• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISSN (Cetak) : ISSN (Online) :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ISSN (Cetak) : ISSN (Online) :"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

EDITORIAL TEAM Ketua Penyunting

Masykur Arif, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep Penyunting Pelaksana:

Syafiqurrahman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Penyunting:

Abd. Warits, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Mohammad Takdir, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Ach. Maimun, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Fathor Rachman, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep.

Moh. Wardi, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahzatut Thullab, Sampang.

Moh. Dannur, Institut Agama Islam (IAI) ِ◌Al-Khairat, Pamekasan.

IT Support:

Faizy, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep, Indonesia Alamat Redaksi: REDAKSI JPIK

Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D)

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA)

Jl. Bukit Lancaran PP.

Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep 69463 Email:

jpik.instika@gmail.com Website:

http://jurnal.instika.ac.id/index.php/jpik

Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Lembaga Penerbitan, Publikasi dan Dokumentasi (LP2D) Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Jawa Timur, Indonesia. Terbit 2 kali dalam setahun yakni pada bulan Maret dan September. Jurnal Pemikiran dan Ilmu Keislaman menerbitkan hasil penelitian, baik penelitian pustaka maupun lapangan, tentang filsafat dan pemikiran serta ilmu-ilmu keislaman meliputi bidang kajian pendidikan Islam, politik, ekonomi syariah, hukum Islam atau fikih, tafsir, dan ilmu dakwah

(4)

1-28 Studi Komparasi Hukum Pencatatan Perkawinan dalam Islam dan di Negara Kontemporer

Dainori

29-56 Pendidikan Islam Inklusif dalam Pemikiran Sayyed Hossein Nasr

Tatik Hidayati dan Ah Mutam Muchtar

57-74 Mengakrabkan Anak dengan Tuhan (Upaya Membangun Kesadaran Beragama Anak-Anak) Abdul Wahid dan Abdul Halim

75-103 Sikap dan Pandangan Tokoh Pesantren Terhadap Kondisi Santri Tahfidzul Qur’an di Pondok Pesantren Nurul Hikmah Putri Bakeong Guluk- Guluk Sumenep

Fairuzah dan Unsilah

104-121 Metode Istinbath Hukum dan Pengaruhnya terhadap Fiqih di Indonesia

Moh Jazuli, A Washil, dan Lisanatul Layyinah 122-144 Zakat Profesi Menurut Pandangan Yusuf Al

Qardhawi

Masyhuri dan Mutmainnah

(5)

145-167 Analisis Hukum Peralihan Risiko dalam Transaksi Jual Beli Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perdata

Fadhilah Khunaini dan Nailatul Ufa

(6)

Analisis Hukum Peralihan Risiko dalam Transaksi Jual Beli Perspektif Hukum Islam dan Hukum

Perdata

Fadhilah Khunaini

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep fadhilah.mr@gmail.com

Nailatul Ufa

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep naila.sayufa@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) yang secara khusus membahas tentang hukum peralihan risiko dalam transaksi jual beli menurut Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam. Hasil penelitian menunjukkan, berdasarkan kajian terhadap literatur keislaman, ketentuan yang diatur dalam Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak sesuai dengan Hukum Islam. Dalam Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, risiko dibebankan kepada pembeli sejak adanya kata sepakat, meskipun penyerahnnya belum dilakukan. Sedangkan dalam Islam, penerimaan barang termasuk dalam syarat sahnya akad, oleh karena itu penanggungan risiko masih harus ditanggung oleh penjual sampai pembeli menerimanya.

Kata Kunci: risiko, jual beli, hukum islam, hukum perdata

Pendahuluan

Manusia selain sebagai makhluk individu yang berjiwa dan beraga, juga merupakan makhluk sosial yang berkodrat hidup dalam

(7)

masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan adanya manusia lain untuk melakukan kegiatan dan memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak bisa didapatkannya sendiri. Disadari atau tidak bahwa manusia sebagai subyek hukum tidak mungkin hidup dialam ini tanpa berhubungan dengan manusia lainnya.

Allah SWT menjadikan manusia masing-masing berhajat pada yang lain supaya mereka saling tolong-menolong, tukar- menukar keperluan, dalam segala urusan, baik dalam urusan diri sendiri maupun kepentingan umum. Suatu hal yang mendasar dalam memenuhi kebutuhan sesama adalah adanya interaksi sosial dengan manusia lainnya. Dalam kaitannya dengan hal ini, Islam datang dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang mengatur secara baik persoalan muamalah yang akan dilalui oleh manusia dalam menjalankan kehidupan sosial mereka.

