• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENTINGNYA PENERAPAN NILAI-NILAI BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENTINGNYA PENERAPAN NILAI-NILAI BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

998

PENTINGNYA PENERAPAN NILAI-NILAI BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

Raynesa Noor Emiliasari FKIP Universitas Majalengka e-mail: raynesanoor@yahoo.co.id

ABSTRAK

Setiap disiplin ilmu berkembang sendiri-sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Semakin mendalam kajian, ruang lingkupnya semakin spesifik dan semakin terbatas kaitannya dengan ilmu lainnya. Bila dikaitkan dengan pendidikan karakter, tidak ada bidang ilmu yang tabu terhadap nilai budaya. Tulisan ini membahas pentingnya penerapan nilai-nilai budaya dalam pembelajaran Bahasa Inggris sebagai salah satu pendukung pendidikan karakter. Metode penelitian menggunakan library research, data diperoleh dari telaah pustaka, kemudian dianalisis dengan pendekataan content analysis. Hasil penelitian menunjukkan : 1) Penerapan nilai budaya dalam pembelajaran Bahasa Inggris mendorong semangat belajar siswa karena secara psikologis siswa merasa lebih dekat dengan situasi keseharian; 2) Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi sosial akan semakin efektif bila disertai nilai-nilai budaya; 3) Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional akan menjadi media langsung dalam mempromosikan citra nasional; 4) Penerapan nilai budaya pada pembelajaran Bahasa Inggris menciptakan siswa yang terampil berbahasa Inggris tanpa melupakan jatidiri bangsa. Kesimpulan, penerapan nilai budaya dalam pembelajaran Bahasa Inggris penting dalam mendukung pendidikan karakter. Para pengajar Bahasa Inggris disarankan untuk lebih mengenal dan memahami budaya lokal dan merasa bangga dengan budaya sendiri.

Kata Kunci : Penerapan nilai budaya, Pembelajaran Bahasa Inggris, Pendidikan Karakter.

PENDAHULUAN

Dalam ilmu filsafat terdapat pengertian bahwa berfilsafat identik dengan berpikir dan cinta belajar. Maka filsafat dikenal sebagai induk ilmu pengetahuan (Brubacher,1939). Pada zaman filsafat –tepatnya pada masa pemerintahan Karel Agung (742-814) – peradaban mulai tumbuh diawali dengan bangkitnya kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan kesenian. Ilmu pengetahuan diusahakan oleh sekolah melalui proses pembelajaran. Pada masa itu, rencana pelajaran terdiri atas tujuh kesenian bebas (artes liberales), terbagi atas dua bagian, yaitu 1) Mata pelajaran bahasa, meliputi tata bahasa, retorika, dan dialektika; 2) Mata pelajaran matematika, meliputi ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, dan musik. (Hadiwijono,1980:87).

Dengan demikian, sejak abad ke-7 mata pelajaran bahasa memegang peranan penting dalam peradaban suatu bangsa, karena berfungsi sebagai alat komunikasi di berbagai bidang ilmu pengetahuan, seni, budaya, politik, dan sosial. Selain itu, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu bagi seseorang, sebagai alat untuk mengekspresikan diri, berkomunikasi, mengadakan integrasi dan beradaptasi dalam lingkungan sosial tertentu, dapat juga sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf,1997:3). Kemudian dalam proses selanjutnya, masing-masing disiplin ilmu

(2)

999

berkembang sendiri-sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Para pakar di bidang masing-masing terus menggali dan mengkaji secara lebih mendalam, maka relasi dengan ilmu lain semakin terbatas, seolah-olah memiliki dunianya sendiri.

Namun demikian, manakala dikaitkan dengan konsep pendidikan karakter, di mana nilai-nilai budaya merupakan salah satu aspek pembentuk karakter. Maka, tidak ada satu pun disiplin ilmu yang tidak dapat dipadukan dengan nilai budaya, termasuk pembelajaran dalam bahasa Inggris. Hal ini disebabkan bahwa semua disiplin ilmu yang berkembang lahir dari filsafat yang sarat nilai karena dicerna melalui proses berpikir murni untuk menemukan hakekat kebenaran segala sesuatu. Nilai-nilai kebenaran tersebut menjadi fondasi utama pembentuk kepribadian manusia secara individu dan sosial. Bahkan, ilmu pengetahuan pun merupakan bagian dari budaya ciptaan manusia.

