• Tidak ada hasil yang ditemukan

Monitoring Implementasi Manajemen Kesetan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di Instalasi Binatu Pada Rumah Sakit Umum Hajimedan Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Monitoring Implementasi Manajemen Kesetan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di Instalasi Binatu Pada Rumah Sakit Umum Hajimedan Tahun 2015"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit

2.1.1.Pengertian Rumah Sakit

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit, menjelaskan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan

bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan

ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu

dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya.

Menurut Willan dalam Aditama (2006) istilah rumah sakit sendiri berasal dari

kata hospital yang berasal dari bahasa latinhospitium, yang memiliki arti suatu tempat

atau ruangan untuk menerima tamu. “Rumah sakit bukan hanya suatu tempat, namun

juga sebuah fasilitas, sebuah institusi dan juga sebuah organisasi”. Rumah sakit harus

dibangun, dilengkapi dan dipelihara dengan baik untuk menjamin kesehatan dan

(2)

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan,

tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang yang sehat. Kumpulan banyak orang

ini akan dapat memungkinkan rumah sakit menjadi tempat penularan penyakit,

gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan. Untuk menghindari terjadinya

risiko dan gangguan kesehatan maka diperlukan penyelenggaraan kesehatan

lingkungan rumah sakit.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor44 Tahun 2009 tentang rumah sakit pasal 19 ayat 2 rumahsakitumumadalahrumahsakit yang memberikanpelayanankesehatanpada semua bidang dan jenis penyakit. Pada pasal 10 ayat 1 tentang bangunan rumah sakit harus dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan rumah sakit yang dimaksud pada ayat 1 paling sedikit terdiri atas ruang rawat jalan, ruang rawat inap, ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang tenaga kesehatan, ruang radiologi, ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang kantor dan administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit, ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur, laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah, danpelataran parkir yang mencukupi.

2.1.2.Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

(3)

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 dalam pasal 4 (empat) tugas dari rumah sakit adalah memberikan kesehatan perorangan secara paripurna. Maksudnya adalah setiap kegiatan pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan.

Untuk menjelaskan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (empat), rumah sakit mempunyai fungsi :

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.2. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit

2.2.1. Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

(4)

kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.

Menurut Suma’mur (1976) kesehatan kerja adalah spesialisasi ilmu kesehatan/ kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit/ gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum (Budiono et.al, 2009).

Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi petugas di semua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan petugas yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan bagi petugas dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan dan penempatan serta pemeliharaan petugas dalam suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya. (Kepmenkes, 2007).

Menurut Budiono (2006) keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja, serta cara-cara melakukan pekerjaan.

(5)

1. Kapasitas kerja adalah kemampuan seorang pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan baik pada suatu tempat kerja dalam waktu tertentu.

2. Beban kerja adalah suatu kondisi yang membebani pekerja baik secara fisik maupun non fisik dalam menyelesaikan pekerjaannya, kondisi tersebut dapat diperberat oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung secara fisik atau non fisik.

3. Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang memengaruhi pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya (Budionoet.al, 2009).

2.2.2. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Rumah Sakit

Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, manajemen K3 di rumah sakit merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk membudayakan K3 di rumah sakit. K3 perlu dikelola dengan baik agar penyelenggaraan K3 rumah sakit lebih efektif, efisien dan terpadu diperlukan sebuah manajemen K3 di rumah sakit bagi pengelola

maupun karyawan rumah sakit yang bertujuan terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang

sehat, aman dan nyaman dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan di rumah

sakit. Terdapat beberapa penyebab yang sering terjadi dalam pekerjaan, yaitu :

1. Faktor perorangan antara lain kurang pengetahuan, kurang keterampilan, motivasi kurang baik, masalah fisik dan mental.

(6)

Dari penjelasan di atas, timbul beberapa kondisi yang sering dijumpai yaitu pengamanan tidak sempurna, APD yang tidak memenuhi syarat, bahan atau peralatan kerja yang telah rusak, gerak tidak leluasa karena tumpukan benda, sistim tanda bahaya yang tidak memenuhi syarat, lingkungan kerja yang mengandung bahaya, seperti iklim kerja panas atau dingin, penerangan tidak memenuhi syarat, ventilasi kurang baik, tingkat kebisingan tinggi, pemaparan terhadap radiasi (Suardi, 2005).

2.2.3. Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Dari pasal tersebut jelas bahwa rumah sakit termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di rumah sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung rumah sakit. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola rumah sakit menerapkan upaya-upaya K3 di rumah sakit.

(7)

kehidupan bagi para karyawan di rumah sakit, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan rumah sakit.

2.2.4. Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Rumah Sakit 1. Komitmen dan Kebijakan

Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan rumah sakit. Manajemen rumah sakit mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti pendanaan, tenaga K3 dan saran untuk terlaksananya program K3 di rumah sakit. Kebijakan K3 di rumah sakit diwujudkan dalam bentuk wadah K3RS dalam struktur organisasi rumah sakit.

