vol
xllt
(21,2005
J,Lvv,
=.;(gijOIIJl
.PErllji:\ilgui
ANALISIS PERMINTAAN UANG KUASI di INDINESIA
PRIODE 1983-2005 : PENDEKATAN ERROR CORRECTION M'ODEL (ECM.}
Oleh : Dhani Agung Darmawan
RESTRUKTURISASI BADAN USAHA I.IIINLIK NEGARA {BUMN} DALAI,I pERSpEKTlF EKON.Offi - pOLtTtK
PEMBANGUNAN : RENTANGAN ANTARA KEBIJAKAN
NASIONALIS dan
KEBIJ^
:
D r LE MA u rAN G LUAR
I_E_G_E
l!
! NpgN Es 1+p4!lM
PEREKONOMIAN NASIONAL Oleh : Sukarna W dan Mamun S
DAMPAK KELANGKMN PUPUK TERHADAP KINERJA
EKONOMI PETANI : KASUS SUMATERA UTARA DAN
JAVIIA BARAT
Oleh : Mohamad Maulana dan Ketut Kariyasa
CHINA'S MEMBERSHIP IN WTO AND ITS IMPLICATION
ON THE ECONOMY
By : Maxensius Tri Sambodo
MANFAAT SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA
TERPADU (SL-PHT} PERKEBUNAN RAKYAT
.l'i;:t-i$;l..,:.. ili
',5tlb
.A44-Een&i r,ii.iar,W)it ..tI4)Ao0s,
{;
I
:,
&
$,
1
_t l} il
1}
Restrukturisasi
Badan
Usaha
Milik
Negara (BUMN)
Dalam
Perspektif Ekonomi'Politik
Pembangunan:
Rentangan
Antara
Kebijakan Nasionalisdan
KebijakanNeoliberales
ingaCrisis
1997I
I
I
I I
l
f2)
I
I
i
Oleh: Leo Agustino'
Pbndahuluan
Dalamsejarahperekonomianlndonesia,BadanUsaha
Milik
Negara
(selanjutnyadisebut BUMN)
sudah
mengalamibeberapa kali restrukturisasi. Pertama, di awal pemerintahan
orde
Baru
1966-1968.Kedua
dan
ketiga, masing-masing dibawahpeme-rintahan yang sama pada pertengahan periode 1986-990;
dan
menjelangakhir
pemerintahanrezim pada
tahun
1998.Restruk-turisasi BUMN bahkan terjadi pada masa kepemimpinan
B.J. Habibie, Abudrrahman
wahid,
Megawati soekarnoputri, dansusilo
Bambang Yudhoyonosekarang
ini.
sekalipun
berbedadalam masa
di
mana restrukturisasi dilakukan,isu
sentral yangmenjadifokus tetaplah sama, yakni: di satu sisi ada kinerja BUMN
yang
buruk,dan
di
sisi yang lain ada
pelbagaitekanan
padaperekonomian negara
yang
menuntut perubahan atapun penye-suaian dengan iklim internasional. Dengan perannya yang begitu besar dalam perekonomian lndonesia, kinerja BUMN akan sangat berpengaruh terhadap perekonomiannasional.
Karena itu, tidak mengherankanjika
kemudian restrukturisasi BUMN merupakanpaket
tidak
terpisahkan
dari
penataan
kembali
kebijakan perekonomian negara..
Mengajar di FlslP universitas sultan Ageng TirtaYasa, serang, Banten'rssN. o854-526X
gst
k
@
rssN.0854-526X rssN. o854-526X-.#,,
Jaflraltkonanidane@uan"(tP),ru(OS005
Sudah
lama
BUMN mendapat dukunganyang kuat
daripemerintah,
baik
secara ekonomi maupun
politis.
Secaraekonomi, BUMN
mendapat dukungansubsidi
dan
partisipasimodal
pemerintahyang
tidak
sedikit, selain
juga
berbagaikemudahan
dan
fasilitas
yang
diberikan
secara
cuma-cuma.Sementara
secara politis
keberadaanBUMN
sering
dikatikandengan UUD 1945 Pasal
331.
Sampai paling tidak paruh keduatahun
1990-an dukungandari
pemerintahmasih
terasa
kuat,sehingga
BUMNdi
lndonesiamasih
menguasai sektor-sektor strategis perekonomian nasional, seperti: telekomunikasi, minyakdan gas, perkebunan dan kehutanan, serta perbankan. Selain itu, pemerintah juga masih menjadi pemilik penuh
BUMN.
Kenyataanini bukanlah suatu kebetulan, karena sesungguhnya
ada
kondisi-kondisi kultural-ideologis maupun ekonomi-politis
yang
memben-tuk keberadaan BUMN semacam
ini.
Kondisi-kondisiini
menjadifaktor
strukturalyang sangat
menentukanarah
dan
sifat
darirestrukturisasiyang dijalankan selama ini di lndonesia.
Namun berbagai keharusan yang timbul akibat penataan
kembali perekonomian negara selama lebih
dari
sepuluh tahunterakhir, apalagi
belakanganini,
telah
memaksa
pemerintahmengubah orientasi kebijakannya
kepada BUMN.
Orientasikebijakan yang dikembangkan kemudian lebih menuntut
keman-dirian BUMN, mendorong BUMN untuk menjalankan privatisasi,
dan bahkan menjadikan hasil penjualan beberapa BUMN tertentu untuk dapaUmampu membayar utang luar negeri pemerintah yang
mahabanyak. Tidaklah mudah membawa BUMN bergerak kearah
ini. Berbagai kendala, seperti resistensi dari BUMN
dan
birokrasi1 l?l'cabang-cabang produksi vang penting bagi Negara dan vang menguasal hajat hidup orang banvak rtllur!ai oleh negara.
tlt'luml dan air dan l(el(avaan alam vang terkandung di dalamnva dl kuasai oleh Negara dan dlDAr0unakan untuk Sebesar-besarnva kemakmuran rakvat.'
./iI4n4IHti.ii56tp.#ri
iibdiit,|W;W (4 20CI5pemerintah serta kondisi pasar yang tidak kondusif, menghambat
proses
restrukturisasiyang
dilakukan.Akibatnya
tidak
sedikittarget-target restrukturisasi BUMN
yang tidak tercapai.
Bahkandalam konteks penataan kembali perekonomian lndonesia seperti sekarang ini, gagalnya target-target restrukturisasi BUMN sangat
berpengaruh
langsung terhadap defisit anggaran
pemerintah.Dengan demikian,
berpengaruh
pula
terhadap
percepatanpemulihan perkonomian nasional.
Mengingat aktualitasnya,
maka
makalah
ini
sengajadifokuskan kepada isu restrukturisasi BUMN tersebut, khususnya
dalam
perspektif
ekonomi-politik pembangunandi
lndonesia.Perhatian
akan
diberikanpada
interaksi berbagaiaspek
padatingkat mikro
dan
makroyang
mempengaruhi restrukturisasi ini,terutama sebelum terjadinya
krisis ekonomi pada tahun
1997-1998; beberapa kondisi
yang
diperlukan
untuk
keberhasilanrestrukturisasi,
dan
kendala-kendala
yang
harus
ditangani'Makalah ini akan diakhiri dengan pembahasan kemungkinan masa
depan BUMN yang telah direstrukturisasi dalam konteks negara
tanpa tapal batas seperti saat
ini.
lsu yang akan diangkat adalahapakah
kecenderungandari
restrukturisasidengan
mengarahpada pengurangan kepemilikan pemerintah dalam BUMN berarti
juga
akan
mengecilkansecara bertahap peran BUMN
dalampercepatan perbaikan perekonomian nasional
dalam
jangkapanjang?
Dan dengan demikian, apakah juga berarti hal ini akanmenguatkan
peran
swasta
besar
(multinational
companies<MNC's>
dan/atau transnational companies<TNC's>)
dipihak,l$$iiirl'.rrii-,,i,is,rir,Liii
litll#iWi;H#ikjJ.s#d,
id
tllW,.{AfiadEPeran dan Posisi BUMN dalam Perekonomian lndonesia
Dalam perekonomian lndonesia pascakemerdekaan, peran
dan
posisi BUMN sangatlahstrategis.
Hal
ini
dapat
mungkinterjadi
oleh
karena sebagian
kenyataan menunjukkan masih lemahnya perusahaan-perusahaanswasta.
Di awal kemerdekaanpraktis hampir tidak ada perusahaan swasta milik orang lndonesia asli yang memiliki modal yang kuat dan didukung oleh manajemen
modern yang diperlukan guna berkiprah secara signifikan dalam perekonomian nasional (Muhaimin,
1991:31-40).
Yang ada justruswasta-swasta
besar yang dimiliki oleh Belanda, lnggris,
danAmerika Serikat,
serta
swastaskala
mezzoyang dimiliki
olehwarga
Negara lndonesia keturunan Tionghoa.Dalam
suasanasentimen
nasionalisme pascakemerdekaanyang
begitu
kuatdikalangan
para
pengambil keputusan kebijakanditingkat
elitepolitik,
sementarapada
tataran empiris, kekuatanekonomi
riilnasional masih dikuasai pihak asing, maka tidak mengherankan
apabila
kemudian
BUMN
dipilih
sebagai
pelaku
ekonomiavangarde yang diharapkan dapat menandingi kekuatan ekononti (asing) tersebut. Karena itu, secara ekonomi-politik BUMN menjadi "Benteng Pribumi" (Mas'oed, 1989; Muhaimin, 1991).