Obyek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang amat luas, sehingga al-Qur’an dan as-Sunnah secara mayoritas lebih banyak membicarakan persoalan muamalah dalam bentuk global dan umum saja. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap bentuk muamalah yang dibutuhkan, dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi tersebut tidak keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan dalam Islam. Jenis dan bentuk muamalah yang dilaksanakan sejak dulu hingga sekarang sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan pengetahuan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, dijumpai beragam bentuk muamalah yang esensinya adalah saling melakukan interaksi sosial untuk memenuhi kebutuhan.1

Salah satu bentuk muamalah yang sering kita jumpai dalam kehidupan masyarakat adalah jual beli. Jual beli merupakan kegiatan yang rutin dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dan jual beli merupakan bentuk muamalah yang mempunyai syarat-syarat serta rukun dalam pelaksanaannya. Maka Islam menetapkan kebolehannya sebagaimana banyak dinyatakan

1 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hlm. vii.

(8)

dalam al-Qur’an dan hadist nabi.

Dalam proses jual beli, sudah selayaknya jika barang yang diperjual-belikan dapat diterima oleh pembeli dengan baik dan dengan harga yang wajar. Mereka juga harus diberitahu apabila terdapat kekurangan atau cacat pada suatu barang yang akan dibeli.

Islam melarang praktik jual beli dengan penggunaan alat ukur atau timbangan yang tidak tepat dan penjualan barang palsu atau rusak.

Tetapi terkadang terjadi kelalaian, baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli, baik pada saat terjadi akad maupun sesudahnya.

Untuk setiap kelalaian ada risiko yang harus dijamin oleh pihak yang lalai.2

Risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.3 Bagi orang awam, risiko berarti menghadapi kesulitan atau bahaya, yang mungkin menimbulkan musibah, atau hal-hal semacam itu yang sifatnya akan merugikan.

Dalam Kamus Lengkap Ekonomi, Risiko adalah peluang dimana hasil yang sesungguhnya bisa berbeda dengan hasil yang diharapkan atau kemungkinan nilai yang hilang atau diperoleh yang dapat diukur.4

Dalam hukum perjanjian, risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak. Persoalan tentang risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam ini dalam hukum perjanjian dinamakan keadaan memaksa (overmacht, force majeur).5

Keadaan memaksa adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya

2 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 127.

3 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 144.

4 Sumadji dkk, Kamus Lengkap Ekonomi, (Bandung: UI Press, 2006), hlm. 578.

5 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 24.

(9)

prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya. Dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.6

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat, yaitu:

1. Kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi.

2. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi.

3. Risiko tidak beralih kepada debitur.

4. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal balik.7

Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu merupakan akibat dari persoalan tentang keadaan memaksa dan tidak dapat diduga. Misalnya barang yang diperjual belikan musnah diperjalanan karena kapal yang mengangkutnya karam ditengah laut karena badai atau sebuah rumah yang disewakan terbakar habis karena korsleting aliran listrik.8

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata peralihan risiko dalam jual beli disebutkan dalam pasal 1460 - 1462 yang bunyinya sebagai berikut:

Pasal 1460:

“Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.”

Pasal 1461:

“Jika barang-barang dijual bukan menurut tumpukan, melainkan menurut berat, jumlah dan ukuran, maka barang-barang itu tetap menjadi tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung, dan diukur.”

6 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hlm. 27.

7 Ibid.

8 Ibid.

(10)

Pasal 1462:

“Sebaliknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka barang itu menjadi tanggungan pembeli meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur”.9

Melalui ketiga rumusan pasal tersebut, risiko mengenai kebendaan yang dijual beralih dari penjual kepada pembeli setelah kebendaan yang dijual tersebut ditentukan, ditimbang, dihitung atau diukur dan ditentukan tumpukannya.

Menurut pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan.10 Apabila barang tersebut musnah diluar kesalahan para pihak dalam perikatan, maka tidak adil jika pembeli harus menanggung akibatnya. Karena pembeli bukanlah pemiliknya sampai barang tersebut diserahkan.

