13 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Modul Sains
a. Pengertian Modul Sains
Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, serta didalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu siswa menguasai tujuan belajar yang spesifik, serta bersifat mandiri sehingga membantu siswa untuk belajar secara mandiri sesuai dengan kecepatan masing-masing (Daryanto, 2013). Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Sukiman (2011) yang menyatakan bahwa modul adalah bagian kesatuan belajar yang terencana yang dirancang untuk membantu siswa secara individual dalam mencapai tujuan belajarnya.
Modul sains merupakan salah satu bentuk bahan ajar sains yang dikemas secara utuh, sistematis dan bersifat mandiri dengan tujuan agar siswa menguasai produk sains, seperti konsep-konsep, menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah sains dan nilai yang berkaitan dengan masalah sikap setelah terbiasa mempelajari dan menguasai produk dan proses sains (Toharudin, 2011).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa modul adalah salah satu bentuk bahan ajar yang bersifat mandiri yang dapat dipelajari sendiri oleh siswa (self instructional) dan disusun secara sistematis untuk membantu siswa menguasai produk sains, seperti konsep-konsep, menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah sains dan nilai yang berkaitan dengan masalah sikap setelah terbiasa mempelajari dan menguasai produk dan proses sains.
b. Unsur-unsur Modul Sains
Menurut Mulyasa (2006) modul sains pada umumnya terdiri atas beberapa komponen yaitu lembar kegiatan siswa, lembar kerja siswa, kunci
lembar kerja, lembar soal, lembar jawaban, dan kunci jawaban. Komponen tersebut dikemas dalam format modul sebagai berikut: 1) pendahuluan, merupakan gambaran umum, seperti materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai setelah belajar, termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut; 2) tujuan pembelajaran, merupakan tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai siswa setelah mempelajari modul; 3) tes awal, merupakan alat untuk mengetahui kemampuan awal siswa serta menentukan dari mana siswa harus memulai belajar dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut; 4) pengalaman belajar, berisi tentang rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif bagi siswa; 5) sumber belajar, berisis sumber-sumber belajar yang dapat dicari dan digunakan oleh siswa; 6) tes akhir, merupakan instrumen yang sama dengan yang digunakan dalam tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul.
c. Karakteristik Modul Sains
Karakteristik modul sains dapat diketahui dari formatnya yang disusun atas dasar: 1) prinsip-prinsip desain pembelajaran yang berorientasi kepada tujuan (objective model); 2) prinsip belajar mandiri; 3) prinsip belajar maju berkelanjutan (continous progress); 4) penataan materi secara modular yang utuh dan lengkap (self contained); 5) prinsip rujuk silang (cross referencing) antar modul dalam mata pelajaran; 6) penilaian belajar mandiri terhadap kemajuan belajar (self evaluation).
Karakteristik modul sains menurut Daryanto (2013), adalah sebagai berikut: 1) Self Instruction, merupakan karakteristik penting dalam modul, dengan karakter tesebutmemungkinkan seseorang belajar secara mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain; 2) Self Contained, modul dikatakan self contained ba seluruh meteri pembelajarana yang dibutuhkan termuat dalam modul tesebut. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan kesempatan siswa mempelajari materi pembelajaran secara tuntas, karena materi belajar dikeas ke dalam satu kesatuan utuh; 3) Berdiri sendiri (stand alone), merupakan
karakteristik modul yang tidak tergantung pada bahan ajar/ media lain, atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan bahan ajar/media lain; 4) Adaptif, modul hendaknya memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul tersebut dapat menyesuaikan perkembanan ilmu pengetahuan dan teknologi serta luwes digunakan di berbagai perangkat keras; 5) Bersahabat/ akrab (user friendly), modul hendaknya juga memenuhi kaidah user friendly atau bersahabat/ akrab dengan pnggunanya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan penggunanya, termasuk kemudahan pemakai alam merespon dan mengakses sesuai dean keinginannya. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, serta menggunakan istilah umumnya digunakan, merupakan salah satu bentuk user friendly.
d. Kelebihan dan Kelemahan Modul Sains
Keunggulan pembelajaran dengan sistem modul sains menurut Mulyasa (2006) antara lain: 1) berfokus pada kemampuan individual siswa, karena pada hakekatnya mereka memiliki kemampuan untuk bekerja sendiri dan lebih bertanggng jawab atas tindakan-tindakannya; 2) adanya kontrol terhadap hasil belajar melalui penggunaan standar kompetensi dalam setiap modul yang harus dicapai oleh siswa; 3) relevansi kurikulum ditunjukkan dengan adanya tujuan dan cara pencapaiannya, sehingga siswa dapat mengetahui keterkaitan antara pembelajaran dan hasil yang akan diperolehnya.
Menurut Nasution (2005) kelebihan modul antara lain: 1) modul memberi kesempatan bagi siswa untuk belajar menurut kecepatan masing- masing; 2) modul memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar menurut cara siswa masing-masing; 3) pada pengajaran modul terdapat alternatif pilihan dari sejumlah topik bidang studi atau disiplin ilmu lainnya, kita juga dapat mengetahui bahwa siswa tidak mempunyai pola atau minat yang sama; dan 4) pengajaran mdul memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengenal kelebihan dan kekurangannya.
Pembelajaran sains dengan menggunakan bahan ajar modul sangat bermanfaat bagi guru karena siswa akan lebih kreatif dalam mengembangkan dirinya, kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik, siswa akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar secara mandiri, mengurangi ketergantungan terhadap kehadiran guru sains, dan siswa juga akan mendapatkan kemudahan mempelajari setiap kompetensi yang harus dikuasai (Wenno, 2008).
Selain memiliki beberapa keunggulan, modul juga memiliki kelemahan, antara lain: 1) penyusunan modul yang baik membutuhkan keahlian tertentu. Sukses atau gagalnya suatu modul bergantung pada penyusunnya; 2) sulit menentukan proses penjadwalan dan kelulusan, serta membutuhkan manajemen pendidikan yang sangat berbeda dari pembelajaran konvensional, karena setiap siswa menyelesaikan modul dalam waktu yang berbeda-beda, bergantung pada kecepatan dan kemampuan masing-masing;
3) dukungan pembelajaran berupa sumber belajar, pada umumnya cukup mahal, karena setiap siswa harus mencarinya sendiri (Mulyasa, 2006).
2. Teori-teori Belajar a. Teori Jean Piaget
Teori belajar Piaget menjelaskan bagaimana proses belajar dan proses pengetahuan seseorang dalam perkembangan intelektual. Menurut pandangan Piaget, proses belajar terjadi menurut tahap-tahap perkembangan intelektual sesuai umur. Struktur kognitif anak meningkat sesuai dengan usianya, bergerak dari sekedar refleks-refleks awal menuju aktivitas mental yang kompoleks. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda. Pengalaman yang sama bagi seseorang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak berbeda.
Setiap pengalaman baru akan dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia. Lebih lanjut Piaget menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan
awal yang telah dimiliki dengan pengetahuan yang baru melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya, sehingga terjadi keseimbangan (equilibrium).
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru dengan cara membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suyono & Hariyanto, 2011). Asimilasi dan akomodasi bersama-sama secara terkoordinasi dan terintegrasi menjadi penyebab terjadinya adaptasi intelektual dan perkembangan struktur intelektual.
Menurut Piaget, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari pikiran guru kepada siswa. Artinya, siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dua prinsip utama dalam teori belajar kognitivisme, pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa; kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian skema melalui pengalaman nyata. Dampak teori belajar Pieget terhadap pembelajaran adalah guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak, atau interaksi anak dengan lingkungan di sekelilingnya; memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dan pengetahuan dalam bahasanya sendiri;
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba pengalaman baru;
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif; menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Teori belajar kognitif Piaget relevan dengan model pembelajaran ADI.
Pada sintaks pengumpulan dan analisis data (the generation of data) siswa dikondisikan untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan baru secara logis dan rasional melalui
kegiatan penyelidikan, pengumpulan data dan analisis data penyelidikan, sehingga model ADI mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi sebuah pengetahuan.
b. Teori Sosio-Kultural Vygotsky
Vygotsky menyatakan bahwa pengetahuan dibangun secara sosial (social constructivism) (Dahar, 2011). Sumbangan penting dari teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat sosio-kultural dari belajar. Kultur atau kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengembangan individu.
Perkembangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaannya. Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (internal) dan tataran psikologis di dalam diri yang bersangkutan (intramental). Pada mulanya anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial tertentu tanpa memahami makna. Pemaknaan atau konstruksi pengetahuan baru muncul melalui proses internalisasi. Internalisasi bersifat transformatif yaitu mampu memunculkan perubahan dan perkembangan yang tidak sekedar transfer.
Menurut teori sosio-kultural Vygotsky, pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial siswa dengan guru dan teman sebaya. Di dalam proses pembelajaran, siswa berinteraksi dengan guru dan teman sebaya untuk menyatakan pendapat, ide dan gagasan merupakan hal yang penting, sehingga terbangun proses bertukar pendapat untuk menambah pengetahuan.
Pengetahuan dibangun secara sosial, yang memiliki arti bahwa siswa yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Berkaitan dengan pembelajaran, Ratumanan (2004) mengurikan 5 prinsip kunci teori belajar Vygotsky. Kelima prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1) Peneknan pada hakikat sosiokultural belajar
Lingkugan kebudayaan dan interaksi sosial berperan penting dalam perkembangan sifat-sifat dan tipe-tipe manusia. Siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih
mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide dan pengetahuan baru serta memperkaya perkembangan itelektual siswa.
Fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog. Dalam hal ini, pembelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik, tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki individu lain. Prinsip ini melahirkan model pembelajaran kooperatif.
2) Zone of Proximal Development (ZPD)
Proses belajar terjadi ketika anak bekerja atau belajar mengenai tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan proksimal anak tersebut. Daerah perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit diatas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Artinya, daerah ini adalah daerah di antara tingkat perkembangan sesungguhnya/ aktual (Zone of Actual Development/ ZAD) dan tingkat perkembangan potensial anak (Zone of Potential Development/ ZPoD). Tingkat perkembangan aktual adalah pemfungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk mempelajari sesuatu dengan kemampuannya sendiri (kemampuan memecahkan masalah secara mandiri). Tingkat perkembangan potensial adalah kondisi yang dapat dicapai oleh seseorang individu dengan bantuan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Dengan kata lain, kemampuan memecahkan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya, sehingga pada saat siswa bekerja dalam daerah perkembangan proksimalnya, tugas-tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat diselesaikan dengan bantuan teman sebaya atau orang dewasa. Pembelajaran di sekolah hendaknya bekerja dalam daerah ini, menarik kemampuan-kemampuan anak dengan maksud mendorong pertumbuhan seefektifnya.
3) Pemagangan kognitif
Pemagangan kognitif mengacu pada proses dimana seseorang yang sedang belajar tahap demi tahap memperoleh keahlian melalui interaksinya dengan pakar/ orang yang lebih mampu. Pakar yang dimaksud adalah orang yang menguasai permasalahan yang dipelajari, sehingga dapat berupa orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pada konteks kooperatif, siswa yang lebih pandai dalam kelompoknya dapat berperan sebagai pakar bagi teman-teman dalam kelompok tersebut.
4) Perancahan (scaffolding)
Scaffolding mengacu pada pemberian sejumlah bantuan kepada anak oleh teman sebaya atau orang dewasa yang berkompeten. Scaffolding berarti memberikan kepada anak sejumlah besar dukungan selama tahap- tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar segera setelah anak mampu melakukan tugas tersebut secara mandiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petuntuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah
5) Bergumam (Private speech)
Bergumam adalah berbicara dengan diri sendiri atau berbicara dalam hati untuk tujuan membimbing dan mengarahkan diri sendiri. Private speech dapat memperkuat interaksi sosial anak dengan orang lain.
Teori Vygotsky relevan dengan model pembelajaran ADI. Pada sintaks pembentukan argumen dan sesi argumentasi (argumentation session), siswa dikondisikan untuk berkelompok yang memungkinkan siswa untuk terlibat dalam diskusi dan berinteraksi langsung dengan teman melalui kegiatan mengusulkan, mendukung, mengkritik, dan mempertahankan argumentasi, penjelasan, ataupun pendapatnya. Pembentukan argumen memungkinkan siswa untuk terlibat dalam diskusi dan berinteraksi langsung dengan teman melalui kegiatan mengusulkan dan mempertahankan argumentasi, penjelasan, ataupun pendapat untuk menambah pengetahuan. Sesi
argumentasi memberikan kesempatan untuk terlibat dalam diskusi dan berinteraksi langsung dengan teman melalui kegiatan mengusulkan, mendukung, mengkritik, dan mempertahankan argumentasi, penjelasan, ataupun pendapat. Kegiatan berargumentasi ini merupakan bagian dari proses sosial yang dapat mengembangkan wacana di dalam pembelajaran sains.
Pengalaman-pengalaman seperti ini membantu siswa untuk membantu siswa memahami sifat teori sains.
c. Teori Belajar Jerome Brunner
Brunner mengemukakan bahwa pembelajaran menekankan pada pentingnya memantau siswa untuk memahami struktur, perlunya keterlibatan siswa secara aktif dan keyakinan bahwa pembelajaran datang dari proses penemuan siswa. Brunner menyatakan bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik (Arends, 2008). Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar menemukan ini memiliki beberapa kelebihan.
Pertama, pengetahuan tersebut dapat bertahan lama dalam ingatan siswa.
Kedua, hasil belajar melalui penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik, artinya konsep-konsep dan prinsip-prinsip dalam kognitif siswa lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. Ketiga, secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.
Secara khusus, belajar penemuan melatih keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain, membangkitkan keingintahuan siswa, memberi motivasi siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi. Proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan keleluasaan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh yang dijumpai dalam kehidupannya dalam bahasa mereka sendiri (Suyono & Hariyanto, 2011).
Teori Penemuan Jerome Brunner relevan dengan model pembelajaran ADI, yaitu pada sintaks pengumpulan dan analisis data (the generation of
data). Pada sintaks pengumpulan dan analisis data (the generation of data), siswa diberi kesempatan untuk secara aktif menemukan pengetahuannya.
Pada tahap pengumpulan dan analisis data, siswa melakukan dan mengembangkan suatu penyelidikan secara mandiri untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian dari tahap sebelumnya, sehingga dengan melakukan penyelidikan sendiri, siswa akan belajar untuk menemukan suatu konsep ataupun pengetahuan penting dari materi pembelajaran yang sedang dipelajari.
d. Teori Belajar Ausubel
Teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna, menurut Ausubel belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 2011). Ausubel menyatakan bahwa pengembangan konsep berlangsung paling baik, bila unsur-unsur paling umum dari suatu konsep diperkenalkan lebih dahulu, dan kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih rinci. Belajar bermakna akan terjadi, jika konsep satu dijelaskan hubungannya dengan konsep lainnya. Belajar bermakna bukan hanya memperoleh pengetahuan semata, tetapi juga dapat menggali kandungan nilai-nilai dari prinsip-prinsip atau teori bahan ajarnya yang dapat diterapkan sebagai sumber nilai bagi kehidupan manusia sehari-hari.
Belajar terjadi bila seseorang mampu mengintegrasikan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan baru. Menurut Ausubel, proses Belajar terjadi melalui tahap-tahap: 1) memperhatikan stimulus yang diberikan; 2) memahami makna stimulus; 3) menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami. Teori belajar bermakna menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) pengatur awal (advance organizer), merupakan penyampaian awal materi yang akan dipelajari siswa dan menolong meraka untuk mengingat kembali informasi-informasi yang berhubungan, yang dapat digunakan untuk membantu menanamkan pengetahuan baru, sehingga diharapkan siswa secara mental akan siap menerima materi; 2) diferensiasi progresif, yaitu penyampaian materi hendaknya bertahap. Guru menyampaikan materi
bermula dari konsep-konsep umum kemudian dilanjutkan ke hal-hal khusus dengan disertai contoh-contoh yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari; 3) rekonsilasi integrative, penjelasan yang disampaikan guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah siswa ketahui dengan konsep- konsep yang baru saja diketahui (Dahar, 2011).