Posisi BUMN menjadi semakin menjadi penting waktu itu
terlebih setelah kegagalan "Program Benteng"2
yang
berupayauntuk
menumbuhkembangkan pengusaha-pengusaha swastapribumi
dengankuat.
Programyang semula dirancang
untukmemperbaiki struktur ekonomi yang
de facfo
masih kolonial itugagal
karena lemahnya birokrasidalam
melaksanakanpenga-2 Elaborasi yang mendalam dan luas dapat dibaca dalam Yahya A. Muhaimin. 199'1. Bisnls dan Poliilk
Kebljaksanaan Ekonoml lndonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES serta Hal Hill (ed.). '1994. lndonesia's New
order: tne Dvnamics of soclo-economic Transformation. sydney: Allen & unwin.
lt.!5tllWi|,
l,:p-
iiA,W,We) zooiwasan program
di
lapangan,
disatu pihak,
dan
kurangnya konsistensi penguasa pribumi sendiri dilain pihak.Lisensi
impor dan
fasilitasseperti kredit yang
diberikankepada warganegara lndonesia (pribumi)
yang
merupakan komponen dari paket "Program Benteng" dijual kembali pada para pengusaha Tionghoa, sehingga akibatnya tidak tercapainya target70
persendari
modalyang
diwajibkan dimilikioleh
pengusahapribumi.
Jadi
yang
muncul kemudian bukan
lagi
pengusahapribumi
yang kuat, tapi bentuk
usahayang disebut
"Baba-Ali" (kebalikandari
"Ali-Baba").Di
mana bentuk usaha
ini
hanyasecara nominal saja menyebutkan pengusaha pribumi "membuat
dan
memanfaatkan" lisensi-lisensidan
fasilitas-fasilitas yangdiberikan
pemerintah,
namun
pada
kenyataannya
statuskepemilikan tetap berada pada pengusaha Tionghoa keturuanan.
Dengan demikian
dalam format
"Ali-Baba" pengusaha pribumilebih
berperan
pada
tataran politik,
yakni
membuka
danmendapatkan
akses
terhadap
sumberdaya
ekonomi
yang ditawarkan oleh negara.Dengan kegagalan Program Benteng
itu,
pemerintahmengambil
prakarsa untuk
membentuk usaha-usahabesar
disektor-sektor
yang
strategis
waktu
itu,
termasuk
didalamnya:semen, pupuk, alumunium, kertas,
dan
sejenisnya. Begitu juga untuk sektor-sektor non-strategis, seperti tekstilmisalnya.
Namunyang disebut terakhir sifatnya
sementara,selama
belum
ada pengusaha swastayang
mampu,kelak
secara bertahap ketikatelah ada pengusaha swasta yang mampu, maka harus dialihkan
pada pihak swasta,
koperasi,ataupun
kerjasamapemerintah-swasta. Jadi kebijakan yang berorientasi pada swastanisasi BUMN
yang berkembang dipenghujung tahun 1980-an sebetulnya pikiran
"$fij1;r,-.,,j11i
1
."CI-A,Fdasarnya sudah ada sejak tahun 1950-an. Dengan demikian, tidak
ada alasan yang cukup kuat untuk mempertahankan sektor-sektor
yang tidak strategis tersebut ditangan pemerintah sebagaimana
yang diutarakan oleh beberapa kalangan dimedio dan akhrr tahun
1 990-an.
Namun, karena situasi politik yang tidak stabil sepanjang
yahun 1950-1957, terutama akibat
jatuh dan
bangunnya kabinetyang terlalu singkat, prakarsa tadi tidak bisa direalisasikan secara
optimai.
Sebagai akibatnya, hanya berhasil dibentuk beberapaBUMN
dalam sektor seperti: sodium
dan
semen
(termasukdiantaranya PT. Semen
Gresik).
Akibat lebihjauh dari
keadaantersebut,
adalah: struktur ekonomi kolonial
tidak
banyakmengalami perubahan. Berbagai
sektor
strategis,
seperti:pelayaran, perdagangan,
dan
perbankanmasih dikuasai
olehperusahaan-perusahaan
milik
Belanda. Misalnyadalam
perda-gangan
ada "the
Big
Five"
perusahanBelanda,
diantaranya:Borneo-Sumatra Maastschappij (Borsumij),
Jacobson
van
denBerg, Geo Wehry, Lindeteves NV.,
dan lnternatios.
Begitu jugadalarn sektor pelayaran antarpulau
di
lndonesiamasih
hampirdimonopoli oleh perusahaan milik Belanda Koninktije Faketvaart
frl\ii {W.pl.A}4. Perusahaan neiayaran nasionai (Feirii) heiurn rilampu
ters:irl!l
:en,;an
KPf',4" Farf,:sis; lain,
p*rusahaar:-1:erusahaann-,:ii'ri '1-ir:ngh.sa ketui-i-rnan han:pir tidak rrr*Ealanii per"ui:ahan dari
posisi
sernu!e. Bahxandalanr sektor
keagenantungga!
isole 3 Tiga perusarraan pertama muncul di indonesia pada pertengahan t(edua Abad ke-,l9. rnternatio 5emul3 djdirjkan dj Belanda uliiuk menyetenggarakatl perDenken komersit di tnoonesia, tapl ialnengalami kesulitan selama krigis gula pada awal 1880-an, karena itu, kemudian direorganisasi sebagai
sebuah perusahaan clagang. aeo wehry oan Borsumij melakukan investasi di bidang perkeDunan, perdagangan, manufaktur, dan pertambangan. Lindeteves masuk di lndonesia sebagai perusahaan importir teknis (permesinan) setetah perang Dunia t.
4 Perusahaan inl didiril(an pada 1888 oleh sebuan konsorsium perusahaan-perusanaan Belanda yang
drketuai oleh Nedertandsce HanderMaatschappt delam rangka merebut penguasaan atas petavaran
antarpulau dari kapal-kapal lnggris dan Cina yang melintasi witayah tndonesia dari Singapura dan Mslavsla (Penang).
ISSN. O854-526X rssN o854-526X
Jutaal Ekonomi dan Pemfu.ngunaa gEP,m Q) 2OO5
agency)
merekajustru yang
mengambilalih posisi-posisi yangsemula dikuasai
dan
kemudian ditinggalkanoleh
perusahaan-perusahaan Belanda.
Gagal
terbentuknya
BUMN
yang
diharapkan
bisamenandingi
perusahaan-perusahaanBelanda,
apalagi
bisamerombak
struktur ekonomi kolonial semakin
meningkatkansentimen Anti-Asing dan Anti-Tionghoa ("Anti-Cina")
di
lndonesia.Sentimen tersebut untungnya
tidak
sampai pecah kedalam aksiagresif
dan
destruktifyang
menganggu kepentinganasing
danTionghoa keturunan selama pemerintahan Demokrasi Parlementer
di
lndonesia, karena sikap moderat yang masih ditunjukkan oleh hampir kebanyakan anggota kabinet waktu itu. Namun ketika sikapanti-asing, khususnya
Barat
(Belanda, lnggris,
dan
AmerikaSerikat) ditunjukkan
oleh
(Presiden) Soekarnolewat
ajarannyayang dikemas pada masa Demokrasi Terpimpin sentimen tersebut tidak bisa lagi terkendali. Misalnya dalam perekonomian, ekonomi
terpimpin mengajarkan
bahwa
negara termasuk
didalamnya BUMN, harus mengambil peran sentral dan mesti menjadi leading,imperialisme
harus
diruntuhkandan
modalasing harus
tunduk pada tujuan-tujuan nasional, serta perlunya ekonomi industri yangmandiri
(Muhaimin,
1991:
41-45).
Lebih lanjut ajaran
inimendorong kebijakan-kebijakan yang mengarah pada
"lndonesia-isasi"
dan
"lndegenousisasi".Karena
itu
kemudian
dengandirangsang
oleh
kegagalan diplomatik lndonesiadi
PBB
padatahun 1957 berkait dengan
penyelesaianlrian
Barat
(Papua).Sentimen asing tersebut menjadi nasionalisasi
atas
perusahaan-perusahaan milik Belanda dan dalam perkembangan selanjutnyanasionalisasi
ini
juga
mencakup
perusahaan-perusahaan'
"" ' Iunal tkoibni dan rentuttgunanfip)
m
f2) ZooSdan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1958 seluruh perusahaan
milik Belanda yang dinasionalisasi statusnya menjadi Perusahaan Negara (PN).
Pascanasionalisasi
seluruh perusahaan
milik
Belandamengalami perubahan mendadak
yang
sangat massif
dalamperekonomian
nasional.
Akibat nasionalisasiitu,
lebihdari
600perusahaan milik Belanda berubah menjadi perusahaan negara
(dalam hal ini
BUMN).
Pangsa pemilik perkebunan meningkat 90persen
serta
diperkirakan60
persen
perdaganganluar
negeriberpindahtangan pada pengusaha pribumi setelah
menasionali-sasi "fhe Big Five" trading
housemilik
Belanda. Sektor-sektorindustri
modern
juga
memperoleh tambahan
246
pabrik.Kemudian nasionalisasi bank-bank milik Belanda juga menambah
25 persen pinjaman
bank.
Dampak nasionalisasi di sisi lain ialahbisnis milik
Tionghoayang tersebar
di
kecamatan-kecamatanbahkan hingga desa-desa
di
seluruh lndonesiajuga
dihentikanlewat Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1960. Dengan lebih dari
600
BUMN baru yang tersebar diberbagai sektor strategis dannonstrategis perekonomian lndonesia
mulai
meningkat secararadikal; dan dengan demikian BUMN sebagai "Benteng Pribumi"
dalam
menghadapi perusahaanasing, terutama lnggris
danAmerika Serikat yang tidak
di
nasionalisasi pada tahun tersebutbetul-betul benruujud (khususnya dalam artian penguasaan aset). Penguasaan atas aset yang begitu besar oleh pemerintah
tidak diimbangi dengan manajemen aset yang
baik.
