• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESOLUSI KONFLIK MANUSIA DENGAN SATWA LIAR MELALUI PENGELOLAAN KOLABORATIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RESOLUSI KONFLIK MANUSIA DENGAN SATWA LIAR MELALUI PENGELOLAAN KOLABORATIF"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ORASI PENGUKUHAN PROFESOR RISET

BIDANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

RESOLUSI KONFLIK MANUSIA DENGAN SATWA LIAR MELALUI

PENGELOLAAN KOLABORATIF

OLEH:

RADEN GARSETIASIH

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

JAKARTA, 22 JULI 2019

(2)

ORASI PENGUKUHAN PROFESOR RISET

BIDANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI

RESOLUSI KONFLIK MANUSIA DENGAN SATWA LIAR MELALUI

PENGELOLAAN KOLABORATIF

OLEH:

RADEN GARSETIASIH

BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

JAKARTA, 22 JULI 2019

(3)

ii

© 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Resolusi Konflik Manusia dengan Satwa Liar melalui Pengelolaan Kolaboratif/Raden Garsetiasih. Bogor-Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, 2019

vii hlm + 73 hlm; 14,8 x 21 cm ISBN: 978-602-5950-05-6

1. Resolusi konflik 2. Satwa Liar 3. Pengelolaan kolaboratif 4. Pelibatan masyarakat 5. Kelembagaan

Copyeditor : Tutik Sriyati, S.Sos.

Proofreader : Nurva Chaily, S.P., M.Si.

Penata Isi : Kemal Mubarok, S.E.

Desainer Sampul : Bintoro, S.Kom.

Foto Sampul : Gajah Sumatra (BMH)

Banteng, ladang, areal perkebunan dan HTI dirusak Gajah (Garsetiasih)

Diterbitkan oleh:

Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jln.

Gunung Batu No. 5 Bogor.

Telp. : 0251 - 8631238 Fax. : 0251 - 7520005

E-mail : balitbanghut@forda-mof.org

(4)

iii BIODATA RINGKAS

Raden Garsetiasih, lahir di Purwakarta, tanggal 22 Januari 1963 sebagai anak ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Raden Garsoeroso Bratadidjaja (Alm.) dan Ibu Hj. Kartini. Menikah dengan Ir. Toni Kartiman, M.P. dan dikaruniai seorang putri yaitu Isti Utami, S.T.,M.Sc.M.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 131/M Tahun 2014, tanggal 16 September 2014 yang bersangkutan diangkat sebagai Peneliti Ahli Utama terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2013.

Menamatkan Sekolah Dasar Negeri 10 Purwaganda Purwakarta tahun 1975, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Purwakarta, tahun 1979 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1Purwakarta, tahun 1982. Memperoleh gelar Sarjana Peternakan dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur tahun 1987, gelar Magister Pertanian jurusan Ilmu Kehutanan dari Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, tahun 1996 dan gelar Doktor bidang Konservasi Biodiversitas Tropika dari Institut Pertanian Bogor, tahun 2012.

Mengikuti beberapa seminar, workshop, training di dalam dan di luar negeri yang terkait bidang kepakarannya di antaranya : The 20th session of the Asia Pacific Forest Invasive Species, Fiji, Maret 2005; Workshop on Early Warning System for Forest Invasive Species Peechi, Kerala, India 2006;

Workshop on Forest Management Invasive Forest Health, Kuala Lumpur 2008; International Workshop and Training Course on Invasive Species, Wuhan, China , 2008; Asia Pacific Forestry Commision Twenty Third Session Thimpu, Bhutan, 2010; Forest Health Technologies and Invasive Species,

(5)

iv

Beijing, China, 2011; Asia Pacific Forest Committee Workshop on Biological Control and Quarantine of Invasive Species In Rotorua, New Zealand, 2013; The 13th International Conference on Ecology and Management of Alien Plant Invations (EMAPI), Waikoloa Village, Hawaii, 2015; dan The 25th Philippine Biodiversity Simposium, 2016.

Jabatan fungsional peneliti diawali sebagai Calon Peneliti tahun 1988, Asisten Peneliti Muda Gol. III/c tahun 1997, Ajun Peneliti Muda Gol. III/c tahun 1999, Ajun Peneliti Madya Gol.

III/d tahun 2001, Peneliti Muda Gol. IV/a tahun 2003, Peneliti Madya Gol. IV/b tahun 2007, Peneliti Madya Gol. IV/c tahun 2010, Peneliti Ahli Utama Gol. IV/d tahun 2014, dan Peneliti Ahli Utama Gol. IV/e bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati tahun 2019.

Menghasilkan 74 karya tulis ilmiah baik yang ditulis sendiri maupun dengan penulis lain dalam bentuk buku, jurnal, prosiding, makalah yang diterbitkan, dan makalah yang dipresentasikan, 5 di antaranya dalam bahasa Inggris.

Ikut serta dalam pembinaan kader ilmiah, yaitu sebagai Dosen Pembimbing di: Program S1 Fahutan Universitas Nusa Bangsa tahun 2003; Program S1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Institut Pertanian Bogor tahun 2013; Program S2 Konservasi Biodiversitas Tropika, Institut Pertanian Bogor tahun 2018; Program S3 Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia tahun 2019.

Aktif dalam organisasi profesi ilmiah yaitu sebagai anggota Asia Pasific Forest Invasive Species (2003- sekarang), dan anggota Himpenindo (2017- sekarang).

Memperoleh tanda penghargaan Satyalancana Karya Satya X Tahun (2004) dan Satyalancana Karya Satya XX Tahun (2015) dari Presiden Republik Indonesia.

(6)

v DAFTAR ISI

BIODATA RINGKAS ………....……….. iii

DAFTAR ISI ………. v

PRAKATA PENGUKUHAN ………... vii

I. PENDAHULUAN ……….. 1

II. PERKEMBANGAN RESOLUSI KONFLIK MANUSIA DENGAN SATWA LIAR ………... 3

2.1. Masa Kolonial Belanda sampai Masa Orde Baru …. 3 2.2. Masa Orde Baru sampai Masa Reformasi …………. 4

2.3. Masa Setelah Reformasi sampai Sekarang ………… 5

III. PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK MANUSIA DENGAN SATWA LIAR………. 8

3.1. Penyebab dan Dampak Konflik Manusia dengan Satwa Liar ……….. 8

3.2. Pengelolaan Resolusi Konflik Manusia dengan Satwa Liar ……… 11

3.2.1. Konservasi In Situ ………..11

3.2.2. Konservasi Ex Situ ………13

3.2.3. Pengembangan Ekowisata ……… 16

3.3. Strategi Implementasi Resolusi Konflik Manusia dengan Satwa Liar dan Kelembagaannya ………… 18

3.3.1. Pengelolaan Kolaboratif Resolusi Konflik Manusia dengan Satwa Liar……….. 18

3.3.2. Pelibatan/Pembinaan Masyarakat ………….19

3.3.3. Kelembagaan ……… 20

(7)

vi

IV. IMPLIKASI KEBIJAKAN ……… 21

V. KESIMPULAN ……….. 22

VI. PENUTUP ……….. 23

UCAPAN TERIMA KASIH ………. 24

DAFTAR PUSTAKA ……… 26

LAMPIRAN………... 34

DAFTAR PUBLIKASI ILMIAH……….. 48

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….. 59

(8)

vii PRAKATA PENGUKUHAN

Bismillahhirohmanirrohim.

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Salam sejahtera bagi kita semua.

Majelis Pengukuhan Profesor Riset dan Hadirin yang saya hormati.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan hidayahNya, saat ini kita dapat berkumpul dalam keadaan sehat wal’afiat guna mengikuti acara Pengukuhan Profesor Riset Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, dengan segala kerendahan hati, izinkan saya menyampaikan orasi ilmiah dengan judul :

“RESOLUSI KONFLIK MANUSIA DENGAN SATWA LIAR MELALUI PENGELOLAAN KOLABORATIF”

(9)

1 I. PENDAHULUAN

Deforestasi adalah berkurangnya luasan kawasan hutan, sedangkan degradasi hutan adalah menurunnya fungsi ekosistem hutan. Deforestasi dan degradasi hutan merupakan penyebab utama kerusakan sumber daya hutan di Indonesia dan berdampak pada kerusakan ekosistem pendukung satwa liar. Hal ini dapat mengancam kelestarian satwa liar1, sedangkan satwa liar mempunyai fungsi dan peran penting dalam ekosistem alami dan kehidupan manusia, termasuk nilai ekonominya.

