• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOURNAL READING CIRCULATORY SHOCK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JOURNAL READING CIRCULATORY SHOCK"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

JOURNAL READING

CIRCULATORY SHOCK

Disusun untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik bagian Anastesi di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Disusun oleh:

Estu Septiyanto (01.211.6382) Insania Chusna Arifah (01.211.6416)

Pembimbing: dr. Said Shofwan., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

RS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2015

HALAMAN PENGESAHAN

(2)

INSANIA CHUSNA ARIFAH (01.211.6416)

FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI

PEMBIMBING : dr.SAID SHOFWAN., Sp.An

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal Juli 2015

Pembimbing,

dr. Dian Ayu L., Sp.An

DAFTAR MASALAH

No Masalah aktif Tanggal Keterangan No Masalah pasif Tanggal Keterangan 1 G4P3A0

GEMELLI

(3)

BAB 1

LAPORAN KASUS STATUS PENDERITA

1. Identitas Pasien

(4)

Umur : 32 th

Agama : Katolik

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

No RM : 01-25-6065

Tanggal masuk : 10 Juli 2015

Perawatan : Hari ke-2

Pasien bangsal : Baitun Nisa II 2. Keluhan Utama

Pasien G4P3A0 hamil 37 minggu dengan Gemelli dan MOW

2.1. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien G4P3A0 usia 32 tahun hamil 37 minggu. Janin 2 hidup intrauterin presentasi kepala, mengeluhkan tidak ada kontraksi rahim, keluar cairan (lendir dan darah) dari jalan lahir (+), terasa gerakan janin (+) ada tanda-tanda persalinan.

2.2. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat hipertensi : disangkal 2. Riwayat penyakit jantung : disangkal 3. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat stroke : disangkal 6. Riwayat kejang : disangkal 7. Riwayat penyakit maag : disangkal 8. Riwayat alergi obat : disangkal 9. Riwayat sakit di ginjal : disangkal 10. Riwayat abortus : disangkal 2.3. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat hipertensi : disangkal 2. Riwayat penyakit jantung : disangkal 3. Riwayat penyakit paru : disangkal

4. Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat stroke : disangkal 6. Riwayat kejang : disangkal 2.4. Riwayat Pribadi

1. Riwayat merokok : disangkal 2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal

(5)

3. Riwayat minum jamu : disangkal

3. Persiapan Pre Operasi

3.1 Anamnesis (11 Juli 2015)

A (Allergy) : Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan dan penyakit

M (Medication) : (-)

P (Past Illnes) : Riwayat DM (-), HT (-), Asma (-)

L (Last meal) : Puasa mulai pukul 00.00 WIB (7 jam sebelum operasi)

E (Environment) : G4P3A0 hamil 37 minggu, janin 2 hidup intrauterine presentasi kepala dengan Gemelli

3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (11 Juli 2015) Tanda Vital  TD : 110/70 mmHg  Nadi : 80 x/menit  RR : 20x/menit  SaO2 : 100 %  Suhu : 36 oC  TB : 155 cm  BB : 65 Kg  Jantung : dbn  Paru : dbn

 Mulut, gigi dan jalan nafas : dbn

 Ekstremitas : dbn

 Lain lain : dbn

DJJ I + 12-11-12 DJJ II+ 11-11-11

3.3. Pemeriksaan Penunjang (10 juli 2015) HEMATOLOGI

1. Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal

2. Leukosit : 6,4 103/uL 3,6-11 103/uL 3. Eritrosit : 3,76 103/uL (L) 3,8-5,2 103/uL 4. Hemoglobin : 10,4 g/dL (L) 11,7-15,5 g/dL

5. Hematocrit : 32 % (L) 33-45 %

6. Trombosit : 240 103 /u (L) 150-440 103 /uL

7. APTT : 26,6 detik 25 – 35 detik

(6)

10. Kimia Klinik (Serum)

a. Gula Darah Sewaktu : 68 mg/dL 75-110 mg/dL b. Natrium : 138,8 mmol/l 135 – 147 mmol/l c. Kalium : 4,15 mmol/l 3,5 – 5 mmol/l d. Chloride : 110,2 mmol/l 95 – 105 mmol/l 11. Serologi-Imun

a. HbsAg : Non Reaktif (-) Non Reaktif (-) 4. Laporan Anesthesi Durante Operasi

Tindakan operasi : SC (Sectio Caesarea)

Jenis anestesi : Regional Spinal, posisi puncture di lumbal terbawah, level median.

