• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PENGEMBALIAN ASET HASIL KORUPSI MELALUI GUGATAN PERDATA TERHADAP AHLI WARIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PENGEMBALIAN ASET HASIL KORUPSI MELALUI GUGATAN PERDATA TERHADAP AHLI WARIS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

51 - Volume 2, No. 2, Agustus 2014

ANALISIS YURIDIS PENGEMBALIAN ASET HASIL KORUPSI MELALUI GUGATAN PERDATA TERHADAP AHLI WARIS

Teuku Herizal1, Dahlan Ali,2Mujibussalim,3

1)Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

2,3) Staff Pengajar Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala e-mail: [email protected]

Abstract: Returning corruption-stolen assets can be done through two ways namely; the Act Number 20, 2001 reagrding the Supression of Corruption, has changed criminal and civil ways ruled in the Act Number 31, 1999 regarding the Corruption Suppression as. By the ways, the financial loss of the stat e and state economy’s recovery. This research aims to explain civil claims in corruption case can return stolen assets of corruption and juridical constraints in returning back the stolen assets of corruption . Keywords: Assets, corruption, punishment, civil

Abstrak: Pengembalian Pengembalian aset hasil korupsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui jalur pidana dan jalur perdata sebagaimana diatur olehUndang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Melalui dua hal dimaksud dilakukan pengembalian kerugian keuangan dan pemulihan perekonomian negara.Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk menjelaskan gugatan perdata dalam perkara tindak pidana korupsi dapat mengembalikan aset hasil korupsi dan hambatan yuridis dalam mengembalikan aset hasil korupsi . Kata kunci :Aset, Korupsi, Hukuman, Perdata

PENDAHULUAN

Korupsi adalah kejahatan luar biasa karena di samping melibatkan penyalahgunaan kekuasaan juga menyebabkan kerugian negara.selain itu, dari aspek penanggulangannya, korupsi tidak dapat ditangani dengan cara-cara biasa, melainkan dengan cara yang luar biasa (Topo Santoso,2007:

4).

Perampasan aset Pasal 18 ayat (2) UUPTPK berdasarkan kesalahan terdakwa (conviction based assets for feiture) artinya perampasan suatu aset hasil tindak pidana korupsi sangat tergantung pada keberhasilan penyidikan dan penuntutan kasus pidana tersebut. Muhammad Yusuf, 2013:162).

UUPTPK telah memberi peluang selain hukum pidana terdapat hukum perdata yang

bersifat khusus dalam pengembalian kerugian negara, hal ini dilakukan apabila upaya pidana tidak berhasil dilakukan karena dihadapkan dengan kondisi-kondisi tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 38 C Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

Berkenaan kondisi tertentu, UUPTPK menempatkan tindakan perampasan aset tidak hanya sebagai sanksi pidana, tetapi perampasan aset dapat dilakukan dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum adanya putusan dijatuhkan terhadapnya dengan didapatnya bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 34 UUPTPK).

Kebijakan hukum merampas aset korupsi

(2)

Volume 2, No. 3, Agustus 2014 - 52 melalui jalur perdata membuka kesempatan luas

untuk sekaligus merampas juga segala aset yang diduga merupakan hasil dan atau berasal dari tindak pidana korupsi serta aset-aset lain yang patut diduga sebagai pengganti aset hasil korupsi atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.

KAJIAN KEPUSTAKAAN

Konsep Dasar Pengembalian Aset Hasil Korupsi

Pengembalian aset melalui gugatan perdata dimungkinkan berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi Anti Korupsi, asas “asset recovery”

melalui gugatan perdata sebagaimana diatur oleh UNCAC 2003 tersebut tidak dapat dilepaskan dari prinsip “multi – jurisdictional litigation” atau litigasi multi yuridiksi atau litigasi lintas yuridiksi, gugatan perdata dapat dilakukan oleh suatu negara yang menjadi korban (victim countries) dari tindak pidana korupsi yang diajukan melalui negara lain (yang menjadi peserta UNCAC) tempat dilarikannya harta kekayaan negara (dilakukannya pencucian uang), hal ini tersurat dalam Aricle 53 of the UNCAC.

