• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Suku Batak Toba Dan Batak Pakpak (Studi Kasus Di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Suku Batak Toba Dan Batak Pakpak (Studi Kasus Di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1981. Sejarah Antropologi. Jakarta: UI Press

Bungin, H.M. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif:Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Keesing, M. Roger. 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga

Wahyudi, dkk. 2002. Etnis Pakpak Dalam Fenomena Pemekaran Wilayah: Mempertanyakan Partisipasi Politik Perempuan Dalam Masyarakat Adat. Sidikalang: Yayasan Sada Ahmo

Tahara, Tasfirin. 2014. Melawan Stereotip: Etnografi, Reproduksi Identitas, dan Dinamika Masyarakat Katobengke Buton yang Terabaikan. Jakarta: PT Gramedia

Waridah, Siti, dkk. Antropologi Untuk SMU Kelas 3 Semester 1 dan Semester 2. Jakarta: PT Bumi Aksara

Syahrial, Syarbaini dan Rusdiyanta.2009. Dasar-dasar Sosiologi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Liliweri, ALo. 2005. Prasangka dan konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur.Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara

Habib, Achmad. 2004. Konflik Antaretnik di Pedesaan: Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara

(2)

Astianisti, Denika. 2015. Relasi Mayoritas-Minoritas Antara Etnis Jawa, Cina, Arab. Semarang: UNS

Jenkis, Richard. 2008. Identitas Sosial. Medan: Bina Media Perintis

Sumber internet :

(3)

BAB III

KELOMPOK SUKU BATAK TOBA DAN BATAK PAKPAK

3.1. Pola Pemukiman

(4)

Pola pemukiman sangat mempengaruhi hubungan yang terjadi antara kelompok suku. Atau sebaliknya kelompok antara suku mempengaruhi pola pemukiman yang terjadi. Bila dilihat pada peta diatas, pola pemukiman yang terjadi di desa Bangun adalah pola pemukiman membentuk deretan yang memanjang mengikuti jalan. Pemukiman penduduk berada pada sebelah kiri bahu jalan.

Pada peta diatas kita dapat melihat persebaran suku Batak Toba dan Batak Pakpak. Persebaran suku terlihat mengalami pengelompokan antar suku. Persebaran penduduk tidak merata. Pola pemukiman yang mengelompok dijumpai didaerah datar yang memungkinkan penduduk mudah membangun rumah. Di daerah yang memiliki sumber air dan jaringan jalan yang baik. Misalnya akses jalan yang strategis dan sumber air yang dekat. Di dekat akses jalan yang strategis dan sumber air penduduk mudah memperoleh kebutuhannya dari lingkungan sekitar. Apabila dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi pola persebaran pemukiman, dapat ditarik kesimpulan faktor-faktor umum yang mempengaruhi pola persebaran pemukiman yaitu air, kesuburan tanah, lokasi, kegiatan ekonomi, dan kultur penduduk.

(5)

air pancur dan jalan yang strategis. Kemudian disusul oleh suku Batak Pakpak yang lain. Sehingga pola pemukiman suku Batak Pakpak membentuk kelompok dengan sukunya sendiri.

(6)

Gambar 1. Rumah penduduk di sebelah kanan bahu jalan Sumber : dokumentasi pribadi

(7)

rumah. Pemukiman di daerah datar cepat berkembang karena tanpa banyak halangan.

Gambar 2. Jalan lintas Dolok Sanggul - Sidikalang di desa Bangun Sumber : dokumentasi pribadi

Pembangunan rumah penduduk yang lebih merata di sebelah kiri bahu jalan mengakibatkan lahan yang kosong disebelah kanan bahu jalan lebih banyak. Sehingga untuk pembangunan selanjutnya yang membutuhkan lahan kosong yang lebih luas seperti gereja, mesjid, sekolah, kantor, dan tugu berada di sebelah kanan bahu jalan.

