• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Jual Beli Barang Secara Internasional Menurut UPICCs Dan CISG Serta KUH Perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perjanjian Jual Beli Barang Secara Internasional Menurut UPICCs Dan CISG Serta KUH Perdata"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

ROTUA DESWITA RAJA GUK GUK

107011095/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROTUA DESWITA RAJA GUK GUK

107011095/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nomor Pokok : 107011095 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

2. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ROTUA DESWITA RAJA GUK GUK

Nim : 107011095

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PERJANJIAN JUAL BELI BARANG SECARA INTERNASIONAL MENURUT UPICCS DAN CISG SERTA KUHPERDATA

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

i

manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan jual beli secara internasional. Dalam transaksi perdagangan internasional tidak lepas dari yang namanya perjanjian. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Dengan adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya melalui UPICCs dan CISG bagi Indonesia dalam KUHPerdata yang diharapkan dapat mengurangi perbedaan-perbedaan yang selama ini menjadi kendala bagi Indonesia serta dapat menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum dalam perjanjian jual beli internasional.

Pembahasan dalam penelitian ini yaitu, pertama, pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli internasional di tinjau dari ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, kedua, berlakunya suatu perjanjian jual beli internasional bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, ketiga ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analisis dan deskriptif komparatif.

(7)

ii

mendasari pemberlakuan ketentuan ganti rugi terhadap para pihak, baik dalam hal bentuk ganti rugi, persetase kerugian/kehilangan keuntungan sehingga keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak atas prestasi terpenuhi.

(8)

iii

international trading activities. International trade transaction is not separated from an agreement. To unite many parties in an international scope is not a simple issue. This is related to the different national legal system, paradigm, and existing rule of law as a compulsory rules to be obeyed by the parties in their respective countries. With the unification and harmonization of regulations and practice through various attempts with UPICCs and CISG for Indonesia in the Indonesian Civil Codes, it is expected to be able to minimize the differences which have been constraints for Indonesia and equate a perception or point of view that it can facilitate the parties involved to meet their legal needs in the international trading agreement.

This analytical and comparative descriptive study with normative juridical approach discussed, first, the regulation of right and responsibility of the seller and the buyer in the international trading agreement in terms of provisions of UPICCs, convention of CISG and the Indonesian Civil Codes; second, the effect of an international trading agreement for the parties in accordance with the provisions of UPICCs, convention of CISG and the Indonesian Civil Codes; and third, the provisions of the amount of compensation due to the non-fulfillment of the trading agreement according to UPICCs, convention of CISG and the Indonesian Civil Codes.

The result of this study showed that the regulation of right and responsibility in the UPICCs was focused not only on the seller and the buyer, but also on the agents and the third party, and strictly regulated the regulation of right and responsibility in the CISG and the Indonesian Civil Codes. According to UPICCs, the agreement is valid if the parties are in different country (it contains foreign element) and they are bound to each other through an agreement, where the agreement must begin with an offer by one of the parties and is closed with accepting the offer. In the Indonesian Civil Codes, an agreement can be binding and applicable if the requirements for the validity of an agreement are met, for examples, agreement, competence, particular issue, and legal reasons supported by the legally justified subject and object of law which is not in conflict with law. The non-fulfillment of an agreement inflicting a loss to one of the parties, according to UPICCs, convention of CISG and the Indonesian Civil Codes, the party that did not implement the agreement should pay the compensation and loss of profit. Therefore, it is a need to include a special regulation strictly and clearly regulating the position of the right and responsibility of both the seller and the buyer in the UPICCs. To provide legally enforcable evidence, the agreement between the seller and the buyer should be made in the form of written contract like underhanded agreement or Authentic Deed. In terms of the regulation on compensation, the UPICCs, CISG and the Indonesian Civil Codes need a special regulation describing the basic reasons to enforce compensation provision for the parties, either in the forms of compensation, loss/loss of profit percentage, that the balance of rights and obligations between both parties for their achievement is met.

(9)

iv

Rahmat dan Kasih KaruniaNya sehingga penulis dapat melakukan dan menyelesaikan

penulisan tesis ini dengan baik.

Adapun tujuan dibuat penulisan tesis ini untuk memenuhi dan melengkapi

persyaratan guna mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul dari tesis ini adalah: “PERJANJIAN JUAL BELI BARANG

SECARA INTERNASIONAL MENURUT UPICCS DAN CISG SERTA

KUHPERDATA”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini belum tentu selesai tanpa

adanya pihak-pihak yang telah berjasa membimbing, mengarahkan, memberikan

semangat dan motivasi serta memberikan sumbangsih kepada penulis. Pada

kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati yang tulus, penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah membantu dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini terutama kepada yang

terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku

(10)

v Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus

Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis;

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus

Penguji yang telah memberikan saran, kritik dan masukan kepada penulis;

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembimbing yang telah memberikan

saran, masukan dan arahan kepada penulis;

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum, selaku Pembimbing yang telah banyak

memberikan saran, masukan, dan arahan kepada penulis;

7. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, MHum, selaku Penguji yang telah memberikan

saran, kritikan dan masukan kepada penulis;

8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Kedua Orangtuaku yang tercintai dan kubanggakan, Ayahanda Abner Maruhum

Rajagukguk dan Ibunda Megawati Pakpahan, yang selalu sabar dan memberikan

(11)

vi

Rajagukguk SH, terima kasih atas Doa, dukungan dan bantuannya kepada

Penulis;

11. Keluarga Op. Marindal: Op. Boru dan Op. Doli, Bou Renhard dan keluarga, Bou

Cristy dan keluarga, Bow Ani dan Keluarga, Adik sepupu penulis: Debby

Natasya, Dinda, Uda Puput dan Putri Rajagukguk (Puput), terima kasih atas doa,

kasih sayang, bantuan dan dukungannya kepada penulis selama berada di Medan;

12. Sahabat baik penulis di Batam: Elly Kurniawan dan Keluarga, Kak Roslina

Dasmi Sipahutar, Sondang Naibaho, dan semua teman-teman penulis yang

memberikan dukungan melalui Doa dan komunikasinya kepada penulis;

13. Sahabat baik penulis di MKn USU Medan: Evelyn Angelita Pinondang

Manurung SH dan Fenni Ciptani Saragih SH yang selalu meluangkan waktu buat

membantu, menemani, tukar pikiran, memberi ide serta saran-saran, dan terima

kasih buat doa, dukungan, motivasi serta perhatiannya kepada penulis, buat

Maria N Sihombing Lumbantoruan SH, MKn terima kasih buat doa, waktu, ide

dan saran-sarannya kepada penulis, serta terima kasih buat kebersamaan dan

kenangan kita bertiga dan berempat selama di Medan. Salam Persahabatan!!;

14. Teman baik penulis di MKn USU angkatan 2010: Riva Yulia Ersa Pratiwi br

(12)

vii

teman-teman Kelas C, Kelas A dan Kelas B yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu, terima kasih karena selalu memotivasi serta memberikan semangat

dalam menyelesaikan tesis ini;

15. Teman penulis Anthony Siallagan, terimakasih buat dukungan dan doanya

kepada penulis;

Akhirnya, penulis mengharapkan agar tesis ini dapat bermanfaat bagi dunia

pendidikan dalam pengembangan keilmuan terutama bagi penulis dalam memperkaya

khasanah ilmu pengetahuan hukum di masa mendatang.

Dari semua ucapan terima kasih yang penulis ucapkan, Terima kasih kepada

Tuhan Yesus Kristus karena atas KehendakNya lah penulis dapat menyelesaikan tesis

ini. Terimakasih. Tuhan Memberkati.

