WAKAF SEBELUMNYA
A. Ketentuan Umum Tentang Pelaksanaan Perwakafan Tanah Di Indonesia
1. Pengertian Wakaf
Wakaf adalah suatu pranata yang berasal dari hukum syari’ah, oleh karena itu
apabila membicarakan masalah perwakafan pada umumnya dan perwakafan tanah
pada khususnya, tidak mungkin untuk melepaskan diri dari pembicaraan tentang
konsepsi wakaf menurut hukum syari’ah, akan tetapi dalam hukum syari’ah tidak ada
konsep yang tunggal tentang wakaf ini, karena terdapat banyak pendapat yang sangat
beragam. Wakaf menurut bahasa berarti al-habsu, yang berasal dari kata kerja
habasa-yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan,
kemudian kata ini berkembang menjadi habbasa dan berarti mewakafkan harta
karena iman.48
Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqofa (fiil madi), yaqifu
(fiilmudori’), waqfan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri, sedangkan
wakaf menurut syara’ adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa
menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.49 Secara terminologis fiqih tampak di antara para ahli (fuqoha), berbeda pendapat
48Abdurrahman,
Op. Cit.,halaman. 15
49Adijani Al-Alabij,Perwakafan Tanah Indonesia Dalam Teori Dan Praktek,(Jakarta: Raja
terhadap batasan pendefinisian wakaf. Realitas dan kenyataan ini disebabkan karena
adanya perbedaan landasan dan pemahaman serta penginterpretasiannya terhadap
ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai hadits yang menerangkan tentang
wakaf.
Pasal 215 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, disebutkan bahwa wakaf adalah
“perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
syari’ah.”50
Berdasarkan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah suatu
perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum dengan
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan
umum lainnya. Jadi esensi perwakafan adalah menahan suatu benda sehingga
memungkinkan untuk diambil manfaatnya dengan masih tetap zat (materi) bendanya.
2. Aturan Hukum Perwakafan
Ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah
perwakafan, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, di mana dalam
undang-undang ini dapat dijelaskan beberapa substansi di bawah ini:
a. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut ketentuan hukum
syari’ah.51
b. Adapun tujuan dari perbuatan wakaf itu sendiri berfungsi untuk menggali
potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan untuk kepentingan
ibadah dan memajukan kesejahteraan umum.52
c. Dalam setiap perbuatan wakaf harus memenuhi unsur-unsurnya, yaitu wakif,
nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, dan
jangka waktu wakaf.53
d. Pihak yang ingin mewakafkan (wakif) meliputi perseorangan, organisasi,
dan badan hukum.54 Demikian juga bagi nazhir (pengelola) wakaf meliputi perseorangan, organisasi, dan badan hukum.55
e. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Ketentuan ini
merupakan payung hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda
wakaf tidak boleh dicabut kembali dan atau dikurangi volumenya oleh wakif
dengan alasan apapun.56
51Pasal 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 52Pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 53
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
54
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
f. Perubahan status harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang
dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual diwariskan, ditukar atau
dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya, kecuali apabila untuk
kepentingan umum.57
g. Dari hasil pengelolaan wakaf secara produktif tersebut, dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan
pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar,
yatim piatu, bea siswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan/atau
kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syari’ah dan peraturan perundang-undangan.58
h. Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian sebagaimana wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat
dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf
semula.59
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), di mana dalam undang-undang ini masalah perwakafan
dapat di ketahui dari beberapa pasal yang memuat rumusan-rumusan wakaf, yaitu
sebagai berikut:
a. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
57Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 58Pasal 22 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
kepentingan nasional dan negara, dengan mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.” Dalam rumusan pasal ini jelaslah bahwa
hukum adatlah yang menjadi dasar hukum agraria, yaitu hukum yang tidak
tertulis dalam bentuk perundang-undangan yang di sana sini mengandung
unsur agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya
lembaga wakaf.
b. Pasal 14 Ayat (1) UUPA menyatakan bahwa:
“Pemerintah dalam rangka sosialisme, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan negara, untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya.”
Dalam rumusan pasal ini terkandung perintah kepada pemerintah pusat dan
pemerintah daerah untuk membuat sekala prioritas penyediaan, peruntukan
dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang
dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturan
tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci
lainnya.
c. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa “hak milik tanah-tanah badan keagamaan
dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan
sosial, diakui dan dilindungi.” Badan-badan tersebut dijamin akan
memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang
keagamaan dan sosial. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan
bersangkutan dengan pribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum
agraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,
di mana peraturan ini terdiri atas tujuh bab, delapan belas pasal, meliputi
pengertian tentang wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf, tata cara
mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan
pengawasan wakaf, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Maksud
dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf.
Berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian dapat dikurangi.
Namun demikian masih dirasakan adanya hambatan dan atau permasalahan
terkait dengan peraturan pemerintah ini antara lain:
a. Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah hak milik dan badan-badan
sosial keagamaan dijamin dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak pakai.
Bagaimanakah wakaf tanah dengan hak guna bangunan atau guna usaha yang
di dalam praktek dapat diperpanjang waktunya sesuai dengan pemanfaatan
wakaf.
b. Penerima wakaf(nazhir) disyaratkan oleh peraturan yang mempunyai cabang
atau perwakilan di kecamatan atau di mana tanah wakaf terletak, dalam
pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan justru menimbulkan hambatan.
Terkait dengan masalah tersebut bagaimana jika nazhir itu bersifat
c. Peraturan ini hanya membatasi wakaf benda-benda tetap, khususnya tanah.