Untuk melaksanakana komitmen dan kebijakan K3RS perlu disusun strategi antara lain :

a. Advokasi sosialisasi program K3RS b. Menetapkan tujuan yang jelas c. Organisasi dan penugasan yang jelas

d. Meningkatkan SDM yang profesional di bidang K3RS pada setiap instalasi kerja di lingkungan rumah sakit.

e. Sumber daya yang harus didukung oleh manajemen puncak f. Kajian risiko secara kualitatif dan kuantitatif.

g. Membuat program kerja K3RS yang mengutamakan upaya peningkatan dan pencegahan

(8)

Rumah sakit harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan penerapan sistim manajemen K3 dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan meliputi :

a. Identifikasi sumber bahaya, penilaian, dan pengendalian risiko. Rumah sakit harus melakukan kajian dan identifikasi sumber bahaya, penilaian serta pengendalian faktor risiko.

1) Identifikasi sumber bahaya

Dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya dan jenis kecelakaan dan PAK yang mungkin dapat terjadi. Sumber bahaya yang ada di rumah sakit harus di identifikasi dan di nilai untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolok ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan PAK.

Tabel 2.1.Bahaya Potensial Berdasarkan Lokasi dan Pekerjaan di Rumah Sakit

No Bahaya Potensial

Lokasi

Pekerja yang Paling Beresiko

1

.

Fisik

Bising

IPS-RS, binatu, dapur,

CSSD, gedung

genset-boiler, IPAL

Karyawan yang bekerja di

lokasi tersebut

Perawat,

cleaning service,

dan lain-lain

Petugas sanitasi, teknisi gigi,

petugas IPS dan rekam medis

(9)

No Bahaya Potensial

Lokasi

Pekerja yang Paling Beresiko

binatu, petugas sanitasi dan

IP-RS

kerja, semua area di

rumah sakit

Petugas/ dokter gigi, dokter

bedah, perawat

Teknisi, petugas

laboratorium, petugas

pembersih

Gas-gas anastesi

Ruang operasi gigi,

ruaang pemulihan

Dokter gigi, dokter bedah,

dokter/ perawat anastesi

Ruang Ibu dan anak

Bangsal, laboratorium,

Perawat, dokter yang

bekerja di bagian Ibu dan

anak

(10)

ruang isolasi

fisioterapis

Tabel 2.1.(Lanjutan)

No Bahaya Potensial

Lokasi

Pekerja yang Paling Beresiko

4

.

Ergonomi

Semua area

Semua karyawan

Pekerjaan yang

berulang

Semua area

Dokter gigi, petugas

pembersih, operator

Semua area

Semua karyawan

2) Penilaian faktor risiko

Merupakan proses untuk menentukan ada tidaknya risiko dengan jalan melakukan penilaian bahaya potensial yang menimbulkan risiko kesehatan dan keselamatan. 3) Pengendalian faktor risiko

Dilaksanakan melalui 4 tingkatan pengendalian risiko yaitu menghilangkan bahaya, menggantikan sumber risiko dengan sarana/ peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah atau tidak ada (engineering/ rekayasa), administrasi dan alat pelindung pribadi (APP).

(11)

Rumah sakit harus membuat, menetapkan dan melaksanakan standar operasional prosedur (SOP) sesuai dengan peraturan, perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. SOP ini harus di evaluasi, diperbaharui dan harus dikomunikasikan serta disosilisasikan pada karyawan dan pihak yang terkait.

c. Tujuan dan sasaran

Rumah sakit harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan, bahaya potensial dan risiko K3 yang bisa di ukur, satuan/ indikator pegukuran, sasaran pencapaian dan jangka waktu pencapaian.

d. Indikator kinerja

Indikator harus dapat diukur sebagai dasar penilaian kinerja K3 yang sekaligus merupakan informasi mengenai keberhasilan pencapaian SMK3 RS.

e. Program K3

Rumah sakit harus menetapkan dan melaksanakan program K3RS, untuk mencapai sasaran harus ada monitoring, evaluasi dan di catat serta dilaporkan.

3. Pengorganisasian

Pelaksanaan K3 di rumah sakit sangat tergantung dari rasa tanggung jawab

(12)

mengkomunikasikannya kepada instalasi-instalasi kerja, sehingga dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program yang dilaksanakan telah berhasil. Kalau masih terdapat kekurangan maka perlu

diidentifikasi penyimpangannya serta dicari pemecahannya.

