• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Nazhir Terhadap Tanah Wakaf yang Beralih Fungsi Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentangwakaf (Studi di Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Nazhir Terhadap Tanah Wakaf yang Beralih Fungsi Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentangwakaf (Studi di Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

WAKAF SEBELUMNYA

A. Ketentuan Umum Tentang Pelaksanaan Perwakafan Tanah Di Indonesia

1. Pengertian Wakaf

Wakaf adalah suatu pranata yang berasal dari hukum syari’ah, oleh karena itu

apabila membicarakan masalah perwakafan pada umumnya dan perwakafan tanah

pada khususnya, tidak mungkin untuk melepaskan diri dari pembicaraan tentang

konsepsi wakaf menurut hukum syari’ah, akan tetapi dalam hukum syari’ah tidak ada

konsep yang tunggal tentang wakaf ini, karena terdapat banyak pendapat yang sangat

beragam. Wakaf menurut bahasa berarti al-habsu, yang berasal dari kata kerja

habasa-yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan,

kemudian kata ini berkembang menjadi habbasa dan berarti mewakafkan harta

karena iman.48

Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqofa (fiil madi), yaqifu

(fiilmudori’), waqfan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri, sedangkan

wakaf menurut syara’ adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa

menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.49 Secara terminologis fiqih tampak di antara para ahli (fuqoha), berbeda pendapat

48Abdurrahman,

Op. Cit.,halaman. 15

49Adijani Al-Alabij,Perwakafan Tanah Indonesia Dalam Teori Dan Praktek,(Jakarta: Raja

(2)

terhadap batasan pendefinisian wakaf. Realitas dan kenyataan ini disebabkan karena

adanya perbedaan landasan dan pemahaman serta penginterpretasiannya terhadap

ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai hadits yang menerangkan tentang

wakaf.

Pasal 215 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa wakaf adalah

“perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang

memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran

syari’ah.”50

Berdasarkan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah suatu

perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum dengan

memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan

melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan

umum lainnya. Jadi esensi perwakafan adalah menahan suatu benda sehingga

memungkinkan untuk diambil manfaatnya dengan masih tetap zat (materi) bendanya.

2. Aturan Hukum Perwakafan

Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah

perwakafan, yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, di mana dalam

undang-undang ini dapat dijelaskan beberapa substansi di bawah ini:

(3)

a. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau

menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya

atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna

keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut ketentuan hukum

syari’ah.51

b. Adapun tujuan dari perbuatan wakaf itu sendiri berfungsi untuk menggali

potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan untuk kepentingan

ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.52

c. Dalam setiap perbuatan wakaf harus memenuhi unsur-unsurnya, yaitu wakif,

nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, dan

jangka waktu wakaf.53

d. Pihak yang ingin mewakafkan (wakif) meliputi perseorangan, organisasi,

dan badan hukum.54 Demikian juga bagi nazhir (pengelola) wakaf meliputi perseorangan, organisasi, dan badan hukum.55

e. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Ketentuan ini

merupakan payung hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda

wakaf tidak boleh dicabut kembali dan atau dikurangi volumenya oleh wakif

dengan alasan apapun.56

51Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 52Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 53

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

54

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(4)

f. Perubahan status harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang

dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual diwariskan, ditukar atau

dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, kecuali apabila untuk

kepentingan umum.57

g. Dari hasil pengelolaan wakaf secara produktif tersebut, dapat dimanfaatkan

untuk kepentingan sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan

pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar,

yatim piatu, bea siswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan/atau

kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan

syari’ah dan peraturan perundang-undangan.58

h. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan

pengecualian sebagaimana wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat

dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf

semula.59

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Pokok-Pokok Agraria (UUPA), di mana dalam undang-undang ini masalah perwakafan

dapat di ketahui dari beberapa pasal yang memuat rumusan-rumusan wakaf, yaitu

sebagai berikut:

a. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air

dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan

57Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 58Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

(5)

kepentingan nasional dan negara, dengan mengindahkan unsur-unsur yang

bersandar pada hukum agama.” Dalam rumusan pasal ini jelaslah bahwa

hukum adatlah yang menjadi dasar hukum agraria, yaitu hukum yang tidak

tertulis dalam bentuk perundang-undangan yang di sana sini mengandung

unsur agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya

lembaga wakaf.

b. Pasal 14 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa:

“Pemerintah dalam rangka sosialisme, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan negara, untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya.”

Dalam rumusan pasal ini terkandung perintah kepada pemerintah pusat dan

pemerintah daerah untuk membuat sekala prioritas penyediaan, peruntukan

dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang

dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturan

tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci

lainnya.

c. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa “hak milik tanah-tanah badan keagamaan

dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan

sosial, diakui dan dilindungi.” Badan-badan tersebut dijamin akan

memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang

keagamaan dan sosial. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan

(6)

bersangkutan dengan pribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum

agraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,

di mana peraturan ini terdiri atas tujuh bab, delapan belas pasal, meliputi

pengertian tentang wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf, tata cara

mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan

pengawasan wakaf, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Maksud

dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum

mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf.

Berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian dapat dikurangi.

Namun demikian masih dirasakan adanya hambatan dan atau permasalahan

terkait dengan peraturan pemerintah ini antara lain:

a. Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah hak milik dan badan-badan

sosial keagamaan dijamin dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak pakai.

Bagaimanakah wakaf tanah dengan hak guna bangunan atau guna usaha yang

di dalam praktek dapat diperpanjang waktunya sesuai dengan pemanfaatan

wakaf.

b. Penerima wakaf(nazhir) disyaratkan oleh peraturan yang mempunyai cabang

atau perwakilan di kecamatan atau di mana tanah wakaf terletak, dalam

pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan justru menimbulkan hambatan.

Terkait dengan masalah tersebut bagaimana jika nazhir itu bersifat

(7)

c. Peraturan ini hanya membatasi wakaf benda-benda tetap, khususnya tanah.