Deforestasi dan degradasi hutan di antaranya disebabkan oleh kebakaran hutan, perambahan hutan, illegal logging, konversi kawasan hutan untuk pertanian, perkebunan, dan pemukiman.

Penggunaan lain di luar sektor kehutanan seperti pinjam pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan secara tidak lestari juga menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan2.

Hutan Indonesia terdiri atas hutan primer sekitar 45.185.800 ha (50% di hutan konservasi), hutan sekunder 40.822.700 ha, hutan tanaman 3.044.400 ha, dan non hutan 39.332.800 ha3. Deforestasi kawasan hutan dalam kurun waktu 2009 sampai 2017 mencapai 3,43 juta ha dengan laju rata-rata mencapai sekitar 0,38 juta ha per tahun4. Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mencapai sekitar 6.598.751,21 ha dan merupakan sebagian dari laju deforestasi5. Degradasi hutan pada kawasan konservasi diakibatkan adanya penambangan liar, bencana alam, dan perubahan vegetasi karena masuknya spesies eksotik bersifat invasif 6,7,8.

Degradasi hutan menyebabkan penurunan kualitas habitat dan berdampak pada terganggunya keseimbangan ekologi satwa liar, putusnya rantai makanan, dan berkurangnya satwa mangsa (prey). Terganggunya habitat juga menyebabkan keluarnya satwa liar dari kawasan hutan dan mengganggu masyarakat9, seperti terjadi pada satwa liar macan tutul (di

(10)

2

Jawa)10, gajah (di Aceh, Riau, dan kawasan hutan produksi Sumatra Selatan)11, primata (di Jawa dan Sumatra)12, harimau (di Sumatra)13, dan banteng di Taman Nasional Meru Betiri14. Keluarnya satwa liar dari dalam kawasan hutan ke perkebunan, ladang dan pemukiman menyebabkan terjadinya konflik dengan masyarakat14 yang dipicu oleh persepsi, tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat sekitar hutan yang rendah15. Konflik manusia dengan satwa liar menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat, serta dapat menyebabkan kematian satwa liar dan masyarakat16.

Dalam menanggulangi terancamnya populasi satwa liar yang diakibatkan oleh adanya konflik dengan manusia, Kementerian Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.48/Menhut-II/2008 tentang Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar, serta menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) beberapa spesies satwa liar terancam punah. Upaya tersebut masih menitikberatkan pada arahan aspek ekologi dan mitigasi, sehingga belum efektif dalam meningkatkan populasi satwa liar secara signifikan.

Dalam meminimalisasi konflik manusia dengan satwa liar diperlukan sistem pengelolaan secara kolaboratif yangmempertimbangkan aspek ekologi, maupunaspek sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Pengelolaan kolaboratif merupakan resolusi konflik dalam bentuk kemitraan atau pendistribusian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam mengelola sumber daya17.

Orasi ini memaparkan resolusi konflik manusia dengan satwa liar melalui pengelolaan kolaboratif yang mencakup perkembangan resolusi konflik antara manusia dengan satwa liar, faktor-faktor penyebab, dampak, strategi implementasi, dan kelembagaan serta implikasi kebijakan.

(11)

3 II. PERKEMBANGAN RESOLUSI KONFLIK

MANUSIA DENGAN SATWA LIAR

Pengelolaan ekosistem sumber daya hutan khususnya satwa liar saat ini lebih difokuskan pada aspek ekologi, sedangkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan kurang mendapat perhatian. Di sisi lain, masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan berperan terhadap keberlangsungan sumber daya hutan termasuk satwa liar pada tahun 2015 jumlahnya sekitar 8.643.220 KK18. Hal ini berdampak pada penurunan sumber daya hutan dan keragaman jenis satwa liar, karena adanya perbedaan kepentingan para pihak.

Perkembangan resolusi konflik antara manusia dengan satwa liar serta upaya resolusinya di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode waktu: masa kolonial Belanda sampai Orde Baru, masa Orde Baru sampai masa Reformasi, dan masa setelah Reformasi sampai sekarang.

2.1. Masa Kolonial Belanda sampai Masa Orde Baru Masa ini, dimulai dari masa kolonial Belanda sampai masa Orde Baru, belum ada pembukaan kawasan hutan secara besar- besaran, sebagai sumber modal yang tersedia untuk keberlangsungan pembangunan negara. Saat itu sumber daya hutan, baik kayu maupun satwa liar masih berlimpah, kepadatan masyarakat sekitar hutan masih rendah, pemanfaatan satwa liar hanya untuk memenuhi kebutuhan protein hewani mereka sendiri, belum untuk diperjualbelikan.

Konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya hutan pada masa ini relatif kecil, sehingga kelestariannya relatif terjaga. Namun demikian untuk mengantisipasi terjadinya gangguan terhadap satwa liar karena perburuan, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1931 menerbitkan peraturan perundangan untuk melindungi satwa liar di

(12)

4

antaranya yaitu Ordonansi Perburuan dan Ordonansi Perlindungan Binatang-Binatang Liar, serta tahun 1940 Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura. Pemerintah Kolonial juga menerbitkan aturan-aturan tentang pengelolaan sumber daya hutan, melalui penetapan kawasan hutan berdasarkan fungsinya yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi19. Dalam pengelolaan sumber daya hutan tersebut, pemanfaatan diatur dengan kaidah-kaidah sesuai fungsinya, dengan maksud untuk meminimalisasi konflik kepentingan yang akan terjadi antara manusia dengan satwa liar serta terjaganya lingkungan.

2.2. Masa Orde Baru sampai Masa Reformasi

Masa ini dimulai dari masa Orde Baru sampai saat reformasi.

Kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru dari awal tahun 1970-an adalah memanfaatkan sumber daya hutan berupa kayu, melalui pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Upaya ini dilakukan untuk memanfaatkan hutan sebagai sumber modal pembangunan negara. Hal ini mengakibatkan terganggunya kawasan hutan termasuk habitat satwa liar, sehingga konflik antara manusia dengan satwa liar mulai sering terjadi sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Sekitar tahun 1980-an konflik-konflik terjadi di antaranya konflik gajah di Way Kambas, Lampung, Aceh, Riau dan Sumatra Selatan. Masyarakat sering membuat laporan terjadinya konflik dengan satwa liar kepada pemerintah daerah, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 20,21 .

Laporan dari masyarakat dan media cetak, umumnya menceritakan tentang masuknya gajah ke lahan pertanian, pemukiman, perkebunan, jalan raya, dan konflik di kantong- kantong habitat yang menyebabkan kematian gajah dan manusia. Mulai tahun 1990-an upaya penyelamatan satwa liar

(13)

5 dan ekosistemnya telah dilakukan oleh Pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pada saat masa Reformasi yang dimulai tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menerbitkan Ketetapan Nomor. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Otonomi Daerah bidang kehutanan memberikan kewenangan pada daerah untuk menerbitkan ijin pemanfaatan kawasan hutan, di antaranya HPH skala kecil dan ijin tambang di kawasan hutan. Di samping itu, pada masa Reformasi terjadi perambahan kawasan hutan, sehingga mempercepat terjadinya degradasi dan fragmentasi hutan (hutan terpisah-pisah tidak satu bentangan). Kondisi ini berdampak pada meningkatnya konflik antara manusia dengan satwa liar, termasuk di dalam dan di sekitar kawasan Taman Nasional 22.

Upaya Pemerintah untuk mengatasi kerusakan hutan serta pemanfaatannya secara lestari, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Selanjutnya untuk kelestarian flora dan fauna diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

2.3. Masa setelah Reformasi sampai Sekarang

Masa ini merupakan masa setelah Reformasi yaitu tahun 2000- an sampai sekarang. Sampai saat ini konflik antara manusia dengan satwa liar masih terjadi dan cenderung meningkat.

Konflik tidak bisa dihindari di era pembangunan berbagai sektor, mengakibatkan kerugian harta berupa kebun, ternak, rumah, fisik dan jiwa manusia serta kematian satwa liar11,16.

