• Tidak ada hasil yang ditemukan

BHINNEKA TUNGGAL IKA PENANDA MULTIKULTURALISME: DARI KAKAWIN SUTASOMA KE KONSTITUSI INDONESIA GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BHINNEKA TUNGGAL IKA PENANDA MULTIKULTURALISME: DARI KAKAWIN SUTASOMA KE KONSTITUSI INDONESIA GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BHINNEKA TUNGGAL IKA PENANDA

MULTIKULTURALISME: DARI KAKAWIN SUTASOMA KE KONSTITUSI INDONESIA

GEDE MARHAENDRA WIJA ATMAJA

SEMINAR NASIONAL DENGAN TEMA “SASTRA AGAMA DAN PENDIDIKAN BAHASA” DISELENGGARAKAN OLEH PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

DENPASAR 7 MARET 2018

(2)

i Daftar Isi

Abstract

Pendahuluan ... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.

 Menempatpatkan Sudut Pandang tentang Multikulturalisme ...2

Bhinneka Tunggal Ika dalam Kakawin Sutasoma 3Error! Bookmark not defined.

 Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Penanda Multikulturalisme dalam UUD 1945 ...4

 Penutup ...6

Daftar Pustaka...6

(3)

1

ABSTRACT

Makalah ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai makna pepatah lama Bhinneka Tunggal Ika dan transformasinya ke dalam kontitusi yang sekarang berlaku di Indonesia yakni UUD 1945. Untuk itu digunakan metode interpretasi terhadap UUD 1945 berdasarkan penelusuran pustaka tentang konsep bhinneka tunggal ika dan pandangan teoritik tentang multikulturalisme.

Hasil pembahasan adalah: pertama, bhinneka tunggal ika tidaklah sekedar cuplikan dari suatu karya sastra pada zamannya, tapi pada dasarnya merupakan pernyataan daya kreatif untuk mengatasi masalah keanekaragaman agama, dan pada zaman ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan kedua, dalam UUD 1945 terdapat dasar-dasar multikulturalisme baik di dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya, yang pada dasarnya memberikan pengakuan terhadap fakta kemajemukan komunitas budaya.

Kata kunci: bhinneka tunggal ika, multikulturalisme.

PENDAHULUAN

Penanda adanya multikulturalisme dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) tampak pada Pasal 36A, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Pembentuk Undang-Undang memahami semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Empu Tantular. Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu dan kata tunggal ika diartikan bahwa di antara puspa ragam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Penjelasan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan).

Dikemukakan oleh F. Budi Hardiman, “Bhinneka Tunggal Ika memuat idealitas multikulturalisme di Indonesia” (Hardiman 2002).

Penjelasan tersebut mengesankan makna keanekaragaman (berbeda-beda) tetapi tetap satu dalam kata Bhinneka, dan ada makna keanekaragaman (puspa ragam) tetapi tetap satu (satu kesatuan) dalam kata tunggal ika. Ini menunjukkan ada ketidakjelasan dalam memaknai bhinneka tunggal ika. Sebagai penanda multikulturalisme dalam UUD 1945, dalam Pasal 36A yang mengatur “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika” tidak ditemukan isi pengaturan tentang multikulturalisme.

Beranjak dari persoalan tersebut, makalah ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai makna pepatah lama Bhinneka Tunggal Ika dan transformasinya ke dalam kontitusi yang sekarang berlaku di Indonesia yakni UUD 1945. Untuk itu

(4)

2

digunakan metode interpretasi terhadap UUD 1945 berdasarkan penelusuran pustaka tentang konsep bhinneka tunggal ika dan pandangan teoritik tentang multikulturalisme.

MENEMPATPATKAN SUDUT PANDANG TENTANG MULTIKULTURALISME

Multikulturalisme berbeda dengan multikultural, namun terkait. Multikultural mengacu pada kenyataan akan keanekaragaman kultural, dan multikulturalisme mengacu pada sebuah tanggapan normatif atas fakta keanekaragaman budaya tersebut (Parekh 2008). Tanggapan normatif ini dapat ditemukan dalam kebijakan publik, dapat disebut sebagai politik multikulturalisme, yang secara makro dirumuskan dalam Undang- Undang Dasar.