Bagaimana wakaf yang obyeknya benda-benda bergerak selain tanah atau

bangunan.

d. Hambatan-hambatan lain yang bersifat yuridis, misalnya kesadaran hukum

masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, kesediaan tenaga yang

menangani pendaftaran atas sertifikasi wakaf, serta peningkatan kesadaran

paranazhirakan tugas dan kewajibannya.

4. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), berisi

perintah kepada menteri dalam rangka penyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam

(KHI). Hukum perwakafan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam

(KHI) pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan yang telah diatur oleh

perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa hal, hukum

perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut merupakan

pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan

hukum syari’ah. Beberapa ketentuan hukum perwakafan yang merupakan

pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada

perundang-undangan sebelumnya, antara lain:

a. Obyek wakaf, tidak hanya berupa tanah milik sebagaimana disebutkan dalam

peraturan pemerintah. Obyek wakaf tersebut lebih luas, hal ini sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 215, Point (1) KHI yang menyatakan bahwa “wakaf

adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum

(8)

selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai

dengan ajaran syari’ah”, dan Point (2) “benda wakaf adalah segala benda baik

benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak

hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran syari’ah.”

b. Nazhir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah di hadapan

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, disaksikan sekurang-kurangnya

oleh 2 (dua) orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut “demi allah, saya

bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi nazhir langsung atau tidak

langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan

ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga.” “Saya bersumpah,

bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuai dengan jabatan ini

tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun

juga sesuatu janji atau pemberian.” “Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa

akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada

saya selaku nazhir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengantujuan yang

diikrarkan.”60

c. Jumlah nazhir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan

sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh)

orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan atas saran

Majelis Ulama Kecamatan dan Camat.61

(9)

d. Perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu

setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor

Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama

Kecamatan.62

3. Jenis-Jenis Wakaf

Wakaf sebagai suatu lembaga dalam hukum syari’ah tidak hanya mengenal 1

(satu) macam wakaf saja, ada berbagai macam wakaf yang dikenal dalam hukum

syari’ah yang pembedaannya didasarkan atas beberapa kriteria, yaitu untuk

kepentingan yang kaya dan yang miskin dengan tidak berbeda, untuk keperluan yang

kaya dan sesudah itu baru untuk yang miskin, untuk keperluan yang miskin

semata-mata.63Pendapat lain mengenai berbagai macam wakaf yang ada antara lain sebagai berikut:

a. Wakaf Khusus

Wakaf ahli (keluarga atau khusus) ialah wakaf yang ditujukan kepada orang

orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Misalnya

mewakafkan buku-buku untuk anak-anak yang mampu mempergunakan, kemudian

cucu-cucunya. Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta

wakaf adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan ikrar wakaf yang diucapkan

oleh pewakif.64 b. Wakaf Umum

62Pasal 225 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

(10)

Wakaf khairi atau wakaf umum ialah wakaf yang sejak semula ditujukan

untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf

khairi ini sejalan dengan jiwa amalan wakaf yang amat digembirakan dalan ajaran

syari’ah, yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir, sampai bila wakif

telah meninggal, selagi harta wakaf masih tetap dapat diambil manfaatnya. Wakaf ini

dapat dinikmati oleh masyarakat dan umat manusia secara luas dan dapat menjadi

salah satu bentuk sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dalam

lingkup yang luas, baik dalam bidang sosial ekonomi, pendidikan, kebudayaan

maupun keagamaan.65 c. WakafSyuyu’

Selain kedua macam bentuk wakaf tersebut, yaitu wakaf ahli dan wakaf

khairi, maka apabila ditinjau dari segi pelaksanaannya di dalam hukum syari’ah

dikenal juga berbagai macam jenis wakaf di antaranya adalah adanya wakaf syuyu’

dan wakaf mu’allaq. Wakaf syuyu’ adalah wakaf yang pelaksanaannya dilakukan

secara gotong royong, dalam arti beberapa orang berkelompok (bergabung) menjadi

satu untuk mewakafkan sebidang tanah (harta benda) secara patungan dan

berserikat.66

Pada prakteknya, wakaf syuyu’ untuk masa sekarang di mana harga tanah

sudah relatif amat mahal, banyak terjadi dan dilakukan oleh masyarakat. Sebagai

contoh, dalam hal pembangunan masjid yang memerlukan lahan atau tanah yang

65

Ibid.halaman. 15

66Nur Chozin,Penguasaan Dan Pengalihan Manfaat Wakaf Syuyu’ (Tergabung), (Mimbar

(11)

cukup luas. Dalam hal panitia pembangunan masjid tersebut tidak mempunyai dana

yang relatif cukup untuk membeli tanah yang diperlukan, dan tidak ada orang yang

mampu atau orang yang mewakafkan tanah seluas tanah yang diperlukan, maka

panitia pembangunan masjid tersebut biasanya akan menawarkan kepada masyarakat

untuk memberikan wakaf semampunya.67 Dalam arti masyarakat tersebut secara bersyarikat (bergotong-royong) membeli sisa harga tanah yang belum terbeli

(terbayar) oleh panitia pembangunan masjid tersebut. Praktek perwakafan semacam

ini, dalam fiqih dan juga hukum agraria nasional dapat dibenarkan.68 d. WakafMu’allaq

Wakaf mu’allaq adalah suatu wakaf yang dalam pelaksanaannya

digantungkan, atau oleh si wakif dalam ikrarnya menangguhkan pelaksanaannya

sampai dengan ia meninggal dunia. Dalam arti, bahwa wakaf itu baru berlaku setelah

ia sendiri meninggal dunia. Untuk wakaf mu’allaq, dalam prakteknya untuk masa

sekarang, yakni setelah masalah perwakafan diatur secara positif dalam hukum

nasional, suatu perwakafan harus berlaku seketika itu juga, yakni setelah wakif

mengucapkan ikrar wakaf. Praktek wakaf mu’allaq banyak terjadi di masa lampau,

yakni sebelum masalah perwakafan diatur dalam aturan norma hukum positif.69 e. Wakaf Produktif

67

Ibid.