Bagaimana wakaf yang obyeknya benda-benda bergerak selain tanah atau
bangunan.
d. Hambatan-hambatan lain yang bersifat yuridis, misalnya kesadaran hukum
masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, kesediaan tenaga yang
menangani pendaftaran atas sertifikasi wakaf, serta peningkatan kesadaran
paranazhirakan tugas dan kewajibannya.
4. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), berisi
perintah kepada menteri dalam rangka penyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Hukum perwakafan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan yang telah diatur oleh
perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa hal, hukum
perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut merupakan
pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan
hukum syari’ah. Beberapa ketentuan hukum perwakafan yang merupakan
pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada
perundang-undangan sebelumnya, antara lain:
a. Obyek wakaf, tidak hanya berupa tanah milik sebagaimana disebutkan dalam
peraturan pemerintah. Obyek wakaf tersebut lebih luas, hal ini sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 215, Point (1) KHI yang menyatakan bahwa “wakaf
adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran syari’ah”, dan Point (2) “benda wakaf adalah segala benda baik
benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak
hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran syari’ah.”
b. Nazhir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah di hadapan
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, disaksikan sekurang-kurangnya
oleh 2 (dua) orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut “demi allah, saya
bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi nazhir langsung atau tidak
langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan
ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga.” “Saya bersumpah,
bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuai dengan jabatan ini
tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun
juga sesuatu janji atau pemberian.” “Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa
akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada
saya selaku nazhir dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengantujuan yang
diikrarkan.”60
c. Jumlah nazhir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan
sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh)
orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan atas saran
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat.61
d. Perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu
setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama
Kecamatan.62
3. Jenis-Jenis Wakaf
Wakaf sebagai suatu lembaga dalam hukum syari’ah tidak hanya mengenal 1
(satu) macam wakaf saja, ada berbagai macam wakaf yang dikenal dalam hukum
syari’ah yang pembedaannya didasarkan atas beberapa kriteria, yaitu untuk
kepentingan yang kaya dan yang miskin dengan tidak berbeda, untuk keperluan yang
kaya dan sesudah itu baru untuk yang miskin, untuk keperluan yang miskin
semata-mata.63Pendapat lain mengenai berbagai macam wakaf yang ada antara lain sebagai berikut:
a. Wakaf Khusus
Wakaf ahli (keluarga atau khusus) ialah wakaf yang ditujukan kepada orang
orang tertentu, seorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Misalnya
mewakafkan buku-buku untuk anak-anak yang mampu mempergunakan, kemudian
cucu-cucunya. Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta
wakaf adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan ikrar wakaf yang diucapkan
oleh pewakif.64 b. Wakaf Umum
62Pasal 225 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Wakaf khairi atau wakaf umum ialah wakaf yang sejak semula ditujukan
untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu. Wakaf
khairi ini sejalan dengan jiwa amalan wakaf yang amat digembirakan dalan ajaran
syari’ah, yang dinyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir, sampai bila wakif
telah meninggal, selagi harta wakaf masih tetap dapat diambil manfaatnya. Wakaf ini
dapat dinikmati oleh masyarakat dan umat manusia secara luas dan dapat menjadi
salah satu bentuk sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dalam
lingkup yang luas, baik dalam bidang sosial ekonomi, pendidikan, kebudayaan
maupun keagamaan.65 c. WakafSyuyu’
Selain kedua macam bentuk wakaf tersebut, yaitu wakaf ahli dan wakaf
khairi, maka apabila ditinjau dari segi pelaksanaannya di dalam hukum syari’ah
dikenal juga berbagai macam jenis wakaf di antaranya adalah adanya wakaf syuyu’
dan wakaf mu’allaq. Wakaf syuyu’ adalah wakaf yang pelaksanaannya dilakukan
secara gotong royong, dalam arti beberapa orang berkelompok (bergabung) menjadi
satu untuk mewakafkan sebidang tanah (harta benda) secara patungan dan
berserikat.66
Pada prakteknya, wakaf syuyu’ untuk masa sekarang di mana harga tanah
sudah relatif amat mahal, banyak terjadi dan dilakukan oleh masyarakat. Sebagai
contoh, dalam hal pembangunan masjid yang memerlukan lahan atau tanah yang
65
Ibid.halaman. 15
66Nur Chozin,Penguasaan Dan Pengalihan Manfaat Wakaf Syuyu’ (Tergabung), (Mimbar
cukup luas. Dalam hal panitia pembangunan masjid tersebut tidak mempunyai dana
yang relatif cukup untuk membeli tanah yang diperlukan, dan tidak ada orang yang
mampu atau orang yang mewakafkan tanah seluas tanah yang diperlukan, maka
panitia pembangunan masjid tersebut biasanya akan menawarkan kepada masyarakat
untuk memberikan wakaf semampunya.67 Dalam arti masyarakat tersebut secara bersyarikat (bergotong-royong) membeli sisa harga tanah yang belum terbeli
(terbayar) oleh panitia pembangunan masjid tersebut. Praktek perwakafan semacam
ini, dalam fiqih dan juga hukum agraria nasional dapat dibenarkan.68 d. WakafMu’allaq
Wakaf mu’allaq adalah suatu wakaf yang dalam pelaksanaannya
digantungkan, atau oleh si wakif dalam ikrarnya menangguhkan pelaksanaannya
sampai dengan ia meninggal dunia. Dalam arti, bahwa wakaf itu baru berlaku setelah
ia sendiri meninggal dunia. Untuk wakaf mu’allaq, dalam prakteknya untuk masa
sekarang, yakni setelah masalah perwakafan diatur secara positif dalam hukum
nasional, suatu perwakafan harus berlaku seketika itu juga, yakni setelah wakif
mengucapkan ikrar wakaf. Praktek wakaf mu’allaq banyak terjadi di masa lampau,
yakni sebelum masalah perwakafan diatur dalam aturan norma hukum positif.69 e. Wakaf Produktif
67
Ibid.