Konflik manusia dengan satwa liar mulai mendapat perhatian serius dari Kementerian Kehutanan pada tahun 2000-

(14)

6

an, karena status konfliknya dianggap tinggi, mengganggu ekonomi masyarakat serta mengakibatkan kematian satwa di antaranya gajah20 dan banteng serta masyarakat22. Tahun 2000 di Riau, pemerintah daerah dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) melakukan upaya mitigasi dengan memindahkan gajah-gajah yang berkonflik dengan masyarakat ke Pusat Latihan Gajah (PLG) di Riau. Tahun 2004 dilakukan mitigasi konflik dengan memanfaatkan gajah jinak, yang diadopsi dari model di India dan Way Kambas20. Teknik tersebut mempunyai risiko terhadap kematian gajah dan membutuhkan biaya tinggi. Tahun 2008 banteng di wilayah Resort Kalibaru Taman Nasional Meru Betiri ke luar kawasan dan merusak kebun masyarakat, selanjutnya dilakukan mitigasi dengan memindahkan banteng ke Taman Safari Prigen dan plasma nutfahnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas Sapi Bali melalui inseminasi buatan22.

Secara regulasi, upaya penyelamatan satwa liar dan upaya penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018. Kemudian untuk meminimalisasi kejadian-kejadian konflik dikeluarkan SRAK Harimau Sumatra, Gajah Sumatra, Banteng, dan OrangUtan 2007-2017; dan Permenhut Nomor P.48/ Menhut- II/2008 tentang Penanggulangan Konflik Manusia dengan Satwa Liar yang selanjutnya dilakukan perubahan dengan dikeluarkan Permenhut Nomor 53/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2008. Untuk peningkatan populasi diterbitkan SK Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Nomor 200/IV/KKH/2015 tentang Spesies Terancam Punah yang Diprioritaskan untuk Meningkatkan Populasinya. Upaya tersebut belum dapat

(15)

7 diimplementasikan secara efektif dan maksimal karena berbagai kendala teknis dan meningkatnya konflik manusia dengan satwa liar yang terjadi di sekitar kawasan hutan.

Di negara-negara yang mempunyai spesies satwa liar mamalia besar yang berposisi sebagai kompetitor dengan kepentingan masyarakat seperti di China, Honduras dan Afrika, kasus konflik antara manusia dengan satwa liar sudah mulai ditangani sejak tahun 2000-an, dengan konsep resolusi konflik yang mengakomodasi kepentingan satwa dan masyarakat sekitar hutan22..Agar efektif pengelolaan konflik yang melibatkan masyarakat dan stakeholders terkait perlu dilakukan secara kolaboratif14. Pengelolaan konflik manusia dengan satwa liar secara kolaboratif yang melibatkan peran masyarakat, merupakan bentuk resolusi konflik yang mengakomodasikan sikap kooperatif dan asertif tinggi dan menempatkan setiap stakeholder sederajat23.

(16)

8

III. PENGELOLAAN RESOLUSI KONFLIK MANUSIA DENGAN SATWA LIAR

Banyak faktor penyebab terjadinya konflik manusia dengan satwa liar yang berdampak kerugian pada ke dua belah pihak, sehingga perlu langkah-langkah resolusinya. Oleh karena itu perlu diketahui penyebab, dampak dan pengelolaannya.

3.1. Penyebab dan Dampak Konflik Manusia dengan Satwa Liar

Meluasnya konversi hutan menjadi kawasan perkebunan, pertambangan, pemukiman, jalan, ladang, serta Hutan Tanaman Industri (HTI), menyebabkan hutan yang awalnya heterokultur menjadi monokultur, berakibat pada menurunnya luas dan fungsi habitat satwa24,25, dan terfragmentasi menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah satu dengan yang lain26. Tingkat kesejahteraan masyarakat dengan pendapatan di bawah Upah Minimum Regional (UMR) dan keterbatasan dalam kepemilikan lahan garapan juga memberikan tekanan terhadap sumber daya hutan dan satwa liar14.

Berkurangnya kawasan hutan yang cukup luas, pada dasawarsa terakhir akibat konversi dan kebakaran hutan juga menyebabkan habitat satwa liar terganggu27. Kebakaran lahan dan kawasan hutan kumulatif periode (2011–2016) sekitar 337.214 ha5. Luas kebun sawit mencapai 11,3 juta ha, dan diperkirakan sekitar 50% terjadi pada lahan hutan yang telah terdeforestasi5.

Di Sumatra, sekitar 80-90% hutan yang berfungsi sebagai habitat gajah telah dikooptasi perusahaan pengelola sumber daya hutan dan masyarakat, mengakibatkan konflik gajah dengan manusia di sekitar pemukiman, areal perkebunan, dan HTI. Adanya pemukiman dan aktivitas manusia di areal

(17)

9 perkebunan, hutan produksi jati, ladang serta tidak adanya daerah penyangga (buffer zone) di sekitar kawasan Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo mengancam populasi banteng28,29. Pemukiman, hutan produksi, dan perkebunan sawit juga menjadi ancaman terhadap satwa liar gajah11, harimau13 dan orangutan30 karena mengakibatkan daya dukung menjadi rendah.

Daya dukung habitat dalam kawasan hutan dapat menjadi rendah karena manusia dan satwa liar menggunakan sumber daya yang sama. Hal ini menyebabkan produktivitas sumber pakan baik secara kualitas maupun kuantitas tidak mencukupi kebutuhan satwa. Di samping itu tidak semua tumbuhan dalam kawasan dimakan oleh satwa31,32, serta masuknya spesies invasif dalam kawasan hutan yang menekan pertumbuhan sumber pakan33, sehingga menyebabkan banteng, gajah, dan satwa herbivora lainnya ke luar kawasan hutan dan terjadi konflik.

Produktivitas pakan di areal perkebunan sekitar 103,44 kg/ha/hari34, sedangkan di areal HTI sekitar 30,84 kg/ha/hari31. Nilai produktivitas pakan tersebut rendah, sehingga gajah merusak ladang masyarakat dan menyebabkan kerugian materi.

Gangguan satwa liar menyebabkan persepsi masyarakat terhadap satwa liar menjadi negatif. Persepsi negatif juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi yang rendah35.

Jika faktor-faktor penyebab konflik manusia dengan satwa liar tidak segera diatasi maka risiko dampaknya akan lebih besar. Dampak tersebut terlihat selama kurang dari satu dekade terakhir, dimana sekitar 129 individu gajah dibunuh di Sumatra, terutama di Provinsi Riau, diindikasikan 59%

diracun, 13% konflik langsung dengan masyarakat, dan 5%

dibunuh dengan menggunakan senjata api untuk memperoleh gading. Dalam kurun waktu tahun (2005-2012), tercatat rata- rata gajah masuk ke pemukiman masyarakat 30-40 kali per

(18)

10

tahun, di Aceh dalam kurun waktu (2012–2017) 68 individu gajah mati, 55 individu (80%) karena konflik dengan manusia yang menyebabkan 11 orang luka dan delapan orang meninggal20.

Dalam kurun waktu 12 tahun (1984-1996) terjadi korban meninggal 15 orang dan 9 luka akibat konflik dengan gajah di sekitar Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Konflik gajah dengan masyarakat di Provinsi Lampung juga menimbulkan kerugian ekonomi karena merusak tanaman dan terjadi sebanyak 337 kali36.

Tahun 2013-2017 di perkebunan sawit Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Provinsi Sumatra Selatan, tiga individu gajah mati. Selain itu, satu orang masyarakat meninggal di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan (OKUS). Konflik manusia dengan satwa liar merupakan ancaman serius dan menyebabkan kerugian berupa nyawa manusia dan materi37. Di Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten OKI ada lima desa yang mengalami gangguan gajah, dengan kerugian per KK sekitar 7 juta sampai 8 juta pada saat musim panen11. Konflik manusia dengan gajah juga berdampak pada penurunan populasi gajah yang diperkirakan hingga 80%21.

Konflik manusia dengan satwa liar banteng mulai terjadi tahun 2003, tercatat delapan kasus kematian banteng di sekitar kawasan Taman Nasional Alas Purwo karena jeratan. Tahun 2008 terjadi kematian induk dan anak banteng karena jebakan lubang di kampung sekitar kawasan Taman Nasional Meru Betiri, selain itu terjadi juga korban luka yang dialami masyarakat. Di desa-desa sekitar Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo gangguan satwa liar menimbulkan kerugian sebesar 30% - 50% dari produksi ladang masyarakat. Pendapatan rata-rata per bulan dari hasil ladang berkisar antara Rp. 332.000,- sampai Rp. 885.000,-. Nilai

(19)

11 kerugian tersebut sangat berarti bagi masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah22.