Medan, Desember 2012 Penulis,

(13)

viii I. DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Rotua Deswita Raja Guk Guk, SH

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta / 12 Desember 1983

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Bengkong Permai Blok D No.1 Batam

II. IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : Abner Maruhum Rajagukguk

Nama Ibu : Megawati Pakpahan

III. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. TK Immanuel Batam : Tamat Tahun 1990

2. SDN 025 Bengkong Laut Batam : Tamat Tahun 1996

3. SLTPN 10 Sungai Panas Batam : Tamat Tahun 1999

4. SMA Harmoni Batam : Tamat Tahun 2002

5. S-1 Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam : Tamat Tahun 2007

(14)

ix

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 23

C. Tujuan Penelitian ... 24

D. Manfaat Penelitian ... 24

E. Keaslian Penelitian ... 25

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 26

1. Kerangka Teori ... 26

2. Konsepsi ... 32

G. Metode Penelitian ... 36

BAB II PENGATURAN HAK DAN KEWAJIBAN PENJUAL DAN PEMBELI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI INTERNASIONAL DITINJAU DARI KETENTUAN UPICCs, KONVENSI CISG, DAN KUHPERDATA ... 40

A. Jual Beli Internasional (JBI)... 40

1. Pengertian Jual Beli dan Jual Beli Internasional ... 40

2. Perbedaan Sistem Hukum Nasional dan Jual Beli Internasional ... 43

3. Upaya Kodifikasi Hukum Jual Beli Internasional ... 47

(15)

x

3. Kekuatan Mengikat UPICCs ... 54

4. Hak-hak dan Kewajiban Penjual ... 55

5. Hak-hak dan Kewajiban Pembeli ... 60

C. Hak dan Kewajiban dalam JBI Menurut CISG ... 65

1. Latar Belakang CISG ... 65

2. Tujuan CISG ... 66

3. Kekuatan Mengikat CISG ... 67

4. Hak dan Kewajiban Penjual ... 67

5. Hak-hak dan Kewajiban Pembeli ... 72

D. Hak dan Kewajiban dalam Jual Beli Menurut KUHPerdata... 74

1. Asas-asas dalam Jual Beli ... 74

2. Hak dan Kewajiban Penjual ... 77

3. Hak dan Kewajiban Pembeli ... 82

E. Analisis Perbandingan ... 84

BAB III BERLAKUNYA PERJANJIAN JUAL BELI INTERNASIONAL BAGI PARA PIHAK SESUAI KETENTUAN UPICCs, KONVENSI CISG, DAN KUHPERDATA... 87

A. Berlakunya Perjanjian Jual Beli Internasional Berdasarkan UPICCs ... 87

1. Subjek Perjanjian Jual Beli Internasional ... 87

2. Objek Perjanjian Jual Beli Internasional ... 93

3. Berlakunya Perjanjian Jual Beli Internasional ... 97

B. Berlakunya Perjanjian Jual Beli Internasional Berdasarkan CISG ... 101

(16)

xi

1. Subjek Perjanjian Jual Beli ... 107

2. Objek Perjanjian Jual Beli ... 110

3. Berlakunya Perjanjian Jual Beli ... 111

D. Analisis Perbandingan ... 116

BAB IV KETENTUAN BIAYA GANTI RUGI AKIBAT WANPRESTASI MENURUT UPICCs, KONVENSI CISG, DAN KUHPERDATA ... 119

A. Biaya Ganti Rugi Akibat Wanprestasi Berdasarkan UPICCs ... 119

1. Wanprestasi dalam Jual Beli Internasional ... 119

2. Force MajeuredanHardship ... 119

3. Biaya Ganti Rugi ... 123

B. Biaya Ganti Rugi Akibat Wanprestasi Berdasarkan CISG... 124

1. Wanprestasi dalam Jual Beli Internasional ... 124

2. Force MajeuredanHardship ... 128

3. Biaya Ganti Rugi ... 130

C. Biaya Ganti Rugi Akibat Wanprestasi Berdasarkan KUHPerdata ... 133

1. Wanprestasi dalam Jual Beli ... 133

2. Force MajeuredanHardship ... 137

3. Biaya Ganti Rugi ... 139

D. Analisis Perbandingan ... 146

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 149

A. Kesimpulan ... 149

B. Saran ... 151

(17)

i

manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan jual beli secara internasional. Dalam transaksi perdagangan internasional tidak lepas dari yang namanya perjanjian. Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Dengan adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya melalui UPICCs dan CISG bagi Indonesia dalam KUHPerdata yang diharapkan dapat mengurangi perbedaan-perbedaan yang selama ini menjadi kendala bagi Indonesia serta dapat menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum dalam perjanjian jual beli internasional.

Pembahasan dalam penelitian ini yaitu, pertama, pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam perjanjian jual beli internasional di tinjau dari ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, kedua, berlakunya suatu perjanjian jual beli internasional bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, ketiga ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan sifat penelitian deskriptif analisis dan deskriptif komparatif.

(18)

ii

mendasari pemberlakuan ketentuan ganti rugi terhadap para pihak, baik dalam hal bentuk ganti rugi, persetase kerugian/kehilangan keuntungan sehingga keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak atas prestasi terpenuhi.

(19)

iii

international trading activities. International trade transaction is not separated from an agreement. To unite many parties in an international scope is not a simple issue. This is related to the different national legal system, paradigm, and existing rule of law as a compulsory rules to be obeyed by the parties in their respective countries. With the unification and harmonization of regulations and practice through various attempts with UPICCs and CISG for Indonesia in the Indonesian Civil Codes, it is expected to be able to minimize the differences which have been constraints for Indonesia and equate a perception or point of view that it can facilitate the parties involved to meet their legal needs in the international trading agreement.

This analytical and comparative descriptive study with normative juridical approach discussed, first, the regulation of right and responsibility of the seller and the buyer in the international trading agreement in terms of provisions of UPICCs, convention of CISG and the Indonesian Civil Codes; second, the effect of an international trading agreement for the parties in accordance with the provisions of UPICCs, convention of CISG and the Indonesian Civil Codes; and third, the provisions of the amount of compensation due to the non-fulfillment of the trading agreement according to UPICCs, convention of CISG and the Indonesian Civil Codes.

The result of this study showed that the regulation of right and responsibility in the UPICCs was focused not only on the seller and the buyer, but also on the agents and the third party, and strictly regulated the regulation of right and responsibility in the CISG and the Indonesian Civil Codes. According to UPICCs, the agreement is valid if the parties are in different country (it contains foreign element) and they are bound to each other through an agreement, where the agreement must begin with an offer by one of the parties and is closed with accepting the offer. In the Indonesian Civil Codes, an agreement can be binding and applicable if the requirements for the validity of an agreement are met, for examples, agreement, competence, particular issue, and legal reasons supported by the legally justified subject and object of law which is not in conflict with law. The non-fulfillment of an agreement inflicting a loss to one of the parties, according to UPICCs, convention of CISG and the Indonesian Civil Codes, the party that did not implement the agreement should pay the compensation and loss of profit. Therefore, it is a need to include a special regulation strictly and clearly regulating the position of the right and responsibility of both the seller and the buyer in the UPICCs. To provide legally enforcable evidence, the agreement between the seller and the buyer should be made in the form of written contract like underhanded agreement or Authentic Deed. In terms of the regulation on compensation, the UPICCs, CISG and the Indonesian Civil Codes need a special regulation describing the basic reasons to enforce compensation provision for the parties, either in the forms of compensation, loss/loss of profit percentage, that the balance of rights and obligations between both parties for their achievement is met.

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan jual beli adalah kegiatan yang secara universal atau umum

ditemukan pada setiap dan seluruh bagian dunia ini, dan hal ini sudah berlangsung

sejak zaman dahulu kala. Meskipun kegiatan jual beli ini boleh dikatakan merupakan

kegiatan atau transaksi yang paling lama dilakukan oleh umat manusia yang dimulai

dengan aksibarter, dimana para pihak saling menyerahkan benda satu kepada pihak

yang lainnya, namun ternyata pengaturan mengenai transaksi jual beli ini tidaklah

sesederhana yang diperkirakan.