68

Ibid.

69 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (Jakarta:

(12)

Perbincangan tentang pemberdayaan harta benda wakaf secara produktif dan

profesional telah lama diwacanakan oleh masyarakat muslim dunia. Namun tidak

banyak dari kalangan ahli-ahli muslim dan praktisi baik di level nasional maupun

lokal, mengimplementasikan ide-ide itu dalam realitas kehidupan sehari-hari.

Berbagai peraturan dan perundang-undangan pun telah dibuat dengan harapan untuk

merealisasikan wakaf produktif, namun sedikit sekali aturan itu menjadi acuan untuk

mewujudkan manfaat wakaf secara optimal. Perbuatan wakaf adalah termasuk suatu

aqad tabarru, yakni suatu pelepasan hak berupa pemindahan hak milik dari wakif

sebagai pemilik kepada pihak lain, tanpa disertai penggantian atau imbalan apapun.70

4. Rukun Dan Syarat Wakaf

Hukum fiqih mengenal ada 4 (empat) rukun atau unsur wakaf, antara lain

adalah orang yang berwakaf (wakif), orang yang mewakafkan disyaratkan cakap

bertinfak dalam membelanjakan hartanya (mewakafkan). Kecakapan bertindak disini

meliputi merdeka, berakal sehat, dewasa, tidak dibawah pengampuan. Benda yang

diwakafkan (mauquf) dipandang sah apabila memiliki nilai baik benda bergerak

maupun benda tidak bergerak, dalam hal ini tanah wakaf. penerima wakaf(nazhir),

dan lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf.71 Pernyataan penyerahan wakaf atau

shigotdapat dilakukan secara lisan atau tulisan. Dengan pernyataan itu, maka tinggal

lah hak wakif terhadap benda tersebut.

70 Anwar Syamsul,

Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), halaman. 43

(13)

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah

Milik, tidak mencantumkan secara lengkap unsur-unsur perwakafan, kendatipun

demikian, untuk memenuhi fungsi wakaf di dalam ketentuan umum dan dalam

peraturan pelaksananya, nazhir merupakan salah satu unsur perwakafan, oleh

karenanya unsur-unsur perwakafan tanah milik adalah wakif, ikrar, benda yang

diwakafkan, tujuan wakaf dan nazhir. Pelaksanaan wakaf dianggap sah apabila

terpenuhi syarat-syarat yaitu antara lain sebagai berikut:72

a. Wakaf harus orang yang sepenuhnya menguasai sebagai pemilik benda yang akan diwakafkan, si wakif tersebut harus mukallaf (akil baligh) dan atas kehendak sendiri.

b. Benda yang akan diwakafkan harus kekal dzatnya, berarti ketika timbul manfaatnya dzat barang tidak rusak, harta wakaf hendaknya disebutkan dengan terang dan jelas kepada siapa dan untuk apa diwakafkan.

c. Penerima wakaf haruslah orang yang berhak memiliki sesuatu, maka tidak sah wakaf kepada hamba sahaya.

d. Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas baik dengan lisan maupun tulisan.

e. Dilakukan secara tunai dan tidak ada khiyar (pilihan) karena wakaf berarti memindahkan wakaf pada waktu itu, jadi peralihan hak terjadi pada saat ijab qobul ikrar wakaf oleh pewakif kepada nazhir sebagai penerima benda perwakafan.

5. Pelaksanaan Perwakafan

Wakaf dalam implementasi di lapangan merupakan amal kebajikan, baik yang

mengantarkan seorang muslim kepada inti tujuan dan pilihannya, baik tujuan umum

maupun khusus. Adapun tujuan umum wakaf adalah bahwa wakaf memiliki fungsi

sosial. Allah memberikan manusia kemampuan dan karakter yang beraneka ragam,

dari sinilah kemudian timbul kondisi dan lingkungan yang berbeda di antara

masing-masing individu, ada yang miskin, kaya, cerdas, bodoh, kuat dan lemah. Di balik

(14)

semua itu, tersimpan hikmah, di mana diberikan kesempatan kepada yang kaya

menyantuni yang miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh dan yang kuat

menolong yang lemah, yang demikian merupakan wahana bagi manusia untuk

melakukan kebajikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada sang pencipta,

sehingga interaksi antar manusia saling terjalin.73

Dari perbedaan kondisi sosial tersebut, sudah sewajarnya memberi pengaruh

terhadap bentuk dan corak pembelajaran harta kekayaan. Ada pembelajaran yang

bersifat mengikat (wajib), ada juga yang bersifat sukarela (sunnah), ada yang bersifat

tetap (paten), dan ada juga yang sekedar memberi manfaat (tidak paten), namun

demikian yang paling utama dari semua cara tersebut, adalah mengeluarkan harta

secara tetap, dengan sistem yang teratur serta tujuan yang jelas, di situlah peran serta

wakaf yang menyimpan fungsi sosial dalam masyarakat dapat diwujudkan.74

Pada hakekatnya, wakaf adalah suatu perjanjian peralihan hak atas tanah, di

mana dalam politik hukum agraria nasional menentukan bahwa setiap orang yang

melakukan perbuatan hukum berupa pengalihan hak atas tanah, wajib melakukannya

di hadapan pejabat yang berwenang dan yang ditunjuk oleh peraturan

perundang-undangan, guna mendapatkan akta sebagai alat buktinya.75 Untuk melaksanakan perwakafan, diperlukan tahapan persiapan, di mana dalam tahap persiapan ini,

73

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Hukum Wakaf, (Depok: Iman Press, 2004), halaman. 83 74Ibid., halaman. 84

(15)

dilakukan pengumpulan bahan-bahan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi

dalam pelaksanaan ikrar wakaf, di mana persyaratan administrasi tersebut adalah:76 a. Tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, berupa sertifikat atau surat tanda

bukti hak atas tanah yang telah didaftar, sebagai alat pembuktian yang kuat, di

mana dalam perwakafan, tanah yang akan diwakafkan harus berupa tanah

dengan status hak milik, jadi tanda bukti kepemilikannya harus berupa

sertifikat hak milik, sedangkan untuk tanah yang belum terdaftar, dapat

diganti dengan tanda bukti kepemilikan atas tanah lainnya yaitu:

1) Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan.

2) Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria.

3) Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, yang disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi kewajiban yang disebutkan di dalamnya.

4) Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala adat, kepala desa, kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan.

5) Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan. 6) Surat penunjukan atau pembelian kavling tanah pengganti tanah yang

diambil oleh pemerintah daerah.

b. Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan, yang mana persyaratan ini mutlak

diperlukan untuk membuktikan bahwa tanah yang akan diwakafkan tersebut

betul-betul tanah miliknya. Mengingat sifat keabadian dan kekekalan wakaf,

tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah hak milik, dengan sifatnya yang turun

temurun, terpenuh dan terbulat. Tanah yang tidak berstatus hak milik tidak dapat

(16)

diwakafkan, karena mengandung hak yang terbatas, terikat oleh tenggang waktu

tertentu, dan lagi pula yang menjadi pemilik dari tanah-tanah tersebut bukan

pemegang hak-hak atas tanah tersebut melainkan negara atau orang lain, oleh

karena itu tanah-tanah tersebut tidak dapat diwakafkan. Bukti-bukti pemilikan

tersebut di atas diperlukan sebagai ketegasan kepemilikan hak atas tanah dan

diharapkan dapat dijadikan alat bukti yang kuat bila nantinya ada pihak-pihak

yang melakukan gugatan atas tanah wakaf tersebut.

c. Surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa,

ikatan, sitaan, dan tidak dijaminkan di bank yang diketahui oleh kepala desa atau

pejabat lain yang setingkat. Surat pernyataan ini sangat penting guna

memberikan kejelasan dan jaminan bahwa tanah yang akan diwakafkan tersebut

benar-benar bebas dari segala macam sengketa, ikatan, sitaan maupun

pembebanan-pembebanan seperti hak tanggunan.

d. Surat keterangan pendaftaran tanah dari instansi yang berwenang mengeluarkan

surat tersebut.

e. Surat ijin pemerintah daerah, di mana surat ijin ini penting dan sangat dibutuhkan

untuk mengetahui apakah tanah yang akan diwakafkan tersebut telah sesuai

dengan fungsi kawasan di mana tanah tersebut terletak dan disesuaikan dengan

(17)

tata ruang kota, dan harus dipergunakan sesuai dengan rencana penggunaan tanah

yang ditetapkan.77

Persiapan lain yang juga harus dilakukan adalah menghubungi para saksi yang

dibutuhkan dalam pelaksanaan wakaf. Para saksi sebaiknya yang dipercayai

kebaikannya oleh masyarakat setempat. Selain itu calon wakif juga harus

menghubungi nazhir yang hendak diserahi amanat guna pengurusan dan pengelolaan

tanah wakaf tersebut. Setelah semua persyaratan administrasi perwakafan telah

dipenuhi, selanjutnya calon wakif bersama-sama dengannazhir dan para saksi harus

datang menghadap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat yang

berkedudukan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk

melaksanakan ikrar wakaf. Penyampaian maksud untuk melaksanakan ikrar wakaf

tersebut harus disertai dengan penyerahan persyaratan administrasi yang telah

dipenuhi dalam tahap persiapan perwakafan.

Sebelum pejabat yang bersangkutan melaksanakan pembuatan ikrar wakaf,

maka pejabat tersebut berkewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu hal-hal sebagai

berikut:78

a. Latar belakang maksud dan kehendak calon wakif, dalam hal ini maksud dan

kehendak calon wakif tersebut harus benar-benar ikhlas lillahi ta’ala atau atas

kemauan sendiri dan tanpa paksaan dari orang lain.

77Taufiq Hamami,

Op. Cit.,halaman. 129

78 Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Ansoruddin Nasution, Kepala Kantor Urusan

(18)

b. Keadaan tanah yang hendak diwakafkan, bahwa tanah tersebut merupakan

benar-benar milik calon wakif dan terlepas atau terbebas dari halangan hukum, dalam

hal ini sengketa, ikatan, sitaan, dan tidak dijaminkan di bank.

c. Meneliti nazhir yang ditunjuk oleh calon wakif, apabila nazhir tersebut belum

disahkan, maka setelah dianggap memenuhi persyaratan kenazhiran oleh pejabat

yang bersangkutan, maka harus segera mengesahkan nazhir tersebut dengan

mempertimbangkan saran-saran dari majelis ulama dan camat.

d. Meneliti para saksi ikrar wakaf, para saksi dalam pelaksanaan ikrar wakaf harus

memenuhi syarat dewasa, muslim, berakal sehat dan tidak terhalang untuk

melakukan perbuatan hukum.

Setelah semua persyaratan telah terpenuhi, maka pejabat yang bersangkutan

mempersilahkan calon wakif untuk mengucapkan ikrar wakafnya kepada nazhir.

