• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN LEVEL PROTEIN PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PERFORMA AYAM BURAS JANTAN HASIL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN LEVEL PROTEIN PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PERFORMA AYAM BURAS JANTAN HASIL"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN LEVEL PROTEIN PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PERFORMA AYAM BURAS JANTAN HASIL IN OVO

FEEDING L- ARGININ SELAMA DUA GENERASI (F2)

NUR HIKMAH I111 14 341

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018 SKRIPSI

(2)

ii PENGARUH PEMBERIAN LEVEL PROTEIN PAKAN YANG BERBEDA

TERHADAP PERFORMA AYAM BURAS JANTAN HASIL IN OVO FEEDING L- ARGININ SELAMA DUA GENERASI (F2)

NUR HIKMAH I111 14 341

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018 SKRIPSI

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v ABSTRAK

Nur Hikmah I111 14 341. Pengaruh Pemberian Level Protein Pakan yang Berbeda Terhadap Performa Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding L- Arginin Selama Dua Generasi (F2). Pembimbing : Wempie Pakiding dan Syahdar Baba

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian level protein pakan yang berbeda terhadap performa ayam buras jantan hasil in ovo feeding l- arginin selama dua generasi (F2). Penelitian ini mengunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan 4 kali ulangan dengan menggunakan ayam buras jantan hasil in ovo feeding asam amino l-arginin selama dua generasi (F2). Perlakuan pakan yang diberikan terdiri dari, P1 pakan dengan tingkat protein 16%; P2 pakan dengan tingkat protein 18%; P3 pakan dengan tingkat protein 20%. Parameter yang diukur adalah pertambahan berat badan mutlak, pertambahan berat badan relative, konsumsi pakan, konversi pakan dan dimensi tubuh. Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian level protein pakan yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap parameter pertambahan berat badan mutlak, pertambahan berat badan relatif, konsumsi pakan dan konvesi pakan ayam buras jantan. Terdapat hubungan yang signifikan (P<0.05) antara lingkar dada terhadap berat badan ayam buras jantan yang dapat digunakan sebagai penduga bobot badan terbaik. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa pemberian level protein 20% pada ayam buras jantan memberikan performa yang lebih baik walau tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dapat dilihat dari pertambahan berat badan mutlak, konversi pakan berat badan akhir.

Kata Kunci : Ayam buras jantan, in ovo l-arginin, protein, performa, dimensi tubuh

(6)

vi ABSTRACT

Nur Hikmah I111 14 341. The Effect of Protein Levels on Performance Of Male Local Chicken treated In Ovo Feeding L- Arginine for Two Generations (F2). Supervised by Wempie Pakiding and Syahdar Baba

The study aims to determine the effect of protein levels on performance of male local chicken treated in ovo feeding l-arginine for two generations (F2).

This research was using Completely Randomized Design (CRD) 3 treatments with 4 times replication by using the male local chicken’s injected with L-arginine amino acid for two generations (F2). The treatments applied were three levels of protein consisting of P1 16%, P2 18%, P3 20%. The parameters measured were the absolute weight gain, the relative weight gain, feed consumption , feed convertion ratio and body deminsions. Analysis of variance showed that giving of different protein levels was not significantly affect (P>0.05) the absolute weight gain, the relative weight gain, feed consumption and feed conventions ratio of male local chicken. There was a significant correlation (P<0.05) between the chest circumference on the weight of male local chicken showing to circumference as the best body weight of the estimate. Based on this research, it can be concluded that giving the protein level of 20% in male local chicken gives better performance although it is not significantly different with others treatment when viewed from absolute weight gain, feed convertion ratio, and final body weight.

Keywords : Male domestic chicken, in ovo l-arginine, protein level, performance, body deminsions

(7)

vii KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh………

Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Taala Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Kehendak, Rahmat dan InayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Usulan Penelitian ini dengan judul “Pengaruh Pemberian Level Protein Pakan yang Berbeda Terhadap Performa Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding L- Arginin Selama Dua Generasi (F2). Tak lupa pula salam serta shalawat senantiasa penulis haturkan kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai suri tauladan ummat manusia.

Limpahkan rasa hormat, kasih sayang, cinta dan terima kasih tiada tara kepada Ayahanda Irwan dan Ibunda Tahifa yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang yang begitu tulus kepada penulis sampai saat ini dan senantiasa memanjatkan do’a dalam kehidupannya untuk keberhasilan penulis. Semoga Allah senantiasa melindunginya dan mengumpulkan kelurga kami dalam syurganya.

Banyak hambatan dan tantangan penulis hadapi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun berkat ketabahan, kesabaran dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat kami selesaikan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada :

(8)

viii 1. Bapak Dr. Ir. Wempie Pakiding, M.Sc sebagai pembimbing dan Dr. Syahdar Baba, S.Pt., M.Si atas segala waktu, saran, bimbingan, nasihat, semangat, dan dukungan yang telah diberikan selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Lellah Rahim, M.Sc bapak Prof. Dr. Ir. Ambo Ako, M.sc dan bapak Rachman Hakim S.Pt., MP. sebagai komisi pembahas/Penguji yang telah memberikan arahan, petunjuk dan saran yang sangat berharga demi perbaikan skripsi ini.

3. Ibu Rektor UNHAS, Bapak Dekan, Pembantu Dekan I,II dan III dan seluruh Bapak Ibu Dosen yang telah melimpahkan ilmunya kepada penulis, dan Bapak Ibu Staf Pegawai Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin.

4. Ibu Dr. Agr., Renny Fatmyah Utamy, S. Pt., M. Agr. selaku penasehat akademik semester 5 sampai sekarang dan Dr. Aslina Asnawi, S.Pt., M.Si.

selaku penasehat akademik semester 1 sampai 4, atas segala bimbingan, saran, nasehat, waktu serta dukungan yang diberikan pada penulis.

5. Bapak Rachman Hakim S.Pt., MP, Daryatmo, S.Pt., M.P, Muhammad Azhar S.Pt., M.Si, Saifullah S.Pt yang telah banyak membantu di Laboratorium Ilmu Ternak Unggas hingga penelitian selesai.

6. Teman satu tim penelitian Nurkhalisa dan Toban Rante Linggi yang selalu kompak dan optimis bahkan disaat tersulit.

7. Kakanda dan teman-teman ‘poulty crew’ terutama ka ridho, ka zul, ka makmur, ka arisman, ka ikram, ka nia, supriadi, irsyad, fajrin, agus, madhi, yazid serta teman teman lain yang tidak disebutkan namanya, terimaksih atas segala bantuan yang diberikan selama penelitian dilaksanakan.

(9)

ix 8. Teman angkatan Ant14, terutama ‘gengs’ age, muna, ruhul dan esy, grup

‘bureng’ mimi dan elisa, ‘penghuni perpus nutrisi’ alfi, lely, fitri, pite, mae, danes, meygi, serta teman teman ‘c.Spt produksi’ elis, ayhie, icha, devi, pae, arung, qayyum, bunga, sita, yayu, arfan, iccang, zakiyah, taal, bayu dan samsul. Terimaksih telah menjadi teman, sahabat dan saudara bagi penulis.

9. Kakanda Solandeven 011, Lion 010, Flock Mentality 012, Larfa 013, serta adik adik Rantai 015 dan Boss 16.

10. Lembaga Tercinta Himaprotek_UH yang telah banyak memberi wadah terhadap penulis untuk berproses dan belajar.

11. Teman teman KKN 96 Kecamatan Bungoro, Pangkep, terutama posko Desa Mangilu; lintang, rahma, arif dan ka Accung yang telah banyak menginspirasi dan mengukir pengalaman hidup bersama penulis yang tak terlupakan selama mengabdi di masyarakat.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan kerendahan hati penulis mohon segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi terwujudnya karya yang lebih baik kedepannya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

AAMIIN YA ROBBAL AALAMIN.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Mei 2018

Penulis

(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Umum Ayam Buras ... 4

Pemberian Nutrisi Asam Amino L- Arginin Secara In Ovo Feeding ... 6

Kebutuhan Protein Ayam Buras ... 8

Performa dan Dimensi Tubuh Ayam Buras ... 10

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 15

Materi Penelitian ... 15

Rancangan Penelitian ... 15

Prosedur Penelitian ... 16

Parameter yang diukur ... 18

Analisa Data ... 22 Halaman

(11)

xi HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding L- arginin yang

diberi Level Protein Pakan yang Berbeda ... 24

Pertambahan Bobot Badan ... 24

Konsumsi Pakan ... 26

Konversi Pakan ... 27

Berat Badan Akhir ... 28

Dimensi Tubuh Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding L- arginin yang diberi Level Protein Pakan yang Berbeda ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