68
Ibid.
69 Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (Jakarta:
Perbincangan tentang pemberdayaan harta benda wakaf secara produktif dan
profesional telah lama diwacanakan oleh masyarakat muslim dunia. Namun tidak
banyak dari kalangan ahli-ahli muslim dan praktisi baik di level nasional maupun
lokal, mengimplementasikan ide-ide itu dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Berbagai peraturan dan perundang-undangan pun telah dibuat dengan harapan untuk
merealisasikan wakaf produktif, namun sedikit sekali aturan itu menjadi acuan untuk
mewujudkan manfaat wakaf secara optimal. Perbuatan wakaf adalah termasuk suatu
aqad tabarru, yakni suatu pelepasan hak berupa pemindahan hak milik dari wakif
sebagai pemilik kepada pihak lain, tanpa disertai penggantian atau imbalan apapun.70
4. Rukun Dan Syarat Wakaf
Hukum fiqih mengenal ada 4 (empat) rukun atau unsur wakaf, antara lain
adalah orang yang berwakaf (wakif), orang yang mewakafkan disyaratkan cakap
bertinfak dalam membelanjakan hartanya (mewakafkan). Kecakapan bertindak disini
meliputi merdeka, berakal sehat, dewasa, tidak dibawah pengampuan. Benda yang
diwakafkan (mauquf) dipandang sah apabila memiliki nilai baik benda bergerak
maupun benda tidak bergerak, dalam hal ini tanah wakaf. penerima wakaf(nazhir),
dan lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf.71 Pernyataan penyerahan wakaf atau
shigotdapat dilakukan secara lisan atau tulisan. Dengan pernyataan itu, maka tinggal
lah hak wakif terhadap benda tersebut.
70 Anwar Syamsul,
Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), halaman. 43
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah
Milik, tidak mencantumkan secara lengkap unsur-unsur perwakafan, kendatipun
demikian, untuk memenuhi fungsi wakaf di dalam ketentuan umum dan dalam
peraturan pelaksananya, nazhir merupakan salah satu unsur perwakafan, oleh
karenanya unsur-unsur perwakafan tanah milik adalah wakif, ikrar, benda yang
diwakafkan, tujuan wakaf dan nazhir. Pelaksanaan wakaf dianggap sah apabila
terpenuhi syarat-syarat yaitu antara lain sebagai berikut:72
a. Wakaf harus orang yang sepenuhnya menguasai sebagai pemilik benda yang akan diwakafkan, si wakif tersebut harus mukallaf (akil baligh) dan atas kehendak sendiri.
b. Benda yang akan diwakafkan harus kekal dzatnya, berarti ketika timbul manfaatnya dzat barang tidak rusak, harta wakaf hendaknya disebutkan dengan terang dan jelas kepada siapa dan untuk apa diwakafkan.
c. Penerima wakaf haruslah orang yang berhak memiliki sesuatu, maka tidak sah wakaf kepada hamba sahaya.
d. Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas baik dengan lisan maupun tulisan.
e. Dilakukan secara tunai dan tidak ada khiyar (pilihan) karena wakaf berarti memindahkan wakaf pada waktu itu, jadi peralihan hak terjadi pada saat ijab qobul ikrar wakaf oleh pewakif kepada nazhir sebagai penerima benda perwakafan.
5. Pelaksanaan Perwakafan
Wakaf dalam implementasi di lapangan merupakan amal kebajikan, baik yang
mengantarkan seorang muslim kepada inti tujuan dan pilihannya, baik tujuan umum
maupun khusus. Adapun tujuan umum wakaf adalah bahwa wakaf memiliki fungsi
sosial. Allah memberikan manusia kemampuan dan karakter yang beraneka ragam,
dari sinilah kemudian timbul kondisi dan lingkungan yang berbeda di antara
masing-masing individu, ada yang miskin, kaya, cerdas, bodoh, kuat dan lemah. Di balik
semua itu, tersimpan hikmah, di mana diberikan kesempatan kepada yang kaya
menyantuni yang miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh dan yang kuat
menolong yang lemah, yang demikian merupakan wahana bagi manusia untuk
melakukan kebajikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada sang pencipta,
sehingga interaksi antar manusia saling terjalin.73
Dari perbedaan kondisi sosial tersebut, sudah sewajarnya memberi pengaruh
terhadap bentuk dan corak pembelajaran harta kekayaan. Ada pembelajaran yang
bersifat mengikat (wajib), ada juga yang bersifat sukarela (sunnah), ada yang bersifat
tetap (paten), dan ada juga yang sekedar memberi manfaat (tidak paten), namun
demikian yang paling utama dari semua cara tersebut, adalah mengeluarkan harta
secara tetap, dengan sistem yang teratur serta tujuan yang jelas, di situlah peran serta
wakaf yang menyimpan fungsi sosial dalam masyarakat dapat diwujudkan.74
Pada hakekatnya, wakaf adalah suatu perjanjian peralihan hak atas tanah, di
mana dalam politik hukum agraria nasional menentukan bahwa setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum berupa pengalihan hak atas tanah, wajib melakukannya
di hadapan pejabat yang berwenang dan yang ditunjuk oleh peraturan
perundang-undangan, guna mendapatkan akta sebagai alat buktinya.75 Untuk melaksanakan perwakafan, diperlukan tahapan persiapan, di mana dalam tahap persiapan ini,
73
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Hukum Wakaf, (Depok: Iman Press, 2004), halaman. 83 74Ibid., halaman. 84
dilakukan pengumpulan bahan-bahan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi
dalam pelaksanaan ikrar wakaf, di mana persyaratan administrasi tersebut adalah:76 a. Tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, berupa sertifikat atau surat tanda
bukti hak atas tanah yang telah didaftar, sebagai alat pembuktian yang kuat, di
mana dalam perwakafan, tanah yang akan diwakafkan harus berupa tanah
dengan status hak milik, jadi tanda bukti kepemilikannya harus berupa
sertifikat hak milik, sedangkan untuk tanah yang belum terdaftar, dapat
diganti dengan tanda bukti kepemilikan atas tanah lainnya yaitu:
1) Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang bersangkutan.
2) Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria.
3) Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, yang disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi kewajiban yang disebutkan di dalamnya.
4) Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh kepala adat, kepala desa, kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan.
5) Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan. 6) Surat penunjukan atau pembelian kavling tanah pengganti tanah yang
diambil oleh pemerintah daerah.
b. Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan, yang mana persyaratan ini mutlak
diperlukan untuk membuktikan bahwa tanah yang akan diwakafkan tersebut
betul-betul tanah miliknya. Mengingat sifat keabadian dan kekekalan wakaf,
tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah hak milik, dengan sifatnya yang turun
temurun, terpenuh dan terbulat. Tanah yang tidak berstatus hak milik tidak dapat
diwakafkan, karena mengandung hak yang terbatas, terikat oleh tenggang waktu
tertentu, dan lagi pula yang menjadi pemilik dari tanah-tanah tersebut bukan
pemegang hak-hak atas tanah tersebut melainkan negara atau orang lain, oleh
karena itu tanah-tanah tersebut tidak dapat diwakafkan. Bukti-bukti pemilikan
tersebut di atas diperlukan sebagai ketegasan kepemilikan hak atas tanah dan
diharapkan dapat dijadikan alat bukti yang kuat bila nantinya ada pihak-pihak
yang melakukan gugatan atas tanah wakaf tersebut.
c. Surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa,
ikatan, sitaan, dan tidak dijaminkan di bank yang diketahui oleh kepala desa atau
pejabat lain yang setingkat. Surat pernyataan ini sangat penting guna
memberikan kejelasan dan jaminan bahwa tanah yang akan diwakafkan tersebut
benar-benar bebas dari segala macam sengketa, ikatan, sitaan maupun
pembebanan-pembebanan seperti hak tanggunan.
d. Surat keterangan pendaftaran tanah dari instansi yang berwenang mengeluarkan
surat tersebut.
e. Surat ijin pemerintah daerah, di mana surat ijin ini penting dan sangat dibutuhkan
untuk mengetahui apakah tanah yang akan diwakafkan tersebut telah sesuai
dengan fungsi kawasan di mana tanah tersebut terletak dan disesuaikan dengan
tata ruang kota, dan harus dipergunakan sesuai dengan rencana penggunaan tanah
yang ditetapkan.77
Persiapan lain yang juga harus dilakukan adalah menghubungi para saksi yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan wakaf. Para saksi sebaiknya yang dipercayai
kebaikannya oleh masyarakat setempat. Selain itu calon wakif juga harus
menghubungi nazhir yang hendak diserahi amanat guna pengurusan dan pengelolaan
tanah wakaf tersebut. Setelah semua persyaratan administrasi perwakafan telah
dipenuhi, selanjutnya calon wakif bersama-sama dengannazhir dan para saksi harus
datang menghadap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat yang
berkedudukan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk
melaksanakan ikrar wakaf. Penyampaian maksud untuk melaksanakan ikrar wakaf
tersebut harus disertai dengan penyerahan persyaratan administrasi yang telah
dipenuhi dalam tahap persiapan perwakafan.
Sebelum pejabat yang bersangkutan melaksanakan pembuatan ikrar wakaf,
maka pejabat tersebut berkewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu hal-hal sebagai
berikut:78
a. Latar belakang maksud dan kehendak calon wakif, dalam hal ini maksud dan
kehendak calon wakif tersebut harus benar-benar ikhlas lillahi ta’ala atau atas
kemauan sendiri dan tanpa paksaan dari orang lain.
77Taufiq Hamami,
Op. Cit.,halaman. 129
78 Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Ansoruddin Nasution, Kepala Kantor Urusan
b. Keadaan tanah yang hendak diwakafkan, bahwa tanah tersebut merupakan
benar-benar milik calon wakif dan terlepas atau terbebas dari halangan hukum, dalam
hal ini sengketa, ikatan, sitaan, dan tidak dijaminkan di bank.
c. Meneliti nazhir yang ditunjuk oleh calon wakif, apabila nazhir tersebut belum
disahkan, maka setelah dianggap memenuhi persyaratan kenazhiran oleh pejabat
yang bersangkutan, maka harus segera mengesahkan nazhir tersebut dengan
mempertimbangkan saran-saran dari majelis ulama dan camat.
d. Meneliti para saksi ikrar wakaf, para saksi dalam pelaksanaan ikrar wakaf harus
memenuhi syarat dewasa, muslim, berakal sehat dan tidak terhalang untuk
melakukan perbuatan hukum.
Setelah semua persyaratan telah terpenuhi, maka pejabat yang bersangkutan
mempersilahkan calon wakif untuk mengucapkan ikrar wakafnya kepada nazhir.