Prinsip tersebut memberikan konsekuensi pada negara peserta untuk memfasilitasi atau mengatur dalam hukum nasionalnya sehingga memungkinkan atau mengizinkan negara peserta lain melakukan litigasi untuk “non – criminal avenue for recovery”, selain itu juga ditentukan dalam Article 54-55 of the UNCAC, tentang perampasan yang pengertiannya seperti dalam Article 2 (g) UNCAC adalah pencabutan

kekayaan untuk selamanya dari hasil korupsi atau kekayaan yang dicuci (laundering) di negara lain (http://gagasanhukum.wordpress.com, 27 Desember 2013)

Instrumen Pidana Pengembalian Aset Hasil Korupsi

Tindak pidana korupsi dalam UUPTPK yang dapat dijadikan dasar bagi penuntut umum untuk mengajukan tuntutan perampasan aset dan atau jaksa pengacara negara mengajukan gugatan dalam rangka pengembalian kerugian negara sebagai berikut:

1. Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTPK, dapat digugat perdata dan yang dapat dirampas adalah hasil kejahatan dan sarana kejahatan.

2. Pasal 5 ayat (1) UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang pemberian sebagai barang bukti yang merupakan hasil tindak pidana dan perampasan hanya dapat melalui jalur pidana.

3. Pasal 6 ayat (1) UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang pemberian sebagai barang bukti yang merupakan hasil tindak pidana dan perampasan hanya dapat melalui jalur pidana.

4. Pasal 7 UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah barang buktinya saja melalui jalur pidana dan untuk kerugian kualitas bangunan dapat digugat melalui jalur perdata.

5. Pasal 8 UUPTPK, maka hasil korupsi yang dirampas melalui jalur pidana

(3)

53 - Volume 2, No. 3, Agustus 2014 dan/atau perdata.

6. Pasal 9 UUPTPK, maka perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

7. Pasal 10 UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah barang-barang yang telah digelapkan atau dirusak oleh pelaku dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

8. Pasal 11 UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang merupakan hadiah atau pelaksanaan janji dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

9. Pasal 12a UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang merupakan hadiah atau pelaksanaan janji dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

10. Pasal 12b UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang merupakan hadiah dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

11. Pasal 12c UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang merupakan hadiah atau pelaksanaan janji dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

12. Pasal 12d UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang merupakan hadiah atau pelaksanaan janji dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

13. Pasal 12e UUPTPK, maka perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur

pidana.

14. Pasal 12f UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang berasal dari pemotongan tersebut dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

15. Pasal 12g UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang telah diterima oleh terdakwa dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

16. Pasal 12h UUPTPK, maka yang dapat dirampas untuk negara adalah tanah negara yang telah dimanfaatkan oleh terdakwa dan perampasan dapat melalui jalur pidana atau jalur perdata.

17. Pasal 12i UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang merupakan hasil tindak pidana dan perampasan dapat melalui jalur pidana.

18. Pasal 12B UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang berasal dari gratifikasi tersebut dan perampasan dapat melalui jalur pidana.

19. Pasal 13 UUPTPK, maka yang dapat dirampas adalah uang atau barang yang merupakan hasil tindak pidana berupa suap dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui jalur pidana.

Dalam konteks jenis pidana, pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan. E. Utrecht mengenai perbedaan pidana tambahan tersebut dengan pidana pokok, berpandangan bahwa penjatuhan pidana uang pengganti bersifat fakultatif

(4)

Volume 2, No. 3, Agustus 2014 - 54 kendati penuntut umum mengajukannya

dalam tuntutannya (E. Utrecht, 2000:362-328).

Mengacu pada ketentuan-ketentuan Pasal 32, 33, 34 dan 38C UUPTPK, maka secara logika, gugatan perdata untuk pengembalian atas kerugian keuangan negara dilakukan apabila senyatanya telah timbul kerugian keuangan negara, ketika tidak cukup bukti adanya tindak pidana korupsi, tersangka meninggal dunia pada saat penyidikan, atau terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan sidang pengadilan dan masih terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk negara ketika putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.