LAMPIRAN ... 42 RIWAYAT HIDUP

(12)

xii DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman 1. Susunan Bahan dan Kandungan Nutrisi Pakan Ayam Kampung

yang diberikan ... 17 2. Rata-rata ± SD Performa Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding

L- Arginin yang diberi Level Protein Pakan yang Berbeda ... 24 3. Rata-rata ± SD Pertambahan Berat Badan (g/ekor) dan Beberapa

Dimensi Tubuh (cm) Ayam Buras Jantan Selama 9 Minggu

Pemeliharaan. ... 30 4. Koefisien Regresi (b), Koefisien Korelasi (r), Nilai Signifikansi (P)

dan Jumlah Sampel (N) Pola Korelasi diantara Beberapa Dimesi Tubuh dan Berat Badan Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding

L-arginin. ... 32

(13)

xiii DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman 1. Asal Ayam yang digunakan ... 16 2. Sistem Kerangka Ayam dan Letak Pengukuran Beberapa Dimensi

Tubuh ... 20

(14)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman 1. Analisis Ragam Pertambahan Berat Badan Mutlak Ayam Buras

Jantan Hasil In Ovo Feeding L-Arginin Selama Dua Generasi (F2)

yang diberi Pakan dengan Level Protein Pakan yang Berbeda ... 42 2. Analisis Ragam Pertambahan Berat Badan Relatif Ayam Buras

Jantan Hasil In Ovo Feeding L-Arginin Selama Dua Generasi (F2)

yang diberi Pakan dengan Level Protein Pakan yang Berbeda ... 43 3. Analisis Ragam Konsumsi Pakan Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo

Feeding L-Arginin Selama Dua Generasi (F2) yang diberi Pakan

dengan Level Protein Pakan yang Berbeda ... 44 4. Analisis Ragam Konversi Pakan Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo

Feeding L-Arginin Selama Dua Generasi (F2) yang diberi Pakan

dengan Level Protein Pakan yang Berbeda ... 44 5. Analisis Ragam Berat Badan Akhir Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo

Feeding L-Arginin Selama Dua Generasi (F2) yang diberi Pakan

dengan Level Protein Pakan yang Berbeda ... 46 6. Korelasi Antara Berat Badan dan Dimensi Tubuh Selama 9 Minggu

Pemeliharaan ... 47 7. Dokumentasi Kegiatan Penelitian ... 5

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Sebagai sumber daya genetik di Indonesia, ayam lokal dapat dikembangkan guna mendukung kemandirian penyediaan pangan sumber protein hewani nasional. Akan tetapi ayam buras memiliki produktivitas yang rendah dibandingkan ayam ras, sehingga perlu upaya peningkatan produktivitas pada ayam kampung (Fahrudin dkk., 2016). Salah satu teknologi yang saat ini sedang dikembangkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan ayam buras adalah teknologi in ovo feeding. Pemberian nutrisi tambahan pada periode inkubasi dengan tehnik in ovo merupakan suatu teknik yang bertujuan untuk memaksimalkan pertumbuhan dan perkembangan embrio pada periode inkubasi (Salmanzadeh, 2012). Embrio secara jelas mengkonsumsi cairan yang ada didalam telur (terutama air dan protein albumen) sehingga membantu pertumbuhan dan proses pipping yang sempurna. Oleh karena itu, penambahan nutrisi secara in ovo berfungsi untuk mengatasi kendala pada pertumbuhan awal selama fase embrio dan pertumbuhan pasca menetas pada unggas (Uni dan Ferket, 2003).

Ayam buras yang digunakan dalam penelitian ini merupakan ayam buras yang telah diberi injeksi asam amino l-arginine secara in ovo selama dua generasi (F2). L- arginin adalah salah satu asam amino dasar, dan diklasifikasikan sebagai asam amino penting secara kondisional. Salah satu fungsi utamanya adalah peranannya dalam sintesis protein. Arginin terlibat dalam sejumlah fungsi metabolik lainnya di dalam tubuh, seperti potensinya untuk dikonversi menjadi glukosa (oleh karena itu diklarifikasikan sebagai asam glikogenat), dan kemampuannya untuk menghasilkan energi (Tong dan Barbul, 2004). Arginin

(17)

2 digunakan disejumlah jalur metabolisme yang menghasilkan berbagai senyawa aktif secara biologis, seperti oksida nitrat, creatine, agmatine, glutamat, poliamina, ornithine dan citrulline (Wu dan Morris, 1998).

Hasil penilitian Al-Shamery dan Al-Shuhaib, (2015) menunjukkan bahwa penambahan nutrisi dengan tehnik in ovo yang dilakukan pada akhir periode inkubasi tidak dapat menstimulasi hiperplasia sel otot. Pada periode tersebut, penambahan nutrisi dengan tehnik in ovo hanya berfungsi untuk meningkatkan ketersedian energi untuk aktifitas penetasan, pematangan sel, dan cadangan energi setelah menetas. Azhar (2016) melaporkan bahwa penambahan l-arginin secara in ovo dapat meningkatkan berat embrio, berat tetas, pertambahan berat badan, dan laju pertumbuhan, sehingga ayam yang telah diinjeksi secara in ovo mengalami tingkat pertumbuhan dan produktivitas yang lebih baik dari ayam buras biasa.

Pada fase pertumbuhan, ayam memerlukan protein yang tinggi sesuai dengan kebutuhannya karena protein merupakan nutrisi makanan yang sangat berperan dalam pertumbuhan (Kusnadi dkk., 2014). Sebaliknya bila tingkat protein ransum terlalu tinggi maka pertumbuhan akan meningkat, namun tidak sepadan dengan biaya peningkatan protein ransum (Swennen dkk., 2004). Dalam usaha peternakan unggas, biaya untuk pakan mencapai 65–70% dari total biaya produksi (Zuprizal, 2006), sehingga harga bahan pakan sangat menentukan biaya produksi. Oleh karena itu perlu diupayakan penghematan untuk menekan biaya produksi.

Penelitian tentang pemberian pakan dengan perbedaan level protein pada ayam kampung telah banyak dilakukan. Akan tetapi penelitian pemberian tingkat protein pakan yang berbeda pada ayam kampung hasil injeksi in ovo l-arginine

(18)

3 selama dua generasi (F2) belum pernah dilakukan sebelumnya. Perlakuan khusus pada metode pemberian pakan belum diketahui apakah mampu meningkatkan lagi performa ayam buras tersebut atau tidak berpengaruh sama sekali. Berdasarkan uraian tersebut, dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan performa ayam buras hasil in ovo feeding l-arginin melalui perlakuan perbedaan level pakan yang berbeda, namun tetap efesien dalam penggunaan pakan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian level protein pakan yang berbeda terhadap performa ayam buras jantan hasil in ovo feeding l-arginin selama dua generasi (F2) serta untuk mengetahui tingkat protein pakan yang paling baik digunakan untuk peningkatan pertumbuhan pada ayam buras jantan hasil in ovo feeding l-arginin namun tetap efesien dalam penggunaan pakan. Kegunaan penelitian ini yaitu sebagai sumber informasi bagi mahasiswa dan khalayak ramai mengenai pengaruh pemberian level protein pakan yang berbeda terhadap performa ayam buras jantan hasil in ovo feeding l-arginin selama dua generasi (F2)

(19)

4 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Umum Ayam Buras

Salah satu sumber protein asal hewani yang sangat mudah didapat, telah banyak dikenal dan bermasyarakat adalah daging ataupun telur ayam kampung.

Ayam kampung adalah ayam lokal Indonesia berasal dari ayam hutan merah yang telah dijinakkan. Akibat prosesevolusi dan domestikasi, terciptalah ayam kampung yang sudah beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya (Supraptini, 1985). Ayam kampung juga dikenal dengan sebutan ayam buras (bukan ras).

Penampilan ayam kampung sangat beragam, begitupula sifat genetiknya, penyebarannya juga sangat luas karena dapat dijumpai di kota maupun di desa (Kusnadi dkk., 2014).

Selama bertahun-tahun petani setempat telah memelihara ayam lokal sebagai bagian dari budaya mereka dengan cara tradisional. Indonesia memiliki setidaknya 31 bangsa atau kelompok ayam lokal yang berbeda (Nataamijaya, 2000). Ayam kampung sangat berarti bagi masyarakat karena kontribusinya dalam meningkatkan pendapatan keluarga dan memenuhi kebutuhan gizi dari daging dan telur yang dihasilkan. Di beberapa daerah di Indonesia ayam kampung sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam acara keagamaan, adat istiadat dan hobi sehingga pembudidayaannya perlu ditingkatkan (Nitis, 2006).