Pengucapan akta ikrar wakaf harus dilakukan secara lisan dengan tegas dan jelas di
hadapan pejabat tersebut, akan tetapi bila ternyata wakif tidak mampu menyatakan
kehendaknya secara lisan, karena calon wakif bisu misalnya, maka wakif dapat saja
menyatakannya secara isyarat. Pengucapan ikrar harus mencakup hal-hal sebagai
berikut, yaitu identitas wakif, pernyataan kehendak, identitas tanah yang hendak
diwakafkan, tujuan yang diinginkan, identitas nazhir, dan saksi-saksi.79 Selanjutnya ikrar tersebut dibacakan kepadanazhirdi hadapan pejabat yang bersangkutan. Bentuk
dan model ikrar wakaf yang harus diucapkan oleh wakif dibuat seragam dan
ditetapkan oleh Menteri Agama.80
Pengucapan ikrar wakaf baik secara lisan maupun penuangannya dalam Akta
Ikrar Wakaf, harus dilihat dan didengar secara langsung oleh saksi-saksi, bila tidak
maka kesaksiannya dapat dikatakan tidak sah, dengan demikian dapat dianggap
bahwa pengucapan dan penuangan ikrar wakaf yang tanpa saksi sehingga dapat
mengakibatkan perbuatan wakaf tersebut tidak sah. Selain harus diucapkan secara
lisan, pejabat yang bersangkutan juga akan menuangkan dalam Akta Ikrar Wakaf, hal
tersebut dimaksudkan untuk memperoleh bukti yang otentik dari pelaksanaan ikrar
wakaf. Selain itu Akta Ikrar Wakaf tersebut juga sebagai syarat dalam pendaftaran di
kantor pertanahan setempat dan juga sebagai alat bukti bila di kemudian hari terjadi
sengketa.81
PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap 3 (tiga), yaitu lembar pertama
disimpan oleh PPAIW, lembar kedua dilampirkan bersama surat permohonan
pendaftaran tanah wakaf pada kantor pertanahan setempat, lembar ketiga dikirim ke
pengadilan agama setempat. Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh PPAIW harus
dibuatkan salinannya rangkap 4 (empat), yaitu:
a. Salinan lembar pertama diserahkan kepada wakif. b. Salinan lembar kedua diserahkan kepadanazhir.
c. Salinan lembar ketiga dikirim pada kantor departemen agama kabupaten atau kota setempat.
80
Pasal 9 Ayat (1)Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977Tentang Perwakafan Tanah Milik
81 Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Ansoruddin Nasution, Kepala Kantor Urusan
d. Salinan lembar keempat dikirim pada kepala kelurahan atau desa setempat.82 Setelah selesainya pelaksanaan ikrar wakaf dan pembuatan akta ikrarnya,
maka perbuatan wakaf tersebut dianggap telah terwujud dalam keadaan sah dan
mempunyai kekuatan bukti yang kuat, dengan demikian tanah wakaf tersebut telah
terjamin dan terlindungi eksistensi dan keberadaannya, serta untuk lebih memperkuat,
maka harus dilakukan pendaftaran atas tanah wakaf tersebut di kantor pertanahan
setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diberikan tanda bukti haknya.83
B. Fungsi Peruntukan Tanah-Tanah Wakaf Di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Berdasarkan peruntukannya, tanah mempunyai keterkaitan yang sangat erat
dengan kelanjutan hidup manusia, siapa pun dan di mana pun seseorang akan selalu
membutuhkan tanah, karenanya tanah termasuk harta benda primer yang melekat
dengan kehidupan itu sendiri. Paradigma pemahaman masyarakat terhadap tanah
menjadi sangat penting ketika dihubungkan dengan perkembangan penduduk seperti
sekarang ini, sudah barang tentu penyediaan tanah baik sebagai tempat pemukiman,
lahan pertanian atau sebagai areal pembangunan akan menempati persoalan pokok
dan tentu saja akan menjadi salah satu persoalan sosial yang cukup peka. Harus
diakui, bahwa untuk saat ini terlihat semakin meningkatnya kebutuhan tanah
82
Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Ansoruddin Nasution, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang, Pada Hari Jum’at 18 November 2016.
83 Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Ansoruddin Nasution, Kepala Kantor Urusan
sementara areal tanah semakin sempit, karena itulah secara ideologis, pemberdayaan
wakaf tanah untuk kesejahteraan umat manusia mendapati urgensinya.84
Pada umumnya, umat memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas
untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang lazim dilaksanakan seperti tercermin
dalam pembentukan masjid, musholla, sekolah, makam dan lain-lain. Peruntukan
yang lain yang lebih menjamin produktivitas dan kesejahteraan umat nampaknya
masih belum diterima. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf diharapkan dapat mengubah paradigma masyarakat tentang peruntukkan
wakaf, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang selama
bertahun-tahun dipegang dengan mengidentikan bahwa harta benda wakaf adalah harta benda
tidak bergerak yang tidak dapat dikelola dan tidak mempunyai nilai ekonomi tanpa
menyadari bahwa pemahaman seperti itu merupakan pemahaman yang sempit.
Paradigma baru tentang harta wakaf dapat dilihat dalam undang-undang yang
menyebutkan bahwa “harta wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda
bergerak.” Benda tidak bergerak bisa berupa tanah, bangunan dan tanaman yang
semuanya berhubungan dengan tanah, sedangkan benda bergerak adalah harta benda
yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia dan surat
berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan harta bergerak lain
sesuai dengan kententuan syari'ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.85
Wakaf ini dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas dan dapat merupakan
salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, baik dalam
bidang sosial ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan. Suatu tanah
milik yang diwakafkan tidak boleh dirubah, baik yang menyangkut masalah
peruntukan atau penggunaan lain dari apa yang telah ditentukan dalam ikrar wakaf,
maupun yang menyangkut masalah status tanah wakafnya itu sendiri, seperti dijual,
dihibahkan atau diwariskan dan tindakan-tindakan hukum lain yang bersifat peralihan
hak atas tanah dengan akibat berubahnya status tanah wakaf menjadi hak atas tanah
bukan wakaf.