Namun demikian realita saat ini, sikap dan pemahaman pakar masing-masing ilmu pengetahuan terlalu fokus pada bidang garapannya. Padahal salah satu tujuan utama pendidikan adalah penciptaan manusia ber-karakter. Bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends). Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi guru atau bahasa Inggris untuk menerapkan nilai budaya pada proses pembelajaran. Urgensinya cukup tinggi, sesuai dengan salah satu pilar filosofis pembangunan pendidikan yaitu menciptakan “Proses Pembelajaran yang Mendidik dan Dialogis” (Renstradiknas, 2014-2019). Selain itu, dalam konteks pendidikan karakter ada academic curriculum (mata pelajaran inti) dan hidden curriculum (salah satunya;

keteladanan guru). Dengan demikian, pada saat guru bahasa Inggris tampil dalam proses pembelajaran dalam dirinya terdapat kurikulum tersem-bunyi, berupa nilai-nilai budaya yang tercermin dari ucapan, sikap, dan perilakunya yang dapat menjadi salah satu alternatif literasi bagi peserta didik. Penelitian ini bertujuan untuk menguatkan tekad para pengajar bahasa Inggris agar tidak ragu-ragu menerapkan nilai budaya pada proses pembelajaran guna mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi abad 21 dengan keterampilan dasar sehari-hari melalui “Literasi budaya dan kewarganegaraan” (Depdiknas, 2016).

KAJIAN LITERATUR

Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, literatur yang dijadikan sebagai landasan teori adalah tentang pembelajaran bahasa Inggris, nilai budaya, dan pendidikan karakter.

Pembelajaran Bahasa Inggris

Bahasa Inggris merupakan alat berkomunikasi di antara anggota masyarakat, dalam mengungkapkan informasi, pikiran, dan perasaan. Wujud komunikasi dalam tindak memahami dan mengungkapkan makna baik melalui lisan maupun tulisan. Melaui bahasa sebagai alat komunikasi, terutama melalui bahasa Inggris sebagai bahasa global, seseorang dapat

(3)

1000

mengembangkan ilmu pengetahun, teknologi, serta budaya. Dalam konteks pendidikan, bahasa berfungsi sebagai alat berkomunikasi guna mengakses, menyimpan dan berbagi informasi.

Fungsi, pembelajaran bahasa Inggris mencakup: 1) Mengembangkan kemampuan berkomunikasi baik lisan maupun tulis. Kemampuan tersebut meliputi mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing); 2) Menumbuhkan kesadaran akan hakikat dan pentingnya bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar; 3) mengembangkan pemaha-man keterkaitan antara bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya. Melalui tiga fungsi tersebut, peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan mampu melibatkan diri dalam keragaman budaya, baik nasional maupun internasional.

Dalam konteks Kompetensi Lintas Kurikulum (KLK), terdapat tiga aspek yang harus dicapai oleh peserta didik, sesuai dengan penelitian yaitu : a) Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang lain ; b) Memilih, mencari, dan mererapkan teknologi dan informasi yang diperlukan dari berbagai sumber; dan c) Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan historis.

Salah satu cakupan pembelajaran bahasa Inggris yang erat kaitannya dengan topik penelitian ini adalah : “Kompetensi sosiokultural yang diwujudkan dalam kemampuan menyatakan pesan dengan benar dan berterima menurut konteks sosial budaya yang terkait dengan kegiatan komunikasi yang dilakukan. Antara lain: kemampuan memilih ujaran formal dan informal dalam kegiatan komunikasi dengan mempertimbangkan siapa yang terlibat dalam komunikasi, dimana komunikasi dilakukan, dan dalam kaitan apa komunikasi itu dilakukan”.