Selama limatahun
menjelangakhir
Pemerintahan DemokrasiTerpimpin
ditahun 1965 BUMN mengalami kerugian terus menerus. Akibatnya formasi kapital untuk investasi tidak bisa
berjalan.
Kenyataan inimenimbulkan
akibat
lebih buruk
lagi
yakni produksi
dibawahrssN. o854-526X rssN. o854-526X
,
junal Ekonomi dan rcmfongunan IED, Xm e) ZOO|kapasitas.
Sektor BUMN perkebunanyang
menjadisalah
satuandalan pendapatan pemerintah tidak bisa memberikan kontribusi
yang
berarti karena mengalami kerugianyang luar
bisa.
padatataran
lain,
utang
luar
negeri
semakin membengkak
dankewajiban cicilan atas utang juga telah jatuh
tempo.
sementara ituterjadi pembengkakan pengeluaran pemerintah untuk pembelian peralatan militer. Akibatnya, secara keseluruhan terjadi inflasi yang
mencapai
650
persen,yang
kemudian mendorong indeks biayahidup tinggi
di
tahun 1965
(Mos'oed,198g;
Muhaimin, 1gg1).Kondisi ekonomi semacam
ini
diperparahdengan
kekacauanpolitik
yang
kemudian
mengakhiri pemerintahan
presiden Soekarno, yang sekaligusjuga
menunjukkan kegagalan programSoekarno dalam mendorong BUMN menjadi salah satu instrumen untuk menandingi kekuatan ekonomi asing.
Naiknya pemerintah pengganti,
Orde Baru, pada
tahun1966
membawawarna
perubahan kebijakanterhadap
badan-badan usaha miliki Negara (BUMN) yang pada awalnya memang
cukup
signifikan.
Melalui
kesepakatandengan
lnternational Monetary Fund (IMF) lewat "Kebijakan Stabilitas Ekonomi" yangmencakup tindakan perbaikan pungutan
pajak,
bantuan
daninvestasi
asing,
penerapan anggaran berimbang,
pembaruanmoneter,
dan
liberalismeekonomi (Mas'oed, 19g9;
Muhaimin,1991;
Hill,
1994,
Emmerson,
2OO1).Liberalisme
ekonomidilakukan khususnya
dalam
rangka melakukan deefafisme dandekontrol pemerintah
atas
BUMN.Hal ini
dilakukanoleh
karenaIMF meminta pemerintah lndonesia untuk menghentikan subsidi
kepada BUMN,
mengembalikan perusahaanasing yang
telahdinasionalisasi (misalnya: Unilever, Anker, Bir Bintang, dll.), serta
kepada pemilik
semula.
Bila hal ini tidak dituruti, maka programbantuan
guna
pemulihan ekonomi-politikdi
lndonesia
melalui Kebijakan Stabilitas Ekonomi tidak akan dilangsungkan. Selain itu,yang diharapkan juga oleh IMF ialah pengurangan campur tangan
pemerintah lewat rasionalisasi dan pemberian otonomi yang luas pada manajemen perusahaan negara (BUMN). Dan, pelaksanaan penyiutan jumlah BUMN dari kurang lebih 600 BUMN menjadi 223 badan usaha.
Namun arah yang semula diusung oleh pemerintah Orde
Baru pada
BUMN kearah
rasionalisasi, otonomisasi,
dan komersialisasi kemudian berubah pada paruh pertama dan keduatahun
1970-an sebagai akibat melonjaknyaharga
minyak yangmencapai 1.354 persen
pada
tahunfiskal
1974175dan
2.484persen pada tahun fiskal 1976177. Pendapatan minyak yang diluar
dugaan akibat
dari
kenaikan harga
menghentikan kebijakanpemerintah yang berupaya mendorong pada penyehatan BUMN lebih jauh5. Misalnya, tidak semua BUMN dikonversikan kedalam
salah satu dari tiga alternatif status hukum yang ditetapkan dalam
lnstruksi Presiden No. 17 tahun 1967, yaitu: Perusahaan Jawatan
(Perjan), Perusahaan Umum (Perum), atau Perusahaan Terbatas
(PT).
Beberapa BUMN ditahandengan status tetap
sebagaiPerusahaan Negara
(PN).
Bahkan tidak sedikit BUMN besar danstrategis seperti Pertamina diberi status khusus
dan
diatur olehperaturan
tersendiri.
Pada tataran kebijakanyang
lebih makro,booming
atas
pendapatan minyakjuga
mengurangiketergan-tungan pemerintah pada modal asing, sehingga memungkinkan
kebijakan
yang lebih
nasionalistikseperti terlihat pada
upaya pengetatan Penanaman Modal Asing(PMA).
Pengetatan tersebut5 penJelasan yang komprehensif dapat dibaca dalam Rizal Mallarangeng.2002. Mendobrak Sentralisme EkOnOml lndonesla 1986-1992. Jakarta: KPC.
ISSN. O854-526X rssN. o854-526X
ii,:,
[:F,ll""diiN[iif.i#1il+i*7
id4!r''P.
i@,'tsaQlZo0e
meliputi pembatasan pemilikan
oleh
pihak asingdan
keharusankerjasama dengan
serta
pengalihan pemilikan asingyang
lebihbesar kepada mitra domestik secara bertahap. Kebijakan tersebut
bukan
saja lebih
nasionalistikdan
inward lookingdalam
sikap,tetapijuga pemerintah berketetapan dengan uang minyak itu untuk
mempercepat industrialisasi
lewat
kebijakan
lndustrialisasiSubtitusi lmpor (lSl).
Kebijakan
yang terakhir,
lndustrialisasiSubtitusi
lmpor,sangat
berpangaruh
besar
terhadap BUMN
di
lndonesia.Sehingga
pada awal
perbaikanekonomi
dilaksanakan melaluiKebijakan Stabilitas Ekonomi
di
mana BUMN lebih
diarahkan untuk memiliki manajemen yang lebih otonom, relatif terbatas darikepentingan politik, dan lebih berorientasi bisnis, maka kini justru sebaliknya,
-dengan
Kebijakan lndustrialisasiSubtitusi
lmpor--. Pemerintah justru menjadikan BUMN sebagai instrumen Kebijakanlndustrialisasi
Subtitusi lmpor. Posisi
BUMNyang
demikian inimemang memiliki alasan pragmatis, karena
tidak ada
kekuatanswasta domestik yang secara politis cocok dengan
sentimenkolektif anti-asing dan anti-Tionghoa yang waktu itu masih sangat
kuat, selain
juga yang
secara ekonomi mampu memikul resikojangka panjang investas dalam proyek-proyek industri, maka (by default) BUMN mengambil posisi
ini.
Dengan posisi semacam ini,peran BUMN
dalam
perekonomian menjadi semakinbesar
dansemakin
luas.
Sektor-sektor ekonomiyang
dimasukinya sangat beragam, bukan saja dalam sektor pertam-bangan, publik utility,i
tfunciiir."dan'Pipubtik utility BUMN memegang monopoli atas telekomunikad
listrik.
Kemudian pada sektor perbankan, bank-bankseperti: Bank Negara
lndonesia1946 (BNl
46),
Banklndonesia (BRl), Bank Bumi Daya (BBD yang kemudian
pada masa reformasi),
dll.
menjadi pemasok utama modrlinvestasijangka panjang perusahaan selain juga menjadi
uang
minyak kedalam bentuk kredit, semacam: Candaklnstruksi Presiden (lnpres), Kredit lnduk Koperasi (KlK) begl
pengusaha
pribumi
yang
memiliki usaha
mikro
dan (Muhaimin, 1991).Dengan demikian,
peran
BUMN
sebagaistrategis kebijakan
lndustrialisasi
Subtitusi
lmporberlangsung hingga menjelang akhir paruh pertama tahun 1
telah menempatkan BUMN pada posisi puncak komando
di lndonesia.
Dengan peran BUMN yang begitu dominanperekonomian nasional, memang
tidak
dimaksudkan menciptakan etatisme baru, sebagaiman yang pernahpemerintah sebelumnya (Orde Lama). Karena sebetu hendak dituju oleh kebijakan pemerintah waktu itu adalah
melalui BUMN
bisa
mengendalikansecara
siperkembangan ekonomi nasional' Dengan format perusahaan swasta
jelas
diakui perannya dalamSekalipun begitu perlu dicatat bahwa
perannya sekunder karena alasan-alasan ideologis dan politis.Peran
BUMN
yang kuat
ditunjang
dengankebijakan pemerintah yang lebih kondusif terhadap
memang kemudian melahirkan perkambangan bisnis
unik.
