• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Definisi daerah pantai Sumber: Triatmodjo (1999)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Definisi daerah pantai Sumber: Triatmodjo (1999)"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

DASAR TEORI

2.1 Definisi Pantai

Pantai adalah jalur yang merupakan batas antara darat dan laut, diukur pada saat pasang tertinggi dan surut terendah, dipengaruhi oleh fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah darat dibatasi oleh proses alami dan kegiatan manusia di lingkungan darat (Triatmodjo, 1999). Penjelasan mengenai definisi daerah pantai dapat dilihat dalam Gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1 Definisi daerah pantai

Sumber: Triatmodjo (1999)

1. Pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air laut.

2. Pantai adalah daerah di tepi perairan sebatas antara surut terendah dan pasang tertinggi.

3. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana posisinya tidak tetap dan dapat bergerak sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.

4. Sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukan bagi pengamanan dan pelestarian pantai.

5. Perarian pantai adalah daerah yang masih dipengaruhi aktivitas daratan.

Morfologi pantai dan dasar laut dekat pantai akibat pengaruh gelombang dibagi menjadi empat kelompok yang berurutan dari darat ke laut seperti pada Gambar 2.2 berikut:

(2)

7 Gambar 2.2 Definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai

Sumber: Triatmodjo (1999)

1. Backshore merupakan bagian dari pantai yang tidak terendam air laut kecuali bila terjadi gelombang badai.

2. Foreshore merupakan bagian pantai yang dibatasi oleh beach face atau muka pantai pada saat surut terendah hingga uprush pada saat air pasang tinggi.

3. Inshore merupakan daerah dimana terjadinya gelombang pecah, memanjang dari surut terendah sampai ke garis gelombang pecah.

4. Offshore yaitu bagian laut yang terjauh dari pantai (lepas pantai), yaitu daerah dari garis gelombang pecah ke arah laut.

2.2 Kondisi Pantai

Mengingat panjangnya daerah pantai di Indonesia dan sangat sensitif pemanfaatan untuk kegiatan manusia serta pengaruh gelombang, arus dan pasang surut yang terjadi secara terus menerus, mengakibatkan timbulnya masalah- masalah seperti erosi, pencemaran lingkungan, serta penurunan tanah dan intrusi air laut (Triatmodjo, 1999).

2.2.1 Erosi Pantai

Erosi pantai adalah proses mundurnya garis pantai dari kedudukan semula yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan antara pasok dan kapasitas angkutan sedimen. Erosi pantai dapat disebabkan faktor alam dan artifisial. Faktor alam didorong oleh hantaman gelombang laut yang terus menerus. Faktor artifisial dipicu oleh perbuatan manusia, yang secara tidak terkendali mengeksploitasi

(3)

8 kawasan pantai, misalkan membangun permukiman yang masuk dalam sempadan pantai, membangunan struktur pantai yang tidak memenuhi persyaratan teknis, merusak kawasan penyanggah (buffer zone) hutan bakau, dan lain-lain.

2.2.2 Mekanisme Penanganan Erosi

Terdapat dua mekanisme penanganan erosi yaitu secara alami dan buatan.

Adapun penanganan secara alami yang efektif (Yuwono, 1992) antara lain:

1. Penanganan secara alami

a. Pantai pasir berupa hamparan pasir yang dapat berfungsi sebagai penghancur energi gelombang yang efektif, serta bukit pasir yang merupakan cadangan pasir yang berfungsi sebagai tembok laut.

b. Pantai lumpur berupa perlindungan alamiah berupa tumbuhan pantai seperti pohon bakau, pohon api-api ataupun pohon nipah yang tumbuh pada pantai berlumpur berfungsi sebagai peredam energi gelombang.

c. Pantai karang berfungsi sebagai peredam energi yang cukup kuat, karena pantai karang umumnya memiliki kedalaman yang cukup curam.

2. Penanganan secara buatan

a. Memperkuat tebing pantai sehingga tahan terhadap gempuran gelombang dengan bangunan dinding laut (revetment)

b. Mengubah laju angkutan sedimen sejajar pantai dengan bangunan jetty dan groin/krib.

c. Meredam energi gelombang yang menuju pantai dengan bangunan pemecah gelombang (breakwater)

d. Mensuplai sedimen pada pantai yang mengalami erosi dengan cara sand by passing atau beach nourishment.

2.3 Analisis Arah Pergerakan Sedimen

Secara alami, ketika gelombang mengaduk sedimen, maka sedimen yang lebih halus akan terpisah dan terangkut atau tergeser searah dengan arah aliran sedimen, begitu seterusnya akan terjadi disetiap titik. Ini berarti butiran pasir akan makin halus searah dengan arah kecenderungan pergerakan sedimen (Balai Wilayah Sungai Bali-Pedina, 2011).

(4)

9 Ukuran butir adalah aspek yang paling mendasar dari partikel sedimen, yang mempengaruhi proses sedimentasi, transportasi dan pengendapan (Blott and Pye, 2001). Analisis ukuran butir memberikan petunjuk pada endapan sedimen, sejarah transportasi, dan kondisi pengendapan (Fold dan Ward, 1957; Friedman, 1979; Bui et al., 1990) dalam Blott and Pye (2001).

2.3.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel pasir pada titik yang mengalami perpindahan dominan adalah pada posisi MSL dan LWL (Balai Wilayah Sungai, 2011).

2.3.2 Analisis Saringan Agregat

Peralatan dan tahap analisis saringan agregat menurut SNI 03-1968-1990 (1990) sebagai berikut.

1. Peralatan

Peralatan yang digunakan sebagai berikut:

a. Timbangan dengan ketelitian 0,2% dari berat benda uji b. Satu set saringan

c. Oven, yang dilengkapi dengan pengatur suhu untuk memanasi sampai (110+5)oC

d. Alat pemisah seperti, mesin penguncang saringan, talam-talam, kuninan, sendok dan alatlat –lain

2. Benda uji

Benda uji diperoleh dari alat pemisah contoh atau cara perempat banyak: benda uji disiapkan berdasarkan standar yang berlaku dan terkait kecuali apabila butiran yang melalui sarngan No. 200 tidak perlu diketahui jumlahnya dan bila syarat-syarat ketelitian tidak dikehendaki pencucian SNI 03-1968-1990 (1990).

a. Agregat halus terdiri dari:

- Ukuran maksimum 4,76 mm; berat minimum 500 gram - Ukuran maksimum 2,38 mm; berat minimum 100 gram b. Agregat kasar teridiri dari:

- Ukuran maksimum 3,5”; berat maksimum 35,0 kg - Ukuran maksimum 3,0”; berat maksimum 30,0 kg - Ukuran maksimum 2,5”; berat maksimum 25,0 kg

(5)

