Kebijakan Dan Insentif Pajak Di Masa Pandemi Covid-19
Panduan dan Aplikasi
Tongam Sinambela, SE, M.Ak, MM, ACPA
Kebijakan Dan Insentif Pajak di Masa Pandemi Covid-19 Panduan dan Aplikasi
Penulis:
©Tongam Sinambela
ISBN: 978-623-94740-0-3
Editor dan Penyunting : Onny Anastasia
Redaksi:
Jln. Suci No. 23 RT 008 RW 06, Jakarta Timur Telp : 081289018920
Email : [email protected]
Cetakan pertama, September 2020
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penulis.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkatnya kita masih diberikan kesehatan hingga hari ini, sehingga kita masih dapat memberikan kontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara. Buku ini disusun berdasarkan kebijakan pemerintah di bidang perpajakan yang dikeluarkan ketika bangsa Indonesia dan juga bangsa- bangsa lain di dunia sedang melawan penyebaran Virus Corona (Covid- 19).
Merebaknya virus ini mempengaruhi roda perekonomian di dunia secara keseluruhan, termasuk Indonesia. Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal kedua (Q2) tahun 2020 adalah sebesar minus 5,3%, angka yang sangat berbeda dari target yang ditetapkan pemerintah sebelum pandemi Covid-19 terjadi, yaitu sebesar 5%. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan guna memulihkan ekonomi, salah satunya adalah pemberian Insentif Pajak bagi pada pelaku usaha, baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan. Dengan demikian, buku ini hadir sebagai panduan bagi para pelaku usaha untuk memanfaatkan Insentif Pajak yang diberikan oleh pemerintah.
Semoga buku ini memberikan manfaat bagi pengguna yang menaruh perhatian besar pada perkembangan perpajakan di Indonesia.
Ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Mpu Tantular Prof. Dr. Soekrisno Agoes, Ak,CA, CPA yang mendukung penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih yang sama saya sampaikan kepada Tim Tax Center Universitas Mpu Tantular atas Kerjasama yang baik dan dukungan yang diberikan selama ini dalam proses penerbitan buku ini.
Penulis menyadari buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan saran yang membangun dari seluruh pembaca yang budiman untuk kesempurnaan buku ini. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa senantiasa memberkati kita semua agar dapat memberikan karya yang lebih besar untuk bangsa Indonesia.
Jakarta, September 2020 Penulis,
Tongam Sinambela, SE, M.Ak, MM, ACPA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA ...1
A. Pendahuluan ...2
B. Kebijakan Keuangan Negara ...5
C. Sinergi Penanganan Covid-19 Melalui Skema Burden Sharing ...7
D. Realisasi Sementara APBN 2020 ...13
E. Penerimaan Pajak ...15
BAB II KEBIJAKAN DI BIDANG PERPAJAKAN.... 34
A. Pendahuluan ...34
B. Peyesuaian Tarif Pajak ...35
C. Perpajakan Melalui PMSE ...36
D. Kebijakan Mengenai PPN Produk Digital ...41
BAB III INSENTIF PAJAK ... 47
A. Pendahuluan ...47
B. Pengertian Insentif Pajak...49
C. Insentif PPh Pasal 21 ...53
D. Insentif PPh Final ...72
vi
E. Insentif PPh Pasal 22 Impor ... 80
F. Insentif Angsuran PPh Pasal 25 ... 92
G. Insentif PPN ... 104
H. Fasilitas Pajak Alat Kesehatan Dan Pendukungnya ... 107
BAB IV CARA PENGAJUAN DAN PELAPORAN INSENTIF... 110
A. Cara Pengajuan Insentif ... 110
B. Cara Pelaporan Realisasi Pemanfaatan Insentif ... 110
Daftar Singkatan ... 112
Daftar Pustaka ... 114
Biodata Penulis ... 116
BAB I
KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA
A. PENDAHULUAN
Pada tahun 2020 ini, dunia mengalami bencana pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) membawa risiko bagi kesehatan masyarakat dan bahkan menyebabkan kematian di berbagai belahan penjuru dunia, termasuk Indonesia. Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) juga secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa dampak besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya 1,5% (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu. Di Indonesia, penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, bergantung pada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-
19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Terganggunya aktivitas ekonomi berimplikasi kepada perubahan dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020, baik sisi Pendapatan Negara, sisi Belanja Negara, maupun sisi Pembiayaan.
Potensi perubahan APBN Tahun Anggaran 2020 ini berasal dari terganggunya aktivitas ekonomi ataupun sebaliknya, sehingga akan mempengaruhi APBN Tahun Anggaran 2020 dari sisi Pendapatan Negara. Respons kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi risiko pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), antara lain berupa peningkatan belanja untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat, dan menjaga aktivitas usaha.
Tekanan pada sektor keuangan akan mempengaruhi APBN Tahun Anggaran 2020, terutama sisi Pembiayaan.
Kejadian pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena pada kenyataannya langkah-langkah penanganan pandemi COVID-19 yang telah dilakukan berisiko pada ketidakstabilan makroekonomi dan sistem keuangan.
Sehingga, tindakan mitigasi perlu dilakukan bersama oleh Pemerintah maupun koordinasi kebijakan dalam Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dan lembaga terkait lainnya untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) guna menjaga stabilitas sektor keuangan.
Menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global yang terjadi sejak penyebaran COVID-19 memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga diperlukan kebijakan dan langkah- langkah luar biasa (extraordinary) di bidang keuangan negara, termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan. Tindakan ini harus segera dilakukan Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait dalam rangka penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak.
Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Untuk mengatasi ancaman tersebut, Presiden sesuai kewenangannya berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada tanggal 31 Maret 2020 telah menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID19 dan atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/ atau Stabilitas Sistem Keuangan telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian disahkan menjadi Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau dalam rangka menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang, berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA
Untuk melaksanakan kebijakan keuangan negara pemerintah menetapkan batasan defisit anggaran dengan ketentuan sebagai berikut:
1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
2. sejak tahun anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB, dan
3. penyesuaian besaran dimaksud pada angka 1 dimaksud pada angka bertahap.
Selain mengatur batasan defisit, pemerintah juga melakukan beberapa tindakan yaitu:
- melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
- melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program.
- melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/ jasa.
- menggunakan anggaran yang bersumber dari (1) sisa anggaran lebih, (2) dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan (3) dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu (4) dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum dan/atau (5) dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
- menerbitkan Surat Utang Negara dan/ atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi COVID-19 untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/ atau investor ritel. Menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri.
- memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
- melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/ atau pemotongan/ penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu.
- memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah dan/atau melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara.
C. SINERGI PENANGANAN COVID-19 MELALUI SKEMA BURDEN SHARING
Sampai dengan pertengahan tahun 2020, efek domino akibat pandemi Covid-19 yang menimpa Indonesia dan seluruh dunia masih terlihat cukup signifikan. Sampai dengan 14 Juli 2020, jumlah kasus terkonfirmasi positif di Indonesia telah mencapai 78.572 orang, 3.710 di antaranya adalah kasus kematian (https://covid19.go.id). Sementara itu, perekonomian tahun 2020 yang semula diperkirakan tumbuh sebesar 5,3 persen, kini dikoreksi menjadi tumbuh 2,3 persen dengan skenario berat dan tumbuh negatif 0,4 persen dengan skenario sangat berat, dimana pertumbuhan ekonomi terendah (palung) diyakini di Q2-2020 ini. Perlambatan aktivitas perekonomian secara alamiah akan memberikan tekanan pada sisi Penerimaan Negara, namun penambahan pada Pengeluaran Negara dari sisi Belanja dan Pembiayaan.