Lama anestesi : 08.20 - 09.30 WIB Lama operasi : 08.30 – 09.30 WIB

Premedikasi : Ondancetron 4 mg/2ml (IV)

Induksi : Bunascan Spinal 0.5% Heavy (Bupivacain HCL) 5mg/ml (4 ml), Efedrin 10 mg/ml

Maintenance : O2 2 L/menit

Adjuvantia : Oxytocin 20 IU/ 2 ml

Methylergometrine Maleat 0.4 mg/ 2 ml Ketorolac 3% 30 mg/ml

Reverse :

-Terapi cairan : Kristaloid : RL 500 ml Pematauan Tanda Vital (DI BUAT YAAAA)

Post operasi : Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery room

4.1 Tindakan Anestesi Regional

 Pasien diposisikan lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah menembus ligamentum flavum (hilang

(7)

tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.  Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang subaraknoid.  Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah

operasi, menggunakan jarum halus atau kapas dan tes motorik dengan mengangkat kaki dan menekuk lutut.

 Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester.

 Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya. 4.2 Pemberian Cairan Cairan masuk Pre operatif : RL 500 cc Durante operatif : RL 500 cc Cairan keluar Perdarahan : ± 300-400 cc Produksi urin : ± 55 cc/jam

Pasca Bedah di Recovery Room (RR)Bromage Score :

(8)

Recovery Room

 Masuk jam : 09.40 WIB  Pulang jam : 10.00 WIB

Keadaan Umum : Baik

Respon Kesadaran : Terjaga Status mental : Sadar penuh

Jalan nafas : Nasal

Pernafasan : Teratur

Terapi Oksigen : Nasal Canul

Kulit : Kering

Posisi Pasien : Tidur menggunakan bantal

Nadi : Teratur Infus : RL Tanda Vital  TD : 120/80 mmHg  Nadi : 80 x/menit  RR : 20 x/menit  SaO2 : 100 %  TB : 155 cm  BB : 65 Kg

Instruksi Post Operasi Dengan Anestesi Spinal Tidur dengan bantal tinggi selama 24 jam

Infus : RL 20 tpm

(9)

Boleh langsung minum, atau makan sedikit - sedikit jika tidak mual muntah

Bila muntah berikan inj. Ondansetron 4 mg iv Bila TD  100 mmHg (systole), beri :

 Loading cairan RL 250 cc iv

 Inj. Ephedrine HCL 10 mg iv (diencerkan)  Hub. dr. anestesi

BAB II

(10)

I. Anestesi Spinal I.1 Definisi

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L3-L4-L5.

I.2 Mekanisme Kerja Anestesi Regional

Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi lokal (pH sekitar 5).

Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive

Na+ channels). Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf,

maka ambang rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kegagalan konduksi saraf. Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi penutupan saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift) melalui membran akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa :

1. Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.

Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat keluar masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek

(11)

blok. Percobaan dari Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi lokal terletak di dalam saluran natrium.

2. Ekspansi membran.

Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan reseptor. Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat non-polar lemak misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine.

Untuk dapat melakukan aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat menembus jaringan, dimana bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk melaksanakan kerja obat di membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan reseptor di membran sel yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama kali harus menembus jaringan sekitarnya.

I.3 Teknik Anestesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal adalah sebagai berikut :

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

(12)

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak

(13)

6. eluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

I.4 Indikasi Anestesi Spinal

Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke bawah). Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.

I.5 Kontraindikasi

Pada Anestesi spinal terdapat kontraindikasi absolut dan relatif. Kontraindikasi Absolut diantaranya penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan, hipovolemia, penyakit neurologis yang tidak diketahui, koagulopati, dan peningkatan tekanan intrakanial, kecuali pada kasus-kasus pseudotumor

cerebri. Sedangkan kontraindikasi relatif meliputi sepsis pada tempat tusukan

(misalnya, infeksi ekstremitas korioamnionitis atau lebih rendah) dan lama operasi yang tidak diketahui. Dalam beberapa kasus, jika pasien mendapat terapi antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan, sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien untuk mencari adanya tanda-tanda infeksi, yang dapat meningkatkan risiko meningitis.