Teori belajar bermakna Ausubel relevan dengan model ADI. Relevansi teori belajar Ausubel dengan model ADI adalah pada sintaks idnentifikasi masalah dan sintaks pembentukan argumen tentatif. Pada sintaks identifikasi tugas, ketika siswa dihadapkan pada sebuah permasalahan atau fenomena, siswa akan mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang dimiliki yaitu dengan mengingat kembali informasi-informasi awal yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari, yang dapat digunakan untuk membantu menanamkan pengetahuan baru. Pada sintaks pembentukan argumen, siswa diberi kesempatan untuk membentuk suatu argumentasi untuk menjawab pertanyaan penelitian. Berdasarkan pendapat Ausubel tentang belajar bermakna menunjukkan bahwa sintaks pembentukan argumentasi merupakan proses belajar bermakna karena pembentukan argumentasi atau berargumentasi membutuhkan kemampuan berpikir kritis untuk menghubungkan berbagai macam konsep, pengalaman, dan fakta untuk memperkuat jawaban atau argumentasinya.
3. Model Pembelajaran ADI a. Pengertian
Model pembelajaran ADI merupakan model pembelajaran berorientasi pada kegiatan penyelidikan (inquiry) yang menekankan pada kegiatan berargumentasi. Model pembelajaran ADI adalah model pembelajaran berbasis inkuiri untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa melalui partisipasinya dalam argumentasi ilmiah. Model pembelajaran ADI memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun penjelasan dan berbagi ide dalam kelompok-kelompok kecil selama diskusi kelas. Hal ini dapat menciptakan suasana kelas yang menyediakan budaya
“proses” dalam pembelajaran sains. Model ADI berbeda dari model lainnya karena ADI menyediakan kesempatan kepada siswa untuk merancang penelitian dan menemukan pengetahuan sendiri, terlibat dalam proses argumentasi dimana siswa dapat berbagi dan mendukung ide-ide/
pernyataannya (Demircioglu & Ucar, 2012).
Model pembelajaran ADI dikembangkan oleh Sampson dan Gleim (2009) sebagai upaya untuk memberdayakan keterampilan argumentasi siswa agar disertai dan didukung dengan data dan penjelasan yang tepat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Model ini dirancang untuk membuat suasana kelas yang dapat membimbing siswa untuk membentuk sebuah penjelasan ilmiah, mengeneralisasikan fakta ilmiah, menggunakan data untuk menjawab pertanyaan ilmiah, sehingga pada akhirnya dapat merefleksikan hasil kerja yang telah dilakukan (Sampson, et al., 2010). Model pembelajaran ini untuk membantu siswa mengembangkan kebiasaan berpikir dan mengembangkan pemikiran kritis dengan menekankan pada peran pentingnya argumentasi dalam menghasilkan dan memvalidasi pengetahuan sains (Driver, et al., 2000).
Model pembelajaran ADI memungkinkan guru biologi untuk mengintegrasikan pembelajaran inquiry based laboratory di laboratorium dengan mata pelajaran lain seperti membaca dan menulis sebagai cara untuk mengembangkan dan mendukung proses pembelajaran. Model pembelajaran ADI dirancang untuk meluruskan tujuan dari penyelidikan ilmiah melalui upaya mengembangkan argumentasi yang disertai dan didukung dengan bukti dan alasan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Siswa diarahkan untuk merancang dan melaksanakan penyelidikan sendiri, mengumpulkan dan menganalisis data, berkomunikasi, membenarkan, dan mempertahankan ide- ide satu sama lain dalam suatu sesi argumentasi, menulis laporan investigasi untuk memaparkan dan mendokumentasikan hasil penyelidikan, serta terlibat dalam kegiatan peer-review. Proses seperti ini memberikan siswa kesempatan untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan apa yang telah mereka lakukan dan mereka pelajari, menjadikan proses belajar menjadi miliknya, dan
membantu siswa membuat kegiatan laboratorium menjadi lebih bermakna (Sampson & Gleim, 2009).
b. Sintaks Model ADI
Langkah-langkah model pembelajaran ADI disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran ADI
Fase/ Tahapan Kegiatan Siswa 1. Identifikasi Masalah
(Identification of the task)
1. Mengidentifikasi fakta/fenomena
2. Mengidentifikasi masalah untuk dipecahkan 3. Mengidentifikasi pertanyaan penelitian 2. Pengumpulan dan
analisis data
(The generation of data)
1. Mengembangkan & menerapkan metode untuk mengatasi masalah/ untuk menjawab pertanyaan penelitian.
2. Merancang dan melaksanakan penyelidikan mereka sendiri.
3. Mengumpulkan dan menganalisis data.
3. Pembentukan Argument
(The Production of a Argument)
1. Membentuk argumentasi yang terdiri atas:
Claim, Evidence, & Reasoning.
2. Menuliskan argumentasi pada media yang telah disediakan.
4. Sesi Argumentasi (The Argumentation Session)
1. Mempresentasikan atau mengkomunikasikan argumentasi yang telah dibentuk.
2. Mengevaluasi, mengkritisi, dan memberikan sanggahan (rebuttals) terhadap argumentasi dari kelompok lain.
5. Penulisan Laporan Investigasi
(The Creation of a Written
Investigation Report)
1. Menulis laporan hasil penyelidikan yang berisi tujuan & metode penyelidikan, serta memaparkan argumentasi yang disertai dengan alasan dan penjelasan yang kuat.
2. Membuat laporan hasil percobaan sesuai dengan format yang telah diberikan
6. Double-blind peer review
1. Mengumpulkan laporan tertulis.
2. Mereview laporan tertulis yang telah diterimanya berdasarkan krteria yang ada pada lembar Peer Review kemudian memutuskan laporan tersebut diterima atau membutuhkan revisi.
7. Revisi laporan (The Revision Process)
1. Menerima kembali laporan tertulisnya beserta hasil Peer rewiew dari temannya, dengan keterangan diterima atau revisi.
2. Menulis ulang laporannya berdasarkan feedback dari reviewers.
3. Mengumpulkan lagi laporanyang telah direvisi beserta laporan sebelumnya yang telah direvisi pada pertemuan selanjutnya.
8. Diskusi reflektif (A Reflective Discussion)
Bersama-sama menyimpulkan tentang apa yang telah mereka pelajari dari penyelidikan hari ini.
Tahap pertama dari model pembelajaran ADI adalah identifikasi masalah. Pada tahap ini, guru memperkenalkan topik utama yang harus dipelajari. Tahap ini dirancang untuk menarik perhatian dan minat siswa.
Guru juga membuat hubungan antara pengalaman belajar dulu dan sekarang (yaitu, apa yang siswa sudah tahu dan apa yang akan siswa pelajari). Pada akhir tahap ini, siswa secara mental terlibat dalam topik pembelajaran dan mulai berpikir tentang bagaimana hal ini berkaitan dengan pengalaman sebelumnya. Cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini adalah menggunakan handout yang mencakup pengenalan singkat dan memberikan pertanyaan penelitian untuk dijawab, masalah untuk dipecahkan, atau tugas untuk diselesaikan. Handout ini juga dapat mencakup informasi penting lainnya yang dapat digunakan siswa selama melakukan tahap kedua dari model pembelajaran ini.
Tahap kedua dari model pembelajaran ADI adalah pengumpulan dan analisis data. Pada tahap kedua dari model ini, siswa bekerja dalam kelompok untuk mengembangkan dan menerapkan metode apa yang tepat untuk mengatasi permasalah yang ada pada tahap sebelumnya. Tujuan dari tahap ini adalah memberikan siswa kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan penyelidikan/ percobaan. Tahap ini memungkinkan siswa untuk memberikan evidence atau bukti untuk mendukung claim berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan.
Tahap ketiga dari model pembelajaran ADI adalah pembentukan argumen. Pada tahap ini, siswa diharapkan untuk membentuk sebuah argumentasi yang terdiri dari claim, evidence, dan reasoning dalam media yang dipilih, seperti papan tulis, yang dapat dilihat oleh kelompok lain. Tahap ini dirancang untuk memfokuskan perhatian siswa tentang pentingnya berargumentasi dalam sains. Dengan kata lain, siswa perlu memahami bahwa sains tidak dogmatis dan ilmuwan harus dapat mendukung penjelasan, ide, gagasan, ataupun temuan dengan bukti dan penalaran yang tepat. Hal ini juga membantu siswa belajar bagaimana untuk menentukan apakah data yang tersedia relevan, dan cukup meyakinkan untuk mendukung claim. Proses ini
membantu siswa memahami fenomena yang diselidiki atau mengembangkan solusi pemecahan masalah.
