• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Jual Beli Barang Secara Internasional Menurut UPICCs Dan CISG Serta KUH Perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perjanjian Jual Beli Barang Secara Internasional Menurut UPICCs Dan CISG Serta KUH Perdata"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan jual beli adalah kegiatan yang secara universal atau umum ditemukan pada setiap dan seluruh bagian dunia ini, dan hal ini sudah berlangsung sejak zaman dahulu kala. Meskipun kegiatan jual beli ini boleh dikatakan merupakan kegiatan atau transaksi yang paling lama dilakukan oleh umat manusia yang dimulai dengan aksibarter, dimana para pihak saling menyerahkan benda satu kepada pihak yang lainnya, namun ternyata pengaturan mengenai transaksi jual beli ini tidaklah sesederhana yang diperkirakan.

Munculnya persoalan hukum dalam kegiatan jual beli sebenarnya sudah ada dan lahir mulai sejak para pihak melakukan negosiasi hingga terjadi kesepakatan dagang, yang berlanjut pada pelaksanaan penyerahan benda yang diperjualbelikan, peralihan risiko atas benda dan hak milik atas benda yang diperjualbelikan, metode, dan tata cara pembayaran yang paling aman bagi penjual, masalah cidera janji atau

wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat tidak dilaksanakannya kesepakatan yang sudah dicapai, sampai dengan persoalan interpretasi atau penafsiran dan itikad baik dalam melaksanakan kesepakatan yang sudah dibuat. Kompleksitas dari kegiatan jual beli menjadi bertambah manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan

(2)

jual beli secara internasional, atau yang dilaksanakan secara lintas negara dan sering disebut dengan perdagangan internasional.1

Dalam transaksi perdagangan internasional ini tidak lepas dari suatu perjanjian/kontrak. Perjanjian atau kontrak ini menjadi jembatan pengaturan dari suatu aktivitas komersial.2 Karena konteksnya perdagangan internasional, maka kontrak yang digunakan adalah kontrak dagang internasional. Kontrak dagang internasional ini mencakup kontrak jual beli barang, jasa (contohnya: arsitektural, atau jasa telekomunikasi), perjanjian lisensi paten dan perjanjian lisensi Hak Kekayaan Intelektual lainnya,joint ventures, dan perjanjian waralaba.3Dalam tulisan ini, penelitian ini difokuskan pada kontrak jual beli barang.

Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Perbedaan sistem hukum memberikan pengaruh yang signifikan kepada masing-masing negara dalam pembentukan hukum (undang-undang) yang mengatur mengenai kontrak baik

1

Gunawan Widjaja, “Aspek Hukum Kontrak Dagang Internasional: Analisis Yuridis Terhadap Kontrak Jual Beli Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis Vol.27 No.4, 2008, Hal. 23

2 Ricardo Simanjuntak, “Asas-asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang

Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4, 2008, Hal. 14 3

Angga Handian Putra, “Konvensi Jual Beli Internasional”,

(3)

dari aspek formil maupun materiilnya. Hukum kontrak pada kenyataanya sangat beragam karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut.4

Pada umumnya masing-masing negara yang terkait dalam transaksi perdagangan internasional menginginkan agar kontrak yang mereka buat tunduk pada hukum di Negara mereka,5 dimana setiap negara memiliki peraturan mengenai kontrak yang berbeda-beda.

Permasalahan lainnya yang timbul karena transaksi perdagangan internasional adalah:6

1. Penjual tidak mengirimkan barang kepada pembeli tanpa adanya jaminan pembayaran, dan pembeli tidak membayar terlebih dahulu sampai ia memeriksa kualitas barang yang dibelinya, atau setidak-tidaknya ia tahu bahwa barang tersebut telah dikapalkan.

2. Salah satu pihak harus mengatasi masalah mata uang asing.

3. Hampir selalu terjadi bahwa para pihak memiliki bahasa yang berbeda sehingga dapat menimbulkan salah pengertian mengenai prakondisi atau persyaratan dasar transaksi dagang yang dilakukan.

4. Transaksi dagang internasional berhadapan dengan berbagai peraturan pemerintah (yang membedakannya dengan transaksi bisnis domestik), dan sering kali transaksi tersebut tunduk pada peraturan lebih dari satu negara.

5. Transaksi dagang internasional tunduk pada lebih dari sistem hukum yang berlainan dan kebiasaan yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kesulitan ketika terjadi perselisihan. Hukum atau kebiasaan yang mana yang dipakai untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

6. Apabila perselisihan timbul atau jika kontrak dilanggar, penentuan dan pelaksanaan kewajiban kontrak lebih sulit jika pengadilan asing dan aturan-aturan asing ikut terkait didalamnya.

4 Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama,

2008), Hal. 29 5

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal Beli), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Hal.1

(4)

Berbagai permasalahan tersebut diatas telah dicoba untuk diatasi dengan adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya, diantaranya yaitu:7

a. Penciptaan konvensi-konvensi yang disetujui berbagai negara dan diterapkan dalam situasi-situasi tertentu,

b. Penyusunanmodel lawatau model hukum yang diusulkan berbagai organisasi internasional yang dimasukkan ke dalam hukum nasional masing-masing negara, dan

c. Ketentuan-ketentuan dari kebiasaan yang berlaku di dalam praktik yang dimasukkan ke dalam perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam transaksi dagang internasional.

Unifikasi dan harmonisasi merupakan dua kata yang sering sekali dipadukan dalam penggunaannya, namun keduanya memiliki makna yang berlainan.