Dalam proses pembelajaran bahasa Inggris terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, salah satunya adalah pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Pendekatan ini menegaskan adanya keterkaitan bahan ajar dan kegiatan pembelajaran dengan situasi nyata dan pengalaman aktual peserta didik yang berfokus pada proses pembelajaran yang menuntun peserta didik ke arah berpikir kristis, kreatif, mampu memecahkan masalah, dan mampu menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, dapat dipadukan dengan pendekatan genre, agar terdapat keserasian antara bahasa lisan dan tulisan.

Secara historis, bahasa yang dikenal manusia terdiri dua jenis, yaitu bahasa ibu (pertama) dan bahasa asing (kedua). Dalam hal bahasa kedua, Nunan (2005:9) mengemukakan bahwa

“the ability to use a second language (knowing “how”) would develop automatically if the learner were required to focus on meaning in the process of using the language to communicate”. Di Indonesia, salah satu bahasa kedua (asing) adalah bahasa Inggris yang memiliki fungsi strategis sebagai alat

(4)

1001

komunikasi dan memperlancar akses berbagai informasi berkenaan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, seni dan budaya.

Dalam hal penerapan nilai-nilai budaya pada pembelajaran bahasa Inggris, sedikitnya dapat dilakukan melalui dua hal, yaitu : a) Keteladanan guru dalam pengamalan nilai-nilai budaya, seperti bersikap ramah, bertutur kata santun, masuk dan keluar kelas tepat waktu, disiplin, menghargai keragaman, tidak menganggap kesalahan sebagai pelanggaran, memperlakukan peserta didik seperti anak sendiri, mengajar dengan kasih sayang, dan yang lainnya; b) Setiap menyajikan materi berusaha untuk dikaitkan dengan nilai-nilai budaya lokal.

Misalnya, materi drama menyajikan cerita lokal (Budak Pahatu, Lutung Kasarung, Sangkuriang, dsb. Materi bercerita, sajikan cerita rakyat lokal (Monyѐt jeung Kuya, Peucang jeung Buhaya, dsb).

Kemudian, diskusikan tentang pesan moral atau kandungan nilai budaya yang terkandung pada materi.

Nilai Budaya

Membahas nilai budaya akan berkaitan dengan bahasan tentang warisan budaya, karena nilai-nilai budaya yang ada sekarang merupakan hasil cipta-karsa para leluhur. Masing-masing daerah memiliki budaya tersendiri, selanjutnya disebut budaya lokal sebagai pembentuk budaya bangsa (Karmadi,2007).

Menurut Davidson (1991:2) warisan budaya diartikan sebagai “produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa” Dari teori tersebut dapat diambil intisari, bahwa warisan budaya terdiri atas dua jenis, yaitu budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible). Dengan demikian, nilai budaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai budaya dari masa lalu (intangible heritage) yang berasal dari budaya-budaya lokal yang ada di Nusantara, termasuk di Tatar Pasundan, meliputi: adat-kebiasaan (tradisi), cerita rakyat (dongeng) dan legenda (sasakala), bahasa ibu (bahasa daerah), sejarah lisan, kreativitas seni (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serta tata cara bercocok tanam. Galla, 2001: 12). Ketika membahas budaya lokal, bahkan sekarang sering muncul istilah kearifan lokal, sama sekali tidak ada kaitan dengan wilayah geografis dengvan batas-batas administratif dengan istilah kabupaten atau privinsi, melainkan lebih menekankan pada wilayah budaya yang tidak memiliki batas tegas dengan wilayah lainnya. Dalam konsep kesatuan dan persatuan, budaya lokal menjadi milik bangsa dan akan mewarnai budaya bangsa Indonesia. Apabila dikaitkan dengan karakter bangsa, maka awal pembentukannya berangkat dari karakter lokal. Dari konsep inilah lahir istilah kearifan lokal yang sering diandalkan untuk dasar pembentukan karakter individu dalam pendidikan karakter yang sedang trend saat ini.