(8)

Inpres ada bangunan Gereja Kristen Pakpak Dairi di sebelah kanan bahu jalan. Masyarakat yang menganut Gereja Kristen Pakpak Dairi yang ada di desa ini bukanlah masyarakat Batak Pakpak yang ada di desa tersebut. Tetapi masyarakat yang datang dari desa lain. Tidak diketahui informasi yang memberi alasan mengapa Gereja Kristen Pakpak Dairi tersebut dibangun di desa yang tidak memiliki penganut dari desa tersebut tetapi penganutnya dari luar desa. Setelah itu terdapat juga sebuah Pukesmas Pembantu yang berdekatan dengan Mesjid. Puskesmas Pembantu yang tersedia di desa ini hanya satu yaitu berada di Dusun I (Bangun Simartolu). Lokasi Puskesmas Pembantu ini cukup jauh dari lokasi Dusun II (Bangun II) dan Dusun III (Barisan Tigor). Banyak masyarakat lebih memilih ke luar desa yang berbatasan dengan Dusun II dan Dusun III karena lokasi yang lebih dekat dengan pemukiman mereka.

(9)

Kemudian kita akan melihat sebuah tugu marga Capah. Tugu ini cukup besar berwarna putih dipadukan dengan beberapa bagian yang berwarna coklat. Tugu ini tempat dikumpulkannya tulang-belulang nenek moyang beberapa generasi dari marga Capah. Tugu ini berada pada persebaran pemukiman penduduk marga Capah.

Gambar 3. Tugu marga Capah Sumber : dokumentasi pribadi

(10)

sumber mata air pancur, keduanya berada di Dusun I. Tetapi seiring bertambahnya penduduk dan tingginya kebutuhan akan air bersih. Pemerintah menyalurkan air gunung dari desa lain melalui penanaman pipa-pipa di depan rumah penduduk di sebelah kiri bahu jalan atau yang sering disebut dengan dibawah jalan. Kemudian pemerintah juga memfasilitasi beberapa bak air untuk masyarakat atau yang sering disebut dengan air pet. Tetapi jarak antara air pet yang satu dengan yang lain masih sangat jauh. Akibat tingginya kebutuhan akan air bersih apalagi pada saat musim kemarau, beberapa masyarakat membentuk rencana pembangunan untuk bak air seperti yang difasilitasi pemerintah. Pembangunan bak air ditujukan kepada masyarakat yang mau menanggung rata semua biaya pembangunan bak air. Jadi hanya untuk beberapa kepala rumah tangga yang mau dan tidak ada unsur paksaan. Dengan pembayaran pembangunan bak air yang merata oleh beberapa kepala rumah tangga, memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk penggunaan dan perawatan bak air. Bagi masyarakat yang tidak ikut membayar iuran tidak memiliki hak atas air tersebut. Masyarakat diluar pemilik bak air boleh saja mengambil air dari bak air tersebut. Tetapi tidak memiliki kebebasan yang sama dengan kelompok pemilik air.

(11)

diperiksa atau pun dicek terlebih dahulu. Hanya ditanyakan kenapa lalu sang ahli kesehatan meresep obatnya. Dan hasilnya selalu memuaskan pasien.

(12)

3.2. Struktur Pemerintahan

(13)

Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP.PKK) dan Karung Taruna.

(14)

Mulai tahun 1957 ada beberapa kepala desa yang pernah menjabat, yaitu:

Tabel 4.1 Kepemimpinan Kepala Desa Bangun

No Nama Kepala Desa Masa Jabatan 1 Gersom Sihotang 1957 – 1960 Sumber : Data kepala desa 2016

Sejak tahun 1967 - 1996 kepemimpinan kepala desa tidak berdasarkan pemilihan langsung oleh masyarakat, yaitu pada masa kepemimpinan oleh Gersom Sihotang, Kornelus Situmorang, Sudin Nadeak, Halmanat Sihotang, dan M.H.Capah. Kepala desa dipilih oleh penatua-penatua desa sebagai perwakilan masyarakat atau yang disebut dengan kepala kampung.

Pertama sekali, kepala desa Bangun adalah orang Toba yaitu Gersom Sihotang. Beliau sudah menjadi kepala desa sejak desa Bangun dibentuk dan belum berdiri. Kemudian setelah desa Bangun berdiri pada tahun 1961, desa Bangun dipimpin oleh Kornelus Situmorang. Setelah itu digantikan oleh Sudin Nadeak dan dilanjut oleh Halmanat Sihotang.

(15)

Pada tahun 1996 pemilihan kepala desa ditetapkan berdasarkan hak suara dari masyarakat. Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sejak masa kepemimpinan Kisaran Togatorop sampai sekarang pemilihan kepala desa dipilih oleh masyarakat dan berlangsung menurut Undang-Undang.