Kastely mengatakan unifikasi berarti“to subject people around the world to a single set of rules and principles and to have them understand and conform to these rules

and principles as they would to the laws of their own communities”. Menurut Kastely, bahwa unifikasi itu merupakan kesatuan aturan atau seperti yang di katakan “Single set” yang mana ini diperlukan agar pemahaman setiap subjek hukum yang berbeda prinsip dan sistem dapat di samakan, atau minimal meminimalisir perbedaan pandangan masing-masing.8 Menurut Komar Kantaatmadja, mengatakan bahwa Harmonisasi hukum dimaksud sebagai “suatu upaya yang dilaksanakan melalui proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota memiliki prinsip

7Syahmin,Hukum Kontrak Internasional, Ibid, Hal. 93

8

Jun, “Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Internasional”,

(5)

serta pengaturan yang sama mengenai masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya”.9Goldring menganggap harmonisasi menjadi proses dimana “efek dari jenis transaksi dalam satu sistem hukum yang dibawa sedekat mungkin dengan efek dari transaksi yang sama berdasarkan hukum negara lain”. Oleh karena harmonisasi tidak hanya mentolerir perbedaan antara unsur-unsur individu (undang-undang) yang diselaraskan, tetapi juga perbedaan dalam penerapan ukuran harmonisasi.10

Tujuan dari diperlukannya kerjasama regional atau internasional adalah untuk mengharmonisasikan dan unifikasi hukum akibat dari adanya perbedaan sistem hukum pada setiap negara yang warga negaranya melakukan perdagangan internasional. Pada mulanya upaya harmonisasi ini dilakukan oleh The International Institute for the Unification of Privat Law (UNIDROIT). UNIDROIT adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. Lembaga UNIDROIT ini dibentuk sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB bubar, UNIDROIT dibentuk pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (The UNIDROIT Statute). Lembaga UNIDROIT ini berkedudukan di kota Roma dan dibiayai oleh lebih 50 negara yang

9 Eman Suparman, “Harmonisasi Hukum di Era Global Lewat Nasionalisasi Kaidah

Transnasional”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung, Vol.XI, November 2009, Hal.245

10 Philip James Osborne, “Unification or Harmonisation: A Critical Analysis of the United

(6)

menginginkan perlunya unifikasi hukum dalam jual beli internasional.11 UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts(selanjutnya disebut UPICCs) yang mengatur tentang Kontrak Komersial Internasional, pertama kali diadopsi pada tahun 1994 dan direvisi pada tahun 2004, banyak digunakan dalam praktek kontrak dan arbitrase internasional serta oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Arbitrase Internasional untuk menafsirkan dan melengkapi baik kontrak ketentuan dan hukum nasional yang relevan. Perubahan terakhir diadopsi pada tahun 2010 dan disetujui oleh Dewan Pengurus UNIDROIT pada Mei 2010.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Prinsip-prinsip UNIDROIT melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law

(Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata), dimana sejak tanggal 2 Januari 2009 Indonesia resmi menjadi anggota ke 63 dalam UNIDROIT melalui instrument aksesi pada Lembaga UNDROIT,12 oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebagai anggota UNIDROIT, Indonesia seharusnya mengikuti dan menjalankan prinsip-prinsip yang diatur oleh UNIDROIT.

Peraturan Presiden (selanjutnya disebut dengan Perpres) tersebut telah membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam konteks hukum kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan perdagangan

11Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna 1980), Disertasi

Doktor Universitas Indonesia, (Jakarta, 2002), Hal. 1 12

(7)

internasional. Sudah sepatutnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam UPICCs bisa dijadikan sebuah sistem hukum tulen yang mengatur secara lebih lengkap, terstruktur, fleksibel, dan mengakomodir perkembangan perdagangan internasional.

Dimana hal-hal yang dapat dijadikan urgensi bagi Indonesia dari UPICCs adalah:13

1. KUHPerdata sama sekali tidak mengatur kontrak baku padahal dalam kegiatan dagang baik dalam lingkup nasional maupun internasional kontrak semacam ini lazim digunakan. Dalam UPICCs, kontrak baku telah diatur secara proporsional yaitu berkaitan dengan perlindungan pihak yang lemah dalam Syarat Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 2.1.19 sampai Pasal 2.1.22 UPICCs. Disamping itu, UPICCs juga memuat aturan mengenai prinsip Contra Proferentem dalam penafsiran kontrak baku. UPICCs mengatur prinsip ini dalam 8 (delapan) Pasal yaitu Pasal 4.1 sampai 4.8 UPICCs. Pada prinsipnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4.6 UPICCs, jika syarat yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas maka penafsiran berlawanan dengan pihak tersebut harus didahulukan. 2. KUHPerdata tidak mengatur keadaan apabila kontrak tidak terlaksana akibat

perubahan keadaan yang fundamental, misalnya krisis ekonomi yang terjadi diIndonesia beberapa tahun silam telah menyebabkan banyak kontrak tidak dapat diselesaikan. Dimana akibat hukum bila terjadi kesulitan (hardship) dapat dilihat dalam Pasal 6.2.3 UPICCs.

Adopsi ketentuan yang termuat dalam UPICCs tentunya membawa Indonesia kepada proses harmonisasi hukum kontrak dalam konteks internasional sehingga tercipta suatu kepastian hukum guna mendukung partisipasi dan peningkatan perdagangan internasional secara optimal. Dalam hal ini, perbedaan sistem hukum dari masing-masing negara tentunya tidak lagi menjadi penghalang bagi perdagangan

13

(8)

internasional. Dengan adanya kepastian hukum tersebut kepentingan nasional pun akan lebih terlindungi.14

Hal-hal yang mendorong pentingnya harmonisasi dan unifikasi hukum, terutama adalah untuk menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum. Akibat dari perbedaan sistem hukum dari berbagai negara yang pada umumnya menganut Common Law danCivil Law, sulit menyelesaikan masalah dalam perdagangan internasional. Menyusul munculnya berbagai masalah, dan didasarkan pada usul dan pengalaman dari berbagai Negara.15

Sebelum adanya harmonisasi dan unifikasi terdapat berbagai masalah hukum terkait dengan kegiatan perdagangan internasional, yaitu masalah kompetensi lembaga hukum yang berwenang atau yurisdiksi, masalah hukum mana yang akan dipilih, dan masalah implementasi atau pelaksanaan putusan pengadilan asing.16 Dengan memperhatikan berbagai hal tersebut dan hambatan yang dialami dalam praktek hukum, maka harmonisasi dan unifikasi diwujudkan dengan berbagai konvensi internasional antar Negara-negara.

Pada tanggal 10 Maret sampai dengan 11 April 1980, diselenggarakan konferensi oleh Perserikatan Bangssa-Bangsa (PBB) yang diprakarsai oleh The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Konferensi

14“Argumen Hukum Kontrak Internasional”,Ibid.