Khusus berkenaan dengan karakter budaya lokal Sunda, khususnya bagi generasi muda Sunda, Bastaman (2011:12), mengemukakan bahwa “tidak berhasil mendapatkan hasil-hasil

(5)

1002

penelitian mengenai pola kehidupan generasi muda Sunda masa kini, terutama mengenai karakter dan sistem nilai yang dominan pada mereka” Oleh karena itu, menelusuri nilai-nilai budaya Sunda sebagai pembentuk karakter dilakukan melalui telaah pustaka, artikel-artikel, dan wawancara dengan tokoh yang sering berkecimpung dalam kegiatan generasi muda Sunda. Nilai- nilai budaya Sunda sebagian besar masih tersembunyi dalam berbagai slogan atau motto, saur sepuh, dongȇng, sasakala, dan berbagai bentuk karya seni warisan para leluhur. Karakter generasi muda Sunda yang didambakan adalah individu yang memiliki sifat atau watak berdasarkan nilai budaya: a) Cageur, bageur, pinter, bener, singer, jujur; b) Pengkuh agamana, luhung elmuna, jembar budayana, rancage hatena; c) Leuleus jeujeur, liat tali; d) Solat, silat, silaturahmi. Sedangkan nilai budaya yang dianggap cocok untuk berkehidupan sosial antara lain : a) cerdas, terampil, berprestasi, demokratis, santun, terbuka, lugas, dapat dipercaya, memiliki kehormatan diri, dekat dengan rakyat (bagi pemimpin). Sebagian besar dari semua itu baru sebatas slogan, belum tertuang kepada pengamalan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Konferensi Internasional Budaya Sunda II, budayawan Sunda sepakat bahwa perlu dilakukan upaya untuk pengembangan karakter melalui dua cara secara seimbang, dalam arti mengurangi mengurangi karakter yang buruk dan meningkatkan karakter terpuji. Hal ini mengandung arti bahwa ada kehendak untuk meraih kualitas karakter yang lebih baik dengan menyadari adanya kesenjangan antara citra diri yang ada saat ini (the actual self) dengan citra diri yang diidam-idamkan (the ideal self). (Bastaman, 2011). Perlu digarisbawahi bahwa penerapan nilai-nilai budaya dalam pembelajaran pada mata pelajaran Bahasa Inggris, terlebih dahulu harus dipahami bahwa tidak semua aspek budaya Sunda memiliki nilai positif dan produktif, dalam arti ada juga yang harus dihindari. Contoh “Orang Sunda memiliki rasa humor tinggi yang merupakan tanda kesehatan mental. Tetapi terkadang berlebihan dan menimbulkan kesan kurang serius” Contoh lainnya, “Orang Sunda somȇah hadȇ ka sȇmah, matak betah nu bubuara”

akhirnya “jati kasilih ku junti” (Semakna dengan “kalah oleh pendatang”).

Maka, diperlukan upaya internalisasi nilai budaya dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Tujuannya, agar bangsa Indonesia mampu mewujudkan tema pem-bangunan pendidikan IV (2020-2024), yaitu penguatan daya saing internasional.

Pendidikan Karakter

Karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (Samani, 2012). Secara etimologis, menurut Mulyasa (2012:3) “Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan mefokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari”. Pendapat yang berbeda menyatakan bahwa karakter juga menunjukkan nilai tingkah laku seseorang. Seseorang yang berperilaku tidak jujur, egois, atau rakus, dikatakan berperilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang menghargai orang lain, jujur, atau disiplin,

(6)

1003

disebut berkarakter baik (Dikti, 2010). Para ahli ilmu jiwa menyatakan bahwa karakter atau watak merupakan bagian dari kepribadian. Menurut Fromm (1964) kepribadian adalah “...the totality of inherited and acquired psychic qualities which are characteristic of one individual and which make individual unique”.