METODEPENELITIAN

Dalam penulisan ini menggunakan penelitian preskreptif, yang menguraikansekaligus menganalisis tentang apakah perampasan asset dapat mengembalikan aset hasil korupsi danapakah gugatan perdata aset hasil korupsi dapat dipulihkan.Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif) karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

HASIL PENELITIAN

Gugatan Perdata Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Dapat Mengembalikan

Aset Hasil Korupsi

Gugatan perdata dilakukan bila pemeriksaan disidang pengadilan terdakwa meninggal dunia dan maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada jaksa pengacara negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya sesuai Pasal 34 UUPTPK, karena berdasarkan Pasal 77 KUHP menerangkan penuntutan pidana dalam perkara korupsi harus dihentikan jika koruptor meninggal dunia, akan tetapi menurut Pasal 34 UUPTPK ada kewajiban ahli waris untuk membayar kerugian keuangan negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik, gugatan perdata tersebut dilakukan berdasarkan hasil audit yang menerangkan nyata telah ada kerugian negara lalu dalam gugatan tersebut penggugat meminta agar majelis hakim menetapkan sita jaminan terhadap aset penggugat sebagai bentuk jaminan pemulihan keuangan negara (Rahmawati, Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Wawancara, April 2014).

Kenyatannya jalur pidana tidak cukup ampuh meredam atau mengurangi jumlah/terjadinya tindak pidana korupsi (Marwan Effendy, 2007:1).Kasus yang pernah dilakukan melalui instrumen gugatan perdata karena terdakwanya meninggal dunia yaitu gugatan terhadap terdakwa Yusuf Setiawan, dalam perkara korupsi terkait penyimpangan penggunaan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat tahun anggaran 2003 dan 2004.

(5)

55 - Volume 2, No. 3, Agustus 2014

Bahwa perkara tindak pidana korupsi atas nama tergugat Alm. Yusuf Setiawan yang telah disidangkan/diperiksa pokok perkaranya berdasarkan surat dakwaan nomor : 06/PID.B/TPK/2009/PN-JKT-PST, merupakan bagian yang tidak terpisahkan (splitan) dari perkara tindak pidana korupsi atas nama Drs.

Dany Setiawan, M.Si., Dkk yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) berdasarkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor:

05/Pid.B/TPK/2009/PN-JKT-PST tanggal 30 Juni 2009 yang salah satu amarnya berbunyi

“menyatakan terdakwa I, Drs. Dany Setiawan, M.Si., terdakwa II, Drs. Wahyu Kurnia, MBA dan terdakwa III, Drs. H. Ijuddin Budhayana, M.Si., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama- sama sebagai perbuatan pembarengan”.

Berdasarkan penetapan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor : 06/Pid.B/TPK/2009/PN-JKT-PST tanggal 27 Mei 2009 yang melandaskan pada Pasal 77 KUHP dinyatakan penuntutan perkara atas nama Alm Yusuf Setiawan gugur dan tidak dapat dilanjutkan demi hukum, karena yang bersangkutan telah meninggal dunia dalam tahap persidangan di pengadilan negeri tindak pidana korupsi.

Dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama tergugat Alm. Yusuf Setiawan telah terjadi kerugian negara secara nyata sebesar Rp.

44.595.065.247.00,- (empat puluh empat milyar lima ratus Sembilan puluh lima juta enam puluh lima ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).

Dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama tergugat Alm. Yusuf Setiawan telah disita sejumlah uang sebesar Rp. 16.187.271.000.00,- (enam belas milyar seratus delapan puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah), Pengembalian kerugian keuangan negara yang menjadi tanggung jawab ahli waris tergugat Alm.

Yusuf Setiawan Rp. 28.407.794.247.00,- (dua puluh delapan milyar empat ratus tujuh juta tujuh ratus sembilan puluh empat ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah), dari hasil perhitungan Rp.

44.595.065.247.00,-(empat puluh empat milyar lima ratus Sembilan puluh lima juta enam puluh lima ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah) dikurangi dengan jumlah barang bukti yang telah disita senilai Rp. 16.187.271.000.00,- (enam belas milyar seratus delapan puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah) (Muhammad Yusuf.