4. Langkah-Langkah Penyelenggaraan

Untuk memudahkan penyelenggaraan K3 di rumah sakit, maka perlu langkah-langkah penerapannya yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pemantauan dan evaluasi.

a. Tahap persiapan, terdiri dari : 1. Menyatakan komitmen

2. Menetapkan cara penerapan K3 di RS

3. Pembentukan organisasi/ unit pelaksana K3 RS 4. Membentuk kelompok kerja penerapan K3 5. Menetapkan sumber daya yang diperlukan. b. Tahap pelaksanaan

1. Penyuluhan K3 ke semua petugas RS

2. Pelatihan K3 yang disesuaikan dengan kebutuhan individu dan kelompok di dalam organisasi RS.

(13)

Pada dasarnya pemantauan dan evaluasi K3 di RS adalah salah satu fungsi manajemen K3 RS yang berupa suatu langkah yang di ambil untuk mengetahui dan menilai sampai sejauh mana proses kegiatan K3 RS itu berjalan, dan mempertanyakan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu kegiatan RS dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

Pemantauan dan evaluasi meliputi :

1. Pencatatan dan pelaporan K3 terintegrasi ke dalam sistim pelaporan RS (SPRS) yaitu : pencatatan dan pelaporan K3, pencatatan semua kegiatan K3, pencatatan dan pelaporan KAK, pencatatan dan pelaporan PAK.

2. Inspeksi dan pengujian

Inspeksi k3 merupakan suatu kegiatan untuk menilai keadaan K3 secara umum dan tidak terlalu mendalam. Inspeksi K3 di RS dilakukan secara berkala, terutama oleh petugas K3 RS sehingga kejaidan PAK dan KAK dapat dicegah sedini mungkin. Kegiatan lain adalah pengujian baik terhadap lingkungan maupun pemeriksaan terhadap lingkungan maupun pemeriksaan terhadap pekerja berisiko seperti biological monitoring (pemantauan secara biologis). 3. Melaksanakan audit K3

(14)

Tinjauan ulang dan peningkatan oleh pihak manajemen secara berkesinambungan untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan K3. 2.2.5. Pengendalian Risiko

Dalam tindakan pengendalian perusahaan harus merencanakan pengelolaan dan pengendalian kegiatan-kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja yang tinggi. Beberapa pengendalian risiko antara lain:

1) Menghilangkan Bahaya

Contohnya menggunakan mesin untuk pekerjaan manual yang berulang atau menghilangkan asbes dari tempat kerja.

2) Mencegah atau Mengurangi Peluang Terkena Risiko

Jika bahaya tidak dapat dihilangkan, maka kiat menggunakan alat kendali risiko yang lebih rendah tingkatannya. Alat-alat kendali itu antara lain mengganti peralatan (substitusi), melakukan desain ulang dari perangkat kerja (engineering), melakukan isolasi sumber bahaya.

3) Bahaya tidak dapat dikurangi

a. Pengendalian Secara Administrasi.

(15)

SOP berasal dari bahasa Inggris yaitu SOP yang merupakan kepanjangan dari Standart Operating Procedure, yang artinya standar operasional prosedur. Istilah SOPmerujuk pada pengertian mengenai sebuah prosedur operasi standar yang merupakan serangkaian instruksi yang bersifat membatasi prosedur operasi tanpa kehilangan keefektivitasannya atau merupakan petunjuk tertulis yang menggambarkan dengan tepat tahapan pelaksanaan tugas/pekerjaan/kegiatan (Insani, 2010).

Dalam penerapannya, terdapat beberapa manfaat standar operasional prosedur (SOP), antara lain :

a. Sebagai standarisasi cara yang dilakukan pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya.

b. Mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

c. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab individu pegawai organisasi secara keseluruhan.

d. Membantu pegawai menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada intervensi manajemen, sehingga akan mengurangi keterlibatan pimpinan dalam pelaksanaan proses sehari-hari.

(16)

f. Memberikan informasi mengenai kualifikasi kompetensi yang harus dikuasai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya.

Sedangkan tujuan dari SOP antara lain : (1) agar pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja pegawai atau tim dalam organisasi atau instalasi kerja, (2) agar mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi, (3) memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari pegawai terkait, (4) melindungi organisasi/ instalasi kerja dan pegawai dari malpraktek atau kesalahan administrasi, (5) untuk menghindari kesalahan, keraguan dan duplikasi.

Fungsi dari SOP itu sendiri antara lain : (1) memperlancar tugas pegawai atau tim/ instalasi kerja, (2) sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan, (3) mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya, (4) mengarahkan pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja, (5) dan sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin (Karisma, 2014).

b. Alat Pelindung Diri (APD)

(17)

memberikan perlindungan yang tepat terhadap potensi bahaya yang ada, (2) tidak menyebabkan rasa tidak nyaman berlebihan, (3) bentuknya harus cukup menarik dan dapat dipakai secara fleksibel, (4) tahan untuk pemakaian yang lama, memenuhi standar yang sudah ada serta suku cadangnya mudah didapat, (5) tidak menimbulkan bahaya tambahan bagi pemakaian yang tidak tepat atau karena penggunaan yang salah.