10 - Ukuran maksimum 2,0”; berat maksimum 20,0 kg

- Ukuran maksimum 1,5”; berat maksimum 15,0 kg - Ukuran maksimum 1,0”; berat maksimum 10,0 kg - Ukuran maksimum 3/4”; berat maksimum 5,0 kg - Ukuran maksimum 1/2”; berat maksimum 2,5 kg - Ukuran maksimum 3/8”; berat maksimum 1,0 kg

c. Bila agregat berupa campuran dari agregat halus dan agregat kasar, agregat tersebut dipisahkan menjadi 2 bagian dengan saringan No.4; Selanjutnya agregat halus dan agregat kasar disediakan sebanyak jumlah seperti tercantum diatas

3. Cara pengujian

Urutan proses dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:

a. Benda uji dkeringkan dalam oven dengan suhu (110±5)o C, sampai berat tetap

b. Sering benda uji lewat susunan saringan dengan ukuran saringan paling besar ditempatkan paling atas. Saringan diguncang dengan tangan atau mesin pengguncang selama 15 menit

4. Perhitungan

Hitunglah persentase berat benda uji yang tertahan di atas masing-masing saringan terhadap berat total benda uji setelah disaring

2.4 Identifikasi Status Pantai

Ukuran butir sedimen merupakan salah satu metode yang digunakan untuk identifikasi proses terangkut dan terendapkan sedimen (Wisha. dkk, 2017) Untuk mengidentifikasi status erosi pantai digunakan grafik seperti pada Gambar 2.3.

Untuk mendapatkan nilai W (berat jatuh butiran) dicari dengan Persamaan 2.1 berikut.

w= [4 3.g.ds

CDs-γ γ ]

1/2

(2.1) Dimana: γs = berat jenis butiran

γ = berat jenis air g = gravitasi

(6)

11 w = berat jatuh butiran

ds = dimensi butiran CD = koefisien drag

Untuk mencari koefisien drag (CD) dipergunakan tabel seperti pada Gambar 2.3 berikut yang berdasarkan bentuk dari material.

Gambar 2.3 Koefisien drag

Sumber: Farhan (2012)

Gambar 2.4 Grafik identifikasi status pantai

Sumber: Balai Wilayah Sungai Bali Penida (2011)

(7)

12 2.5 Pemecah Gelombang Lepas Pantai

Pemecah gelombang lepas pantai adalah bangunan pelindung pantai yang tempatnya sejajar garis pantai dan tidak menempel ke pantai (Sulaiman, 2017).

Bangunan pemecah gelombang lepas pantai dapat dibangun bercelah atau dibuat satu bangunan pemecah gelombang. Pembangunan pemecah gelombang akan menyebabkan pelenturan (difraksi) gelombang yang menyebabkan terjadinya pengendapan pasir di belakang bangunan yang disebut salient (Gambar 2.3a) dan tombolo (Gambar 2.3b). Salient terjadi akibat panjang pemecah gelombang relatif kecil terhadap jaraknya dari garis pantai sedangkan tombolo terjadi akibat panjang pemecah gelombang cukup panjang terhadap jaraknya dari garis pantai.

Gambar 2.5 Salient dan tombolo

Sumber: Triatmodjo (1999)

Struktur pemecah gelombang lepas pantai, ditinjau dari elevasinya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori (Sulaiman, 2017) yaitu:

1. Pemecah gelombang konvensional adalah pemecah gelombang yang selalu di atas muka air pada semua kondisi pasang surut, dengan puncak strukturnya berada di atas muka air tinggi. Jenis pemecah gelombang konvensional disebut juga sebagai pemecah gelombang non-overtopping yang pada kondisi normal tidak mengalami overtopping (Gambar 2.5a)

2. Pemecah gelombang ambang rendah (Gambar 2.5b) atau low crested breakwater (selanjutnya disebut PEGAR) jarak ambang (Rc) bisa negatif maupun positif.

(8)

13 3. Pemecah gelombang tenggelam (Gambar 2.4c) didefinisikan sebagai struktur tenggelam dengan jarak ambang (Rc) negatif yang tidak menyebabkan gelombang pecah dan lapisan lindungnya tidak mengalami langsung hantaman gelombang pecah (Pascual dkk., 2007).

Gambar 2.6 Tipe pemecah gelombang

Sumber: Sulaiman (2017)

2.6 Topografi dan Bathimetri

2.6.1 Topografi

Topografi adalah studi tentang bentuk permukaan bumi dan objek lain seperti planet, satelit alami (bulan dan sebagainya) dan asteroid. Topografi umumnya menyuguhkan relief permukaan, model tiga dimensi, dan identitas jenis lahan. Relief adalah bentuk permukaan suatu lahan yang dikelompokkan atau ditentukan berdasarkan perbedaan ketinggian (amplitude) dari permukaan bumi

(9)

14 (bidang datar) suatu bentuk bentang lahan (landform). Sedang topografi secara kualitatif adalah bentang lahan (landform) dan secara kuantitatif dinyatakan dalam satuan kelas lereng (% atau derajat), arah lereng, panjang lereng dan bentuk lereng.

Menurut Haspriyaldi (2006), peta topografi diperlukan untuk:

1. Menghubungkan antara prasarana atau fasilitas yang terdapat di lahan perencanaan dengan prasarana atau fasilitas yang terdapat di daratan induk.

2. Untuk menganalisis pengaruh perencanaan terhadap tata air yang terdapat di daratan induk, misalnya peningkatan potensi banjir dan gangguan terhadap drainase perkotaan.

2.6.2 Bathimetri

Batimetri adalah ilmu yang mempelajari kedalaman di bawah air dan studi tentang tiga dimensi lantai samudra atau danau. Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontor (contour lines) yang disebut kontor kedalaman (depth contours atau isobath) dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan (Balai Pantai, 2014).

Untuk keperluan perencanaan pemecah gelombang, sangat diperlukan peta batimetri dan topografi. Menurut Haspriyaldi (2006), peta batimetri diperlukan untuk:

1. Menentukan volume material yang akan dipergunakan pada saat perencanaan.

2. Menentukan deformasi gelombang dalam rangka menentukan tinggi gelombang rencana.

3. Menentukan tata letak (lay out) bangunan pelindung.

4. Menentukan volume bangunan pelindung pantai.

2.7 Data Angin

Data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang adalah data di permukaan laut pada lokasi pembangkitan. Data tersebut dapat diperoleh dari pengukuran langsung diatas permukaan laut atau pengukuran di darat di dekat lokasi peramalan yang kemudian dikonversi menjadi data angin di laut. Kecepatan angin diukur dengan anemometer dan biasanya dinyatakan dalam knot. Satu knot adalah panjang satu menit garis bujur melalui katulistiwa yang ditempuh dalam satu jam, atau 1 knot = 1,852 km/jam = 0,5 m/d. Untuk keperluan peramalan gelombang

(10)

15 biasanya dipergunakan kecepatan angin pada ketinggian 10 m. Apabila kecepatan tidak diukur pada ketinggian tersebut maka kecepatan angin perlu dikoreksi dengan rumus (Triatmodjo, 1999):