Ketentuan pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut berbeda dengan apa yang tercantum dalam fiqih sunnah karangan Sayyid Sabiq, di sana dijelaskan bahwa risiko atas kerusakan barang dibedakan menjadi dua yaitu kerusakan barang sebelum serah terima dan kerusakan barang sesudah serah terima.

Tentang kerusakan barang sebelum serah terima dilakukan oleh

penjual dan pembeli, ada beberapa kelompok berdasarkan kasusnya, yaitu:

a. Jika barang rusak semua atau sebagian sebelum diserahterimakan akibat perbuatan pembeli, maka jual beli tidak menjadi fasakh (batal), akad berlangsung seperti sedia kala. Dan pembeli berkewajiban membayar penuh, karena ia menjadi penyebab kerusakan.

b. Jika kerusakan akibat perbuatan orang lain, maka pembeli boleh menentukan pilihan antara kembali kepada orang lain atau membatalkan akad.

c. Jual beli menjadi fasakh jika barang rusak sebelum serah

9 Soesilo dan Pramudji, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terj, (Rhedbook Publisher, 2008), hlm. 325.

10 Ibid..., hlm. 325.

(11)

terima akibat perbuatan penjual atau perbuatan barang itu sendiri atau lantaran bencana alam.

d. Jika sebagian barang rusak lantaran perbuatan penjual, maka pembeli tidak berkewajiban membayar terhadap kerusakan tersebut, sedangkan untuk yang utuh pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atu mengambilnya dengan potongan harga.

e. Jika kerusakan barang akibat ulah pembeli, pembeli tetap berkewajiban membayar. Penjual boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atau mengambil sisa dengan membayar kekurangannya

f. Jika kerusakan terjadi akibat bencana alam yang membuat berkurangnya kadar barang, sehingga harga barang berkurang sesuai dengan yang rusak, maka pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad dengan mengambil sisa dengan pengurangan pembayaran.11

Menyangkut risiko kerusakan barang yang terjadi setelah berlangsungnya serah terima, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli. Namun apabila ada alternatif lain dari penjual, misalnya dalam bentuk penjaminan atau garansi, penjual wajib menggantikan harga barang atau menggantinya dengan yang serupa.12

Pengertian Jual Beli

Jual beli merupakan kata majemuk sebagai terjemahan dari istilah Belanda koop en verkoop yang mengandung pengertian bahwa pihak satu verkoopt (menjual) sedang yang lainnya koopt (membeli).

Dalam bahasa Inggris jual beli disebut dengan sale yang berarti penjualan, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakai perkataan kauf yang berarti pembelian.13

11 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, terj. Kamaluddin A Marzuki, cet.

Ke-2 (Bandung: Al-Ma’arif, 1987) hlm. 100.

12 Iska Amla. http://luhalmabest.blogspot.co.id/2013/09/10- perjanjian-dalam-kuhperdata-dan-khes.html. Diakses, 12 Januari 2018

13 Masduha Abdurrahman, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam, (Surabaya: Central Media, 2001), hlm. 37.

(12)

Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 14 Sedangkan pengertian perjanjian jual beli terdapat pada Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu, “Suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Dari pengertian diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu:15

1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.

Unsur esensial suatu perjanjian jual beli adalah adanya penyerahan hak milik atas suatu barang dan pembayarannya harus dengan uang. Jika pembayaran atas penyerahan hak milik atas suatu barang tidak dengan uang, bukanlah perjanjian jual beli tetapi perjanjian barter atau tukar menukar.16

Menurut Salim H.S, perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli.

Dalam perjanjian tersebut pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan obyek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga sedangkan pembeli berhak menerima objek tersebut.17

Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat, dan

14 Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2004), hlm. 100.

15 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni,1986), hlm. 181.

16 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1990), hlm. 225.

17 Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 49.

(13)

jual beli tersebut menjadi sah apabila antara penjual dan pembeli sepakat tentang harga dan barang.18

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yaitu penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Dalam jual beli terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan.

Pada sisi hukum kebendaan, jual beli melahirkan hak atas tagihan yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak dan pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Sedang dari sisi perikatannya, jual beli melahirkan kewajiban dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.19

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata melihat jual beli hanya dari sisi perikatannya saja, yaitu dalam bentuk kewajiban dalam lapangan harta kekayaan dari masing-masing pihak secara timbal balik satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, maka jual beli dimasukkan dalam buku ketiga tentang perikatan.20

Risiko dalam Jual Beli

Di dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang dinamakan dengan resicoleer. Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu seseorang berkewajiban memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terjadi keadaan memaksa (overmacht).21

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk memenuhi

18 Subekti, Aneka Perjanjian,… hlm. 2.

19 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 7

20 Ibid., hlm. 8

21 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hlm. 26.