Pengucapan akta ikrar wakaf harus dilakukan secara lisan dengan tegas dan jelas di

hadapan pejabat tersebut, akan tetapi bila ternyata wakif tidak mampu menyatakan

kehendaknya secara lisan, karena calon wakif bisu misalnya, maka wakif dapat saja

menyatakannya secara isyarat. Pengucapan ikrar harus mencakup hal-hal sebagai

berikut, yaitu identitas wakif, pernyataan kehendak, identitas tanah yang hendak

diwakafkan, tujuan yang diinginkan, identitas nazhir, dan saksi-saksi.79 Selanjutnya ikrar tersebut dibacakan kepadanazhirdi hadapan pejabat yang bersangkutan. Bentuk

(19)

dan model ikrar wakaf yang harus diucapkan oleh wakif dibuat seragam dan

ditetapkan oleh Menteri Agama.80

Pengucapan ikrar wakaf baik secara lisan maupun penuangannya dalam Akta

Ikrar Wakaf, harus dilihat dan didengar secara langsung oleh saksi-saksi, bila tidak

maka kesaksiannya dapat dikatakan tidak sah, dengan demikian dapat dianggap

bahwa pengucapan dan penuangan ikrar wakaf yang tanpa saksi sehingga dapat

mengakibatkan perbuatan wakaf tersebut tidak sah. Selain harus diucapkan secara

lisan, pejabat yang bersangkutan juga akan menuangkan dalam Akta Ikrar Wakaf, hal

tersebut dimaksudkan untuk memperoleh bukti yang otentik dari pelaksanaan ikrar

wakaf. Selain itu Akta Ikrar Wakaf tersebut juga sebagai syarat dalam pendaftaran di

kantor pertanahan setempat dan juga sebagai alat bukti bila di kemudian hari terjadi

sengketa.81

PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap 3 (tiga), yaitu lembar pertama

disimpan oleh PPAIW, lembar kedua dilampirkan bersama surat permohonan

pendaftaran tanah wakaf pada kantor pertanahan setempat, lembar ketiga dikirim ke

pengadilan agama setempat. Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh PPAIW harus

dibuatkan salinannya rangkap 4 (empat), yaitu:

a. Salinan lembar pertama diserahkan kepada wakif. b. Salinan lembar kedua diserahkan kepadanazhir.

c. Salinan lembar ketiga dikirim pada kantor departemen agama kabupaten atau kota setempat.

80

Pasal 9 Ayat (1)Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977Tentang Perwakafan Tanah Milik

81 Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Ansoruddin Nasution, Kepala Kantor Urusan

(20)

d. Salinan lembar keempat dikirim pada kepala kelurahan atau desa setempat.82 Setelah selesainya pelaksanaan ikrar wakaf dan pembuatan akta ikrarnya,

maka perbuatan wakaf tersebut dianggap telah terwujud dalam keadaan sah dan

mempunyai kekuatan bukti yang kuat, dengan demikian tanah wakaf tersebut telah

terjamin dan terlindungi eksistensi dan keberadaannya, serta untuk lebih memperkuat,

maka harus dilakukan pendaftaran atas tanah wakaf tersebut di kantor pertanahan

setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diberikan tanda bukti haknya.83

B. Fungsi Peruntukan Tanah-Tanah Wakaf Di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Berdasarkan peruntukannya, tanah mempunyai keterkaitan yang sangat erat

dengan kelanjutan hidup manusia, siapa pun dan di mana pun seseorang akan selalu

membutuhkan tanah, karenanya tanah termasuk harta benda primer yang melekat

dengan kehidupan itu sendiri. Paradigma pemahaman masyarakat terhadap tanah

menjadi sangat penting ketika dihubungkan dengan perkembangan penduduk seperti

sekarang ini, sudah barang tentu penyediaan tanah baik sebagai tempat pemukiman,

lahan pertanian atau sebagai areal pembangunan akan menempati persoalan pokok

dan tentu saja akan menjadi salah satu persoalan sosial yang cukup peka. Harus

diakui, bahwa untuk saat ini terlihat semakin meningkatnya kebutuhan tanah

82

Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Ansoruddin Nasution, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang, Pada Hari Jum’at 18 November 2016.

83 Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Ansoruddin Nasution, Kepala Kantor Urusan

(21)

sementara areal tanah semakin sempit, karena itulah secara ideologis, pemberdayaan

wakaf tanah untuk kesejahteraan umat manusia mendapati urgensinya.84

Pada umumnya, umat memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas

untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang lazim dilaksanakan seperti tercermin

dalam pembentukan masjid, musholla, sekolah, makam dan lain-lain. Peruntukan

yang lain yang lebih menjamin produktivitas dan kesejahteraan umat nampaknya

masih belum diterima. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf diharapkan dapat mengubah paradigma masyarakat tentang peruntukkan

wakaf, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang selama

bertahun-tahun dipegang dengan mengidentikan bahwa harta benda wakaf adalah harta benda

tidak bergerak yang tidak dapat dikelola dan tidak mempunyai nilai ekonomi tanpa

menyadari bahwa pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang sempit.

Paradigma baru tentang harta wakaf dapat dilihat dalam undang-undang yang

menyebutkan bahwa “harta wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda

bergerak.” Benda tidak bergerak bisa berupa tanah, bangunan dan tanaman yang

semuanya berhubungan dengan tanah, sedangkan benda bergerak adalah harta benda

yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia dan surat

berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan harta bergerak lain

sesuai dengan kententuan syari'ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.85

(22)

Wakaf ini dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas dan dapat merupakan

salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, baik dalam

bidang sosial ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan. Suatu tanah

milik yang diwakafkan tidak boleh dirubah, baik yang menyangkut masalah

peruntukan atau penggunaan lain dari apa yang telah ditentukan dalam ikrar wakaf,

maupun yang menyangkut masalah status tanah wakafnya itu sendiri, seperti dijual,

dihibahkan atau diwariskan dan tindakan-tindakan hukum lain yang bersifat peralihan

hak atas tanah dengan akibat berubahnya status tanah wakaf menjadi hak atas tanah

bukan wakaf.

Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya

berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak

terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga

dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, bukan hanya karena kelalaian

atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda

wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami

status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi untuk kesejahteraan umum

sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.

Fungsi wakaf itu sendiri terbagi menjadi beberapa fungsi wakaf, antara lain

yaitu sebagai berikut:86

1. Fungsi ekonomi, di mana salah satu aspek yang terpenting dari wakaf adalah

keadaan sebagai suatu sistem transfer kekayaan yang efektif.