APBN merupakan keniscayaan mengingat hampir seluruh sektor terdampak akibat wabah ini. Untuk itu, Pemerintah memberikan stimulus fiskal sebesar Rp695,20 triliun sebagai
respons penanganan masalah kesehatan akibat Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) agar APBN tidak semakin terpuruk. Selain penanganan kesehatan, respons kebijakan fiskal domestik melalui program PEN juga diperlukan sebagai lompatan awal untuk menggerakkan perekonomian, melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha, baik di sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk kelompok UMKM.
Sejak awal pandemi, Pemerintah bergegas menginstruksikan semua entitas untuk melakukan pengetatan, pergeseran dan pemotongan anggaran guna mendukung penanganan COVID- 19. Namun di sisi lain, kapasitas fiskal Indonesia masih belum mampu menutupi kebutuhan yang cukup besar tersebut sehingga Pemerintah perlu memperlebar defisit APBN 2020 sebagai strategi counter cylical, dari semula 1,76 persen PDB menjadi 5,07 persen (Perpres 54 Tahun
2020) dan 6,34 persen (Perpres 72 Tahun 2020). Kebijakan pelebaran defisit dalam penanganan COVID-19 ini merupakan suatu langkah yang hampir dilakukan oleh semua negara di dunia mengingat dampak yang ditimbulkan oleh COVID-19 cukup signifikan sehingga memerlukan stimulus fiskal yang relatif tinggi, salah satunya adalah Jerman yang
mengeluarkan dana stimulus fiskal mencapai 19,3 persen terhadap PDB negaranya.
Kerja keras dan kerja sama dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk menangani COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Kementerian Keuangan bersama dengan Bank Indonesia, OJK, dan LPS telah dan akan terus melakukan koordinasi intensif dalam membuat dan mengimplementasikan bauran kebijakan fiskal dan moneter yang efektif dan efisien guna menangani dampak akibat COVID-19. Untuk memperkuat pasar domestik, Pemerintah telah melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia pertama (SKB I) yang diterbitkan pada bulan April lalu. Dalam SKB tersebut diatur bahwa BI dapat melakukan pembelian SBN baik di pasar perdana melalui lelang, kemudian melalui lelang tambahan atau Green Shoe Option (GSO), dan yang terakhir yaitu melalui penawaran langsung atau Private Placement (PP).
Penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional merupakan tanggung jawab bersama. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah dan BI kembali berkerjasama untuk berbagi beban (burden sharing) dalam melaksanakan
penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional, yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Kedua (SKB II) antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan dan Deputi Gubernur BI.
Skema burden sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non- public goods/ benefit. Adapaun, pembiayaan public goods yang menyangkut kesejahteraan hidup orang banyak meliputi pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah daerah, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian SBN dengan mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate, di mana BI akan mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada Pemerintah secara penuh. Sementara itu, pembiayaan non- public goods untuk UMKM dan Korporasi nonUMKM, akan ditanggung oleh Pemerintah melalui penjualan SBN kepada market sedangkan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1 persen. Terakhir, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan
ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate.
Dengan demikian, pembiayaan nonpublic-goods tetap dilakukan melalui mekanisme pasar dan BI bertindak sebagai standby buyer/last resort sesuai aturan dalam SKB I. Jenis dan karakteristik SBN yang diterbitkan adalah jangka panjang, tradable dan marketable, dengan memperhatikan profil jatuh tempo utang. Pembelian SBN oleh BI akan dilakukan secara bertahap berdasarkan kebutuhan pembiayaan APBN dan kebutuhan riil program PEN.
Penerapan skema burden sharing bukan merupakan hal baru dan tidak hanya dilakukan oleh Indonesia. Skema ini juga dilakukan oleh beberapa negara lain, seperti Inggris, Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Thailand yang terbukti dapat tetap menjaga tingkat inflasi dan nilai tukarnya. Selain itu, berdasarkan laporan Bank of International Settlement (BIS) yang dipublikasikan tanggal 2 Juni 2020 disebutkan bahwa bank sentral di beberapa negara berkembang juga berperan sebagai lender of last resort, seperti Mexico, Hungaria, Filipina dan Turki.
Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI) senantiasa menjaga kredibilitas dan integritas dalam pengelolaan ekonomi, fiskal dan moneter serta menerapkan kaidah-
kaidah kebijakan fiskal dan moneter yang dipertimbangkan dengan cermat, serta tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel. Skema burden sharing juga dilakukan dengan menjaga ruang fiskal (fiscal space) dan sustainability dalam jangka menengah, serta menjaga kualitas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan untuk belanja yang produktif dan mendukung penurunan defisit APBN secara bertahap menjadi di bawah 3 persen mulai tahun 2023.
Selain itu, implementasi burden sharing juga dilakukan dengan menjaga stabilitas nilai tukar, suku bunga, dan inflasi agar tetap terkendali serta memperhatikan kredibilitas dan integritas pengelolaan ekonomi, fiskal, dan moneter sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pengaturan skema burden sharing dalam SKB Kedua ini berlaku untuk Pembiayaan APBN tahun 2020, sedangkan untuk pembiayaan tahun- tahun berikutnya akan disusun sesuai dengan kebutuhan Pembiayaan APBN tahun bersangkutan. Dengan skema burden sharing ini diharapkan upaya penanganan dampak pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional dapat berjalan lebih cepat dan kepastian pembiayaannya lebih terjamin.
D. REALISASI SEMENTARA APBN 2020
Perkembangan realisasi APBN periode Januari-Juni 2020 atau Semester I 2020 mencatatkan realisasi Pendapatan Negara lebih rendah 9,83 persen (yoy) dan realisasi Belanja Negara meningkat 3,31 persen (yoy), serta defisit anggaran berada pada level 1,57 persen terhadap PDB (tahun 2019 sebesar 0,85 persen terhadap PDB).
Secara ringkas, realisasi Semester I APBN tahun 2020 mencatatkan Pendapatan Negara mencapai Rp811,18 triliun (47,72 persen dari target), lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp899,6 triliun. Di sisi lain, Belanja Negara mencapai Rp1.068,94 triliun (39,02 persen dari pagu), lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp1.034,7 triliun. Adapun rincian realisasi tersebut meliputi:
1. Penerimaan Perpajakan mencapai Rp624,93 triliun, realisasi ini lebih rendah 9,42 persen dari periode yang sama pada tahun 2019 sebesar Rp689,94 triliun.
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencatatkan realisasi sebesar Rp184,52 triliun. Realisasi tersebut lebih rendah 11,76 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp209,11 triliun.
3. Penerimaan Hibah mencapai Rp1,74 triliun, tumbuh signifikan dibanding periode yang sama pada tahun 2019 sebesar Rp0,52 triliun.
4. Belanja Pemerintah Pusat mencapai Rp668,53 triliun, tumbuh 5,99 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp630,75 triliun.
5. Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp400,41 triliun, lebih rendah 0,87 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp403,95 triliun.