Konflik manusia dengan satwa liar tertinggi terjadi pada ruang-ruang yang digunakan bersama oleh manusia dan satwa liar38, sehingga penyelesaiannya harus dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat dan stakeholders lainnya secara kolaboratif. Untuk meningkatkan nilai manfaat ekonomi dari satwa liar yang berkonflik, dapat dilakukan pemanfaatan satwa liar secara berkelanjutan melalui jasa ekowisata, dan pemanfaatan hasil penangkaran.

3.2. Pengelolaan Resolusi Konflik Manusia dengan Satwa Liar

Berdasarkan faktor-faktor penyebab serta dampak yang ditimbulkan dari konflik manusia dengan satwa liar, khususnya mamalia besar, serta mempertimbangkan faktor ekologi, sosial dan ekonomi di lokasi di mana konflik terjadi, maka dapat ditentukan alternatif resolusi konflik antara manusia dengan satwa liar. Resolusi konflik manusia dengan satwa liar dimaksud yaitu program kegiatan konservasi in situ melalui pembinaan habitat, konservasi ex situ melalui penangkaran, serta pengembangan ekowisata.

3.2.1. Konservasi In Situ

Konservasi in situ yaitu upaya pengelolaan satwa liar di dalam habitat alaminya. Untuk spesies satwa liar yang tidak memungkinkan dikelola di luar kawasan hutan seperti gajah, dapat dilakukan secara in situ dengan sistem pengelolaan seperti yang tertuang dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK). Program prioritas konservasi in situ adalah peningkatan populasi melalui pembinaan habitat.

Pembinaan habitat bertujuan untuk meminimalisasi konflik

(20)

12

manusia dengan satwa liar gajah di hutan produksi dan areal perkebunan, dan dilakukan dengan cara penataan ruang.

Penataan ruang harus mempertimbangkan luasan habitat yang dibutuhkan berdasarkan daerah jelajah gajah dan pengelolaannya berbasis lanskap. Penataan ruang berdasarkan kebutuhan gajah di antaranya berupa ruang jelajah, habitat pakan, ruang untuk berlindung, tidur, bermain, dan istirahat31,38.

Untuk meningkatkan kualitas habitat gajah, dapat dilakukan pengayaan jenis-jenis pakan yang disukai.

Pembinaan habitat di kawasan hutan produksi dan di areal perkebunan dapat dilakukan di Kawasan/Areal Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT/ABKT) atau Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) yang sudah ditetapkan oleh perusahaan. Pengelolaan KBKT dan ABKT antar perusahaan yang wilayahnya satu bentangan harus terintegrasi, sehingga tidak terjadi fragmentasi, yang dapat mengakibatkan satwa liar harus selalu beradaptasi dengan habitatnya39.

Dalam pembinaan habitat di kawasan KBKT atau KPPN dapat menggunakan spesies tumbuhan bawah yang disukai gajah dan mempunyai kandungan nutrisi relatif tinggi, di antaranya Harendong (Melastoma malabathricum), Paku Udang (Stenochlaena palustris), Paku Harupat (Nephrolepis biserrata), Kumpay (Andropogon intermedius), dan Prumpung (Andropogon helepensis)31. Untuk peningkatan kualitas habitat, selain dilakukan restorasi dan pengayaan jenis-jenis pakan, juga perlu dilakukan pengendalian spesies invasif yang menginvasi kawasan hutan di antaranya Mantangan (Merremia peltata), Akasia Berduri (Acacia nilotica), dan Kirinyuh (Chromolaena odorata) 40,41.

Dalam konservasi in situ perlu dilakukan pembinaan habitat, di antaranya pembangunan koridor pada habitat yang

(21)

13 terfragmentasi. Untuk satwa mamalia besar termasuk gajah dan banteng, koridor dibangun pada daerah lintasannya dengan sistem stepping stone (batu loncatan). Di setiap stepping stone ditanami spesies pakan tanaman semusim yang disukai satwa serta dikombinasikan dengan spesies pohon, Legum, dan tumbuhan bawah. Spesies pohon yang ditanam sebaiknya tidak semuanya yang disukai satwa, sehingga masih ada pohon yang tumbuh dan terhindar dari gangguan42. Konsep pembangunan stepping stone didasarkan pada jarak satwa ke luar kawasan, sehingga perlu diperhitungkan jarak yang aman, agar satwa tidak mengganggu pemukiman dan ladang masyarakat.

Masyarakat dianjurkan jangan menanam jenis-jenis tanaman yang disukai gajah, sebaliknya menanam jenis tanaman yang tidak disukai gajah di antaranya jeruk (Citrus sp.) dan nanas (Ananas comosus)42.

Untuk menghindari gangguan manusia masuk ke dalam kawasan taman nasional, biasanya dibangun zona penyangga atau green belt yang jaraknya sekitar 5-6 km dari pemukiman3. Green belt ditanami dengan spesies tanaman yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tetapi tidak disukai satwa. Di Kawasan HTI Kabupaten Ogan Komering Ilir, gajah ke luar kawasan hutan kemudian masuk ke kebun dan pemukiman masyarakat dengan jarak sekitar 2-3 km dari batas HTI. Setelah memasuki ladang dan pemukiman, gajah kembali ke dalam kawasan hutan, sehingga jarak antara stepping stone dengan pemukiman bisa diperhitungkan. Daerah jelajah gajah berhubungan dengan ketersediaan pakan, jika pakan berkurang, gajah akan mencari tempat lain yang ketersediaan pakannya mencukupi31.

3.2.2. Konservasi Ex Situ

Konservasi ex situ merupakan upaya pelestarian satwa liar di luar habitat alaminya. Konservasi ex situ dapat dilakukan

(22)

14

dengan sistem penangkaran, karena jasa penangkaran mempunyai potensi berkontribusi dalam pengelolaan kawasan hutan secara mandiri43,44. Penangkaran satwa diperlukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari pemanfaatan satwa liar. Jika pendapatan bisa ditingkatkan, potensi konflik dapat ditekan. Satwa liar yang potensial ditangkarkan adalah satwa liar yang berpotensi sebagai penyedia protein hewani45,46.

Penangkaran dapat mengantisipasi kepunahan satwa liar di habitat alami karena konflik. Tujuan penangkaran adalah untuk meningkatkan populasi di alam (restocking) dan untuk pemanfaatan secara berkelanjutan. Hasil dari penangkaran dapat dimanfaatkan untuk peningkatan populasi, dan hasil F2 untuk jenis-jenis satwa liar tertentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat47.

Penangkaran untuk menunjang peningkatan populasi di alam dapat dilakukan dengan sistem semi in situ yang mengacu pada aspek bioekologi alami. Campur tangan manusia diperlukan hanya untuk memastikan tidak terjadinya perkawinan sedarah (in breeding)48. Penangkaran semi in situ mudah dilakukan karena banyak areal di luar hutan konservasi, di antaranya hutan produksi yang berpotensi dan layak dijadikan lokasi penangkaran, termasuk hutan produksi terbatas49. Penangkaran semi in situ untuk meminimalisasi konflik, dapat dilakukan untuk satwa yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat di antaranya gajah, harimau, dan orangutan.

Penangkaran ex situ untuk satwa liar banteng dan rusa, masyarakat dapat terlibat langsung dalam pelaksanaannya, serta sekaligus dapat memanfaatkan hasil turunan F2 dari penangkaran secara berkelanjutan50. Penangkaran jenis satwa liar herbivora untuk tujuan pemanfaatan sudah banyak

(23)

15

.

dilakukan dan berhasil. Satwa banteng di penangkaran dapat tumbuh dan bereproduksi, satu kali banteng jantan ejakulasi, semennya dapat digunakan untuk inseminasi buatan (IB) dengan 400 ekor Sapi Bali22. Jenis satwa liar lain yang berhasil ditangkarkan yaitu rusa. Produksi dan reproduksi rusa di penangkaran dapat ditingkatkan dengan pemberian beberapa jenis pakan dan konsentrat. Hasil dari pemberian pakan tersebut dapat meningkatkan kemampuan daya cerna hijauan pakan51, daya cerna jagung52, dedak dan meningkatkan produksi53.