Ayam buras dinilai memiliki beberapa keunggulan dibanding dengan strain-strain ayam komersil (ayam ras petelur atau pedaging) antara lain: mampu bertahan dan berkembang biak dengan kualitas pakan yang rendah, serta lebih tahan terhadap penyakit dan perubahan cuaca (Abidin, 2002). Kelebihan ayam buras yang sering dilaporkan yaitu memiliki kemampuan adaptasi yang sangat

(20)

5 baik (Nataamijaya, 2006). Akan tetapi permasalahan dalam pengembangan ayam kampung di pedesaan antara lain produksi telur rendah (30-40 butir/tahun) dan sistem pemeliharaannya masih secara tradisional (Suryana dan Hasbianyanto, 2008). Performa yang rendah merupakan masalah utama dari ayam buras. Aspek performa yang dilaporkan mengalami permasalahan oleh peneliti terdahulu yaitu berat badan pertambahan, berat badan, konversi pakan (Kususiyah, 2011; Aryanti dkk., 2013).

Sejak beberapa dekade terakhir, seleksi dan pemuliaan ayam kampung mulai dikembangkan dalam rangka upaya menghasilkan ayam kampung dengan peningkatan performa yang baik (Azahan dkk., 2014). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ayam buras pemberian pakan komersial (Zakaria, 2004), dan perubahan manajemen pemeliharaan (Ohta dkk., 2001), namun hasil peneliti tersebut belum optimal dalam upaya meningkatkan produktivitas ayam buras. Peningkatan kualitas genetik dalam rangka peningkatan populasi juga dapat dilakukan dengan cara persilangan. Namun persilangan ini memiliki dampak negatif terhadap penurunan performa ayam kampung yang kurang baik (Azahan dkk., 2014; Tamzil dkk., 2015), daya tetas yang rendah (Prawirodigdo dkk., 2001) dan menurut Azhar (2016), persilangan juga tidak direkomendasikan ditinjau dari segi konservasi keanekaragaman genetik

Resnawati dan Ida (2005) melaporkan bahwa usaha pengembangan ayam lokal dengan tujuan meningkatkan produktivitas perlu ditunjang oleh teknologi yang tepat. Berbagai aspek teknis dapat dilakukan seperti perbaikan mutu genetik dan cara pemeliharaan dari tradisional ke semi intensif dan intensif. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan perbaikan nutrisi dan pengembangan teknologi

(21)

6 penetasan. Studi Azhar (2016) melaporkan bahwa pemberian nutrisi ayam kampung pra inkubasi dengan tehnik in ovo feeding dapat meningkatkan performa ayam kampung. Demikian pula dengan Nasrun (2016) yang melaporkan bahwa pemberian l-arginin pada hari ke-10 inkubasi berpengaruh terhadap peningkatkan pertumbuhan (berat, panjang dan lingkar dada) embrio ayam kampung umur 18 hari.

Pemberian Nutrisi Asam Amino L- Arginin Secara In Ovo Feeding

Teknologi in ovo merupakan metode injeksi nutrisi atau vaksin kedalam telur. Nutrien di masukkan ke dalam cairan amnion dan dilakukan pada saat embrio mulai mengkonsumsi cairan amnion (Uni dan Ferket, 2003). Pada awal periode inkubasi embrio memperoleh nutrisi dari albumen, oleh karena itu penyuntikan dilakukan pada bagian albumen (Salmanzadeh dkk., 2016). In ovo feeding diketahui dapat meningkatkan perkembangan saluran pencernaan ayam.

Menurut Azhar (2016) prinsip kerja in ovo feeding yaitu untuk meningkatkan massa organ dan meningkatkan performa saluran pencernaan terutama intestine (duodenum, jejenum dan ileum). Selain itu in ovo feeding juga diketahui dapat meningkatkan total glikogen hati pada embrio dan pada saat penetasan. In ovo feeding juga diketahui dapat meningkatkan ukuran relatif otot dada (% dari berat badan ayam broiler) (Uni dan Ferket, 2004).

Penelitian yang dilakukan Azhar (2016), konsentrasi larutan yang diinjeksikan pada telur menjadi salah satu penentu keberhasilan metode in ovo feeding. Larutan tersebut, harus memiliki osmolaritas dan pH yang sesuai dengan lingkungan embrio. Pada penelitian tersebut larutan yang digunakan sebagai injeksi adalah asam amino l-arginin. Arginin adalah asam amino dasar dan

(22)

7 diklasifikasikan sebagai unsur penting, dengan fungsi utama sebagai partisipasi dalam sintesis protein. Fungsi arginin dalam tubuh seperti potensinya untuk dikonversi menjadi glukosa (maka klasifikasinya sebagai glycogenic asam), dan kemampuannya dalam katabolisme untuk menghasilkan energi (Tong dan Barbul, 2004). Arginin digunakan dalam metabolisme yang menghasilkan berbagai senyawa biologis aktif, seperti nitratoksida, creatine, agmatine, glutamat, poliamina, ornithine dan citrulline (Wu dan Morris, 1998).

L-arginin merupakan asam amino esensial pada unggas, yang memainkan peran penting dalam beberapa proses fisiologis seperti pertumbuhan dan perkembangan, dan berfungsi sebagai prekursor protein, creatine, polyamines, l- proline, berbagai hormon dan oksida nitrat (Khajali dan Wideman, 2010). Kwak dkk. (1999) menggambarkan bahwa metabolisable plasma arginin secara langsung dipengaruhi oleh komsumsi arginin. In ovo feeding dengan l-arginine dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan daya tetas dan peningkatan performa (Al-Daraji dkk., 2012).

Penambahan asam amino l-arginin pada 0,04% secara signifikan dapat meningkatkan persentase karkas, otot dada dan otot paha ayam broiler (Al-Daraji dan Salih, 2012). Penambahan asam amino l-arginin 1% atas rekomendasi NRC (1994) untuk bebek pekin umur 21-42 hari dapat mengurangi lemak kulit dan lemak perut (Al-Daraji dkk., 2011). Meningkatkan persentase otot dada dan kandungan lemak intramuskular di otot dada bebek pekin putih dan burung puyuh (Al-Daraji dkk., 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2016) pemberian l-arginin secara in ovo feeding 1,0 g dan 1,5 g dapat meningkatkan panjang organ saluran pencernaan (esophagus, duodenum, caeca dan usus besar)

(23)

8 dan meningkatkan berat organ saluran pencernaan (ileum dan usus besar). Dan pada penelitian yang dilakukan Asmawati (2014) injeksi asam amino dapat meningkatkan bobot embrio, bobot tetas, dan performa anak ayam umur tujuh hari.

Kebutuhan Protein Ayam Buras

Pakan merupakan komponen yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu peternakan dan merupakan komponen biaya yang besar. Oleh karena itu, dilakukan manajemen pakan yaitu dengan melihat kualitas dan kuantitas pakan sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan penyerapan zat- zat makanan dan efisiensi harga. Pengaturan proses-proses dalam tubuh ayam seperti, hidup pokok, pertumbuhan, produksi daging maka dibutuhkan energi yang dapat diperoleh dari konsumsi makanan. Zat-zat yang dibutukan ole tubuh dapat diklasifikasikan kedalam group protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin serta air (Zulfanita dkk., 2011). Protein merupakan persenyawaan organik yang mengandung unsur‐unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen (Anggorodi 1985). Protein adalah unsur pokok pembentuk alat tubuh dan jaringan lunak tubuh aneka ternak unggas. Protein diperlukan untuk pertumbuhan, pengelolaan, dan produksi daging serta merupakan bagian enzim dalam tubuh dan antibodi (Setiyono, dkk., 2015).

Kualitas pakan unggas dilihat dari kandungan proteinnya, semakin tinggi dan lengkap proteinnya maka pakan tersebut semakin baik (Sugiyono dkk., 2015).

Protein adalah unsur pokok pembentuk alat tubuh dan jaringan lunak tubuh aneka ternak unggas. Protein diperlukan untuk pertumbuhan, pengelolaan, dan produksi daging serta merupakan bagian enzim dalam tubuh dan antibodi (Setiyono dkk.

(24)

9 2015). Standar kebutuhan nutrisi protein ayam lokal di Indonesia masih beragam, dan belum diketahui secara pasti (Varianti, dkk, 2017). Protein merupakan senyawa biokimia kompleks yang terdiri atas polimer asam-asam amino dengan ikatan-ikatan peptida. Ada 20 asam amino yang dibutuhkan tubuh, 10 di antaranya dapat disintesis tubuh, sedangkan 10 asam amino lainnya merupakan asam amino esensial yang harus disediakan dari luar tubuh. Protein diperlukan tubuh untuk mempertahankan hidup pokok dalam menjalankan fungsi-fungsi sel dan produktivitas, seperti pertumbuhan otot, lemak, tulang, telur, dan semen (Leeson dan Summers, 1991).