Tahap keempat dari model pembelajaran ADI adalah sesi argumentasi.
Pada tahap ini, siswa diberi kesempatan untuk mengusulkan, mendukung, mengkritik, dan mempertahankan argumentasi, penjelasan, ataupun pendapat dalam diskusi kelas. Tahap ini diikutsertakan dalam model ADI karena penelitian menunjukkan bahwa siswa belajar lebih banyak ketika siswa menanggapi gagasan, pertanyaan dan tantangan dari siswa lain. Sesi argumentasi dirancang untuk memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengkritisi produk (argumen), proses (metode), dan konteks (landasan teoritis) dari penyelidikan. Sesi argumentasi memungkinkan siswa untuk melihat bagaimana ketidaksepakatan tentang interpretasi data dapat timbul ketika seseorang memegang asumsi yang berbeda dalam penyelidikan tentang fenomena yang sama.
Tahap selanjutnya dari model pembelajaran ADI adalah penulisan laporan penyelidikan. ADI dirancang sebagai unit instruksional yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Hal ini karena penulisan memegang peran penting dalam model pembelajaran ini. Keterampilan menulis diintegrasikan ke dalam model ADI karena menulis adalah bagian penting dari sains. Para ilmuwan harus mampu mengkomunikasikan hasil penelitian mereka sendiri melalui tulisan dan laporan (Saul, 2004). Para ilmuwan juga harus mampu membaca dan memahami tulisan dan laporan ilmuan lain serta mengevaluasinya. Agar dapat melakukan hal tersebut, siswa perlu belajar bagaimana menulis sesuai standar ilmiah. Selain belajar bagaimana menulis dalam sains, menulis juga dapat membantu siswa memahami topik yang sedang dipelajari dan dapat mengartikulasikan pemikiran dengan cara yang jelas dan ringkas. Oleh karena itu, tahap penulisan laporan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dan mempertahankan konsep atau prinsip-prinsip penting dalam sains (Indrisano & Paratore, 2005).
Tahap selanjutnya dari model pembelajaran ADI adalah double-blind peer review. Setelah siswa menyelesaikan laporan investigasi, siswa
mengumpulkan laporan tersebut kepada guru. Guru kemudian secara acak mendistribusikan tiga atau empat set laporan (yaitu, laporan yang ditulis oleh tiga atau empat siswa yang berbeda) untuk setiap kelompok bersama dengan lembar peer review untuk masing-masing set laporan. Lembar peer review mencakup kriteria khusus yang akan digunakan untuk mengevaluasi kualitas laporan investigasi dan ruang untuk memberikan umpan balik kepada penulis laporan. Masing-masing kelompok meninjau setiap laporan kemudian memutuskan apakah laporan itu dapat diterima atau perlu direvisi berdasarkan kriteria yang terdapat pada lembar peer review. Setiap kelompok juga diminta untuk memberikan umpan balik kepada penulis tentang apa yang perlu dilakukan oleh penulis untuk meningkatkan kualitas laporan.
Tahap selanjutnya dari model pembelajaran ADI adalah proses revisi.
laporan yang diterima oleh reviewer diberikan kepada guru dan kemudian dikembalikan kepada penulis. Laporan yang perlu revisi dikembalikan ke penulis laporan. Penulis diarahkan untuk menulis ulang laporan mereka berdasarkan umpan balik dari reviewer. Setelah laporan selesai direvisi, kemudian dikirimkan kembali ke guru untuk evaluasi kedua (bersama dengan versi asli dari laporan dan lembar peer review). Tujuan dari langkah ini adalah untuk mendorong siswa untuk meningkatkan kemampuan menulis berdasarkan umpan balik edukatif. Hal ini juga memberikan siswa kesempatan untuk terlibat dalam proses penulisan yang melibatkan produksi, evaluasi, dan revisi dalam konteks sains.
Tahap terakhir dari model ADI adalah diskusi reflektif. Pada tahap ini, guru memimpin diskusi eksplisit dan reflektif tentang penyelidikan, serta bersama-sama dengan siswa menarik kesimpulan dari apa yang telah dipelajari.
c. Kelebihan dan Kelemahan Model ADI
Sampson & Gleim (2009) menyatakan bahwa keunggulan dari model ADI antara lain sebagai berikut: 1) melibatkan siswa dalam penyelidikan sains; 2) mendorong siswa untuk belajar bagaimana untuk menghasilkan argumentasi yang baik dan benar; 4) memberikan kesempatan kepada siswa
untuk belajar bagaimana untuk mengusulkan, memberikan dukungan, mengevaluasi, dan merevisi ide melalui kegiatan diskusi dan argumentasi; 5) menciptakan komunitas kelas yang menghargai bukti dan pendapat orang lain; 6) mendorong siswa belajar memahami sains secara utuh. Model ADI membantu siswa mengembangkan pemikiran dan berpikir kritis dengan menekankan peran penting argumentasi dalam membangkitkan dan menvalidasi pengetahan ilmiah (Sampson, et al., 2010).
Model ADI cenderung memiliki potensi lebih tinggi dalam meningkatkan prestasi siswa baik dengan kemampuan akademik tinggi ataupun rendah dalam hal argumentasi dan keterampilan berpikir kritis. Hal ini diyakini bahwa model ADI memiliki tahapan pembelajaran yang tepat yang dibutuhkan oleh siswa kemampuan akademik tinggi dan rendah sehingga meningkatkan prestasi siswa (Hasnunidah, dkk., 2015). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model ADI dapat meningkatkan motivasi, keterampilan berpikir kritis, keterampilan metakognitif, keterampilan metakognisi dan penguasaan konsep (Hasnunidah, dkk., 2015).
Kelamahan model ADI yaitu membutuhkan kesiapan belajar yang tinggi dari siswa; membutuhkan perencanaan pembelajaran yang baik dari guru untuk mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran; dan memerlukan waktu yang relatif banyak untuk melaksanakan semua sintaks dari model ADI.
5. Keterampilan Argumentasi
a. Pengertian Keterampilan Argumentasi
Keterampilan argumentasi merupakan bagian penting dari keterampilan berkomunikasi, khususnya dalam bidang sains. Sains sesungguhnya merupakan cara memperoleh pengetahuan yaitu melalui kajian fenomena alam kemudian melakukan interpretasi terhadap hasil penelitiannya dan selanjutnya mengkomunikasikan hasilnya (Berland, 2008). Komunikasi dalam sains harus melibatkan argumentasi, yang meliputi kegiatan memberi penjelasan ilmiah dalam suatu fenomena, memberikan alasan yang rasional
dan partisipasi dalam aktivitas ilmiah dan diskusi. Komunikasi dalam sains merupakan kegiatan yang tidak kalah penting karena ilmuan harus mampu meyakinkan komunitas ilmiah tentang kualitas kebenaran hasil temuannya.
Pada saat inilah seorang ilmuwan harus mampu menyajikan dukungan dan argumentasi yang kuat sebagai pembenaran atas temuannya.
Keterampilan argumentasi adalah keterampilan dalam memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Melalui argumentasi, penulis atau pembicara berusaha merangkaikan fakta-fakta sedemikian rupa, sehingga penulis atau pembicara mampu menunjukkan apakah suatu pendapat atau suatu hal tertentu itu benar atau tidak. Keterampilan argumentasi adalah proses memperkuat suatu pernyataan melalui analisis berpikir kritis berdasarkan dukungan dengan bukti-bukti dan alasan yang logis. Bukti-bukti ini dapat mengandung fakta atau kondisi obyektif yang dapat diterima sebagai suatu kebenaran (Inch &
Warnick, 2006).