Kebijakan perusahaan tentang APD merupakan pedoman dalam pembuatan peraturan dan prosedur tentang APD. Begitu manajemen memutuskan untuk menggunakan APD maka langkah-langkah berikut dapat dilakukan : (1) buat kebijakan tertulis tentang APD dan mensosialisasikan kepada pekerja dan tamu, (2) pilih jenis APD yang sesuai, (3) laksanakan suatu program pelatihan agar pekerja mengetahui suatu cara pemakaian dan perawatan yang benar terhadap APD yang digunakannya, (4) terapkan dan kontrol penggunaan APD (Rijanto, 2011).

APD yang digunakan oleh petugas haruslah dapat memellihara kesehatan dan keselamatan dirinya. Beberapa jenis APD dan kegunaannya :

1) Pelindung kepala

(18)

Beberapa jenis alat pelindung kepala tersebut antara lain :

a. Topi pengaman/ helm pengaman berfungsi melindungi kepala dari kejatuhan benda, terpukul atau benturan keras dan tajam

b. Penutup rambut (hair cup) atau pengaman rambut digunakan untuk melindungi kepala dan rambut dari kotoran, serta melindungi rambut dari bahaya terjerat mesin yang berputar. Spesifikasinya terbuat dari bahan yang menyerap keringat dan mudah di cuci.

2) Pelindung telinga

a. Sumbat Telinga (Ear Plug)

Sumbat telinga yang baik adalah yang dapat menahan frekuensi tertentu saja, sedangkan frekuensi untuk bicara biasa (komunikasi) tidak terganggu. Sumbat telinga biasanya terbuat dari bahan karet, plastik keras, plastik lunak, lilin, dan kapas. Kemampuan daya lindung (Atenuasi) sekitar 25-30 dB (decible). Bila ada kebocoran sedikit saja dapat mengurangi daya lindung sampai 15 dB. Daya lindung yang paling kecil adalah yang terbuat dari kapas, antara 2-12 dB. Kelemahan dari sumbat telinga ini adalah tidak tepat ukurannya dengan lubang telinga pemakai, kadang-kadang lubang telinga kanan tidak sama dengan yang kiri.

(19)

Pelindung telinga yang penggunaannya ditutupkan pada seluruh daun telinga dan alat ini lebih efektif dari sumbat telinga, karena dapat mengurangi intensitas hingga 20-30 dB.

3) Pelindung muka dan mata

Berfungsi melindungi dari lemparan benda-benda kecil dan benda panas, pengaruh cahaya, dan pengaruh radiasi tertentu. Syarat pelindung muka dan mata yaitu keamanan terhadap api sama dengan topi pengaman, ketahanan terhadap lemparan benda-benda, alat pelindung mata tahan terhadap radiasi, dengan prinsip adalah kaca mata yang hanya tahan terhadap panjang gelombang tertentu.

4) Alat pelindung pernafasan

Berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber bahaya di udara tempat kerja, seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan uap logam), dan pencemaran oleh gas atau uap. Contoh alat perlindungan pernapasan seperti masker dan respirator.

5) Pelindung tangan

Memiliki fungsi untuk melindungi dari api, panas, dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan pukulan, luka, lecet dan infeksi, serta kotoran.Jenis dari pelindung tangan antara lain :

(20)

b. Mitten : sarung tangan dengan ibu jari terpisah sedangkan jari lainnya menjadi satu.

c. Hand Pad : melindungi telapak tangan

d. Sleeve : melindungi pergelangan tangan sampai lengan, biasanya digabung dengan sarung tangan.

6) Pelindung kaki

Memiliki fungsi untuk melindungi pekerja dari tertimpa benda-benda berat atau keras, tumpahan atau genangan logam cair, bahan kimia korosif atau iritatif, dermatitis/ eksim karena bahan-bahan kimia, kemungkinan tersandung, tergelincir, dan tertusuk telapak kakinya, pengaruh air panas, dingin, kotor dan lain-lain.

Sepatu yang digunakan disesuaikan dengan jenis risikonya yaitu:

a. Pada industri ringan/ tempat kerja biasa cukup memakai sepatu yang baik dan wanita tidak boleh memakai sepatu bertumit tinggi atau sepatu dengan telapak yang datar dan licin.

b. Sepatu pelindung (safety house) atau sepatu boot dapat terbuat dari kulit, karet sintetis atau plastik. Berguna untuk melindungi jari-jari kaki terhadap kejatuhan atau benturan benda-benda keras, sepatu dilengkapi dengan penutup jari dari baja atau campuran baja dengan karbon.

(21)

d. Untuk mencegah tusukan pada telapak kaki dari benda-benda runcing, serta sol dilapisi dengan logam

e. Sepatu atau sandal yang beralas kayu baik dipakai ditempat kerja yang lembab dan lantai yang panas

f. Sepatu boot dari karet sintetis, untuk perlindungan terhadap bahan-bahan kimia.