Bhikhu Parekh mengemukakan, keanekaragaman budaya dalam masyarakat modern memiliki beberapa bentuk. Tiga diantaranya yang paling umum adalah: pertama, keanekaragaman subkultural (subcultural diversity), merujuk pada sekelompok anggota masyarakat, yang meskipun hidup dalam budaya bersama, dalam arena-arena tertentu kehidupannya menjalankan keyakinan dan praktek yang berbeda (seperti gay dan lesbian), atau mengembangkan jalan hidupnya sendiri yang berbeda (seperti para nelayan, para eksekutif transnasional dan para seniman): kedua, keanekaragaman perspektif (perspectival diversity), merujuk pada sekelompok anggota masyarakat yang sangat kritis terhadap prinsip-prinsip atau nilai-nila utama kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk mengubahnya sesuai dengan garis kelompoknya; dan ketiga, keanekaragaman komunal (communal diversity), merujuk pada komunitas-komunitas yang kurang-lebih terorganisasi dengan baik, yang menjalankan dan hidup dengan sistem dan praktek kepercayaannya sendiri. Mereka antara lain adalah berbagai komunitas keagamaan, dan kelompok-kelompok kultural yang berkumpul secara teritorial seperti masyarakat asli (Parekh 2008).

Diantara ketiga keanekaragaman budaya itu, keanekaragaman komunal (communal diversity) memiliki keterkaitan historis bagi istilah “multikultural” dan

“multikulturalisme”. Komunitas-komunitas yang dalam ranah keanekaragaman budaya itu selanjutnya disebut komunitas budaya (Parekh 2008).

Berdasarkan uraian tersebut, dalam makalah ini Multikulturalisme dipahami sebagai tanggapan normatif atas fakta kemajemukan komunitas budaya. Juga dapat dipahami sebagai politik multikulturalisme, yakni kebijakan dari negara untuk mengakui

(5)

3

kemajemukan komunitas budaya. Secara makro, politik multikulturalisme terdapat dalam Undang-Undang Dasar.

BHINNEKA TUNGGAL IKA DALAM KAKAWIN SUTASOMA

Sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, bahwa:

a. kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika diartikan berbeda- beda tetapi tetap satu; dan

b. kata tunggal ika diartikan bahwa di antara puspa ragam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan.

Penjelasan tersebut menunjukkan “bhinna dan ika” mengandung arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Ini menunjukkan kesan selain ada kata yang bermakna berbeda-beda, juga kata yang bermakna satu. Demikian pula pada kata “tunggal ika” yang diartikan sebagai “di antara puspa ragam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan” mengesankan selain ada kata bermakna satu, juga ada kata yang bermakna puspa ragam. Penelusuran pustaka menunjukkan hal demikian tidak tepat, karena “bhinna” bermakna berbeda-beda atau puspa ragam, “tunggal” bermakna satu, dan “ika” bermakna itu dan terkadang bermakna ini (Mardiwarsito 1986. Prawiroatmodjo 1981). Artinya, secara leksikal

“bhinna ika” bermakna berbeda-beda itu, dan “tunggal ika” bermakna satu itu. Jadi artinya secara leksikal adalah berbeda-beda itu satu itu.

Pemahaman tentang “berbeda-beda itu satu itu” ditemukan dalam cuplikan kakawin Sutasoma. Asal-muasal Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam kakawin Sutasoma, yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada masa kejayaan kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan raja Rajasanagara pada paruh kedua abad XIV Masehi.

Pengarangnya adalah Mpu Tantular. Salah satu baitnya adalah:

Hyang Buddha tanpahi Çiwa raja Dewa Rwanekadhatu winuwus, wara-Buddha Wiswa;

bhinneki rakwa ring apan kena parwwanosen mangka Jinatwa lawan Çiwatatwa tunggal,

Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa ( dalam Mantra 2002).

Johan Hendrick Caspar Kern dalam tulisannya berjudul “Over de vermenging van Çiwaisme en Buddhisme op Java, naar aanleiding van het Oudjavaancch gedicht Sutasoma” pada tahun 1888 mengartikan:

Dewa Budddha tidak berbeda dari Çiwa, Mahadewa diantara dewa-dewa.

Keduanya dikatakan mengandung banyak unsur. Buddha yang mulia adalah

(6)

4

Kesemestaan. Bagaimanakah mereka yang boleh dikatakan tak terpisahkan dapat begitu saja dipisahkan menjadi dua? Jiwa Jina dan jiwa Çiwa adalah satu. Mereka memiliki ciri-ciri berlainan, tetapi mereka adalah satu: dalam Hukum tidak terdapat dualisme (Kern 2002).