Masyarakat sangat antusias terhadap pembangunan penangkaran satwa liar seperti banteng dan rusa, karena mudah diterapkan22,49. Penangkaran dapat ditujukan sebagai upaya peningkatan populasi sekaligus pemanfaatan di luar habitat yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat43. Pemanfaatan jenis satwa herbivora juga dapat digunakan langsung maupun tidak langsung melalui kegiatan ekowisata54. Penangkaran satwa liar rusa dapat menggunakan beberapa model penangkaran yaitu sistem ranch, mini ranch, dan kandang individu, yang dalam pelaksanaannya dapat dilakukan oleh lembaga konservasi ex situ di antaranya taman safari dan kebun binatang, dengan melibatkan masyarakat atau langsung oleh masyarakat secara individu50. Bagi masyarakat yang mempunyai lahan terbatas dapat melakukannya dengan kandang individu sistem panggung seperti kandang kambing55. Penangkaran rusa dengan sistem kandang panggung dalam jangka waktu sekitar dua tahun dapat menghasilkan dua anak dengan dua kali kelahiran. Rusa bernilai ekonomis karena mempunyai persentase dan kualitas karkas yang tinggi dibanding sapi dan kambing56. Saat ini daging rusa mulai banyak diminati masyarakat kota besar seperti Jakarta dan harganya relatif mahal57.

(24)

16

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pembangunan penangkaran jenis satwa liar herbivora, di antaranya lokasi yang mudah dicapai, tenang dan aman dari gangguan satwa lain maupun aktivitas manusia50. Sebelum menentukan lokasi penangkaran perlu diketahui potensi ketersediaan pakan, ruang, air dan naungan58 serta aspek bioekologinya59.

Jenis-jenis hijauan pakan alami yang dapat dikembangkan dalam penangkaran banteng atau rusa, karena disukai dan mempunyai produktivitas tinggi yaitu Kolonjono (Heirochloe horsfieldii), Paitan (Paspalum conjugatum), Sintrong (Erechtites valerianifolia), Gajahan (Panicum repens), Pringpringan (Pogonatherum paniceum), Bambangan (Commelia nudiflora), Grinting (Paspalum longifolium), Drujon (Achartus ilichiphelia), Kolomento (Leersia hexandra)29, dan Lamuran (Dichanthium caricosum)6.

3.2.3. Pengembangan Ekowisata

Satwa liar mempunyai potensi yang sangat besar sebagai ikon tujuan wisata, sehingga satwa liar dapat dimanfaatkan sebagai obyek ekowisata. Untuk menekan dampak negatif dari konflik manusia dengan satwa liar, kegiatan ekowisata harus melibatkan peran masyarakat yang terdampak konflik.

Ekowisata merupakan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan. Ekowisata hanya akan berkembang dengan pesat, apabila ekosistem dari satwa liar tersebut terjaga, sehingga kondisi fisik, serta komposisi vegetasi di lokasi ekowisata perlu dikelola dengan baik60,61.

Pengembangan ekowisata saat ini masih terkendala oleh aksesibilitas yang masih rendah, minimnya sosialisasi pemasaran obyek dan tantangan merubah perilaku masyarakat dari petani menjadi masyarakat pelaku ekowisata, seperti

(25)

17 pemandu wisata, pengrajin cendera mata, pedagang, penginapan (homestay), dan transportasi. Namun jika obyek alaminya bagus dan menarik, wisatawan tetap akan datang terutama wisatawan manca negara.

Ekowisata dengan obyek satwa liar seperti gajah banyak diminati oleh masyarakat terutama gajah jinak, seperti yang dilakukan di Taman Nasional Leuseur dan Taman Nasional Way Kambas9. Kerbau dan kuda liar di Taman Nasional Komodo juga banyak diminati wisatawan selain satwa komodo62. Satwa liar banteng di kawasan taman nasional yang berkonflik dengan masyarakat berpotensi sebagai obyek ekowisata dengan hamparan padang rumput dan vegetasi lainnya. Ekowisata banteng, yang habitatnya berada di perkebunan Bandealit, Taman Nasional Meru Betiri dapat dipadukan dengan agrowisata produk perkebunan, sehingga wisatawan dapat menikmati perilaku banteng di alam sambil menikmati buah- buahan hasil perkebunan.

Rusa di penangkaran Ciwidey Jawa Barat menjadi tujuan ekowisata yang sampai saat ini semakin banyak dikunjungi wisatawan dengan atraksi memberi makan pada rusa secara langsung. Bekantan di Sungai Hitam Kalimantan Timur, dalam pemanfaatannya sebagai obyek ekowisata, melibatkan masyarakat sebagai penyedia transportasi air, untuk wisatawan menyusuri sungai sambil melihat aktivitas harian bekantan.

Ekowisata dapat dilakukan dengan menetapkan areal yang dimanfaatkan satwa liar menjadi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Hal ini dapat meminimalisasi gangguan satwa liar, seperti gajah, dengan memanfaatkan hutan produksi sebagai habitatnya. Dalam pelaksanaannya, KEE yang dimanfaatkan sebagai obyek ekowisata dapat melibatkan masyarakat sekitar hutan. Untuk implementasinya, penetapan KEE di kawasan hutan produksi perlu ditindaklanjuti dengan

(26)

18

penguatan peraturan KEE serta penyempurnaan regulasi yang berkaitan dengan pemegang ijin hutan produksi.

3.3. Strategi Implementasi Resolusi Konflik Manusia dengan Satwa Liar dan Kelembagaannya

Untuk efektivitas implementasi resolusi konflik manusia dengan satwa liar berupa kegiatan konservasi in situ, konservasi ex situ, dan pengembangan ekowisata, diperlukan strategi implementasi yang mencakup pengelolaan kolaboratif resolusi konflik manusia dengan satwa liar, pelibatan atau pembinaan masyarakat, dan kelembagaan.

3.3.1. Pengelolaan Kolaboratif Resolusi Konflik Manusia dengan Satwa Liar

Resolusi konflik tidak akan optimal jika kegiatan penanganannya hanya pada pihak-pihak yang berkonflik langsung. Penanganan konflik, perlu melibatkan stakeholders lainnya yang tidak terkait langsung dengan konflik.

Pengelolaan kolaboratif terdiri dari beberapa tingkat kemitraan serta derajat pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah dan stakeholders 17.

Keberhasilan pengelolaan kolaboratif dipengaruhi oleh ketepatan penentuan stakeholders yang terlibat. Stakeholders harus jelas peran dan fungsinya, serta ada interkoneksitas dan koordinasi antara stakeholder yang satu dengan lainnya.

Kasus konflik satwa banteng dengan masyarakat sekitar Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) misalnya, stakeholder yang terkait yaitu masyarakat lokal sebagai petani, Balai TNMB sebagai pemangku kawasan, Perusahaan Perkebunan Bandealit, yang arealnya diganggu banteng, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang pelestarian sumber daya alam,

(27)

19 Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Wonosari, Malang yang mempunyai keahlian di bidang Inseminasi Buatan, serta Pemda Tingkat II Jember dan satuan kerja di daerah14. Untuk konflik gajah, stakeholders terkait yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Pemda Tingkat II, LSM yaitu FKGI (Forum Konservasi Gajah Indonesia), Perusahaan Perkebunan, Perusahaan HTI, HPH, serta masyarakat.

Pengelolaan kolaboratif di antara stakeholder dapat diimplementasikan pada tingkat terendah sampai tertinggi sesuai peran, wewenang dan tanggung jawab masing-masing stakeholder. Tingkat pengelolaan kolaboratif di mulai dari 1) Tingkat instruktif, 2) Tingkat konsultatif, 3) Tingkat kooperatif, 4) Tingkat advokasi, dan 5) Tingkat informatif.

Tingkat informatif merupakan tujuan akhir dari kolaborasi, dimana peran pemerintah semakin kecil karena pemerintah telah memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada stakeholders dalam pengambilan keputusan17. Untuk kegiatan pembinaan habitat umumnya tingkat kolaboratifnya masih pada tingkat konsultatif yaitu masyarakat baru dilibatkan sebagai pekerja saja28. Kolaboratif dianggap berhasil jika sudah pada tingkat informatif dimana peran pemerintah semakin kecil, yaitu hanya menetapkan regulasi dan pemantauan pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumber daya hutan. Konsep pengelolaan kolaboratif konflik manusia dengan satwa liar banteng disajikan pada Lampiran 1.