(14)

prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi perstasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.22

Risiko atas barang yang menjadi obyek jual beli tidak sama, terdapat perbedaan sesuai dengan sifat dan keadaan barang tersebut, diantaranya:23

1. Obyek Jual Beli Barang Tertentu

Risiko dalam jual beli barang tertentu telah beralih kepada pembeli sejak adanya kata sepakat. Walaupun penyerahan barang belum terjadi dan penjual tetap berhak menuntut pembayaran harga seandainya barang yang diperjualbelikan tersebut musnah. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:

“Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan penjual berhak menuntut harganya.”

Yang dimaksud barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh si pembeli.

2. Obyek Jual Beli Barang Timbangan

Obyek jual beli yang terdiri atas barang yang dijual dengan timbangan, bilangan atau ukuran, maka risiko atas barang yang diperjualbelikan tetap berada dipihak penjual sampai barang itu ditimbang, diukur dan dihitung. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: “Jika barang-barang dijual bukan menurut tumpukan melainkan menurut berat, jumlah, dan ukuran, maka barang-barang itu tetap menjadi tanggungan

22Ibid., hlm. 27.

23 Subekti, Aneka…, hlm. 25.

(15)

penjual sampai barang-barang ditimbang, dihitung dan diukur”.

3. Obyek Jual Beli Barang Tumpukan

Jika barang dijual menurut tumpukan atau onggokan, maka barang-barang tersebut menjadi risiko pembeli, meskipun barang-barang itu belum ditimbang, diukur dan dihitung. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu: “Sebaliknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur”.

Melalui rumusan Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, risiko mengenai kebendaan yang dijual baru beralih dari penjual kepada pembeli, segera setelah kebendaan yang dijual tersebut ditentukan. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jika kebendaan tersebut dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, maka risiko beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah kebendaan tersebut ditimbang, dihitung atau diukur; dan menurut ketentuan Pasal 1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam hal kebendaan tersebut dijual menurut tumpukan, maka risiko beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah tumpukan tersebut ditentukan.

Dari ketentuan ketiga pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, dapat dilihat bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan rumusan yang khusus (lex spesialis), yang berbeda dari ketentuan umum (lex generalis) yang diatur dalam Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya.”

Perkataan tanggungan pada Pasal 1237 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata itu adalah sama dengan risiko, bahwa dalam hal perjanjian untuk memberikan sesuatu kebendaan tertentu, jika

(16)

barang itu sebelum diserahkan kepada pihak yang berhak menerima pada waktu perjanjian telah lahir, kemudian barang itu musnah di luar kesalahan para pihak, maka risiko musnahnya barang di tanggung oleh pihak yang akan menerimanya (kreditur).

Rumusan kalimat pertama Pasal 1237 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang risiko dalam perjanjian sepihak, di mana hanya ada satu pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi, yaitu memberikan suatu kebendaan tertentu, misalnya dalam perikatan yang lahir dari suatu hibah.24

Peralihan Risiko dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat dan materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan perdata juga lazim dipakai sebagai lawan dari pidana.25

Sebagaimana diketahui dalam Buku Ketiga B.W (Burgerlijk Wetboek), terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus.

Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan lain sebagainya.

Buku III tersebut menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-udang bagi mereka yang membuatnya. Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa tiap perjanjian mengikat kedua pihak. Dari peraturan ini dapat disimpulkan bahwa orang leluasa membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum, kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus Buku III, akan tetapi pada umumnya juga dibolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III. Artinya peraturan yang ditetapkan dalam Buku III

24 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2010), hlm. 251.

25 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. Ke-33 (Jakarta:

Intermasa, 2011) hlm.1

(17)

B.W hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan dalam Buku III hanya merupakan hukum pelengkap (aanvullend recht), bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.26

Sistem yang dianut oleh Buku III itu juga lazim dinamakan sistem terbuka, yang merupakan sebaliknya dari yang dianut oleh Buku II perihal hukum perbendaan. Maka dari itu orang tidak diperkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang diatur dalam B.W sendiri, di situ dianut suatu sistem tertutup.27

Maka dapat disimpulkan, bahwa Hukum Benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

Risiko atas suatu barang dijelaskan dalam Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tergantung pada jenis barang yang diperjual belikan.