Optimalisasi protein dan energi ransum merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi ekonomis penggunaan ransum oleh ternak sesuai dengan kapasitas laju pertumbuhan genetis ternak itu sendiri. Kekurangan asupan protein dan energi menyebabkan tertahannya kapasitas genetik tumbuh sehingga ternak tumbuh kurang optimal. Sebaliknya, apabila asupan protein dan energi berlebihan, ternak akan mengeluarkan kelebihan protein tersebut sehingga merupakan pemborosan. Jika kebutuhan energinya sudah terpenuhi, ayam akan berhenti makan. Kandungan energi yang tinggi dalam pakan akan membuat ayam lebih cepat berhenti makan (Iskandar, 2012).

Menurunnya kandungan energi dan protein dalam ransum akan menyebabkan semakin rendahnya protein yang dapat dicerna dan menurunnya retensi protein, sehingga akan menurunkan pertumbuhan. Menurut Soeharsono (1976) mendapatkan bahwa ransum dengan energi dan protein yang tinggi cenderung mempercepat pertumbuhan dan memperbaiki konversi ransum. Wahyu (2004) menyatakan bahwa tingkat retensi protein dipengaruhi oleh konsumsi

(25)

10 protein dan energi metabolis ransum. Pertumbuhan dari ayam kampung yang mendapat energi protein yang lebih tinggi lebih baik dari ayam kampung yang mendapat ransum energi dan protein yang lebih rendah dan Kebutuhan energi untuk hidup, pokok pada ayam kampung umur 0-10 minggu adalah 95,88 W0,75 kkal/hari dan kebutuhan protein untuk hidup pokok untuk hidup pokok sebesar 2,91 g/W0,75 (Ariesta dkk., 2015).

Penyusunan ransum ayam kampung yang dipakai di Indonesia masih didasarkan kepada rekomendasi dari standar ayam ras menurut Scott dkk. (1982) dan NRC (1994). Menurut Scott dkk. (1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 K.kal/kg dan protein pakan antara 18%-24%, sedangkan menurut NRC (1994) menetapkan kebutuhan energi termetabolis dan protein masing-masing 2900 K.kal/kg dan 18%, sedangkan standar kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung yang dipelihara di daerah tropis belum ada, oleh sebab itu kebutuhan energi dan protein untuk ayam kampung di Indonesia perlu ditetapkan. Sedangkan menurut Nawawi dan Nurrohmah (2011) ayam kampung fase starter (0-4 minggu) membutuhkan protein sekitar 19-20% dengan energi metabolis sebesar 2850 kkal/kg, fase grower I memerlukan protein sekitar 18-19%, energy 2.900 kkal/kg, dan pada fase grower II energi metabolis sekitar 3000 kkal/kg dengan protein sebesar 16-18%.

Performa dan Dimensi Tubuh Ayam Buras

Performa adalah sifat-sifat yang dapat diamati atau dapat diukur merupakan kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan. Perbedaan performa dari setiap ternak umumnya terletak pada konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum (Rasyaf, 2003). Kecepatan pertumbuhan bobot badan

(26)

11 serta ukuran badan ditentukan oleh sifat keturunan tetapi pakan juga memberikan kesempatan bagi ternak untuk mengembangkan sifat keturunan semaksimal mungkin (Zulfanita dkk., 2011). Kecepatan pertumbuhan dapat diukur melalui pertambahan bobot badan pada saat tertentu, terhadap bobot badan pada minggu sebelumnya (Charles dan Spackman, 1985).

Banuardi dkk. (2017) melaporkan bahwa pertumbuhan antara ayam jantan dan betina berbeda, salah satu faktor penyebabnya adalah hormon reproduksi.

Menurut Soeparno (1992) pertumbuhan jantan yang lebih cepat dipengaruhi oleh adanya hormon androgen yang merupakan hormon pengatur pertumbuhan.

Androgen berfungsi sebagai pengatur stimulan pertumbuhan yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial dan kelenjar adrenal. Salah satu dari steroid androgen adalah testosteron yang dihasilkan oleh testis. Sekresi testosteron yang tinggi pada jantan menyebabkan sekresi androgen menjadi tinggi pula, sehingga pertumbuhan ternak jantan lebih cepat dibandingkan dengan betina terutama setelah pemunculan sifat- sifat kelamin sekunder. Sartika (2005) melaporkan bahwa Ayam Kampung memiliki bobot dewasa kelamin rata-rata yaitu 1,62 kg.

Salah satu hal yang patut diperhatikan dalam performa ayam kampung adalah konsumsi ransum. Konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ternak digunakan untuk mencukupi hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut (Tilman dkk., 1991). Hasil perhitungan konsumsi ransum yang diukur dengan cara pakan yang diberikan selama satu kali pemeliharaan dibagi dengan jumlah populasi (Fahrudin dkk., 2016). Candrawati dan Mahardika (1999) melaporkan bahwa ayam kampung yang diberikan ransum dengan kandungan energi 3100 Kkal/kg dan protein kasar 22% berat badannya selama 8

(27)

12 minggu adalah 542 g/ekor atau 9,67 g/ekor/hari sedangkan yang mendapat ransum dengan energi 2823 Kkal/kg dan protein kasar 15,33% adalah 391 g/ekor

Menurut Wahju (2004) besarnya konsumsi ransum tergantung pada kandungan protein ransum. Konsumsi protein adalah konsumsi zat-zat organik yang mengandung karbon hidrogen, nitrogen sulfur dan phosphor (Anggorodi, 1995). Gultom (2014) menyatakan bahwa konsumsi protein yang tinggi akan mempengaruhi asupan protein pula ke dalam daging dan asam-asam amino tercukupi di dalam tubuhnya sehingga metabolisme sel-sel dalam tubuh berlangsung secara normal. Tampubolon (2012) menyatakan bahwa asupan protein dipengaruhi oleh jumlah konsumsi ransum. Pakan yang energinya semakin tinggi semakin sedikit dikonsumsi demikian sebaliknya bila energi pakan rendah akan dikonsumsi semakin banyak untuk memenuhi kebutuhannya.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah konversi pakan. Konversi pakan merupakan angka perbandingan dari berat pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh ternak. Seiring pertambahan umur ayam, konversi pakan pun semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin tua umur ayam, konsumsi semakin meningkat sedangkan pertambahan bobot badan semakin berkurang (Rambe, 2014). Hal ini menyebabkan keefisienan berkurang.

Anggorodi (1995) bahwa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya konversi pakan adalah daya cerna ternak, kualitas pakan yang dikonsumsi, dan keserasian nilai nutrien yang dikandung pakan tersebut. Wahyu (2004) bahwa semakin tinggi angka konversi pakan kualitasnya semakin jelek karena semakin banyak pakan yang dihabiskan untuk menaikkan bobot badan per satuan berat.

(28)

13 Menurut Lacy dan Veast (2000) konversi pakan berguna untuk mengukur produktivitas ternak dan didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan (PBB) yang diperoleh selama kurun waktu tertentu.

Konversi pakan menunjukkan ukuran efisiensi dalam penggunaan pakan. Nilai Konversi pakan yang semakin rendah menunjukkan penggunaan pakan yang lebih efisien, konversi pakan dapat digunakan untuk menilai tingkat efisiensi dalam seuatu pengunaan pakan yang dikonsumsi. Alimin dkk. (2012) melaporkan bahwa tingkat konversi pakan pada unggas sangat ditentukan oleh performa saluran pencernaan terutama usus kecil.

Dimensi tubuh seringkali digunakan didalam melakukan seleksi bibit, mengetahui sifat keturunan, tingkat produksi maupun dalam menaksir berat badan (Ahmad dkk., 2016). Pengukuran dimensi tubuh diketahui sangat berguna dalam membedakan ukuran dan bentuk ternak, disamping itu bisa juga digunakan untuk menentukan morfogenetik dari jenis ternak tertentu yang meluas pada populasi antara daerah atau negara. Bentuk tubuh ayam lokal Indonesia dipengaruhi oleh tinggi badan, panjang sayap, panjang femur, dan panjang paha. Selain itu panjang paha depan juga sangat mempengaruhi ukuran tubuh ayam. Panjang ekor juga merupakan salah satu sifat kuantitatif parameter pertumbuhan (Rahma dkk., 2013).