U(10) = U(y)(10 y )

1 7

(2.2) Dimana: U(10) = kecepatan angin pada ketinggian 10 m

y = tinggi pengukuran sebelumnya

2.7.1 Konversi Kecepatan Angin

Apabila data angin yang dimiliki adalah data angin yang pengukurannya di darat, maka perlu dilakukan konversi untuk mendapatkan data angin di laut. Faktor koreksi dilambangkan dengan RL, yang nilainya seperti pada Gambar 2.6 berikut:

RL = UW⁄UL (2.3)

Dimana: RL = koreksi terhadap pencatatan angin yang dilakukan di darat UW = kecepatan angin di laut

UL = kecepatan angin di darat

Grafik RL = UW⁄UL dapat dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.7 Grafik hubungan antara kecepatan angin di laut dan darat

Sumber: Triatmodjo (1999)

(11)

16 Setelah dilakukan berbagai konversi kecepatan angin seperti yang dijelaskan di atas, kecepatan angin dikonversikan pada faktor tegangan angin (UA) dengan menggunakan rumus berikut :

UA=0,71.U1,23 (2.4)

Dimana: UA = koreksi tegangan angin U = kecepatan angin dalam m/d

2.8 Fetch

Fetch adalah panjang daerah dimana angin berhembus dengan kecepatan dan arah yang konstan. Di dalam peninjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh daratan yang mengelilingi. Di daerah pembangkitan gelombang, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin, tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin (Triatmodjo, 1999). Cara menghitung fetch efektif adalah sebagai berikut:

Feff= ∑Xi. cos α

cos α (2.5)

Dimana: Feff = fetch rerata efektif

Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch

= deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan penambahan 6sampai sudut sebesar 42pada kedua sisi dari arah angin

(12)

17 Gambar 2.8 Fetch

Sumber: Yuwono (1992)

2.9 Gelombang

Gelombang atau ombak timbul jika keseimbangan permukaan air berubah.

Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain gerakan kapal, gempa bumi, letusan gunung berapi di laut dan hembusan angin. Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang tergantung pada gaya pembangkitnya.

Gelombang tersebut adalah gelombang angin yang dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut, gelombang pasang surut dibangkitkan oleh gaya tarik benda- benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi, gelombang tsunami terjadi karena letusan gunung berapi atau gempa di laut, gelombang yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak(Triatmodjo, 1999). Gelombang dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :

1. Gelombang pendek (wave of short period) adalah gelombang dengan periode kurang dari 5 menit. Gelombang pendek sering dikenal dengan ombak dan dapat diakibatkan oleh angin, gempa dan gerakan kapal.

(13)

18 2. Gelombang panjang (long wave) adalah gelombang dengan periode beberapa jam. Gelombang panjang sering dikenal dengan pasang surut yang terjadi akibat gaya tarik menarik antara bumi dengan benda-benda ruang angkasa terutama bulan dan matahari.

Faktor yang mempengaruhi gelombang adalah angin. Angin yang berhembus di atas permukaan air akan memindahkan energinya ke air. Kecepatan angin akan menimbulkan tegangan pada permukaan laut, sehingga permukaan air yang semula tenang akan terganggu dan timbul riak gelombang kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak tersebut menjadi semakin besar dan apabila angin berhembus terus akhirnya akan terbentuk gelombang.

Daerah dimana gelombang dibentuk disebut daerah pembangkitan/pembentukkan gelombang (wave generating area).

Gelombang yang terjadi di daerah pembentukkan gelombang disebut gelombang sea, sedangkan gelombang yang terbentuk tersebut setelah menjalar keluar daerah pembentukkan disebut gelombang swell. Karakteristik gelombang sea adalah gelombang yang diperkuat oleh angin. Gelombang mempunyai bentuk seperti gunung dengan puncak tajam, dengan panjang gelombang berkisar antara 10 (sepuluh) sampai dengan 20 (dua puluh) kali tinggi gelombang. Karakteristik gelombang swell adalah gelombang merupakan gelombang bebas, gelombang mempunyai bentuk lebih reguler, dengan panjang gelombang berkisar antara 30 (tiga puluh) sampai dengan 500 (lima ratus) kali tinggi gelombang (Yuwono, 1992).

2.9.1 Gelombang Signitifikan

Berdasarkan data faktor tegangan angin (UA), panjang fetch (Feff), dan durasi maka dapat dilakukan peramalan gelombang dengan menggunakan grafik peramalan gelombang sehingga didapat tinggi dan periode gelombang signifikan.

(14)

19 Gambar 2.9 Grafik peramalan gelombang

Sumber: Yuwono (1992)

Dalam menentukan tinggi gelombang signifikan (Hs) dan periode gelombang signifikan (Ts), digunakan analisis spektrum gelombang Pierson dan Moskowits yang diturunkan berdasarkan kondisi FDS (Fully Develoved Sea).

Dengan menentukan kecepatan angin rata-rata diatas permukaan laut, untuk menentukan tinggi gelombang signifikan dan periode gelombang signifikan, dapat digunakan rumus sabagai berikut:

HS=

0,0016 (√gFeff UA2)UA2 g

(2.6)

HS=

0,2857 (√g.Feff UA2)

1 3

UA g

(2.7)

Dimana: Hs = tinggi gelombang signitifikan (m) Ts = periode gelombang signitifikan (dt) UA = kecepatan angin terkoreksi (m/dt) g = gravitasi (m/dt2)

(15)

20 2.9.2 Perkiraan Gelombang dengan Periode Ulang

Frekuensi gelombang-gelombang besar merupakan faktor yang mempengaruhi perencanaan bangunan pantai. Untuk menetapkan gelombang dengan periode ulang tertentu dibutuhkan data gelombang dalam jangka waktu pengukuran cukup panjang (beberapa tahun). Data tersebut bisa berupa data pengukuran gelombang atau data gelombang hasil prediksi (peramalan) berdasarkan data angin. Dari setiap pencatatan tinggi dan periode gelombang dapat ditetapkan gelombang representatif seperti pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Pedoman pemilihan jenis gelombang dan kala ulang gelombang

No. Jenis Bangunan Jenis Gelombang

1 2 3

Konstruksi Fleksibel (fleksible structure) Konstruksi Semi Kaku (semi rigid structure) Konstruksi Kaku (fixed rigid structure)

Hs H0,1-H0,01

H0,1-Hmax

Sumber: Yuwono (1992)

Tabel 2.2 Koefisien untuk menghitung deviasi standar

Distribusi α1 α2 k e ε

Fisher tippet type I Weibull (k=0,75) Weibull (k=1,00) Weibull (k=1,40) Weibull (k=2,00)

0,64 1,65 1,92 2,05 2,24

9,00 11,40 11,40 11,40 11,40

0,93 -0,63 0,00 0,69 1,34

0,00 0,00 0,30 0,40 0,50

1,33 1,15 0,90 0,72 0,54 Sumber: Triatmodjo (1999)

Berdasarkan data representatif untuk beberapa tahun pengamatan dapat diperkirakan gelombang yang diharapkan disamai atau dilampaui satu kali dalam T tahun. Gelombang tersebut dikenal dengan gelombang periode ulang T tahun.