Melihat realisasi Pendapatan Negara dan Belanja Negara tersebut, maka realisasi defisit APBN tahun 2020 sampai dengan 30 Juni 2020 mencapai Rp257,76 triliun atau 1,57 persen PDB, dimana keseimbangan primer sebesar negatif Rp100,18 triliun. Di sisi lain, realisasi Pembiayaan Anggaran sampai dengan 30 Juni 2020 sebesar Rp416,18 triliun, sehingga terdapat kelebihan Pembiayaan Anggaran sebesar Rp158,42 triliun.
Realisasi Sementara APBN 2020 (triliun Rupiah)
Sumber: Kementerian Keuangan
E. PENERIMAAN PAJAK
Sampai dengan akhir Semester I 2020, atau periode 1 Januari – 30 Juni 2020, Penerimaan Pajak telah terkumpul sebesar Rp531,71 triliun. Capaian ini setara dengan 44,35 persen dari target 2020 yang ditetapkan sebesar Rp 1.198,82 triliun.
Penerimaan Pajak mengalami kontraksi sebesar 12,01 persen (yoy) seiring dengan melambatnya kegiatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, serta dampak stimulus fiskal dari pemanfaatan fasilitas insentif perpajakan yang digulirkan Pemerintah kepada dunia usaha dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Sampai dengan akhir Semester I 2020 hampir seluruh jenis pajak utama mengalami
kontraksi. Tekanan tersebut terutama dirasakan pada Penerimaan Pajak bulan Mei. Namun demikian, kinerja Penerimaan Pajak menunjukkan perbaikan pada bulan Juni seiring mulai dilonggarkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan dimulainya fase Adaptasi Kebiasaan Baru, serta mulai membaiknya ekonomi negara-negara mitra dagang utama Indonesia secara umum.
Beberapa jenis pajak masih tumbuh positif pada Semester I 2020, salah satunya PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Meski tidak lepas dari perlambatan kinerja penerimaan, PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi tetap mencatatkan pertumbuhan positif 1,92 persen (yoy), yang menunjukkan masih adanya ruang untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
PPh Pasal 26 mencatatkan pertumbuhan double digits hingga 15,43 persen (yoy). Namun perlu diketahui bahwa pertumbuhan ini dipengaruhi efek adanya restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak) dalam jumlah yang material pada bulan Februari 2019 dan tidak berulang pada tahun 2020, serta adanya pergeseran pembayaran pajak ditanggung pemerintah (DTP) atas Surat Berharga Negara berdenominasi valuta asing (SBN Valas) yang pada tahun 2020 ini dibayarkan di bulan Juni (pada tahun 2019 dibayarkan di bulan Juli).
PPh Pasal 21 terkontraksi tipis 2,43 persen (yoy) akibat menurunnya serapan tenaga kerja terutama pada sektor- sektor yang terdampak langsung oleh pandemi Covid-19, serta akibat pemanfaatan insentif fiskal PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Penerimaan PPh Pasal 21 kembali membaik di bulan Juni setelah mengalami tekanan pada bulan Mei, terutama dipengaruhi oleh adanya pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2020 yang dibayarkan kepada karyawan dalam masa pajak Mei, sehingga PPh Pasal 21-nya jatuh tempo dan dibayarkan pada bulan Juni dan tercatat sebagai Penerimaan Pajak pada bulan Juni. Selain itu, juga dikarenakan tahun 2019 lalu terjadi pergeseran pembayaran lebih awal PPh Pasal 21 dari yang seharusnya dibayarkan pada bulan Juni 2019 menjadi dibayarkan pada bulan Mei 2019, dikarenakan libur Idul Fitri tahun 2019 jatuh pada tanggal 1 – 9 Juni 2019 sedangkan jatuh tempo PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 setiap bulannya.
PPh Pasal 25/29 Badan mengalami kontraksi sebesar 22,47 persen (yoy). Kontraksi ini dipicu oleh (1) menurunnya profitabilitas tahun 2019 yang menjadi dasar perhitungan angsuran masa tahun 2020, (2) pemanfaatan fasilitas insentif
perpajakan dalam bentuk pengurangan angsuran masa PPh Pasal 25 sebesar 30 persen, serta (3) penurunan tarif PPh Badan dari 25 persen menjadi 22 persen (pengurangan basis pajak sebesar 12 persen).
PPh Final Pasal 4 ayat (2) terkontraksi tipis 1,92 persen (yoy).
Meski setoran atas obligasi masih tumbuh positif, setoran atas bunga deposito, Jasa Konstruksi, serta persewaan dan pengalihan tanah/bangunan mengalami penurunan seiring penurunan suku bunga, penurunan aktivitas konstruksi, serta perlambatan permintaan properti. Selain itu, setoran PPh Final UMKM (PP23/2018) juga mengalami penurunan yang diakibatkan perlambatan aktivitas ekonomi serta pemanfaatan fasilitas insentif pajak UMKM ditanggung pemerintah (DTP).
PPN Dalam Negeri mengalami kontraksi 7,93 persen (yoy) seiring masih melambatnya transaksi jual-beli Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak pada bulan Mei, yang tercermin dalam penerimaan bulan Juni (jatuh tempo pembayaran PPN Dalam Negeri adalah akhir bulan berikutnya). Di sisi lain, penerimaan PPN Dalam Negeri juga terpengaruh oleh meningkatnya restitusi akibat pemanfaatan fasilitas insentif perpajakan dalam bentuk pengembalian pendahuluan PPN,
yang mulai berlaku pada bulan Mei dan meningkat cukup signifikan pada bulan Juni.
Realisasi Penerimaan Pajak Semester I 2020
Sumber: Kementerian Keuangan
Sumber: Kementerian Keuangan
Pajak-pajak atas impor menunjukkan kontraksi sebesar 17,53 persen (yoy) pada Semester I 2020, seiring masih melambatnya aktivitas ekspor-impor Indonesia. Nilai impor kumulatif Januari –Juni 2020 tercatat USD70.907 juta atau turun USD11.811 juta (14,28 persen) dibandingkan periode
yang sama tahun sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari masih terganggunya rantai produksi dan perdagangan internasional, serta masih melambatnya perekonomian global akibat pandemi Covid-19. Kontraksi ini terutama dirasakan pada jenis pajak PPh Pasal 22 Impor, yang terkontraksi 29,07 persen (yoy). Selain akibat penurunan nilai impor, kontraksi ini juga diakibatkan oleh pemanfaatan fasilitas insentif pembebasan PPh Pasal 22 Impor. PPN Impor juga mengalami kontraksi walau lebih ringan, yakni 13,71 persen (yoy), dikarenakan fasilitas insentif pembebasan atas PPN Impor hanya diberikan untuk impor alat kesehatan yang digunakan dalam rangka penanggulangan Covid-19.
Penerimaan Jenis-Jenis Pajak Utama (dalam triliun Rupiah)
Sumber: Kementerian Keuangan
Dari sisi sektoral, seluruh sektor utama penyumbang Penerimaan Pajak menunjukkan kontraksi pada Semester I 2020. Tekanan perlambatan ekonomi dan efek pandemi Covid-19 pada awal tahun, khususnya sepanjang triwulan I 2020, utamanya mempengaruhi sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan aktivitas ekspor-impor dan perdagangan internasional, seperti sektor Industri Pengolahan, sektor Perdagangan, dan sektor Pertambangan.