Munculnya persoalan hukum dalam kegiatan jual beli sebenarnya sudah ada

dan lahir mulai sejak para pihak melakukan negosiasi hingga terjadi kesepakatan

dagang, yang berlanjut pada pelaksanaan penyerahan benda yang diperjualbelikan,

peralihan risiko atas benda dan hak milik atas benda yang diperjualbelikan, metode,

dan tata cara pembayaran yang paling aman bagi penjual, masalah cidera janji atau

wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat tidak dilaksanakannya kesepakatan yang

sudah dicapai, sampai dengan persoalan interpretasi atau penafsiran dan itikad baik

dalam melaksanakan kesepakatan yang sudah dibuat. Kompleksitas dari kegiatan jual

beli menjadi bertambah manakala kegiatan ini kemudian meningkat menjadi kegiatan

(21)

jual beli secara internasional, atau yang dilaksanakan secara lintas negara dan sering

disebut dengan perdagangan internasional.1

Dalam transaksi perdagangan internasional ini tidak lepas dari suatu

perjanjian/kontrak. Perjanjian atau kontrak ini menjadi jembatan pengaturan dari

suatu aktivitas komersial.2 Karena konteksnya perdagangan internasional, maka kontrak yang digunakan adalah kontrak dagang internasional. Kontrak dagang

internasional ini mencakup kontrak jual beli barang, jasa (contohnya: arsitektural,

atau jasa telekomunikasi), perjanjian lisensi paten dan perjanjian lisensi Hak

Kekayaan Intelektual lainnya,joint ventures, dan perjanjian waralaba.3Dalam tulisan ini, penelitian ini difokuskan pada kontrak jual beli barang.

Menyatukan hubungan antara para pihak dalam lingkup internasional

bukanlah persoalan yang sederhana. Hal ini menyangkut perbedaan sistem hukum

nasional, paradigma, dan aturan hukum yang berlaku sebagai suatu aturan yang

bersifat memaksa untuk dipatuhi oleh para pihak di masing-masing negara. Perbedaan

sistem hukum memberikan pengaruh yang signifikan kepada masing-masing negara

dalam pembentukan hukum (undang-undang) yang mengatur mengenai kontrak baik

1

Gunawan Widjaja, “Aspek Hukum Kontrak Dagang Internasional: Analisis Yuridis Terhadap Kontrak Jual Beli Internasional”, Jurnal Hukum Bisnis Vol.27 No.4, 2008, Hal. 23

2 Ricardo Simanjuntak, “Asas-asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang

Internasional: Sebuah Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 No. 4, 2008, Hal. 14

3

Angga Handian Putra, “Konvensi Jual Beli Internasional”,

(22)

dari aspek formil maupun materiilnya. Hukum kontrak pada kenyataanya sangat

beragam karena adanya perbedaan sistem hukum di masing-masing negara tersebut.4 Pada umumnya masing-masing negara yang terkait dalam transaksi

perdagangan internasional menginginkan agar kontrak yang mereka buat tunduk pada

hukum di Negara mereka,5 dimana setiap negara memiliki peraturan mengenai kontrak yang berbeda-beda.

Permasalahan lainnya yang timbul karena transaksi perdagangan internasional

adalah:6

1. Penjual tidak mengirimkan barang kepada pembeli tanpa adanya jaminan pembayaran, dan pembeli tidak membayar terlebih dahulu sampai ia memeriksa kualitas barang yang dibelinya, atau setidak-tidaknya ia tahu bahwa barang tersebut telah dikapalkan.

2. Salah satu pihak harus mengatasi masalah mata uang asing.

3. Hampir selalu terjadi bahwa para pihak memiliki bahasa yang berbeda sehingga dapat menimbulkan salah pengertian mengenai prakondisi atau persyaratan dasar transaksi dagang yang dilakukan.

4. Transaksi dagang internasional berhadapan dengan berbagai peraturan pemerintah (yang membedakannya dengan transaksi bisnis domestik), dan sering kali transaksi tersebut tunduk pada peraturan lebih dari satu negara.

5. Transaksi dagang internasional tunduk pada lebih dari sistem hukum yang berlainan dan kebiasaan yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kesulitan ketika terjadi perselisihan. Hukum atau kebiasaan yang mana yang dipakai untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

6. Apabila perselisihan timbul atau jika kontrak dilanggar, penentuan dan pelaksanaan kewajiban kontrak lebih sulit jika pengadilan asing dan aturan-aturan asing ikut terkait didalamnya.

4 Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama,

2008), Hal. 29

5

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal Beli), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Hal.1

(23)

Berbagai permasalahan tersebut diatas telah dicoba untuk diatasi dengan

adanya unifikasi dan harmonisasi aturan dan praktik melalui berbagai upaya,

diantaranya yaitu:7

a. Penciptaan konvensi-konvensi yang disetujui berbagai negara dan diterapkan dalam situasi-situasi tertentu,

b. Penyusunanmodel lawatau model hukum yang diusulkan berbagai organisasi internasional yang dimasukkan ke dalam hukum nasional masing-masing negara, dan

c. Ketentuan-ketentuan dari kebiasaan yang berlaku di dalam praktik yang dimasukkan ke dalam perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam transaksi dagang internasional.

Unifikasi dan harmonisasi merupakan dua kata yang sering sekali dipadukan

dalam penggunaannya, namun keduanya memiliki makna yang berlainan.

Kastely mengatakan unifikasi berarti“to subject people around the world to a single

set of rules and principles and to have them understand and conform to these rules

and principles as they would to the laws of their own communities”. Menurut

Kastely, bahwa unifikasi itu merupakan kesatuan aturan atau seperti yang di katakan

Single set” yang mana ini diperlukan agar pemahaman setiap subjek hukum yang

berbeda prinsip dan sistem dapat di samakan, atau minimal meminimalisir perbedaan

pandangan masing-masing.8 Menurut Komar Kantaatmadja, mengatakan bahwa Harmonisasi hukum dimaksud sebagai “suatu upaya yang dilaksanakan melalui

proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota memiliki prinsip

7Syahmin,Hukum Kontrak Internasional, Ibid, Hal. 93 8

Jun, “Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Internasional”,

(24)

serta pengaturan yang sama mengenai masalah yang serupa di masing-masing

jurisdiksinya”.9Goldring menganggap harmonisasi menjadi proses dimana “efek dari jenis transaksi dalam satu sistem hukum yang dibawa sedekat mungkin dengan efek

dari transaksi yang sama berdasarkan hukum negara lain”. Oleh karena harmonisasi

tidak hanya mentolerir perbedaan antara unsur-unsur individu (undang-undang) yang

diselaraskan, tetapi juga perbedaan dalam penerapan ukuran harmonisasi.10

Tujuan dari diperlukannya kerjasama regional atau internasional adalah untuk

mengharmonisasikan dan unifikasi hukum akibat dari adanya perbedaan sistem

hukum pada setiap negara yang warga negaranya melakukan perdagangan

internasional. Pada mulanya upaya harmonisasi ini dilakukan oleh The International

Institute for the Unification of Privat Law (UNIDROIT). UNIDROIT adalah sebuah

organisasi antar pemerintah yang sifatnya independen. Lembaga UNIDROIT ini

dibentuk sebagai suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB

bubar, UNIDROIT dibentuk pada tahun 1940 berdasarkan suatu perjanjian

multilateral yakni Statuta UNIDROIT (The UNIDROIT Statute). Lembaga

UNIDROIT ini berkedudukan di kota Roma dan dibiayai oleh lebih 50 negara yang

9 Eman Suparman, “Harmonisasi Hukum di Era Global Lewat Nasionalisasi Kaidah

Transnasional”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung, Vol.XI, November 2009, Hal.245

10 Philip James Osborne, “Unification or Harmonisation: A Critical Analysis of the United

(25)

menginginkan perlunya unifikasi hukum dalam jual beli internasional.11 UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts(selanjutnya disebut UPICCs) yang

mengatur tentang Kontrak Komersial Internasional, pertama kali diadopsi pada tahun

1994 dan direvisi pada tahun 2004, banyak digunakan dalam praktek kontrak dan

arbitrase internasional serta oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Arbitrase

Internasional untuk menafsirkan dan melengkapi baik kontrak ketentuan dan hukum

nasional yang relevan. Perubahan terakhir diadopsi pada tahun 2010 dan disetujui

oleh Dewan Pengurus UNIDROIT pada Mei 2010.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Prinsip-prinsip UNIDROIT

melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2008 tentang

Pengesahan Statute of International Institute for The Unification of Private Law

(Statuta Lembaga Internasional Untuk Unifikasi Hukum Perdata), dimana sejak

tanggal 2 Januari 2009 Indonesia resmi menjadi anggota ke 63 dalam UNIDROIT

melalui instrument aksesi pada Lembaga UNDROIT,12 oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebagai anggota UNIDROIT, Indonesia seharusnya mengikuti dan

menjalankan prinsip-prinsip yang diatur oleh UNIDROIT.