Peramalan gelombang menggunakan metode distribusi yaitu:

1. Fisher tippet type I P(Hs Hsm) = 1- m-0,44

Nt+0,12 (2.8)

Ym =-ln{-ln P(Hs Hsm)} (2.9)

(16)

21 σHS=√Σ(Hsm-Ĥsm)2

N-1 (2.10)

Hsr=Â .Yr+B (2.11)

 =n(ΣHsm.Ym)-(ΣHsm.ΣYm)

n.ΣYm2-(ΣYm)2 (2.12)

B̂=Ĥsm-Â .Ŷm (2.13)

α=α1eα2N-1,3+k√-lnv (2.14)

Yr =-ln {-ln (1- 1

L . Tr)} (2.15)

σnr= 1

√N[1+α(yr-c+e ln v)2]1/2 (2.16)

σr=σnr.σHs (2.17)

r= n(ΣHsm.Ym)-(ΣHsm.ΣYm)

√n.ΣHsm2-(ΣHsm)2. √n.ΣYm2-(ΣYm)2 (2.18)

Dimana: P(HsHsm)= probalitas dari tinggi gelombang representatif ke m yang tidak dilampaui

Hsm = tinggi gelombang urutan ke m

m = nomor urut tinggi gelombang signitifikan k = parameter bentuk (Tabel 2.3)

NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan (bisa lebih besar dari gelombang representatif)

Hsr = tinggi gelombang signitifikan dengan periode ulang Tr

Tr = periode ulang (tahun) K = panjang data (tahun)

L = rerata jumlah kejadian per tahun = NT

K

(17)

22 r = koefisien korelasi

2. Metode Weibull

P(Hs Hsm) = 1-

m-0,2-0,27

√k Nt+0,12+0,23

√k

(2.19)

Yr = {-ln(LTr)}1k (2.20)

L =Nt

K (2.21)

Dimana:P(HsHsm)= probalitas dari tinggi gelombang representatif ke m yang tidak dilampaui

Hsm = tinggi gelombang urutan ke m

m = nomor urut tinggi gelombang signitifikan

NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan (bisa lebih besar dari gelombang representatif)

Hsr = tinggi gelombang signitifikan dengan periode ulang Tr

Tr = periode ulang (tahun) K = panjang data (tahun)

L = rerata jumlah kejadian per tahun = NT

K

2.9.3 Panjang dan Cepat Rambat Gelombang di Laut Dalam

Gelombang merambat dari laut dalam ke laut dangkal. Selama penjalaran terjadi perubahan-perubahan atau transformasi pada gelombang. Penyebab utama terjadinya transformasi adalah variasi kedalaman di perairan dangkal dan penghalang seperti struktur di perairan. Transformasi akan menyebabkan perubahan pada kecepatan rambat (C), tinggi gelombang (H), dan arah gelombang, sedang periode gelombang (T) tetap. Transformasi ini menentukan tinggi gelombang dan pola (bentuk) garis puncak gelombang di pantai. Tinggi gelombang dan arah datangnya gelombang di pantai akan menentukan arus dan transpor sedimen di daerah pantai. Tipe transformasi yaitu pendangkalan (shoaling),

(18)

23 gelombang pecah (breaking), refraksi (refraction), difraksi (diffraction). Dalam hal ini yang paling dominan dalam perencanaan bangunan pengaman pantai yaitu:

refraksi (refraction), gelombang pecah (breaking).

1. Klasifikasi gelombang berdasarkan kedalaman

Menurut Triadmodjo (1999), berdasarakan kedalaman relative yaitu perbandingan kedalaman air (d), panjang gelombang L (d/L) gelombang dapat dibedakana menjadi tiga macam yaitu:

a. Gelombang laut dangkal jika d/L  1/20 b. Gelombang laut transisi jika 1/20 < d/L < 0,5 c. Gelombang laut dalam jika d/L  1/20

Klasifikasi ini digunakan untuk menyederhanakan rumus-rumus gelombang.

Sehingga untuk menentukan panjang dan cepat rambat gelombang di laut memakai persamaan:

1. Apabila kedalaman relatif d/L  1/20, sehingga menjadi:

C=√g.d (2.22)

L=√g.d.T (2.23)

2. Apabila kedalaman relatif 1/20 < d/L < 0,5, sehingga menjadi:

C=g.T

tanh2πd

L (2.24)

L=g.T2

tanh2πd L

(2.25)

3. Apabila kedalaman relatif d/L  1/20, sehingga menjadi:

Lo=1,56.T2 (2.26)

Co= Lo⁄T=g.T

(2.27)

Dimana: Lo = panjang gelombang di laut dalam (m) T = periode gelombang (dt)

Co = cepat rambat gelombang (m/dt)

(19)

24 g = gravitasi (m/dt2)

d = kedalaman (m)

2.9.4 Refraksi Gelombang

Refraksi gelombang adalah merupakan pembelokan arah gelombang yang menyesuaikan kontur kedalaman yang disebabkan oleh perubahan kecepatan rambat gelombang. Refraksi dapat menentukan tinggi gelombang di suatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang. Refraksi mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tinggi dan arah gelombang serta distribusi energi gelombang di sepanjang pantai (Triatmodjo, 1999). Koefisien refraksi gelombang adalah:

Dimana pada hukum Snell berlaku apabila ditinjau gelombang di laut dalam dan di suatu titik yang ditinjau yaitu:

Kr=√cos αo

cos α (2.28)

sin α = (C

Co) sin αo (2.29)

Dimana: Kr = koefisien refraksi

= sudut antara garis puncak gelombang dengan kontur dasar dimana gelombang melintas

= sudut sama yang diukur saat garis puncak gelombang melintasi kontur dasar berikutnya

C = kecepatan rambat gelombang

C = kecepatan rambat gelombang di laut dalam

2.9.5 Pendangkalan Gelombang (wave shoaling)

Wave shoaling terjadi dikarenakan adanya pengaruh perubahan kedalaman dasar laut. Wave shoaling mempunyai fungsi yang sama dengan refraksi gelombang yaitu untuk menentukan tinggi gelombang di suatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang (Triatmodjo, 1999).

(20)

25 KS=√n.Lo

n.L (2.30)

Dimana: Ks = koefisien shoaling L = panjang gelombang

Lo = panjang gelombang di laut dalam

2.9.6 Gelombang Laut Dangkal

Tinggi gelombang di laut dangkal terjadi akibat pengaruh refraksi gelombang dan wave shoaling, diberikan oleh rumus berikut:

H= KS.Kr.Ho (2.31)

Dimana: H = tinggi gelombang di kedalaman tertentu Ks = koefisien shoaling

Kr = koefisien refraksi

Ho = tinggi gelombang laut dalam

Gambar 2.10 Difraksi gelombang di belakang rintangan

Sumber: Triatmodjo (1999)

2.9.7 Gelombang Pecah

Gelombang pecah yang terjadi di laut dalam dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang HO/LO = 1/7 = 0,142. Kemiringan yang lebih tajam dari batas maksimum tersebut

(21)

26 menyebabkan kecepatan partikel di puncak gelombang lebih besar dari kecepatan rambat gelombang sehingga terjadi ketidakstabilan dan gelombang pecah.