BUMN besar, seperti: Pertamina, Krakatau Steel,dan
lainnya, karenaharus
memenuhi target-target l.|dFr ilron(,trtkan Steet Rolling Miil yang melibatkan bisnis salim croupturml Ekonomi &n Ped4qr uan fiEU)W.Q) ZOo5
rlrilt
lrulnerintah, mereka melakukan ekspansi luar ra Pertamina, dengan uang minyak yang melimpahmlnyak) mampu melakukan diversifikasi bisnis
hrluar dari core busrness-nya, seperti ke bisnis hotel
Ekspansi
bisnis
semacam
ini
memudahkanbuelnass spin-off
di
mana perusahaan swasta bisarcbagai mitra yunior BUMN, yang kerap
jugapfurahaan
multinasional (MNC)dalam pola
kerja-lhn
bertindak
sebagai
kontraktor
dan
pemasokfaktor
input
lain yang dibutuhkanBUMN.
padapfuuhaan
swasta berpartisipasilewat
kepemilikanperusahaan patungan,
yang
didirikan bersamabrulanra
terjadi manakla BUMN melakukan forwardDengan pola hubungan semacam ini, yang
hUflng lobih
hinggadua dekade, BUMN
berhasilperusahaan-perusahaan
swasta
yanghrlangan pribumi maupun Tionghoa,
ataupunMereka yang dilahirkan dan dikembangkan
lUUtt
inilah yang kemudian akankita lihat
padalhun
1980-anyang
mengambil peranyang
lebihnasional akibat kebijakan deregulasi, pflVallsasi yang ditempuh oleh pemerintah setelah
llllnyaf di
pasar internasional padatahun
1983,"lwnd6kanbtini,enP.
AW)i.fufZS eooSDimensi Ekonomi-Politik dalam BUMN
Eksistensi
BUMN
di
lndonesia
dan
perkembangannyaselama ini tidak bisa dilihat dengan merujuk pada argumen market
failure semata ataupun sebab-sebab ekonomis sederhana lainnya.
Tetapi juga harus dilihat dalam kerangka pertarungan antara tiga
kekuatan besar dalam perekonomian
di
lndonesia, yakni: pribumi,Tionghoa keturunan, dan asing, yang telah tersegmentasi sejak
masa kolonial Belanda. Pada sisi lain, ada kekuatan-kekuatan di
dalam birokrasi pemerintahan sendiri yang berkepentingan untuk
menjadikan BUMN.
sebagai sumber
apropriasi
peroranganmaupun kelompok. Mereka terdiri dari para birokrat, politisi, dan
militer
(Muhaimin,
1991;
Kunio,
1991;
Suryadinata,
1995;Chaniago,
2001;
Emmerson, 2001).Adalah sebuah
kebetulanyang
berarti bahwa peran besar yang diberikan kepada BUMNdidalam perekonomian nasional sangat menguntungkan
kepen-tingan mereka.
BUMN adalah sebuah entitas ekonomi
yang
menjadisimbol kontrol kaum pribumi atas sumberdaya dan sektor-sektor
strategis ekonomi nasional. Sentimen terhadap
simbol
iniberkembang
dalam
sejarahyang cukup panjang
dari
strukturekonomi kolonial Belanda yang sangat timpang. Waktu itu, dengan
maksud
mempertahankan status-quo,
pemerintah
kolonialBelanda mengembangkan piramida ekonomi dengan tiga lapisan. Dilapisan puncak adalah orang Belanda dan Eropa lain; kemudian
dari kalangan Timur Jauh (khususnya Tionghoa keturunan) pada
lapisan kedua, yang
dijadikan perantaraantara Belanda
dan Pribumi; dan Bumiputra pada lapisan paling bawah (Burger, 1977).Timpangnya struktur ekonomi ini tercermin dalam hasil penelitian
J.J
Polak
padatahun
1939atas
pendapatanper
kapita
yangISSN. O854-526X t,\tN. o854-526X
".==;$ilii::3
tflfu1,ffiar.tilHsi'
,i7412irye) z@Editerima
oleh
orang Eropa, Tionghoa
keturunan,dan
pribumisebesar 61:18:1 (Polak, 1939:
29-32).
Kondisi yang sangat tidak menguntungkanini
menggoreskantrauma yang sangat
dalampada kesadaran kolektif bangsa, sehingga terasa
ada
semangat nasionalismeekonomi
anti-kapitalismedan
sikap
curiga
atas sektor swasta yang sangat kuat dikalangan founding fathers waktuitu,
dan
juga
kemudian sesudahnya
pada para
pengambilkeputusan
(decision maker) kebijakan pubtik
di
tingkat
elite.Kondisi
ini
pulalah sesungguhnya yang mewarnai pasal33
UUD1945.
Pasalini
memberikan pembenaran ideologisbagi
peranNegara yang kuat, khususnya bagi perusahaan negara (BUMN)
dalam
memanfaatkandan
mengelola
perekonomian nasional.Karena didalamnya dinyatakan "Negara menguasai
cabang-cabang produksi penting
yang
menguasaihajat hidup
orang banyak dan sumberdaya alam."Maka di dalam atmosfir yang demikian itu kemudian BUMN
menjadi instrumen pengimbang kekuatan ekonomi
yang
didomi-nasi
oleh
modal
asing
dan
Tionghoa keturunan.
Ketiadaanpengusaha
pribumi
yang
kuat,
terutama
setelah
gagalnyaKebijakan Program Benteng, makin memperkukuh
peran
BUMNseperti
ini.
Apalagi setelah terjadi
nasionalisasi besar-besaranperusahaan asing yang ada di lndonesia, khususnya Belanda, dan
dikembangkannya
ajaran
sosialismemodel
lndonesia, gagasankemandirian nasional,
dan
revolusi sosial serta ekonomi
oleh Presiden Soekarno ketikaitu.
Praktis sentimen anti-kapitalis sertaanti-swasta mencapai
titik
puncaknya.Saat
itu
tidak
ada
lagikekuatan ekonomi
asing
tandingankecuali MNc/TNc
Amerikaserikat
dan
lnggris
yang
sengaja dibiarkan
oleh
pemerintahdengan
demikian menjadi satu-satunya kekuatan
ekonominasional
yang sangat
kuat dan
mengendalikanbanyak
aset strategis hampir di semua lini ekonomi.fetapi
dengan posisi
semacam
itu
justru
berbagai kekuatan domestik berusaha untuk menguasaidan
memanfaat-kannya
untuk
kepentinganmereka. Kekuatan
radikal
sepertiserikat buruh dibawah
Partai
Komunis lndonesia(PKl)
bahkan sejak swal berusaha untuk merebut perusahaan-perusahaan asingdiawal proses nasionalisasi. Namun akhirnya digagalkan oleh
pihak militer, kekuatan utama pesaing
PKl,
yangjuga
memiliki kepentingan, dan pada akhirnya menguasai seluruh BUMN diera-Ord" Bat, (Samego et.al.,
1998).
Mereka ini terlibat bukan sajadalam
aspek keamanan BUMN,
tetapi
juga
dalam
aspekmanajernennya. Keterlibatan militer dalam BUMN memang tidak
bisa
dihindarkanwaktu
itu,
karena, pertama, ancaman sayapnasionalis
radikal
yang
berusaha
merebut
perusahaan-perusahaan
asing
yang akan
dinasionalisasi
dan,
kedua, nss;en4lisasiitu
sendiri
mendahului terbentuknya pengusaha pribumi dan ketersediaan manajer profesionalyang
dibutuhkanuntuk mengelola perusahaan
besar
dan
modern
yang flines;snalisasi. Dengan demikian personil militer harus mengisi kekosongan ini karena dinilai lebih professional dan disiplin dalam bekerja dibandingkan pihak sipil. Dibawah kendali militer BUMN menjadisumber apropriasi militer yang sangat penting, sehinggamembu?t kekuatan politik lain iri. Namun keterlibatan militer dalam
BUMN yang sejatinya dimaksudkan
untuk
mengisi kekosongan manajemen, lambat laun menumbuhkan kepentingan bisnis yang permanen. Akibatnya ketika pada awal pemerintahan Orde Baru BUMN harus dirasionalisasi,-bagian
dari
Kebijakan StabilitasrssN.0854-526X
rssN.0854-526X
, ii ii n:= i,,; , ,:,#ii=
lltli,
&L:tft,w
iiiii*
fiEn,ry
e) zoosEkonomi-resistensi banyak
terjadi.
Rasionalisasiyang
dimotorioleh
sekelompok teknokrat,
yang
memegang
portofoliokementerian
ekonomi,
sulit
dilakukan secara optimal
karena resistensi dari kelompok militer-pengusaha. Banyak perwira militermenolak
pengurangan perusahaannegara pada jumlah
yang dikehendaki oleh kelompok teknokrat.Kemudian menguatnya peran birokrasi sipil
yang
karenadipacu
oleh
program-program pembangunanyang
ekspansioner hampir disemua sektor pada periode tahun 1970-an hingga tahun1980-an menambah
kelompok
kepentinganbaru
atas
BUMN.Mereka
ini
adalah para
birokratdari
departemensektoral
danlembaga pemerintah lain, yang diangkat sebagai direktur ataupun
komisaris
BUMN.
Bersama-samadengan personil militer
yangterlebih dahulu masuk, para birokrat
memperoleh keuntunganbesar
dari
posisinyadi
BUMN. Adalah melalui
pintu
kontrol departemen atas BUMN dalam menjalankan kebijakan pemerintahmereka mendapat posisi-posisi semacam
itu.
Di era tahun1g7O-an
hingga
1980-an
kontrol
atas
BUMN
efektif
ada
padadepartemen teknis. Departemen Keuangan yang dikendarikan oleh
Menteri yang tergabung kedalam kelompok teknokrat tidak mudah
melakukan kontrol atas BUMN, sekalipun sebetulnya rasionalisasi
dan
restrukturisasi BUMN
diawal
pemerintahan
Orde
Barumemberikan
sebagian
hak
kontrol kepada mereka. Dari
yangmulai penunjukkan pejabat ekskutif BUMN hingga pengawasan
manajemen
BUMN, peran
departementeknis relatif
dominan. Peran yang begitu kuat dari departemen teknis ini memang bukantanpa akibat
negatif. Selain terjadinya penunjukkan
pejabatdepartemen
teknis
di
BUMN yang sering didasarkan
kepadaJurnal' Ekb. iart, aan ecnb4alunan
W
)mA
Zoo 5ketimbang publik.