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak
terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga
dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, bukan hanya karena kelalaian
atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami
status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi untuk kesejahteraan umum
sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Fungsi wakaf itu sendiri terbagi menjadi beberapa fungsi wakaf, antara lain
yaitu sebagai berikut:86
1. Fungsi ekonomi, di mana salah satu aspek yang terpenting dari wakaf adalah
keadaan sebagai suatu sistem transfer kekayaan yang efektif.
2. Fungsi sosial, apabila wakaf diurus dan dilaksanakan dengan baik, berbagai
kekurangan akan fasilitas dalam masyarakat akan mudah teratasi.
3. Fungsi ibadah, di mana wakaf merupakan satu bagian ibadah dalam pelaksanaan
perintah agama, serta dalam rangka mendekatkan diri kepada sang pencipta.
4. Fungsi akhlak, di mana wakaf akan menumbuhkan akhlak yang baik, yang mana
setiap orang rela mengorbankan apa yang paling dicintainya untuk suatu tujuan
yang lebih tinggi daripada kepentingan pribadinya.
Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu
pengkaderkan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia, sebab manusia
menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor
maksud-maksud hukum syari’ah, di antaranya semangat keagamaan, yaitu beramal
karena untuk keselamatan umat manusia pada hari akhir kelak, maka wakafnya
tersebut menjadi sebab keselamatan, pelindung, penambah pahala, dan pengampunan
dosa.
Semangat sosial, yaitu kesadaran manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan
bermasyarakat, sehingga wakaf yang dikeluarkan merupakan bukti partisipasi dalam
pembangunan masyarakat. Motivasi keluarga, yaitu menjaga dan memelihara
kesejahteraan orang-orang yang ada dalam nasabnya. Seseorang mewakafkan harta
bendanya untuk menjamin kelangsungan hidup anak keturunannya, sebagai cadangan
di saat-saat mereka membutuhkannya. Dorongan kondisional, yaitu terjadi jika ada
seseorang yang ditinggalkan keluarganya, sehingga tidak ada yang menanggungnya,
tersebut maka si wakif bisa menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-orang
tersebut.87
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi wakaf dimaksudkan
dengan adanya wakaf terciptanya sarana dan prasarana bagi kepentingan umum
sehingga terwujudnya kesejahteraan bersama baik dalam hal ibadah ataupun dalam
hal mu’amalah, dengan demikian orang yang kehidupannya di bawah garis
kemiskinan dapat tertolong kesejahteraannya dengan adanya wakaf, kemudian umat
yang lainnya dapat menggunakan benda wakaf sebagai fasilitas umum sekaligus
dapat mengambil manfaatnya.88
C. Ketentuan Hukum Mengenai Tanah Wakaf Yang Beralih Fungsi Dan Tidak Sesuai Dengan Akta Ikrar Wakaf Sebelumnya
Perubahan status wakaf dalam ajaran syari’ah pada dasarnya tidak
diperbolehkan, kecuali wakaf tersebut tidak dapat kembali dimanfaatkan sesuai
dengan tujuan wakaf, maka perubahan itu dapat dilakukan terhadap wakaf yang
bersangkutan. Para ulama atau ahli hukum syari’ah memang beragam pendapatnya,
tentang boleh tidaknya melakukan perubahan status pada benda wakaf, seperti
menjual, merubah bentuk atau sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar
dengan benda lain.
1. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanafiyah
Dalam perspektif madzhab Hanafi, ibdal (penukaran) dan istibdal
(penggantian) boleh dilakukan, kebijakan ini berpijak dan menitikberatkanpada
maslahat yang menyertai praktik tersebut. Menurut mereka, ibdal bolehdilakukan
oleh siapapun, baik wakif sendiri, orang lain, maupun hakim, tanpamenilik jenis
barang yang diwakafkan, apakah berupa tanah yang dihuni,tidak dihuni, bergerak,
maupun tidak bergerak.89Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebutdalam tiga hal:90
a. Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika mewakafkannya, contoh ketika wakif ingin berwakaf ia berkata “tanahku ini aku wakafkan dengan syarat bahwa di kemudian hari aku bisa menggantinya dengan barang wakaf yang lain, atau berhak untuk menjualnya dan membeli barang lain sebagai gantinya.”
b. Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dengan kata lain benda wakaf sudah tidak mendatangkan manfaat sama sekali, maka boleh dijual dan hasilnya dibelikan tanah lain yang lebih maslahat, dan penjualan tanah wakaf tersebut harus mendapat izin dari hakim terdahulu.
c. Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat nantinya.
2. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Malikiyah
Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiyah melarang keras penggantian
barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan
membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak. Kebanyakan
fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan penggantian barang wakaf yang bergerak
dengan pertimbangan kemaslahatan. Untuk mengganti barang wakaf yang bergerak,
ulama Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan
89
Ibid., halaman. 349
90Muhammad Jawad Mugniyah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Ala Al-Mazahib Al-Khamsah
lagi. Mengikuti syarat ini, diperbolehkan menjual buku-buku wakaf yang berisi
bermacam disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak dan tidak dapat dipergunakan lagi,
namun sebaliknya, tidak boleh menjual buku-buku itu selama masih bisa digunakan.
Para ulama Malikiyah dengan tegas melarang penggantian barang wakaf yang
tidak bergerak, dengan mengecualikan kondisi darurat yang sangat jarang terjadi atau
demi kepentingan umum, jika keadaan memaksa, mereka membolehkan penjualan
barang wakaf, meskipun dengan cara paksaan. Dasar yang mereka gunakan sebagai
pijakan adalah bahwa penjualan akan berpeluang pada kemaslahatan dan kepentingan
umum.91
Kalangan ulama Malikiyah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang
menjual atau memindahkan tanah wakaf. Mayoritas ulama Malikiyah melarang
menjual atau memindahkan tanah wakaf sekalipun tanah tersebut tidak mendatangkan
hasil sama sekali, sebagian ulama Malikiyah lainnya memperbolehkan menggantikan
dengan menukarkan tanah wakaf yang tidak atau kurang bermanfaat dengan tanah
lain yang lebih baik, namun dengan tiga syarat, yaitu:92
a. Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual.
b. Benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan semula diwakafkannya.
c. Apabila penggantian benda wakaf dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya, dan sebagainya.
3. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Syafi’iyah
91Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,
Op. Cit.,halaman. 366-368
92Muhammad Abu Zahrah, Al-Waqf, Cetakan Kedua (Beirut: Dar Al-Fikr, 1971), halaman.
Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi’iyah dikenal
lebih berhati-hati dibanding ulama mazhab lainnya, hingga terkesan seolah-olah
mereka mutlak melarang istibdal dalam kondisi apa pun. Kalangan Syafi’iyah
mensinyalir penggantian tersebut dapat berindikasi penggelapan atau penyalahgunaan
barang wakaf, namun dengan ekstra hati-hati, mereka tetap membahas masalah
penggantian beberapa barang wakaf, secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam
dua kelompok.
Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau menggantinya,
mereka melarang penjualan barang wakaf apabila tidak ada jalan lain untuk
memanfaatkannya, selain dengan cara mengkonsumsi sampai habis. Sebagai
implikasi pendapat tersebut, jika barang wakaf berupa pohon yang kemudian
mengering tak berbuah dan hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka
penerima wakaf mempunyai wewenang untuk menjadikannya sebagai kayu bakar,
tanpa memiliki kewenangan menjualnya, sebab dalam pandangan mereka meskipun
barang wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara mempergunakannya sampai
habis, barang tersebut tetap memilki satu unsur yang menjadikannya sebagai barang
wakaf, sehingga tidak boleh dijual.
Kelompok yang memperbolehkan penjualan barang wakaf dengan alasan
tidak mungkin dimanfaatkan seperti yang dikehendaki waqif. Pendapat ulama
Syafi’iyah tentang kebolehan penjualan barang wakaf ini berlaku jika barang wakaf
tersebut berupa benda bergerak. Mengenai hukum barang wakaf yang tidak bergerak,
mengindikasikan seolah-olah mereka meyakini bahwa barang wakaf yang tak
bergerak tidak mungkin kehilangan manfaatnya, sehingga tidak boleh dijual atau
diganti.93
4. Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanabilah
Dalam masalah boleh tidaknya penggantian barang wakaf, ulama Hanabilah
tidak membedakan antara benda bergerak dan tak bergerak. Kalangan ini juga tidak
membedakan apakah benda wakaf itu berbentuk masjid atau bukan masjid.94Terlihat mazhab Hanbali tidak memberikan pembatasan yang ketat mengenai kebolehan
menjual atau memindahkan tanah wakaf dan masjid sekalipun. Kebolehan tersebut
dikelompokkan dalam dua hal yaitu:
a. Apabila barang wakafnya sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi, sesuai dengan
maksud orang yang mewakafkannya, seperti wakaf masjid yang telah rusak dan
tidak mungkin untuk dimanfaatkan lagi, maka tanah beserta bangunan masjid
tersebut boleh dipindahkan ke tempat lain sebagai pengganti masjid yang rusak.
b. Apabila penggantian benda wakaf tersebut lebih maslahat dan lebih bermanfaat
dari pada barang wakaf sebelumnya, misalnya wakaf masjid yang sudah tidak
bisa menampung jama’ah yang semakin bertambah jumlahnya, maka dalam hal
ini masjid tersebut boleh dibongkar dan kemudian di atas tanahnya dibangun
masjid baru yang lebih besar.95
93
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Op. Cit.,halaman. 371-373
94Muhammad Jawad Mugniyah,
Loc. Cit.,halaman. 333
95 Masfuk Zuhdi, Studi Islam Dan Muamalah, Cetakan Kedua, (Jakarta: Raja Grafindo
Ulama Hanabilah membatasi izin penggantian dengan adanya pertimbangan
kemaslahatan dan kondisi darurat, kalangan ini memfatwakan bolehnya menjual
bagian wakaf yang rusak demi memperbaiki bagian yang lain, itu semua adalah demi
kemaslahatan.96 Amalan wakaf amat bergantung kepada dapat atau tidaknya harta wakaf dipergunakan sesuai dengan tujuannya. Amalan wakaf akan bernilai ibadah,
bila harta wakaf betul-betul dapat memenuhi fungsi yang dituju, dan dalam hal harta
wakaf mengalami berkurang, rusak atau tidak dapat memenuhi fungsinya
sebagaimana dituju, harus dicarikan jalan bagaimana agar harta wakaf itu berfungsi
kembali.
Apabila untuk itu ditukarkan dengan harta lain, maka justru dengan maksud
agar amalan wakaf itu dapat terpenuhi, seharusnya tidak ada halangan untuk menjual
harta wakaf yang tidak berfungsi itu, kemudian ditukarkan dengan benda lain yang
memenuhi tujuan wakaf, dengan tetap memegang prinsip bahwa wakaf itu abadi dan
harus dijaga serta dipelihara sesuai dengan jenis barang dan cara pemeliharaan yang
disyaratkan wakif. Wakaf tersebut tetap boleh dijual, dipindahkan, dirubah atau
diganti untuk kemudian diatur kembali pemanfaatannya bagi kepentingan umum,
sesuai dengan tujuan wakaf.