Peraturan Presiden (selanjutnya disebut dengan Perpres) tersebut telah

membuka lebar pintu harmonisasi hukum bagi Indonesia dalam konteks hukum

kontrak internasional untuk menghilangkan hambatan pelaksanaan perdagangan

11Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna 1980), Disertasi

Doktor Universitas Indonesia, (Jakarta, 2002), Hal. 1

12

(26)

internasional. Sudah sepatutnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam UPICCs bisa

dijadikan sebuah sistem hukum tulen yang mengatur secara lebih lengkap, terstruktur,

fleksibel, dan mengakomodir perkembangan perdagangan internasional.

Dimana hal-hal yang dapat dijadikan urgensi bagi Indonesia dari UPICCs

adalah:13

1. KUHPerdata sama sekali tidak mengatur kontrak baku padahal dalam kegiatan dagang baik dalam lingkup nasional maupun internasional kontrak semacam ini lazim digunakan. Dalam UPICCs, kontrak baku telah diatur secara proporsional yaitu berkaitan dengan perlindungan pihak yang lemah dalam Syarat Baku sebagaimana diatur dalam Pasal 2.1.19 sampai Pasal 2.1.22 UPICCs. Disamping itu, UPICCs juga memuat aturan mengenai prinsip Contra Proferentem dalam penafsiran kontrak baku. UPICCs mengatur prinsip ini dalam 8 (delapan) Pasal yaitu Pasal 4.1 sampai 4.8 UPICCs. Pada prinsipnya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4.6 UPICCs, jika syarat yang diajukan oleh salah satu pihak tidak jelas maka penafsiran berlawanan dengan pihak tersebut harus didahulukan. 2. KUHPerdata tidak mengatur keadaan apabila kontrak tidak terlaksana akibat

perubahan keadaan yang fundamental, misalnya krisis ekonomi yang terjadi diIndonesia beberapa tahun silam telah menyebabkan banyak kontrak tidak dapat diselesaikan. Dimana akibat hukum bila terjadi kesulitan (hardship) dapat dilihat dalam Pasal 6.2.3 UPICCs.

Adopsi ketentuan yang termuat dalam UPICCs tentunya membawa Indonesia

kepada proses harmonisasi hukum kontrak dalam konteks internasional sehingga

tercipta suatu kepastian hukum guna mendukung partisipasi dan peningkatan

perdagangan internasional secara optimal. Dalam hal ini, perbedaan sistem hukum

dari masing-masing negara tentunya tidak lagi menjadi penghalang bagi perdagangan

13

(27)

internasional. Dengan adanya kepastian hukum tersebut kepentingan nasional pun

akan lebih terlindungi.14

Hal-hal yang mendorong pentingnya harmonisasi dan unifikasi hukum,

terutama adalah untuk menyamakan suatu persepsi atau titik pandang yang

memudahkan para pihak memenuhi kebutuhan hukum. Akibat dari perbedaan sistem

hukum dari berbagai negara yang pada umumnya menganut Common Law danCivil

Law, sulit menyelesaikan masalah dalam perdagangan internasional. Menyusul

munculnya berbagai masalah, dan didasarkan pada usul dan pengalaman dari

berbagai Negara.15

Sebelum adanya harmonisasi dan unifikasi terdapat berbagai masalah hukum

terkait dengan kegiatan perdagangan internasional, yaitu masalah kompetensi

lembaga hukum yang berwenang atau yurisdiksi, masalah hukum mana yang akan

dipilih, dan masalah implementasi atau pelaksanaan putusan pengadilan asing.16 Dengan memperhatikan berbagai hal tersebut dan hambatan yang dialami dalam

praktek hukum, maka harmonisasi dan unifikasi diwujudkan dengan berbagai

konvensi internasional antar Negara-negara.

Pada tanggal 10 Maret sampai dengan 11 April 1980, diselenggarakan

konferensi oleh Perserikatan Bangssa-Bangsa (PBB) yang diprakarsai oleh The

United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Konferensi

14“Argumen Hukum Kontrak Internasional”,Ibid. 15Victor Purba,Op.cit, Hal.1-2

16Ridwan Khairandy, “Tiga Problema Hukum dalam Transasksi Bisnis Internasional di Era

(28)

ini berhasil menghasilkan kesepakatan mengenai hukum materiil yang mengatur

perjanjian jual beli (barang) internasional yaitu Contracts for the International Sales

of Goods, yang sering disingkat juga dengan singkatan CISG. Selain itu konvensi ini

juga sering disebut dengan Konvensi Jual Beli 1980 (Konvensi Vienna 1980).

Konvensi Vienna 1980 ini berlainan dengan konvensi sebelumnya, dimana konvensi

ini berlaku untuk kontrak jual beli barang antara para pihak yang mempunyai tempat

usaha di negara yang berlainan.17 Tugas utamanya adalah mengurangi perbedaan-perbedaan hukum di antara negara-negara anggota yang dapat menjadi rintangan bagi

perdagangan internasional dan CISG mengkhususkan pada kontrak jual beli

internasional.

Berdasarkan keterangan Cyril R. Emery, Librarian UNCITRAL Law Library

dari Vienna International Centre, dikatakan bahwa Indonesia belum meratifikasi

Konvensi CISG.18Indonesia sebagai salah satu negara yang tercantum sebagai negara yang meratifikasi Penegakan dan Pengakuan Putusan Arbitrase Asing dari

UNCITRAL pada tanggal 7 Oktober 1981 dan berlaku pada tanggal 5 Januari 1982,

Indonesia meratifikasi konvensi ini untuk pengakuan dan penegakan penghargaan

dilakukan di wilayah negara lain dan Indonesia menerapkan konvensi untuk

17Victor Purba,Op.cit,Hal. 29

18Dheswita Email, Need Information about CISG,

(29)

perbedaan yang timbul dari hubungan hukum, baik kontrak atau tidak, yang dianggap

komersial di bawah hukum nasional.19

Dengan status CISG sebagai hukum dagang internasional yang diterima

secara luas di negara-negara di dunia secara internasional, maka perlunya urgensi

untuk meratifikasi CISG ini oleh Pemerintah Indonesia. Dimana sampai saat ini

Pemerintah Indonesia belum meratifikasi CISG, hal ini dilatarbelakangi oleh aktivitas

perdagangan di wilayah ASEAN (Association of South East Asia Nations) di kawasan

AFTA (ASEAN Free Trade Area), dimana Indonesia merupakan salah satu negara

anggota dari ASEAN, dikatakan bahwa kegiatan perdagangan hanya mencapai 22%

dari total kegiatan perdagangan di kawasan AFTA, sementara 78% kegiatan dagang

dilakukan denganpatner/rekan dagang yang berasal dari negara-negara diluar AFTA.