Syok hipovolemia pra operatif dapat meningkatkan risiko hipotensi setelah pemberian anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi uncus ketika cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat. Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi.

Kelainan koagulasi dapat meningkatkan resiko pembentukan hematoma, hal ini penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi sebelum melakukan induksi anestesi spinal. Jika durasi operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan terapi spinal seperti epinefrin dan apakah kateter spinal akan diperlukan.

(14)

Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi, karena operasi diatas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit neurologis seperti multiple sclerosis masih kontroversial karena dalam percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap toksisitas obat bius lokal.

Penyakit jantung yang level sensorik di atas T6 merupakan kontraindikasi relatif terhadap anestesi spinal seperti pada stenosis aorta, dianggap sebagai kontraindikasi mutlak untuk anestesi spinal, sekarang mungkin menggabungkan pembiusan spinal dilakukan dengan hati-hati, dalam perawatan anestesi mereka deformitas dari kolumna spinalis dapat meningkatkan kesulitan dalam menempatkan anestesi spinal. Arthritis, kyphoscoliosis, dan operasi fusi lumbal dalam kemampuan dokter anestesi untuk performa anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien untuk menentukan kelainan apapun pada anatomi sebelum mencoba anestesi spinal.

I.6 Komplikasi

Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.

a. Komplikasi sirkulasi : 1. Hipotensi

Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi.

Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang terjadi,

(15)

blok spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam. 2. Bradikardia

Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis. Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5 mg intravena.

3. Sakit Kepala

Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.

4. Komplikasi Respirasi

a) Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-paru normal.

b) Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.

c) Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.

d) Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.

5. Komplikasi gastrointestinal

Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada

(16)

perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48 jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

II. Obat-Obat Anestesi Spinal 1. Bupivakain

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah. Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.

Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 – 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 – 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.

(17)

2. KLONIDIN

Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis α2 yang digunakan untuk obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis lain juga mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian secara oral (3-5μg/kg), intramuscular (2μg/kg), intravena (1-3μg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150μg) dan epidural (1-2μg/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis.

Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan ramus dorsalis. Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala

withdrawal dari opioid, dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis.

Efek samping dapat berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering. Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja secara sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renin-dependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral.

3. EFEDRIN

Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam “efek secara langsung” pada sel efektor.

Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, α1, α2. Efek pada α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek α1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada

(18)

baroreseptor karena efek peningkatan TD. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik.

Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya tekanan diastolik, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rekat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin.

4. EPINEFRIN (ADRENALIN)

Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis, dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek metabolik lain.

Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas sebagai

respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain. Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprin (noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang dilepaskan oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga diekskresi oleh medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus dan disimpan dalam granul kromafin.

Norephineprin merupakan neurotransmiter utama yang bekerja pada

(19)

dan biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap hipotensi dan stres. Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam bentuk garam bitartat.

5. FENTANYL

Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap menggunakan analgesik narkotika.

Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.

Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis tinggimeningkatkan kejadian efek samping.

III. Efedrin

Efedrin (ephedrine) merupakan simpatomimetik yang didapat dari tanaman genus Ephedra (misalnya Ephedra vulgaris) dan telah digunakan luas di Cina dan India Timur sejak 5000 tahun yang lalu. Pengobatan tradisional Cina menyebut efedrin dengan nama Ma huang. Efedrin mempunyai rumus molekul C10H15NO dan nama lainnya adalah α-hydroxy-β-methylaminopropylbenzene. Rumus bangun efedrin adalah sebagai berikut:

(20)

Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan hipotensi, 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik, juga sebagai bronkodilator dan dekongestan. Gangguan-gangguan alergi juga bisa diatasi dengan efedrin, seperti asma bronkhial, kongesti nasal karena akut koriza, rhinitis dan sinusitis. Efedrin 25 atau 30 mg subkutan, intramuskular atau intravena lambat) dapat juga untuk mengatasi bronkospasme tetapi epinefrin lebih efektif.

Penggunaan efedrin di bidang anestesi pada kasus hipotensi akibat regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi. Untuk Ibu hamil yang menjalani prosedur seksio sesarea dengan spinal anestesi, efedrin merupakan pilihan mengatasi hipotensi yang diakibatkan oleh spinal anestesi. Efedrin selain meningkatkan tekanan darah, sejalan dengan itu memperbaiki aliran darah plasenta.