7) Pelindung tubuh/ pakaian kerja

Kegunaannya untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuh dari bahaya tertentu baik benda padat, gas, cairan, suhu, percikan api, bahan kimia, radiasi, panas dan trauma dari benda tumpul/ tajam. Bahan dapat terbuat dari kain kulit, plastik, asbes atau kain yang dilapisi aluminium. Bentuknya berupa apron (menutupi sebagian tubuh yaitu mulai dada sampai lutut), celemek, atau pakaian terusan dengan celana panjang dan lengan panjang (Rijanto, 2010).

Sedangkan untuk jenis APD di rumah sakit pada bagian binatu APD yang sering digunakan antara lain masker, earmuff, sarung tangan dan sepatu boot. Dalam penggunaan APD sebagai sarana pengendali risiko, organisasi sebaiknya melakukan evaluasi secara mendalam terhadap peralatan yang digunakan dalam mengurangi risiko. Penggunaan APD tetap membutuhkan pelatihan atau instruksi kerja bagi karyawan yang menggunakannya, termasuk pemeliharannya. Karyawan harus mengerti bahwa penggunaan APD tidak akan menghilangkan bahaya yang terjadi. Jadi bahaya akan tetap terjadi jika ada kecelakaan.

(22)

a. Tidak semua APD melalui pengujian laboratoris, sehingga tidak diketahui derajat perlindungannya.

b. Tidak nyaman dan terkadang membuat si pemakai sulit bekerja c. APD terkadang dapat menciptakan bahaya baru

d. Kewajiban pemeliharaan APD dialihkan dari pihak manajemen ke pekerja e. Efektifitas APD sering tergantung kondisi kesehatan para pekerja.

2) Masalah pemakaian APD

a. Sisi pekerja, tidak mau memakai dengan alasan : • Tidak sadar/ tidak mengerti manfaat pemakainnya • Panas, sesak, berat

• Tidak enak dipakai, tidak enak dipandang, mengganggu pekerjaan

• Tidak sesuai dengan bahaya yang ada • Tidak ada sangsi jika tidak menggunakannya • Mengikuti sikap atasan yang tidak memakai APD.

b. Sisi perusahaan

• Ketidakmengertian dari perusahaan tentang APD yang sesuai dengan

jenis risiko yang ada

• Sikap dari perusahaan yang mengabaikan APD

• Dianggap hanya pekerjaan yang sia-sia karena tidak adanya pekerja yang

mau memakai

• Pengadaan APD yang asal beli

(23)

a. Timbulnya kesulitan komunikasi antar pekerja

b. Memberatkan kepaladan tidak nyaman dalam penggunaannya c. Menimbulkan rasa sakit karena jepitan pelindung telinga terlalu kuat

4) Masalah dalam peggunaan sarung tangan yaitu mengurangi kepekaan tangan dan jari.

5) Masalah Dalam Penggunaan Respirator

a. Penutup muka yang buruk seperti dapat menimbulkan jerawat, dapat membuat rambut jadi terjepit, tidak sesuai dengan ukuran wajah, menimbulkan iritasi pada bekas luka

b. Pemeliharaan yang tidak baik

c. Tidak nyaman dalam menghirup udara dan menimbulkan sesak nafas d. Kesulitan komunikasi

e. Tidak memiliki standar filter udara yang sesuai (Suardi, 2005).

2.3. Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Binatu) 2.3.1. Pengertian Binatu

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang pedoman teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B, binatu rumah sakit adalah tempat pencucian linen yang dilengkapi dengan sarana penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan desinfektan, mesin uap (steam boiler), pengering, meja dan mesin setrika.

(24)

1. Tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran yang memadai, air panas untuk desinfeksi dengan desinfektan yang ramah terhadap lingkungan. Suhu air panas untuk pencucian mencapai 70oC dalam waktu 25 menit atau 95 oC dalam waktu 10 menit untuk pencucian pada mesin cuci.

2. Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran pembuangan air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis linen yang berbeda. 3. Tersedia saluran air limbah tertutup yang dilengkapi dengan pengolahan awal khusus

binatu sebelum di alirkan ke IPAL RS.

4. Untuk linen non-infeksius (misalnya dari ruang-ruang administrasi perkantoran) dibuatkan akses ke ruang pencucian tanpa melalui ruang dekontaminasi.

5. Tidak disarankan untuk mempunyai tempat penyimpanan linen kotor.

6. Penggunaan jenis deterjen dan desinfektan untuk proses pencucian yang ramah lingkungan agar limbah cair yang dihasilkan mudah terurai oleh lingkungan.

7. Standar kuman bagi linen bersih setelah keluar dari proses tidak mengandung 6x103spora spesies bacilus per inci persegi.

2.3.3. Tata Laksana

Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1204/MENKES/SK/X/2004, tentang persyaratan kesehatan lingkungan Rumah Sakit

(25)

1.

Di tempat binatu tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran

yang memadai, air panas untuk desinfeksi dan tersedia desinfektan.

2.

Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran

pembuangan air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis

linen yang tersedia dan mencuci jenis-jenis linen yang berbeda.