Op.Cit., 211).

Jaksa pengacara negara bertindak sebagai pembela (pengacara) untuk mengembalikan aset atau harta hasil korupsi dalam sidang pengadilan.

Pemerintah cukup membuktikan telah mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil dari ahli waris adalah hasil atau berhubungan dengan tindak pidana. (Mat Prang Yusuf, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara Kejati Aceh, Wawancara, Juni 2014).

Hambatan Yuridis Dalam Mengembalikan Aset HasilKorupsi

Hambatan yuridis dalam penanganan tindak pidana korupsi oleh penegakan hukum yaitu :

(6)

Volume 2, No. 3, Agustus 2014 - 56 1. Hukum acara perdata yang digunakan

sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata biasa yang menganut asas pembuktian formal.

Proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat. Beban pembuktian ada pada jaksa pengacara negara atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat, dalam hubungan ini penggugat berkewajiban membuktikan bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa atau terpidana dan adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.

2. Penanganan tindak pidana korupsi belum maksimal menyelamatkan asset hasil korupsi.

Bahwa untuk menimbulkan deterrence effect diperlukan upaya yang komprehensif supaya orang takut melakukan korupsi.

Penegakan hukum tindak pidana korupsi yang menggunakan pendekatan konvensional follow the suspect, ternyata belum efektif untuk menekan tingkat kejahatan tindak pidana korupsi, oleh karena itu perlu disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil kejahatan melalui instrumen pidana.

Dalam prakteknya apabila UUPTPK, dan Undang – undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, diterapkan secara maksimal maka penyelamatan

kerugian keuangan negara akan efektif, karena undang – undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang lebih pada follow the money dari pada follow the suspect (Adi Tyogunawan, Kasi Penyidikan pada Asisten Bidang Tindak Pidana Khusus Kejati Aceh, Banda Aceh, Wawancara, Maret 2014).

Apabila akses penyidik terhadap keberadaan aset itu terbatas maka akan berdampak terhadap minimnya aset yang dapat dirampas untuk negara dan juga perampasan aset dapat dilakukan setelah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, hal ini berarti bahwa perampasan aset sangat tergantung dari pembuktian kesalahan terdakwa dalam proses peradilan, yang tentunya setelah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Namun dalam praktek ditemui kendala yaitu penyitaan aset tersebut dilakukan oleh penyidik ketika proses penyidikan, namun apabila tersangka dilakukan penahanan maka pelacakan aset juga berbatas waktu penahanan.

Hal ini dikarenakan hasil pengecekan harta kekayaan milik tersangka diperoleh dengan membeli sebelum tersangka melakukan tindak pidana korupsi (Yovandi Yazid, Kasi Intelijen pada Kejari Banda Aceh, Wawancara, Maret 2014).

3. Upaya pengembalian kerugian negara belum optimal.

Penanganan perkara tindak pidana korupsi yang berdasarkan perintah undang-undang

(7)

57 - Volume 2, No. 3, Agustus 2014

harus diselesaikan dalam waktu yang secepat- cepatnya, sementara pemulihan kerugian keuangan negara / aset-aset hasil korupsi belum sepenuhnya dapat diamankan/disita pada tahap penyidikan atau tahap penuntutan dikarenakan kepandaian pelaku korupsi menyembunyikan aset tersebut baik dibawa/disimpan di luar negeri dan yang masih ada di dalam negeri dengan cara dipindahtangankan atau dengan cara mengatasnamakan orang lain (Ramelan, Op.Cit: 32).