(23)

2. Fungsi sosial, apabila wakaf diurus dan dilaksanakan dengan baik, berbagai

kekurangan akan fasilitas dalam masyarakat akan mudah teratasi.

3. Fungsi ibadah, di mana wakaf merupakan satu bagian ibadah dalam pelaksanaan

perintah agama, serta dalam rangka mendekatkan diri kepada sang pencipta.

4. Fungsi akhlak, di mana wakaf akan menumbuhkan akhlak yang baik, yang mana

setiap orang rela mengorbankan apa yang paling dicintainya untuk suatu tujuan

yang lebih tinggi daripada kepentingan pribadinya.

Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu

pengkaderkan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia, sebab manusia

menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor

maksud-maksud hukum syari’ah, di antaranya semangat keagamaan, yaitu beramal

karena untuk keselamatan umat manusia pada hari akhir kelak, maka wakafnya

tersebut menjadi sebab keselamatan, pelindung, penambah pahala, dan pengampunan

dosa.

Semangat sosial, yaitu kesadaran manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan

bermasyarakat, sehingga wakaf yang dikeluarkan merupakan bukti partisipasi dalam

pembangunan masyarakat. Motivasi keluarga, yaitu menjaga dan memelihara

kesejahteraan orang-orang yang ada dalam nasabnya. Seseorang mewakafkan harta

bendanya untuk menjamin kelangsungan hidup anak keturunannya, sebagai cadangan

di saat-saat mereka membutuhkannya. Dorongan kondisional, yaitu terjadi jika ada

seseorang yang ditinggalkan keluarganya, sehingga tidak ada yang menanggungnya,

(24)

tersebut maka si wakif bisa menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-orang

tersebut.87

Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi wakaf dimaksudkan

dengan adanya wakaf terciptanya sarana dan prasarana bagi kepentingan umum

sehingga terwujudnya kesejahteraan bersama baik dalam hal ibadah ataupun dalam

hal mu’amalah, dengan demikian orang yang kehidupannya di bawah garis

kemiskinan dapat tertolong kesejahteraannya dengan adanya wakaf, kemudian umat

yang lainnya dapat menggunakan benda wakaf sebagai fasilitas umum sekaligus

dapat mengambil manfaatnya.88

C. Ketentuan Hukum Mengenai Tanah Wakaf Yang Beralih Fungsi Dan Tidak Sesuai Dengan Akta Ikrar Wakaf Sebelumnya

Perubahan status wakaf dalam ajaran syari’ah pada dasarnya tidak

diperbolehkan, kecuali wakaf tersebut tidak dapat kembali dimanfaatkan sesuai

dengan tujuan wakaf, maka perubahan itu dapat dilakukan terhadap wakaf yang

bersangkutan. Para ulama atau ahli hukum syari’ah memang beragam pendapatnya,

tentang boleh tidaknya melakukan perubahan status pada benda wakaf, seperti

menjual, merubah bentuk atau sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar

dengan benda lain.

1. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanafiyah

(25)

Dalam perspektif madzhab Hanafi, ibdal (penukaran) dan istibdal

(penggantian) boleh dilakukan, kebijakan ini berpijak dan menitikberatkanpada

maslahat yang menyertai praktik tersebut. Menurut mereka, ibdal bolehdilakukan

oleh siapapun, baik wakif sendiri, orang lain, maupun hakim, tanpamenilik jenis

barang yang diwakafkan, apakah berupa tanah yang dihuni,tidak dihuni, bergerak,

maupun tidak bergerak.89Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebutdalam tiga hal:90

a. Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika mewakafkannya, contoh ketika wakif ingin berwakaf ia berkata “tanahku ini aku wakafkan dengan syarat bahwa di kemudian hari aku bisa menggantinya dengan barang wakaf yang lain, atau berhak untuk menjualnya dan membeli barang lain sebagai gantinya.”

b. Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dengan kata lain benda wakaf sudah tidak mendatangkan manfaat sama sekali, maka boleh dijual dan hasilnya dibelikan tanah lain yang lebih maslahat, dan penjualan tanah wakaf tersebut harus mendapat izin dari hakim terdahulu.

c. Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat nantinya.

2. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Malikiyah

Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiyah melarang keras penggantian

barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan

membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak. Kebanyakan

fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan penggantian barang wakaf yang bergerak

dengan pertimbangan kemaslahatan. Untuk mengganti barang wakaf yang bergerak,

ulama Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan

89

Ibid., halaman. 349

90Muhammad Jawad Mugniyah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Ala Al-Mazahib Al-Khamsah

(26)

lagi. Mengikuti syarat ini, diperbolehkan menjual buku-buku wakaf yang berisi

bermacam disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi,

namun sebaliknya, tidak boleh menjual buku-buku itu selama masih bisa digunakan.

Para ulama Malikiyah dengan tegas melarang penggantian barang wakaf yang

tidak bergerak, dengan mengecualikan kondisi darurat yang sangat jarang terjadi atau

demi kepentingan umum, jika keadaan memaksa, mereka membolehkan penjualan

barang wakaf, meskipun dengan cara paksaan. Dasar yang mereka gunakan sebagai

pijakan adalah bahwa penjualan akan berpeluang pada kemaslahatan dan kepentingan

umum.91

Kalangan ulama Malikiyah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang

menjual atau memindahkan tanah wakaf. Mayoritas ulama Malikiyah melarang

menjual atau memindahkan tanah wakaf sekalipun tanah tersebut tidak mendatangkan

hasil sama sekali, sebagian ulama Malikiyah lainnya memperbolehkan menggantikan

dengan menukarkan tanah wakaf yang tidak atau kurang bermanfaat dengan tanah

lain yang lebih baik, namun dengan tiga syarat, yaitu:92

a. Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual.

b. Benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan semula diwakafkannya.

c. Apabila penggantian benda wakaf dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya, dan sebagainya.

3. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Syafi’iyah

91Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,

Op. Cit.,halaman. 366-368

92Muhammad Abu Zahrah, Al-Waqf, Cetakan Kedua (Beirut: Dar Al-Fikr, 1971), halaman.

(27)

Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi’iyah dikenal

lebih berhati-hati dibanding ulama mazhab lainnya, hingga terkesan seolah-olah

mereka mutlak melarang istibdal dalam kondisi apa pun. Kalangan Syafi’iyah

mensinyalir penggantian tersebut dapat berindikasi penggelapan atau penyalahgunaan

barang wakaf, namun dengan ekstra hati-hati, mereka tetap membahas masalah

penggantian beberapa barang wakaf, secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam

dua kelompok.

Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau menggantinya,

mereka melarang penjualan barang wakaf apabila tidak ada jalan lain untuk

memanfaatkannya, selain dengan cara mengkonsumsi sampai habis. Sebagai

implikasi pendapat tersebut, jika barang wakaf berupa pohon yang kemudian

mengering tak berbuah dan hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka

penerima wakaf mempunyai wewenang untuk menjadikannya sebagai kayu bakar,

tanpa memiliki kewenangan menjualnya, sebab dalam pandangan mereka meskipun

barang wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara mempergunakannya sampai

habis, barang tersebut tetap memilki satu unsur yang menjadikannya sebagai barang

wakaf, sehingga tidak boleh dijual.

Kelompok yang memperbolehkan penjualan barang wakaf dengan alasan

tidak mungkin dimanfaatkan seperti yang dikehendaki waqif. Pendapat ulama

Syafi’iyah tentang kebolehan penjualan barang wakaf ini berlaku jika barang wakaf

tersebut berupa benda bergerak. Mengenai hukum barang wakaf yang tidak bergerak,

(28)

mengindikasikan seolah-olah mereka meyakini bahwa barang wakaf yang tak

bergerak tidak mungkin kehilangan manfaatnya, sehingga tidak boleh dijual atau

diganti.93

4. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanabilah

Dalam masalah boleh tidaknya penggantian barang wakaf, ulama Hanabilah

tidak membedakan antara benda bergerak dan tak bergerak. Kalangan ini juga tidak

membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk masjid atau bukan masjid.94Terlihat mazhab Hanbali tidak memberikan pembatasan yang ketat mengenai kebolehan

menjual atau memindahkan tanah wakaf dan masjid sekalipun. Kebolehan tersebut

dikelompokkan dalam dua hal yaitu:

a. Apabila barang wakafnya sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi, sesuai dengan

maksud orang yang mewakafkannya, seperti wakaf masjid yang telah rusak dan

tidak mungkin untuk dimanfaatkan lagi, maka tanah beserta bangunan masjid

tersebut boleh dipindahkan ke tempat lain sebagai pengganti masjid yang rusak.

b. Apabila penggantian benda wakaf tersebut lebih maslahat dan lebih bermanfaat

dari pada barang wakaf sebelumnya, misalnya wakaf masjid yang sudah tidak

bisa menampung jama’ah yang semakin bertambah jumlahnya, maka dalam hal

ini masjid tersebut boleh dibongkar dan kemudian di atas tanahnya dibangun

masjid baru yang lebih besar.95

93

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Op. Cit.,halaman. 371-373

94Muhammad Jawad Mugniyah,

Loc. Cit.,halaman. 333

95 Masfuk Zuhdi, Studi Islam Dan Muamalah, Cetakan Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo

(29)

Ulama Hanabilah membatasi izin penggantian dengan adanya pertimbangan

kemaslahatan dan kondisi darurat, kalangan ini memfatwakan bolehnya menjual

bagian wakaf yang rusak demi memperbaiki bagian yang lain, itu semua adalah demi

kemaslahatan.96 Amalan wakaf amat bergantung kepada dapat atau tidaknya harta wakaf dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Amalan wakaf akan bernilai ibadah,

bila harta wakaf betul-betul dapat memenuhi fungsi yang dituju, dan dalam hal harta

wakaf mengalami berkurang, rusak atau tidak dapat memenuhi fungsinya

sebagaimana dituju, harus dicarikan jalan bagaimana agar harta wakaf itu berfungsi

kembali.

Apabila untuk itu ditukarkan dengan harta lain, maka justru dengan maksud

agar amalan wakaf itu dapat terpenuhi, seharusnya tidak ada halangan untuk menjual

harta wakaf yang tidak berfungsi itu, kemudian ditukarkan dengan benda lain yang

memenuhi tujuan wakaf, dengan tetap memegang prinsip bahwa wakaf itu abadi dan

harus dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis barang dan cara pemeliharaan yang

disyaratkan wakif. Wakaf tersebut tetap boleh dijual, dipindahkan, dirubah atau

diganti untuk kemudian diatur kembali pemanfaatannya bagi kepentingan umum,

sesuai dengan tujuan wakaf.

Landasan utama dari kebolehan tersebut ialah agar benda itu tetap

memberikan kemaslahatan bagi umat manusia sepanjang yang dibolehkan agama, di

mana dalam fiqih dikenal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud syara’, yakni

memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan. Prinsip ini

(30)

setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam perubahan menukar dan menjual

harta wakaf untuk mencapai fungsinya sebagaimana dinyatakan si wakif, dari pada

harta wakaf dipertahankan tidak boleh dijual, tetapi berakibat harta itu tidak

berfungsi, maksud syara’ akan lebih terpelihara bila harta wakaf itu boleh dijual atau

digantikan barang lain yang kemudian berkedudukan sebagai harta wakaf.97

Berdasarkan hal tersebut pada dasarnya jika nazhir ingin merubah fungsi atas

tanah wakaf, maka dapat menggunakan Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali, karena

pada dasarnya kedua mazhab ini membolehkan perubahan fungsi tanah wakaf dengan

tujuan untuk memproduktifkan tanah-tanah wakaf dan untuk sebesar-besarnya

kemaslahatan umat.

Peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang berlaku saat ini tidak

diklasifikasikan jenis benda wakaf yang bagaimana yang dapat diubah statusnya,

sehingga dalam hal ini undang-undang secara mutlak membolehkan perubahan status

harta benda wakaf apapun jenis bendanya, sebab yang menjadi sorotan bukan bentuk,

akan tetapi yang terpenting dari wakaf adalah fungsi dan tujuannya. Pada dasarnya,

terhadap benda yang yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan, baik

peruntukan maupun statusnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

Tentang Perwakafan Tanah Milik dijelaskan bahwa:98

1. Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.

97Ahmad Azhar Basyir,Op. Cit.,halaman. 17-18

(31)

2. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni:

a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.

b. Karena kepentingan umum.

3. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut harus di laporkan oleh nazhir kepada Bupati, Walikota, Kepala Daerah, Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.

Kompilasi Hukum Islam menentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan

tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud

dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan

terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama

Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan karena tidak sesuai lagi dengan tujuan

wakaf seperti diikrarkan oleh wakif, dan karena kepentingan umum.99

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf juga mengatur

tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau

kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip, harta benda

wakaf yang sudah diwakafkan dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual,

diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.100 Ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan

digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang

(RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

99Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam

(32)

tidak bertentangan dengan syari’ah dan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh

izin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.101

Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan

pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar

sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.102 Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud, izin perubahan status atau pertukaran harta

benda wakaf hanya dapat diberikan, jika pengganti harta benda penukar memiliki

sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.103

Dalam hal perubahan peruntukan harta benda wakaf, Pasal 44

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dikatakan hanya dapat diberikan

apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan

peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.104

Mekanisme perubahan status wakaf dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1

Tahun 1978 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dijelaskan bahwa:105

1. Untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf, nazhir berkewajiban

mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang

101Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 102Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

103 Pasal 49 Ayat 3 Huruf A Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

104Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

105 Pasal 12 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksana

(33)

melalui Kepala KUA dan Kepala Kanwil Depag secara hierarkis dengan

menyebut alasannya.

2. Kepala KUA dan Kepala Kandepag meneruskan permohonan tersebut secara

hierarkis kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang dengan disertai

pertimbangan.

3. Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang diberi wewenang untuk memberikan

persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan perubahan

penggunaan tanah wakaf.

Dalam hal ada permohonan perubahan status tanah wakaf Kepala Kanwil

Depag berkewajiban meneruskan kepada Menteri Agama cq. Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam dengan disertai pertimbangan. Direktur Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam diberi wewenang untuk memberi persetujuan atau

penolakan secara tertulis atas permohonan perubahan status tanah wakaf. Perubahan

status tanah wakaf dapat diizinkan apabila diberikan penggantian yang

sekurang-kurangnya senilai dan seimbang dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf.106 Selanjutnya perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaan tanah

wakaf harus di laporkan oleh nazhir kepada Bupati Walikota, Kepala Daerah cq.

Kepala Sub Dit Agraria (sekarang Kantor Badan Pertanahan) setempat untuk

mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. Setiap perubahan tidak dilaksanakan menurut

106 Pasal 13 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksana

(34)

ketentuan yang berlaku di samping terkena sanksi, juga perbuatan itu batal dengan

sendirinya menurut hukum.

Ketentuan mengenai mekanisme perubahan status harta benda wakaf juga

diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang

Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang

menjelaskan bahwa penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah

statusnya dilakukan sebagai berikut:107

1. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status tukar-menukar tersebut.

2. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.

3. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan selanjutnya Bupati, Walikota setempat membuat Surat Keputusan.

4. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri.

5. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus di laporkan oleh nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.

Berdasarkan hal tersebut, hukum asal perubahan dan atau pengalihan benda

wakaf dalam perundang-undangan adalah dilarang, akan tetapi selama memenuhi

syarat-syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah

ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku, perundang-undangan tetap

memberikan peluang dibolehkannya melakukan perubahan dan atau pengalihan

107 Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang–

(35)

terhadap harta benda wakaf, meski dengan melalui prosedur dan proses yang panjang.

Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan harta benda wakaf itu bertujuan

untuk meminimalisir penyimpangan dan menjaga keutuhan harta benda wakaf agar

tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu sendiri,

sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat banyak.108

108 Farid Wadjdy & Mursyid, Wakaf Dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam Yang

Referensi

Dokumen terkait

Adapun rekomendasi yang dapat penulis sampaikan berkaitan dengan implementasi kebijakan pengembangan kompetensi aparatur sipil negara di Kabupaten Sumenep untuk

Model isoterm Freundlich dapat diasumsikan bahwa adsorpsi zat warna kristal violet terjadi pada permukaan yang heterogen dari biosorben kulit singkong dan interaksi

masyarakat meliputi: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat, keadaan yang seperti ini yang dapat mempengaruhi hasil

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi bahan tambahan AAT dan ASP terhadap sifat-sifat fisik dari densitas, susut bakar, daya

Sehubungan dengan bentuk penyajian kesenian Angguk Sripanglaras, penulis mengharap kesenian ini untuk selalu dijaga kelestariannya dan juga dikembangkan, salah satunya

Respon yang ditunjukkan Suriah ini sesuai dengan pernyataan Al-Moallem yang merupakan Menteri Luar Negeri Suriah dalam wawancaranya dengan televisi pemerintah yang

Harga saham mencerminkan nilai dari suatu perusahaan. Jika perusahaan mencapai prestasi yang baik, maka saham perusahaan tersebut akan banyak diminati oleh para

yang terbaik. Petugas yang ada juga sudah menjalankan tugasnya masing- masing dengan baik. Namun, beliau juga tidak menampik apabila ada mesyarakat yang belum puas