Gelombang pecah terjadi pada saat gelombang mendekati pantai. Menurut Triatmodjo (1999), gelombang pecah dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

1. Spilling

Spilling biasanya terjadi apabila gelombang dengan kemiringan kecil menuju ke pantai yang datar (kemiringan kecil). Gelombang mulai pecah pada jarak yang cukup jauh dari pantai dan pecahnya terjadi secara berangsur-angsur.

Buih terjadi pada puncak gelombang selama mengalami pecah dan meninggalkan suatu lapis tipis buih pada jarak yang cukup jauh.

2. Plunging

Apabila kemiringan gelombang dan dasar bertambah, gelombang akan pecah dan puncak gelombang akan memutar dengan massa air pada puncak gelombang akan terjun ke depan. Energi gelombang pecah dihancurkan dalam turbulensi, sebagian kecil dipantulkan pantai ke laut, dan tidak banyak gelombang baru terjadi pada air yang lebih dangkal.

3. Surging

Surging terjadi pada pantai dengan kemiringan yang sangat besar seperti yang terjadi pada pantai berkarang. Daerah gelombang pecah sangat sempit, dan sebagian besar energi dipantulkan kembali ke laut dalam. Gelombang pecah tipe surging ini mirip dengan plunging, tetapi sebelum puncaknya terjun, dasar gelombang sudah pecah.

Gambar 2.11 Proses gelombang pecah

Sumber: Triatmodjo (1999)

(22)

27 Gelombang yang bergerak menuju ke laut dangkal, kemiringan batas tersebut tergantung pada kedalaman relatif d/L dan kemiringan dasar laut m. Untuk menghitung tinggi gelombang pecah dapat menggunakan grafik hubungan antara Hb/Ho dan Ho/gT2 pada Gambar 2.14 dan untuk menghitung kedalaman gelombang dapat menggunakan grafik hubungan antara db/Hb dan Hb/gT2 pada Gambar 2.11 atau memakai persamaan sebagai berikut:

H'0=Kr.H (2.32)

Hb

H'0= 1

3,33(H'0/L0)1/3

(2.33)

db

Hb= 1

b-(a. Hb⁄g.T2)

(2.34)

Dimana: Hb = gelombang pecah (m) g = gravitasi (m/dt2) T = periode (dt)

a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m

a=43,75(1-e-19m) (2.35)

b= 1,56 (1+e19,5m)

(2.36)

Gambar 2.12 Grafik hubungan antara Hb/H’o dan H’o/gT2

Sumber: Triatmodjo (1999)

(23)

28 Gambar 2.13 Grafik hubungan antara db/Hb dan Hb/gT2

Sumber: Triatmodjo (1999)

Kedalaman gelombang pecah diperlukan untuk mengetahui kondisi gelombang di lokasi bangunan. Gaya gelombang yang ditimbulkan oleh gelombang tidak pecah dan pecah adalah sangat berbeda.

2.10 Elevasi Muka Air Laut Rencana

Elevasi muka air laut rencana merupakan parameter sangat penting dalam perencanaan bangunan pantai. Elevasi tersebut merupakan penjumlahan beberapa parameter, yaitu: pasang surut, tsunami, wave setup dan pemanasan global. Dalam perencanaan ini parameter tsunami tidak dipakai karena kejadian tsunami belum tentu bersamaan dengan gelombang badai. Gempa yang menyebabkan terjadinya tsunami bisa terjadi pada saat cuaca cerah. Sehingga penggabungan tsunami, wave setup, wind setup, dan pasang surut adalah kecil kemungkinan terjadi.

Sementara itu pasang surut mempunyai periode 12 atau 24 jam, yang berarti dalam satu hari bisa terjadi satu atau dua kali air pasang. Kemungkinan terjadi air pasang dan gelombang besar adalah sangat besar. Dengan demikian pasang surut merupakan faktor terpenting di dalam menentukan elevasi muka air laut rencana tanpa memperhitungkan tsunami (Triatmodjo, 1999).

(24)

29 Gambar 2.14 Elevasi muka air laut rencana

Sumber: Triatmodjo (1999)

2.10.2 Pasang Surut

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda- benda langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan muka air terendah (surut) sangat penting untuk perencanaan bangunan pantai (Triatmodjo, 1999).

Data pasang surut didapatkan dari pengukuran selama minimal 15 hari. Dari data tersebut dibuat grafik sehingga didapat HHWL (Highest High Water Level), MHWL (Mean High Water Level), LLWL (Lowest Low Water Level), dan MSL (Mean Sea Level). Beberapa definisi elevasi muka air laut yaitu:

1. Mean High Water Level (muka air tinggi rerata) adalah rerata dari muka air tinggi.

2. Mean Low Water Level (muka air rendah rerata) adalah rerata dari muka air rendah.

3. Mean Sea Level (muka air laut rerata) adalah muka air rerata antara muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata.

4. Highest High Water Level (muka air tinggi tertinggi) adalah air tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.

5. Lowest Low Water Level (muka air rendah terendah) adalah air terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.

(25)

30 2.10.3 Pemanasan Global

Efek rumah kaca menyebabkan bumi panas sehingga dapat dihuni kehidupan. Disebut efek rumah kaca karena kemiripannya dengan apa yang terjadi dalam sebuah rumah kaca ketika matahari bersinar. Sinar matahari yang masuk melalui atap dan dinding kaca menghangatkan ruangan di dalam sehingga suhu menjadi lebih tinggi dari pada di luar. Hal ini disebabkan kaca menghambat sebagian panas untuk keluar. Dengan kata lain rumah kaca berfungsi sebagai perangkap panas.

Peningkatan suhu bumi tersebut dapat menimbulkan dampak bagi kehidupan. Suhu bumi yang lebih tinggi dan penguapan lebih besar mengakibatkan curah hujan cendrung meningkat sehingga dapat mengakibatkan banjir. Dampak lainnya adalah peningkatan tinggi permukaan air laut yang di sebabkan oleh permukaan air laut dan mencairnya gunung-gunung es di kutub. Kenaikan permukaan laut akan menyebabkan mundurnya garis pantai sehingga menggusur daerah pemukiman dan mengancam daerah perkotaan yang rendah, membanjiri lahan produktif dan mencemari persediaan air tawar. Untuk merencanakan bangunan pantai, kenaikan muka air laut akibat pemanasan global ini harus diperhitungkan berdasarkan grafik pada Gambar 2.12 (Triatmodjo, 1999).