Dengan rendahnya aktivitas perdagangan dikalangan sesama AFTA mengakibatkan

tidak adanya urgensi dari pemerintah negera-negara AFTA untuk menyeragamkan

aturan jual beli barang internasional. Dengan kata lain, tidak ada urgensi untuk

meratifikasi CISG, kecuali di Singapura. Keadaan ini bertolak belakang dengan

negara-negara Office for Official Publications of the European Communities (EU)

dimana aktivitas perdagangan di wilayah EU justru lebih tinggi daripada perdagangan

19

(30)

yang dilakukan pedagang dari negara diluar anggota EU. Hal ini yang dapat juga

menjadi alasan Pemerintah Indonesia belum merasa perlu untuk meratifikasi CISG.20 Alasan lain Indonesia tidak meratifikasi CISG adalah dalam Pasal1 (1) ayat

(1) butir (b) CISG akan membawa kejelasan kepada penentuan mana hukum berlaku

jika kedua belah pihak berasal dari negara yang meratifikasi CISG maka CISG

berlaku tetapi jika tidak, maka CISG tidak berlaku. Menciptakan banyak

ketidakpastian dan kebingungan besar sehubungan dengan hukum yang berlaku dan

juga mendorong belanja forum. bahwa pilihan klausul hukum yang menggabungkan

CISG dalam kontrak dengan kata-kata seperti “meskipun pemesanan Singapura”

implisit mengecualikan Pasal 1 dan 95 CISG. Lebih baik lagi, pilihan klausul hukum

dapat disusun dengan cara yang secara eksplisit mengecualikan Pasal 1 dan 95 CISG.

Namun ada akan kesulitan lainnya. Mungkin ada ketentuan lain dari CISG yang dapat

menyebabkan hasil yang aneh ketika konvensi diterapkan sebagai aturan dimasukkan

daripada hukum nasional atau hukum perjanjian. Misalnya kebijaksanaan untuk

mengecualikan ketentuan dalam Pasal 89-101 CISG yang menangani pemesanan,

waktu datang dan lain-lain, berlaku sejak CISG tidak diterapkan sebagai konvensi

atau hukum domestik. Kesulitan lainnya adalah bahwa CISG dimaksudkan untuk

dilengkapi dengan hukum domestik nasional. Para pihak harus memilih hukum

nasional. Ketika suatu negara memiliki status konvensi internasional yang dibuat

20

(31)

bagian dari hukum suatu Negara, CISG lebih diutamakan daripada hukum

domestik.21

Untuk menyatakan masalah dalam hal hukum perdata, para pihak dapat

dengan kontrak mereka mengecualikan ketentuan hukum nasional yang berlaku

bahwa para pihak dapat memilih tempat pengiriman ditentukan oleh CISG bukan oleh

hukum nasional, tetapi mereka mungkin tidak mengecualikan ketentuan-ketentuan

hukum nasional yang mengutamakan ketertiban umum (misalnya ketentuan wajib

dari hukum nasional yang membutuhkan menulis untuk keabsahan modifikasi

kontrak). Pasal 29 CISG menyatakan bahwa kontrak dapat diubah tanpa modifikasi

yang secara tertulis akan menimpa ketentuan hukum nasional yang bertentangan.

Namun, Pasal 29 yang sama jika itu bukan bagian dari konvensi internasional dan

bukan bagian dari hukum nasional, tetapi hanyalah sebuah istilah kontrak yang dipilih

oleh para pihak tidak dapat mengesampingkan ketentuan wajib hukum nasional yang

memerlukan modifikasi untuk dibuat secara tertulis. Oleh karena itu CISG ketika

dimasukkan ke kontrak sebagai istilah kontrak mungkin tidak memiliki efek yang

sama seperti CISG diterapkan sebagai perjanjian atau sebagai bagian dari hukum

nasional. Ini karena membawa ukuran tertentu ketidakpastian.

Ada begitu banyak risiko dan ketidakpastian yang terkait dengan memilih

CISG sebagai hukum yang mengatur meskipun pemesanan Singapura bahwa saya

pasti tidak akan merekomendasikan pilihan semacam pihak. Oleh karena itu, dengan

21

(32)

tidak menarik reservasi nya, Singapura efektif mengurangi otonomi pihak mereka

yang tidak dapat secara efektif dan aman memilih CISG sebagai hukum mereka dan

karena itu mereka memiliki satu pilihan lebih sedikit. Jika mereka ingin kontrak

mereka diatur oleh CISG mereka harus menghindari hukum Singapura dan Singapura

sebagai yurisdiksi. Singapura adalah satu-satunya negara di Asosiasi Bangsa Asia

Tenggara (ASEAN) yang menjadi negara anggota dalam CISG. Fakta bahwa

Singapura telah membuat reservasi di atas berarti bahwa CISG tidak dapat digunakan

dalam ASEAN sehingga tidak dapat digunakan dengan memilih hukum Singapura

antara dua negara yang bukan anggota CISG (misalnya Thailand dan Indonesia yang

melakukan kontrak) atau antara Singapura dan negara anggota ASEAN lainnya.

Singapura melihat perlunya undang-undang yang seragam dalam ASEAN untuk

memfasilitasi perdagangan. Singapura harus memberikan kesempatan bagi para pihak

dalam ASEAN untuk menggunakan CISG dengan memilih hukum Singapura. Ini

tidak memaksakan CISG sebagai pihak selalu dapat mengecualikan konvensi, tetapi

memungkinkan mereka untuk menggunakan dan pengalaman CISG dalam konteks

ASEAN.22

Alasan lainnya Indonesia tidak meratifikasi CISG adalah bahwa CISG

bukanlah perjanjian yang komprehensif. Itu tidak berhubungan sendiri dengan

keabsahan kontrak yang mengatakan dengan isu-isu seperti ilegalitas, penipuan,

keliru berkaitan dengan kontrak. Menurut Arthur Rossett itu adalah menggunakan

(33)

“bahasa yang pertama-tama adalah asing berkaitan dengan hukum kontrak dan karena

itu tidak memiliki arti yang jelas dan, kedua, terlalu luas dan eksak sehingga

menyebabkan ketidakpastian”. Oleh karena itu, CISG mendivestasikan pembeli hak

legislatifnya menyerap berdasarkan hukum nasional untuk menolak barang ketika

mereka tidak cocok dengan kuantitas atau kualitas. Tubuh perdagangan India dan

konselor hukum mereka telah menemukan kesalahan dalam CISG aturan

mengkhawatirkan karena bahasa samar-samar dari CISG dan pengantar gagasan

“pelanggaran mendasar”. Demikian pula, dalam Pasal 8 dari CISG, tindakan itu

rentan terhadap keganjilan. Klausul maksud menjemput dalam penilaian fungsi

representasi flouting nilai asli. Selain itu, CISG membangun situasi yang lebih

membingungkan dalam segi itikad baik. CISG benar-benar diam tentang penjelasan

itikad baik, apakah itu itikad baik sehubungan dengan sikap para pihak atau yang

ditunjukkannya terhadap transaksi wajar. Dalam CISG, Pasal 7 (2), yang biasanya

disebut sebagai kesenjangan penyediaan, bertindak sebagai kekacauan karena lagi itu

membawa kita ke tur medan acak dan karena itu sangat berprasangka sesuai keadaan.

Kata-kata dalam menggunakan prinsip-prinsip umum membuat ketentuan CISG

banyak samar-samar.23

Dari fakta yang menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia merasa belum

perlu meratifikasi CISG, akan tetapi kenyataan dilapangan Indonesia membutuhkan

ratifikasi CISG. Dimana di Indonesia belum ada pengaturan khusus yang mengatur

23

India Law Jurnal, “Why India Should Opt For CISG”

(34)

tentang jual beli internasional, tampak bahwa ketentuan-ketentuan jual beli dalam

pasal 1457-1540 KUHPerdata Buku III Bab V memang difokuskan pada ketentuan

jual beli domestik, bukan internasional. Tidak ada pembedaan pengaturan antara jual

beli yang bersifat commercial transaction dan yang bersifat consumer transaction,

serta dalam KUHPerdata tidak mengatur penggunaan international trade usage atau

hukum kebiasaan dagang internasional dan tidak mengatur penggunaan aturan hukum

perdata internasional untuk memecahkan masalah yang muncul dari kontrak jual beli

internasional. Pasal-pasal dalam KUHPerdata juga tidak spesifik mengatur

pengangkutan atas barang yang diperjualbelikan para pihak. Sedang masalah

pengangkutan barang yang memang sangat umum terjadi dalam jual beli

internasional ada diatur dalam CISG. Sehingga CISG dianggap penting untuk

diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia guna kepastian hukum dalam melakukan

kegiatan jual beli internasional.24

Pembentukan suatu konvensi internasional pada dasarnya bertujuan agar

terciptanya suatu harmonisasi dan unifikasi hukum atas aturan-aturan dalam

perdagangan internasional. Seperti halnya lembaga UNIDROIT, Konvensi CISG pun

berupaya menciptakan suatu unifikasi agar perbedaan hukum nasional tidak menjadi

rintangan atau kendala bagi para pihak pembuat perjanjian dalam melakukan

transaksi perdagangan internasional.