Mengenai risiko dalam jual beli terhadap barang tertentu diatur dalam Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal pertama yang harus dipahami adalah pengertian dari barang tertentu tersebut.

Yang dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian dibuat sudah ada dan ditunjuk oleh pembeli. Barang tumpukan Mengenai barang seperti itu Pasal 1460 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa risiko terhadap barang tersebut ditanggung oleh si pembeli meskipun barangnya belum diserahkan.

Dapat dilihat bahwa ketentuan tersebut adalah tidak adil, karena pembeli belumlah resmi sebagai pemilik dari barang tersebut akan tetapi ia sudah dibebankan untuk menanggung risiko terhadap barang

26 Ibid., hlm. 127

27 Ibid.,

(18)

tersebut. Si pembeli dapat resmi sebagai pemilik apabila telah dilakukan penyerahan terhadap si pembeli. Oleh sebab itu, dia harus menanggung segala risiko yang dapat terjadi karena barang tersebut telah diserahkan kepadanya.

Ketentuan Pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 tahun 1963.

Menurut Prof. R. Subekti, Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan suatu anjuran kepada semua hakim dan pengadilan untuk membuat yurisprudensi yang bahwa, menyatakan Pasal 1460 tersebut sebagai pasal yang mati dan karena itu tidak boleh dipakai lagi.28

Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula dipisahkan dari barang-barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli. Oleh sebab itu dalam hal ini, risiko diletakkan kepada si pembeli karena barang-barang tersebut telah terpisah.

Sedangkan barang yang masih harus ditimbang terlebih dahulu, dihitung atau diukur sebelum dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan baru dipisahkan dari barang-barang milik si penjual lainnya setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran, maka segala risiko yang terjadi pada barang tersebut adalah merupakan tanggung jawab dari si pembeli. Sebaliknya apabila barang tersebut belum dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran maka segala risiko yang ada pada barang tersebut merupakan tanggungjawab dari pihak penjual. Hal ini diatur dalam Pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dari uraian ketiga pasal diatas dapat disimpulkan bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, risiko mengenai kebendaan yang dijual baru beralih dari penjual kepada pembeli, segera setelah kebendaan yang dijual tersebut ditentukan. Jika kebendaan tersebut dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, maka risiko beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah kebendaan tersebut ditimbang, dihitung atau diukur, sedangkan benda yang dijual

28 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Ditya Bakti, 2014), hlm. 27

(19)

menurut tumpukan, maka risiko beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah tumpukan tersebut ditentukan.

Tinjauan Hukum Islam terhadap Peralihan Risiko

Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri.

Peraturan muamalah dalam hukum Islam menyangkut empat hal, yaitu:29

a. Dilaksanakan dengan rela sama rela b. Mengenai suatu yang suci dan halal

c. Tidak ada unsur penipuan atau merugikan pihak lain terlebih

mempersempit peredaran ekonomi masyarakat d. Untuk tujuan yang dibenarkan syara’.

Dengan melihat empat prinsip muamalah tersebut, secara garis besar jual beli dalam Hukum Perdata ataupun dalam Hukum Islam tidak ada masalah. Apabila sudah terpenuhi syarat dan rukun jual beli maka jual beli sudah sah dan mengikat pada saat tercapainya kata sepakat, sehingga kedua belah pihak telah terikat dalam perjanjian jual beli dan keduanya memikul kewajiban masing-masing.

Pelaksanaan jual beli dapat dikatakan sudah sesuai dengan konsep dan kaidah hukum Islam, jika sudah memenuhi syarat dan rukun jual beli yang ditentukan dalam syariat Islam.

Sebagaimana yang telah kita ketahui, jual beli merupakan salah satu bentuk dari hubungan muamalah yaitu hubungan timbal balik antara penjual dan pembeli. Secara otomatis, di dalamnya memuat perjanjian (baik tertulis maupun tidak) serta hak dan kewajiban antara para pihak.