Gambar 2.15 Perkiraan kenaikan muka air laut karena pemanasan global

Sumber: Triatmodjo (1999)

(26)

31 2.10.4 Tinggi Muka Air Rencana

Tinggi muka air rencana (design water level) yang selanjutnya di singkat DWL adalah penjumlahan dari beberapa parameter yaitu: pasang surut, stunami, wave setup, wind setup, dan kenaikan air karena perubahan suhu global namun pada perencanaan ini parameter tsunami tidak diperhitungkan.

DWL= LWL + SLR + Wave Setup (2.37)

Dimana:DWL = tinggi muka air rencana (m)

SLR = kenaikan muka air laut akibat pemanasan global (sea level rise) LWL = tinggi muka air laut terendah (low water level)

2.11 Material Geotekstil

Geotekstil adalah lembaran sintesis teranyam (woven), tidak teranyam (non- woven), dan geotekstil komposit. Menurut Sulaiman (2017), selain dari struktur anyamannya, ke-3 jenis geotekstil tersebut mempunyai karakteristik yang sedikit berbeda. Berikut ini pada Gambar 2.16 adalah jenis material geotekstil woven (a), geoteksil non woven (b), dan geotekstil komposit (c).

(a) (b) (c) Gambar 2.16 Jenis material geotekstil

Sumber: Haryanto (2014)

1. Geotekstil non-woven

Geotekstil non-woven mempunyai kemampuan menahan tusukan dari benda- benda tajam serta kemampuan filtrasi yang lebih baik dibandingkan dengan material geotekstil woven, namun mempunyai kemampuan tarik yang relatif rendah.

(27)

32 2. Geotekstil woven

Geotekstil woven mempunyai kemampuan tarik yang tinggi dengan tingkat kemuluran yang relatif rendah, namun kemampuan menahan tusukan dan kemampuan filtrasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan geotekstil non-woven.

3. Geotekstil komposit

Geotekstil komposit merupakan perpaduan keunggulan dari geotekstil woven dan geotekstil non-woven, sehingga geotekstil komposit mempunyai kemampuan tarik yang tinggi dengan tingkat kemuluran yang rendah, kemampuan menahan tusukan yang tinggi serta kemampuan filtrasi yang baik.

2.11.2 Fungsi Material Geotekstil

Menurut Sulaiman (2017), terdapat 5 fungsi yang dimiliki oleh material geotekstil yaitu:

1. Separasi yaitu material geotekstil harus mampu mencegak terjadinya kontaminasi antara material timbunan pilihan dan tanah dasar yang lunak, sehingga properti material timbunan terjaga dengan baik.

2. Filtrasi yaitu geotekstil akan mampu mengalirkan air tanpa membawa butiran- butiran halus tanah yang ada di belakang struktur utama sehinggi stabilitas dari struktur utama tetap terjaga dengan baik.

3. Perkuatan yaitu geotekstil dengan kuat tarik tertentu dan tingkat kemuluran yang relatif rendah mempunyai kemampuan untuk memikul beban tarik yang timbul akibat beban kerja di atasnya.

4. Pembungkus yaitu material geotekstil akan mampu menjaga material yang diisi ke dalamnya agar tidak terbuang keluar baik akibat tekanan di dalam dan di luar sistem maupun akibat hal lain seperti aliran air dan lain sebagainya.

5. Proteksi yaitu material geotekstil dengan ketebalan tertentu dan ketahanan terhadap tusukan yang baik digunakan untuk mencegah kerusakan pada material konstruksi lain.

2.12 Geotube

Berdasarkan fungsinya jenis geotekstil yang digunakan untuk penyusun bangunan PEGAR adalah geotekstil yang fungsinya sebagai pembungkus.

(28)

33 Pembungkus geotekstil dikenal dengan nama geotube. Menurut Sulaiman (2012), penggunaan geotekstil memberikan beberapa keuntungan yaitu:

1. Material geotekstil seperti geotube atau geotextile sand container tersedia di pasaran dengan berbagai ukuran

2. Material geotekstil relatif ringan yang memugkinkan ongkos angkut kelokasi relatif murah

3. Material pengisi seperti pasir diperoleh di lokasi proyek 4. Respon terhadap gelombang fleksibel

5. Dapat dipasang dengan menggunakan tenaga lokal tanpa memerlukan keahlian khusus

2.12.1 Spesifikasi Geotube

Material geotekstil yang digunakan sebagai bahan pembuat karung geotekstil harus memenuhi ketentuan berikut:

1. Material pembungkus yang digunakan adalah geotekstil, woven, non-woven, dan komposit

2. Material isian PEGAR harus disesuaikan dengan spesifikasi geotekstil, baik woven maupun non-woven terkait dengan kemapuan geotekstil dalam meloloskan material isian, sehingga dapat dipastikan bahwa material isian tidak lolos

3. Mempunyai kuat tarik yang tinggi yang dapat menahan gaya pada saat proses pengisian karung dan tekanan setelah karung terisi

4. Mempunyai ukuran bukaan (AOS ≤ d50) dan permeabilitas yang optimum agar air dapat dengan cepat keluar, tapi tidak membawa material isian ikut keluar 5. Jenis polimer yang digunakan untuk membuat seratnya tidak secara khusus

ditentukan, namun berdasarkan proses produksi yang ada saat pedoman ini disusun, geotekstil yang tersedia biasanya terbuat dari polyster (PET) atau polypropylene (PP)

6. Mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap abrasi, sehingga geoteksil tidak banyak terdegradasi akibat pengaruh material pengisi yang mengikis geotekstil karena pengaruh gelombang

(29)

34 7. Tidak mudah sobek terhadap benturan benda-benda yang ada di laut yang

sifatnya keras seperti batu, kerikil, atau sampah

8. Mempunyai ketahanan terhadap benturan benda tajam dan keras, seperti tertabrak kapal atau sampah-sampah yan tajam

9. Geotekstil yang digunakan harus telah melalui pengujian dengan metode uji yang ditunjukan Tabel 2.3 berikut

Tabel 2.3 Parameter geotekstil untuk PEGAR

Parameter Metode Uji Unit

Berat per area (mass per unit area) ASTM D5261 ENISO9864

g/m2

Tebal (thickness) ASTM D5199

ENISO9863-1

Mm

Kuat tarik (tensile strength) ASTM D 4595-11 ISO 10319:2008 RSNI M-05-2005

kN/m

Kemuluran (elongation) SNI 8056:2014 (ASTM D 6241) ISO 12236:2006

%

Kuat tusuk (puncture) SNI 8056:2014 (ASTM D 6241) ISO 12236:2006

kN

Kuat jahitan (seam) ASTM D 4884/D4884M-14a ISO 10321:2008

RSNI M-03-2005

Kfibrasi N/m

Ukuran baukaan yang tampak (AOS)

ASTM D4751-12 ISO 12956

Mm

Laju aliran air (flow rate) ASTM D4491/D4491M-15 ISO 11058:2010

SNI 08-4334-1996

Liter/menit/m2

Ketahanan abrasi ASTM D 4886-10

ISO 13427:2014

%

Ketahanan UV ASTM D 4355/D4355M-14

ASTM D 5970/D5970M-16

%

Sumber: Pedoman Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil (2016)

Spesifikasi teknis karung geotekstil woven, non-woven, dan komposit harus disesuaikan dengan kebutuhan gaya-gaya yang bekerja, dan harus memenuhi syarat minimum seperti pada Tabel 2.4, Tabel 2.5, dan Tabel 2.6 berikut ini.