Dari teori ini dapat dipahami bahwa terdapat dua aspek kejiwaan, yaitu aspek yang dibawa sejak lahir atau bakat bawaan (inherited) dan aspek yang diperoleh (acquired) dari pembelajaran, antara lain dari contoh-contoh dan pengalaman hidup. Aspek kejiwaan yang dibawa sejak lahir antara lain berupa kecerdasan, bakat, dan temperamen. Sedangkan yang diperoleh dari pengalaman hidup dan proses belajar antara lain berupa pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Dengan demikian, karakter merupakan hasil internalisasi nilai-nilai etis dari lingkungan, misalnya melalui pola-asuh, keteladanan, pendidikan, dan pengalaman hidup terpadu dengan jati diri atau hakikat kemanusiaan yang terdapat pada diri manusia sebagai sifat dasar. (Bastaman, 2011).

Dari teori tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter adalah watak, sifat kejiwaan, akhlak/budi pekerti yang memandu cara berpikir dan bertindak seseorang dalam kehidupan yang membuat dirinya dapat dinilai berperilaku baik atau buruk yang merupakan hasil internalisasi nilai-nilai etis dari lingkungan. Dengan kata lain, karakter seseorang akan terbentuk melalui proses penanaman nilai-nilai etis, melalui pembelajaran dan pendidikan serta pengalaman hidup.

Berkenaan dengan proses terbentuknya karakter tersebut, sekolah sebagai lembaga pendidikan yang paling bertanggungjawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sangat relevan untuk menerapkan nilai-nilai etis, budaya, dan keagamaan melalui pembelajaran.

Senada dengan pandangan Yayasan Jatidiri bangsa (2008) yang menyatakan “Karakter merupakan nilai-nilai yang terpateri dalam diri manusia melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai dari dalam diri manusia menjadi semacam nilai intrinsik mewujud dalam daya juang yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku kita”.

Pendidikan harus memberikan pemahaman tentang nilai-nilai tanggung-jawab sosial dan natural untuk memberikan gambaran pada peserta didik bahwa mereka adalah bagian dari sistem sosial yang harus bersinergi dengan manusia lain dan bagian dari sistem alam yang harus bersinergi dengan alam beserta seluruh isinya. (Renstra Kemendiknas, 2014-2019). Dalam konteks sosial, seseorang harus menjadi dirinya sendiri, dalam arti memiliki karakter yang unggul. Selain itu, seseorang harus mampu menjadi warga masyarakat yang memiliki kompetensi sosial yang mantap serta bersinergi dengan alam semesta.

Fenomena yang terjadi, di kalangan pendidikan masih terdapat kekeliruan dalam memahami karakter peserta didik. Misalnya, penerapan sifat jujur dilakukan dengan cara menyediakan “Kantin Kejujuran”. Kelemahan dari cara tersebut antara lain : a) Kejujuran tidak

(7)

1004

sebatas pada praktek jual beli, tetapi memiliki makna yang sangat luas; b) Walaupun konsep kantin kejujuran memiliki kebaikan dari satu sudut pandang, tetapi terdapat celah bagi peserta didik untuk mencuri; c) Cenderung ke praktek sosial, bukan internalisasi nilai kejujuran yang bersifat fundamental.

Padahal, masalah kejujuran yang menjadi garapan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri. Dari catatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat adanya kecurangan terstruktur dalam pelaksanaan Ujian Nasional SMA/SMK di tujuh wilayah provinsi dengan berbagai modus (Waspada Online, 2012: http://www. waspada.co.id dikutif Racmah (2013). Ditambah dengan realita perilaku pendidik yang dengan mudah disaksikan peserta didik adalah buang sampah sembarangan, datang terlambat, merokok, dan tutur kata yang kurang santun. Hasil Survey Adrianison, dkk (2005), dari 1131 orang guru dan karyawan, 82,2%

merokok di lingkungan sekolah.

Inilah sebenarnya permasalahan pendidikan karakter yang menjadi tanggung jawab insan pendidikan untuk memperbaikinya. Terkadang, apa yang ditanamkan oleh guru kepada peserta didik, misalnya kejujuran, justru secara tidak disadari dirusak kembali oleh pendidik menjelang mereka lulus dengan cara melakukan kecurangan terstruktur dalam ujian, nyontek, dan manipulasi nilai. Maka, untuk mengatasinya, semua pendidik pada mata pelajaran apa pun, harus tampil sebagai teladan bagi para peserta didik. Lebih spesifik lagi, pada saat terjadi proses pembelajaran. Nilai-nilai budaya yang positif tidak hanya diajarkan, tetapi diamalkan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran.