Selain itu efedrin juga digunakan untuk mengatasi hipotensi akibat induksi dengan propofol. Efedrin juga mampu mempercepat mula kerja rokuronium. Efedrin mencegah nyeri akibat injeksi propofol. Pencampuran efedrin dengan propofol dapat menjaga kestabilan hemodinamik dan mencegah nyeri akibat suntikan propofol.

2. Farmakokinetik

Efedrin dapat diberikan secara oral, topikal maupun parenteral. Efedrin dapat diserap secara utuh dan cepat pada pemberian oral, subkutan ataupun intramuskular. Bronkodilatasi terjadi dalam 15-60 menit setelah pemberian oral dan bertahan selama 2-4 jam. Absorbsi efedrin yang diberikan lewat jalur

(21)

intramuskular lebih cepat (10-20 menit) dibanding dengan pemberian subkutan. Pada pemberian intravena, efek klinik dapat langsung diobservasi. Lama kerja terhadap efek tekanan darah bertahan sampai 1 jam pada pemberian parenteral dan dapat bertahan selama 4 jam pada pemberian secara oral. Efedrin juga dilaporkan melewati plasenta dan terdistribusi pada air susu ibu.

Efedrin dimetabolisme oleh liver dalam jumlah kecil melalui deaminasi oksidasi, demetilasi, hidroksilasi aromatis dan konjugasi. Metabolitnya adalah p-hidroksiefedrin, p-hidroksinorefedrin, norefedrin dan konjugasinya. Efedrin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui urine dan dalam bentuk tidak berubah. Eliminasi efedrin dan metabolitnya dipengaruhi oleh asiditas urine. Eliminasi paruh waktu efedrin dilaporkan 3 jam pada pH urin 5 dan 6 jam pada pH urin. Efek puncak efedrin terhadap curah jantung dicapai sekitar 4 menit setelah injeksi.

3. Efek terhadap kardiovaskular

Efek kardiovaskular dari efedrin menyerupai epinefrin, tetapi respon kenaikan tekanan darah sistemik kurang dibanding efedrin. Efedrin membutuhkan 250 kali dibandingkan epinefrin untuk mendapatkan efek kenaikan tekanan darah yang sama. Pemberian efedrin intravena meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Aliran darah renal dan splanik menurun, tetapi aliran darah koroner dan otot skelet meningkat. Resistensi vaskular sistemik berubah karena vasokonstriksi pada vascular beds diimbangi dengan vasodilatasi oleh stimulasi β2 pada tempat-tempat yang lain. Efek kardiovaskular tersebut pada reseptor α menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena di perifer.

Mekanisme utama efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan aktivasi reseptor β1. Dengan adanya antagonis reseptor β maka efek efedrin terhadap kardiovaskular adalah dengan stimulasi reseptor α.

Dosis kedua efedrin setelah pemberian dosis awal mempunyai efektifitas lebih rendah dibanding dosis awal. Fenomena ini dikenal dengan istilah takifilaksis, yang mana juga terjadi pada simpatomimetik dan berhubungan dengan masa kerja obat. Takifilaksis terjadi oleh karena blokade reseptor adrenergik secara persisten. Sebagai contoh, efedrin menyebabkan aktivasi reseptor adrenergik bahkan setelah peningkatan tekanan darah sistemik terjadi pada subdosis. Ketika efedrin diberikan pada saat itu, reseptornya bisa

(22)

menempati batas minimal efedrin untuk peningkatan tekanan darah. Takifilaksis mungkin karena kekurangan simpanan norepinefrin.

3. Kontra Indikasi

Kontra indikasi termasuk riwayat hipertensi, tirotoksikosis, angina pectoris, aritmia dan gagal jantung.

4. Toksisitas efedrin

Dosis besar efedrin parenteral dapat menyebabkan bingung, delirium, halusinasi atau euphoria. Paranoid psikosis dan halusinasi penglihatan dan pendengaran bisa terjadi pada dosis yang sangat besar. Efedrin bisa juga menyebabkan sakit kepala, kesulitan bernafas, demam atau merasa hangat, merasa kering pada hidung atau tenggorokan, takikardi, aritmia, nyeri dada, berkeringat, tidak nyaman di perut, muntah, retensi urine, hipertensi yang akibatnya perdarahan intrakranial, mual dan hilangnya selera makan.