Hal ini
juga
berakibatpada
berkembangnyapraktik
pendanaan
non-budgeterdi
departemen-departemen.Ketika pendapatan minyak masih menjadi sumber utama APBN, kondisi BUMN tidak menjadi masalah. Namun menjadi lain ketika pendapatan minyak yang melimpah itu berakhir pada tahun 1985,
apalagi kalau dilihat dari perspektif lndonesia pascakrisis ekonomi
1998. Praktik
yang
merugikan
BUMN
semacam
itu
bisaberlangsung cukup lama
-hal
ini
memangtidak lepas
ataupunakibat dari gaya kepemimpinan Presiden Soeharto sendiri ketika
itu-.
Untuk mempertahankan kekuasaannya hingga tiga dekade,Presiden soeharto
menggunakanBUMN sebagai
salah
satusumber/instrumen patronase yang sangat penting bagi pengikut
nya
(baikdari
kalangan militer maupunsipil).
Dalam kerangkakepentingan presiden, BUMN menjadi satu institusi yang sangat strategis
di
mana sumber-sumber ekonomiyang
sangat lukratifdidistribusikan kepada para pendukungnya, baik di dalam maupun
di
luar
birokrasi,yang
kemudian dipertahankanserta
diperluasmelalui mekanisme yang didukung dengan perangkat aturan yang dibuat legal.
Melalui
jaringan
patronase BUMNini
pulalah
kemudianperusahaan
swasta yang manjadi klien preiden
dan
pejabat
pejabat tinggi lain mendapatkan akses fasilitas untuk berkembangpesat.
lronisnya perusahaan swasta Tiongjhoa keturunan yangdulu menjadi sasaran keberadaan BUMN
ikut
pula berkembang.Perkembangan
ini
memang dikondisikan
oleh
keberhasilanpemerintah
orde
Baru dalam menghilangkan banyak stigma atas perusahaanswasta.
Diantaranya melalui penafsiran ulang kata ,,penguasaan" pada Pasal 33 UUD 1945 yang bukan dimaknai lagisebagai "pemilikan" (seperti
yang diartikan oleh
pemerintahantqE
rssN.0854-526XrssN. o854-526X
1;.r,
.
:,:.{lifiio,-,i5:iici,n-lrq$-#tEloaani'dan}e &unan fiEurxm A) 2005Orde
Lama)tetapi
hanya sekadar "pengendalian"oleh
Negara.Selain
itu,
hubungan
yang
semakin
erat
antara
militaryentrepreneurs dengan perusahaan-perusahaan swasta khususnya
Tionghoa keturunan,
serta
pengaruhyang kuat
dari
lembaga-lembaga keuangan
internasional(lMF
dan
World Bank)
atas kebijakan ekonomi lndonesia sejak awal pemerintahan PemerintahOrde Baru menjadi faktor yang sangat menentukan bagi orientasi kebijakan pemerintah
yang
lebih positif terhadap sektor swasta.Dalam
iklim yang lebih
baru seperti
saat
itu,
dengan
gayakepemimpinan
Presiden Soeharto
yang
sangat
paternalistik,perusahaan swasta Tionghoa
turut
berkembang bersama-samadengan
perusahaanpribumi. Pola
perkembangan perusahaanswasta Tionghoa adalah melalui
penggandenganpengusaha-pengusaha pribumi yang memiliki akses politik yang kuat dengan kekuasaan untuk mendapatkan kontrak
dari
ataupun kerjasamadengan BUMN. Pemberian saham kosong atau penyediaan modal
kepada pengusaha
yang
menjadi keluarga ataupun
kerabatpejabat merupakan praktik yang diang gap lazimT .
Pada paruh
pertama
tahun
1990-an
perusahan-perusahaan swasta yang memiliki akses kuat dengan kekuasaan
semakin agresif dalam meraih fasilitas yang lebih luas dari BUMN.
Dengan dukungan kekuasaan presiden dan pejabat-pejabat tinggi
lainnya, baik dari kalangan sipil maupun militer, mereka berhasil menaikkan daya tawar mereka terhadap BUMN. Beberapa BUMN
di
sektor
perbankan
sering
terpaksa
harus
menyalurkan/mengucurkan
kreditnya
pada
proyek-proyek
milik
swasta7 Menurut yoshihara Kunio (1991) dalam bukunya, Kapitalisme semu di Asla Tenggara -sebuan buku
yang pernah dicel(al oleh pemerintah Orde Baru oleh karena mendeskripsikan dan menvebutkan
nama-nama kroni/ktientilis pemerintan ketika itu- menyatakan banwa perilaku ini ini bukan hanya
terjadi di lndonesia tetapi juga diseluruh negara Asia Tenggara, bahkan juga di singapura Yang
-:.,ff:Iii,
:1
,ii
:ltil..lii:'/
Pcmtungunan0H),W':{D."?.PQF'semacam
ini,
sekalipun
kelayakanbisnis
perusahaan swastatersebut tidak jarang
meragukan.BUMN besar lainnya
seringterpaksa
harus
menjalin kontrak-kontrak
bisnis
yang
tidakmenguntungkan mereka. Akibatnya BUMN tersebut harus memikul
biaya-biaya produksi
yang sangat tinggi, yang tentunya
padagilirannya menurunkan daya saing BUMN
itu sendiri.
Menjelangjatuhnya
pemerintahanorde
Baru,
BUMNbukan saja
menjadisumber apropriasi
bagi
kalangan militerdan
sipil/birokrat, tetapijuga
(bahkan)bagi
kalangan pengusaha swastayang
memilikipayung
kekuasaanyang sangat
kuat'
Karena
itu,
lengkaplahsudah kelompok kepentingan yang sebetulnya bukan memperkuat
BUMN tapi
justru
memperlemah kiprahnya dalam perekonomianlndonesia.
Kelompok perusahaan swasta semacam inilah yangnanti akan
kita lihat
paling
diuntungkan
dengan
kebijakanprivatisasi BUMN
(di
lndonesia) sebagai bentuk
perwujudankebijakan neoliberalisme'
Struktur
dan Karakter BUMNsebagaimana tersirat dalam terminologinya sendiri sebagai
public
enterprise, sejatinya BUMNadalah
institusiyang
meng-gabungkan
the
bestof
the public
danthe besf
of
the
private.Didalam
wacana
ekonomi-politik pembangunantahun
1950-an hinggatahun
1960-anpikiran
mengombinasikanaspek
"publik"dan aspek ,,enterprise" ini cukup mengemuka. Begitu juga dalam
pemikiran administrasi publik. Adanya
sebuah
inti
birokrasiparastatalyang berkiprah relatif agak lebih otonom dan terinsulasi
dari
core bureaucracy serta bisa bergerakagak
lebih komersial sehingga bisa melakukan cosf recovery atas kegiatannya, namun tetap berorientasi pada kepentingan publik, merupakan kebutuhanfq-q
l
ISSN O854-526X LgSIU O854-526X
"luffial)Wno
.4 Pc
,flEP),)W (Z) 2005mendesak.
Pemikiranini
berkembang awalnyadi
Eropa sejalan dengan perkembangan paradi gma welfare sfafe yang berkembangpasca-Perang
Dunia
ll.
Di
mana waktu
itu
perusahaan publikdianggap sebagai
satu
solusiatas
kebutuhan pelayanan publik yang semakin luas.Namun pada tataran praktis public enterprise tidak dapat
berkiprah sebagaiman ketika ia digagas. Perkembangan
selanjut-nya
justru
menggambarkan kombinasiantara
the
worst
of
thepublic dan the worst of the
private.
BUMN atau public enterprise terjebak dalam jaringan birokrasi pemerintah yang penuh denganmuatan kepentingan
politik,
sehingga
mereka
tidak
dapatmengembangkan orientasi bisnis komersialnya. Konsekuensi dari
perusahaan
yang
dipenuhi
oleh
kepentingan
politik
sertamenghilangnya efsiensi
guna
komersialisasi bisnisdan
orientasipelayanan
terhadap
publik
menciptakan
BUMN
menjadi perusahaan yang perlu disubsisdi terus menerus oleh pemerintah.Dengan berbagai
ukuran
dalam
ekonomi-politik,sebut
saja, misalnya, kontribusi pada anggaran pemerintah pada skala makro dan Return on lnvestmenf (ROl) dalam skala mikro, kinerja BUMNboleh dikata mengecewakan. Dibandingkan dengan perusahaan
swasta
pada
industri
yang sama
tingkat
produktivitasnyapenggunaan asetnya masih jauh dibawah rata-rata.
Buruknya kinerja BUMN memang
tidak
lepasdari
akibatberbagai intervensi kepentingan yang mendompleng pada kontrol
birokrasi
atas BUMN.
Bermainnya kepentinganmelalui
kontrolbirokrasi
bahkan
sudah terlihat
sejak tahun 1960
ketikaperusahaan-perusahaan
milik
Belandayang
baru dinasionalisasiharus
direstrukturisasi.