Keterampilan argumentasi adalah keterampilan seseorang untuk melakukan proses penyusunan sebuah pernyataan yang bertujuan untuk membenarkan keyakinan, sikap atau suatu nilai, mempertahankannya, dan mempengaruhi orang lain yang disertai dengan bukti dan alasan yang logis (Inch & Warnick, 2006). Keterampilan argumentasi merupakan keterampilan yang dapat membantu dalam meningkatkan pengetahuan ilmiah. Melalui proses berargumentasi siswa membangun jawaban yang sesuai dengan konsep ilmu pengetahuan. Selain itu, proses berargumentasi juga dapat mengembangkan keterampilan berpikir. Melalui keterampilan argumentasi siswa melakukan proses berpikir dan berinteraksi sosial untuk membangun dan mengevaluasi argumen (Osborne, Erduran, & Simon, 2004).
b. Hubungan Keterampilan Argumentasi dengan Pembelajaran Sains Argumentasi merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sains.
Erduran & Jime´nez-Aleixandre (2008) berpendapat bahwa argumentasi merupakan bagian yang integral dari sains, sehingga argumentasi seharusnya terintegrasi dengan pembelajaran sains. Di dalam proses pembelajaran sains,
argumentasi merupakan hal utama yang melandasi siswa dalam belajar bagaimana berpikir, bertindak, dan berkomunikasi seperti seorang ilmuan sejati. Keterampilan argumentasi menjadi salah satu tujuan utama pembelajaran sains karena siswa yang belajar sains harus mengetahui penjelasan ilmiah mengenai fenomena alam, menggunakannya untuk memecahkan masalah dan mampu memahami temuan lain yang mereka dapatkan. Menurut Osborne, et al. (2004), berargumentasi dapat membantu dalam meningkatkan pengetahuan ilmiah. Melalui proses berargumentasi siswa membangun jawaban yang sesuai dengan konsep ilmu pengetahuan.
Pembelajaran sains memungkinkan diskusi tentang fakta-fakta yang diperoleh dan bahwa argumen sangat penting dalam membentuk pengetahuan sains (Osborne, et al., 2004). Argumentasi sebagai bagian integral dari sains harus diintegrasikan sebagai komponen pembelajaran sains. Mengingat sosio cultural menekankan interaksi sosial dalam proses belajar dan berpikir, kemampuan untuk berpikir kritis diasah melalui diskusi, berargumen dan pertukaran pengalaman antar siswa (Okumus & Unal, 2012). Hal ini yang menjadi alasan mengapa argumen harus diajarkan dan diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran sains karena argumen dalam sains memiliki karakter unik yang membedakannya dari disiplin ilmu lain.
Selain itu, pada hakikatnya, sains bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan sebuah ilmu pengetahuan. Mempublikasikan ilmu pengetahuan baru tersebut ilmuan melibatkan kritik dan argument (Osborne, 2010). Ketika pengetahuan dikomunikasikan untuk memperoleh pengakuan dan pembenaran, maka argumentasi memegang peranan penting dalam membangun pengetahuan. Menurut Duschl & Osborne (2002) keterampilan beragumentasi secara ilmiah untuk memeriksa kemudian menerima atau menolak hubungan antara bukti dan ide teoritis dipandang oleh banyak orang sebagai aspek penting dalam literasi sains. Melalui berargumentasi, selain mempelajari konsep-konsep sains, siswa juga memiliki kesempatan untuk berlatih metode ilmiah saat mereka membenarkan atau menyangkal ide-ide, pendapat ataupun gagasan.
c. Pentingnya Keterampilan Argumentasi
Pada kehidupan sehari-hari keterampilan argumentasi dapat dikatakan sebagai hal yang esensial. Hampir setiap pekerjaan ataupun segala hal memerlukan keerampilan argumentasi. Menurut Weston (2007) pentingnya keerampilan argumentasi didasarkan pada dua alasan, yaitu: pertama, argumentasi merupakan usaha mencari tahu pandangan mana yang lebih baik dari yang lain; kedua, argumentasi dijabarkan sebagai cara seseorang menjelaskan dan mempertahankan suatu gagasan. Keraf (2007) juga menyatakan bahwa keerampilan argumentasi merupakan dasar yang paling fundamental dalam ilmu pengetahuan. Melalui argumentasi seseorang dapat menunjukkan pernyataan-pernyataan atau teori-teori yang dikemukakan benar atau tidak dengan mengacu pada fakta atau bukti-bukti yang ditunjukkan.
Keterampilan berargumentasi menjadi salah satu kompetensi yang dibutuhkan dewasa ini karena dengan berargumentasi keterampilan berpikir dapat berkembang. Keterampilan berpikir yang dapat dikembangkan melalui kegiatan berargumentasi adalah keterampilan berpikir kritis. Menurut Deane dan Song (2014), keterampilan argumentasi memainkan peran penting dalam mengembangkan pola berpikir kritis dan menambah pemahaman yang mendalam terhadap suatu gagasan maupun ide. Keterampilan argumentasi dalam berpikir kritis merujuk pada proporsi dengan bukti pendukung dan penalaran. Melalui keterampilan argumentasi siswa melakukan proses berpikir dan berinteraksi sosial untuk membangun dan mengevaluasi argumen lain.
Selain dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis, berargumentasi juga dapat meningkatkan hasil belajar dan kinerja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan kinerja dan hasil belajar sains pada siswa yang menggunakan argumentasi dalam pembelajarannya (Cross, et al., 2008).
d. Aspek Keterampilan Argumentasi
Argumentasi adalah sebuah pernyataan yang disertai dengan pembenaran (justifikasi) atau alasan yang dihasilkan melalui proses argumentasi dan dinyatakan dalam dialog ataupun tulisan (Falk & Brodsky, 2013). Menurut Toulmin (2003), keterampilan argumentasi secara umum memiliki 6 komponen, yaitu Claim, evidence, warrant, backing, rebuttal, dan qualifier.
Claim dapat berupa suatu pernyataan untuk menjawab suatu pertanyaan atau masalah. Siswa umumnya memberikan claim untuk menjawab pertanyaan atau masalah. Data atau ground adalah bukti yang diberikan untuk mendukung claim yang diberikan. Data dapat berupa fakta atau data yang digunakan untuk mendukung claim. Data yang digunakan untuk mendukung claim harus sesuai dengan topik yang dibicarakan dan jumlahnya cukup untuk mendukung claim. Kesesuaian dan ketersediaan data untuk mendukung claim merupakan aspek penting dalam berargumentasi. Hubungan antara data dengan claim dijembatani oleh jaminan (warrant). Warrant merupakan alasan yang diberikan untuk menghubungkan antara data denngan claim.
Warrant biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan “Mengapa suatu data dapat membuat claim Anda menjadi benar?”. Backing adalah dukungan kepada suatu argumen sebagai tambahan kepada warrant. Backing merupakan pernyataan yang memberikan persetujuan atau mendukung warrant, sehingga warrant dapat diterima. Qualifier mengindikasikan kekuatan dari data kepada warrant dan dapat membatasi claim universal.
Qualifier dapat berupa kata-kata, seperti: kebanyakan, biasanya, selalu, atau kadang-kadang. Komponen terakhir adalah rebuttal atau sanggahan, yaitu suatu argumen perlawanan (counter argument) terhadap suatu claim, data, dan warrant. Rebuttal merupakan alternatif jawaban yang diberikan untuk menolak claim, karena claim dianggap kurang tepat (Erduran, Simon, &
Osborne, 2004).
Ringkasan klasifikasikan struktur yang terdapat pada sebuah argumen menurut Toulmin disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Skema Komponen Argumentasi (Sumber: Toulmin, 2003)
Komponen argumentasi Toulmin (2003) merupakan struktur dasar argumentasi yang mampu memberdayakan keterampilan argumentasi siswa secara lisan dan tertulis (McNeill & Krajcik, 2011). Komponen argumentasi Toulmin (2003) disesuaikan oleh McNeill & Krajcik (2011) dengan kemampuan siswa dalam memahami pengertian dari masing-masing komponen, dan menghasilkan 4 komponen argumentasi, yaitu: claim, evidence, reasoning, dan rebuttal. McNeill & Krajcik (2011) mendefinisikan argumen sebagai bentuk penyederhanaan dari struktur argumentasi Toulmin seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Bentuk Penyederhanaan dari Struktur Argumentasi (Sumber: Toulmin, 2003)
Deskripsi tiap komponen keterampilan argumentasi disajikan pada Tabel 2.2.