Perluasan pembatasan sosial di bulan April – Mei 2020 menyebabkan tekanan lanjutan pada sektor Transportasi &
Pergudangan sebagai akibat pembatasan perjalanan, serta pada sektor Perdagangan sebagai akibat melemahnya aktivitas penyerahan dalam negeri. Pelemahan konsumsi ini juga memberikan tekanan lanjutan pada sektor Industri Pengolahan. Akibatnya, sampai dengan Semester I 2020 sektor Industri Pengolahan terkontraksi 12,8 persen (yoy), sejalan dengan indikasi PMI yang masih menunjukkan kontraksi di angka 39,1. Sektor Perdagangan terkontraksi sebesar 13,4 persen (yoy), sektor Transportasi & Pergudangan terkontraksi 4,4 persen (yoy), sedangkan sektor Pertambangan terkontraksi 35,8 persen (yoy).
Tekanan juga dirasakan sektor Jasa Keuangan & Asuransi yang mulai terpengaruh oleh perlambatan kredit dan meningkatnya risiko Non Performing Loan (NPL), sehingga terkontraksi 3,1 persen (yoy). Selain itu, penurunan kegiatan konstruksi dan penjualan properti juga masih memberikan tekanan kepada sektor Konstruksi & Real Estate, yang terkontraksi 11,8 persen (yoy).
Penerimaan Sektor-Sektor Utama, Januari – Juni 2020
Sumber: Kementerian Keuangan
KEPABEANAN DAN CUKAI
Neraca perdagangan Indonesia bulan Juni 2020 kembali tercatat surplus USD1,27 miliar menjadi indikator membaiknya aktivitas perekonomian Indonesia. Surplus bulan Juni 2020 selain disebabkan karena penurunan impor migas sebagai imbas dari Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) juga karena naiknya ekspor tembaga sebesar 104,70 persen dibandingkan bulan Mei 2020 akibat dari naiknya harga komoditas tersebut serta permintaan global yang tinggi.
Kenaikan devisa ekspor dan impor pada bulan ini juga efek siklus tahunan pasca hari besar keagamaan dan tahun baru imlek di Tiongkok serta memasuki periode pemulihan aktivitas industri yang terlihat dari indek PMI bergerak naik terutama indeks PMI negara tujuan ekspor utama Indonesia.
Realisasi penerimaan Kepabeanan dan Cukai hingga bulan Juni 2020 mencapai Rp93,21 triliun atau 45,32 persen dari target pada Perpres 72. Capaian tersebut didorong oleh kinerja penerimaan cukai yang tumbuh sebesar 13,00 persen (yoy).
Realisasi atas Penerimaan Pajak dalam rangka impor (PDRI) lainnya, yang pemungutannya dilakukan oleh DJBC per 30 Juni 2020 adalah Rp 92,32 triliun atau tumbuh
melambat 17,53 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019.
Berdasarkan komponen penerimaan kepabeanan dan cukai, yang terdiri dari Bea Masuk (BM), Bea Keluar (BK) dan Cukai, pada awal tahun 2020 masih dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal. Walaupun ada kenaikan aktivitas ekspor impor di bulan Juni 2020, namun secara kumulatif kegiatan ekspor impor masih berada di zona negatif, hal ini karena terlihat dari faktor eksternal yang masih terus melemahnya permintaan global, hingga meluasnya efek pandemi virus corona. Faktor internal, seperti kebijakan pembatasan ekspor Nikel yang diterapkan sejak akhir tahun 2019 berdampak pada penurunan penerimaan BK, belum pulihnya PMI manufaktur domestik maupun global, serta penyesuaian tarif cukai yang memengaruhi penerimaan cukai.
Penerimaan BM hingga akhir Juni 2020 adalah Rp16,50 triliun atau 51,82 persen dari target pada Perpres 72 (melambat 4,62 persen (yoy)). Kinerja penerimaan BM masih mengalami tekanan sejak awal tahun, hal ini terlihat dari aktivitas impor barang yang masih melambat sebesar
6,35 persen (yoy). Dengan demikian, penerimaan BM pun mengalami pertumbuhan negatif sebesar 4,62 persen (yoy).
Penerimaan cukai per 30 Juni 2020 adalah sebesar Rp75,38 triliun atau 43,78 persen dari targetnya. Penerimaan cukai yang terdiri atas cukai Hasil Tembakau (HT), Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan Etil Alkohol (EA), tumbuh sebesar 13,00 persen dibandingkan bulan Juni tahun 2019. Pertumbuhan pada penerimaan cukai tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi dibandingkan komponen penerimaan yang lain (BK dan BM). Faktor kebijakan relaksasi pelunasan pemesanan pita cukai (CK-1). Dilihat dari level pertumbuhan kumulatifnya, pertumbuhan cukai atas EA menjadi yang tertinggi dengan pertumbuhan sebesar 205,17 persen. Namun pertumbuhan cukai dari EA ini lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, hal ini karena kontribusi utama industri minuman ini tutup sementara selama masa pandemik Covid-19 yang berdampak pada penurunan produksi.
Penerimaan cukai HT mempunyai porsi terbesar dalam penerimaan cukai, yang hingga 30 Juni 2020 terkumpul Rp72,91 triliun atau tumbuh 14,23 persen. Pertumbuhan signifikan cukai HT di tengah perlambatan komponen
penerimaan yang lain, selain karena kaenaikan tarif HJE juga disebabkan pergeseran penerimaan tahun 2019 (PMK 57).
Realisasi Penerimaan Kepabeanan dan Cukai
Sumber: Kementerian Keuangan
Penerimaan cukai MMEA sepanjang awal tahun ini adalah Rp2,26 triliun atau melambat 18,94 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Perlambatan pertumbuhan produksi MMEA dalam negeri disebabkan penurunan total produksi sejak bulan April serta Ramadhan dan penutupan Kawasan pariwisata, sehingga menekan konsumsi MMEA dalam negeri.
Penerimaan BK masih mengalami perlambatan, bahkan lebih dalam dibandingkan penerimaan kepabenan dan cukai
lainnya dengan pertumbuhan negatif 18,19 persen dibandingkan tahun lalu atau hanya terkumpul sebesar Rp1,33 triliun. Pelarangan ekspor komoditas pertambangan nikel yang merupakan kontributor terbesar BK pada tahun 2019, serta masih belum optimalnya ekspor tembaga, menjadi penyebab utama perlambatan penerimaan BK.
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) Realisasi PNBP sampai dengan tanggal 30 Juni 2020 mencapai Rp184,52 triliun atau mengalami penurunan sebesar 11,76 persen (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang mencapai sebesar Rp209,10 triliun. Berkurangnya aktivitas ekonomi, baik sisi supply maupun demand, yang terjadi secara global dan dalam negeri masih memberikan tekanan yang cukup berat pada kinerja PNBP periode Juni 2020, khususnya penerimaan Sumber Daya Alam (SDA).
Pada penerimaan SDA, realisasi sampai dengan akhir bulan Juni 2020 mencapai Rp54,52 triliun atau mengalami penurunan sebesar 22,92 persen (yoy) dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun 2019. Penurunan penerimaan SDA tersebut, sebagai akibat dari Penerimaan SDA Migas yang terealisasi sebesar Rp41,70 triliun atau
mengalami penurunan dari periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 23,58 persen (yoy) serta penurunan realisasi Penerimaan SDA Non Migas yang mencapai 20,69 persen dengan realisasi sebesar Rp12,81 triliun.