3.

Tersedia ruangan dan mesin cuci yang terpisah untuk linen infeksius dan non

infeksius.

4.

Binatuharus dilengkapi dengan saluran air limbah tertutup yang dilengkapi

dengan pengolahan awal (pre-treatment) sebelum dialirkan keinstalasi

pengolahan air limbah.

5.

Binatu harus disediakan ruang-ruang terpisah sesuai kegunaannya yaitu ruang

linen kotor, ruang linen bersih, ruang untuk perlengkapan kebersihan, ruang

perlengkapan cuci, ruang kereta linen, kamar mandi dan ruang peniris atau

pengering untuk alat-alat termasuk linen.

6.

Untuk rumah sakit yang tidak mempunyai binatutersendiri, pencuciannya dapat

bekerjasama dengan pihak lain dan pihak lain tersebut harus mengikuti

persyaratan dan tatalaksana yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang

pedoman teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B, kegiatan pencucian linen

terdiri dari :

(26)

1) Pemilahan antara linen infeksius dan non-infeksius dimulai dari sumber dan memasukkan linen ke dalam kantong plastik sesuai jenisnya serta diberi label. 2) Menghitung dan mencatat linen diruangan.

2. Penerimaan

1) Mencatat linen yang diterima dan telah terpisah antara infeksius dan non infeksius. 2) Linen dipisah berdasarkan tingkat kekotorannya.

3. Pencucian

1) Menimbang berat linen untuk menyesuaikan dengan kapasitas mesin cuci dan kebutuhan deterjen dan desinfektan.

2) Membersihkan linen kotor dari tinja, urin, darah, dan muntahan kemudian merendamnya dengan menggunakan desinfektan.

3) Mencuci dikelompokkan berdasarkan tingkat kekotorannya. 4. Pengeringan

5. Penyetrikaan 6. Penyimpanan

1) Linen harus dipisahkan sesuai jenisnya.

2) Linen baru yang diterima ditempatkan di lemari bagian bawah. 3) Pintu lemari selalu tertutup.

(27)

1) Kantong untuk membungkus linen bersih harus dibedakan dengan kantong yang digunakan untuk membungkus linen kotor.

2) Menggunakan kereta dorong yang berbeda dan tertutup antara linen bersih dan linen kotor. Kereta dorong harus di cuci dengan desinfektan setelah digunakan mengangkut linen kotor.

3) Waktu pengangkutan linen bersih dan kotor tidak boleh dilakukan bersamaan. 4) Linen bersih di angkut dengan kereta dorong yang berbeda warna.

5) Rumah sakit yang tidak mempunyai binatu tersendiri, pengangkutannya dari dan ketempat binatu harus menggunakan mobil khusus.

9. Petugas yang bekerja dalam pengelolaan binatu linen harus menggunakan pakaian kerja khusus, menggunakan APD dan dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala, serta dianjurkan memperoleh imunisasi hepatitis B.

Berdasarkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010 tentang pedoman teknis sarana dan prasarana rumah sakit kelas B alur kegiatan pada instalasi pencucian linen adalah sebagai berikut :

Troli kotor Linen kotor

(28)

Gambar 2.1. Alur Kegiatan Pada Instalasi Pencucian Linen di Instalasi Binatu (Kemenkes RI, 2010)

2.4. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi pada dasarnya adalah kegiatan untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi kebijakan. Monitoring dilakukan ketika sebuah kebijakan sedang diimplementasikan. Sedangkan evaluasi dilakukan untuk melihat tingkat kinerja suatu kebijakan, sejauh mana kebijakan tersebut mencapai sasaran dan tujuannya. Monitoring diperlukan agar kesalahan-kesalahan awal dapat segera diketahui dan dapat dilakukan tindakan perbaikan, sehingga mengurangi risiko yang lebih besar. Evaluasi berguna memberikan input bagi kebijakan yang akan datang supaya lebih baik (Subarsono, 2005).

Ruang dekontaminasi Troli dan pengeringan

R. penyimpanan Troli bersih

R. penyimpanan linen bersih

Tanpa sterilisasi CSSD

(Resterilisasi)

Distribusi linen bersih Bak desinfeksi

(perendaman)

(29)

Monitoring atau pemantauan adalah aktivitas yang ditujukan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari suatu kebijakan yang sedang diimplementasikan dengan tujuan menjaga agar kebijakan yang sedang diimplementasikan sesuai dengan tujuan dan sasaran, menemukan kesalahan sedini mungkin sehingga mengurangi risiko yang lebih besar, dan melakukan tindakan modifikasi terhadap kebijakan apabila hasil monitoring mengharuskan untuk itu (Subarsono, 2005).