15Victor Purba,Op.cit, Hal.1-2

16Ridwan Khairandy, “Tiga Problema Hukum dalam Transasksi Bisnis Internasional di Era

(9)

ini berhasil menghasilkan kesepakatan mengenai hukum materiil yang mengatur perjanjian jual beli (barang) internasional yaitu Contracts for the International Sales of Goods, yang sering disingkat juga dengan singkatan CISG. Selain itu konvensi ini juga sering disebut dengan Konvensi Jual Beli 1980 (Konvensi Vienna 1980). Konvensi Vienna 1980 ini berlainan dengan konvensi sebelumnya, dimana konvensi ini berlaku untuk kontrak jual beli barang antara para pihak yang mempunyai tempat usaha di negara yang berlainan.17 Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi perdagangan internasional dan CISG mengkhususkan pada kontrak jual beli internasional.

Berdasarkan keterangan Cyril R. Emery, Librarian UNCITRAL Law Library dari Vienna International Centre, dikatakan bahwa Indonesia belum meratifikasi Konvensi CISG.18Indonesia sebagai salah satu negara yang tercantum sebagai negara yang meratifikasi Penegakan dan Pengakuan Putusan Arbitrase Asing dari UNCITRAL pada tanggal 7 Oktober 1981 dan berlaku pada tanggal 5 Januari 1982, Indonesia meratifikasi konvensi ini untuk pengakuan dan penegakan penghargaan dilakukan di wilayah negara lain dan Indonesia menerapkan konvensi untuk

17Victor Purba,Op.cit,Hal. 29

18Dheswita Email, Need Information about CISG,

(10)

perbedaan yang timbul dari hubungan hukum, baik kontrak atau tidak, yang dianggap komersial di bawah hukum nasional.19

Dengan status CISG sebagai hukum dagang internasional yang diterima secara luas di negara-negara di dunia secara internasional, maka perlunya urgensi untuk meratifikasi CISG ini oleh Pemerintah Indonesia. Dimana sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum meratifikasi CISG, hal ini dilatarbelakangi oleh aktivitas perdagangan di wilayah ASEAN (Association of South East Asia Nations) di kawasan AFTA (ASEAN Free Trade Area), dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggota dari ASEAN, dikatakan bahwa kegiatan perdagangan hanya mencapai 22% dari total kegiatan perdagangan di kawasan AFTA, sementara 78% kegiatan dagang dilakukan denganpatner/rekan dagang yang berasal dari negara-negara diluar AFTA. Dengan rendahnya aktivitas perdagangan dikalangan sesama AFTA mengakibatkan tidak adanya urgensi dari pemerintah negera-negara AFTA untuk menyeragamkan aturan jual beli barang internasional. Dengan kata lain, tidak ada urgensi untuk meratifikasi CISG, kecuali di Singapura. Keadaan ini bertolak belakang dengan negara-negara Office for Official Publications of the European Communities (EU) dimana aktivitas perdagangan di wilayah EU justru lebih tinggi daripada perdagangan

19

(11)

yang dilakukan pedagang dari negara diluar anggota EU. Hal ini yang dapat juga menjadi alasan Pemerintah Indonesia belum merasa perlu untuk meratifikasi CISG.20

Alasan lain Indonesia tidak meratifikasi CISG adalah dalam Pasal1 (1) ayat (1) butir (b) CISG akan membawa kejelasan kepada penentuan mana hukum berlaku jika kedua belah pihak berasal dari negara yang meratifikasi CISG maka CISG berlaku tetapi jika tidak, maka CISG tidak berlaku. Menciptakan banyak ketidakpastian dan kebingungan besar sehubungan dengan hukum yang berlaku dan juga mendorong belanja forum. bahwa pilihan klausul hukum yang menggabungkan CISG dalam kontrak dengan kata-kata seperti “meskipun pemesanan Singapura” implisit mengecualikan Pasal 1 dan 95 CISG. Lebih baik lagi, pilihan klausul hukum dapat disusun dengan cara yang secara eksplisit mengecualikan Pasal 1 dan 95 CISG. Namun ada akan kesulitan lainnya. Mungkin ada ketentuan lain dari CISG yang dapat menyebabkan hasil yang aneh ketika konvensi diterapkan sebagai aturan dimasukkan daripada hukum nasional atau hukum perjanjian. Misalnya kebijaksanaan untuk mengecualikan ketentuan dalam Pasal 89-101 CISG yang menangani pemesanan, waktu datang dan lain-lain, berlaku sejak CISG tidak diterapkan sebagai konvensi atau hukum domestik. Kesulitan lainnya adalah bahwa CISG dimaksudkan untuk dilengkapi dengan hukum domestik nasional. Para pihak harus memilih hukum nasional. Ketika suatu negara memiliki status konvensi internasional yang dibuat

20

(12)

bagian dari hukum suatu Negara, CISG lebih diutamakan daripada hukum domestik.21

Untuk menyatakan masalah dalam hal hukum perdata, para pihak dapat dengan kontrak mereka mengecualikan ketentuan hukum nasional yang berlaku bahwa para pihak dapat memilih tempat pengiriman ditentukan oleh CISG bukan oleh hukum nasional, tetapi mereka mungkin tidak mengecualikan ketentuan-ketentuan hukum nasional yang mengutamakan ketertiban umum (misalnya ketentuan wajib dari hukum nasional yang membutuhkan menulis untuk keabsahan modifikasi kontrak). Pasal 29 CISG menyatakan bahwa kontrak dapat diubah tanpa modifikasi yang secara tertulis akan menimpa ketentuan hukum nasional yang bertentangan. Namun, Pasal 29 yang sama jika itu bukan bagian dari konvensi internasional dan bukan bagian dari hukum nasional, tetapi hanyalah sebuah istilah kontrak yang dipilih oleh para pihak tidak dapat mengesampingkan ketentuan wajib hukum nasional yang memerlukan modifikasi untuk dibuat secara tertulis. Oleh karena itu CISG ketika dimasukkan ke kontrak sebagai istilah kontrak mungkin tidak memiliki efek yang sama seperti CISG diterapkan sebagai perjanjian atau sebagai bagian dari hukum nasional. Ini karena membawa ukuran tertentu ketidakpastian.