Menurut Haznelly dan Armayanti (2006) bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh ayam dapat dijadikan sebagai informasi awal dalam standarisasi karakter ayam. Kita dkk., (2002) melaporkan bahwa penambahan protein tinggi seperti arginin, metionin ataupun sistein dapat meningkatkan plasma Insulin- Like Growth Factor (IGF-I) sehingga mampu meningkatkan bobot komposisi tubuh

(29)

14 anak ayam. IGF-I ini berperan penting dalam proses pertumbuhan, metabolisme, perkembangan pada unggas serta meningkatkan pertumbuhan deposisi otot. IGF-I juga bertindak sebagai pro-insulin atau presekutor insulin dalam faktor pertumbuhan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pro-insulin mampu merangsang pertumbuhan fibroblast anak ayam selama pengembangan embrio sehingga dapatmempengaruhi ukuran tubuh seperti panjang embrio dan lingkar dada dari anak ayam yang dihasilkan.

(30)

15 METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2018, bertempat di Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Alat dan Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam buras jantan sebanyak 12 ekor umur 10 minggu, pakan (jagung, konsentrat dan dedak), disinfektan, litter dan antibiotik.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang penelitian, kawat, tang, gunting, hanging tube feeder, hanging tube drinker, timbangan, penggaris dan pita ukur.

Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan secara eksperimen menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ekor ayam buras jantan sebagai ulangan. Adapun perlakuan yang diterapkan adalah level protein pakan yang terdiri atas:

P1 : Pakan dengan level protein 16%

P2 : Pakan dengan level protein 18%

P3 : Pakan dengan level protein 20%

(31)

16 Prosedur Penelitian

1. Asal Ayam

Ayam yang diguanakan dalam penelitian ini merupakan ayam buras jantan umur 10 minggu yang berasal dari CV. Bittara Wanua Kel. Sudiang Raya, Kec. Biringkanaya, Kota Makassar. Ayam tersebut telah di injeksi secara in ovo l-arginin selama dua generasi (F2). Injeksi arginin tersebut diberikan sebanyak 0,5ml/injeksi dari campuran 0,7 gr/ml l-arginin dan 100 ml NaCl.

Injeksi dilakukan pada saat umur inkubasi 7 hari. Berikut merupakan bagan asal ayam yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Asal Ayam yang digunakan Ayam yang berasal dari F

peternak komersil

Telur diinjeksi l-arginine 0,5ml/injeksi dari

campuran 0,7 gr/ml l- arginine dan 100 ml NaCl

F1

Dilakukan seleksi dan injeksi l-arginin ke-2 pada telur, 0,5ml/injeksi dari campuran 0,7 gr/ml l- arginin dan 100 ml NaCl

F2

Janta n

Ayam penelitian

(32)

17 2. Persiapan kandang

Kandang yang diguanakan dalam pemeliharaan ternak merupakan kandang postal yang dibuat dalam 3 pen yang dirangkai dengan kawat seluas 1x1 m yang menampung 4 ekor ayam perpen yang disesuaikan dengan perlakuan pakan yang diberikan. Pada lantai kandang diberi litter, dan setiap pen dilengkapi dengan tenggeran beserta tempat pakan dan minum yang digantung (hanging tube feeder dan hanging tube drinker).

3. Penyusunan Pakan

Pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dedak, jagung dan konsentrat. Penyusunan pakan dilakukan berdasarkan rekomendasi Scott dkk.

(1982) kebutuhan energi termetabolis ayam tipe ringan umur 2-8 minggu antara 2600-3100 k.kal/kg dan protein pakan antara 18%-24%, dan NRC (1994) menetapkan kebutuhan energi termetabolis dan protein masing-masing 2900 K.kal/kg dan 18%. Disusun menggunakan metode trial and error untuk mendapatkan kadar protein pakan 16, 18 dan 20% dengan energi metabolisme sekitar 3000 kkal/kg pakan. Adapun susunan pakan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Susunan Bahan dan Kandungan Nutrisi Pakan Ayam Kampung yang diberikan

Peubah Level Protein Pakan (%)

16 18 20

Bahan Pakan

Jagung 55,75 48 40

Konsentrat 24,25 32 40

Dedak 20 20 20

Kandungan Nutrisi

Protein (%) 16,0 18,0 20,0

EM (kkal/kg) 3011,0 3007,6 3004,0

(33)

18 4. Manajemen Pemeliharaan

Ternak dipelihara pada kandang postal yang dibuat dalam 3 pen, setiap pen menampung 4 ekor ayam jantan, pada tiap pen terdapat tempat pakan dan minum, litter dan tenggeran. Penempatan masing-masing ayam ini disesuaikan dengan perlakuan pakan yang diberikan, setiap ayam yang digunakan diidentifikasi sesuai ciri morfologinya untuk mencegah ayam tertukar.

Manajemen pemberian pakan dan air minum dilakukan pada pagi hari secara ad libitum. Vitamin dan antibiotik diberikan sesuai kebutuhan.

Parameter yang diukur

Parameter performa diukur selama 9 minggu dimulai saat ayam telah berumur 10 minggu. Performa yang diukur adalah sebagai berikut:

1. Pertumbuhan

a. Pertambahan Berat Badan

Pertambahan berat badan merupakan selisih dari bobot akhir dengan berat badan awal pada saat tertentu. Perhitungan pertambahan berat badan yang dilakukan dengan 2 cara yaitu pertambahan berat badan mutlak (g/e) dan pertambahan berat badan relatif (%). Pertambahan berat badan mutlak dihitung dengan cara berat badan akhir dikurangi dengan berat badan awal kemudian dibagi dengan waktu pemeliharaan,dan dapat dilihat pada rumus berikut:

PBB mutlak :

Keterangan:

PBB = Pertambahan bobot badan (g/ekor) BB (t0) = Bobot badan awal (g)

(34)

19 BB (t1) = Bobot badan akhir (g)

= waktu pemeliharaan (Σ minggu)

Sedangkan berat badan relatif dihitung dengan cara berat badan akhir dikurangi dengan berat badan awal kemudian dibagi dengan berat badan awal lalu dikali 100% dan dapat dilihat pada rumus berikut:

PBB relatif =

Keterangan:

PBB = Pertambahan bobot badan (g/ekor) BB (t0) = Bobot badan awal (g)

BB (t1) = Bobot badan akhir (g) b. Pengukuran Dimensi Tubuh

Pengukuran dimensi tubuh dilakukan pada hari pertama pemeliharaan ternak dan hari terakhir pemeliharaan. Parameter dimensi tubuh yang diamati adalah panjang tarsometatarsus (cm), diameter tarsometatarsus (cm), panjang tibia (cm), panjang sayap (cm), lingkar dada (cm), panjang badan (cm), tinggi badan (cm), panjang paruh (cm)

(35)

20 Posisi pengukuran dimensi tubuh yang diamati disajikan pada gambar berikut ini:

Keterangan: PP (Panjang Paruh), PS (Panjang Sayap), PB (Panjang Badan), LD (lingkar Dada), PT (Panjang Tibia), TB (Tinggi Badan), PMT (Panjang Metatarsus), DMT (Diameter Metatarsus) Gambar 2. Sistem Kerangka Ayam dan Letak Pengukuran Beberapa

Dimensi Tubuh.

Bagian-bagian yang diukur dalam satuan cm yaitu:

1. Panjang badan (PB), dapat diukur menggunakan pita ukur yang dijulurkan dari pangkal tulang leher hingga ke pangkal ekor.

2. Panjang sayap (PS), dilakukan dengan merentangkan bagian sayap, kemudian diukur dari pangkal sayap atau bagian yang menutupi tulang humerus hingga ujung bagian sayap atau tulang phalanges dengan menggunakan pita ukur.

3. Lingkar dada (LD), diukur dengan cara melingkarkan pita ukur pada bagian dada/scapula.

PP PS

PB

TB L D

PT

PMT DM

T

(36)

21 4. Panjang paruh (PP), diukur menggunakan pita ukur atau jangka sorong

yang dilakukan mulai dari tulang paruh ujung depan sampai kebelakang.

5. Panjang tibia (PT), diukur menggunakan pita ukur yang dilakukan dari patella sampai ujung tibia.

6. Panjang metatarsus (PMT), diukur dari ujung tulang tibia hingga pangkal metatarsus bagian bawah, diukur menggunakan pita ukur atau jangka sorong.

7. Diameter metatarsus (DMT) diukur dengan cara melingkarkan jangka sorong/pita ukur pada bagian metatarsus.

8. Tinggi Badan (TB) diukur menggunakan pita ukur/penggaris mulai dari ujung kaki sampai diatas bagian punggung.

2. Komsumsi Pakan

Konsumsi pakan (g/e) diukur setiap minggu dengan cara menimbang jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan jumlah pakan yang tersisa dalam tempat pakan tersebut. Konsumsi pakan diperoleh dari akumulasi konsumsi pakan mingguan dibagi dengan jumlah ayam per pen dan lama pemeliharaan.