Kualifikasi
Ground/Data Klaim
Warrant
Backing
Rebuttal
REBUTTAL
NOT because Claim 2 Evidence
Evidence
Evidence Claim
Reasoning
Evidence And Reasoning
Tabel 2.2 Deskripsi Aspek Keterampilan Argumentasi
No Aspek Deskripsi
1 Claim Suatu gagasan, kesimpulan, hipotesis, atau pendapat terhadap suatu pertanyaan, kejadian atau fenomena.
2 Evidence Bukti yang digunakan untuk mendukung claim.
Data yang digunakan dapat berupa informasi seperti hasil observasi dan pengukuran, yang diperoleh oleh siswa secara langsung atau dikumpulan oleh orang lain kemudian digunakan oleh siswa.
3 Reasoning Sebuah pembenaran maupun alasan yang menghubungan bukti (evidence) dengan pernyataan (claim) serta menunjukkan penjelasan yang menghubungkan data sebagai bukti yang mendukung pernyataan dengan menggunakan prinsip ilmiah yang tepat.
4 Rebuttal Alternatif jawaban untuk menolak claim karena claim yang diberikan dianggap kurang tepat dan disertai dengan data dan alasan yang bertolak belakang.
(Sumber: McNeill & Krajcik, 2006)
Kebenaran claim ditentukan oleh bukti dan penjelasan yang digunakan.
Claim dianggap benar ketika mampu menjawab pertanyaan dengan disertai evidence yang mendukung serta reasoning yang dapat menghubungkan dan memberi pembenaran atau alasan. Evidence merupakan bukti atau data ilmiah yang mendukung claim. Evidence dapat berupa data hasil pengukuran, hasil penelitian, observasi, dan lain-lain. Evidence yang spesifik dan sistematik dapat menjadi tolak ukur nilai claim. Reasoning merupakan pembenaran atau alasan yang menghubungkan evidence dengan claim yang dibuat. Reasoning merupakan penjelasan secara logis hubungan antara bukti yang digunakan dengan pernyataan. Reasoning berisi prinsip-prinsip ilmiah yang menjelaskan hubungan evidence dengan claim (McNeill & Krajcik, 2011). Rebuttal merupakan alternatif jawaban disertai argumen yang berlawanan dengan bukti dan alasan pendukung claim. Sebuah argumen yang baik adalah argumen yang memiliki lebih dari satu rebuttals (Erduran, et al., 2004).
e. Pemberdayaan Keterampilan Argumentasi
Keterampilan argumentasi ilmiah dalam sains dapat dicapai melalui pembelajaran berbasis inkuiri. Komite National Research Council Amerika (2007) menyebutkan bahwa pembelajaran yang berorientasi pada inkuiri merupakan jalan untuk memahami sains secara utuh, dimana pembelajar belajar bagaimana menyelesaikan masalah berdasarkan data dan fakta. Lebih lanjut Pedaste, et al. (2015) mengemukakan bahwa pembelajaran yang berorientasi inkuiri melibatkan siswa dalam suatu proses penemuan ilmiah yang otentik, dimana proses ilmiah yang kompleks terpecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, saling berhubungan dan mengarah pada kemampuan berpikir. Bybee (1997) menyatakan bahwa penggunaan yang berorientasi memberikan pengalaman pada siswa dalam menempatkan masalah dalam konteks yang tepat, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, melibatkan siswa secara aktif, meningkatkan sikap positif terhadap pembelajaran sains, serta meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Komunikasi dalam sains harus melibatkan argumentasi, yang meliputi kegiatan memberi penjelasan ilmiah dalam suatu fenomena, memberikan alasan yang rasional dan partisipasi dalam aktivitas ilmiah dan diskusi. Pada pedagogi pembelajaran yang berorientasi pada inkuiri, siswa menjadi aktif dengan proses ilmiah dan kemampuan berpikir tingkat tinggi pada saat siswa mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi dengan berdiskusi bersama teman (Memis & Oz, 2014).
Kemampuan argumentasi siswa dapat dikembangkan melalui kegiatan diskusi yang dilakukan siswa selama mengikuti proses pembelajaran (Acar, 2008). Proses diskusi dapat memfasilitasi siswa untuk membangun argumentasi ilmiah dengan cara memberi kesempatan siswa lain untuk berpendapat dan memberikan penolakan terhadap pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan konsep ilmu pengetahuan (Llewellyn, 2013).
6. Potensi Model ADI Terhadap Pemberdayaan Keterampilan Argumentasi Model ADI merupakan suatu model pembelajaran berorientasi inkuiri yang menekankan pada kegiatan berargumentasi (Sampson, Grooms, & Walker, 2010). Model ADI merupakan salah satu alternatif model pembelajaran yang dikembangkan untuk melatih keterampilan argumentasi siswa (Sampson et al., 2010). Model ADI memiliki potensi untuk melatihkan keterampilan argumentasi. Hal ini karena setiap sintaks dari model ADI terintegrasi dengan setiap aspek dari keterampilan argumentasi. Potensi setiap sintaks model ADI terhadap pemberdayaan keterampilan argumentasi disajikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Potensi Setiap Sintaks Model ADI Terhadap Pemberdayaan Keterampilan Argumentasi
Pada sintaks identifikasi masalah, siswa diarahkan untuk mengidentifikasi masalah berdasarkan fenomena fisis yang disajikan guru. Guru selanjutnya menjelaskan topik permasalahan utama dalam kegiatan penyelidikan yang akan dilaksanakan. Pada sintaks identifikasi masalah, potensi aspek keterampilan argumentasi yang muncul adalah aspek claim dalam bentuk rumusan hipotesis sebagai jawaban sementara ataupun pernyataan terhadap permasalahan yang disajikan untuk selanjutnya dibuktikan kebenarannya pada tahap pengumpulan dan analisis data (Sampson & Gleim, 2009).
Pada sintaks pengumpulan dan analisis data, siswa bekerja dalam kelompok untuk merancang percobaan, melakukan percobaan/ penyelidikan,
Sintaks Model ADI:
1. Identifikasi Masalah 2. Pengumpulan dan Analisis
Data
3. Pembentukan Argumen 4. Sesi Argumentasi 5. Penulisan Laporan 6. Double Blind peer review 7. Revisi Laporan
8. Diskusi Reflektif
Aspek Keterampilan Argumentasi:
1. Claim 2. Evidence 3. Reasoning 4. Rebuttals melatihkan
mengumpulkan data, dan menganalisis data yang diperoleh dari hasil percobaan sebagai langkah untuk menjawab permasalahan percobaan yang dijelaskan pada tahap awal. Melalui kegiatan percobaan/ penyelidikan pada tahap pengumpulan dan analisis data, siswa mengumpulkan bukti-bukti dan data untuk mendukung pernyataan/ jawaban sementara yang telah dibuat. Pada sintaks pengumpulan dan analisis data, potensi aspek keterampilan argumentasi yang muncul adalah aspek evidence. Evidence yang ditemukan siswa selama proses penyelidikan atau percobaan mampu mendukung pernyataan yang diberikan siswa sehingga dapat diterima oleh siswa lain (Sampson & Gleim, 2009).
Pada sintaks pembuatan argumen, siswa berdiskusi secara berkelompok untuk mengasosiasikan data hasil percobaan/ penelitian menjadi sebuah argumen. Melalui diskusi kelompok siswa dapat saling bertukar pikiran sehingga terjadi kolaborasi untuk menyelesaikan masalah. Pada sintaks pembuatan argumen, potensi aspek keterampilan argumenasi yang muncul adalah aspek claim, evidence, dan reasoning. Pada tahap ini, siswa diharapkan untuk membentuk sebuah argumentasi yang terdiri dari claim, evidence, dan reasoning dalam media yang dipilih, seperti papan tulis, yang dapat dilihat oleh kelompok lain. Selama kegiatan diskusi, siswa menyampaikan alasan (reasoning) dari setiap pernyataan yang diberikan dengan memberikan penjelasan sebagai pembenaran yang menghubngkan antara claim /pernyataan dengan evidence/
bukti yang digunakan (Sampson & Gleim, 2009).