(35)

Dengan berlakunya beberapa konvensi internasional mengenai jual beli

internasional, diperlukan suatu pembaharuan hukum kontrak dari negara peserta

dengan konvensi-konvensi tersebut. Menurut Sudargo Gautama bahwa “pembaharuan

dari bidang hukum kontrak (termasuk jual beli) harus diselenggarakan sesuai dengan

syarat-syarat dan kebutuhan lalu lintas perdagangan internasional”.25

Kecenderungan unifikasi dan harmonisasi hukum sangat potensial mengingat

upaya pembangunan hukum, dilakukan secara serentak diberbagai negara. Dengan

demikian melalui intensitas transaksi dagang dan pembaharuan hukum, akan timbul

lex mercatoria atau hukum komersial melalui kontrak, penyelesaian perselisihan,

maupun pembentukan hukum. Pada hukum kebiasaan internasional yang berkembang

dalam praktik dan telah diadopsi kedalam konvensi internasional, dapat dikategorikan

kedalamlex mercatoria.26

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan

KUHPerdata) merupakan ketentuan hukum yang berasal dari produk Pemerintah

Hindia Belanda, yang diundangkan dengan maklumat tanggal 30 April 1847, Stb.

1847, Nomor 23, sedangkan di Indonesia diumumkan dalam Stb. 1848. Berlakunya

KUHPerdata berdasarkan pada asas konkordasi.27 Ketentuan hukum yang mengatur tentang Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang terdiri atas 18 bab

25Sudargo Gautama, Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional,

(Jakarta: Alumni, 1978), Hal 50

26 Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT (Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan

Penyelesaian Bisnis Internasional), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), Hal.9

27Salim dan dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),

(36)

dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPerdata. Dan

masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Beberapa hal yang diatur didalam

Buku III KUHPerdata, meliputi:

1) Perikatan pada umumnya, diatur dalam Pasal 1233 sampai dengan 1312

KUHPerdata.

2) Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian, diatur dalam Pasal 1313 sampai dengan

1351 KUHPerdata.

3) Jual beli, diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan 1540 KUHPerdata.

4) Persetujuan untuk melakukan pekarjaan, diatur dalam Pasal 1601 sampai dengan

1617 KUHPerdata.

5) Bunga tetap atau abadi, diatur dalam Pasal 1770 sampai dengan 1773

KUHPerdata.

Selain KUHPerdata, di Indonesia juga terdapat peraturan tertulis di bidang

Hukum Perdata Internasional (HPI) namun dinilai tidak memadai lagi. Pasalnya,

Indonesia masih menggunakan tiga pasal lama warisan Belanda, yaitu Pasal 16, Pasal

17, dan Pasal 18 Algemene Bepalingen (AB).

Pasal 16 AB, menyatakan bahwa “ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang

kedudukan hukum dan kewenangan individu bertindak tetap mengikat warga negara

Indonesia walaupun berada di luar negeri”. Pasal ini dikenal dengan asas personal

(37)

Pasal 17 AB, menyatakan bahwa “mengenai benda tetap (tidak bergerak) berlaku

hukum dari negara tempat benda itu terletak”. Pasal 17 AB dikenal sebagai asas

hukum setempat (lex situs) yang disebut juga statuta realita.

Pasal 18 AB, menyatakan bahwa “bentuk suatu tindakan hukum mengikuti bentuk

hukum yang ditentukan oleh hukum negara atau tempat dilakukan itu”. Asas dari

pasal 18 AB ini dikenal sebagai asaslocus regit actusyang disebut jugastatuta mixta.

Sementara itu, masih adanya aktivitas hukum warga negara Indonesia yang

bersentuhan dengan warga negara asing, seperti jual beli barang secara internasional.

Dosen Hukum Perdata Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI),

Mutiara Hikmah mengatakan peraturan tertulis HPI perlu guna kepastian hukum dan

kepentingan hukum nasional. Kepala Seksi Harmonisasi Perundang-undangan Bidang

Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Surdiyanto mengatakan bahwa

Kementerian Hukum dan HAM sudah menyadari kebutuhan itu. Bentuk perhatian

yang dilakukan adalah mengkaji konvensi mana yang dibutuhkan dan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan Indonesia. Surdiyanto menegaskan bahwa peraturan

HPI harus tetap meratifikasi sebuah konvensi terlebih dahulu. Pasalnya, unsur HPI

telah melibatkan warga negara asing, dimana harus ada ukuran perlindungan untuk

warga negara Indonesia dan asing. Pengajar Hukum Perdata Internasional FHUI,

(38)

sebuah produk hukum nasional yang dibuat orang Indonesia untuk melindungi

kepentingan nasionalnya.28

Penelitian ini membatasi terhadap KUHPerdata pada objek ketentuan

beberapa prinsip Hukum Kontrak pada umumnya dari Buku III Bab II dari Pasal 1313

sampai dengan Pasal 1351dan Ketentuan jual beli pada umumnya yang terdapat pada

Bab V Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Kemudian akan

dibandingkan dengan ketentuan kontrak pada UPICCs dan pada aturan CISG.

Untuk menghadapi perbedaan pilihan hukum ini, sebenarnya ada 3 teknik

yang dapat dilakukan:29

Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya.

Sebaliknya mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum perdagangan mereka.

Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak

disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws30 adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.

Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan

harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional. Teknik ketiga ini dipandang cukup efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.

28Hukum Online, “Indonesia Butuh Kodifikasi Hukum Perdata Internasional”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt505175d29a703/indonesia-butuh-kodifikasi-hukum-perdata-internasional, diakses Hari Sabtu, Tanggal 29 Desember 2012.

29 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Prinsip-prinsip dan Konsepsi Dasar),

(Bandung, 2004), Hal. 31

30

(39)

Dalam kepustakaan, pilihan hukum dinamakan choice of law. Dimana jika

para pihak dalam suatu kontrak dagang internasional memilih hukum negara tertentu,

seperti umpamanya hukum Indonesia, maka kontrak dagang internasional itu akan

dilihat dari segi “kacamata hukum” serta dikuasai oleh hukum Indonesia.

Prinsip Hukum Kontrak Komersial Internasional yang dijadikan bahan

perbandingan, yaitu CISG dan UPICCs sebagai bagian dari lex mercatoria.31

Istilahlex mercatoria dapat dalam bahasa Inggris adalahthe law of merchant.32 Dari makna yang disebut dapat dilihat bahwa sumber dari lex mercatoriaadalah:

1. Kebiasaan dalam praktek serta kepatuhan dalam perniagaan internasional yang

diikuti oleh pelaku-pelaku bisnis antar negara dan mengikatkan diri pada aturan

kebiasaan tersebut.

2. Standar Kontrak termasuk ke dalam bagian dari kebiasaan sebagai sumber Lex

Mercatoria, asal memenuhi syarat tertentu :

a. Kontrak itu harus digunakan dalam praktek lingkungan masyarakat bisnis

Internasional.

b. Bahwa pada dasarnya para pihak tidak berkewajiban mengikatkan diri

terhadap kontrak baku tersebut.