(30)

35 Tabel 2.4 Spesifikasi untuk geotekstil woven

Properti Unit

Kuat tarik (tensile strength) Min: MD 175 kN/M; CD 200 kN/m Kemuluran (elongation) Max: MD 15%; CD 5%

Kuat sobek trapezoidal (tear) Min: 2,7 kN x 2,6 kN Kuat tusuk (puncture) Min: 1,8 kN

Kuat jahitan (seam) Min: 60% dari kuat tarik Ukurang bukaan yang tampak (AOS) Max: 0,45 mm, ≤ d50

Laju aliran air (flow rate) Min: 240 liter/menit/m2 Sumber: Pedoman Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil (2016)

Tabel 2.5 Spesifikasi untuk geotekstil non-woven

Properti Unit

Tinggi (height) Antara : 1 m s/d 1,5 m

Kuat tarik (tensile strength) Min: MD 70 kN/M; CD 95 kN/m Berat per area (mass per unit area) Min: 1,150 g/m2

Tebal (thickness) Min: 7,5 mm

Kemuluran (elongation) Max: MD 20%; CD 20%

Kuat tusuk (puncture) Min: 1,2 kN

Kuat jahitan (seam) Min: 60% dari kuat tarik Ukurang bukaan yang tampak (AOS) Max: 0,425 mm, ≤ d50

Laju aliran air (flow rate) Min: 240 liter/menit/m2 Sumber: Pedoman Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil (2016)

Tabel 2.6 Spesifikasi geotekstil komposit

Properti Unit

Tinggi (height) Antara : 1 m s/d 1,5 m

Kuat tarik (tensile strength) Min: MD 65 kN/M; CD 55 kN/m Kemuluran (elongation) Max: MD 75%; CD 90%

Kuat tusuk (puncture) Min: 11 kN

Kuat jahitan (seam) Min: 80% dari kuat tarik Ukurang bukaan yang tampak (AOS) Max: 0,45 mm

Ketahanan abrasi Min: 80% dari kuat tarik Laju aliran air (flow rate) Min: 1200 liter/menit/m2

Ketahanan UV Min: 90% dari kuat tark

Sumber: Pedoman Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil (2016)

(31)

36 2.12.2 Material Pengisi

Material yang gunakan untuk mengisi geotube adalah pasir. Menurut Pedoman Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil (2016) persyaratan material pengisi diuraikan sebagai berikut.

1. Material yang digunakan untuk mengisi karung geotekstil bisa terdiri dari, pasir yang masuk dikeruk dari tempat pengambilan sesuai gambar kerja proyek 2. Material pengisi tidak boleh mengandung butiran halus (lolos saringan no.200)

lebih dari 15 persen untuk meminimalkan penurunan struktur setelah pengisian 3. Material pengisi tidak boleh mengandung material organik, sampah, dan batu

dengan diameter lebih dari 2cm

4. Volume material pasir pengisi geotekstil kurang lebih 70% sampai dengan 80%

dari luas lingkaran

2.12.3 Dimensi Geotube

Dimensi geotube dipengaruhi oleh persentase fill factor (Ff) yang digunakan. Berikut adalah gambaran dimensi geotube

Gambar 2.17 Penampang geotube

Sumber: Pedoman Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil (2016)

Keterangan:

H = Tinggi PEGAR Lp = Keliling PEGAR

(32)

37 B = Lebar bidang kontak PEGAR dengan dasar

W = Lebar PEGAR O = Titik guling

Rc = Posisi ambang terhadap muka air

roh = jarak dari titik pusat gaya horizontal ke titik guling rov = jarak dari titik pusat gaya vertikal ke titik guling

Perbandingan antara tinggi (H) geotube dengan lebar (W) geotube dipengaruhi oleh faktor pengisian (fill factor, Ff) pada pengisian geotube. Jika pengisian sempura atau 100%, maka geotube yang terbentuk akan berbentuk lingkaran hingga nilai H dan W adalah sama. Jika faktor pengisian dikurangi, misalnya 90% dari volume total, maka nilai H akan turun, namun nilai W naik (Paotonan, 2012). Menurut Pilarczyk (2011), perkiraan nilai H, W, dan B berdasarkan fill factor dapat di tentukan dengan grafik influen of fill-grade pada Gambar 2.16 berikut.

Gambar 2.18 Grafik influence of fill-grade

Sumber: Pilarczyk (2011)

(33)

38 2.13 Perletakan PEGAR

2.13.1 Tata Letak PEGAR

PEGAR diletakkan pada lokasi membuat posisi elevasi puncak PEGAR hanya pada ketinggian yang dibatasi pada kriteria perencanaan PEGAR. Jarak Pegar dari garis pantai didapat dengan membandingkan kedalaman dimana PEGAR berada dengan kemiringan pantai (Sulaiman, 2017) dengan persamaan berikut.

x= (H + Rc)cot∅ (2.38)

Dimana: x = jarak PEGAR dari garis pantai H = tinggi PEGAR

∅ = kemiringan pantai Rc = jarak ambang 2.13.2 Dampak Perletakan PEGAR

Perletakan PEGAR akan merubah morfologi pantai di belakangnya dengan membentuk salient atau tombolo. PEGAR direncanakan untuk membentuk tombolo atau salient dengan memperhitungkan jarak PEGAR dari garis pantai, panjang PEGAR, dan jarak celah bila PEGAR dipasang lebih dari satu (Sulaiman, 2017).