I Gusti Bagus Sugriwa mengartikan, “Zat yang satu disebut dua, yaitu Budha atau Çiwa. Berbedalah konon, tetapi betapakah dapatnya memberi dua. Demikianlah keadaan Budha dengan Çiwa itu satu. Berbeda, tetapi satu ia, tidak ada kebenaran itu mendua”

(Sugriwa 2002).

Bhineka tunggal ika, dengan demikian, digunakan untuk menggambarkan Budha dan Siwa itu satu. Budha dan Siwa itu nempak berbeda, tapi jiwanya adalah satu, atau kebenarannya adalah satu, tidak mendua. Dalam kaitan ini penting memahami pandangan Haryati Soebadio mengenai penyamaan antara prinsip-prinsip tertinggi dalam agama Śiva dan Buddha, bahwa hal tersebut bukanlah sinkretisme, karena itu memberi kesan seolah-olah kedua sistem itu dicampurbaurkan sama sekali, melainkan koalisi yang mempunyai denotasi memperjuangkan tujuan terakhir yang sama dengan mempergunakan jalan-jalan yang berbeda, atau bahkan tumbuh bersama-sama (Soebadio1985). Jadi, yang satu itu adalah prinsip tertinggi, dengan jalan yang berbeda untuk mencapainya.

Perumusan bhinneka tunggal ika juga menunjukkan adanya pengakuan dari penguasa saat itu, bahwa 2 (dua) agama saat itu hidup berdampingan. Senada dengan itu Edi Sedyawati mengemukakan, perumusan-perumusan yang dihasilkan pada zaman Majapahit itu pada dasarnya merupakan pernyataan daya kreatif untuk mengatasi masalah keanekaragaman agama. Selanjutnya dikemukakan, keaneragaman tersebut perlu dikelola dalam rangka upaya bina negara di zaman Majapahit (Sedyawati 2009).

Hal tersebut, sekarang ini juga digunakan dalam rangka upaya bina negara di zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI PENANDA MULTIKULTURALISME DALAM UUD 1945

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, penanda adanya multikulturalisme dalam UUD 1945 terdapat pada Pasal 36A, “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”. Akan tetapi isi pengaturan tentang multikulturalisme dalam UUD 1945 tidak terdapat dalam Pasal 36A tersebut. Perlu penelusuran lebih lanjut terhadap bagian-bagian UUD 1945.

(7)

5

UUD 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan).

Pembukaan UUD 1945, alinea keempat berisi pernyataan, “Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …”. Ini menunjukkan perlindungan pada keanekaragaman komunitas budaya, seperti komunitas agama, etnis, dan bahasa. Pernyataan perlindungan ini, dengan demikian, merupakan landasan filosofis bagi politik multikulturalisme, yakni politik pengakuan terhadap kebhinekaan komunitas budaya dalam ketunggalan Negara Republik Indonesia. Politik pengakuan mencakup di dalamnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak komunitas budaya yang beragam itu (Atmaja 2013).

Pasal-pasal UUD 1945 yang mengindikasikan politik multikulturalisme adalah Pasal 18B ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (2).

Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, “Negara mengakui dan menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan Nomor 81/PUU-VIII/2010 dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua terhadap UUD 1945, berpendapat:

a. suatu daerah ditetapkan sebagai daerah istimewa, jika keistimewaan daerah tersebut terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan

b. suatu daerah ditetapkan sebagai daerah khusus jika kekhususan itu terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.

Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menunjukkan anutan politik multikulturalisme, dalam pengertian politik pengakuan terhadap keistimewaan atau kekhususan yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya. Dimaksud dengan komunitas budaya di sini adalah:

1. Komunitas atau daerah yang memiliki keistimewaan terkait dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(8)

6

2. Komunitas atau daerah yang memiliki kekhususan terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Konsep kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 adalah bentuk majemuk dari kesatuan masyarakat hukum adat. Kesatuan masyarakat hukum adat adalah suatu organisasi yang meliputi unsur-unsur yang saling berkaitan, yakni: a. adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); b. adanya pranata pemerintahan adat; c.

adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan d. adanya perangkat norma hukum adat, serta e. adanya wilayah tertentu (Atmaja 2012).