Bila dilihat pada tabel diatas, posisi kepemimpinan kepala desa Bangun mayoritas suku Batak Toba. Kepala desa dari suku Batak Pakpak hanya berlangsung pada satu periode yaitu yang dipegang oleh M.H.Capah. Masa kepemimpinan M.H Capah berlangsung sampai 24 tahun. Hal tersebut cukup berbeda dengan masa kepemimpinan suku Batak Toba yang hanya berlangsung selama 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun atau pun 5 tahun. Setiap beberapa tahun masa kepemimpinan suku Batak Toba selalu digantikan dengan suku Batak Toba yang lainnya.

(16)

3.3. Suku Batak Toba di Tanah Pakpak

Desa Bangun biasa juga disebut “Tanah Pakpak” sebab penduduk aslinya adalah orang Pakpak. Suku Batak Toba sebagian besar mata pencahariannya adalah bertani. Jadi mereka sangat tergantung pada tanah atau lahan pertanian yang akan dijadikan sebagai usaha untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya manusia tidak ingin hidup dengan kondisi kemiskinan dan manusia tidak ada yang merasa puas terhadap apa yang didapat di dalam hidupnya. Demikian halnya dengan orang Batak Toba yang selalu memegang teguh filosofinya. Bagi mereka filosofi ini harus dapat di wujudkan bagi suku Batak Toba dimana mereka berada. Adapun filosofi orang Batak Toba adalah hamoraon (kekayaan dan kesejahteraan), hagabeon (mendambakan banyak keturunan) dan hasangapon (kehormatan).

Pertumbuhan penduduk lama kelamaan menyebabkan tekanan terhadap lahan pertanian dan tanah yang dimiliki. Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi suku Batak Toba. Dengan memiliki tanah yang banyak maka akan dipandang masyarakat yang memiliki status sosial tinggi. Setiap orang mendambakan banyak anak sebagai penerus keturunan. Keinginan ini harus dibarengi banyaknya tanah yang dimiliki. Karena tanah memiliki fungsi ganda yaitu sebagai sumber pencari kehidupan melalui pembukaan lahan pertanian untuk menghidupi anggota keluarga dan untuk mencapai kepemimpinan dalam arti di sini yaitu kehormatan atas status sosial yang dimiliki.

(17)

pendapatan ekonomi pada suatu keluarga. Keadaan lahan yang tandus menyebabkan keadaan ekonomi semakin terdesak. Ketidak cukupan lahan untuk menjamin kelangsungan hidup mendorong orang Batak Toba untuk melakukan perluasan-perluasan lahan ke daerah lain. Karena dalam pandangan orang Batak Toba tanah merupakan lambang kekayaan dan kehormatan yang akan mempertinggi status sosial di tengah-tengah masyarakat, bahkan pandangan ini sudah mendarah daging dalam kehidupan setiap orang Batak Toba yang merupakan perjuangan hidup mereka. Tanah pada masyarakat Batak Toba berfungsi sebagai lahan pertanian maupun sebagai tanah warisan yang akan diberikan kepada anak-anaknya jika dia sudah meninggal. Hal inilah yang menjadi faktor pendorong bagi suku Batak Toba melakukan migrasi ke daerah-daerah lain.

(18)

Sebagai masyarakat pendatang, suku Batak Toba yang ingin menetap atau berdomisili ke desa Bangun harus meminta ijin terlebih dahulu kepada raja tanah yaitu suku Batak Pakpak. Dengan hasil perundingan dan ijin dari raja tanah, pendatang baru bisa bergabung dan menetap di desa Bangun. Begitu juga halnya pada acara pesta pernikahan, pesta kematian saur matua, memasuki rumah baru, orang Batak Toba selalu memberi jambar atau bagianpada orang Batak Pakpak. Seperti halnya juga dengan penjualan tanah, pembelian tanah, dan proses pinjaman masyarakat ke Bank. Tanda tangan raja tanah yang diwakilkan oleh penatua-penatua suku Batak Pakpak sangat dibutuhkan. Apabila tanda tangan yang diperlukan tidak ada, maka penjualan tanah dan pembelian tanah dianggap tidak sah. Proses pinjaman masyarakat ke Bank dengan cara menggadaikan harta seperti tanah dan rumah juga harus diketahui dan ditandatangani suku Batak Pakpak. Setelah itu segala persyaratan dan proses pencairan dana bisa dilakukan.