3.3.2. Pelibatan/Pembinaan Masyarakat

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kolaboratif konflik manusia dengan satwa liar, perlu dilakukan upaya-upaya pra kondisi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat sekitar hutan di mana konflik terjadi melalui pendidikan/pembinaan, baik formal maupun nonformal. Upaya

(28)

20

tersebut dapat berupa sosialisasi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hutan, penyuluhan yang melibatkan tenaga dan pemimpin internal setempat, study banding, serta pelatihan-pelatihan teknis pendukung lainnya. Pelatihan pengetahuan masyarakat dalam bidang konservasi sumber daya hutan dan ekowisata, di antaranya keterampilan membuat cenderamata, pengetahuan tentang satwa liar, jenis-jenis tumbuhan, dasar-dasar penyuluhan serta pemandu ekowisata.

3.3.3. Kelembagaan

Peran dan fungsi masing-masing stakeholder dapat efektif, jika stakeholders diorganisasi dalam kelembagaan kolaboratif, sebagai wadah yang berfungsi koordinatif dan konsultatif.

Untuk penguatan dan efektivitas, kelembagaan harus dilegalisasi oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, provinsi atau instansi pusat sesuai penyebaran serta kewenangan stakeholders yang terlibat, dan kasus konflik yang terjadi (Lampiran 2).

Organisasi kelembagaan kolaboratif resolusi konflik manusia dengan satwa liar, harus memuat unsur-unsur manajemen seperti perencanaan, perorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan, selanjutnya masing-masing stakeholder diberi peran dalam pelaksanaan unsur fungsi manajemen. Dalam hal ini stakeholder dapat berperan sebagai inisiator, penyedia dana, regulator, pendampingan dan pelaksana kegiatan. Konsep kelembagaan kolaboratif resolusi konflik manusia dengan banteng disajikan pada Lampiran 3.

(29)

21 IV. IMPLIKASI KEBIJAKAN

Implementasi resolusi konflik manusia dengan satwa liar harus diikuti dengan dibangunnya kelembagaan kolaboratif dan aturan-aturan yang dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak dan keberlangsungan sumber daya. Peraturan- peraturan yang dikeluarkan dalam penanggulangan konflik manusia dengan satwa liar di antaranya Permenhut Nomor P.48 tahun 2008 tentang Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa Liar dan selanjutnya dilakukan perubahan dengan Permenhut Nomor P.53 tahun 2014. Peraturan tersebut hanya sebatas pada aspek ekologi, mitigasi konflik, dan penggantian kerugian, dan sampai saat ini belum berjalan efektif. Kebijakan belum banyak melibatkan masyarakat dan stakeholders secara aktif. Demikian juga dengan SRAK, sebagian besar baru sebatas pada upaya mitigasi konflik dan pengelolaan aspek ekologi. Untuk itu diperlukan aturan yang selain memasukkan aspek ekologi, juga aspek sosial dan ekonomi khususnya yang berhubungan dengan masyarakat sekitar hutan, karena belum banyak terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Untuk keberhasilan implementasi resolusi konflik manusia dengan satwa liar secara kolaboratif perlu dibangun kelembagaan yang legal, operasional, dan disahkan oleh pemerintah pusat, atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pemerintah perlu melakukan pembinaan melalui monitoring, evaluasi dan supervisi. Dalam implementasi program resolusi konflik perlu dibuat aturan-aturan sesuai kebutuhan, berupa Surat Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Surat Keputusan Direksi Perusahaan, Memorandum of Understanding (MOU) atau aturan-aturan masyarakat setempat.

(30)

22

V. KESIMPULAN

Keberadaan satwa liar sampai saat ini masih terancam kepunahan, karena habitatnya terganggu oleh berbagai pembangunan yang dilakukan di kawasan hutan, dan masih terjadi perburuan satwa liar. Terganggunya habitat satwa liar oleh aktivitas manusia dalam kawasan hutanmerupakan salah satu pemicu konflik manusia dengan satwa liar. Hal ini berakibat pada penurunan populasi satwa liar. Pemerintah khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan beberapa upaya pengelolaan serta mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka menekan terjadinya konflik manusia dengan satwa liar tetapi belum efektif.

Resolusi konflik manusia dengan satwa liar secara kolaboratif melalui kegiatan konservasi in situ, konservasi ex situ, dan pengembangan ekowisata merupakan sinergi yang tepat untuk diimplementasikan dalam penyelamatan satwa liar dan pemberdayaan masyarakat. Resolusi konflik secara kolaboratif dapat menekan gangguan terhadap keberadaan satwa liar, dan sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, melalui pemanfaatan secara berkelanjutan, dari hasil penangkaran, pemanfaatan plasma nutfah, dan jasa wisata.

Resolusi konflik manusia dengan satwa liar secara kolaboratif di masa datang akan lebih berperan dalam konservasi keanekaragaman hayati satwa liar seiring dengan perkembangan pembangunan di berbagai sektor, termasuk kehutanan dan bertambahnya populasi manusia. Oleh karena itu perlu ditunjang dengan kebijakan yang menekankan pengelolaan resolusi konflik manusia dengan satwa liar yang meliputi aspek ekologi, sosial, dan ekonomi melalui pengelolaan secara kolaboratif.

(31)

23 VI. PENUTUP

Keanekaragaman hayati satwa liar adalah kekayaan bangsa, dan merupakan sumber plasma nutfah yang tidak ternilai.

Satwa liar dapat berperan dalam keberlanjutan suatu ekosistem hutan sebagai sistem penyangga kehidupan. Satwa liar juga dapat berperan dalam pembangunan perekonomian bangsa jika dimanfaatkan berazaskan kelestarian. Resolusi konflik manusia dengan satwa liar yang pengelolaannya dilakukan secara kolaboratif merupakan upaya penyelamatan dan pemanfaatan satwa liar secara berkelanjutan. Resolusi konflik manusia dengan satwa liar secara kolaboratif melalui kegiatan konservasi in situ, ex situ, dan pengembangan ekowisata dapat melindungi populasi satwa liar, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, dan sekaligus meningkatkan sektor pariwisata/ekowisata yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah.

Keberhasilan dalam pengelolaan satwa liar juga akan berpengaruh terhadap kebijakan hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, yang sangat menaruh perhatian besar pada persoalan-persoalan lingkungan. Untuk efektivitas dan optimalisasi keberhasilan pengelolaan kolaboratif dalam resolusi konflik manusia dengan satwa liar, masih diperlukan suatu penelitian strategis dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap satwa liar dan ekosistemnya. Penelitian dimaksud meliputi aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.

Keberhasilan negara/pemerintah dalam menjaga kelestarian satwa liar merupakan indikator keberhasilan dalam menjaga lingkungan, dan akan berdampak pada apresiasi dari negara- negara besar terhadap Indonesia dalam usaha pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

(32)

24

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya ucapkan ke hadirat Allah SWT, karena dengan ridho dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan naskah orasi ini sebagai syarat untuk mencapai jenjang karier tertinggi sebagai fungsional peneliti.

Dengan segala hormat dan ucapan terima kasih saya sampaikan dalam kesempatan ini kepada Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc.; Kepala LIPI, Dr.

Laksana Tri Handoko, M.Sc; Ketua Majelis Pengukuhan Profesor Riset, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc.; Sekretaris Majelis Pengukuhan Profesor Riset Prof. Ris. Dr. Ir. Nina Mindawati, M.Si.; tim penelaah naskah orasi Prof. Ris. Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc.; Prof. Ris. Dr. drh. Herdis, M.Si. dan Prof.

Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc. atas bimbingannya; seluruh anggota Majelis Profesor Riset serta Plt. Kepala Pusbindiklat Peneliti LIPI, Ratih Retno Wulandari, S.Sos., M.Si.

Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (BLI), Dr. Ir. Agus Justianto, M.Sc.; Ibu Sekretaris BLI Dr. Ir. Sylvana Ratina, M.Si.; Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Dr.