3. Konversi Pakan (FCR)

Nilai FCR merupakan perbandingan antara konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu. Konversi pakan dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Konversi Pakan :

(37)

22 Analisis Data

Data pertumbuhan dianalisis ragam berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 perlakuan dengan 4 ulangan, sedangkan data konsumsi dan konversi pakan (FCR) diolah secara deskriptif. Adapun model analisis ragam yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = µ + ᴛi + ɛij

i = 1, 2, 3, (jumlah perlakuan) j = 1, 2, 3,4, (jumlah ulangan) Keterangan :

Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rata-rata pengamatan

ᴛi = Pengaruh perlakuan level protein ke-i

ɛij = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.

Apabila perlakuan memperlihatkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Gaspersz, 1991).

Data pengukuran dimensi tubuh disajikan secara deskriptif dan dianalisis menggunakan Analisis Regresi serta menghitung Koefisien Korelasi untuk menentukan keeratan hubungan antara parameter yang diamati. Rumus yang digunakan adalah (Walpore, 1995) :

Y = a + bX

∑ ∑ ∑ – ∑

∑ ∑ ∑

√ ∑ – ∑ – ∑

(38)

23 Keterangan:

Y = Variabel Dependen a = Konstanta

b = Koefisien Regresi r = Koefisien Korelasi n = Jumlah Sampel X = Variabel Independen xi = Dimensi Tubuh yi = Berat Badan

(39)

24 HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding L- arginin yang diberi Level Protein Pakan yang Berbeda

Pertambahan Bobot Badan

Hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian level protein yang berbeda dalam ransum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan berat badan mutlak pada ayam jantan hasil in ovo feeding l-arginin.

Pertambahan berat badan mutlak menunjukkan jumlah peningkatan berat badan ayam buras jantan selama masa pemeliharaan. Hasil analisis ragam terhadap pertambahan berat badan relatif menunjukkan pengaruh yang sama yaitu tidak berpengaruh nyata (P>0,05). Pertambahan berat badan relatif menunjukkan tingkat pertumbuhan atau laju pertumbuhan ayam buras selama masa pemeliharaan. Namun dari data yang diperoleh pertambahan berat badan mutlak paling baik pada penggunaan protein 20% yaitu 75.55 g/e/h, sedangkan pada pertambahan berat badan relatif paling baik yaitu pada penggunaan protein 18%

yaitu 63.39 % . Adanya perbedaan antara pertambahan berat badan mutlak dan relatif dipengaruhi oleh besarnya keseragaman berat badan pada ayam buras jantan sejak masa awal pemeliharaan, dimana walaupun dipelihara pada umur yang sama berat badan ayam buras cukup variatif yaitu 800-1300 g setiap individu pada tiga perlakuan. Besarnya tingkat keseragaman ini dapat dilihat dari standar deviasi yang tinggi pada hasil analisis, walaupun dipengaruhi pula dari jumlah populasi yang digunakan. Lasley (1978) menyatakan bahwa populasi dengan standar deviasi yang lebih tinggi adalah yang lebih beragam.

(40)

25 Pertambahan berat badan mutlak pada ayam buras jantan hasil in ovo feeding l-arginin lebih tinggi pada protein 20%. Selain karena ayam buras jantan pada perlakuan protein 20% memiliki bobot rata rata lebih besar, hal ini juga dapat dikarenakan pakan yang mengandung protein yang lebih tinggi akan semakin mepercepat pertumbuhan pada ayam kampung. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeharsono (1976) mendapatkan bahwa ransum dengan energi dan protein yang tinggi cenderung mempercepat pertumbuhan dan memperbaiki konversi ransum. Ditambahkan oleh Kusnadi dkk. (2014) yang menyatakan pakan dengan tingkat protein dan energi paling tinggi memberikan kesempatan lebih baik dalam memanfaatkan protein dan energi yang dikonsumsi untuk menghasilkan berat badan yang lebih tinggi daripada pakan dengan tingkat protein dan energi yang lebih rendah.

Pertambahan berat badan relatif yang paling baik pada ayam buras jantan hasil in ovo feeding l-arginin adalah penggunaan protein 18%. Hal ini menunjukkan bahwa presentase pertumbuhan atau laju pertumbuhan pada ayam buras jantan paling optimal dengan pemberian pakan dengan protein 18%. Hal ini sesuai dengan pendapat NRC (1994) menetapkan kebutuhan energi termetabolis dan protein masing-masing pada yam kampung yaitu sekitar 2900 K.kal/kg dan 18%. (Kiarie dkk., 2014; Zulkifli, 2017) melaporkan bahwa partisi nutrisi pakan pada fase pertumbuhan diprioritaskan untuk pertumbuhan organ terutama otot, tulang, dan pencernaan. Berdasarkan hal tersebut semakin banyak nutrisi yang terserap kedalam tubuh maka pertambahan berat badan juga meningkat. Oleh karena itu peningkatan pertambahan berat badan akan mempengaruhi berat badan akhir.

(41)

26 Konsumsi Pakan

Hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan level protein berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap parameter konsumsi pakan. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat keseragaman berat badan pada ayam buras jantan, dimana walaupun pada umur yang sama berat badannya cukup variatif yaitu 800-1300 g individu pada tiga perlakuan. Perlakuan dengan berat rata-rata paling besar sejak awal pemeliharaan adalah protein 20%

kemudian 16% dan 18%, hal ini terjadi karena pada individu ternak yang tersedia dengan umur yang seragam terbatas dan dengan berat yang tidak teralu seragam.

Hal ini kemudian berimbas pada tingkat konsumsi pakan yang lebih tinggi pada pemberian protein 20%.

Walaupun konsumsi pakan tidak berpengaruh secara nyata, dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa rata rata konsumsi pakan yang tertinggi yaitu pada protein 20%. Konsumsi yang tinggi pada perlakuan P3 menunjukkan bahwa kandungan protein pakan sudah sesuai untuk kebutuhan ayam buras jantan.

Namun secara keseluruhan konsumsi pakan pada penelitian ini tidak berbeda nyata. Konsumsi pakan yang tinggi berindikasi pada pemenuhan kebutuhan pakan unggas baik secara kualitas maupun kuantitas (Fitasari dkk., 2014). Kemampuan ayam buras mengonsumsi ransum sangat bergantung pada genetik (varietas).

Apabila diberikan ransum dengan kandungan nutrisi yang berlebih, tidak akan berpengaruh nyata terhadap jumlah konsumsi ransum. Pemberian ransum dengan level energi dan protein yang terlalu tinggi hanya akan terbuang secara percuma karena kemampaun genetik ayam untuk menyerap kandungan nutrisi yang dikonsumsi terbatas sesuai dengan kebutuhan (Rusdiansyah, 2014).

(42)

27 Konversi Pakan

Hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan level protein berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap parameter konversi pakan. Namun, jika dilihat pada perlakuan P3, ayam lebih efisien dalam memanfaatkan pakan dibandingkan perlakuan lainya walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan. Hal ini menunjukkan tingkat efisiensi konsumsi ransum sangat dipengaruhi oleh kandungan energi dan protein rasum yang dikonsumsi. Semakin tinggi kandungan energi dan protein ransum yang diberikan, maka akan lebih banyak yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan, sehingga berpengaruh terhadap tingkat konversi ransum. Kusnadi dkk. (2014) melaporkan bahwa pakan dengan tingkat protein dan energi lebih tinggi mampu dimanfaatkan dengan baik untuk menghasilkan pertambahan berat badan lebih tinggi dibandingkan pakan dengan tingkat protein dan energi lebih rendah.

Ditambahkan oleh Abidin (2002), bahwa konversi ransum mencerminkan keberhasilan dalam memilih atau menyusun ransum yang berkualitas, semakin rendah konversi ransum maka semakin efisien penggunaan ransum.

Tingkat konversi pakan yang lebih baik pada penggunaan protein ransum 20% dipengaruhi oleh imbangan antara konsumsi pakan yang tinggi dan pertambahan bobot badan yang meningkat. Perlakuan pakan dengan konsentrasi protein energi rendah akan menghasilkan konversi pakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi protein energi pakan sedang dan tinggi (Sidadolog dan Yuwanta, 2011; Kusnadi dkk., 2014). Menurut Suryono (1983), bahwa protein merupakan nutrisi utama yang dibutuhkan ternak unggas untuk tumbuh dan berproduksi. Protein diperlukan tubuh untuk mempertahankan

(43)

28 hidup pokok dalam menjalankan fungsi-fungsi sel dan produktivitas, seperti pertumbuhan otot, lemak, tulang, telur, dan semen (Leeson dan Summers, 1991).