Realisasi penerimaan SDA Migas yang melemah sebesar 23,58 persen (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang hanya turun sebesar 7,11 persen disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) penurunan rata-rata ICP periode Desember 2019 s.d. Mei 2020 sebesar US$44,9/barel dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 (US$62,1/barel); 2) penurunan rata-rata lifting minyak bumi periode Desember 2019 s.d. Mei 2020 sebesar 718,0 MBOPD dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 (745,4 MBOPD); dan 3) penurunan rata-rata lifting gas bumi periode Desember 2019 s.d. Mei 2020 sebesar 1.014,1 MBOEPD dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 (1.039,00 MBOEPD)
Selanjutnya, realisasi Penerimaan SDA Non Migas sampai dengan bulan Juni 2020 mencapai Rp12,81 triliun atau mengalami penurunan sebesar 20,69 persen (yoy) apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp16,15 triliun. Penurunan PNBP SDA Non Migas ini
disebabkan adanya penurunan penerimaan sektor Pertambangan Minerba, Kehutanan, dan Pendapatan Panas Bumi.
Pada sektor Pertambangan Minerba realisasi sampai dengan bulan Juni 2020 sebesar Rp10,16 triliun, mengalami penurunan sebesar 21,08 persen (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 turun sebesar 7,80 persen.
Penurunan ini disebabkan oleh penurunan rata-rata Harga Batubara Acuan (HBA) periode Januari s.d. Juni 2020 sebesar US$63,3/ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 (US$87,8/ton). Selain itu, penurunan volume produksi batubara periode Januari s.d. Juni 2020 sebesar 263,3 juta ton dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 (296,0 juta ton) juga berkontribusi pada penurunan penerimaan dari sektor Pertambangan Minerba.
Adapun sektor Kehutanan juga turut memberikan kontribusi atas penurunan penerimaan SDA Non Migas. Realisasi sektor Kehutanan sampai dengan bulan Juni 2020 sebesar Rp1,65 triliun atau mengalami penurunan 17,23 persen (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang tumbuh sebesar 3,71 persen. Penurunan ini disebabkan adanya penurunan volume produksi kayu hutan alam dari
2.434.222 m3 di tahun 2019 menjadi 1.880.752 m3 pada tahun 2020.
Di sisi lain, penerimaan sektor Perikanan sampai dengan bulan Juni 2020 menunjukkan kinerja yang positif. Realisasi penerimaan sektor Perikanan sampai dengan bulan Juni 2020 sebesar Rp316,20 miliar atau mengalami pertumbuhan sebesar 24,98 persen (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang tumbuh sebesar 1,51 persen.
Pertumbuhan ini dikarenakan adanya percepatan proses pengajuan perijinan perikanan tangkap dari semula 14 hari menjadi 1 jam sehingga menambah jumlah kapal yang mengajukan perijinan.
Selanjutnya, sektor Pendapatan Panas Bumi juga menunjukkan penurunan kinerja. Realisasi sampai dengan bulan Juni 2020 sebesar Rp692,00 miliar atau mengalami penurunan sebesar 33,19 persen (yoy) dari tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 56,62 persen. Penurunan ini disebabkan pada tahun 2019 terdapat pemindahbukuan saldo cadangan reimbursement PPN Panas Bumi sebesar Rp522,00 miliar yang mengakibatkan penerimaan pendapatan Panas Bumi sampai dengan bulan Juni 2019 sebesar Rp1.035,75 miliar.
Sementara itu, penerimaan dari pendapatan Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) sampai dengan bulan Juni 2020 mencatat realisasi penerimaan sebesar Rp46.210,2 miliar atau mengalami penurunan sebesar 32,71 persen (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 yang realisasinya mencapai Rp68,68 triliun atau tumbuh 93,02 persen dibandingkan dengan realisasi semester yang sama pada tahun 2018. Penurunan tersebut diantaranya disebabkan adanya pandemi Covid-19 sehingga pelaksanaan RUPS sebagian besar BUMN mengalami penundaan dan baru dimulai bulan Juni 2020 (kecuali BUMN Perbankan Himbara dan tiga BUMN di bawah pembinaan Kementerian Keuangan yang telah melaksanakan RUPS pada awal tahun sehingga dividen sudah disetorkan pada Semester I tahun 2020). Selain itu, turunnya realisasi pendapatan KND sampai dengan bulan Juni 2020 ini disebabkan besaran setoran PNBP dari sisa surplus Bank Indonesia pada tahun 2020 lebih rendah yaitu sebesar Rp21,481,6 miliar dibandingkan dengan setoran sisa surplus Bank Indonesia tahun 2019 yang mencapai sebesar Rp30.091,9 miliar.
RealisasiPenerimaan Negara Bukan Pajak
Sumber: Kementerian Keuangan
Realisasi penerimaan dari PNBP Lainnya sampai dengan bulan Juni 2020 mencapai sebesar Rp53,22 triliun atau mengalami pertumbuhan 9,86 persen (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019. Kenaikan realisasi ini antara lain disebabkan adanya penerimaan PNBP dari Akumulasi Iuran Pensiun (AIP) pada bulan Juni 2020 dengan jumlah yang cukup signifikan yaitu sebesar Rp7,90 triliun dan penerimaan Tahun Anggaran Yang Lalu (TAYL) sebesar Rp9,8 trilliun. Namun, secara umum realisasi penerimaan PNBP K/L memperlihatkan penurunan PNBP terutama pada beberapa Kementerian/Lembaga yang memberikan pelayanan secara langsung kepada masyarakat,
terimbas dampak dari penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai tindak lanjut penanganan Covid-19.
Pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) sampai dengan bulan Juni 2020 menunjukkan adanya peningkatan kinerja.
Pendapatan dari BLU mengalami pertumbuhan sebesar 43,82 persen (yoy) dengan realisasi sebesar Rp30,57 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 sebesar Rp21,27 triliun. Kenaikan kinerja ini disumbang dari kinerja BLU Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan BLU pada Kementerian Kominfo. Pendapatan dana perkebunan kelapa sawit meningkat dipengaruhi pemberlakukan kembali pungutan ekspor sawit pada tahun 2020 (setelah pada tahun 2019 diterbitkan kebijakan relaksasi pungutan 0 Rupiah).
Adapun pendapatan dari BLU Kementerian Kominfo diperoleh sejalan dengan adanya peningkatan layanan komunikasi. Sedangkan pendapatan dari BLU pelayanan pendidikan menurun terutama disebabkan beberapa program diklat tidak berjalan (adanya kebijakan pembatasan aktivitas sosial)
BAB II
KEBIJAKAN DI BIDANG PERPAJAKAN
A. PENDAHULUAN
Dalam menghadapi pandemi COVID-19 pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang perpajakan untuk mengantisipasi dampak pandemi tersebut. Kebijakan tersebut diatur dalam UU Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virusdisease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. Yang ditetapkan pada tanggal 16 Mei 2020.
Adapun cakupan kebijakan di bidang perpajakan diatur pada pasal 4 sampai pasal 10 UU No.2 Tahun 2020 sebagai berikut:
1. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
2. perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);
3. perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
4. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
B. PENYESUAIAN TARIF PAJAK
Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap merupakan penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
1. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021.
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap::
Penghasilan Kena Pajak PT A pada Tahun Pajak 2020 sebesar Rpl.000.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak 2020:
22% x Rpl.000.000.000,00 = Rp220.000.000,00.
2. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022.
Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Penghasilan Kena Pajak PT A pada Tahun Pajak 2022 sebesar Rpl.500.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak 2022:
20% x Rpl .500.000.000,00 = Rp300.000.000,00.
Wajib Pajak dalam negeri:
1. berbentuk perseroan terbatas;
2. dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di Indonesia paling sedikit 40% (empat puluh persen); dan
3. memenuhi persyaratan tertentu, dapat memperoleh tarif sebesar 3% (tiga persen) lebih rendah dari tarif sebagaimana dimaksud diatas.
C. PERPAJAKAN MELALUI PERDANGAN SISTEM ELEKTRONIK (PMSE)
Kebijakan Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana diatur sebagai berikut:
1. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE); dan
2. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan.
Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negeri dapat melakukan transaksi penjualan menggunakan sarana Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) milik sendiri, misalnya pedagang eceran secara daring (retail online). Selain itu, pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negeri dapat melakukan transaksi penjualan menggunakan sarana Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri.
Model bisnis Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) antara lain marketplace atau penyedia
platform/ pelantar sebagai wadah tempat pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negeri dapat memasang penawaran barang dan/ atau jasa.
Kemudahan Dalam Pelaksanaan Hak dan/ atau Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
Untuk memberikan kemudahan dalam pelaksanaan hak dan/
atau pemenuhan kewajiban perpajakan akibat adanya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), diberikan perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. atas pengajuan keberatan Wajib Pajak yang jatuh tempo pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 berakhir dalam periode keadaan kahar akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), jatuh tempo pengajuan keberatan tersebut diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan;
2. atas pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang jatuh tempo pengembalian berakhir dalam periode keadaan kahar akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), jatuh tempo pengembalian tersebut diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
3. atas pelaksanaan hak Wajib Pajak, yang meliputi:
a. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
b. pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
c. permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, yang jatuh tempo penerbitan surat ketetapan atau surat keputusan berakhir dalam periode keadaan kahar akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), jatuh tempo penerbitan surat ketetapan atau surat keputusan tersebut diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.
d. penetapan periode waktu keadaan kahar akibat pandemi Corona Vims Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c mengacu kepada penetapan Pemerintah melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Kebijakan Pembebasan dan Keringanan Bea Masuk Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka:
1. penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/ atau
2. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
D. KEBIJAKAN PENGENAAN PPN PRODUK DIGITAL
Menyusul negara Uganda, mulai 1 Juli 2020, Indonesia akan mengenakan PPN atas setiap produk digital dari luar negeri yang dijual melalui perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. Jadi, ketika masyarakat Indonesia membeli buku elektronik dari Amazon misalnya, akan muncul PPN dalam tagihannya.
Beleid itu mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PJ.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Produk digital yang dijual itu bisa berupa buku elektronik, majalah elektronik, komik elektronik, peranti lunak, aplikasi digital, permainan digital, multimedia, data elektronik, barang atau koin virtual, streaming film, streaming musik, konten audio, web hosting, layanan konferensi video, atau layanan jasa lainnya yang berbasis peranti lunak.
PPN akan dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, pelaku usaha PMSE dalam negeri, pelaku usaha luar negeri yang menjual produk digital itu. Tentu mereka harus ditunjuk terlebih dahulu oleh Menteri Keuangan yang kewenangan atas penunjukan dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Mereka ini dalam beleid di atas disebut sebagai Pemungut PPN PMSE.
Pelaku usaha PPN PMSE harus memenuhi kriteria tertentu untuk bisa ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE yaitu apabila mereka memiliki nilai transaksi dengan pembeli produk digital di Indonesia melebihi Rp50 juta dalam satu bulan atau Rp600 juta dalam setahun atau jumlah trafik
(pengakses) melebihi 2.000 dalam satu bulan atau 24.000 dalam setahun.
Dengan penunjukan itu Pemungut PPN PMSE mendapatkan nomor identitas sebagai sarana administrasi perpajakan.
Kemudian, Pemungut PPN PMSE baru bisa memungut PPN pada awal bulan berikutnya setelah tanggal penunjukan. Ini supaya memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyiapkan sistem dan sosialisasi penunjukan kepada pengguna barang atau pemakai jasa mereka.
Sebenarnya pengenaan PPN atas pemanfaatan barang atau jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean seperti produk digital ini bukan hal yang baru di dalam sistem perpajakan Indonesia. Pasal 3A ayat (3) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah telah menyebutkan, orang pribadi atau badan yang memanfaatkan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Masalah muncul dalam praktik di lapangan. Mekanisme pemungutan, pembayaran, dan pengawasan relatif sulit untuk dilaksanakan dalam konteks Business to Customer, atas penjualan produk digital dari perusahaan di luar negeri kepada konsumen akhir pengguna layanan di dalam negeri. Pada akhirnya konsumen tidak membayar PPN.
Sedangkan para pelaku usaha di tanah air yang menjual produk digital kepada konsumennya telah memungut PPN.
Artinya penjualan konten digital dalam negeri dikenakan PPN, sedangkan konten digital asing bebas PPN. Akibatnya muncul disparitas harga yang mencolok antara produk digital dari luar negeri dan dalam negeri. Harga jual konten digital lokal menjadi lebih mahal daripada harga jual konten digital asing.
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dalam sebuah audiensi kepada Kementerian Keuangan pada pertengahan Juni 2020 lalu mendukung ketentuan pengenaan PPN atas produk digital yang dijual para pemain digital asing ini karena menciptakan equal level of playing field terhadap penyedia produk digital dalam negeri.
Ketentuan ini pun selain memberikan kepastian hukum juga memberikan ketegasan terhadap para pelaku usaha digital luar negeri yang tidak melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN PMSE. UndangUndang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/ atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang adalah landasan hukum dari Peraturan Menteri Keuangan di atas.
Di sana, selain sanksi administrasi berdasarkan Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terdapat sanksi berupa pemutusan akses oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. Pemutusan akses itu berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. Ini pun jika para pelaku usaha digital luar negeri sebelumnya tidak mengindahkan teguran Menteri Keuangan sampai batas waktu yang ditentukan.
Tentu bukan semangat penegakan hukum yang ditonjolkan pada saat ini, melainkan semangat memberikan kemudahan kepada para pelaku usaha PMSE dalam memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN PMSE. Antara lain administrasi perpajakan yang tak rigid; penyetoran ke kas negara dengan mata uang yang lebih fleksibel, serta pelaporan yang longgar dalam waktu triwulanan dan mudah dengan menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Kementerian Keuangan.
Dengan semua ini Indonesia telah menyusul puluhan negara lain di seluruh dunia yang telah menerapkan PPN atas produk digital. Semisal, dalam laman situs Global VAT Compliance menyebutkan, Norwegia sudah menerapkannya sejak 1 Juli 2011 dengan tarif sebesar 25% dan Uganda sejak 1 Juli 2018 dengan tarif 18 persen.
BAB III INSENTIF PAJAK
A. PENDAHULUAN
Setelah Pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia, Pemerintah berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan agar perekonomian tetap berjalan seperti sebelumnya. Pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia sejak Maret 2020. Salah satu langkah antisipasi mengurangi penyebaran Covid-19 yang dilakukan pemerintah adalah dengan mengeluarkan kebijakan bekerja dari rumah (Work From Home/WFH).
Namun, kebijakan ini secara tidak langsung mendesak banyak Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan menghentikan sebagian operasional perusahaan.