Ir. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc.; Ketua Tim Penilai Peneliti Instansi (TP2I) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan seluruh anggotanya, serta anggota Dewan Riset BLI atas bimbingan, dorongan, kesempatan dan perhatian selama saya melaksanakan tugas sebagai peneliti. Ucapan yang sama saya sampaikan kepada peneliti senior Kelompok Peneliti (Kelti) Konservasi Keanekaragaman Hayati Prof. Ris. Dr. Ir. Abdullah Syarif Mukhtar, M.S.; Prof. Ris. Dr. Drs. M Bismark, M.S.

tempat saya bertanya dan berdiskusi tentang konservasi; dosen pembimbing Program Pasca Sarjana IPB Prof. Dr. Ir. Hadi S.

(33)

25 Alikodra, M.S.; Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. yang telah membimbing dan memberikan banyak ilmu dan pengetahuan, selama saya belajar di IPB; rekan-rekan peneliti, teknisi dan staf di Kelti Konservasi Keanekaragaman Hayati, rekan sejawat di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan atas kerjasama dan kebersamaannya. Dalam kesempatan ini, tidak lupa saya sampaikan terima kasih dan hormat untuk guru-guru saya dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi yang telah memberikan tauladan dan ilmunya kepada saya.

Terima kasih yang tidak terhingga kepada ke dua orang tua saya tercinta, Ayahanda Raden Garsoeroso Bratadidjaja (Alm.) dan Ibunda Hj. Kartini atas doa-doanya serta kasih sayang yang diberikan kepada saya. Bapak dan ibu mertua, Bapak E. Tasrief (Alm.) dan Ibu Karmini (Almh.) atas perhatian dan kasih sayangnya kepada saya. Begitu juga untuk kakak-kakak dan adik-adik saya tersayang, kakak-kakak dan adik-adik ipar, terima kasih atas segala doa dan dukungannya.

Dengan rasa cinta dan sayang, saya sampaikan terima kasih untuk suami Ir.Toni Kartiman, M.P. serta anakku Isti Utami, S.T., M.Sc.M. atas segala perhatian, dorongan, doa dan pengertiannya.

Kepada seluruh panitia penyelenggara Pengukuhan Profesor Riset dan seluruh undangan, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kehadiran dan terselenggaranya acara ini dengan lancar. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya untuk kita semua. Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.

Billahi taufik walhidayah,

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakaatuh.

(34)

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Gunawan H, Sugiarti. Perlunya penunjukkan kawasan konservasi baru untuk mengantisipasi degradasi keanekaragaman hayati akibat perubahan RTRW di kawasan Wallacea (Lesson learned inisiasi pengusulan Taman Nasional Mekongga, Sulawesi Tenggara). Jurnal Biowallacea 2015; 1(13): 122-133.

2. Kementerian Kehutanan. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Jakarta: Kemenhut; 2009.

3. Bismark M, Sawitri R. Nilai Penting Taman Nasional. 304 hlm. Forda Press; 2014.

4. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2017. Jakarta: KLHK; 2018.

5. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2016. Jakarta: KLHK; 2017.

6. Garsetiasih R. Penanaman rumput Lamuran (Dichanthium caricosum) dengan pemupukan NPK sebagai upaya peningkatan habitat pakan satwa herbivora di Taman Nasional Baluran. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas Savana Nusa Tenggara, tanggal 24 November 2015, di Kupang. Hlm: 215-224. Kupang: Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan; 2016.

7. Garsetiasih R, Irianto R S. Teknik pemulihan savana Taman Nasional Baluran. Prosiding Seminar Nasional Biologi Wallacea, tanggal 8-9 November 2017, di Mataram. Hlm: 186-190. Mataram: Fakultas MIPA, Universitas Mataram; 2017.

(35)

27 8. Garsetiasih R, Siubelan H. The invasion of Acacia nilotica in Baluran National Park East Java and its control measures Technic. Paper presented on The Asia-Pacific Forest Invasive Species Conference Agustus 2003;

Kunming, China.

9. Kuswanda W, Situmorang ROP, Berliani K, Barus SP, Silalahi J. Konservasi dan Ekowisata Gajah: sebuah model dari KHDTK Aek Nauli. Bogor: IPB Press; 2018.

10. Gunawan H, Prasetyo LB, Mardiastuti A, Kartono AP.

Fragmentasi hutan alam lahan kering di Provinsi Jateng.

Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2010; 7(1):

75-91.

11. Rianti A, Garsetiasih R. Persepsi masyarakat terhadap gangguan Gajah Sumatra (Elephas maximus) di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan 2017; 12(2): 83-99.

12. Utami R, Novarino RW. Penjarahan tanaman oleh hewan primata di Bungus dan Teluk Kabung, Sumatra Barat.

Prosiding Seminar Masyarakat Biodiversitas Indonesia, tanggal 11 April 2016, di Padang ; 2(1): 49-54

13. Priatna D, Novarino W, Sunarto HT, Wahyudi HA, D’

Arcy L, Goodrich J, Wawandono NB, Sutito AS.

Penyelamatan harimau: pedoman praktis pencegahan dan penanggulangan konflik antara manusia dengan harimau.

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan 2012 (IX).

14. Garsetiasih R, Alikodra HS. Manajemen konflik konservasi banteng (Bos javanicus d’ Alton 1823) di kawasan Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan 2015; 12(3): 213-234.

(36)

28

15. Alikodra HS. Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan suatu Upaya untuk Menyelamatkan Bumi dari Kerusakan. Yogya: Gadjah Mada University Press; 2011.

16. Garsetiasih R. Persepsi masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo yang terganggu satwa liar terhadap konservasi banteng. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2015; 12(2): 119-135.

17. Njaya F. Governance challenges for the implementation of Fisheries co-management: Experiences from Malawi.

International Journal of the commons 2007; 1(1): 137-153.

18. Kementerian Kehutanan. Statistik Kehutanan Indonesia 2015. Jakarta: Kemenhut; 2016.

19. Yudistira P. Sang pelopor, peranan Dr. S.H. Kooders dalam sejarah perlindungan alam di Indonesia. Jakarta : Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung;

2014.

20. WWF-Indonesia. Modul MP2CE untuk mitigasi konflik gajah-manusia terpadu. Jakarta : WWF-Indonesia; 2017.

21. Syarifudin H. Survey populasi dan hijauan pakan Gajah Sumatra di Kawasan Seblat Kabupaten Bengkulu Utara.

Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan 2008; 11(1): 42-51.

22. Garsetiasih R. Manajemen konflik konservasi banteng (Bos javanicus d’Alton 1823) dengan masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri dan Taman Nasional Alas Purwo. Disertasi Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika. 2012; Institut Pertanian Bogor, Bogor.

23. Tadjudin D. Manajemen Kolaborasi. Bogor: Pustaka Latin;

2000.

(37)

29 24. Syahri BF, Gunawan H, Sudoyo H. Analisis mikrosatelit pada sampel feses Gajah Sumatra (Elephas maximus) di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. JOM FMIFA 2015;

2(1): 42-49.

25. Yoza D. Kajian kurikulum latihan gajah Tahura Sultan Syarif Hasyim Riau. Laporan Penelitian: Universitas Riau;

2005.

26. Kumar MA, Mudappa D, Raman TRS. Asian Elephant (Elephas maximus) habitat use and ranging in fragmented rainforest and plantation in the Anamalai hill, India.

Tropical Conservation Science 2010; 3(2): 143-158.

27. Sitompul AF, Griffin CR, Rayl ND, Fuller TK. Spatial and temporal habitat use of an Asian Elephant in Sumatra.

Journal Animal 2013; 3: pp 670-679.

28. Garsetiasih R, Sawitri R, Rianti A. Bioekologi dan Konservasi Banteng. 85 hlm. Forda Press; 2016.

29. Garsetiasih R. Daya dukung padang perumputan banteng (Bos javanicus d’Alton 1823): Studi kasus di Sadengan dan Sumber Gedang, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2013; 11(1): 229-240.

30. Kuswanda W. OrangUtan Batang Toru kritis di ambang punah. Cetakan Pertama. 185 hlm. Forda Press.

31. Garsetiasih R, Heriyanto NM, Rianti A. Potensi tumbuhan bawah pada tegakan hutan tanaman Acacia crassicarpa A. Cunn. Ex Benth sebagai pakan gajah dan penyimpan karbon di Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 2018; 15(2): 97-111.