Pada sintaks sesi argumentasi, siswa mengkomunikasikan argumen/
jawaban yang telah dibentuk dengan cara memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengusulkan, mendukung, mengkritik, dan mempertahankan argumentasi, penjelasan, ataupun pendapatnya melalui presentasi/ diskusi kelas.
Pada sintaks sesi argumentasi, potensi aspek keterampilan argumentasi yang muncul adalah aspek rebuttals. Sintaks sesi argumentasi memfasilitasi siswa untuk menjelaskan dan memberi pembenaran terhadap argumentasi yang telah dibentuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memberikan penolakan (rebuttals) terhadap pendapat siswa lain yang dianggap tidak sesuai dengan konsep ilmu pengetahuan (Sampson & Gleim, 2009).
Pada sintaks penulisan laporan, siswa mengkomunikasikan hasil percobaan dan analisis data dalam bentuk laporan tertulis. Laporan yang ditulis oleh siswa memuat jawaban dari pertanyaan penelitian dimana jawaban siswa harus dilengkapi dengan bukti dan alasan yang tepat. Pada sintaks penulisan laporan, potensi aspek keterampilan argumentasi yang muncul adalah aspek claim, evidence, reasoning dan rebuttals (Sampson & Gleim, 2009).
Pada sintaks double blind peer review, siswa mengevaluasi dan mengaplikasikan pengetahuan yang sudah diperoleh dalam konteks kehidupan nyata. Siswa mengevaluasi dan menilai laporan teman dan memutuskan apakah laporan itu dapat diterima atau perlu direvisi berdasarkan kriteria terdapat pada lembar peer review. Pada sintaks peer review, potensi aspek keterampilan argumentasi yang muncul adalah aspek rebuttals. Hal ini karena pada tahap siswa diberi kesempatan untuk memberikan sanggahan terhadap laporan teman yang dianggap kurang tepat (Sampson & Gleim, 2009).
Pada sintaks proses revisi, siswa untuk menulis ulang laporan berdasarkan umpan balik reviewer. Kegiatan ini berperan mendorong siswa untuk meningkatkan kemampuan menulis berdasarkan umpan balik dari reviwer. Pada sintaks proses revisi, potensi aspek keterampilan argumentasi yang muncul adalah aspek claim, evidence, reasoning, dan rebuttals. Pada sintaks diskusi reflektif, siswa menyimpulkan hasil pembelajaran dan mengaplikasikan konsep yang telah didapatkan dari hasil percobaan. Pada sintaks diskusi reflektif, potensi aspek keterampilan argumentasi yang muncul adalah aspek claim, evidence, dan rebuttals (Sampson & Gleim, 2009).
7. Materi Sistem Ekskresi a. Karakteristik Materi
Materi Sistem Ekskresi merupakan salah satu materi yang diajarkan pada siswa kelas XI SMA Semester Genap. Materi ini tercakup dalam Kurikulum 2013 (2016), siswa diharapkan memahami konsep sistem ekskresi hingga tingkat penguasaan minimal menganalisis. Materi ini dijelaskan dalam KD 3.9 yaitu Menganalisis hubungan antara struktur jaringan penyusun organ
pada sistem ekskresi dan mengaitkannya dengan proses ekskresi sehingga dapat menjelaskan mekanisme serta gangguan fungsi yang mungkin terjadi pada sistem ekskresi manusia melalui studi literatur, percobaan, percobaan, dan simulasi. Materi Sistem Ekskresi memuat konsep-konsep yang berhubungan dengan proses fisiologis di dalam tubuh seperti identifikasi struktur mikroskopis beserta fungsinya, proses fisiologis tubuh yang berkaitan dengan struktur dan fungsinya, serta hubungan antar organ dalam kaitannya dengan sistem fisiologis tubuh. Sistem ekskresi memiliki karakteristik materi yang didasarkan pada keterampilan analitis dan berpikir dalam menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan materi. Materi sistem ekskresi terdiri dari konsep-konsep yang abstrak, sehingga siswa membutuhkan sebuah cara penyampaian materi yang mampu mengubah materi abstrak menjadi konkrit. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan suatu bahan ajar dan model pembelajaran yang mampu membantu siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep pada system ekskresi melalui penyelidikan ilmiah yang dilakukan sendiri.
b. Isi Materi 1) Pengertian
Sistem pengeluaran pada manusia dapat dibedakan menjadi 3, yaitu ekskresi, sekresi, dan defekasi. Ekskresi adalah proses pengeluaran zat-zat sisa hasil metabolisme yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh.
Beberapa organ tubuh yang mempunyai fungsi penting pada proses ekskresi adalah paru-paru, kulit, hati, dan ginjal (Karmana, 2008). Organ- organ tubuh tersebut membentuk suatu sistem ekskresi (Setiadi, 2007).
2) Organ-organ Ekskresi pada Manusia a) Paru-paru
Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucut, terdiri atas jaringan elastic yang berpori-pori seperti spons dan berisi udara. Paru-paru terletak di dalam rongga dada sebelah kanan dan kiri yang dipisahkan oleh jantung, di atas diafragma serta dilindungi oleh tulang rusuk. Paru-paru sebelah kanan terdiri atas tiga lobus dan paru-paru sebelah kiri terdiri atas dua
lobus. Paru-paru tersusun atas 300 juta alveolus. Setiap alveolus mengandung satu lapisan sel epitel skuamosa (pipih) dan dikelilingi oleh pembuluh kapiler tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Fungsi paru-paru sebagai organ ekskresi manusia adalah membuang atau mengekskresikan sisa-sisa proses pembakaran zat-zat makanan yang berupa karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). CO2 dan H2O dihasilkan pada proses katabolisme respirasi intraseluler yang terjadi secara aerob di dalam mitokondria, untuk menghasilkan energi berupa ATP (Adenosine trifosfat). Pada respirasi intraseluler digunakan senyawa kompleks berupa karbohidrat, protein atau lemak. Zat sisa CO2 dan H2O dari sel-sel jaringan diangkut oleh darah menuju jantung, ke paru-paru kemudian dikeluarkan ke luar tubuh melalui saluran-saluran pernafasan. Pengangkutan CO2
sebagai hasil zat sisa metabolisme melalui 3 cara yaitu: melalui difusi;
75% diangkut plasma darah dalam bentuk ion HCO3- (asam bikarbonat);
dan sisanya diikat Hb (hemoglobin) membentuk HbCO2
(karboksihemogobin) (Johnson, 2010).
Pengeluaran CO2 melalui difusi terjadi di dalam kapiler alveolus dan sel-sel jaringan tubuh. Setelah terjadi pertukaran gas O2 dan CO2 di dalam alveolus, selanjutnya O2 dari kapiler diangkut oleh sel darah merah dalam bentuk HbO2 (Oksihemoglobin) menuju sel-sel tubuh. Sedangkan CO2 berikatan dengan Hemoglobin darah membentuk HbCO2 (karbomino hemoglobin). O2 dalam sel tubuh melakukan oksidasi menghasilkan sisa CO2 dan H2O. CO2 dalam darah larut membentuk H2CO3. H2CO3 terionisasi membentuk H+ dan HCO3-. H+ diikat oleh Hb, sementara HCO3- meninggalkan sel darah menuju plasma, selanjutnya HCO3 terionisasi menjadi OH- dan CO2, OH- berikatan dengan H+ menjadi H2O dan bersama-sama dengan CO2 akan dilepas ke luar tubuh melalui saluran pernafasan (Jati, 2007).
Gambar 2.4 Mekanisme Pertukaran Udara pada Alveolus
Selama menjalankan fungsinya, paru-paru sebagai organ ekskresi manusia dapat mengalami beberapa gangguan atau kelainan yang menyebabkan timbulnya beberapa penyakit. Berikut ini adalah gangguan atau kelainan yang dapat terjadi pada paru-paru sebagai organ ekskresi:
(1) Emfisema. Emfisema merupakan suatu kelainan atau penyakit yang terjadi pada bagian alveolus paru-paru. Penyakit yang disebabkan karena berkurangnya elastisitas alveolus dan menyebabkan pecah dan menyatunya dinding-dinding alveolus & mengurangi permukaan untuk pertukaran gas. Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.