Suku Batak Toba sebagai suku pendatang membawa budaya sendiri dan menjalankan budayanya di derah yang bukan daerah dimana suku Batak Toba berasal. Kebudayaan yang dibawa suku Bata Toba akan dipraktekkan ataupun dilaksanakan di daerah migrasinya yaitu desa Bangun. Kuatnya suku Batak Toba dalam mempertahankan kebudayaannya berpengaruh terhadap kebudayaan suku asli desa Bangun yaitu kebudayaan suku Batak Pakpak.

(19)

Hubungan antara kaum mayoritas dan minoritas sering menimbulkan konflik sosial yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat.

3.4. Suku Batak Pakpak di Tanah Pakpak

Suku Batak Pakpak merupakan penduduk asli di desa Bangun. Penduduk asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana dengan status asli sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai suku bangsa bukan pendatang dari daerah lainnya. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa suku pertama yang mendiami desa Bangun yaitu marga Capah. Marga Capah merupakan raja tanah dan pemilik hak ulayat di desa Bangun. Desa Bangun merupakan wilayah kekuasaan yang diberikan nenek moyang suku Batak Pakpak terhadap anaknya yaitu marga Capah.

Suku Batak Pakpak menerima kedatangan suku Batak Toba yang datang berdomisili kedaerah kekuasaan mereka. Untuk bergabung dengan suku Batak Pakpak, tidak ada persyaratan tertentu yang diberikan oleh raja tanah kepada pendatang yang ingin berdomisili di desa Bangun. Tetapi bukan berarti masyarakat pendatang bisa masuk ke daerah dan tinggal menetap begitu saja. Masyarakat pendatang harus memberitahukan kepada penatua dari suku Batak Pakpak untuk bergabung di wilayah mereka. Biasanya terlebih dahulu datang memberitahukan kepada raja tanah Pakpak yang diwakilkan oleh penatua marga Capah selaku orang tertua yang diakui.

(20)

pendatang baru yang ingin bergabung di desa Bangun yang berasal dari berbagai suku. Walaupun demikian bukan berarti masyarakat pendatang baru tidak perlu meminta ijin kepada suku Batak Pakpak karena tidak membeli tanah dari suku Batak Pakpak. Sudah menjadi keharusan bagi suku pendatang harus meminta ijin kepada suku Batak Pakpak sebagai raja tanah di desa Bangun. Baik membeli tanah dari suku asli yaitu suku Batak Pakpak itu sendiri atau pun dari suku lain. Hal ini dikarenakan suku Batak Pakpak sebagai raja tanah sekaligus sebagai raja ni huta.

Suku Batak Pakpak adalah penguasa desa Bangun. Demikian suku Batak Toba menyebutnya. Selain memiliki hak untuk mengijinkan masyarakat yang datang. Suku Batak Pakpak juga memiliki hak untuk mengusir masyarakat yang menentang dan mengganggu ketenangan masyarakat di desa Bangun.

(21)
(22)

BAB IV

HUBUNGAN ANTARA SUKU BATAK TOBA DAN BATAK PAKPAK

4.1. Hak Milik Tanah

Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat dengan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manusia sangat terbatas, sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah. Penggunaan tanah juga sudah memiliki aturan penggunaan, ada pemilik kekuasaan tanah atau yang sering disebut dengan hak ulayat.

Hak ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para masyarakatnya.

(23)

panen yang besar. Sehingga meningkatkan perekonomian suku Batak Toba dan akhirnya perekonomian suku Batak Pakpak jauh tertinggal. Hal ini mendorong banyak dari suku Batak Pakpak yang menjual tanahnya ke suku Batak Toba. Sebelumnya penjualan tanah yang dilakukan masih menggunakan sistem barter atau tulak cakkul. Misalnya seperti si A menukar tanahnya dengan milik si B berupa ayam, beras dan uang.