Konsep kesatuan masyarakat hukum adat mempunyai mempunyai keterkaitan dengan konsep masyarakat tradisional (Pasal 28I ayat (3) UUD 1945). Masyarakat tradisional merujuk pada masyarakat yang hidup dan menjalankan sistem nilai dan praktek kepercayaan berdasarkan tradisinya yang diterima turun-temurun. Suatu masyarakat tradisional yang tampil sebagai suatu kesatuan organisasi yang meliputi unsur-unsur yang saling berkaitan, yakni: (a) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); (b) adanya pranata pemerintahan adat;

(c) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (d) adanya perangkat norma hukum adat, serta (e) adanya wilayah tertentu, maka ia merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Dalam konteks ini masyarakat tradisional menjadi masyarakat hukum adat sebagai anggota atau warga dari kesatuan masarakat hukum adat (Atmaja 2016).

Kesatuan masyarakat hukum adat, dengan demikian, merupakan komunitas budaya dalam pengertian keanekaragaman komunal dari Bhikhu Parekh (2008). Dengan perkataan lain kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat merupakan salah satu bentuk masyarakat multikultural, dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menunjukan politik pengakuan terhadap fakta keanekaragaman komunitas budaya (Atmaja 2013).

Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Ketentuan ini memuat 2 (dua) subjek, yang harus dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban, yakni identitas budaya, dan masyarakat tradisional. Ditilik dari rumusan pasal ini, maka

(9)

7

identitas budaya bermakna identitas budaya dari komunitas budaya, yang bisa mencakup masyarakat tradisional, komunitas agama, etnis, atau bahasa (Atmaja 2013).

Ketentuan dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menunjukkan anutan politik multikulturalisme; politik pengakuan dalam bentuk penghormatan terhadap identitas budaya dari komunitas budaya yang beragam.

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ...”; Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, “...hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”; dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari sudut pandang masyarakat multikultural, penduduk pemeluk agama merupakan suatu komunitas budaya, dalam hal ini komunitas agamanya masing-masing.

Komunitas agama apa pun, berdasarkan pasal-pasal tersebut, wajib memperoleh jaminan kemerdekaannya dari negara terutama pemerintah untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, pasal-pasal tersebut menunjukkan anutan politik multikulturalisme; politik pengakuan terhadap eksistensi komunitas agama yang beragam.

Pasal 32 ayat (1) UUD 1945, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” Ketentuan ini menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya; nilai-nilai budaya dari tiap-tiap komunitas budaya. Diperkuat dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, identitas budaya sebagai hak asasi manusia dari tiap-tiap komunitas budaya wajib dihormati oleh negara terutama pemerintah.

Adanya ketentuan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia”dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 menunjukkan perlu adanya nilai-nilai budaya yang berlaku secara nasional, dengan tetap menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, di tengah peradaban dunia. Dalam kepustakaan multikulturalisme hal itu temasuk dalam multikulturalisme normatif. Konsep ini merujuk pada dasar-dasar moral keterikatan seseorang dalam suatu negara bangsa. Artinya terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam batas-batas negara bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan bersama.

Berbeda dengan multikulturalisme deskriptif, yang tidak mengakui adanya satu konsep

(10)

8

mengenai yang disebut sesuatu yang baik (good), karena sesuatu yang baik tergantung kepada nilai pluralistik dalam masyarakat (Tilaar 2004).

Pasal 32 ayat (2) UUD 1945, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Salah satu wujud komunitas budaya adalah komunitas bahasa, atau dengan perkataan lain, bahasa dari tiap-tiap komunitas budaya yang beragam, negara terutama pemerintah wajib menghormati dan memeliharanya.

Dalam terminologi hak asasi manusia, konsep memelihara dapat diisi dengan menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak komunitas budaya atas bahasanya, sehingga bahasa dari tiap-tiap komunitas budaya yang beragam itu terpelihara atau tidak punah.

PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menunjukkan pembentuk Undang-Undang Dasar telah meletakkan bhinneka tunggal ika yang berasal dari kakawin Sutasoma sebagai penanda multikulturalisme dalam rangka upaya bina negara. Bhinneka tunggal ika tidaklah sekedar cuplikan dari suatu karya sastra pada zamannya, tapi pada dasarnya merupakan pernyataan daya kreatif untuk mengatasi masalah keanekaragaman agama.

Zaman ini, juga digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu dalam UUD 1945 ditemukan dasar-dasar multikulturalisme baik di dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasalnya, yang pada dasarnya memberikan pengakuan terhadap fakta kemajemukan komunitas budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Atmaja, Gede Marhaendra Wija, 2016, Politik Pluralisme Hukum: Arah Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah, Denpasar: Penerbit PT Percetakan Bali.