Ada begitu banyak risiko dan ketidakpastian yang terkait dengan memilih CISG sebagai hukum yang mengatur meskipun pemesanan Singapura bahwa saya pasti tidak akan merekomendasikan pilihan semacam pihak. Oleh karena itu, dengan

21

(13)

tidak menarik reservasi nya, Singapura efektif mengurangi otonomi pihak mereka yang tidak dapat secara efektif dan aman memilih CISG sebagai hukum mereka dan karena itu mereka memiliki satu pilihan lebih sedikit. Jika mereka ingin kontrak mereka diatur oleh CISG mereka harus menghindari hukum Singapura dan Singapura sebagai yurisdiksi. Singapura adalah satu-satunya negara di Asosiasi Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang menjadi negara anggota dalam CISG. Fakta bahwa Singapura telah membuat reservasi di atas berarti bahwa CISG tidak dapat digunakan dalam ASEAN sehingga tidak dapat digunakan dengan memilih hukum Singapura antara dua negara yang bukan anggota CISG (misalnya Thailand dan Indonesia yang melakukan kontrak) atau antara Singapura dan negara anggota ASEAN lainnya. Singapura melihat perlunya undang-undang yang seragam dalam ASEAN untuk memfasilitasi perdagangan. Singapura harus memberikan kesempatan bagi para pihak dalam ASEAN untuk menggunakan CISG dengan memilih hukum Singapura. Ini tidak memaksakan CISG sebagai pihak selalu dapat mengecualikan konvensi, tetapi memungkinkan mereka untuk menggunakan dan pengalaman CISG dalam konteks ASEAN.22

Alasan lainnya Indonesia tidak meratifikasi CISG adalah bahwa CISG bukanlah perjanjian yang komprehensif. Itu tidak berhubungan sendiri dengan keabsahan kontrak yang mengatakan dengan isu-isu seperti ilegalitas, penipuan, keliru berkaitan dengan kontrak. Menurut Arthur Rossett itu adalah menggunakan

(14)

“bahasa yang pertama-tama adalah asing berkaitan dengan hukum kontrak dan karena itu tidak memiliki arti yang jelas dan, kedua, terlalu luas dan eksak sehingga menyebabkan ketidakpastian”. Oleh karena itu, CISG mendivestasikan pembeli hak legislatifnya menyerap berdasarkan hukum nasional untuk menolak barang ketika mereka tidak cocok dengan kuantitas atau kualitas. Tubuh perdagangan India dan konselor hukum mereka telah menemukan kesalahan dalam CISG aturan mengkhawatirkan karena bahasa samar-samar dari CISG dan pengantar gagasan “pelanggaran mendasar”. Demikian pula, dalam Pasal 8 dari CISG, tindakan itu rentan terhadap keganjilan. Klausul maksud menjemput dalam penilaian fungsi

representasi flouting nilai asli. Selain itu, CISG membangun situasi yang lebih membingungkan dalam segi itikad baik. CISG benar-benar diam tentang penjelasan itikad baik, apakah itu itikad baik sehubungan dengan sikap para pihak atau yang ditunjukkannya terhadap transaksi wajar. Dalam CISG, Pasal 7 (2), yang biasanya disebut sebagai kesenjangan penyediaan, bertindak sebagai kekacauan karena lagi itu membawa kita ke tur medan acak dan karena itu sangat berprasangka sesuai keadaan. Kata-kata dalam menggunakan prinsip-prinsip umum membuat ketentuan CISG banyak samar-samar.23

Dari fakta yang menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia merasa belum perlu meratifikasi CISG, akan tetapi kenyataan dilapangan Indonesia membutuhkan ratifikasi CISG. Dimana di Indonesia belum ada pengaturan khusus yang mengatur

23

India Law Jurnal, “Why India Should Opt For CISG”

(15)

tentang jual beli internasional, tampak bahwa ketentuan-ketentuan jual beli dalam pasal 1457-1540 KUHPerdata Buku III Bab V memang difokuskan pada ketentuan jual beli domestik, bukan internasional. Tidak ada pembedaan pengaturan antara jual beli yang bersifat commercial transaction dan yang bersifat consumer transaction, serta dalam KUHPerdata tidak mengatur penggunaan international trade usage atau hukum kebiasaan dagang internasional dan tidak mengatur penggunaan aturan hukum perdata internasional untuk memecahkan masalah yang muncul dari kontrak jual beli internasional. Pasal-pasal dalam KUHPerdata juga tidak spesifik mengatur pengangkutan atas barang yang diperjualbelikan para pihak. Sedang masalah pengangkutan barang yang memang sangat umum terjadi dalam jual beli internasional ada diatur dalam CISG. Sehingga CISG dianggap penting untuk diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia guna kepastian hukum dalam melakukan kegiatan jual beli internasional.24

Pembentukan suatu konvensi internasional pada dasarnya bertujuan agar terciptanya suatu harmonisasi dan unifikasi hukum atas aturan-aturan dalam perdagangan internasional. Seperti halnya lembaga UNIDROIT, Konvensi CISG pun berupaya menciptakan suatu unifikasi agar perbedaan hukum nasional tidak menjadi rintangan atau kendala bagi para pihak pembuat perjanjian dalam melakukan transaksi perdagangan internasional.

(16)

Dengan berlakunya beberapa konvensi internasional mengenai jual beli internasional, diperlukan suatu pembaharuan hukum kontrak dari negara peserta dengan konvensi-konvensi tersebut. Menurut Sudargo Gautama bahwa “pembaharuan dari bidang hukum kontrak (termasuk jual beli) harus diselenggarakan sesuai dengan syarat-syarat dan kebutuhan lalu lintas perdagangan internasional”.25

Kecenderungan unifikasi dan harmonisasi hukum sangat potensial mengingat upaya pembangunan hukum, dilakukan secara serentak diberbagai negara. Dengan demikian melalui intensitas transaksi dagang dan pembaharuan hukum, akan timbul

lex mercatoria atau hukum komersial melalui kontrak, penyelesaian perselisihan, maupun pembentukan hukum. Pada hukum kebiasaan internasional yang berkembang dalam praktik dan telah diadopsi kedalam konvensi internasional, dapat dikategorikan kedalamlex mercatoria.26

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pemerintah Hindia Belanda, yang diundangkan dengan maklumat tanggal 30 April 1847, Stb. 1847, Nomor 23, sedangkan di Indonesia diumumkan dalam Stb. 1848. Berlakunya KUHPerdata berdasarkan pada asas konkordasi.27 Ketentuan hukum yang mengatur tentang Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang terdiri atas 18 bab

25Sudargo Gautama, Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional,

(Jakarta: Alumni, 1978), Hal 50

26 Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT (Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan

Penyelesaian Bisnis Internasional), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hal.9

27Salim dan dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),

(17)

dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata. Dan masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Beberapa hal yang diatur didalam Buku III KUHPerdata, meliputi:

1) Perikatan pada umumnya, diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan 1312 KUHPerdata.

2) Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, diatur dalam Pasal 1313 sampai dengan 1351 KUHPerdata.

3) Jual beli, diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan 1540 KUHPerdata.

4) Persetujuan untuk melakukan pekarjaan, diatur dalam Pasal 1601 sampai dengan 1617 KUHPerdata.

5) Bunga tetap atau abadi, diatur dalam Pasal 1770 sampai dengan 1773 KUHPerdata.

Selain KUHPerdata, di Indonesia juga terdapat peraturan tertulis di bidang Hukum Perdata Internasional (HPI) namun dinilai tidak memadai lagi. Pasalnya, Indonesia masih menggunakan tiga pasal lama warisan Belanda, yaitu Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 Algemene Bepalingen (AB).

(18)

Pasal 17 AB, menyatakan bahwa “mengenai benda tetap (tidak bergerak) berlaku hukum dari negara tempat benda itu terletak”. Pasal 17 AB dikenal sebagai asas hukum setempat (lex situs) yang disebut juga statuta realita.

(19)

sebuah produk hukum nasional yang dibuat orang Indonesia untuk melindungi kepentingan nasionalnya.28

Penelitian ini membatasi terhadap KUHPerdata pada objek ketentuan beberapa prinsip Hukum Kontrak pada umumnya dari Buku III Bab II dari Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351dan Ketentuan jual beli pada umumnya yang terdapat pada Bab V Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Kemudian akan dibandingkan dengan ketentuan kontrak pada UPICCs dan pada aturan CISG.

Untuk menghadapi perbedaan pilihan hukum ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan:29

Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka.

Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws30 adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.

Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional. Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.

28Hukum Online, “Indonesia Butuh Kodifikasi Hukum Perdata Internasional”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt505175d29a703/indonesia-butuh-kodifikasi-hukum-perdata-internasional, diakses Hari Sabtu, Tanggal 29 Desember 2012.

29 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Prinsip-prinsip dan Konsepsi Dasar),

(Bandung, 2004), Hal. 31 30

(20)

Dalam kepustakaan, pilihan hukum dinamakan choice of law. Dimana jika para pihak dalam suatu kontrak dagang internasional memilih hukum negara tertentu, seperti umpamanya hukum Indonesia, maka kontrak dagang internasional itu akan dilihat dari segi “kacamata hukum” serta dikuasai oleh hukum Indonesia.

Prinsip Hukum Kontrak Komersial Internasional yang dijadikan bahan perbandingan, yaitu CISG dan UPICCs sebagai bagian dari lex mercatoria.31

Istilahlex mercatoria dapat dalam bahasa Inggris adalahthe law of merchant.32 Dari makna yang disebut dapat dilihat bahwa sumber dari lex mercatoriaadalah: 1. Kebiasaan dalam praktek serta kepatuhan dalam perniagaan internasional yang

diikuti oleh pelaku-pelaku bisnis antar negara dan mengikatkan diri pada aturan kebiasaan tersebut.

2. Standar Kontrak termasuk ke dalam bagian dari kebiasaan sebagai sumber Lex Mercatoria, asal memenuhi syarat tertentu :

a. Kontrak itu harus digunakan dalam praktek lingkungan masyarakat bisnis Internasional.

b. Bahwa pada dasarnya para pihak tidak berkewajiban mengikatkan diri terhadap kontrak baku tersebut.

3. Putusan Arbitrase, yang dimaksud disini adalah putusan peradilan (tribunal) yang memuat pertimbangan hukum yang diterima dalam lingkungan

pelaku-31Huala Adolf,Op.cit, Hal. 6

32Secara sederhanalex mercatoriadapat diberi makna sebagai sekumpulan prinsip dan aturan

(21)

pelaku bisnis internasional dan untuk itu diperlukan publikasi putusan arbitrase tersebut.

4. Prinsip Hukum Umum (Principle of Law) adalah prinsip hukum yang berlaku di semua negara negara atau dalam sebagian besar sistem hukum negara di dunia. Salah satu contoh dari prinsip umum adalah Prinsip Pacta Sunt Servanda, berarti perjanjian yang dibuat pihak-pihak mengikat para pihak. 5. Hukum bersifat seragam dalam bidang Komersial Internasional (Uniform

International Commercial Law). Mengenai hukum yang bersifat uniform atau seragam yang mengatur perniagaan internasional dapat terjadi melalui penerapan suatu Konvensi Internasional tentang perniagaan internasional atau melalui produk dari suatu institusi tentangmodel law.

Keterkaitan prinsip-prinsip lex mercatoria dengan hukum nasional tidaklah didasarkan pada keterkaitan formal yang sifatnya memaksa. Sebab dengan semakin kuatnya desakan globalisasi atau transaksi kontraktual yang dilakukan saat ini cenderung memiliki sifat internasional.

Terhadap ketentuan CISG, konvensi ini merupakan bagian dari perkembangan

lex mercatoriadimana CISG ini hanya mengatur aspek hukum kontrak khusus untuk jual beli barang. Sehingga dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis dalam rangka menjembatani perbedaan sistem hukum. Kajian ini difokuskan pada Hukum Kontrak pada umumnya yang menjadi payung berbagai kontrak.

(22)

melepaskan sesuatu hal.33 Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi. Sementara itu menurut M. Yahya Harahap, suatu perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak yang memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.34 Menurut Rahman Hasanudin, kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis.35 Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian, kontrak adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang-undang (Kitab Undang-undang-undang Hukum Perdata Pasal 1233) yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau lebih subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.36

Dengan adanya perjanjian internasional telah menggariskan ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa (mandatory law) yang harus di patuhi, antara lain untuk melaksanakan berbagai standar yang seragam yang berlaku bagi Indonesia dan negara lain. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu desakan internasional dibidang hukum, karena aturan yang dimaksud menjadi aturan yang memaksa secara internasional (international mandatory). Ferronica Taylor dalam bukunya Indonesia Law and Society dengan subjudul The Transformations of Indonesian Commercial

33Subekti,Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1996), Hal. 1

34Syahmin,Op.cit. Hal. 2

35Hasanudin Rahman,Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam

Merancang Kontrak Perorangan/Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), Hal.4

36 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta: Gramedia

(23)

Contracts and Legal Advises, menyarankan agar hukum kontrak Indonesia memperhatikan UPICCs dan CISG.37

Persoalan yang semula hanya bersifat subtantif saja, yang hanya tekait dengan keberlakuan hukum positif pada satu negara secara internasional, dihadapkan dengan persoalan pilihan hukum, dan pilihan forum, guna mengatur mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak sekaligus penyelesaian dari sengketa atau perselisihan yang lahir dari perjanjian jual beli secara Internasional tersebut.

Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, dari sekian banyak persoalan hukum yang dapat lahir dari suatu transaksi atau kontrak dagang internasional, khususnya perjanjian jual beli internasional, penelitian ini mengangkat tentang perbandingan hukum yang mengatur ketentuan jual beli internasional yang diatur dalam perjanjian, antara UPICCs dengan konvensi CISG serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli internasional bila di tinjau dari ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

(24)

2. Bagaimana suatu perjanjian jual beli internasional dapat dikatakan berlaku bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

3. Bagaimana ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli internasional bila di tinjau dari ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Untuk mengetahui suatu perjanjian jual beli internasional dapat dikatakan berlaku bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Untuk mengetahui ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya Perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan, yaitu: 1. Secara Teoritis

(25)

2. Secara Praktis

a. Diharapkan agar penulisan yang dilakukan dapat memberikan kontribusi kepada pihak yang berkepentingan, khususnya kepada masyarakat.

b. Diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan kepada para pihak yang melaksanakan perjanjian jual beli secara internasional, agar para pihak mengetahui dan memahami hukum perjanjian baik dilihat dari hukum perdata Indonesia maupun dari Konvensi Internasional yang telah ada seperti pada prinsip-prinsip UNIDROIT dan konvensi CISG.

c. Diharapkan dapat bermanfaat dan dapat dijadikan masukan kepada pemerintah sebagai upaya pembaharuan hukum perjanjian di indonesia dalam hal pengaturan jual beli internasional.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah penulis lakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan, khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sejauh yang penulis ketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian

“Perjanjian Jual Beli Barang secara Internasional menurut UPICCs dan CISG

serta Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.

Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu:

(26)

Sistem Internasional (Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Afta China-Indonesia)”.

2. Tesis Saudari Emmy Saragih, dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Pada PT. Prima Sarana Mandiri”.

3. Tesis Saudari Raden Dian N (107011065), dengan judul: “Kajian Yuridis Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis Speed Diesel Antara PT. Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa”.

Dengan demikian hasil penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. Peneliti bertanggungjawab sepenuhnya bila dikemudian hari dapat dibuktikan terdapat plagiat atau duplikasi dengan penelitian yang telah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.38 Dan suatu teori harus diuji menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.39

Menurut Soerjono Soekanto, Konstinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.40

38 JJJ M. Wuisman, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universits

Indonesia, 1996), Hal. 203

39JJJ M. Wuisman,Ibid, Hal.16

(27)

Menurut Burham Ashshofa, suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.41 Dengan kata lain kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis dalam penelitian.42

Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance) serta Teori Pacta Sun Servanda(kekuatan mengikat).

Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya penawaran (offer) dan penerimaaan (acceptance). Penawaran (offer) diartikan sebagai suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Pada prinsipnya, penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir, apabila:43

a. Si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan atau meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran.

b. Penawaran dicabut, dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan sebelum penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam waktu tertentu maka penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum waktunya berakhir, dan

c. Penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu kontrak penawaran.

Dengan demikian, unsur yang menentukan agar penawaran mempunyai kekuatan hukum adalah harus ada kepastian penawaran dan keinginan untuk terikat.

41Burham Ashshofa,Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), Hal.19

42

M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), Hal. 80

(28)

Agar penawaran mengikat seketika apabila ada penerimaan, maka dalam penawaran itu harus dimuat dengan tegas tentang persetujuannya.

Mengenai waktu dan tempat prestasi dapat saja ditetapkan dalam penawaran itu, tanpa mengakibatkan penawaran menjadi tidak memiliki kepastian hukum. Dengan demikian, ketentuan tersebut dapat membuktikan:44

a) Apakah pihak yang menawarkan sungguh-sungguh melakukan penawaran atau tidak.

b) Apakah pihak yang diberi penawaran itu berkeinginan untuk mengadakan persetujuan yang mengikat.

Penawaran tidak selamanya diterima dan suatu waktu dapat saja ditolak. Apabila penawaran ditolak, dengan sendirinya penawaran itu berakhir. Berakhirnya penawaran terjadi ketika berita penolakan sampai ditangan yang menawarkan.

Dalam penerimaan, terjadi pada saat yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Penerimaan (acceptance) adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh penawar. Penerimaan ini harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar tawaran. Penerimaan yang belum disampaikan kepada pemberi tawaran, belum berlaku sebagai penerimaan tawaran. Bilamana memungkinkan, baik tawaran maupun penerimaan tawaran sebaiknya dinyatakan secara tertulis dan jelas. Lagi

(29)

pula, suatu penerimaan kalau dapat harus diterima sendiri, serta jangan sampai membuat atau memberikan penawaran yang belum dapat diketahui tindakannya.45

Untuk menunjukkan adanya penerimaan, pihak yang ditawari harus menunjukkan adanya persetujuan atas penawaran. Semata-mata pemberitahuan tentang didapatnya penawaran, atau pernyataan tertarik terhadapnya, tidaklah cukup. Persetujuan harus diberikan tanpa syarat, yakni persetujuan ini tidak boleh digantungkan pada syarat-syarat yang harus di penuhi baik oleh pihak yang menawarkan atau oleh pihak yang ditawari. Dengan kata lain, isi penerimaan tidak boleh memuat variasi/jenis syarat-syarat dari penawaran atau mengubah secara materil syarat tersebut. Penerimaan menjadi efektif pada saat pemberitahuan persetujuan sampai pada pihak yang menawarkan.