Berat Badan Akhir

Hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan level protein berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat badan akhir ayam buras jantan hasil in ovo feeding l-arginin. Hal ini disebabkan karena jumlah protein yang diberikan telah mencukupi kebutuhan untuk mencapai berat badan optimal. Namun dari hasil yang diperoleh ayam buras jantan pada perlakuan protein pakan 20% memiliki bobot badan akhir yang lebih baik dari perlakuan protein pakan 18 dan 16%. Hal ini mengindikasikan bahwa pakan dengan level protein 20% dapat memberikan performa yang lebih baik terhadap berat badan akhir ayam buras jantan hasil in ovo feeding walau tidak berbeda secara nyata. Semakin baik tingkat protein ransum maka kan memberikan performa yang lebih baik. Hasil penelitian Dewi dkk. (2009) melaporkan bahwa ayam kampung yang diberi ransum mengandung imbangan energi dan protein lebih tinggi menghasilkan bobot badan lebih tinggi secara nyata dibandingkan energi dan protein lebih rendah pada umur 8 minggu.

Berdasarkan data pada Tabel 2. diketahui bahwa berat rata rata ayam buras jantan lebih baik dari ayam buras biasa, hal ini karena ayam yang digunakan dalam penelitian ini merupakan ayam jantan hasil in ovo feeding l-arginine yang diketahui memiliki produktivitas yang lebih baik dari ayam kampung biasa.

Gunawan (1998) melaporkan bahwa bobot badan ayam buras jantan 1.014,34 g pada umur 12 minggu. Asmawati (2014) melaporkan bahwa injeksi asam amino dapat meningkatkan bobot embrio, bobot tetas, dan performa anak ayam umur

(44)

29 tujuh hari, serta Nasrun (2016) melaporkan bahwa pemberian l-arginin pada hari ke-10 inkubasi berpengaruh terhadap peningkatkan pertumbuhan (berat, panjang dan lingkar dada) embrio ayam kampung umur 18 hari.

Pada ayam jantan sendiri memiki tingkat pertumbuhan yang relatif cepat.

Menurut Soeparno (1992) pertumbuhan jantan yang lebih cepat dipengaruhi oleh adanya hormon androgen yang merupakan hormon pengatur pertumbuhan.

Androgen berfungsi sebagai pengatur stimulan pertumbuhan yang dihasilkan oleh sel-sel interstitial dan kelenjar adrenal. Salah satu dari steroid androgen adalah testosteron yang dihasilkan oleh testis. Sekresi testosteron yang tinggi pada jantan menyebabkan sekresi androgen menjadi tinggi pula, sehingga pertumbuhan ternak jantan lebih cepat dibandingkan dengan betina terutama setelah pemunculan sifat- sifat kelamin sekunder.

Dimensi Tubuh Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding L- Arginin yang diberi Level Protein Pakan yang Berbeda

Rata-rata hasil perhitungan berat badan dan dimensi tubuh menunjukkan bahwa berat badan ayam buras jantan yang dipelihara tertinggi pada penggunaan level protein 20% yaitu 680 g/ekor selama fase pemeliharaan. Hal ini dikarenakan pada fase awal pemeliharaan ayam jantan pada perlakuan protein pakan 20% sejak awal memiliki berat rata rata yang sedikit lebih tinggi dari perlakuan lain, yang dipengaruhi oleh variasi berat badan pada ayam yang digunakan. Namun berat badan yang lebih tinggi juga dapat didindikasikan bahwa penggunaan level protein 20% sudah sesuai dengan kebutuhan nutrisi ayam buras jantan, dan sangat efesien digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan otot pada ayam buras jantan, dimana tingkat konsumsi pakan dan pertambahan berat badan mutlak juga paling

(45)

30 baik pada penggunaan level protein 20%. Hal ini sesuai dengan pendapat Fitasari dkk. (2014) yang menyatakan bahwa peningkatan konsumsi yang berkolerasi dengan pertambahan berat badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain menunjukkan bahwa pakan efisien untuk diubah menjadi daging dan organ-organ tubuh. Ditambahkan oleh Gultom (2014) menyatakan bahwa konsumsi protein yang tinggi akan mempengaruhi asupan protein pula ke dalam daging dan asam-asam amino tercukupi di dalam tubuhnya sehingga metabolisme sel-sel dalam tubuh berlangsung secara normal.

Dimensi tubuh pada ayam buras jantan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada ketiga jenis perlakuan. Hal ini bisa dapat disebabkan karena ayam jantan yang dipelihara telah berumur 10 minggu dan tingkat pertumbuhan otot tidak sepesat pertumbuhan pada fase starter dan fase grower awal, sehingga pemberian level pakan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata pada dimensi tubuh ayam buras jantan. Namun diketahui bahwa dimensi tubuh lebih besar dari rata rata ayam buras jantan pada umumnya karena ayam buras tersebut telah diinjeksi dengan l-arginine secara in ovo. Kita dkk. (2002) melaporkan bahwa penambahan protein tinggi seperti arginin, metionin ataupun sistein dapat meningkatkan plasma Insulin- Like Growth Factor (IGF-I) sehingga mampu meningkatkan bobot komposisi tubuh anak ayam.

Dimensi tubuh merupakan suatu metode untuk menduga berat badan suatu ternak (Danial, 2017). Dimensi tubuh memiliki korelasi positif dengan berat badan ternak. Tingkat keakuratan yang didapat dalam menaksir berat badan dengan menggunakan dimensi tubuh sangat baik (cukup akurat) (Ahmad dkk., 2016;

Danial, 2017). Menurut Haznelly dan Armayanti (2006) bobot badan dan ukuran-

(46)

31 ukuran tubuh ayam dapat dijadikan sebagai informasi awal dalam standarisasi karakter ayam. Berikut adalah hasil korelasi antara berat badan dan dimensi tubuh pada ayam buras jantan pada Tabel 4.

Tabel 4. Koefisien Regresi (b), Koefisien Korelasi (r), Nilai Signifikansi (P) dan Jumlah Sampel (N) Pola Korelasi diantara Beberapa Dimesi Tubuh dan Berat Badan Ayam Buras Jantan Hasil In Ovo Feeding L-arginin.

Dimensi Tubuh b r P N

Panjang badan -52.150 0.408 0.187 12

Panjang sayap -18.338 0.094 0.769 12

Lingkar dada 73.685 0.621 0.031* 12

Panjang paruh 331.25 0.177 0.580 12

Panjang tibia -54.002 0.198 0.536 12

Panjang metatarsus 137.788 0.376 0.228 12

Diameter metatarsus 317.188 0.383 0.218 12

Tinggi badan 10.144 0.127 0.692 12

Keterangan: *) Berpengaruh nyata (P<0.05)

Dari data yang diperoleh mengenai korelasi antara berat badan dan dimensi tubuh ayam jantan, korelasi hanya diperlihatkan pada lingkar dada. Dimana nilai koefision korelasi (r) yaitu 0.621 dengan hasil perhitungan varians (P) mengindikasikan korelasi dengan berat badan menunjukkan hubungan korelasi yang signifikan (P<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa diantara beberapa dimensi tubuh yang diamati hanya lingkar dada yang dapat digunakan untuk menduga berat badan ayam buras jantan. Nilai koefisien regresi (b) pada parameter lingkar dada, mengindikasikan bahwa setiap pertambahan 1 cm lingkar dada akan meningkatkan berat badan sebesar 73.685 g pada ayam buras jantan.

Korelasi antara berat badan dan lingkar dada pada ayam buras mungkin disebakan karena pada ayam bagian otot terbanyak berada pada bagian dada. Hal ini sesuai dengan pendapat Tama dkk. (2016) yang menyatakan bahwa lingkar dada berhubungan langsung dengan dada dan ruang abdomen dimana sebagian besar bobot badan ternak berasal dari bagian dada hingga pinggul, sehingga semakin besar ukuran lingkar dada maka bobot badan semakin berat. Ditambahkan oleh

(47)

32 Soeparno (1992) yang menyatakan bahwa setiap kenaikan ukuran tubuh maka akan diikuti kenaikan ukuran tubuh lainnya. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Mansjoer (1985) dan Kurnia (2011) menunjukkan panjang shank, panjang paruh, lebar dada, panjang tubuh dan lingkar dada merupakan peubah yang bisa digunakan sebagai penduga bobot badan

(48)

33 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Penggunaan level protein yang berbeda dalam pakan tidak memberi pergaruh nyata terhadap pertambahan berat badan, konsumsi pakan, dan konversi pakan ayam buras jantan hasil In ovo feeding l-arginin.