Dalam suatu laporan disebutkan seorang wanita 21 tahun mengkonsumsi efedrin 6 tablet (120 mg). Tekanan darah mencapai 210/110 mmHg dan diatasi dengan lidokain dan nitroprusside dan tekanan darah turun dalam 9 jam kemudian. Seorang pemuda 19 tahun menelan tablet yang berisi 24 mg efedrin dan 100 mg kafein dan 15 menit kemudian mengalami nyeri dada hebat dan menjalar ke lengan kiri. Untuk kasus ini juga diatasi dengan lidokain dan nitroprusside.

Teknik Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini sering digunakan pada persalinan per vaginam dan pada seksio sesarea tanpa komplikasi. Pada seksio sesarea blokade sensoris spinal yang lebih tinggi penting. Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas, diperlukan dosis agen anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan frekuensi serta intensitas reaksi-reaksi toksik.

1. Teknik anestesi spinal pada seksio sesarea

Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida, dan lakukan observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 23 atau 25) pada bidang median setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus

(23)

duramater - subarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid tersebut.

Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.

2. Indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea

Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah) :

1) Vaginal delivery 2) Ekstremitas inferior 3) Seksio sesarea 4) Operasi perineum 5) Operasi urologic

3. Kontra indikasi anestesi spinal pada seksio sesarea : 1) Infeksi tempat penyuntikan

2) Gangguan fungsi hepar 3) Gangguan koagulasi

4) Tekanan itrakranial meninggi 5) Alergi obat lokal anstesi 6) Hipertensi tak terkontrol 7) Pasien menolak

8) Syok hipovolemik 9) Sepsis

4. Obat anestesi spinal pada seksio sesarea : Obat anestetik yang sering digunakan: 1) Lidocain 1-5 %

2) Bupivacain 0,25-0,75 %

5. Komplikasi anestesi spinal pada seksio sesarea : 1) Hipotensi

(24)

2) Brakikardi

3) Sakit kepala spinal (pasca pungsi) 4) Menggigil

5) Mual-muntah 6) Depresi nafas 7) Total spinal

8) Sequelae neurologic

9) Penurunan tekanan intrakranial 10) Meningitis

(25)

BAB III PEMBAHASAN

Anestesi spinal memberikan blokade sensorik dan motorik simetris, cepat serta mendalam pada pasien yang melahirkan secara sectio caesaria. Efek yang paling sering dan serius dari penggunaan anestesi spinal pada persalinan sesar adalah hipotensi, dengan insidensi kasus yang dilaporkan lebih dari 80 %.

Efedrin telah banyak digunakan dalam praktek kedokteran termasuk dalam bidang Anestesi. Efedrin bekerja pada reseptor α dan β, termasuk α1, α2, β1 dan β2, baik bekerja langsung ataupun tidak langsung. Efek tidak langsung yaitu dengan merangsang pelepasan noradrenalin. Efedrin 25 mg sampai 50 mg intramuskular atau subkutan bisa digunakan untuk mengatasi keadaan hipotensi, 25 mg per oral sekali sehari untuk mengatasi hipotensi ortostatik, juga sebagai bronkodilator dan dekongestan.

Penggunaan efedrin di bidang anestesi banyak dilakukan pada kasus hipotensi akibat regional anestesi, baik oleh karena spinal ataupun epidural anestesi. Pemberian efedrin 10-25 mg iv pada orang dewasa sebagai pilihan simpatomimetik mengatasi blokade susunan saraf simpatis yang disebabkan anestesi regional ataupun untuk mengatasi efek hipotensi yang disebabkan obat-obat anestesi. Pemberian secara intravena mungkin lebih efektif dan terkontrol, meskipun menggunakan dosis dalam jumlah yang besar (tinggi) dan insidensi dari hipotensi masih tinggi dalam beberapa penelitian.

(26)

1. Pre Operatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anestesi. Kunjungan ini bertujuan untuk mempersiapkan mental, fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-obatan yang sesuai serta menentukan klasifikasi yang sesuai menurut ASA. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan tidak adanya kencang-kencang dibagian perut padahal umur kehamilan sudah 37 minggu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan denyut jantung kedua janin baik, presentasi kepala. Dari pemeriksaan penunjang tidak didapatkan adanya peningkatan kadar apapun. Pada pasien ini status anestesi adalah ASA 1 (Pasien normal dan sehat fisik dan mental).