3. Putusan Arbitrase, yang dimaksud disini adalah putusan peradilan (tribunal)

yang memuat pertimbangan hukum yang diterima dalam lingkungan

pelaku-31Huala Adolf,Op.cit, Hal. 6

32Secara sederhanalex mercatoriadapat diberi makna sebagai sekumpulan prinsip dan aturan

(40)

pelaku bisnis internasional dan untuk itu diperlukan publikasi putusan arbitrase

tersebut.

4. Prinsip Hukum Umum (Principle of Law) adalah prinsip hukum yang berlaku

di semua negara negara atau dalam sebagian besar sistem hukum negara di

dunia. Salah satu contoh dari prinsip umum adalah Prinsip Pacta Sunt

Servanda, berarti perjanjian yang dibuat pihak-pihak mengikat para pihak.

5. Hukum bersifat seragam dalam bidang Komersial Internasional (Uniform

International Commercial Law). Mengenai hukum yang bersifat uniform atau

seragam yang mengatur perniagaan internasional dapat terjadi melalui

penerapan suatu Konvensi Internasional tentang perniagaan internasional atau

melalui produk dari suatu institusi tentangmodel law.

Keterkaitan prinsip-prinsip lex mercatoria dengan hukum nasional tidaklah

didasarkan pada keterkaitan formal yang sifatnya memaksa. Sebab dengan semakin

kuatnya desakan globalisasi atau transaksi kontraktual yang dilakukan saat ini

cenderung memiliki sifat internasional.

Terhadap ketentuan CISG, konvensi ini merupakan bagian dari perkembangan

lex mercatoriadimana CISG ini hanya mengatur aspek hukum kontrak khusus untuk

jual beli barang. Sehingga dimaksudkan untuk memberikan landasan yuridis dalam

rangka menjembatani perbedaan sistem hukum. Kajian ini difokuskan pada Hukum

Kontrak pada umumnya yang menjadi payung berbagai kontrak.

Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

(41)

melepaskan sesuatu hal.33 Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu

prestasi. Sementara itu menurut M. Yahya Harahap, suatu perjanjian adalah “Suatu

hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan

hak pada suatu pihak yang memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan kepada

pihak lain untuk melaksanakan prestasi”.34 Menurut Rahman Hasanudin, kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis.35 Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian, kontrak adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain

undang-undang (Kitab Undang-undang-undang Hukum Perdata Pasal 1233) yang dapat menimbulkan

perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau lebih

subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.36

Dengan adanya perjanjian internasional telah menggariskan

ketentuan-ketentuan hukum yang memaksa (mandatory law) yang harus di patuhi, antara lain

untuk melaksanakan berbagai standar yang seragam yang berlaku bagi Indonesia dan

negara lain. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu desakan internasional dibidang

hukum, karena aturan yang dimaksud menjadi aturan yang memaksa secara

internasional (international mandatory). Ferronica Taylor dalam bukunya Indonesia

Law and Society dengan subjudul The Transformations of Indonesian Commercial

33Subekti,Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1996), Hal. 1 34Syahmin,Op.cit. Hal. 2

35Hasanudin Rahman,Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam

Merancang Kontrak Perorangan/Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), Hal.4

36 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, (Jakarta: Gramedia

(42)

Contracts and Legal Advises, menyarankan agar hukum kontrak Indonesia

memperhatikan UPICCs dan CISG.37

Persoalan yang semula hanya bersifat subtantif saja, yang hanya tekait dengan

keberlakuan hukum positif pada satu negara secara internasional, dihadapkan dengan

persoalan pilihan hukum, dan pilihan forum, guna mengatur mengenai hak-hak dan

kewajiban-kewajiban para pihak sekaligus penyelesaian dari sengketa atau

perselisihan yang lahir dari perjanjian jual beli secara Internasional tersebut.

Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, dari sekian banyak persoalan hukum

yang dapat lahir dari suatu transaksi atau kontrak dagang internasional, khususnya

perjanjian jual beli internasional, penelitian ini mengangkat tentang perbandingan

hukum yang mengatur ketentuan jual beli internasional yang diatur dalam perjanjian,

antara UPICCs dengan konvensi CISG serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam

perjanjian jual beli internasional bila di tinjau dari ketentuan UPICCs,

konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ?

(43)

2. Bagaimana suatu perjanjian jual beli internasional dapat dikatakan berlaku

bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata ?

3. Bagaimana ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya perjanjian

jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban penjual dan pembeli dalam

perjanjian jual beli internasional bila di tinjau dari ketentuan UPICCs,

konvensi CISG dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Untuk mengetahui suatu perjanjian jual beli internasional dapat dikatakan

berlaku bagi para pihak sesuai dengan ketentuan UPICCs, konvensi CISG dan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3. Untuk mengetahui ketentuan biaya ganti rugi akibat tidak terpenuhinya

Perjanjian jual beli menurut UPICCs, konvensi CISG dan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan, yaitu:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran

dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum perjanjian pada khususnya,

(44)

2. Secara Praktis

a. Diharapkan agar penulisan yang dilakukan dapat memberikan kontribusi

kepada pihak yang berkepentingan, khususnya kepada masyarakat.

b. Diharapkan dapat bermanfaat memberikan masukan kepada para pihak

yang melaksanakan perjanjian jual beli secara internasional, agar para

pihak mengetahui dan memahami hukum perjanjian baik dilihat dari

hukum perdata Indonesia maupun dari Konvensi Internasional yang telah

ada seperti pada prinsip-prinsip UNIDROIT dan konvensi CISG.

c. Diharapkan dapat bermanfaat dan dapat dijadikan masukan kepada

pemerintah sebagai upaya pembaharuan hukum perjanjian di indonesia

dalam hal pengaturan jual beli internasional.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah penulis lakukan, baik

terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan,

khususnya pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sejauh yang

penulis ketahui tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian

“Perjanjian Jual Beli Barang secara Internasional menurut UPICCs dan CISG

serta Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.

Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan

sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu:

1. Tesis Saudari Febrina Rezkitta Hasibuan (087005045), dengan judul: “Kebijakan

(45)

Sistem Internasional (Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Afta

China-Indonesia)”.

2. Tesis Saudari Emmy Saragih, dengan judul: “Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Pada PT. Prima Sarana Mandiri”.

3. Tesis Saudari Raden Dian N (107011065), dengan judul: “Kajian Yuridis

Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis Speed Diesel Antara PT.

Prayasa Indomitra Sarana dengan PT. Buma Niaga Perkasa”.

Dengan demikian hasil penelitian ini adalah asli dan dapat

dipertanggungjawabkan. Peneliti bertanggungjawab sepenuhnya bila dikemudian hari

dapat dibuktikan terdapat plagiat atau duplikasi dengan penelitian yang telah ada

sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi.38 Dan suatu teori harus diuji menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.39

Menurut Soerjono Soekanto, Konstinuitas perkembangan ilmu hukum, selain

bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat

ditentukan oleh teori.40

38 JJJ M. Wuisman, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid I, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universits

Indonesia, 1996), Hal. 203

39JJJ M. Wuisman,Ibid, Hal.16

(46)

Menurut Burham Ashshofa, suatu teori merupakan serangkaian asumsi,

konsep, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara

sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.41 Dengan kata lain kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis

mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis dalam penelitian.42

Kerangka teori yang dijadikan pisau analisis dalam penelitian tesis ini adalah

Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance) serta Teori Pacta Sun

Servanda(kekuatan mengikat).

Setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya penawaran (offer) dan

penerimaaan (acceptance). Penawaran (offer) diartikan sebagai suatu janji untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang.

Pada prinsipnya, penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau

belum dicabut. Suatu penawaran akan berakhir, apabila:43

a. Si pemberi tawaran (penawaran) atau penerima tawaran sakit ingatan atau meninggal dunia sebelum terjadi penerimaan penawaran.

b. Penawaran dicabut, dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan sebelum penawaran diterima. Jika suatu penawaran ditentukan dalam waktu tertentu maka penawaran tersebut tidak dapat dicabut sebelum waktunya berakhir, dan

c. Penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu kontrak penawaran.