1. Tombolo terbentuk bila:

Ls

x >1-1,5

1-Kt (2.39)

2. Salient terbentuk bila:

Ls x < 1

1-Kt (2.40)

3. Bila terdapat banyak PEGAR, salient terbentuk bila:

x.G

Ls2>0,5(1-Kt) (2.41)

4. Lebar celah disyaratkan sebagai berikut:

L≤G≤0,8LS (2.42)

Dengan:

(34)

39 Kt= (aw-RC

aw+d)

13

(2.43)

Dimana: Ls = panjang PEGAR

L = panjang gelombang di lokasi PEGAR

Kt = koefisien transmisi gelombang (diambil 0,4 - 0,6 saat MHWL) G = lebar celah

g = percepatan gravitasi

aw = amplitudo gelombang desain di lokasi PEGAR Rc = posisi ambang terhadap muka air

d = adalah kedalaman air di depan PEGAR dari MHWL x = jarak PEGAR dari garis pantai

2.14 Stabilitas PEGAR

Menurut Sulaiman (2017), untuk mengetahui stabilitas pondasi perlu diketahui daya dukung batas (qult) tanah. Perhitungan daya dukung tanah bagi struktur PEGAR yang hanya diletakkan pada permukaan dasar laut.Untuk kondisi tanah berbutir (tidak berkohesi C=0), berdasarkan studi kasus hasil penelitian, penempatan PEGAR diletakkan langsung pada permukaan dasar laut D=0, sehingga diperoleh:

qult=1

2γ'BNγ (2.44)

Untuk kondisi tanah kohesif (tanah lanau/lumpur =0), faktor daya dukung Nq= 1 N= 1, sehingga diperoleh persamaan:

qult=cNc (2.45)

Stabilitas pondasi PEGAR per satuan panjang dicapai bila:

SF= qult (WPEGAR-FB

A )

=2-3 (2.46)

dengan :

FBwH.B (2.47)

(35)

40 Dimana:' = berat jenis efektif

B = lebar kontak PEGAR dengan dasar

Nc

N = faktor daya dukung pondasi c = nilai kohesi tanah

WPEGAR = berat PEGAR

FB = gaya apung PEGAR

H = tinggi PEGAR

A = luas telapak PEGAR

2.14.1 Stabilitas Geser

Beban hidrodinamis dianalisis menggunakan persamaan Hiroi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Pw=1,5.γsw.HS (2.48)

Ph=Pw.HGT (2.49)

SFgeser=Fh

Ph=Pv. tan δ +Ca.B

Pw.HGT ≥1,5 (2.50)

Dimana: SW = berat volume air laut (10,3 kN/m3) GT = berat volume geotekstil (kN/m3) HS = tinggi gelombang signitifikan (m) PW = beban hidrodinamis (kN/m2) Ph = beban horizontal (kN/m) HGT = tinggi geotekstil tube (m) A = luas area geotekstil tube (m2) PV = tekanan overburden (kN/m)

' = sudut friksi antara geotekstil tube dan dasar (o) Ca = kohesi antara tanah dasar dengan PEGAR (kN/m2) tan = friksi antara geotekstil tube dan dasar (o)

(36)

41 2.14.2 Stabilitas Guling

Guling adalah pergerakan struktur PEGAR secara rotasi akibat gelombang pada titik rotasinya. Titik rotasi PEGAR berada pada kaki PEGAR terujung yang kontak dengan tanah. Perhitungan stabilitas guling ditampilkan sebagai berikut:

Momen yang menahan (M.penahan)= 0,5.B'.Pv (2.51) Momen yang menggulingkan (M.guling)= 0,5.Pw.HGT (2.52)

FSguling=M.penahan M.guling

(2.53)

2.15 Gelombang Transmisi

Menurut Fatnanta (2013) pada Teknik pantai, karakter peredaman gelombang pada struktur pemecah gelombang ditulis dalam bentuk perbandingan antara tinggi gelombang transmisi dan tinggi gelombang dating. Perbandingan kedua tinggi gelombang ini disebut dengan koefisien transmisi gelombang, dirumuskan dalam persamaan berikut.

Kt=Ht

Hi (2.54)

Dimana: Kt = koefisien transmisi Hi = gelombang dating Ht = gelombang transmisi

2.16 Rencana Anggaran Biaya (RAB)

Adapun cara perhitungan rencana anggaran biaya pelaksanaan adalah jumlah dari masing-masing hasil perkalian antara volume pekerjaan dengan harga satuan yang bersangkutan. Perhitungan rencan anggaran biaya dapat diroperoleh dengan rumus (ilmutekniksipil, 2012) berikut:

RAB= ∑(VolumeHSP) (2.55)

Dimana: RAB = rencana anggaran biaya HSP = harga satuan pekerjaan

(37)

42 Berikut ini adalah langkah-langkah untuk menghitung rencana anggaran biaya (RAB) menurut (Nain, 2013) adalah sebagai berikut:

1. Membuat item pekerjaan dan menghitung volume pekerjaan 2. Membuat daftar harga satuan upah dan bahan

3. Membuat analisa pekerjaan per item pekerjaan 4. Membuat rencana anggaran biaya

2.17 Penelitian Terkait

Adapun beberapa penelitian yang berkaitan dengan perencanaan pemecah gelombang ambang rendah berbahan geotube sebagai berikut.

1. Sulaiman (2012) meneliti tentang rehabilitasi pantai dengan pemecah gelombang ambang rendah berbahan geotube di pantai Tanjung Kait, Tanggerang. Hasil dari penelitian ini adalah setelah enam bulan pemasangan bangunan, profil pantai baru di belakang struktur maju sekitar 6-10 m dan volume pasir yang terendapkan dalam bentuk lahan timbul sekitar 4000 m3.

2. Suhendra, Saputra, dan Kodrat (2012) meneliti tentang aplikasi geotube sebagai konstruksi alternative penanggulangan erosi akibat gelombang pasang bono. Hasil analisis dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan system geotube memberikan hasil yang memuaskan dan dapat diandalkan sebagai konstruksi alternative penanggulangan permasalahan erosi.

3. Widhianto, Kharisma, Suharyanto, dan Hardiyati (2014) mengkaji struktur pengaman pantai Sigandu. Hasil Berdasarkan kajian pemilihan struktur pengaman yang dinilai dari beberapa aspek pada petani Sigandu, maka terpilihlah struktur pemecah gelombang ambang rendah (PEGAR) berbahan geotube.

Gambar

Gambar 2.1  Definisi daerah pantai
Gambar 2.4 Grafik identifikasi status pantai
Gambar 2.5  Salient dan tombolo
Gambar 2.6  Tipe pemecah gelombang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun dalam kendala upaya pelaksanaan diversi pada tingkat penyidikan di Polres Sukabumi yang berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Hasil dari penelitian ini yang didapat adalah bahwa Gereja Setan bukanlah sebuah gereja pada umumnya, melainkan sebuah sekte yang mereka namakan sebuah gereja dan itu

Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB, Bogor.. Biskuit, Crackers, dan Cookies Pengenalan Tentang; Aspek Bahan Baku, Teknologi,

Daripada kenyataan inilah terbentuknya beberapa puak yang lebih kurang sama fahamannya mengkafirkan sahabat, sebahagiannya mengkafirkan golongan sahabat yang berada di pihak

Namun oknum yang melakukan pelanggran tidak dapat dijerat dengan undang-undang yang berlaku karena dalam media masa yang besifat social global sulit mendeteksi oknum yang

didominasi oleh wisman berkebangsaan Singapura dengan persentase sebesar 46,68 persen, disusul Tiongkok 10,41 persen, Malaysia 10,22 persen, India 5,57 persen dan

Sebagai seorang mahasiswa muslim, mereka harus memiliki pandangan dunia yang mencerminan keyakinannya sebagai muslim tetapi tetap bisa berdialog dengan berbagai