi tempat penampungan sementara (TPS) ke tempat pemrosesan akhir (TPA).

Dengan optimasi sub-sistem ini diharapkan pengangkutan sampah menjadi mudah, cepat, dan biaya relatif lebih rendah. Bila mengacu pada sistem dinegara maju, maka pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu (Tchobanoglous, 1997) :

2.4.1 Hauled Container System (HCS)

Sistem pengumpulan sampah yang wadah pengumpulannya dapat dipindah-pindah dan ikut dibawa ke tempat pembuangan akhir.

Hauled Container System wadah angkut untuk didaerah komersil (Rahmadhani, 2007).

2.4.2 Stationary Container System (SCS).

(2)

Sistem pengumpulannya tidak dibawa berpindah-pindah (tetap). Wadah pengumpulan ini dapat berupa wadah yang dapat diangkat atau yang tidak dapat diangkat. SCS merupakan sistem wadah

tinggal ditujukan untuk melayani daerah pemukiman (Mardiyanti, 2013).

Pola pengangkutan sampah adalah sebagai berikut:

1. Pengangkutan langsung dari sumber sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Alasan pengangkutan ini adalah karena jalan di kawasan sumber sampah cukup lebar untuk dilalui truk pengangkut. Wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah dan tingkat timbulan sampah yang rendah cocok menggunakan metode ini.

2. Pengangkutan dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Sampah yang dikumpulkan di Tempat Penampungan Sementara (TPS) akan dipindahkan ke truk untuk dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). wilayah dengan kepadatan penduduk yang besar serta produktivitas sampah yang besar cocok menggunakan metode ini.

3. Penghasil sampah membuang sampah langsung ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), karena jumlah sampah yang banyak serta mempunyai fasilitas pengangkut sampah sendiri- sendiri, seperti di kawasan pemukiman serta sekolah.

2.4.3 Operasional Pengangkutan Sampah

Teknologi operasional pengangkutan merupakan salah satu aspek pengelolaan persampahan. Berikut prosedur pengangkutan sampah yang harus diikuti untuk mendapatkan sistem pengangkutan sampah yang efektif dan efisien (Khisty, 2005):

1. Menggunakan jalur transportasi sedekat mungkin dan paling sedikit hambatannya.

2. Menggunakan kendaraan pengangkut dengan kapasitas atau daya dukung terbesar.

3. Menggunakan transportasi yang hemat bahan bakar.

4. Meningkatkan pengangkutan sampah.

(3)

2.5 Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah

Kegiatan yang menangani sampah, kegiatan ini tidak hanya mengumpulkan sampah disebut pengumpulan sampah (SNI 19-2454-2002). pelaksanaan operasi pengumpulan sampah memenuhi persyaratan (SNI 19-2454-2002) pada Tabel 2.1:

Tabel 2.1 Pelaksanaan Operasional SNI 19-2454-2002 No Pelaksanaan

1 Ritasi 1-4 hari. Tergantung pada komposisi sampah, siklusnya adalah 1 hari, 2 hari atau 3 hari. Semakin besar persentase sampah organik maka pelayanan paling lama adalah 1 hari.

2 waktu pengumpulannya disesuaikan dengan jadwal yang telah ditentukan, yaitu dapat dilakukan dari 3 hari 1 kali berlaku untuk sampah kering.

3 Untuk sampah B3 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

4 Daerah pelayanan tertentu dan tetap.

5 Petugas pelaksana yang tetap dan dipindahkan secara periodik.

6 Pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah sampah terangkut, jarak tempuh dan kondisi daerah.

7 Pelaksanaan pengumpulan sampah.

Sumber: SNI 19-2454-2002

2.6 Rute Pengangkutan

Berikut merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi rute pengangkutan pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Faktor rute pengangkutan

No Faktor

1. Adanya peraturan lalu-lintas.

2. Pekerja, Ukuran, dan tipe alat angkut.

3. Rute akan dibuat mulai dan berakhir di dekat jalan utama, gunakan topografi dan kondisi fisik daerah sebagai batas rute, jika memungkinkan