Dengan demikian, unsur yang menentukan agar penawaran mempunyai

kekuatan hukum adalah harus ada kepastian penawaran dan keinginan untuk terikat.

41Burham Ashshofa,Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), Hal.19

42

M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Hukum dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), Hal. 80

(47)

Agar penawaran mengikat seketika apabila ada penerimaan, maka dalam penawaran

itu harus dimuat dengan tegas tentang persetujuannya.

Mengenai waktu dan tempat prestasi dapat saja ditetapkan dalam penawaran

itu, tanpa mengakibatkan penawaran menjadi tidak memiliki kepastian hukum.

Dengan demikian, ketentuan tersebut dapat membuktikan:44

a) Apakah pihak yang menawarkan sungguh-sungguh melakukan penawaran atau

tidak.

b) Apakah pihak yang diberi penawaran itu berkeinginan untuk mengadakan

persetujuan yang mengikat.

Penawaran tidak selamanya diterima dan suatu waktu dapat saja ditolak.

Apabila penawaran ditolak, dengan sendirinya penawaran itu berakhir. Berakhirnya

penawaran terjadi ketika berita penolakan sampai ditangan yang menawarkan.

Dalam penerimaan, terjadi pada saat yang menawarkan menerima langsung

jawaban dari pihak lawan. Penerimaan (acceptance) adalah kesepakatan dari pihak

penerima dan penawar tawaran untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh

penawar. Penerimaan ini harus disampaikan penerima tawaran kepada penawar

tawaran. Penerimaan yang belum disampaikan kepada pemberi tawaran, belum

berlaku sebagai penerimaan tawaran. Bilamana memungkinkan, baik tawaran

maupun penerimaan tawaran sebaiknya dinyatakan secara tertulis dan jelas. Lagi

(48)

pula, suatu penerimaan kalau dapat harus diterima sendiri, serta jangan sampai

membuat atau memberikan penawaran yang belum dapat diketahui tindakannya.45 Untuk menunjukkan adanya penerimaan, pihak yang ditawari harus

menunjukkan adanya persetujuan atas penawaran. Semata-mata pemberitahuan

tentang didapatnya penawaran, atau pernyataan tertarik terhadapnya, tidaklah cukup.

Persetujuan harus diberikan tanpa syarat, yakni persetujuan ini tidak boleh

digantungkan pada syarat-syarat yang harus di penuhi baik oleh pihak yang

menawarkan atau oleh pihak yang ditawari. Dengan kata lain, isi penerimaan tidak

boleh memuat variasi/jenis syarat-syarat dari penawaran atau mengubah secara

materil syarat tersebut. Penerimaan menjadi efektif pada saat pemberitahuan

persetujuan sampai pada pihak yang menawarkan.

Dengan disetujuinya penawaran oleh pihak penerima tawaran atau yang

disebut dengan penerimaan penawaran, maka persetujuan tersebut menjadi

kesepakatan yang ditegaskan dalam suatu perjanjian oleh para pihak, sehingga

berlakulah Teori Pacta Sunt Servanda (kekuatan mengikat), yaitu semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan

kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan

cukup untuk itu. Ini berarti, jual beli yang telah dilangsungkan dan telah mengikat

dengan tercapainya kata sepakat mengenai kebendaan yang akan dijual dan harga beli

(49)

antara penjual dan pembeli, tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh pembeli

maupun penjual. Bahkan dalam hal jual beli dilakukan dengan pemberian uang

muka.46

Secara tegas dinyatakan bahwa suatu perjanjian jual beli tidak dapat diubah,

diganti atau bahkan diakhiri dengan hanya berdasarkan pada kemauan atau kehendak

salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli. Dalam penyusunan suatu kontrak

dagang tentunya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku, salah satunya

adalah syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

3. Suatu hal tertentu,

4. Suatu sebab yang halal.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dan yang lazim dibuat dalam transaksi

dagang internasional adalah:47

a. Kebebasan Berkontrak, prinsip ini dianut oleh Hukum Indonesia (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata) dan diberlakukan secara luas dalam praktik hukum di indonesia, bahkan prinsip ini menjadi begitu penting karena dipergunakan sebagai kata kunci dalam mengembangkan berbagai macam perjanjian yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum dan praktik hukum di Indonesia, misalnya perjanjian patungan (joint venture agreement), perjanjian bantuan teknis (technical assistance agreement), perjanjian lisensi (licensi agreement), dan perjanjian waralaba (franchising agreement), dan perjanjian bagi hasil (production sharing contact). Jenis-jenis perjanjian tersebut baru dikenal luas setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1967 tentang

(50)

Penanaman Modal Asing yang mengundang masuknya investor asing ke Indonesia.

b. Penawaran dan Penerimaan, prinsip ini lebih dikenal sebagai persesuaian kehendak diantara para pihak. Sulit untuk menentukan apakah terhadap MOU (Memorandum of Understanding) termasuk dalam perjanjian dalam hukum Indonesia karena banyak pihak yang menginginkan bentuk ini semata-mata sebagai dokumen yang memuat saling pengertian diantara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Didalam hukum Indonesia dikenal suatu prinsip bahwa perjanjian tidak hanya ditafsirkan dari apa yang tertulis, tetapi juga apa yang secara wajar dimaksudkan para pihak atau secara umum berlaku dalam masyarakat.

c. Asas Pacta Sunt Servanda, disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Dimana Hakim atau pihak ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi kontrak yang dibuat oleh para pihak.48Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

d. Itikad Baik (Goede Trouw), dalam prinsip ini pihak yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan dengan dasar itikad baik, walaupun tidak disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan, dapat meyakini bahwa tindakannya tersebut dilindungi hukum. Meskipun demikian, penyusunan kontrak yang baik dan rinci daripada semata-mata mendasarkan diri pada prinsip itikad baik tersebut.

e. Ganti Rugi (Penalty), bahwa pihak-pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi atas tidak dipenuhi atau dilanggarnya atau diabaikannya suatu ketentuan dalam perjanjian oleh pihak lainnya.

f. Alasan Pemutusan, dilakukan atas persetujuan bersama para pihak didalamnya. Persetujuan dapat diberikan dalam persetujuan yang bersangkutan untuk hal-hal tertentu. Penyusunan perjanjian yang tunduk pada hukum Indonesia wajib mengetahui bahwa tanpa adanya perjanjian demikian mengharuskan salah satu pihak yang menginginkan pemutusan perjanjian untuk meminta persetujuan pengadilan terlebih dahulu.49

48

Salim,Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan kontrak, (Mataram: Rajawali, 2002), Hal. 12

49

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini ditujukan untuk menemukan hubungan hukum antara penjual dengan pembeli software dikaitkan dengan perjanjian jual beli software dan perlindungan

Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara elektronik, walaupun antara penjual dan pembeli tidak

Perjanjian jual beli antara penjual dengan pembeli itu dibuat oleh salah satu pihak dengan cara menyiapkan syarat-syarat baku pada formulir perjanjian yang sudah

Wujud dari perjanjian jual beli ialah rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak, yang saling berjanji, yaitu si penjual dan si

Ketentuan mengenai hak dan kewajiban penjual dan pembeli tersebut diatas, berlaku juga dalam transaksi jual beli secara elektronik, walaupun antara penjual dan pembeli

Dalam jual-beli yang belum menimbulkan hak dan kewajiban penjual dan pembeli memiliki hak pilihan Untuk membatalkan jual beli itu Pasal 93 KHES.79 Analisis penulis terkait Praktik Jual

Pengertian Jual Beli Jual beli menurut Pasal 1547 KUHPerdata adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu si penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas

Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Rumah Perseorangan Yang Tidak Menyerahkan Objek Jual Beli Oleh Penjual Setelah Membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Bahwa berdasarkan analisis