METODE

Metode penelitian menggunakan library research, yaitu serangkaian aktifitas atau kegiatan yang berkaitan dengan metode pengumpulan data pustaka (Mahmud, 2011). Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu penelitian yang mengunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan fasilitas yang ada di perpus, seperti buku, majalah, dokumen, dan catatan kisah-kisah sejarah. (Sholeh, 2005). Berdasarkan metode tersebut, pendekatan analisis menggunakan content analysis (kajian isi), yaitu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistemtis. Content analysis ini digunakan juga untuk menganalisis semua bentuk komunikasi, baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain (Ma’arif, 2011). Data utama diperoleh dari buku-buku yang relevan dan hasil telaah jurnal.

Teknik pengumpulan data menggunakan tiga cara, yaitu : 1) Penentuan unit analisis; 2) Penentuan sampel; dan 3) Pencatatan data. Kemudian keabsahan data dilakukan dengan cara melihat kesesuaian antara hasil penelitian dengan kajian pustaka yang telah dirumuskan.

(8)

1005 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Hasil penelitian menunjukkan : a) Penerapan nilai budaya dalam pembelajaran bahasa Inggris mendorong semangat belajar siswa, karena secara psikologis siswa merasa lebih dekat dengan situasi keseharian. Melalui pembelajaran dengan pendekatan CTL, membuka celah lebih luas untuk menerapkan nilai-nilai budaya lokal, baik melalui proses maupun isi mater;. b) Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi sosial akan semakin efektif bila disertai nilai-nilai budaya. Nilai budaya ramah dan santun diyakini membuka akses komunikasi sosial lebih lancar. Pada diri siswa muncul kebanggaan, kesenangan, dan bertambahnya rasa percaya diri; c) Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional akan menjadi media langsung dalam mempromosikan citra nasional. Pada saatnya nanti, siswa mampu berpartisipasi, berinteraksi, beradaptasi dalam forum komunikasi internasional, yang pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap negara dan bangsa; d) Penerapan nilai budaya pada pembe-lajaran Bahasa Inggris menciptakan siswa yang terampil berbahasa Inggris tanpa melupakan jatidiri bangsa. Siswa yang memiliki karakter bangsa akan memiliki ketahanan diri dari pengaruh budaya asing yang tidak sesuai, karena akan memiliki kemampuan memilih dan memilah, mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan budaya nasional.

Pembahasan

Dari hasil telaah pustaka yang dilengkapi dengan fakta empiris diperoleh hasil bahwa, Pertama: “Penerapan nilai budaya dalam pembelajaran Bahasa Inggris men-dorong semangat belajar siswa karena secara psikologis siswa merasa lebih dekat dengan situasi keseharian”.

Penerapan nilai jujur melalui pembelajaran bahasa Inggris berbasis nilai-nilai budaya dilakukan secara terintergasi dengan penerapan nilai religious. Dalam hal ini guru selalu mengingatkan bahwa dalam ajaran agama Islam bohong adalah sifat tercela, jujur adalah sifat terpuji. Pada saat dilakukan evaluasi terhadap hasil belajar, siswa masing-masing diminta memeriksa pekerjaannya sendiri. Dalam hal ini, siswa dibiasakan jujur terhadap dirinya sendiri.

Senada dengan pandangan Dikti (2010), bahwa apabila seseorang menghargai orang lain, jujur, atau disiplin, disebut berkarakter baik.

Gotong royong merupakan salah satu budaya lokal yang positif. Penerapan nilai gotong royong dilakukan melalui metode belajar kelompok lengkap dengan pembagian tugas, sebagai ketua, penulis, juru bicara, dan anggota. Dalam memilih ketua, digunakan matode yang disenangi siswa, antara lain melalui hompimpah atau suten. Dengan cara ini praktek gotong royong dapat dirasakan sendiri manfaatnya, sekaligus menerapkan saling bantu, saling tolong, menghargai pendapat teman, mempertanggungjawabkan pendapat sendiri, melatih percaya diri, dan toleransi. Siswa merasa senang, karena belajar bahasa Inggris dengan mengangkat tema- tema lokal.