Dalam memantau hasil kebijakan dibedakan dua jenis hasil kebijakan, yaitu : keluaran (outputs), dan dampak (impacts). Keluaran kebijakan adalah barang, layanan, atau sumber daya yang diterima oleh kelompok sasaran atau kelompok penerima. Sebaliknya dampak kebijakan merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh keluaran kebijakan tersebut. Kelompok sasaran merupakan individu, masyarakat atau organisasi yang hendak dipengaruhi oleh suatu kebijakan dan program. Sedangkan penerima adalah kelompok yang menerima manfaat atau nilai dari kebijakan tersebut. Untuk menghitung secara baik keluaran dan dampak kebijakan, perlu melihat kembali tindakan kebijakan yang dilakukan sebelumnya. Tindakan kebijakan mempunyai dua tujuan utama, yaitu regulasi dan alokasi. Tindakan regulatif adalah tindakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap standar atau prosedur tertentu. Sebaliknya tindakan alokatif adalah tindakan yang membutuhkan masukan yang berupa uang, waktu, personil dan alat (Badjuri, 2002).

(30)

kebijakan adalah tindakan organisasional dan politis yang menentukan transformasi dari

masukan kebijakan menjadi keluaran dan dampak kebijakan. Monitoring terhadap suatu

kebijakan baru dapat dilakukan setelah adanya tindakan dari para pelaku kebijakan terhadap objek atau kelompok sasaran. Sehingga minimal analis dapat melihat adanya perubahan atau hasil yang signifikan dari tindakan kebijakan tersebut baik berupa data-data kuantitatif maupun data kualitatif berdasarkan hasil pengamatan(Badjuri, 2002).

Pelaksanaan monitoring yang bersifat pasca penerapan kebijakan sama dengan prinsip evaluasi. Bedanya dalam monitoring intinya analis hanya mengumpulkan informasi seputar pelaksanaan kebijakan, baik berupa data objektif maupun subjektif, berdasarkan indikator-indikator yang telah dipilih. Sedangkan dalam evaluasi, analis memasukkan penilaiannya pada informasi yang telah dikumpulkan dalam proses monitoring. Sehingga hasil evaluasi dapat menilai apakah suatu proses atau keluaran kebijakan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan pembuat kebijakan atau tidak, sedangkan dalam monitoring hal tersebut tidak dapat dilakukan (Badjuri, 2002).

(31)

menilai tingkat kinerja suatu kebijakan, dimana evaluasi baru dapat dilakukan kalau suatu kebijakan sudah berjalan cukup waktu.

Monev adalah kegiatan monitoring dan evaluasi yang ditujukan pada suatu program yang sedang atau sudah berlangsung. Monitoring sendiri merupakan aktivitas yang

dilakukan pimpinan untuk melihat, memantau jalannya organisasi selama kegiatan

berlangsung, dan menilai ketercapaian tujuan, melihat faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan program. Dalam monitoring (pemantauan) dikumpulkan data dan dianalisis, hasil analisis diinterpretasikan dan dimaknakan sebagai masukan bagi pimpinan untuk mengadakan perbaikan. Evaluasi adalah proses untuk mengidentifikasi masalah, mengumpulkan data dan menganalisis data, menyimpulkan hasil yang telah dicapai, menginterpretasikan hasil menjadi rumusan kebijakan, dan menyajikan informasi (rekomendasi) untuk pembuatan keputusan berdasarkan pada aspek kebenaran hasil evaluasi (Moerdiyanto, 2015).

(32)

Tujuan dari monitoring kebijkaan adalah :

1. Menghindari terjadinya penyimpangan/ kesalahan/ keterlambatan sehingga dapat diluruskan.

2. Memastikan proses implementasi sesuai dengan model implementasi yang sesuai.

3. Memastikan bahwa implementasi kebijakan menuju arah kinerja kebijakan yang dikehendaki (Badjuri, 2002).

Menurut Dunn dalam (Subarsono, 2005) ada beberapa jenis monitoring yaitu :

1. Kepatuhan (Compliance) adalah jenis monitoring untuk menentukan tingkat kepatuhan implementor terhadap standar dan prosedur yang telah ditetapkan.

2. Pemeriksaan (Auditing) adalah jenis monitoring untuk melihat sejauh mana sumber daya dan pelayanan sampai pada kelompok sasaran.

3. Akutansi (Accounting) adalah jenis monitoring untuk mengkalkulasikan perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi setelah diimplementasikan suatu kebijakan.

4. Eksplanasi (Explanation) adalah jenis monitoring untuk menjelaskan adanya perbedaan antara hasil dan tujuan kebijakan.

(33)

Kepatuhanberasaldari kata patuh.Menurut KBBI (KamusBesarBahasa Indonesia), patuhberartisukamenuruti perintah, taatkepadaperintahatauaturandanberdisiplin. Kepatuhanberartibersifatpatuh, ketaatan, tunduk, patuhpadaajarandanaturan. Menurut Ripley (1985) implementasi dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pertama (complience perspective) memahami keberhasilan implementasi dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementer dalam melaksanakan kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan (dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, atau program). Studi implementasi yang menggunakan perspektif ini ingin mengetahui kepatuhan para bawahan dalam menjalankan perintah yang diberikan para atasan sebagai upaya untuk melaksanakan satu kebijakan.