(2) Bronkitis. Bronkitis adalah peradangan pada bronkus (saluran yang membawa udara menuju dan keluar paru-paru). Penyebabnya bisa karena infeksi kuman, bakteri atau virus. Penyebab lainnya adalah asap rokok, debu, atau polutan udara. Gejalanya adalah batuk disertai demam atau dahak berwarna kuning karena infeksi kuman.
b) Kulit
Seluruh permukaan tubuh manusia terbungkus oleh lapisan tipis yang disebut kulit. Kulit merupakan benteng pertahanan tubuh yang utama
karena berada di lapisan anggota tubuh yang paling luar dan berhubungan langsung dengan lingkungan sekitar.
Fungsi kulit antara lain sebagai berikut: (1) mengeluarkan keringat;
(2) pelindung tubuh; (3) menyimpan kelebihan lemak; (4) mengatur suhu tubuh; dan (4) tempat pembuatan vitamin D dari pro vitamin D dengan bantuan sinar matahari yang mengandung ultraviolet.
Kulit terdiri dari epidermis dan dermis. Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang memilki struktur tipis yang terdiri dari beberapa lapisan yaitu: Stratum korneum (lapisan tanduk), stratum lusidum yang memberi warna pada kulit dan rambut, stratum granulosum yang menghasilkan pigmen warna kulit (melanin), stratum germinativum yang mengandung sel – sel yang aktif membelah (Nurhayati, 2010).
Gambar 2.5 Struktur Kulit Manusia
Lapisan dermis memiliki struktur yang lebih rumit, terdiri dari banyak lapisan. Dermis terbentuk dari serabut – serabut khusus sehingga lentur, tersusun oleh kolagen. Lapisan dermis terletak di bawah lapisan epidermis. Lapisan dermis terdiri dari beberapa bagian, yaitu akar rambut, pembuluh darah, kelenjar minyak (glandula sebasea), kelenjar keringat (glandula sudorifera), dan serabut saraf. Pada lapisan dermis terdapat puting peraba yang merupakan ujun akhir saraf sensoris. Ujung saraf sensoris merupakan indera perasa panas, dingin, nyeri, dan sebagainya (Aryulina, dkk., 2004).
Keringat yang dikeluarkan di permukaan kulit dihasilkan oleh kelenjar keringat. Kelenjar keringat terdapat di lapisan dermis. Kelenjar keringat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ekrin dan apokrin.
Ekrin adalah kelenjar keringat tubuler sederhana dan berpilin, tidak berhubungan dengan folikel, seta tersebar meluas ke seluruh tubuh, terutama pada dahi, telapak tangan, dan telapak kaki. Sekresi keringat dari kelenjar ekrin mengandung air yang membantu pendinginan melalui penguapan untuk mempertahankan suhu tubuh. Apokrin adalah kelenjar keringat yang besar dan bercabang dengan penyebaran terbatas pada bagian tubuh tertentu, misalnya aksila (ketiak) areola payudara, dan area genital. Sekresi dari kelenjar apokrin awalnya tidak berbau, yang kemudian akan berbau karena bakteri (Mauro & Goldsmith, 2008).
Proses pengeluaran keringat dari tubuh diatur oleh hipotalamus di otak. Hipotalamus menghasilkan enzim bradikinin yang berfungsi sebagai vasodilator yang mempengaruhi pelebaran pembuluh darah dan kelenjar keringat. Jika darah yang melalui hipotalamus melebihi batas normal (panas), maka rangsangan suhu panas tersebut diteruskan oleh saraf simpatis ke kulit. Pembuluh darah berdilatasi (melebar), aliran darah ke permukaan kulit meningkat, sehingga terjadi kondiksi panas di bagian permukaan dan membuang panas. Kelenjar keringat juga menjadi aktif untuk menyerap air, garam mineral, serta sedikit urea dari kapiler darah yang kemudian mengirimkannya ke permukaan kulit dalam bentuk keringat, sehingga evaporasi (penguapan) meningkat, dan suhu badan menurun. Sebaliknya jika darah yang melalui hipotalamus lebih rendah dari batas normal (dingin), maka pembuluh darah berkontraksi (menyempit), yang akan mengurangi aliran darah ke permukaan kulit untuk mempertahankan suhu tubuh dan kelenjar keringat menjadi tidak aktif dalam pembentukan keringat.
Pengeluaran keringat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu lingkungan, aktifatas tubuh, emosi, dan kondisi psikis. Seseorang yang bekerja keras terkena pancaran sinar matahari yang sangat terik akan
mengeluarkan keringat yang banyak. Marah menyebabkan pembuluh darah melebar sehingga meningkatkan pengeluaran keringat. Rasa takut menyempitkan pembuluh darah, sehingga wajah tampak pucat, dan pengeluaran keringat menjadi sedikit (Irnaningtyas, 2013).
Selama menjalankan fungsinya, kulit sebagai organ ekskresi manusia dapat mengalami beberapa gangguan atau kelainan yang menyebabkan timbulnya beberapa penyakit. Berikut ini adalah gangguan atau kelainan yang dapat terjadi pada kulit sebagai organ ekskresi:
(1) Biang keringat. Biang keringat merupakan suatu gangguan pada kulit yang disebabkan oleh keringat yang terjebak di balik kulit akibat kelenjar keringat yang terhambat sehingga keringat tidak menguap dan menyebabkan kulit mengalami inflamasi dan ruam.
(2) Hiperhidrosis. Hiperhidrosis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan produksi keringat berlebih.
(3) Anhidrosis. Anhidrosis merupakan suatu kelainan yang disebabkan oleh hilangnya kemampuan tubuh untuk memproduksi keringat.
c) Hati
Hati merupakan organ terbesar dan merupakan kelenjar terbesar yang beratnya sekitar 3 – 5% dari berat tubuh. Hati terletak di dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di atas lambung dan di bawah diafragma.
Hati manusia memiliki berat sekitar 1,5 – 2,0 kg, terdiri atas dua lobus besar yaitu lobus kanan dan lobus kiri. Lobus kanan dan lobus kiri dibatasi oleh jaringan ikat ligamen falsiformis. Hati dibungkus oleh jaringan ikat padat kapsula hepatica. Setiap lobus terdiri atas sejumlah lobules (unit hepar) yang berbentuk poligonal dipisahkan oleh percabangan dari kapsula hepatica, yang disebut kapsula glison. Sekitar 80% dari volume hati tersusun dari sel-sel parenkimal (hepatosit), sedangkan sisanya merupakan sel-sel non parenkim (sekitar 6,5%), sel intrahepatik (sel oval), hepatosit duktular, dan sel-sel imun (sel kekebalan tubuh) (Irnaningtyas, 2013). Antar lapisan hepatosit dipisahkan lakuna,
antara hepatosit dipisahkan kanalikuli (tempat produksi empedu).
Kanalikuli bergabung membentuk pembuluh empedu berfungi mengangkut cairan empedu menuju kantong empedu (tempat penyimpanan empedu sebelum dialirkan ke duodenum) (Nurhayati, 2010).
Terdapat sel kupffer yang bersifat fagositosis yang akan menghancurkan organisme asing yang mengganggu pencernaan di usus.
Hasil penghancuran berupa pigmen bilirubin, selanjutnya bilirubin dialirkan ke kanalikuli dan diekskresikan sebagai empedu (Pearce, 2008).
Gambar 2.6 Struktur Hati Manusia
Hati berfungsi sebagai alat ekskresi karena membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun (detoksifikasi) dan menghasilkan amonia, urea, serta asam urat yang diekskresikan ke dalam urin (Campbell, Reece, & Mitchell, 2004).
Selama menjalankan fungsinya, hati sebagai organ ekskresi manusia dapat mengalami beberapa gangguan atau kelainan yang menyebabkan timbulnya beberapa penyakit. Berikut ini adalah gangguan atau kelainan yang dapat terjadi pada hati sebagai organ ekskresi:
(1) Penyakit kuning. Penyakit kuning merupakan kelainan yang ditandai dengan kulit kuning yang disebabkan karena hati belum berfungsi (pada bayi) atau oleh penyumbatan saluran empedu.
(2) Kolestasis. Kolestatis merupakan keadaan akibat kegagalan memproduksi dan pengeluaran empedu.