Sebelum
dilakukan
nasionalisasiJwnalEkonti.iin
Pc
0W,'1W-(2)40O5perkebunan, misalnya,
tidak
dipisahkansebagai
unit-unit yangotonom tetapi terintegrasi secara vertikal pada
tingkat
nasionalsebagai sebuah trading house
di
mana setiap
perusahaanmelaksanakan
seluruh
siklus
dari
kegiatan
ekonomi
yangmencakup sistem produksi hingga distribusi (eceran, ekspor, dan
impor). Namun karena kuatnya
kepentinganuntuk
membagi-bagikan
perusahaanyang
dinasionalisasipada
departemen-departemen sektoral, struktur sebelum nasionalisasi
diubahmenjadi berdasar unit-unit perusahaan negara
yang
terspesia-lisasi.
Dengankata lain,
perusahaannegara
dispesialisasikanpada suatu
komodititertentu,
sementarafungsi produksi
danmanufakturnya diserahkan
pada
perusahaan
negara
lain.Restrukturisasi semacam
ini
kemudian menghasilkan pembagianperusahaan Negara pada masing-masing menteri teknis tersebut sesuai dengan orientasi sektoral
mereka.
Sementara itu, personilmiliter terlibat dalam
pengelolaan perusahaannegara
sebagaiupaya
untuk
melakukan kontrol
atas
sektor-sektor
ekonomistrategis, yang bila ini tidak dilakukan, bisa
jatuh ke
tangan PKI sebagai kekuatan pesaing terbesarnya ketika itu.Akibat
dari
segmentasiini
kinerja BUMN
berpengaruhsangat
signifikan.
Pemecahan struktur yang vertikaldari
DutchTrading House dan pemisahan unit ekspor-impor dari unit produksi
dan
distribusi
menyebabkan
terjadinya
isolasi
strukturalperusahaan dagang negara dari jaringan distribusi internasional
dan
unit-unit produksi lokaldan regional.
Kondisiini
kemudian melemahkan posisi bersaing BUMN.Di
dalam konteks kontrolatas
BUMN berkembang pulakondisi yang disebut sebagai bureaucratic capitalism atau juga
Negara Otoriter Birokrasi
(NoB).
suatu
kondisidi
mana birokratrssN. o854-526X LtsN. o854-526X
'
.ir
ftriiatt@nonidqtt,,P.eft0Situiit|i,@;1ry 721t*u
depnrtementeknis, personil militer,
dan
manajer
perusahaanNegara
memperlakukan
BUMN sebagai
milik
pribadi
danfnanyalahgunakan
wewenang
yang
dipercayakan
kapadanya unluk diraup keuntungan sebesar-besarnya secarapribadi.
Dalamkondisi
ini tidak
heran apabila kemudian mudah teryadipraktik-praktik
buruk dalam
BUMN,seperti:
memasukkan keuntunganBUMN sebagai
pendapatanpribadi ketika
perusahaanmem-peroleh
spreadantara harga resmi
dan
harga pasar
hingga koputusan-keputusan yang tidak lagi berpijak padapertimbangan-pertimabangan
komersil
tetapi
lebih pada
kepentingan
politik(membiayai pusat kekuatan politik
dan
pejabat secara individualatau kelompok). Pergantian pemerintah dari Orde Lama ke Orde Bnru ditahun 1966 dan perkembangannya kemudian hingga tahun 1080-an nyaris tidak bisa merubah kondisi BUMN seperti tersebut
dl
atas.
Tekanan
IMF
dan
World
Bank yang
menghendakipengurangan jumlah BUMN, pengurangan intervensi departemen
teknis, otonomisasi manajemen
BUMN hanya terasa
sebentardampaknya,
karena
kemudianyang terjadi adalah
penguatankembali kontrol departemen teknis
atas
BUMN diparuh pertamalahun 1970-an.
Konfigurasi kekuatan
di
dalam
birokrasi memang terjadi perubahan dengan munculnya pemerintahan OrdeBaru.
Denganduduknya
kelompok menteri teknokrat
yang
menduduki
pada posisi Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Ketua Bappenas,serta Gubernur Bank Sentral mendapat dukungan yang kuat dari
t,:!.5,',]"gr
.AE'0"lWg)-zoo5dasarnya mengurangi ataupun menghilangkan
sama
sekaliintervensi departemen teknis
yang
berperilaku berlebihan padaBUMN. Konversi
status
hukum BUMN
di
tahun
1966
dariPerusahaan Negara (PN) menjadi Perjan, Perum,
dan PT
tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruhmereka.
Diawal Orde Baru pengaruh orientasi kebijakan mereka terhadap restrukturisasiBUMN sangat
kuat.
Namun sebagaimana
sudah
kita
lihatpengaruh orientasi kebijakan mereka melemah sejalan dengan
meningkatnya pendapatan pemerintah dari sektor minyak.
Pertarungan kepentingan
antara
kelompok
menteriteknokrat
di
satu sisi dan
menteri-menteriyang
mengendalikandepartemen teknis serta kelompok militer
di
sisi yang lain (untukmengendalikan
BUMN)
terlihat
pula
disekitar
terbentuknyabeberapa perundangan yang mengatur
BUMN.
Undang-undangNo.
9
tahun
1969, misalnya,yang
menetapkansecara
tegastingkat kemungkinan kontrol dan intervansi yang dapat dilakukan oleh departemen teknis terhadap BUMN berbentuk PT; kontrol dan intervensi tidak bisa lagi dilakukan secara langsung sifatnya tetapi
kini
melalui Dewan Komisaris
dan
dikemudian
hari
dapatdimungkinan
untuk
dilakukan privatisasi. Sementaraitu,
padabentuk
PerusahaanJawatan
kontrol
bisa
dilakukan
secaralangsung dan
hirarkis.
Undang-undang ini merupakan perangkathukum
yang
menjadi basis-basis menteri teknokrat, khususnyaMenteri Keuangan, untuk meregulasi kontrol dan intervansi yang
berlebihan dari menteri-menteri teknis terhadap BUMN yang ada dibawah pengawasannya. Kemudian Undang-undang No. 8 tahun 1971 yang mengecualikan Pertamina sebagai perusahaan Negara
dari
proses konversi kedalamsalah
satu
bentuk
dari
Perjan,Perum,
atau PT
merupakan perundangan "kemenangan" hasilrssN. o854-526X ISSN. O854-526X
.g;ffii.::::1jiftg.;.i'ilNt:;,:,,,...:J.lifuq4
i
,,
We)g@i
pertarungan kelompok
militer
atas
kelompok
lainnya.
Dan, Undang-undang No. 3 tahun 1983 yang memberikan pembenaranbagi kontrol
yang
ketatdari
departementeknis
ironisnya seringbersifat ad hoc (sementara). Sekalipun pada undang-undang ini Menteri Keuangan juga diberi wewenang untuk melakukan kontrol
namun harus disadari
bahwasifatnya terbatas pada
masalah keuangansaja.
Karena itu, sebetulnya departemen teknislah yangmenjadi pemegang kendali
sesunguhnyaatas
BUMN
bukan departemen keuangan yang menjadi pemegang sahamnya.Undang-undang No.
3
tahun 1983di
atas pada akhirnyamenimbulkan struktur kontrol pemerintah yang sangat birokratis.
Tentu dengan akibat-akibatnya
yang sangat
merugikan BUMN,mulai dari: proses pengambil keputusan yang panjang, prosedur pembelian
yang
memakan waktu, pengarahan pemerintah yangsangat
berlebihan,dewan
komisarisdan
dewan direktur
yangberorientasi
pada
birokrasi
bukan
pada
bisnis,
kebijakanmanajemen sumberdaya manusia
yang kaku, sampai
dengan intervensi berbagaiaparat birokrasi atas BUMN. Dengan demikian,yang sejatinya BUMN menghasilkan orientasi bisnis, akibat dari
regulasi
yang kaku
terdeskripsi
di
atas,
malah
mendorongmanajemen BUMN untuk mengembangkan orientasi politik yang sangat kuat daripada orientasi publiknya.
Dari Deregulasi Menuju
Privatisasi
BUMNdi
tndonesiaa.
Deregulasi BUMNJatuhnya harga minyak dipasaran internasional
dari
US$ 36 keus$26
per barrel pada tahun 1982 dan dari US$ 26 menjadii1, Ili:;;ttJrtst4!
ab.ltt!:i
wt*t,W;:
perkembangan baru bagi
BUMN.
Perkembangan ini dipacufakta bahwa setelah menurunnya pendapatan minyak, pemal
tidak lagi memiliki kemampuan untuk mendukung secara
flnl
operasi BUMN memunculkan pemikiran tentang deregulrd privatisasi (BUMN). Munculnya pemikiran
ini
terutama cllll dan didukung oleh menteri-menti teknokrat, para pengusahltidak
mendapatakses terhadap monopoli
padaekonomi, sebagian politisi, dan tidak sedikti
juga
paraSekalipunmerekainibukankelompokyangbenar.benar
namun kondisi anggaran
pemerintahyang
mengalaml memungkinkan mereka untuk bersatu dan menggulirkanderegulasi,
dan
dalam tahap perkembangan berikutnya' oldengan kebijakan privatisasi. Pengaruh world Bankdan IMF
periode yang sama
pun
(yangtelah
mendorongberkembang untuk menerapkan kebijakan yang lebih
pasar)juga tidak sedikit. Kebutuhan lndonesia untuk
dukungan
dari
kedua lembaga tersebut
untukpinjaman
dari
negara industrimaju
memberijalan
malUWortd Bank dan IMF untuk
menanamkan pengaruhnylkebijakan-kebijakanekonomi'Disisilain,haltersebut
membuka
akses
bagi
kelompok menteri
teknokrat dukungan internasional dalam menggulirkan kebijakan dan privatisasi.Kondisi anggaran pemerintahan
yang
semaklndan juga dukungan dari kedua lembaga keuangan i
atas tidak
begitusaja
memudahkanpara
pendukungderegulasi
dan
privatisasi menjalankan
orientaslmereka. Karena mereka yang terdiri
dari
parakelompok
milter yang telah
menikmati keuntunganlingkungan
yang
kompetitif,
seperti
yangJurneltkoaotnitd
lffii(AZoogrlarr prllrndungan pasar yang mereka terapkan selama
rengat
kuat
pengaruhnya terhadap
pengambilandl
puncak
pemerintahan.Karena
itu,
strategi
yanggloh
kelompok menteri teknokrat
ialah
melakukandl
rektor
perbankanterlebih dahulu.
Sementara, di..yang
dikuasai menteri-menteriteknis-- masih
harusbrberapa lama untuk bisa sampai dideregulasi.
kebijakan deregulasi terhadap perbankan, maka
SUMN
tidak lagi
diberifasilitas kredit
likuiditas dari.
Pada sisi lain, aturan credit ceilingjuga
dicabutbrnk-bank
pemerintahyang selama
ini
tidak
harusmencari
dana dari
masyarakatdan
juga
tidaksuku bunga sendiri, kemudian dipaksa memutar ffialekukan strategi
putar-haluan.
Merekakini
harusClngan
bank-bankswasta untuk
memperoleh danadln
depositodari
masyarakat. Pada level mikro
ini,manajemen bank pemerintah harus
mengembang-)ftd
llabllities management yang profesional. Deregulasi[lanJutnya
yang sangat signifikasn terjadi pada tahun , 2001: 60) di mana deregulasi ini dikenal dengan1988 (Pakto 1988) yang cukup radikal mengingat mangurangi entry barriers kedalam industri perbankan
menghapus
keharusan BUMN
untuk
menyimpanbtnk-bank
pemerintah,selain
juga
mempermudahUntuk membuka kantor-kantor
cabang
bagi
bankrda,
Kebijakanini
merubah peta kekuatan industridl
lndonesiayang
selamaini
didominasioleh
ii.:'-
=ir.
:'rio.i
:,'="Lial*An
;dihPc
*AailgW)'@,(U'?ffi
dipersyaratkan
dalam paham
neoliberalisme,terpaksa
haruskehilangan sebagian pangsa pasarnya. Karena bank-bank swasta
lebih mampu bertindak lebih agresif dalam menawarkan produk
dan pelayanan perbankan yang lebih menarik pada pelanggannya
dibandingkan dengan bank-bank pemerintah.
Deregulasi perbankan
tersebut mencapai
puncaknyadengan diberlakukannya Undang-undang Perbankan
yang
barupada
tahun
1992.
Undang-undangini
semakin
memperkuat pergeseran dari intervensi langsungke
indirect interuenfion oleh Departemen Ke.ungandan
Bank Sentraldi
dalam
pengelolaanperbankan. Beberapa perubahan
mendasar
terjadi
disini,peftama,
pelaksanaan undang-undangperbankan
tidak
lagl didasarkan pada banyak undang-undang sebagaimana yang tejadipada masa
sebelumnya,tetapi
kini
hanya didasarkan
pada:Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri
Keuangan,
danKeputusan
Bank
Sentral. Dengan demikian,semakin
memper'mudah bank-bank BUMN untuk melakukan penyesuaian terhadap
perubahan
yang cepat. Kedua, diberi penekanan
atas
fungsl utama perbankan untuk memobilisasi dan menyalurkan dana-danapublik.
Penekananini
sangat penting mengingat pada
masasebelumnya bank-bank BUMN menggunakan dana-dana
peme-rintah, khususnya uang
yang
diperolehdari minyak, dari
padamemobilisasi
dana
masyarakat.
Ketiga,
perubahan
pentinglainnya, adalah
tidak
adanyalagi
pembedaan pemilikan antarabank pemerintah dan bank
swasta.
Maksudnya, pengategorianperbankan yang lampau atas bank pemerintah atau bank swasta
sekarang diubah menjadi
bank
komersilatau bank
perkreditanrakyat;
yang
semuanya menempatkan bank-bankBUMN
padaplaying
field
yang sama denganbank swasta, sehingga
padarssN 0854-526X (w54-526X
i,{,!\ig,#,,l! { i$!?i-{d{.1-.,, [rtn4&-.{ltHi41#tH*Wl]W,12)
zMi
prlnBlpnya tidak
ada lagi
perlakuan istimewayang
bisa diterimadlrl
pemerintah (fai mess competition).Ketika BUMN
di
sektor moneter
mengalami deregulasinng
sangat signifikan, BUMNdi
sektor riil mengalami arah yangl0brllknya.
Kenyataanini
paling
tidak
berlaku
diawal
sektorplrbankan
mengalamidergulasi.
BUMNdi
sektor
industri danplrdagangan mendapatkan perlakukan
yang lebih
protektif dariptmerintah terutama melalui pemberlakukan Sistem
Tata
Niagalmpor.
Kebijakan sektor riil yang tidak sejalan dengan kebijakanlOktor moneter sesungguhnya menunjukkan perpecahan ditingkat
hblnet
dalam merespon krisis yang ditimbulkan oleh menurunnyapandapatan
dari
sektor Migas. Sektor
riil,
khususnya
sektorhduetri
dan
perdagangan, memang menjadi portofolio
dariF[nteri-menteri kelompok
nasionalisyang
sangat
mendukunghblfakan
subtitusiimpor.
Namun munculnya orientasi kebijakanyfng
lebih protektifjuga
harus dilihat bukan semata-mata akibatlfrt
tekanan ideologis
nasionalisme
ekonomi
tetapi
jugaIrungguhnya
cerminan
kepentinganyang
terpatri
dari
paralOnatltuen pemerintahan
Orde
Baru sendiri (terutama kelompoklilllllor dan para pengusaha klien yang mendapat payung proteksi
llrl
pemerintah). Kedua kelompok tersebutsangat
mendukunglfbllaXan
subtitusiimpor karena bagi
mereka disitulah sumberbkayaan
dan tempat
investasiyang paling
mungkin.
Dalamkebijakan proteksionis
seperti
ini,
kesinambungan dan bisnis mereka melekat.Diawal masa-masa deregulasi BUMN
di
sektor perbankanmengarah
pada
penguatan mekanismepasar,
BUMN di riil diisoliasi dari kekuatan-kekuatan pasar oleh pihak-pihaky:,.,,1,t,
lanial,&noiAiC q@:
(2) 20O-Adiberlakukan bukan saja mereka menjadi lebih defensif tetapi juga
menjadi terminal
bagi
perluasan mekanismepatronase
yangmelibatkan birokrat
dan
keluarganya.Tidak
mengherankan jikapada antara
tahun
1983-1986di
mana pada periodeini
BUMNsktor perbankan sedang mengalami deregulasi awal, BUMN sektor riil terlibat dalam sistem impor dan pemberian lisensi yang sangat
luar bisa terhadap kelompok-kelompok usaha yang memiliki akses
terhadap
pusat-pusatkekuasaan
dalam
birokrasi
(Pangestu,1987). Namun, karena
dampaknyaterhadap
ekonomi
biayamenjadi tinggi
-dan
juga
karena pengaruh deregulasi moneteryang
mau tidak mau harus diikuti oleh deregulasidi
sektor riil--,maka kebijakan proteksionis secara gradual terpaksa ditinggalkan.
ISSN. O654-526X lllw 0854-526X
Tabel 1. Beberapa Kebijakan Deregulasi 1983 Derequlasi sistem oerbankan.
1984
Penyederhanaan perizinan dan pengurangan tariff
dibidang tata niaga serta pengurangan proteksi (lnpres
No.4).
Derequlasi ekspor-impor (lnpres No. 4).
1 986
Paket Mei, memberikan kebebasan kepada sebagian produsen eksportir untuk mengimpor langsung kebutuhan impor mereka.
Paket Oktober, pembebasan sebagian barang impor dari pemberlakuan Tata Niaqa.
1987
Paket Januari tentang Eskpor
Kebijakan Juli tentang Penyederhanaan Kuota Tekstil Paket Kebijakan Desember tentang Pasar Modal, Tarif,
dan Perizinan.
't988 Paket Oktober Paket Desember tentang tentang Liberalisasi Keuangan.Pasar Modal dan Modal Ventura.
1989
Paket Kebijakan Junitentang Penataan BUMN. Keppres No. 53/1989 tentang Swastanisasi Kawasan lndustri.
1 991
Paket Februari tentang Globalisasi Perbankan.
Peket Kebijakan Juni tentang lnvestasi (Pelonggaran Daftar Neqatif lnvestasi).
1 994 Paket Kebijakan Mei tentang Keleluasaan lnvestor Asing
b.
Liberalisasi BUMNDeregulasi
dan
liberalisasidi
sektor
perbankan
yangmempengaruhi
keberadaan bank-bank
BUMN
berlangsungsampai pada"Point of
no
Return", Bukan saja karena tidak adapilihan
kebijakanlain
tetapi
juga
yang lebih
penting
karenaderegulasi
ini
telah
membuat bank-bankdi
lndonesia berhasilmenggalang
dana dari
masyarakatdalam jumlah yang
cukupsignifikan, terutama yang diperlukan bagi target kontribusi sektor
swasta
sebesarRp.
131,6trilyun tehadap
investasitotal
(55persen) pada
akhir 1980-an.
Kontribusiini
memang diperlukansebagai
bagian'dari
penguatanperan sektor swasta
dalampembangunan
dengan strategi
pada
pertumbuhan
yangberorientasi
ekspor.
Keberhasilan
tersebut membuat
parapenganjur kebijakan deregulasi memperoleh konstituen
yangsemakin besar dalam politik sehingga memperkuat tekanan pada
kekuatan-kekuatan
anti-deregulasi
untuk
mengikuti
langkahkebijakan serupa yang diambil pada sektor
moneter.
Karena itu,kemudian deregulasi
tidak saja
pada sektor
industri
danperdagangan, tetapi
juga
meluas pada sektor-sektor infrastrukturseperti: telekomunikasi, listrik, dan jalan.
Sektor infrastruktur
di
atas, yang
secara
tradisionalmenurut Pasal
33
UUD45
harus dikuasaioleh
negara terpaksajuga harus dideregulasidan diliberalisasi. Tekanan deregulasi dan
liberalisasi semakin
kuat
pada sektorini
karenajuga
memangadanya backlog (perlambatan) yang
tidak
lagi sanggup dipenuhioleh negara melalui BUMN yang ada semacam: Telkom, PLN, dan
Jasa
Marga.
Ketiga BUMNini
sudahsejak lama
memonopolitelekomunikasi,
listrik,
dan
jalan.
Namun
akibat
dari
tekananperlambatan
struktur industri mulai dilepas
secara
bertahap.rssN 0854-526X
ISSN. O854-526X
:,,,,,'1,,,,,',,,l,ittiiiilll,W{fiiwi:44i'?.&fWji
M)W,@AMf
forlihat
misalnyadari
deregulasi industri yang ditempuh adalahcektor
swasta yang
diizinkanmasuk
ke
bisnis
telekomunikasi bukan dasar, sementara pengopersian jaringannya tetap menjadimonopoli
Telekomunikasi.
Begitupula
pada kelistrikan, swastadiizinkan
masuk namun baru pada tahap
pembangunan danpengoperasian
pembangkit listrik. Padahal masuknya
swastadimaksudkan untuk mengisi kekurangan investasi yang tidak bisa lagi dipenuhi oleh badan-badan usaha milik negara tadi.
Namun
dalam
proses
demonopoliisasi
sektor-sektorinfrastruktur, unsur patronase dan kronisme bermain sangat kuat.
Karena ternyata
perusahaan
swasta
yang
masuk
adalahkelompok-kelompok
bisnis
yang
sangat
dekat
dengan
pusatkekuasaan
politik.
Akibatnya,tidak satupun bisnis
dari
sektorinfrastruktur
yang
didemonopoliisasiyang tidak dimasuki
olehkelompok bisnis
ini.
Bahkan karena teramat kuatnya pengaruhkelompok bisnis ini terhadap pengambilan keputusan
di
level elitebirokrasi, akhirnya
menempatkanBUMN
yang
sangat
besarsekalipun seperti: Telkom, PLN,
dan Jasa
Marga, berada padaposisi tawar yang
rendah.
Kecenderungan yang terjadidi
dalamderegulasi sektor infrastruktur nyaris merupakan "pengalihan aset strategis" dari BUMN kepada perusahaan swasta.
Deregulasi
dan
liberalisasi sektor-sektoryang
didominasiatau bahkan dimonopoli BUMN tidak berjalan sendiri. Sebabnya,
dibawah tekanan nasionalisme ekonomi
dan
kecurigaan kepadapihak
swastayang masih cukup kuat,
pemerintahyang
sudahtidak lagi memiliki sumber-sumber keuangan yang melimpah untuk
membiayai BUMN sesungguhnya membutuhkan
pula
dukungansektor swasta untuk mempertahankan BUMN
ini.
Padasisi
lainI
I
bertahan di dalam lingkungan ekonomi yang lebih
liberal.
Karenaitu,
tidakada
pilihanlain
melakukan restrukturisasiatas
BUMNsehingga memunculkan perdebatan disekitar
arah
restruktrisasi ini.Perdebatan
dimuali
karena pemikiran dominan
yangberkembang sejak era-1980-an ditingkat internasional berkenaan
dengan perusahaan negara tentang privatisasi. Pemikiran ini pula, bersama-sama dengan deregulasi dan liberalisasi ekonomi, yang
dipromosikan
oleh
World
Bank
dan
IMF
di
Negara-negaraberkembang, termasuk lndonesia, melalui persyaratan pinjaman
yang
dikenakankapada
Negara-negarapeminjam
dana
darilembaga
ini.
Dalam proses kebijakan ekonomi ditingkat kabinet, pemikiran yang sedang dominan tersebut masuk lewat pintu paramenteri teknokrat
yang
sudah
sejak
pertengahan
1980-anmenggulirkan kebijakan deregulasi. Menteri Keuangan sebagai
pelaku
penting kebijakandari
kelompokteknokrat
mendorongprivatisasi BUMN. Sementara menteri-menteri
lain,
khususnyaMenteri
Pertaniandan
Menteri
PekerjaanUmum,
menentangprivatisasi
dan justru
malah
mengedepankan
konsolidasi,reorganisasi,
dan
penataan ulang
BUMN,
Pro dan
kontrakebijakan
yang
melibatkan
masing-masing pendukungnya didalam maupun di luar birokrasi relatif cukup panjang, berlangsung sampai kurang lebih dua
tahun.
Hingga pada akhirnya mendorongPresiden Soeharto
untuk
mengambil kebijakan'Jalan
tengah"berupa opsi yang sangat
luas
maknanyadari
restrukturisasiperusahaan negara
di
lndonesia (mencakup perubahan statusBUMN, kontrak manajemen, merger, go-publik,
joint
venture ataujoint
operafion, penjualan BUMN dan likuidasi lnpres No. 5 tahun1988).
rssN. o654-526X ISSN. O854-526X
irrit,,,r,,:iii
iW
e)2O05Sesungguhnya pilihan
atas
kebijakanyang sangat
luastarsebut
di
atas
merupakanpolitical
settlementdari
berbagai kopentingan yang terlibat atas permasalahan BUMN. Lebih khususlagi merupakan strategi kebijakan ekonomi-politik presiden yang
berusaha
untuk
mempertahankanperimbangan
kepentingan masing-masing konstituennya di dalam maupun luar negeri. Di sini menjadijelas
bahwadi
lndonesia privatisasi perusahaan Negara hanyalah salah satu dari berbagai pilihan kebijakan yang mungkinuntuk
dilakukan.
Kecenderunganawal
menunjukkan
bahwatindakan privatisasi diterapkan lebih pada BUMN kecil, dan itupun
sering merupakan opsi kebijakan terakhir manakala pilihan-pilihan
lain tidak bisa lagi
efektif.
Hinggatahun
1997 diperlukan waktu enam tahun untuk akhirnya pemerintah bisa mengenakan tindakanprivatisasi
(hanya)
di
dua
BUMN
besar (Semen Gresik
danlndosat). ltupun dilakukan dengan bentuk parsial, yakni pemilikan
negara
tetap
mayoritas. Sementarayang lebih
banyak diambil adalah bentuk-bentuk kerjasama dengan swasta, dengan berbagaivariannya
seperti
built-operate-transfer(BOT)
yang
banyakdilakukan didalam pembangunan infrastruktur
jalan
raya. Dalam struktur ekonomi-politik pembangunan lndonesia bentuk semacamini
memang tampaknyayang
paling sesuai karena BUMN yangsudah
melemah kemampuan finansialnya
akan
memperolehdukungan "sumberdaya" dari sektor swasta yang sekarang sangat
kuat.
Sementara pada pihak lain menjadi akses pula bagi sektor".
.il{li.;;r,#ri.r=
rlf"*ffr.*fra4W
tW..|{|$oos Perkembangan waktu itujuga
menunjukkan bahwa arahmenuju deregulasi, liberalisasi,
dan
privatisasi
BUMN
tidak sepenuhnya diterimaoleh
seluruhjajaran
pengambil keputusan utama di kabinet. Sebabnya arah yang berlawanan juga terjadi disaat sepuluh BUMN besar diambilalih dari beberapa departemen
teknis, dan ditempatkan dibawah pengawasan Badan Pengelola lndustri Strategis (BFIS) yang berada di bawah Kementerian Riset
dan
Teknologi. Dengan argumen industri strategis
tersebutsengaja
diisolasi
dari
kemungkinan-kemungkinan tindakanprivatisasi yang justru sesungguhnya sedang diimplementasikan
dibawah koordinbsi
Menteri
Keuangan. Perkembangan
inimerupakan manifestasi
dari
pertarungan kepentingan disekitarPresiden Soeharto yang sudah lama berlangsung antara kelompok
menteri
yang
mengedepankanstrategi industrialisasi
--yangdidasarkan
pada
comparative advantage--dengan
kelompokmenteri
yang
menempuh transformasiindustri melalui
campur tangan yang kuat darinegara.
Dalam konstelasi dan kontestansikepentingan tersebut, Presiden Soeharto menempatkan dirinya
berada
di
tengahtengah yang terkadang bergerakagak
kearah kelompok pertama yang proiiberalisme pasar, dan terkadang pulabergerak kearah yang kontra pada penguatan mekanisme pasar
(yang
mengedepankan kebijakannasionalisme). Hal
tersebutdilakukannya tergantung pada tingkat
dan skala
krisis ekonomiyang
dihadapi.
Kebijakan untuk menjaga perimbanganini
yangsesungguhnya merupakan
ciri
penting dari manajemenekonomi-politik presiden, sangat menandai proses deregulasi, liberalisasi,
dan
privatisasi
BUMN hingga
menjelang
berakhirnyapemerintahan Orde Baru pada tahun 1998.
. rltrjn$iruifii*Si;;;;j:;tJwta!:Ekoia