4. Rute dimulai dari atas dan berakhir di bawah pada daerah berbukit.

5. Rute dibuat agar Kontainer/TPS terakhir yang akan diangkut yang terdekat ke TPA.

(4)

No Faktor

6. Pada daerah sibuk/lalu lintas padat diangkut sepagi mungkin.

7. Diangkut lebih dahulu untuk wilayah yang menghasilkan timbulan sampah terbanyak.

8. Diusahakan terangkut dalam hari yang sama untuk daerah yang memiliki timbulan sampah sedikit.

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia nomor 03/prt/m/2013

2.7 Global Positioning System (Sistem Pencari Posisi Global)

Jaringan satelit yang dapat mengirimkan sinyal radio disebut GPS. Satelit GPS bekerja pada basis waktu yang sangat tepat dan mengirimkan data yang menunjukkan posisi dan waktu saat ini (Prahasta, 2009).

2.7.1 Alat penerima GPS

Sistem yang dapat membantu mencari tahu di mana letak koordinatnya disebut GPS. Pada saat yang sama, untuk menerima sinyal dari GPS diperlukan perangkat yang dapat membaca sinyal tersebut, disebut GP. GPS adalah alat yang dapat memberikan nilai koordinat (Abidin, 2007).

2.8 Optimalisasi

Optimasi rute berarti proses atau cara membuat rute terbaik agar mendapat keuntungan saat menerapkan rute (Tamin, 2008).

2.9 Jalan

Jalan merupakan infrastruktur transportasi darat meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan penunjang dan perlengkapan yang diharapkan lalu lintas. (Peraturan Pemerintah no 34 tahun 2006).

2.10 Klasifikasi jalan

Secara umum Jalan dibedakan menjadi 4 kategori, yaitu: diklasifikasikan berdasarkan fungsi jalan, berdasarkan kategori jalan, berdasarkan topografi jalan, dan berdasarkan kewenangan pembangunan jalan (BinaMarga 1997).

2.11 Kapasitas jalan

(5)

Kapasitas jalan merupakan faktor terpenting dalam perencanaan dan pengoperasian jalan.

Kapasitas jalan mengacu pada jumlah maksimum kendaraan dengan kapasitas yang memadai.

Dalam jangka waktu tertentu dalam kondisi jalan umum dan lalu lintas (dalam dua arah). Pada saat yang sama, kapasitas dasar jalan bebas hambatan diartikan sebagai kapasitas jalan dengan karakteristik jalan dan lalu lintas yang ideal. Secara teori, diasumsikan bahwa terdapat hubungan matematis antara massa jenis. Kapasitas dinyatakan dalam unit mobil penumpang (SMP). Dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs dimana :

C = Kapasitas

Co = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCw = Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas FCsp= Faktor penyesuaian pemisahan arah FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping FCcs = Faktor Penyesuaian Ukuran Kota

2.12 Hambatan Samping

hambatan samping merupakan dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas ruas jalan terhadap kinerja lalu lintas yaitu frekuensi kejadian dikalikan dengan faktor bobot kendaraan.

Faktor bobot tersebut antara lain pejalan kaki (bobot = 0,5), kendaraan yang diparkir (bobot = 1,0), kendaraan yang masuk dan keluar jalan (bobot = 0,7), dan kendaraan lambat (bobot = 0,4).

2.13 Lalu-lintas Harian Rata-rata (LHR)

Lalu-lintas harian dinyatakan dalam unit kendaraan per hari. Perkiraan lalu lintas biasanya didasarkan pada lalu lintas terukur harian. LHR diperoleh dengan mengamati volume lalu lintas di jalan tertentu dalam satu waktu, mengamati dalam beberapa hari, kemudian dirata-ratakan hasilnya untuk dijadikan volume lalu lintas harian rata-rata. Jika pengamatan telah dilakukan selama setahun, laju aliran harian rata-rata tahunan (LHRT) dapat diperoleh dengan membagi semua pengamatan dalam setahun. Satuan LHR adalah kendaraan untuk setiap hari.