Kejaksaan selalu dihadapkan dengan kendala sulitnya menagih pembayaran uang pengganti, hanya segelintir yang dapat memenuhi kewajibannya, selebihnya hampir tidak ada membayar dengan berbagai dalih misalnya tidak punya lagi uang atau aset, sikap terpidana yang tidak mau atau tidak mampu membayar uang pengganti dan terjadi aset koruptor yang disita tidak sebanding dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya

4. Proses pembuktian yang lama.

Dalam praktik peradilan selama ini, baik pidana dan perdata proses pembuktian dari mulai peradilan tingkat pertama sampai kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia membutuhkan waktu yang relatif lama. Menilik pada ketentuan acara pidana secara normal, setidaknya dibutuhkan waktu sekitar 400 hari untuk dapat merampas aset melalui sarana hukum pidana (criminal based forfeiture) sampai pada putusan memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) belum lagi

apabila terdakwa atau terpidana melakukan upaya hukum luar biasa yang meskipun tidak menghalangi eksekusi, tetapi kerapkali jaksa penuntut umum menunda sampai upaya hukum luar biasa itu telah diputuskan (Muhammad Yusuf, Op.Cit., hlm. 216).

Pemulihan keuangan negara secara perdata juga menjadi tidak berarti apabila harta kekayaan tergugat belum atau tidak pernah disita dalam proses pidana maka akan sulit bagi penggugat untuk melacaknya untuk dilakukan sita jaminan (consevatoir beslaag) karena besar kemungkinan harta kekayaan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi telah dipindahtangankan atau diatasnamakan orang lain.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa ketentuan perampasan aset melalui jalur pidana tidak dapat dilanjutkan prosesnya manakala tersangka/terdakwa meninggal dunia, karena itu, diperlukan suatu gugatan perdata terhadap ahli waris sebagai upaya pemulihan kerugian negara dimana sita jaminan dan perampasan aset hasil tindak pidana dan/atau instrumen yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dapat dirampas untuk negara dan Gugatan perdata belum mampu untuk pengembalian kerugian keuangan negara karena implementasinya gugatan perdata memunculkan problem karena didasarkan pada ketentuan- ketentuan mengenai gugatan perdata dalam hukum acara perdata.

(8)

Volume 2, No. 3, Agustus 2014 - 58 Saran

Disarankan kepada Pemerintah agar dilakukan reformasi peraturan perundang- undangan anti korupsi, karena gugatan perdata tidak selalu dapat diajukan dalam tindak pidana korupsi kecuali dalam kondisi tertentu dan gugatan perdata perlu ditempatkan sebagai upaya hukum yang utama disamping upaya secara pidana. Disarankan kepada aparat penegak hukum memiliki komitmen dan kesungguhan dari dalam menangani tindak pidana korupsi dengan mengimplementasikan UUPTPK dan Undang – undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diterapkan secara maksimal terutama dalam proses perampasan aset sehingga penyelamatan kerugian keuangan negara akan efektif.

DAFTAR KESPUSTAKAAN

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2012.

Ali Mahrus, Asas, Teori & Praktek Hukum Pidana Korupsi, UIIPress, Yogyakarta 2013.

Asnawi, M. Natsir, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, UIIPress, Yogyakarta 2013.

Eddy Mulyadi Supardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, Ceramah Ilmiah, FH Upakuan, Bogor 24 Januari 2009.

Hamdan, H.M. Alasan Penghapus Pidana, Refika Aditama, Medan 2012.

Harahap M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta 2000.

---,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan Edisi Kedua, Sinar Grafika,

Jakarta 2000.

---,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Hari Sasangka, Dkk, Hukum dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung 2002.

Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta 2009.

Komariah, Hukum Perdata, Ummpres, Malang 2001.

Marwan Effendy, Kapita Selekta Hukum Pidana, Perkembangan Dan Isu-isu Aktual Dalam Kejahatan Finansial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta 2011.

Martiman Prodjohadimidjo, Komentar atas KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), Pradnya Paramita, Jakarta 1990.

Muhammad Yusuf, Merampas Aset Koruptor, Kompas, Jakarta 2013.

---, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Indonesia, Badan penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2005.

Nasution, Bismar, Anti Pencucian Uang, Teori dan Praktek, Books Terrace &

Libray, Bandung 2009.

Pohan, Agustinus, dkk, Pengembalian Aset Kejahatan, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat), FH UGM bekerjasama dengan Kemitraan, Yogyakarta, 2008.

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, Alumni Bandung 2007.

Ramelan, Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta 2012.

Retnowulan Sutantio, Dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung 2002

Referensi

Dokumen terkait