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan, karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. Riwayat kebiasaan sehari-hari seperti merokok, minum alkohol, menggunakan obat

(27)

penenang, dan narkotika. Pertanyaan tentang review sistem organ untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Pemeriksaan jalan nafas daerah leher dan kepala diperiksa untuk mengetahui adanya trismus. Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek, gangguan fleksi extensi leher, deviasi trachea sangat penting dilakukan untuk mengetahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.

Pemeriksaan laboratorium memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada semua pasien. Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori

(28)

ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan

manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.

Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.

KelasV : Pasien sekarat yang akan menyang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam, dengan atau tanpa pembedahan.

Kelas E : Bila operasi dilakukan darurat/cito

Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko

(29)

tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.

Terapi Cairan

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Kebutuhan Cairan Selama Operasi

Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi

Ringan 4 cc/kgBB/jam

Sedang 6 cc/kgBB/jam

Berat 8 cc/kgBB/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

Penggantian Cairan Selama Puasa

 50 % selama jam I operasi

 25 % selama jam II operasi

(30)

Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

• Meredakan kecemasan dan ketakutan • Memperlancar induksi anesthesia

• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus • Meminimalkan jumlah obat anestetik

• Mengurangi mual muntah pasca bedah • Menciptakan amnesia

• Mengurangi isi cairan lambung

• Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml. Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah.

2. Durante Operasi Pemakaian Obat Anestesi

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan Bupivacaine HCL yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibanding lidokain, tetapi lama kerja 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang (supine).

Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan

(31)

pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara perlahan-lahan.

Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi, sehingga tidak diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg secara intravena.

Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan oxytocin 20 IU (2 ampul) diberikan per-drip, dan Pospargin o,2 mg/ml diberikan secara bolus IV Pemberian oksitosin dan pospargin bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5 menit. Selain oksitosin, juga diberi metergin 2 ml bolus IV, Mekanisme kerjanya merangsang kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui reseptor adrenergik sehingga menghentikan perdarahan uterus.

Pemberian ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat sebelum operasi selesai. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin. Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi, dengan durasi kerja 6-8 jam.

(32)

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

(33)

DAFTAR PUSTAKA

1. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins..

2. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

3. Keat Sally, Simon T, Alexander B, Sarah L. 2013. Anaesthesia on the move 1th editional. U.K. Hodder Arnold.

4. Snell, Richard S. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi ke-6. Editor:Hartanto Hurniawati, dkk. Jakarta:EGC;2006.

5. Spinal Anesthesia: Subarachnoid Block. Editor Lee A. Fleisher. 2008.

Diunduh 10 Juni 2015. Available from:

http://www.proceduresconsult.com/medical-procedures/spinal-anesthesia-subarachnoid-block-AN-procedure.aspx

6. Mangku Gde, Senapathi Agung Gde Tjokorda. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan

Referensi

Dokumen terkait

Bidang miring yang mampu menaikkan sebuah benda ke ketinggian tertentu, dengan gaya yang seminimal mungkin dan mengacu pada ketinggian serta panjang papan yang

Materi yang didiskusikan antara lain komposisi kelimpahan unsur di alam, komposisi udara bersih dan kering, kandungan mineral utama dalam air laut, dan berbagai mineral

Analisis ini digunakan untuk mengetahui melihat bagaimana pemetaan persepsi konsumen terhadap kemasan produk dengan strategi positioning yang berbeda-beda berdasarkan

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 sebagaimana

Plot tegangan vs arus seperti ini pada frekuensi tertentu diperlihatkan Gambar 3b. Jika sekelompok kapasitor  tiga fasa dihubungkan kepada terminal generator induksi,

manusia yang saling melengkapi antara individu yang satu dengan yang lainya maka, penulis menerima kritik dan saran yang membangun guna menambah wawasan yang

Berdasarkan pengumpulan data validasi yang telah dilakukan peneliti mengenai pengembangan materi Hubungan Antar Pribadi bagi siswa, didapatkan bahwa 1) Materi yang dihasilkan

Setelah pemakai selesai memakai laboratorium, maka pemakai wajib mengembalikan alat sesuai peminjaman dan akan dikenakan biaya pemakaian Iaboratorium, pemakaian alat