Dalam Hukum Islam, yang menjadi dasar adanya perjanjian adalah pernyataan yang diucapkan serta mengandung janji-janji antara kedua belah pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum

29 Masduha Abdurrahman, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam, (Surabaya: Central Media, 2001) hlm. 41

(20)

tertentu. Setelah terwujudnya suatu janji, maka timbullah hubungan hukum yang mengikat. Masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya sebagaimana pernyataan yang telah diucapkan bersama. Hal ini dikarenakan dalam hukum Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menunaikan setiap janji yang telah mereka buat secara suka rela.

Islam memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengadakan transaksi, dimana akid dapat mengemukakan berbagai syarat yang dikehendaki dan mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala sesuatu yang timbul dari akad tersebut. Seperti dalam firman Allah SWT QS. Al-Maidah ayat 1 dan QS. al-Isra’ ayat 34.30

Dalam Ilmu Ekonomi Islam, risiko atau ketidaktentuan lebih dikenal sebagai taghrir. Taghrir berasal dari bahasa Arab yang berarti akibat, bencana, bahaya, risiko dan ketidakpastian. Dalam fiqh muamalah, taghrir adalah kontrak yang mengandung risiko bagi salah satu pihak mana pun, yang mana dapat mengakibatkan pihak tersebut kehilangan hartanya.31

Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian,baik mengenai ada atau tidak ada obyek akad, besar atau kecil jumlah maupun penyerahan obyek akad tersebut.

Menurut ulama fikih, bentuk kelalaian dalam jual beli diantaranya:32

1. Barang yang dijual itu bukan milik penjual (barang titipan, jaminan hutang yang berada di tangan penjual, barang curian).

2. Sesuai perjanjian, barang tersebut harus diserahkan ke tempat pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata barang tidak diantarkan atau tidak tepat waktu.

3. Barang tersebut rusak sebelum sampai ke tangan pembeli.

4. Barang tersebut tidak sesuai dengan contoh yang telah disepakati.

30 Hendi Suhandi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) hlm. 75

31 Asyraf Wajdi Dasuki, Sistem Keuangan Islam, Prinsip dan Operasi, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2015) hlm. 624

32 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2007) hlm. 127

(21)

Penanggungan risiko juga dapat memperhatikan letak dan tempat beradanya suatu barang, serta penyebab terjadinya suatu kelalaian. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayyid Sabiq, bahwa penanggungan atas kerusakan atau cacat barang, harus ditentukan dulu kapan terjadinya kerusakan barang tersebut. Tentang kerusakan barang sebelum dilakukan serah terima antara penjual dan pembeli, ada beberapa kelompok berdasarkan kasusnya, yaitu:33

1. Jika barang rusak semua atau sebagian sebelum diserah terimakan akibat perbuatan pembeli, maka jual beli tidak menjadi fasakh (batal), akad berlangsung seperti sedia kala.

Dan pembeli berkewajiban membayar penuh, karena ia menjadi penyebab kerusakan.

2. Jika kerusakan akibat perbuatan orang lain, maka pembeli boleh menentukan pilihan antara kembali kepada si orang lain atau membatalkan akad.

3. Jual beli menjadi fasakh jika barang rusak sebelum serah terima akibat perbuatan penjual atau perbuatan barang itu sendiri atau karena bencana alam.

4. Jika sebagian barang rusak karena perbuatan penjual, maka pembeli tidak berkewajiban membayar terhadap kerusakan tersebut, sedangkan untuk barang yang utuh pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atau mengambilnya dengan potongan harga.

5. Jika kerusakan barang akibat perbuatan barang itu sendiri, ia tetap berkewajiban membayar. Penjual boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atau mengambil sisa dengan membayar kekurangannya.

6. Jika kerusakan terjadi akibat bencana alam yang membuat berkurangnya kadar barang, sehingga harga barang berkurang sesuai dengan yang rusak, maka pembeli boleh menentukan pilihan antara membatalkan akad atau mengambil sisa (yang utuh) dengan pengurangan pembayaran.

33 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (terj.), Jilid 12, Bandung: Al-Ma’arif, 1988, hlm. 100

(22)

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada beberapa pasal yang mengatur masalah risiko, diantaranya adalah Pasal 1460 yang menyatakan bahwa, “Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya”.

Menurut Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukumu Perdata, dalam suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah ditentukan, sejak saat ditutupnya perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan pembeli meskipun barangnya belum diserahkan dan masih berada di tangan penjual. Dengan demikian, jika barang tersebut musnah bukan karena kesalahan penjual, penjual masih tetap berhak untuk menagih harga yang belum dibayar.