Dengan disetujuinya penawaran oleh pihak penerima tawaran atau yang disebut dengan penerimaan penawaran, maka persetujuan tersebut menjadi kesepakatan yang ditegaskan dalam suatu perjanjian oleh para pihak, sehingga berlakulah Teori Pacta Sunt Servanda (kekuatan mengikat), yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Ini berarti, jual beli yang telah dilangsungkan dan telah mengikat dengan tercapainya kata sepakat mengenai kebendaan yang akan dijual dan harga beli

(30)

antara penjual dan pembeli, tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh pembeli maupun penjual. Bahkan dalam hal jual beli dilakukan dengan pemberian uang muka.46

Secara tegas dinyatakan bahwa suatu perjanjian jual beli tidak dapat diubah, diganti atau bahkan diakhiri dengan hanya berdasarkan pada kemauan atau kehendak salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli. Dalam penyusunan suatu kontrak dagang tentunya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku, salah satunya adalah syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Suatu hal tertentu,

4. Suatu sebab yang halal.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dan yang lazim dibuat dalam transaksi dagang internasional adalah:47

a. Kebebasan Berkontrak, prinsip ini dianut oleh Hukum Indonesia (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata) dan diberlakukan secara luas dalam praktik hukum di indonesia, bahkan prinsip ini menjadi begitu penting karena dipergunakan sebagai kata kunci dalam mengembangkan berbagai macam perjanjian yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum dan praktik hukum di Indonesia, misalnya perjanjian patungan (joint venture agreement), perjanjian bantuan teknis (technical assistance agreement), perjanjian lisensi (licensi agreement), dan perjanjian waralaba (franchising agreement), dan perjanjian bagi hasil (production sharing contact). Jenis-jenis perjanjian tersebut baru dikenal luas setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang

46Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Op.cit,Hal. 125

(31)

Penanaman Modal Asing yang mengundang masuknya investor asing ke Indonesia.

b. Penawaran dan Penerimaan, prinsip ini lebih dikenal sebagai persesuaian kehendak diantara para pihak. Sulit untuk menentukan apakah terhadap MOU (Memorandum of Understanding) termasuk dalam perjanjian dalam hukum Indonesia karena banyak pihak yang menginginkan bentuk ini semata-mata sebagai dokumen yang memuat saling pengertian diantara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Didalam hukum Indonesia dikenal suatu prinsip bahwa perjanjian tidak hanya ditafsirkan dari apa yang tertulis, tetapi juga apa yang secara wajar dimaksudkan para pihak atau secara umum berlaku dalam masyarakat.

c. Asas Pacta Sunt Servanda, disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Dimana Hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi kontrak yang dibuat oleh para pihak.48Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

d. Itikad Baik (Goede Trouw), dalam prinsip ini pihak yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan dengan dasar itikad baik, walaupun tidak disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan, dapat meyakini bahwa tindakannya tersebut dilindungi hukum. Meskipun demikian, penyusunan kontrak yang baik dan rinci daripada semata-mata mendasarkan diri pada prinsip itikad baik tersebut.

e. Ganti Rugi (Penalty), bahwa pihak-pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi atas tidak dipenuhi atau dilanggarnya atau diabaikannya suatu ketentuan dalam perjanjian oleh pihak lainnya.

f. Alasan Pemutusan, dilakukan atas persetujuan bersama para pihak didalamnya. Persetujuan dapat diberikan dalam persetujuan yang bersangkutan untuk hal-hal tertentu. Penyusunan perjanjian yang tunduk pada hukum Indonesia wajib mengetahui bahwa tanpa adanya perjanjian demikian mengharuskan salah satu pihak yang menginginkan pemutusan perjanjian untuk meminta persetujuan pengadilan terlebih dahulu.49

48

Salim,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan kontrak, (Mataram: Rajawali, 2002), Hal. 12

49

(32)

g. Pilihan Hukum, untuk perjanjian yang mempunyai aspek transnasional, masalah pilihan hukum menjadi penting. Tidak semua pihak merasa nyaman (comfortable) dengan pilihan hukum dalam perjanjiannya, walaupun menyangkut Indonesia, diatur dan ditafsirkan menurut hukum Indonesia. Pilihan hukum asing untuk suatu perjanjian yang menyangkut Indonesia adalah sah dan mengikat.

h. Penyelesaian Sengketa, sebagian besar transaksi bisnis internasional memilih arbitrase luar negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa dengan berbagai alasan. Jika penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut dilakukan dihadapan badan peradilan di Indonesia, masalahnya adalah apakah badan peradilan yang bersangkutan dianggap mampu. Jikalau penyelesaian sengketa tersebut dilakukan di pengadilan di luar negeri, apakah keputusan pengadilan asing dapat dilaksanakan di Indonesia? Sesuai dengan prinsip hukum acara yang berlaku di Indonesia, keputusan hakim asing tidak dapat serta merta (otomatis) dapat dilaksanakan di Indonesia. Pengadilan di Indonesia hanya dapat menggunakan keputusan tersebut sebagai salah satu bahan pertimbangan ataupun bukti dalam memberikan keputusannya sendiri dalam suatu perkara baru yang diajukan ke hadapan pengadilan tersebut.

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin,conceptoyang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.50 Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut operational definition.51 Pentingnya definisi operational adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

50 Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah,

(Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Hal. 122

51Sutan Remy Sjahdeni,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para

(33)

Menurut Masri, Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian dalah menghubungkan dunia teori dan

observasi/penelitian, antara abstrasi dan realitas.52 Sehingga Kerangka Konsepsi mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.53

Oleh karena itu, untuk memberi pegangan pada penulisan hukum ini, didefinisikan beberapa konsep dasar, yaitu:

a. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.54

b. Perjanjian Jual Beli Barang Internasional adalah Sebuah kontrak jual beli yang dibuat oleh para pihak dimana tempat dan usaha atau tempat tinggal yang biasanya berada dalam wilayah negaranya berbeda (A contract for the sale of goods made by parties whose places of business (or habitual residence) are in

the territories of different states).55

c. UNIDROIT adalah Lembaga Internasional yang merupakan bidang penting dari hukum perdata internasional dari organisasi antar pemerintah internasional, yang fungsi utamanya bergerak di bidang harmonisasi dan koordinasi hukum perdata internasional, pengembangan rancangan undang-undang dan konvensi

52Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES), Hal. 34

53Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Hal. 7

54Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

55Renswa, “Perjanjian Jual Beli Internasional”,

(34)

internasional mengakui kesatuan dari berbagai negara dalam aturan hukum internasional swasta untuk mempromosikan kegiatan komersial internasional dilakukan dengan lancar.56

d. CISG adalah Konvensi atau perjanjian multilateral yang berisi keseragaman aturan yang sah tentang undang-undang untuk mengurus/memerintah penjualan barang-barang internasional sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi CISG 1980. Dimana CISG ini merupakan hasil kerja dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diprakarsai oleh UNCITRAL.

e. UPICCs adalah aturan umum bagi kontrak komersial internasional yang berlaku apabila para pihak telah sepakat bahwa kontrak mereka tunduk pada prinsip ini dan prinsip hukum umum (general principles of law), lex mercatoria dan sejenisnya, yang terdiri dari 12 prinsip utama dalam kontrak.57Dimana lembaga yang mengeluarkan UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) adalah Lembaga UNIDROIT.

f. Hukum Perjanjian Indonesia adalah aturan-aturan hukum yang terdapat dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) Buku III, yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan umum perjanjian, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, akibat suatu perjanjian, dan penafsiran suatu perjanjian.

g. Wanprestasi adalah Pelanggaran yang dilakukan oleh para pihak karena yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban yang diisyaratkan didalam kontrak.