Di desa ini juga pernah dilakukan sistem pinjam lahan. Suku Batak Toba meminjam lahan suku Batak Pakpak. Suku Batak Toba memberikan hasil panen mereka kepada suku Batak Pakpak saat datang berkunjung kerumah suku Batak Toba. Pemberian hasil panen tersebut dianggap sebagai ucapan terima kasih suku Batak Toba terhadap suku Batak Pakpak karena telah diijinkan menggunakan lahan pertaniannya. Suku Batak Toba membantu suku Batak Pakpak pada saat suku Batak Pakpak mengalami kesulitan. Seperti yang diungkapkan salah seorang informan, suku Batak Pakpak berkunjung ke rumah suku Batak Toba untuk meminjam uang.

Seperti penuturan salah satu informan yang menyatakan :

“Jolma parjolo dison halak Pakpak do, molo hami joma naro do tuson. Molona huboto, ujui na ro do akka oppung na parjolo ro tu huta on. Alana tano di huta on subur do, aha pe neng sisuanon mangolu do. Uju i masa do dison maminjam juma, molo panen ba ilean ma saotik hasil panen i tu halak Pakpak. Baa halaki pe sae ro do martanddang tu jabu, ba molo adong ikan rappak mangan halaki. Olo do muse ro manjalo hepeng, ala porlu. Ba molo adong hepeng ni jolma i, ilean do tu halak Pakpak i. Nianggap ma i hamuliateon niba. Ala nga nipakke tano na.” (Ester Manullang)

(24)

“Orang pertama disini orang Pakpaknya, kalau kami orang pendatangnya disini. Kalau yang kutau, dulu yang datangnya oppung yang pertama datang ke kampung ini. Karena tanah dikampung ini subur, apa pun mau ditanam bisa menghasilkan. Dulu disini ada sistem pinjam lahan, kalau panen ya dikasih lah sikit hasil panen itu sama orang Pakpak. Orang itu pun datang berkunjung kerumah, kalau ada ikan jadi makan bersama. Kadang mereka datang minjam uang, kalau lagi perlu. Kalau pas lagi ada uang, dikasih ke orang Pakpak itu. Uang itu dianggap sebagai ucapan terima kasih. Karena udah dipake tanahnya.” (Ester Manullang)

Penuturan salah seorang informan yang menyatakan sistem pinjam lahan juga didukung oleh penuturan informan yang lainnya seperti berikut :

“Huta on attong parbagianan nami do on sian oppung nami na jolo. Ujui na ro do halak Toba tu huta on. Alana tano di huta on subur do. Halak Toba on hian maminjam juma do tu halak Pakpak, molo panen halaki ilean ma saotik hasil panen i tu halak Pakpak. Molo ro halak Pakpak i tu jabu na dilean halaki mangan, ilean boras. Leleng lam leleng, tano na iula i gabe lak lupa ma. Gabe dang diingot. Baru muse nga mate be akka na maminjam dohot na papinjam hon. Tano i nga dilean be tu akka gelleng na. Gabe tano ni halak Toba ma tano i. Ido mambaen asa gabe adong tano ni halak Toba dison. Halak Toba pe malo muse do, is ttor ipambaeni ma surat ni tano na be.” (Soara Capah)

Artinya :

“Desa ini bagian kami dari oppung kami. Dulu datang orang Toba ke desa ini. Karena tanah di desa ini sangat subur. Orang Toba ini dulu meminjam lahan ke orang Pakpak, kalau orang itu panen dibagilah hasil panennya ke orang Pakpak. Kalau datang orang Pakpak ke rumahnya dikasih makan, dikasih beras. Lama lama, tanah yang digarap itu jadi lupa. Jadi gak diingatnya lagi. Dan orang yang meminjam dan meminjamkan udah meninggal. Tanah itu udah dikasih ke anak-anaknya. Jadi tanah orang Toba lah tanah itu. Itu yang membuat makanya jadi ada tanah orang Toba disini. Orang Toba ini pun pintar, dibuat lah surat tanahnya.” (Soara Capah)

(25)

menganggap lahan pertanian tersebut merupakan tanah yang dipinjam, bukan menjadi hak kepemilikan suku Batak Toba. Akhirnya dalam waktu yang cukup lama, sistem pinjam tanah tersebut dilupakan. Hal tersebut didukung oleh usia yang menua antara pihak-pihak yang bersangkutan. Peminjam lahan dan yang meminjamkan lahan sudah meninggal. Lahan tersebut sudah digarap oleh anak anak suku Batak Toba. Sebelumnya kedua suku tersebut tidak memiliki perjanjian kepemilikan tanah dan berapa tahun tanah itu dipinjam.

Informasi lain menyebutkan bahwa suku Batak Toba menganggap lahan tersebut sudah menjadi lahan mereka, karena mereka telah memberi makan dan uang sebagai bayaran tanah tersebut kepada suku Batak Pakpak. Semua pemberian yang diberikan suku Batak Toba sebelumnya merupakan cicilan pembayaran yang untuk tanah yang dipakai.

Tetapi, tidak semua lahan yang dimiliki oleh suku Batak Toba merupakan lahan yang dipinjam dari suku Batak Pakpak. Dari hasil wawancara yang penulis temukan dilapangan, dulu pembelian tanah terjadi dengan sistem tulak cangkul artinya sistem barter yang dilakukan oleh suku Batak Toba dan Batak Pakpak. Suku Batak Pakpak yang membutuhkan uang atau beras menawarkan tanahnya kepada suku Batak Toba. Apabila kedua belah pihak menyetujuinya, maka transaksi sistem barter dilakukan.

(26)
(27)

termasuk Ibu Capah. Penggunaan tanah Tanah tersebut menjadi milik bersama marga Capah dan semua keputusan tentang tanah tersebut merupakan keputusan bersama suku Batak Pakpak.

Hak kepemilikan tanah masih sangat kuat di desa Bangun, sehingga banyak masyarakat Toba yang sudah mulai mengurus surat tanah atas nama diri sendiri. Untuk menghindari masalah yang terjadi di masa mendatang dan hak kepemilikan tanah bisa dipertanggungjawabkan di masa mendatang.

4.2. Penggunaan Air

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Untuk memenuhi kebutuhan air, sumber air yang digunakan masyarakat desa Bangun berasal dari air hujan, air pancur dan air gunung atau yang sering disebut dengan air pet.

Penggunaan air pancur sebagaitempat masyarakat mengambil air, mandi dan mencuci. Suku Batak Pakpak memiliki hak kepemilikan atas air pancur. Sedangkan suku Batak Toba menggunakan fasilitas air pet yang disediakan oleh pemerintah. Sebelum air pet menggunakan pipa air yang difasilitasi oleh pemerintah ke desa, seluruh masyarakat desa Bangun menggunakan air pancur. Suku Batak Toba dan Batak Pakpak bekerja sama membersihkan, membangun, dan memperbaiki jalannya air. Mereka selalu bergotong royong setiap bulan dan menggunakan air pancur tersebut bersama-sama.

(28)

tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan yang menyatakan bahwa :

“...dang dison aek nami, aek pet do aek nami. Molo pancur on ni halak Pakpak on do on. Molo mate aek nami olo ma ro hami tu pancur on. Halaki pe sering do ro mambuat aek tu pet. Deba do jolma dohot margugu mambayar pembangunan ni aek pet. Jadi dang sude jolma adong aek pet na.”

Artinya :

“...Gak disini air kami, air petnya air kami. Kalo pancur ini punya orang Pakpaknya ini. Kalo air pet mati maulah kami datang ke air pancur ini. Orang Pakpak juga sering datang mengambil air ke pet. Sebagian orangnya yang mau ikut membayar pembangunan air pet ini. Jadi gak semua orang ada air pet nya.

Dari hasil wawancara yang diperoleh, masyarakat yang ikut membayar iuran dan pembangunan bak air mengatakan bahwa air pet tersebut itu miliknya dan merasa keberatan apabila masyarakat lain mengambil air dari pet tersebut. Walaupun yang menggunakannya adalah sesama sukunya atau suku yang lain.

(29)

Gambar 4. Sumber air pet Sumber : dokumentasi pribadi

(30)

mengakibatkan masyarakat yang memiliki hak pribadi dalam pembangunan bak merasa tidak nyaman.

Sebagian besar suku Batak Pakpak masih tetap menggunakan air pancur. Mereka hanya mengambil air dari air pet untuk pengunaan memasak. Selebihnya, mereka memanfaatkan air pancur untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci dan kaskus.