Selanjutnya, keadaan ini menyebabkan penurunan roda perekonomian WP secara drastis. Pandemi COVID-19 sendiri sudah dinyatakan sebagai bencana non alam yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan juga penerimaan negara oleh pemerintah. Agar WP dapat tetap bertahan dalam situasi Pandemi COVID-19, maka pada tanggal 23 Maret 2020, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan yaitu pemberian insentif pajak yang terdampak wabah COVID-19 melalui PMK
No.23/PMK.03/2020 sebagaimana diubah melalui PMK No.44/PMK.03/2020 pada tanggal 27 April 2020 dan perubahan ketiga melalui PMK No.86/PMK.03/2020 pada tanggal 16 Juli 2020. Kemudian di tahun 2021 kebijakan perpanjangan insentif pajak tetap di lakukan oleh pemerintah berdasarkan PMK No. 9/PMK.03/2021 yang berlaku sampai bulan Juni 2021.
Awalnya pemberian insentif pajak berlaku selama 6 bulan terhitung sejak bulan April sampai dengan September 2020.
Kemudian direvisi melalui PMK No.86/PMK.03/2020, pemberian insentif pajak diperpanjang sampai masa pajak Desember 2020. Penerapan pemberian insentif ini tidak berlaku sama untuk seluruh jenis pajak yang disesuaikan dengan konsep penerapan masing-masing pajak. Perlu digarisbawahi bahwa tidak semua jenis pajak penghasilan (PPh) mendapatkan insentif dan tidak semua Wajib Pajak mendapatkan insentif pada PMK ini. Begitu juga dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tidak semua Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mendapatkan fasilitas ini. Kemudian tahun 2021 berdasarkan PMK No. 9/PMK.03/2021 ada tambahan pemberian insentif PPh final Jasa Konstruksi. Insentif PPh Final Jasa Konstruksi yang ditanggung oleh pemerintah adalah wajib pajak yang
mendapatkan penghasilan dari usaha jasa konstruksi dalam Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3- TGAI). Pemberian insentif tersebut bertujuan untuk mendukung peningkatan penyediaan air atau irigasi sebagai proyek padat karya yang merupakan kebutuhan utama bagi sektor pertanian.
B. PENGERTIAN INSENTIF PAJAK
Pengertian insentif pajak adalah semua kemudahan, baik yang bersifat finansial maupun non financial yang disediakan atau yang diberikan kepada wajib pajak oleh suatu sistem perpajakan. Pengertian insentif pajak ini sangat luas, yaitu mencakup semua hal yang memberikan keuntungan bagi wajib pajak. Pemberian insentif pajak dapat dikatakan sebagai suatu kebijakan pemerintah.
Insentif pajak atau yang dalam peraturan perpajakan disebut dengan fasilitas pajak secara umum dapat diartikan sebagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah dalam hal perpajakan. Dalam bukunya, Tax Incentives in Developing Countries and International Taxation, Viherkentta (1991:6) mengatakan: There is no universsally accepted defenition of a tax incentives. In this study, the concept denotes a tax
reduction intended to encourage business operations including inward foreign invesment.
Sedangkan menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD, 2000):
FDI incentives may be defined as any measurable advantages accorded to spesific enterprises or categories of enterprises by (or at the direction of) a Goverment, in order to encourage them to behave in a certain manner. They include measures specifically designed either to increase the rate of return of a particular FDI undertaking, or reduce (or redistribute) its costs or risks. (terjemahan : Insentif Investasi Asing Langsung dapat didefinisikan sebagai setiap keuntungan terukur diberikan kepada perusahaan tertentu atau kategori perusahaan dengan (atau arah) Pemerintah, dalam rangka mendorong mereka untuk berperilaku dengan cara tertentu.
Mereka termasuk langkah-langkah khusus dirancang baik untuk meningkatkan tingkat pengembalian dari suatu usaha FDI tertentu, atau untuk mengurangi (atau mendistribusikan) biaya atau risiko).
Kemudian, Black Law Dictionary dalam Hasibuan (2016), mengatakan pengertian insentif pajak adalah “A governmental enticement, through a tax benefit, to engage in
a particular activity, such as the contribution of money or property to qualified charity”. (terjemahan : Sebuah penawaran dari pemerintah, melalui manfaat pajak, dalam suatu kegiatan tertentu, seperti kontribusi uang atau harta untuk kegiatan yang berkualitas).
Sejalan dengan Black Law Dictionary, Winardi menyebutkan istilah insentif pajak dengan Incentive Taxation, yang artinya:
“Pemajakan dengan tujuan memberikan perangsang.
Penggunaan pajak bukan untuk maksud menghasilkan pendapatan pemerintah saja, melainkan pula memberikan dorongan ke arah perkembangan ekonomi, dalam bidang tertentu”
Dari teori tersebut dapat ditemukan kesamaan bahwa insentif pajak merupakan sebuah fasilitas yang diberikan kepada investor agar tertarik untuk menanamkan modalnya disuatu negara. Dari defenisi tersebut juga dapat disimpulkan bahwa insentif pajak merupakan alat yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi perilaku investor dalam menentukan kegiatan bisnisnya.
Menurut Spitz sebagaimana dikutip Erly Suandy, umumnya terdapat empat macam bentuk insentif pajak:
1. Pengecualian dari pengenaan pajak 2. Pengurangan dasar pengenaan pajak 3. Pengurangan tarif pajak
4. Penangguhan pajak.”
Insentif pajak dalam bentuk pengecualian dari pengenaan pajak merupakan bentuk insentif yang paling banyak digunakan. Jenis insentif ini memberikan hak kepada wajib pajak agar tidak dikenakan pajak dalam jangka waktu tertentu yang ditentukan oleh pemerintah. Namun diperlukan kehati- hatian dalam mempertimbangkan pemberian insentif ini. Hal yang perlu diperhatikan adalah sampai berapa lama pembebasan pajak ini diberikan dan sampai berapa lama investasi dapat memberikan hasil. Contoh dari jenis insentif ini adalah tax holiday atau tax exemption.
Jenis insentif yang kedua berupa pengurangan dasar
pengenaan pajak. Jenis insentif ini biasanya diberikan dalam bentuk berbagai macam biaya yang dapat dikurangkan dari pendapatan kena pajak. Pada umumnya biaya yang dapat menjadi pengurang boleh dikurangkan lebih dari nilai yang seharusnya. Jenis insentif ini misalnya dapat ditemui dalam bentuk double deduction, investment allowances, dan loss carry forwards.
Jenis insentif yang ketiga adalah pengurangan tarif pajak.
Insentif ini yaitu berupa pengurangan tarif pajak dari tarif yang berlaku umum ke tarif khusus yang diatur oleh pemerintah. Insentif ini paling sering ditemui dalam pajak penghasilan. Misalnya pengurangan tarif corporate income tax atau tarif witholding tax.
Jenis insentif yang terakhir menurut Spitz adalah penangguhan pajak. Jenis insentif ini pada umumnya diberikan kepada wajib pajak sehingga pembayar pajak dapat menunda pembayaran pajak hingga suatu waktu tertentu.