Landasan utama dari kebolehan tersebut ialah agar benda itu tetap
memberikan kemaslahatan bagi umat manusia sepanjang yang dibolehkan agama, di
mana dalam fiqih dikenal prinsip maslahat, yaitu memelihara maksud syara’, yakni
memberikan kemanfaatan dan menghindari hal-hal yang merugikan. Prinsip ini
setidaknya dapat dijadikan pertimbangan dalam perubahan menukar dan menjual
harta wakaf untuk mencapai fungsinya sebagaimana dinyatakan si wakif, dari pada
harta wakaf dipertahankan tidak boleh dijual, tetapi berakibat harta itu tidak
berfungsi, maksud syara’ akan lebih terpelihara bila harta wakaf itu boleh dijual atau
digantikan barang lain yang kemudian berkedudukan sebagai harta wakaf.97
Berdasarkan hal tersebut pada dasarnya jika nazhir ingin merubah fungsi atas
tanah wakaf, maka dapat menggunakan Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali, karena
pada dasarnya kedua mazhab ini membolehkan perubahan fungsi tanah wakaf dengan
tujuan untuk memproduktifkan tanah-tanah wakaf dan untuk sebesar-besarnya
kemaslahatan umat.
Peraturan perundang-undangan tentang wakaf yang berlaku saat ini tidak
diklasifikasikan jenis benda wakaf yang bagaimana yang dapat diubah statusnya,
sehingga dalam hal ini undang-undang secara mutlak membolehkan perubahan status
harta benda wakaf apapun jenis bendanya, sebab yang menjadi sorotan bukan bentuk,
akan tetapi yang terpenting dari wakaf adalah fungsi dan tujuannya. Pada dasarnya,
terhadap benda yang yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan, baik
peruntukan maupun statusnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan Tanah Milik dijelaskan bahwa:98
1. Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
97Ahmad Azhar Basyir,Op. Cit.,halaman. 17-18
2. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.
b. Karena kepentingan umum.
3. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut harus di laporkan oleh nazhir kepada Bupati, Walikota, Kepala Daerah, Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Kompilasi Hukum Islam menentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan
tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud
dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan
terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan karena tidak sesuai lagi dengan tujuan
wakaf seperti diikrarkan oleh wakif, dan karena kepentingan umum.99
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf juga mengatur
tentang perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau
kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Secara prinsip, harta benda
wakaf yang sudah diwakafkan dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual,
diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.100 Ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan
digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
99Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam
tidak bertentangan dengan syari’ah dan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh
izin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.101
Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan
pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar
sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.102 Selain dari pertimbangan sebagaimana dimaksud, izin perubahan status atau pertukaran harta
benda wakaf hanya dapat diberikan, jika pengganti harta benda penukar memiliki
sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.103
Dalam hal perubahan peruntukan harta benda wakaf, Pasal 44
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, dikatakan hanya dapat diberikan
apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan
peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf.104
Mekanisme perubahan status wakaf dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1978 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dijelaskan bahwa:105
1. Untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf, nazhir berkewajiban
mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang
101Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf 102Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
103 Pasal 49 Ayat 3 Huruf A Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
104Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
105 Pasal 12 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksana
melalui Kepala KUA dan Kepala Kanwil Depag secara hierarkis dengan
menyebut alasannya.
2. Kepala KUA dan Kepala Kandepag meneruskan permohonan tersebut secara
hierarkis kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang dengan disertai
pertimbangan.
3. Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang diberi wewenang untuk memberikan
persetujuan atau penolakan secara tertulis atas permohonan perubahan
penggunaan tanah wakaf.
Dalam hal ada permohonan perubahan status tanah wakaf Kepala Kanwil
Depag berkewajiban meneruskan kepada Menteri Agama cq. Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dengan disertai pertimbangan. Direktur Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam diberi wewenang untuk memberi persetujuan atau
penolakan secara tertulis atas permohonan perubahan status tanah wakaf. Perubahan
status tanah wakaf dapat diizinkan apabila diberikan penggantian yang
sekurang-kurangnya senilai dan seimbang dengan kegunaannya sesuai dengan ikrar wakaf.106 Selanjutnya perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaan tanah
wakaf harus di laporkan oleh nazhir kepada Bupati Walikota, Kepala Daerah cq.
Kepala Sub Dit Agraria (sekarang Kantor Badan Pertanahan) setempat untuk
mendapatkan penyelesaian lebih lanjut. Setiap perubahan tidak dilaksanakan menurut
106 Pasal 13 Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksana
ketentuan yang berlaku di samping terkena sanksi, juga perbuatan itu batal dengan
sendirinya menurut hukum.
Ketentuan mengenai mekanisme perubahan status harta benda wakaf juga
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang
menjelaskan bahwa penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah
statusnya dilakukan sebagai berikut:107
1. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status tukar-menukar tersebut.
2. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
3. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan selanjutnya Bupati, Walikota setempat membuat Surat Keputusan.
4. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri.
5. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus di laporkan oleh nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.
Berdasarkan hal tersebut, hukum asal perubahan dan atau pengalihan benda
wakaf dalam perundang-undangan adalah dilarang, akan tetapi selama memenuhi
syarat-syarat tertentu dan dengan mengajukan alasan-alasan sebagaimana yang telah
ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku, perundang-undangan tetap
memberikan peluang dibolehkannya melakukan perubahan dan atau pengalihan
107 Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang–
terhadap harta benda wakaf, meski dengan melalui prosedur dan proses yang panjang.
Ketatnya prosedur perubahan dan atau pengalihan harta benda wakaf itu bertujuan
untuk meminimalisir penyimpangan dan menjaga keutuhan harta benda wakaf agar
tidak terjadi tindakan-tindakan yang dapat merugikan eksistensi wakaf itu sendiri,
sehingga wakaf tetap menjadi alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak.108
108 Farid Wadjdy & Mursyid, Wakaf Dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam Yang