Selain Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, risiko mengenai jual beli juga diatur dalam Pasal 1461 dan pasal 1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1461 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa, “Jika barang dijual bukan menurut tumpukan melainkan menurut berat, jumlah dan ukuran, maka barang itu tetap menjadi tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung dan diukur”.

Menurut ketentuan pasal tersebut, risiko atas barang yang dijual diletakkan kepada penjual. Barang-barang yang masih harus ditimbang, dihitung atau diukur dahulu sebelum dikirim atau diserahkan kepada pembeli, bisa dianggap baru dipisahkan dari barang-barang milik penjual setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Baru setelah dipisahkan itu merupakan barang yang disediakan untuk dikirimkan kepada pembeli atau untuk diambil oleh pembeli.

Risiko yang diletakkan pada penjual tersebut memang sudah tepat, tetapi jika setelah dilakukan penimbangan, penghitungan atau pengukuran, risiko secara otomatis dipindahkan kepada pembeli, itu merupakan suatu ketidakadilan, karena pembeli bukanlah pemilik barang. Sedangkan untuk barang yang dijual menurut tumpukan, risikonya diatur dalam Pasal 1462 Kitab Undang-Undang Hukuum Perdata, yaitu, “Sebaliknya jika barang itu dijual menurut tumpukan,

(23)

maka barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur”.

Barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari semula disendirikan (dipisahkan) dari barang milik penjual lainnya, sehingga sudah dari semula dalam keadaan siap untuk diserahkan kepada pembeli. Ketentuan tentang risiko atas barang tumpukan juga merupakan suatu ketidakadilan, karena barang tumpukan sebenarnya merupakan kumpulan dari barang-barang tertentu menurut pengertian Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.34

Menurut Hukum Islam, Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak adil karena semua risiko pada dasarnya dibebankan kepada pembeli, yang baru merupakan calon pembeli bukanlah pemilik barang. Dalam Islam dasar hukum dalam tukar menukar adalah adanya keselamatan barang dari cacat. Sebagaimana pendapat ahli fiqih, bahwa penerimaan barang termasuk dalam syarat sahnya akad, jadi sebelum barang tersebut sampai ketangan pembeli maka risiko keselamatan barang masih ada ditangan penjual.

Risiko jual beli yang terdapat dalam Pasal 1460 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dikutip dari code civil Perancis, tetapi saat perpindahan hak milik menurut code civil berlainan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut sistem code civil, dalam suatu jual beli barang tertentu, hak milik sudah berpindah pada saat ditutupnya perjanjian jual beli, sedangkan menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam segala macam jual beli hak milik itu baru berpindah kalau barangnya sudah diserahkan (dilever).35

Di dalam sistem code civil, peraturan mengenai risiko sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1460 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat dipertanggungjawabkan, tetapi dalam sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata peraturan tersebut menimbulkan ketidakadilan.

Di dalam bisnis Islam, terdapat etika bisnis yang harus dijalankan agar

34 Ibid., hlm. 28

35 Subekti, Aneka Perjanjian…, hlm. 26

(24)

sebuah bisnis itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam sehingga tidak merugikan pihak lain. Setiap orang yang bertindak atau melakukan sesuatu harus disertai dengan tanggung jawab. Niat yang baik harus disertai dengan perbuatan yang baik pula, dengan niat baik semata tindakan yang tidak etis tidak menjadi etis. Sebagaimana pendapat Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Muhammad bahwa niat baik tidak menjadikan yang haram menjadi bisa diterima.36

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, ketentuan yang diatur dalam Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak sesuai dengan Hukum Islam. Dalam pasal tersebut risiko dibebankan kepada pembeli sejak adanya kata sepakat, meskipun penyerahnnya belum dilakukan. Sedangkan dalam Islam, penerimaan barang termasuk dalam syarat sahnya akad, oleh karena itu penanggungan risiko masih harus ditanggung oleh penjual sampai pembeli menerimanya.

Dasar hukum dalam tukar menukar barang atau jual beli adalah adanya keselamatan barang dari cacat. Oleh karena itu, apabila terdapat cacat atau kerusakan barang walaupun bukan karena kesalahan para pihak (penjual dan pembeli), seorang penjual harus tetap menanggungnya sebelum barang diserahkan kepada pembeli.