2.14 Satuan Mobil Penumpang (SMP)

(6)

Perencanaan lalu lintas dapat menggunakan satuan unit mobil penumpang. Untuk kendaraan ringan (LV); untuk kendaraan berat (HV); untuk sepeda motor (MC) (MKJI, 1997).

2.15 Derajat Kejenuhan (DS)

Rasio volume lalu lintas terhadap kapasitas, biasanya dihitung per jam disebut derajat kejenuhan (DS). Di Indonesia, metode analisis prioritas yang dikembangkan oleh MKJI (1997) tidak didasarkan pada penerimaan gap, tetapi berdasarkan data yang dikumpulkan untuk derajat kejenuhan (DS) berdasarkan rumus C = C0 X FCW X FCSP X FCSF X FCCS diperoleh kapasitas jalan. Di bawah 0,77, analisis tersebut dapat diandalkan dibandingkan dengan nilai ds di atas.

Karena dalam hal ini pengemudi lebih aktif dalam memperebutkan setiap ruas jalan yang mungkin didapat di kawasan konflik. Ini melibatkan risiko tinggi, menyebabkan kemacetan.

2.16 Tingkat Layanan

Indikator tingkat pelayanan (ITP) pada ruas jalan tersebut menunjukkan kondisi ruas jalan secara keseluruhan. Tingkat layanan ditentukan berdasarkan nilai kuantitatif (seperti kecepatan mengemudi) dan faktor lain yang ditentukan oleh nilai kuantitatif (seperti tingkat hambatan lalu lintas, dan tingkat kenyamanan).

Tabel 2.3 Tingkat Pelayanan Ruas Jalan berdasarkan VCR

Tingkat Pelayanan

Keterangan Batas Lingkup

VC A Kondisi arus lalu lintas bebas dengan kecepatan

tinggi dan volume lalu lintas rendah

0,00 – 0,20

B Arus stabil, tetapi kecepatan operasi mulai dibatasi oleh kondisi lalu lintas

0,20 – 0,44

C Arus stabil, tetapi kecepatan dan gerak kendaraan dikendalikan

0,45 – 0,74

(7)

Tingkat Pelayanan

Keterangan Batas Lingkup

VC D Arus mendekati stabil, kecepatan masih dapat

dikendalikan. V/C masih dapat ditolerir

0,75 – 0,84

E Arus tidak stabil, kecepatan terkadang terhenti, permintaan sudah mendekati kapasitas

0,86 – 1,00

F Arus dipaksakan, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, antrean panjang (macet)

≥ 1,00

Sumber: MKJI 1997

Gambar

Tabel 2.1 Pelaksanaan Operasional SNI 19-2454-2002  No  Pelaksanaan
Tabel 2.3 Tingkat Pelayanan Ruas Jalan berdasarkan VCR

Referensi

Dokumen terkait

Logika fuzzy digunakan sebagai sistem kontrol, karena proses kendali ini relatif mudah dan fleksibel dirancang dengan tidak melibatkan model matematis yang rumit dari sistem

Telah dilakukan penelitian tentang adsorpsi logam Pb dan Cu dari pelumas bekas menggunakan blending selulosa asetat-kitosan yang bertujuan untuk mengetahui rasio

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hasil belajar fisika siswa pada ranah kognitif dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted

Berdasarkan tabel 3 di atas, dapat dijelaskan dengan mengetahui safety stock untuk masing-masing klasifikasi atau kelompok, maka akan mempermudah PT. Astra

koordinasi motorik halus Anak belum mampu Mengkombinasikan warna krayon dalam melukis alat- alat kebersihan sehingga masih membutuhkan arahan guru. 2 Fajar

Pengembangan kompetensi inti industri daerah akan meningkatkan daya saing daerah akan meningkatkan daya saing industri daerah melalui implementasi peta panduan (roadmap) KIID

Keputusan membeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Karakteristik tersebut meliputi: usia dan tahap dalam siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi,

Fenomena sikap otoritarianisme atau berfatwa atas nama agama dan Tuhan dalam pemikiran Islam, menurut Abou El Fadl, banyak terjadi sebagaimana dibuktikan dalam penelitiannya