Perspektif kedua tidak hanya memahami implementasi dari aspek kepatuhan

para implementer kebijakan dalam mengikuti standart operating procedur (SOP)

tetapi berusaha memahami implementasi secara lebih luas. Maka ukuran keberhasilan

implementasi tidak hanya dilihat dari segi kepatuhan para implementer dalam

mengikuti SOP tetapi juga diukur dari keberhasilan dalam merealisasikan

tujuan-tujuan kebijakan yang wujud nyatanya berupa munculnya dampak kebijakan. Artinya

kepatuhan para implementer dalam mengimplementasikan kebijakan sesuai SOP

bukan satu-satunya alat ukur keberhasilan implementasi. Kepatuhan tersebut

semestinya perlu dipandang sebagai kondisi yang harus dilalui agar tujuan kebijakan

dapat diwujudkan, bukan tujuan akhir dari implementasi itu sendiri (Purwanto dan

(34)

Dalam penggunaan sehari-hari, kita biasa mendengar istilah‘monitoring’banyak digunakan dengan makna “mengawasi, memeriksa,atau mengobservasi”. Dalam konteks penggunaan seperti itu prosesmonitoring, biasanya menjadi bagian dari sebuah aktivitas yang lebihbesar, yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Aktivitas

monitoringdilakukan sebagai fungsi pengawasan dan observasi untuk memastikanbahwa aktivitas yang dilakukan benar-benar membawa pada tujuanyang sudah ditetapkan sebelumnya (Santoso, 2010).

Ketika situasi masalah timbul saat transformasi tindakan kebijakan menjadi informasi tentang hasil kebijakan melalui monitoring, situasi masalah (sistim dari berbagai masalah yang saling tergantung) tersebut ditransformasikan melalui perumusan masalah ke dalam suatu masalah kebijakan.Informasi yang dibutuhkan untuk memantau kebijakan publik harus relevan, dapat diandalkan dan valid. Dapat diandalkan mengandung arti bahwa observasi dalam memperoleh informasi harus dilakukan secara cermat. Valid atau sahih maksudnya informasi tersebut benar-benar memberitahu kita tentang apa yang memang kita maksudkan. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Pada umumnya informasi diperoleh dari arsip pada instansi atau badan terkait berupa buku, monograf, artikel, dan laporan tertulis dari para peneliti. Bila data dan informasi tidak tersedia pada sumber di atas, monitoring perlu dilakukan dengan kuesioner, wawancara dan observasi lapangan (Badjuri, 2002).

(35)

Bedasarkan tinjauan kepustakaan, maka dapat disusun kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut :

Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Penelitian

Kerangka berpikir di atas merupakan rangkuman sementara dari gambaran tentang pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di instalasi binatu pada Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015. Selain melihat pelaksanaan manajemen K3 diinstalasi binatu diantaranya tata laksana, alur kegiatan pencucian linen, melaksanakan tugas sesuai dengan SOP dan penggunaan alat pelindung diri (APD), serta pelaksanaan monitoring di instalasi binatu. Dari penjelasan di atas didapatkan hasil pelaksanaan K3 di

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) diinstalasi binatu:

1. Tata laksana

2. Alur kegiatan pencucian linen

3. Melaksanakan tugas sesuai dengan SOP

4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) 5. Monitoring

Hasil pelaksanaan K3 di instalasi binatu :

1. Tata laksana

2. Kepatuhan petugas binatu terhadap SOP

Gambar

Tabel 2.1.(Lanjutan)
Tabel 2.1.(Lanjutan)
Gambar 2.1. Alur Kegiatan Pada Instalasi Pencucian Linen di Instalasi Binatu
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan rangkaian ketentuan pencatatan perkawinan dalam peraturanperaturan perundang-undangan tersebut tampak bahwa jiwa yang terkandung dalam Pasal 2 ayat

Panel sentuh Adaptor daya Kamera Komunikasi Baterai Video Audio Display Pembaca. kartu

Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara keragaman dewan direksi dengan kualitas laporan keuangan karena eksekutif wanita menggunakan

Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Student Team-Achievement Division (STAD) dengan memanfaatkan media kahoot! dapat meningkatkan hasil belajar warga belajar

Independensi tim peneliti PTSP/PTSA juga sangat perlu dipertahankan pada saat memeringkat karena mengingat betapa pentingnya laporan hasil pemeringkatan bagi perbaikan otonomi

Dari data diatas juga menunjukan bahwa nilai Return On Investment (ROI) mengalami penurunan pada tahun 2013 dan 2014, hal ini menunjukan bahwa aktiva yang

Hasil penelitian menu mempelajari catatan yang lalu mempersiapkan fisik untuk b membaca bahan pelajaran di p aspek mempersiapkan alat bela Masalah yang paling ba