Simpulan

Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: pertama, Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, risiko mengenai kebendaan yang dijual baru beralih dari penjual kepada pembeli, segera setelah kebendaan yang dijual tersebut ditentukan. Jika kebendaan tersebut dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, maka risiko beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah kebendaan tersebut ditimbang, dihitung atau diukur, sedangkan benda yang dijual menurut tumpukan, maka risiko beralih dari penjual kepada pembeli segera setelah tumpukan tersebut ditentukan.

Kedua, ketentuan yang diatur dalam Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak sesuai dengan Hukum Islam.

36 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi…, hlm. 127

(25)

Dalam Pasal 1460-1462 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, risiko dibebankan kepada pembeli sejak adanya kata sepakat, meskipun penyerahnnya belum dilakukan. Sedangkan dalam Islam, penerimaan barang termasuk dalam syarat sahnya akad, oleh karena itu penanggungan risiko masih harus ditanggung oleh penjual sampai pembeli menerimanya.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Masduha, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Perdata Islam, Surabaya: Central Media, 2001.

Ahmad, Abu Bakar bin al-Husain al-Baihaqi, Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar VIII, cet. Ke-1, Beirut: Dar al-Fikr, 1991.

al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu IV, Cet. Ke- 4 Beirut: Dar al Fikr, 2017.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Abdul, Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam V, cet. Ke-5 Jakarta: PT Intermasa, 2001.

Gibtiah, Fikih Kontemporer, Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

Hadisoeprapto, Hartono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2004.

Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung:

Alumni, 1986.

Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama,

2007.

(26)

Hasan, Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Hasan, Hasbi, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, Jakarta: Gramata Publishing, 2011.

Kansil, C.S.T, dan Christine S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011.

Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1990.

Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2014.

Miru, Ahmad, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.

Mubarok, Jaih dan Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah Akad Jual-Beli, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017.

_______, Fikih Mu’amalah Maliyyah Prinsip-Prinsip Perjanjian, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017.

Mujahidin, Ahmad, Kewenangan dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Rahardjo, Handri, Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta:

Pustaka Yustisia, 2009.

_______, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit,

Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2003.

(27)

Rauf al-Manawi, Abd, Faidhu al-Qadir syarh al-Jami’ al- Shaghir III, Beirut: Dar al-Ma’arif, 2000.

Rianto Al Arif, M. Nur, Pengantar Ekonomi Syariah, Bandung:

CV Pustaka Setia, 2015.

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah terj, Jilid 12, Bandung: Al-Ma’arif, 1988.

Salim, A. Abbas, Asuransi dan Manajeman Risiko, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2011.

_______, Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014.

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Press, 2014.

Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General:Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani, 2004.

Sumadji dkk, Kamus Lengkap Ekonomi, Bandung: UI Press, 2006.

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta.

2004.

Soesilo dan Pramudji, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terj, Rhedbook Publisher, 2008.

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata,

Bandung: Alumni,

(28)

2010.

Syatha, Sayyid Bakri, I’anah Ath-Thalibin Juz III, Surabaya: Al- Hidayah, tth.

Wajdi Dasuki, Asyraf, Sistem Keuangan Islam, Prinsip dan Operasi, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2015.

Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam Jakarta: Kencana

Predana Media, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

O skaitantysis, laike nutolęs suvo - kėjas, gauna nuorodas į daugybę skaitymo ir supratimo strategijų, nes skaitymo kodo ar tvarkos šis tekstas (laiškų masyvą va - dinsime

[r]

Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab

Ketentuan perundang-undangan Indonesia memiliki pengertian yang mendasar mengenai capital gains yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor

Dalam penelitian ini, pengkategorian otomatis artikel ilmiah dilakukan dengan menggunakan kernel graph yang diterapkan pada graph bipartite antara dokumen artikel

Dengan demikian berdasarkan gambar dan penjelasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap PT yang didalamnya terdapat modal asing, baik karena pengambilan saham pada saat

Tabel Hasil Wawancara Peneliti terhadap Guru Kelas Tentang Peningkatan Perkembangan kognitif Siswa Kelompok A TK Kartini Mayong Jepara Melalui Layanan penguasaan

Empat ratus dan lima ratus tahun yang lalu, Machiavelli pernah berkata, “Tidak ada yang lebih sukar untuk dilakukan, lebih membahayakan untuk dilakukan atau lebih tidak pasti