C. INSENTIF PPh PASAL 21
Pemerintah memberikan insentif pajak kepada wajib pajak orang pribadi pengawai. Pegawai yang bekerja pada perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1.189 bidang industri tertentu, perusahaan yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan pada perusahaan di kawasan berikat, Izin Pengusaha di Kawasan Berikat, atau izin PDKB. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai wajib dipotong sesuai ketentuan PPh Pasal 21 oleh Pemberi Kerja. PPh pasal 21 ditanggung
pemerintah (DTP) atas penghasilan yang diperoleh pengawai dengan kriteria tertentu yaitu:
1. Menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja yang memiliki kode usaha sebagaimana tercantum dalam lampiran huruf A Peraturan Menteri Keuangan No. 86/PMK.03/2020, Telah ditetapkan sebagai perusahaan KITE, telah mendapatkan izin Penyelenggara Kawasan Berikat, izin Pengusaha Kawasan Berikat, atau izin PDKB (Pengusaha Di Kawasan Berikat);
2. Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak);
3. Pada Masa Pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
PPh pasal 21 ditanggung pemerintah harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada pengawai, termasuk dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh pasal 21 atau menanggung PPh pasal 21 kepada pengawai. PPh pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) yang diterima oleh pengawai dari pemberi kerja tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak. Dalam hal pengawai penerima insentif pph
21 DTP melaporkan SPT tahunan orang pribadi tahun pajak 2020 dan menyatakan kelebihan pembayaran, kelebihan pembayaran yang berasal dari PPh 21 DTP tidak dapat dikembalikan. PPh pasal 21 DTP ini diberikan sejak masa pajak April 2020 sampai masa pajak Desember 2020.
Contoh 1: Penghitungan Insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP)
Tuan A (K/1) pengawai tetap di PT Z (industri makanan bayi/KLU10791), pada bulan April 2020 menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp16.500.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp330.000,00. Penghasilan bruto Tuan A yang disetahunkan Rp198.000.000,00 (Rp16.500.000,00 x 12). Karena masih dibawah Rp200.000.000,00 maka Tuan A dapat memperoleh insentif PPh Pasal 21 DTP.
a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang bulan April 2020:
Gaji dan tunjangan Rp16.500.000,00
Pengurangan:
Biaya Jabatan/bulan Rp500.000,00 Iuran Pensiun/bulan Rp330.000,00+
(Rp 830.000,00) Penghasilan Neto Sebulan Rp 15.670.000,00
Penghasilan Neto Setahun:
12 x Rp15.670.000,00 Rp188.040.000,00
PTKP (K/ 1) (Rp63.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp125.040.000,00 PPh Pasal 21 Terutang Setahun:
5% x Rp50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00 15% x Rp75.040.000,00 = Rp11.256.000,00 Rp13.756.000,00
PPh Pasal 21 Terutang Sebulan:
Rp13.756.000,00/ 12 = Rp1.146.333,00
b. Besarnya penghasilan yang diterima Tuan A bulan April 2020:
Gaji dan tunjangan Rp16.500.000,00 Dikurangi iuran pensiun/bulan (Rp 330.000,00) Dikurangi PPh Pasal 21 (Rp1.146.333,00)+
Penghasilan setelah pajak Rp15.023.667,00 Ditambah PPh Pasal 21 DTP Rp 1.146.333,00+
Jumlah yang diterima Rp16.170.000,00
Contoh 2: Penghitungan PPh 21 Tidak Ditanggung Pemerintah (DTP)
Tuan B (K/O) pegawai tetap di PT Z (industri makanan bayi/KLU 10791), pada bulan Mei 2020 menerima gaji dan tunjangan sebesar Rp21.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp420.000,00.
Penghasilan bruto Tuan B yang disetahunkan Rp252.000.000,00 (Rp21.000.000 x 12). Karena telah melebihi Rp200.000.000,00 maka seluruh PPh Pasal 21 terutang pada bulan Mei 2020 tidak dapat memperoleh insentif PPh Pasal 21 DTP. Atas penghasilan tersebut PPh Pasal 21 dipotong dan disetor oleh pemberi kerja.
Contoh 3: Penghitungan Insentif PPh 21 DTP dan THR Tuan C (K/ 1) pegawai tetap di PT Z (industri makanan bayi/KLU 10791), pada bulan Mei 2020 menerima gaji dan tunjangan sebesar Rpl5.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp300.000,00, serta menerima Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar Rpl0.000.000,00.
Penghasilan bruto Tuan C yang bersifat tetap dan teratur berupa gaji dan tunjangan sebesar Rpl5.000.000,00 sebulan yang disetahunkan sebesar Rpl80.000.000,00
(Rpl5.000.000,00 x 12). Karena masih dibawah Rp200.000.000,00 maka penghasilan Tuan C yang dapat memperoleh insentif PPh Pasal 21 DTP hanya atas penghasilan gaji dan tunjangan bulanan.
a. Penghitungan PPh pasal 21 DTP bulan Mei 2020:
Gaji dan tunjangan Rp 15.000.000,00 Pengurangan:
Biaya jabatan/bulanan Rp500.000,00 Iuran pensiun/bulanan Rp300.000,00+
Rp 800.000,00- Penghasilan neto sebulan Rp14.200.000,00
Penghasilan neto setahun
12 x Rp14.200.000,00 Rp170.400.000,00
PTKP (K/1) Rp 63.000.000,00-
Penghasilan Kena Pajak Setahun Rp107.400.000,00
PPh pasal 21 terutang setahun
5% x Rp50.000.000,00 = Rp2.500.000,00 15% x Rp57.400.000,00 = Rp8.610.000,00+
Rp11.110.000,00
PPh pasal 21 terutang sebulan
Rp11.110.000,00 / 12 Rp925.833,00 Atas PPh Pasal 21 DTP sebesar Rp925.833,00 diserahkan oleh pemberi kerja kepada Tuan C.
b. Pengitungan PPh pasal 21 terutang atas THR bulan Mei 2020
Gaji dan tunjangan setahun Rp180.000.000,00
THR Rp 10.000.000,00+
Penghasilan bruto Rp190.000.000,00
Pengurangan :
Biaya jabatan setahun maksimal Rp6.000.000,00 Iuran pensiun setahun Rp3.600.000,00+
Rp 9.600.000,00-
Penghasilan neto Rp180.400.000,00
PTKP (K/1) Rp 63.000.000,00-
Penghasilan kena pajak setahun Rp117.400.000,00
PPh pasal 21 terutang setahun
5% x Rp50.000.000,00 Rp 2.500.000,00 15% x Rp67.400.000,00 Rp10.110.000,00+
Rp12.610.000,00
PPh pasal 21 atas THR :
PPh 21 atas seluruh penghasilan
(Gaji, tunjangan, dan THR) Rp12.610.000,00 PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap
(Gaji dan tunjangan) Rp11.110.000,00- PPh Pasal 21 atas THR Rp 1.500.000,00
Pemberi kerja memotong dan menyetorkan PPh Pasal 21 atas THR Tuan C sebesar Rpl.500.000,00.
c. Besarnya penghasilan yang diterima tuan C bulan Mei 2020
Gaji dan tunjangan Rp15.000.000
THR Rp10.000.000
Dikurangi iuran pensiun /bulan (Rp 300.000) Dikurangi PPh pasal 21 atas
Seluruh penghasilan Rp 2.425.833,00 Penghasilan setelah pajak Rp22.274.167,00 Ditambah PPh pasal 21 DTP Rp 925.833,00 Jumlah yang diterima Rp23.200.000,00
Contoh 4: Penghitungan dan Tunjangan PPh 21 Tuan D (K/ 1) pegawai tetap di PT X (industri kaca
mata/KLU 32503), pada bulan Juli 2020 menerima gaji dan