———, 2013, “Perlindungan Konstitusional Hak-hak Minoritas, Penghampiran Politik Multikulturalisme”, dalam Jurnal Konstitusi, Pusat Kajian Konstitusi FH Universitas Negeri Semarang dan MK RI, Volume II No. 1, September.

———, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor,Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Hardiman, F. Budi, 2002, “Pengantar: Belajar dari Politik Multikulturalisme”, dalam Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-hak Minoritas, terjemahan Edlina Hafmini Eddin (dari judul asli: Multicultural citizenship: a liberal theory of minority), Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia..

(11)

9

Kern, Johan Hendrick Caspar, 2002, “Tentang Percampran Çiwaisme dan Buddhisme di Jawa, Sehubungan dengan Syair Jawa Kuna Sutasoma”, dalam Ida Bagus Mantra, dkk., Çiwa-Budha Puja Di Indonesia, Denpasar: Yayasan Dharmasastra.

Mardiwarsito, L., 1986, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, Ende-Flores: Nusa Indah.

Mantra, Ida Bagus, 2002, “Pengertian Çiwa – Buddha dalam Sejarah Indonesia”, dalam Ida Bagus Mantra, dkk. Çiwa-Budha Puja Di Indonesia, Denpasar: Yayasan Dharmasastra.

Parekh, Bhikhu, 2008, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, terjemahan dari Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, Yogyakarta: Kanisius.

Prawiroatmodjo, S.,1981, Bausastra Jawa-Indonesia, Jilid I, Jakarta:Gunung Agung.

Sedyawati, Edi, 2009, Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna, Denpasar: Penerbit Widya Dharma.

Soebadio, Haryati, 1985, Jñãnasiddhânta, Jakarta: Penerbit Jambatan.

Sugriwa, I Gusti Bagus, 2002, “Çiwa dan Budha, Bhinneka Tunggal Ika”, dalam Ida Bagus Mantra, dkk., Çiwa-Budha Puja Di Indonesia, Denpasar: Yayasan Dharmasastra.

Tilaar, H.A.R., 2004, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo.

(12)

Magister Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali Pascasarjana Institut Hindu Dliarma Negeri Denpasar

No. 32/Pan-SN/PPS-PSMSADPBB/02/2018

D I B E R I K A N K E P A D A :

Gede Marhaendra Wija Atmaja

Sebagai

NARASUMBER

Pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Program Studi Magister Sastra Agama Dan Pendidikan Bahasa Bali IHDN Denpasar dengan tema " S a s t r a Agama dan Pendidikan B a h a s a "

Pada tanggal 7 Maret 2018

Ketua Sekmtaris

I Gusti Made Widya Sena, S.Ag, M.Fil.H Dr. I Nyoman i S ^ a g i a , S.Ag, M.Ag NIP. 19830418 200912 1 003 NIP. 19820111 200604 1 004

Mengetahui

Direktur Pascasarjana,

Dr. Dra. Relin D.E., M.Ag

NIP. 19680801 200112 2 002

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Azhar Maksum, Guru Besar Ilmu Akuntansi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (2005), manfaat dari penerapan Good Corporate Governance adalah:.. 1)

[r]

Rerata yang tinggi untuk variabel ini menunjukkan bahwa guru pada pondok pesantern Al Aziziah menyadari bahwa bekerja sebagai guru pada pondok pesantren merupakan bagian

Purse seine merupakan salah satu alat tangkap yang produktif untuk menangkap ikan pelagis kecil di Kecamatan Sasak Ranah Pasisie, Kabupaten Pasaman Barat.Tujuan

Dokumen merupakan data yang diuji dalam sistem ini adalah berupa dokumen teks dengan membandingkan hasil kesamaan. Dengan adanya aplikasi ini pengguna tidak

Sensor SEN1069 yang terhubung dengan arduino mengambil data pengamatan pada air kemudian arduino melakukan komputasi data hasil pengamatan yang dilakukan oleh

Bersama surat ini, kami pihak sekolah mengharap kehadiran Bapak/Ibu/Wali Murid dari Miftahul Huda Kelas VIII B pada :. Hari

BIMBINGAN SPIRITUAL UNTUK MENGEMBANGKAN PERILAKU ALTRUIS PESERTA DIDIK.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |