• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Karbon Hutan Mangrove Hasil Restorasi pada Lahan bekas tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi Karbon Hutan Mangrove Hasil Restorasi pada Lahan bekas tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJUAN PUSTAKA

Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan

mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang

berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau . Ekosistem mangrove

merupakan sumber daya lahan basah wilayah pesisir dan sistem penyangga

kehidupan dan kekayaan alam yang nilainya sangat tinggi, oleh karena itu perlu

upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari untuk

kesejahteraan masyarakat (Sosia et al., 2014).

Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh

di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung ,laguna, muara sungai

yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas

tumbuhannya bertoleransi terhadap garam, hutan pantai yang tidak terganggu

termasuk hutan bakau, hutan littoral dan hutan rawa gambut yang ditandai dengan

tegakan padat, spesies campuran dan struktur memainkan peran penting dalam

perlindungan pesisir terhadap tsunami, oleh karena itu, vegetasi pesisir diperlukan

untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan mempertahankan kapasitas

produksi sebagai bagian dari vegetasi berkelanjutan dan tahan lama (Onrizal dan

Mansor., 2016).

Vegetasi Hutan Mangrove

Dalam hal struktur, mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila

(2)

laut, hingga tegakan campuran Bruguiera- Rhizophora-Ceriops dengan ketinggian

lebih dari 30 meter (misalnya, di Sulawesi Selatan). Di daerah pantai yang

terbuka, dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia alba, sementara itu di sepanjang sungai yang memiliki kadar salinitas yang lebih rendah umumnya

ditemukan Nypa fruticans dan Sonneratia caseolaris. Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis

palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku.

Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis

perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati, sementara jenis lain ditemukan

disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (Noor et al., 2006).

Kondisi Terkini Ekosistem Hutan Mangrove

Total luas hutan mangrove dunia pada tahun 2000 adalah 137.760 km2 dari

118 negara. Sejauh ini luas terbesar mangrove ditemukan di Asia 42%, diikuti

oleh Afrika (20%), Amerika Utara dan Tengah (15%), Oceania (12%), Amerika

Selatan (11%) dan 22, 6 % diantaranya berada di indonesia yaitu 3,112,989 Ha .

Sekitar 75% mangrove terkonsentrasi hanya dalam 15 negara (Giri et al., 2011).

Namun kondisi hutan mangrove sampai saat ini masih mengalami tekanan

akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek

kelestarian. Tuntutan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi

dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan

mangrove untuk pengembangan kota-kota dan pemukiman pantai, perluasan

tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali, telah

terbukti menjadi faktor faktor penyebab kerusakan ekosistem hutan mangrove dan

(3)

pencemaran air sungai/air laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah

lingkungan (Depertemen Kehutanan, 2005).

Deforestasi bakau dan degradasi akan mempengaruhi karbon hutan dan

menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan iklim, sisi lain

rehabilitasi hutan bakau meningkatkan penyerap karbon di tegakan hutan.

simpanan karbon dan fauna keanekaragaman makrobentos mencatat menunjukkan

peran rehabilitasi mangrove di stabilitas zona pasang surut. Indonesia memiliki

luas hutan mangrove terluas di dunia, namun, ekosistem tropis penting di wilayah

pesisir berada di bawah ancaman besar kerena berbagai aktifitas manusia

(Onrizal dan Mansor, 2010).

Pada akhir tahun 1960-an, Indonesia diperkirakan telah kehilangan lebih

dari 200.000 hektar hutan bakau yang sebagian besar di tingkat Jawa dan Sumatra.

Indonesia kehilangan bakau mulai secara dramatis meningkat di tahun 1970, pada

tahun 1980-an adanya kebijakan dari pemerintah untuk memperluas tambak

karena meningkatnya harga udang selama krisis keuangan Asia pada tahun 1997.

Hasilnya indonesia telah kehilangan luas mangrove sebanyak 800.000 ha hanya

dalam 30 tahun (Ilman et al., 2016).

Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non

hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk

pertambakan dan pertanian. Areal tambak di pesisir timur Sumatera Utara

bertambah seluas 10.025 ha dalam kurun waktu 12 tahun. Areal tambak pada

tahun 1988/1989 terluas terdapat di Kabupaten Deli Serdang (4.786 ha atau

46,32%), kemudian diikuti Kabupaten Langkat (4.462 ha atau 43,18%). Dengan

(4)

mencapai 15.901,92 ha atau dalam kurun waktu 1988/1989 sampai 2006 areal

tambak bertambah seluas 5.568,92 ha hanya dalam kurun waktu 17 tahun saja

(Onrizal., 2010).

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

Ekosistem mangrove yang menyediakan berbagai kebutuhan manusia saat

sekarang ini telah terancam akibat berbagai aktivitas manusia yang menyebabkan

hutan mangrove hilang dan rusak. Potensi manfaat ekonomi, sosial dan

kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang,

baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan

dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat

sekitar kawasan tidak mengalami perubahan dan secara langsung menimbulkan

akibat berupa sumber daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat

hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan

terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun (Purwoko et

al, 2005).

Kehilangan atau kerusakan hutan mangrove di suatu wilayah akan

menurunkan produktivitas mangrove dalam mendukung ekosistem pesisir dan

telah menimbulkan berbagai persoalan lingkungan seperti banjir, intruksi air laut,

abrasi pantai, penurunan volume dan keragaman jenis ikan yag ditangkap

(Onrizal., 2010). Mangrove merupakan hutan yang mengandung karbon yang

sangat besar di kawasan tropika. Kerusakan dan kehilangan mangrove akan

mengurangi karbon hutan dan menjadi salah satu faktor penting perubahan iklim

(5)

Tingkat kerusakan hutan mangrove di balik papan semakin bertambah

setiap tahunnya di dikarenakan pertumbuhan penduduk sebesar 1.34% per tahun

dan kepadatan penduduk yang terus meningkat sebesar 3.84% per tahun sehingga

50% lahan mangrove rusak karena dibangun pemukiman, pelabuhan, dan

pertambakan. Melihat 3 aspek yaitu aspek teknik, aspek sosial, dan aspek

kelembagaan, konsep ekowisata akan berhasil jika dilakukan konservasi hutan

mangrove serta adanya dukungan dari Pemerintah Kota Balikpapan, Peraturan

Undang-undang, peran serta masyarakat, dan Partisipasi BLH dan kalangan

Perguruan Tinggi (Mulyadi., 2010)

Restorasi Hutan Mangrove

Restorasi adalah suatu proses yang bertujuan untuk mendapatkan kembali

integritas ekologi dan meningkatkan kesejahteraan manusia di lanskap hutan

gundul atau terdegradasi. Untuk memastikan bahwa upaya restorasi berhasil,

langkah pertama adalah untuk memahami dinamika lanskap hutan dan kekuatan

dominan yang bertanggung jawab untuk perubahan tersebut. (Zhang et al., 2010).

Sebuah tim restorasi mangrove harus terdiri dari wakil-wakil dari berbagai

disiplin ilmu sehingga potensi penuh dari kerangka dapat diwujudkan. Di tempat

pertama penekanan sosial, ekonomi dan faktor ekologi dengan pertimbangan

khusus untuk Asia Tenggara (pengaruh antropogenik yang tinggi). Mangrove

yang mengalami Tipe II degradasi (penurunan karena peristiwa alam),

pertimbangan sosial dan ekonomi mungkin kurang kritis. Kedua pengetahuan

ekologi lokal, memiliki tinggi potensi untuk digunakan dalam restorasi mangrove

karena dapat bertindak sebagai agen simbiosis antara restorasi mangrove ekologi

(6)

dan memiliki potensi untuk memberikan arah baru. Hal ini diinginkan untuk

memanfaatkan pengetahuan ekologi tradisional bersama dengan ilmiah

pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen. Pengetahuan Tradisional juga dapat

disempurnakan melalui bertahap pengembangan pemahaman ilmiah. Ketiga, pada

pengukuran yang komprehensif saat keberhasilan restorasi merupakan tantangan

karena kurangnya indikator kuantitatif. Jika diukur Indikator dikembangkan, akan

lebih mudah untuk memantau keberhasilan atau kegagalan dari restorasi

mangrove (Biswas et al., 2009).

Rehabilitasi dan restorasi mangrove dapat mendorong kembalinya

spesies-spesies seperti herbivora, kepiting dan moluska secara umum. Mangrove hasil

restorasi mampu menyetarakan dengan tegakan alami. Dengan demikian

diperlukan upaya upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dapat menjamin

keberlanjutan ekosistem mangrove. Langkah awal yang dapat dilakukan untuk

mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menganalisis status kerusakan

yang terjadi, sehingga dapat dilakukan tingkatan kegiatan konservasi sebagai alat

untuk mengembalikan ekosistem mangrove yang hilang (Bosire et al., 2008).

Penggalakan kegiatan konservasi sebagai alat dan pengikut sertaan

masyarakat dalam kegiatan pemulihan serta pengelolaan mangrove sebagai upaya

antisipasi yang dapat dilakukan merupakan kunci keberhasilan pelestarian

mangrove. Upaya ini harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat,

melalui kegiatan ekowisata. Hal ini dilakukan untuk mencapai pembangunan

pesisir yang berkelanjutan, sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi yang

(7)

kualitas ekosistem mangrove sebagai sistem penyangga kehidupan (Wardhani,

M., 2011).

Pendugaan Karbon

Sebagian besar unsur C yang terurai ke udara biasanya terikat dengan O2

(oksigen) dan menjadi CO2(karbon dioksida), ketika satu hektar hutan menghilang

(pohon-pohonnya mati), maka biomasa pohon-pohon tersebut cepat atau lambat

akan terurai dan unsur karbonnya terikat ke udara menjadi emisi (terlepas dari

perdebatan laju dekomposisi kayu yang bervariasi). Satu lahan kosong ditanami

tumbuhan, maka akan terjadi proses pengikatan unsur C dari udara kembali

menjadi biomasa tanaman secara bertahap ketika tanaman tersebut tumbuh besar

(sekuestrasi). Ukuran volume tanaman penyusun lahan tersebut kemudian menjadi

ukuran jumlah karbon yang tersimpan sebagai biomasa (cadangan karbon) (Harja

et al., 2012).

Penyimpanan karbon yang diukur dari pohon, biomassa kayu mati,

kandungan karbon tanah, dan kedalaman tanah di hutan bakau. Pentingnya

penyimpanan karbon secara global di lahan basah pesisir di Indonesia dinilai

berdasarkan pengukuran kandungan karbon organik lamun hidup, biomassa bakau

dan tanah kolam, Lahan yang terus-menerus degradasi dan perusakan lahan basah

ini memiliki konsekuensi penting bagi emisi CO2 dan pertukaran karbon dengan

perairan pesisir yang berdekatan. Sekitar 29.040 Gg (Giga gram) CO2 kembali

setiap tahun ke atmosfer- dasar laut, ini Jumlah yang setara dengan 3,2% dari

emisi tahunan Indonesia yang terkait dengan hutan dan konversi lahan gambut

(8)

Berdasarkan persamaan alometrik umum faktor 0,5 biomassa dari karbon,

simpanan karbon di atas dan di bawah tanah, semua individu pohon yang

memiliki diameter 5 cm dan lebih dalam setiap jenis penggunaan lahan harus

dihitung. Simpanan karbon total bervariasi untuk setiap penggunaan jenis tanah,

simpanan karbon tertinggi ditemukan di lahan rehabilitasi mangrove (RM), yaitu

202,06 ton C / ha dengan distribusi karbon di atas tanah (138,17 ton C / ha atau

68,4%) dan karbon di bawah tanah (63,89 ton C / ha atau 31,6%). Jumlah karbon

pada penggunaan lahan SM lebih dari penggunaan lahan kolam sylvofishery ,

yaitu 145,64 ton C / ha dan 60,08 ton C / ha, masing-masing. Sementara itu

simpanan karbon tersimpan di lahan tambak intensif tidak ada dikarenakan semua

pohon bakau di tambak tersebut telah di bersihkan (Onrizal et al., 2009).

Kehilangan karbon di atas permukaan tanah terbesar (97%) ditemukan

pada hutan mangrove yang ditebang untuk arang bakau (PF), dan 87% hutan

mangrove yang ditebang bukan untuk arang bakau namun untuk penggunaan lain

(NF) oleh masyarakat sekitar hutan. Pengelolaan hutan mangrove sebagai hutan

desa mampu menjaga karbon di atas permukaan tanah sebagai bagian dari

karbon di dalam ekosistem mangrove, tipe pengelolaan hutan mangrove

berpengaruh nyata terhadap karbon di atas permukaan tanah. Pengelolaan hutan

mangrove berupa hutan konservasi belum mampu menjaga karbon dibandingkan

Referensi

Dokumen terkait

Kepala Seksi Operasi & Pemeliharaan Balai PSDA Serang Lusi Juana selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan;. PEMERINTAH PROVINSI

Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan Provinsi Jawa

The Rainforest Alliance works to conserve biodiversity and ensure sustainable livelihoods by transforming land-use practices, business practices and consumer behavior. The

[r]

3.8 Menganalisis fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan untuk menyatakan dan menanyakan tentang pengandaian jika terjadi suatu keadaan/kejadian/ peristiwa di

Pembangunan manusia Indonesia di bidang kesehatan dapat terlaksana dengan baik jika Indonesia bisa mewujudkan target sustainable development goals (SDG’s) seperti

individual Peserta didik diminta mengonversi teks eksplanasi kompleks ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun

baik untuk pelaksaanan kegiatan yang sesuai dengan sasaran ataupun tujuan