(9)

1006

Penerapan nilai kerja keras dan pantang menyerah dilakukan dengan cara diberi materi pengayaan yang agak sulit bagi yang sudah tuntas, dan ditugaskan memperbaiki kesalahan bagi yang belum tuntas. Selain itu penerapan nilai kerja keras ini dilakukan juga dengan memberikan tugas mandiri. Topik tugas pun dipilih yang memiliki nilai-nilai budaya lokal di dalamnya.

Antara lain, diberi tugas membuat laporan dalam bahasa Inggris hasil wawancara dengan budayawan setempat.

Kedua, “Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi sosial akan semakin efektif bila disertai nilai- nilai budaya”. Terkait dengan hasil pertama bahwa siswa lebih senang belajar bahasa Inggris karena merasa lebih dekat dengan keseharian mereka. Pada saat proses pembelajaran untuk kompetensi speaking, siswa diberi materi tentang hal-hal yang ada di lingkungan sekitar, antara lain ditugaskan menceritakan keramaian di pasar, dialog dengan sopir angkot, pagelaran wayang golȇk, aktifitas petani sekitar rumah, dan sebagainya. Hasil yang diperoleh siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan senang hati, karena yang dibicarakan adalah istilah- istilah yang sudah mereka kenal dalam kesehariannya. Menyebut surabi, gorȇngan, bandrȇk dan yang lainnya dalam kosa kata bahasa Inggris memberi kesan tersendiri. Hal ini mendukung keterampilan dasar abad 21 berupa “Literasi budaya dan kewarganegaraan” (Depdiknas, 2016).

Ketiga, “Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional akan menjadi media langsung dalam mempromosikan citra nasional”. Sejalan dengan kompetesi lintas kurikulum, salah satu yang harus dimiliki siswa adalah “Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan budaya global berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan historis”.

Artinya, siswa terampil berbahasa Inggris yang dibekali nilai-nilai budaya lokal/nasional, ia akan mampu berpartisipasi, berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan global sambil memperkenalkan nilai-nilai budaya bangsa yang melekat pada dirinya yang pada akhirnya ber- kontribusi kepada bangsa dan negara. Selain itu, akan mampu mengakses informasi melalui penggunaan teknologi. Senada dengan misi pendidikan Indonesia, yaitu cerdas intelektual dalam arti “Beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan keman-dirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi” (Renstra Kemendiknas, 2014-2019).

Keempat, “Penerapan nilai budaya pada pembelajaran Bahasa Inggris menciptakan siswa yang terampil berbahasa Inggris tanpa melupakan jatidiri bangsa”. Hasil ini tidak kalah pentingnya dengan yang lain, karena salah satu tantangan era global adalah derasnya arus informasi dari seluruh dunia yang sulit dibendung. Informasi tersebut terdiri atas bermacam- macam jenis, ada yang sesuai dengan budaya bangsa ada juga yang bertentangan. Saluran- saluran informasi sulit disaring apalagi dibendung, karena terus mengalir siang malam tanpa henti. Maka, satu-satunya andalan untuk memfilternya adalah ketahanan individu yang telah dibentengi nilai-nilai budaya bangsa dan telah terintegrasi dengan kepribadiannya. Dengan demikian, keberadaan mereka akan berkontribusi terhadap penguatan daya saing bangsa di

(10)

1007

tataran internasional seperti yang hendak dicapai pada tema pembangunan pendidikan fase 2020- 2024).

Tetapi terdapat temuan empiris, bahwa untuk menunjang penerapan nilai budaya dalam pembelajaran bahasa Inggris menuntut para guru untuk lebih mengenal, mengetahui, dan memahami serta mau mempraktekan nilai-nilai budaya lokal yang lebih mendalam.