32. Kuswanda W, Garsetiasih R. Daya dukung dan pertumbuhan populasi Siamang (Hylobates syndactylus Raffles, 1821) di Cagar Alam Dolok Sipirok, Sumatra Utara. Buletin Plasma Nutfah 2016; 22(1): 67-80.

(38)

30

33. Garsetiasih R, Heriyanto NM. Karakteristik vegetasi habitat banteng (Bos javanicus d’Alton 1823) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2014; 11(1): 77-89.

34. Garsetiasih R, Rianti A, Takandjandji M. Potensi vegetasi dan daya dukung untuk habitat Gajah Sumatra (Elephas maximus) di areal perkebunan sawit dan hutan produksi Kecamatan Sungai Menang Kabupaten Ogan Komering Ilir. Berita Biologi 2018; 17(1): 49-64.

35. Setiawan H, Purwanti R, Garsetiasih R. Persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan 2017; 14(1); 57-70.

36. Hedges S, Tyson M, Sitompul AF, Kinnaird MF, Gunaryadi D, Aslan. Distribution, status and conservation need of Asian Elephant (Elephas maximus) in Lampung Province, Sumatra, Indonesia. Biol. Conserv 2005; 124:

35-48.

37. Gunaryadi D, Sugiyo, Hedges S. Community based human-elephant conflict mitigation: The value of an evidance-based approach in promoting the uptake of effective methods. Plos ONE 2017; 12(5).

38. Sabri ETB, Gunawan H, Khairijon. Pola pergerakan dan wilayah jelajah Gajah Sumatra (Elephas maximus) dengan menggunakan GPS radio collar di sebelah utara Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. JOM FMIFA 2014; 1(2): 599- 606.

39. Sawitri R, Garsetiasih R. Habitat dan populasi burung Punai (Columbidae sp.) di Mempawah dan Suaka Margasatwa Pelaihari. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2015; 12(2): 209-221

(39)

31 40. Garsetiasih R. Keberadaan invasive alien species di

Indonesia. Wana Tropika 2006; 1(1):12-15.

41. Sawitri R, Garsetiasih, R. Biological control strategy on invasive alien species in Indonesia Forest. Country report.

The International workshop on the biological control of invasive species of forest. Beijing, China; 2007.

42. Berliani K, Alikodra HS, Masyud B, Kusrini MD.

Susceptibility of cultivated plants conflict area in Aceh Province. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 2016; 22(1):

65-74.

43. Takandjandji M, Garsetiasih R. Penangkaran rusa sebagai penunjang kemandirian KPH. Dalam: Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH): Langkah awal menuju kemandirian. Kanisius; 2014.

44. Garsetiasih R, Takandjandji M. Penangkaran burung Bayan Sumba. Dalam: Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH: Langkah awal menuju kemandirian. Kanisius; 2014.

45. Takandjandji M, Garsetiasih R. Pengembangan penangkaran Rusa Timor (Rusa timorensis) dan permasalahannya di NTT. Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata tanggal 27 Maret di Bogor. Hlm: 77-86. Bogor: PSIH-IPB, Puslit Biologi, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam; 2002.

46. Garsetiasih R. Bioekologi satwa Rusa Timor dan peluang budidayanya. Buletin Kehutanan dan Perkebunan 2000; 1:

21-32.

47. Takandjandji M, Garsetiasih R, Kayat. Pengembangan penangkaran rusa. Dalam: Pengembangan penangkaran Rusa Timor: Sintesis hasil-hasil litbang. Bogor: Badan Litbang dan Inovasi; 2015. 132-169.

(40)

32

48. Setio P, Takandjandji M, Garsetiasih R. Sistem penangkaran rusa. Dalam: Pengembangan penangkaran Rusa Timor: Sintesis hasil-hasil litbang. Bogor: Badan Litbang dan Inovasi; 2015. 76-122.

49. Garsetiasih R. Daya dukung kawasan hutan Baturraden sebagai habitat penangkaran rusa. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2007; 4 (5): 531-542.

50. Garsetiasih R,Takandjandji M. Standardisasi penangkaran rusa sebagai sumber pangan. Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Standardisasi tanggal 6-7 November 2007 di Jakarta. Hlm: 1-8 Jakarta: Badan Standardisasi;

2007.

51. Garsetiasih R. Determinasi daya cerna rusa (Rusa timorensis) menggunakan campuran rumput (Paspalum dilatatum) dengan daun Beringin (Ficus benjamina), daun Kabesak (Acacia leuchoploea) dan daun Turi (Sesbania grandiflora). Buletin Penelitian Hutan 2002; 631: 41-47 52. Garsetiasih R. Daya cerna jagung dan rumput sebagai

pakan rusa (Rusa timorensis). Buletin Plasma Nutfah 2007; 13(2): 88-92.

53. Garsetiasih R, Sawitri R, Heriyanto NM. Pemanfaatan dedak padi sebagai pakan tambahan rusa. Buletin Plasma Nutfah 2003; 9(2): 23-27.

54. Garsetiasih R, Takandjandji M. Aspek teknis dalam pengembangan penangkaran Rusa Timor berbasis wisata di Sumba Timur. Dalam: Membangun hasil hutan yang tersisa. Forda Press; 2016: 207- 218.

55. Garsetiasih R. Budidaya rusa skala kecil untuk masyarakat sekitar hutan. Buletin Konservasi Alam Dirjen PHKA 2005; 5(4): 33-37.

(41)

33 56. Garsetiasih R, Takandjandji M. Model penangkaran rusa.

Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan tanggal 20 September di Padang. Hlm: 35-46. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam; 2006.

57. Krisna PAN, Supriatna J, Suparmoko M, Garsetiasih R.

The perceptions of consumers towards venison from captive breeding. Journal Annals of Biology. 2018; 34(3):

247-248.

58. Garsetiasih R, Heriyanto NM. Potensi hutan reklamasi bekas tambang batu bara, Sangata, Kalimantan Timur untuk penangkaran Rusa Sambar (Rusa unicolor). Buletin Plasma Nutfah 2017; 23(2): 127-136.

59. Amiati DA, Masyud B, Garsetiasih R. Pengaruh pengunjung terhadap perilaku dan pola konsumsi Rusa Timor (Rusa timorensis) di penangkaran hutan Dramaga.

Buletin Plasma Nutfah 2015; 21(2): 47-60.

60. Pratiwi, Garsetiasih R. Sifat fisik dan kimia tanah serta komposisi vegetasi di Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2007; 4(5): 457-466.

61. Garsetiasih R, Sutrisno E. Hubungan karakteristik vegetasi dengan aktivitas Rusa Timor (Rusa timorensis) di Taman Wisata Alam Pulau Menipo Nusa Tenggara Timur.

1997. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang. 1997 : 79-85.

62. Garsetiasih R. Daya dukung satwa herbivora (rusa, kerbau, kuda) di Pulau Rinca Taman Nasional Komodo.

Buletin Plasma Nutfah 2001; 1(1): 24-29.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Sementara itu resolusi konflik yang dicapai dalam konflik sumber daya alam di Kabupaten Batanghari khususnya mengenai konflik Suku Anak Dalam dengan PT Asiatic Persada

(1) Perolehan spesimen tumbuhan dan satwa liar asing bagi lembaga konservasi untuk kepentingan umum dengan cara penyerahan sukarela dari masyarakat sebagaimana

Kesimpulan hasil penelitian mengenai upaya konservasi satwa liar studi kasus di RPH Kepoh, BKPH Selogender, KPH Randublatung Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah pada

Kesimpulan hasil penelitian mengenai upaya konservasi satwa liar studi kasus di RPH Kepoh, BKPH Selogender, KPH Randublatung Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah pada

Penyusunan kolaborasi sebagai resolusi konflik di Dongi-Dongi, dibangun melalui Visi Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu yaitu “Optimalisasi Pengelolaan Taman Nasional

(a) Bekerjasama memperkuat kapasitas konservasi dan pengelolaan satwa liar di Indonesia, termasuk upaya-upaya untuk melindungi habitat yang terancam, mengembangkan

Prinsip yang harus diperhatikan dalam konservasi ex situ adalah memenuhi kebutuhan satwa untuk hidup layak dengan mengkondisikan lingkungannya seperti pada habitat

Lembaga Konservasi Lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya ex-situ seperti : Kebun Bintang, Taman Safari, Taman Satwa, Kebun Botani