2. Terdapat korelasi positif antara lingkar dada dan berat badan pada ayam jantan yang dapat diguanakan sebagai penduga bobot badan terbaik.

3. Walaupun tidak berpengaruh secara nyata, namun pemberian pakan dengan kadar protein 20% lebih baik pada pada ayam buras jantan dapat dilihat dari pertambahan berat badan mutlak, konversi pakan berat badan akhir.

Saran

Disarankan ayam buras jantan hasil in ove feeding l-arginin diberi ransum dengan level protein 20% karena dapat menghasilkan pertambahan berat badan mutlak, konsumsi pakan, konversi pakan dan berat badan akhir yang lebih baik dari perlakuan pakan lainnya.

(49)

34 DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2002. Meningkatkan Produktivitas Ayam Kampung Pedaging. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Ahmad, D. F., Y.S. Endang dan S. Nono. 2016. Hubungan panjang badan dan panjang kelangkang dengan persentase karkas Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.

Al-Daraji, H.J., A. A. Al-Mashadani, W.K. Al-Hayani, A.S. Al- Hassani and H.A.

Mirza, 2011. Influence of in ovo injection of L-arginine on productive and physiological performance of quails. Res. Opin. Anim. Vet. Sci., 7:

463-467.

Al-Daraji, H.J., A.A. Al-Mashadani, W.K. Al-Hayani, A.S. Al-Hassani, and H.A.

Mirza. 2012. Effect of in ovo injection with l-arginine on productive and physiological traits of Japanese quail. South African Journal of Animal Science 42 (2) : 139-145.

Al-Daraji, H.J. and A.M. Salih. 2012. Effect of dietary l-arginine on productive performance of broiler chicken. Pakistan Journal of Nutrition 11 (3):

252-257.

Al-Shamery, N.J. and M.B.S. Al-Shuhaib. 2015. Effect of in ovo injection of various nutrients on the hatchability, mortality ratio and weight of the broiler chickens. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science 8 (2): 30-33.

Alimin, T., E.A.E. Ahmed, I.A.A. Azma, and Y.H. Ahmad. 2012. Effect of dietary protein level during early brooding phase on subsequent growth performance and morphological development of digestive system in crossbred kampung chicken. 7th Proceedings of the Seminar in Veterinary Sciences

Anggorodi, 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas.

Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Anggorodi, 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta

Ariesta, A.H., IG. Mahardika, dan G.A.M.K. Dewi. 2015. Pengaruh level energi dan protein ransum terhadap penampilan ayam kampung umur 0-10 minggu. Majalah Ilmiah Peternakan 18 (3) : 89-94

Aryanti, F., M.B. Aji, dan N. Budiono. 2013. Pengaruh pemberian air gula merah terhadap performans ayam kampung pedaging. Jurnal Sain Veteriner 31 (2): 156-165.

(50)

35 Asmawati. 2014. Peningkatan kualitas embrio dan pertumbuhan ayam buras melalui in ovo feeding. [Tesis] Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Azahan, E.A., I.A. Azlina Azma, and M. Noraziah. 2014. Effects of strain, sex and age on growth performance of Malaysian kampong chickens. Mal. J.

Anim. Sci. 17(1): 27-33

Azhar, M. 2016. Performa ayam kampung pra dan pasca-tetas hasil in ovo feeding l-arginin. [Tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin.

Makassar.

Banuardi, I., W. Tanwiriah, dan H. Indrijani. 2017. Bobot badan, karkas, dan income over feed and chick cost ayam lokal Jimmy’s farm Cipanas Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Danial, M. 2017. Lama inkubasi dan dimensi tubuh day old chick (DOC) ayam kampung hasil pemberian asam amino l-glutamin secara in ovo.

[Skripsi]. Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Dewi, G.A.M.K., I.G. Mahardika, I.K. Sumadi, I.M. Suasta, dan I.M. Wirapartha.

2009. Peningkatan produktifitas ayam kampung melalui kebutuhan energi dan protein pakan. Laporan penelitian hibah bersaing, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar.

Fahrudin A.,W. Tanwiriah, dan H. Indrijani. 2016. Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum ayam lokal di Jimmy’s Farm Cipanas Kabupaten Cianjur. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Fitasari, E., K. Reo, dan N. Niswi. 2014. Penggunaan kadar protein berbeda pada ayam kampung terhadap penampilan produksi dan kecernaan protein.

Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 26 (2): 73 - 83

Gaspersz. 1991. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito, Bandung.

Gultom,S.M., R.D.H. Supratman, dan Abun. 2014. Pengaruh imbangan energi dan protein ransum terhadap bobot karkas dan bobot lemak abdominal ayam broiler umur 3-5 minggu. Jurnal Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran, Bandung.

Gunawan, B., D. Zainuddin, T. Saktika dan Abubakar. 1998. Persilangan ayam pelung jantan dengan ayam buras betina untuk meningkatkan ayam buras pedaging. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Ternak. Bogor. 348-355.

(51)

36 Haznelly, Z., dan R. Armayanti. 2006. Performans ayam merawang betina dewasa berdasarkan karakter kualitatif dan ukuran-ukuran tubuh sebagai bibit.

Balai pengkajia teknologi pertanian. Bangka Belitung.

Iskandar, S. 2012. Optimalisasi Protein dan energi ransum untuk meningkatkan produksi daging ayam lokal. Balai Penelitian Ternak, Ciawi. Bogor.

Khajali, F. and R.F. Wideman, 2010. Dietary arginine: Metabolic, environmental, immunological andphysiological interrelationships. World’s Poult.

Sci.J., 66: 751-766.

Kiarie, E., L.F. Romero, and V. Ravindran. 2014. Growth performance, nutrient utilization, and digesta characteristics in broiler chickens fed corn or wheat diets without or with supplemental xylanase. Poultry Science 93:

1186–1196.

Kita, K., K. Nagao, N. Taneda, Y. Inagaki, K. Hirano, T. Shibata, M. A. Yaman, M. A. Conlon and J. Okumura, 2002. Insulin-like growth factor binding protein-2 gene expression can be regulated by diet manipulation in several tissues of young chickens. J. Nutr., 132: 145-51.

Kurnia, Y. 2011. Morfometrik ayam sentul, kampung dan kedu pada fase pertumbuhan dari umur 1 - 12 minggu. [Skripsi] Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kusnadi, H., Jafendi H. P. S., Zuprizal, dan Heru P. W. 2014. Pengaruh tingkat protein dengan imbangan energi yang sama terhadap pertumbuhan ayam leher gundul dan normal sampai umur 10 minggu. Buletin Peternakan 38 (3): 163-173,

Kususiyah. 2011. Performans pertumbuhan ayam peraskok sebagai ayam potong belah empat serta nilai income over feed and chick cost. Jurnal Sain Peternakan Indonesia 6 (2): 83-87.

Kwak, H., R.E. Austic and R.R. Dietert, 1999. Influence of dietary arginine concentration on lymphoid organ growth in chickens. Poult. Sci., 78:

1536-1541.

Lasley, L.J. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd Ed. Prentice Hall Inc.

Englewood Cliffs. New Jersey

Leeson, S. and J. D. Summers. 1982. Use of single-stage low protein diet for growing Leghorn pullets. Poultry Sci. 61: 1684-1691.

Mansyoer, S., S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam kampung beserta persilangannya dengan Rhode Island Red. [Disertasi] Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Bila pelaksanaan berbagai kebijakan dan kegiatan pembangunan di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah yang diselenggarakan pemerintah berlangsung efektif, maka

Dari teori-teori diatas ada beberapa hasil penelitian yang ditemukan, ada pun kesehatan mental tersangaka yang menjalani proses hukum pidana ditingkat penyidikan

Sedangkan kepraktisan dilihat dari analisis small group dan angket kepraktisan guru yang memperoleh skor rata-rata 3,45 yang artinya soal yang dikembangkan dalam kriteria

Usia 15 tahun dipilih karena saat usia tersebut, siswa mendekati masa akhir pendidikan wajib di negara-negara yang tergabung dalam OECD (OECD, 2013a), termasuk Indonesia. PISA

[r]

Hubungan yang positif tidak signifikan disebabkan karena penelitian ini mengambil responden APIP Inspektorat Provinsi Bali dengan masa kerja tentunya usia diatas

Sedangkan tim pengabdian akan berperan dalam melakukan analisis kajian risiko yang akan menghasilan tingkat dan peta risiko untuk kelurahan, untuk memastikan kondisi secara

Sama halnya seperti yang terjadi kepada keseluruhan informan, walaupun mereka menyaksikan sinetron dengan adegan yang sama, yaitu aksi-aksi yang terkesan negatif