KESIMPULAN

Kesimpulan, penerapan nilai budaya dalam pembelajaran Bahasa Inggris penting dalam mendukung pendidikan karakter. Karakter yang telah terbentuk bermanfaat bagi individu bersangkutan dan kepentingan bangsa dalam arti luas. Karena, penerapan nilai budaya dapat mendorong siswa untuk giat belajar, Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi sosial semakin efektif, Bahasa Inggris sebagai alat komunikasi internasional bisa menjadi media langsung dalam mempromosikan citra nasional di tataran global, dan menciptakan siswa terampil berbahasa tanpa melupakan jatidiri bangsa.

Para pengajar Bahasa Inggris disarankan untuk lebih mengenal dan memahami budaya lokal dan merasa bangga dengan budaya sendiri. Dalam prakteknya, membutuhkan dukungan semua pihak secara komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Bastaman. 2011. Pengembangan Pribadi Generasi Muda Sunda Melalui Pendidikan Karakter Berorientasi Budaya Sebuah Pendekatan Psikologi, Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage.

Brubacher-Seiler J. 1939. Modern Philoshopies of Educations, New York, Mc. Graw-Hill Book Company Inc.

Davison, G. dan C Mc Conville. 1991. A Heritage Handbook. St. Leonard, NSW: Allen & Unwin.

Direktorat Ketenagaan Dirjen Dikti Kemendiknas, Kerangka Acuan Pendidikan Karakter tahun Anggaran 2010 (TK, TP: 2010).

Fromm, Erich. 1964. Man for Himself: an inquiry into psychology of thics. New york: Holt, Rinehart and Winston; 17th printing.

Galla, A. 2001. Guidebook for the Participation of Young People in Heritage Conservation. Brisbane:

Hall and jones Advertising.

Hadiwijono, 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Kanisius.

Karmadi, Agus Dono. 2007. Budaya Lokal Sebagai Warisan Budaya dan Upaya Pelestariannya, Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Tradisional.

Keraf,Gorys. 1997. Komposisi, Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi.

Ma’arif Syamsul. 2011. Mutiara-mutiara dakwah KH HASYIM ASY’ARI, Bogor: Kanza publishing.

(11)

1008

Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia.

Mulyasa. 2012. Menejemen Pendidikan Karakter, Jakarta: Bumi aksara,

Rachmah, Huriah. 2013. Nilai-Nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, E-Journal WIDYA Non-Eksakta, Volume 1 Nomor 1 Juli- Desember 2013. ISSN: 2337-9480.

Renstra Kemendiknas, 2014-2019.

Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Konsep dan model Pendidikan Karakter, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sholeh, Abdul Rahman. 2005. Pendidikan Agama dan Pengembangn untuk Bangsa, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Yayasan Jati Diri Bangsa. 2008. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa: Peran penting Karakter dan Hasrat untuk Berubah”. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia.

Referensi

Dokumen terkait

Tentunya Pak Anies adalah orang yang tahu betul potret pendidikan di Indonesia, karena beliau sebagai bagian dari Indonesia Mengajar tentu sudah mendapatkan

Dari Tabel 1 terlihat bahwa untuk perubahan suhu akan memperoleh basil tluidisasi yang mula-mula naik clan kemudian turun clan mendatar. Mula-mula terjadi kenaikan

Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak

23 media Pembelajaran Interaktif Fitri Siti Sundari, M.Pd.. Elly

Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka di dapatlah pengetahuan mengenai pengaturan perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak pidana pembunuhan berencana

Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika Kesehatan 25 PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI PENGOLAHAN DATA PENDAFTARAN PASIEN RAWAT JALAN MENGGUNAKAN BASIS.. DATA MYSQL (STUDI KASUS

hubungan yang signifikan antara pengetahuan siswi tentang risiko kehamilan diluar nikah dengan motivasi pencegahan hubungan seksual pranikah pada siswi di SMA PGRI I

acknowledgment, picking list, packing list, billing of ladding, shipping notice, sales invoice, deposit slip dan Output penjualan meliputi ; order konsumen yang