56UNIDROIT, “Sebuah Tinjauan UNIDROIT”,

(35)

h. Pilihan Hukum adalah Para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan, mereka dapat memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka. Para pihak dapat memilih hukum tertentu. Mereka hanya bebas untuk memilih,tetapi mereka tidak bebas untuk menentukan sendiri perundang-undangannya.58

i. Kebebasan Berkontrak adalah salah satu asas dari hukum kontrak yang pada dasarnya mengajarkan bahwa para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bentuk dan isi kontrak dalam batas-batas yang ditentukan oleh perundang-undangan, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.

j. Pilihan Forum adalah para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa diantara para pihak dalam kontrak tersebut.59

k. Hak dan Kewajiban Para Pihak adalah Suatu perbuatan hukum orang perorangan atau badan hukum dalam perjanjian untuk melaksanakan (yang disebut dengan prestasi) atau tidak melaksanakan sesuatu.

l. Penjual adalah orang yang menyampaikan kepemilikan dan kepemilikan sebuah artikel, properti atau barang dagangan yang dimiliki dan dipegangnya, untuk orang lain dalam pertukaran untuk pertimbangan dalam nilai uang.

58Ade, “Hukum Perdata Internasional: Pilihan Hukum”,

http://kuliahade.wordpress.com/2010/01/18/hukum-perdata-internasional-pilihan-hukum.html, diakses Hari Jumat, Tanggal 3 Maret 2012.

59 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra

(36)

m. Pembeli adalah Pihak yang memperoleh, atau setuju untuk mengambil alih, kepemilikan (dalam hal barang), atau manfaat atau penggunaan (dalam hal layanan/jasa), dengan imbalan uang atau pertimbangan lain di bawah kontrak penjualan.

n. Ganti Rugi adalah Kerugian yang ditimbulkan karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditor akibat kelalaian pihak debitur melakukanwanprestasi.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat didalam tujuan penyusunan dan penelitian ini, maka sifat penelitian ini adalah

deskriptif analisis, merupakan metode penelitian dengan cara mengumpulkan data sesuai dengan yang sebenarnya, kemudian data tersebut disusun, diolah dan dianalisis untuk dapat memberikan gambaran mengenai masalah yang ada serta menggunakan deskriptif komparatif /perbandingan hukum dimana penelitian menekankan dan mencari adanya perbedaan-perbedaan yang ada serta persamaan pada berbagai sistem hukum.

(37)

2. Sumber Data Penelitian

Pada penelitian hukum ini, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Dimana sumber data yang digunakan dalam penelitian data sekunder adalah meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.60

Dalam penelitian ini bahan hukum yang dijadian rujukan adalah data sekunder, antara lain:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan dan mengikat, yakni:

1) UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (UPICCs) 2010 dalam UNIDROIT International Institute for the Unification of Private Law.

2) United Nations Convention on Contracts for the International Sales of Goods 1980.

3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.61 Seperti hasil penelitian, artikel, buku-buku referensi dan media informasi lainnya seperti internet yang juga menjadi tambahan bagi thesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan.

60Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Op.cit, Hal. 39

61Soerjono Soekanto,Pengantar Laporan Hukum, Cet. 3, (Jakarta: UI Press, Jakarta, 2007),

(38)

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, kamus umum dan jurnal

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini, metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan Penelitian Kepustakaan (Library Research). Dalam penelitian ini, penelitian kepustakaan bertujuan untuk menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan permasalahan penelitian yang diteliti.

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi dokumen, yaitu dengan mempelajari serta menganalisa bahan pustaka (data sekunder).

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan susunan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan seperti yang disarankan oleh data.62Didalam penelitian hukum normatif maka analisis pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.63

Proses analisis data/bahan hukum dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut:

62

Lexy J Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Hal. 103

63

(39)

a. Melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi internasional yang relevan serta bahan hukum sekundernya yang mendukung. b. Melakukan pemeriksaan dan mengevaluasi data yang telah dikumpulkan dari

undang-undang, buku-buku, jurnal hukum dan bisnis, makalah hukum dan bisnis serta dari kamus hukum yang terkait dengan Konvensi-konvensi Internasional dan Perjanjian Jual Beli Internasional, untuk mengetahui validitas dari data tersebut.

c. Mensistematikakan data yang telah di inventaris dan diperiksa untuk menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, serta untuk memperoleh jawaban yang baik.

Referensi

Dokumen terkait

Form-form yang terdapat didalam website ini dibuat untuk membantu memudahkan calon penyewa untuk melakukan reservasi, yang terdiri dari form index, gallery, guestbook,

Oleh karena pentingnya aplikasi pengolahan data pegawai tersebut maka penulis membuat aplikasi Microsoft Visual Basic.Net dan Database SQL Server guna memudahkan pencarian

Penelitian ini merupakan suatu studi observasional dengan desain cross- sectional , untuk mengetahui hubungan kadar zink dan kenaikan berat badan ibu selama kehamilan dengan

“The Story Of Physic’s” Sebagai Metode Pembelajaran Fisika Menyenangkan Melalui Teknik Story Telling menjadi salah satu metode pembelajaran fisika yang berpengaruh

Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk mengambil judul “Integrasi Pendidikan Islam Humanistik dan Misi Profetik Kiai Ahmad Dahlan dalam Novel Sang

• Kebaikan dan Kemurahan Ilahi : Allah telah belas kasihan yang lebih besar kepada orang-orang tidak percaya yang ada dalam perjanjian eksklusif dengan Dia daripada kepada

Kinerja pada umumnya adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing

Jujukan kekunci ini bergantung kepada jenis BIOS yang digunakan (biasanya maklumat ini akan dipaparkan pada skrin monitor semasa komputer dihidupkan).