Kelompok suku Batak Pakpak hidup bersama, membentuk pola pemukiman yang memanjang dan berhadapan antar rumah yang satu dengan yang lainnya. Masing-masing rumah berjejer menghadap jalan raya. Segala aktivitas mereka dilakukan disekitar lingkungannya tersebut, seperti belanja keperluan rumah, MCK (mandi cuci kaskus), bahkan lapo tuak juga tersedia untuk mereka. Jadi tidak banyak waktu mereka bersosialisasi dengan masyarakat lain. Aktivitas yang mereka lakukan berhadapan dengan sesama mereka. Tetapi walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat luar untuk bisa bergabung bersama mereka.

4.3. Upacara Adat

(31)

Suku Batak Toba sangat menghargai suku Batak Pakpak sebagai suku asli desa Bangun, sehingga berbagai hal acara yang dilakukan oleh suku Batak Toba, suku Batak Toba selalu mengikutsertakan suku Batak Pakpak. Dalam setiap acara, suku Batak Pakpak mendapat jabbar (bagian) yang berupa daging. Misalnya dalam pesta pernikahan, suku Batak Pakpak menjadi raja na nidapot yang merupakan orang penguasa di daerah tersebut. Kehadiran dan keikutsertaan raja tanah dalam suatu acara dan pesta sangat penting. Kehadiran mereka menjadi kunci kesuksesan berjalannya acara dan pesta.

Apabila ada masyarakat yang mengadakan pesta tanpa meminta ijin kepada raja na nidapot, diakui akan terjadi hal yang merusak dan mengganggu jalannya acara pesta terebut. Seperti kasus salah seorang Jaksa marga Simbolon yang mengadakan pesta tanpa meminta ijin kepada raja na nidapot. Pada saat berlangsungnya acara, tenda pesta yang digunakan jatuh dan terbalik. Masyarakat sekitar meyakini hal tersebut karena tidak menghargai raja na nidapot.

Untuk itu sangat disarankan kepada seluruh masyarakat untuk selalu meminta ijin kepada raja na nidapot. Kemudian raja na nidapot akan mendoakan acara tersebut sehingga berjalan sukses.

(32)

suku Batak Toba. Kedua pengantin tidak menggunakan acara adat Batak Pakpak dan pakaian adat Batak Pakpak. Perubahan adat perkawinan ini disebabkan masyarakat Batak Toba banyak yang tinggal dan bermukim di desa Bangun. Dan yang menjadi faktor pendukung lainnya adalah karena perkawinan yang terjadi antara suku Batak Toba dan Batak Pakpak.

4.4. Agama

Hubungan suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak juga terlihat pada pembagian keagamaan. Dari hasil data lapangan yang ditemukan penulis, hampir seluruhnya masyarakat Batak Toba menganut agama Kristen Protestan. Dan masyarakat Batak Pakpak menganut agama Kristen Katolik. Hal ini mempengaruhi hubungan sosial yang terjadi diantara mereka, bagaimana dan dengan siapa mereka berinteraksi. Di dalam gereja suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki suku yang sama dengan mereka. Sehingga interaksi dengan suku lain hampir tidak ada di gereja. Kesamaan agama mengharuskan kita berinteraksi lebih banyak dengan orang-orang sekitar. Misalnya dalam acara natal, tahun baru, kebaktian, ibadah, dan kegiatan-kegiatan gereja.

(33)

jika dilihat penganut agama Islam sangat kecil. Walaupun demikian terdapat juga sarana mesjid untuk masyarakat yang menganut agama Islam.

4.5. Penggunaan Bahasa

Bahasa adalah hal terpenting dalam menjalin hubungan harmonisasi antara individu yang satu dengan yang lainnya karena tanpa adanya bahasa maka tidak akan terjadi komunikasi. Maka dengan demikian interaksi antara pendatang dan penduduk asli tidak akan bisa hidup berdampingan apabila setiap suku memakai bahasa daerah masing-masing. Oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya konflik yang terjadi akibat salah paham maka dalam suatu daerah yang majemuk memerlukan proses adaptasi bahasa.

Proses adaptasi budaya yang terjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa model adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap penduduk asli, adaptasi yang dilakukan penduduk asli terhadap pendatang dan adaptasi yang tidak dilakukan oleh pihak manapun, dimana masing-masing etnik berdiam diri tanpa melakukan adaptasi. Pada umumnya adaptasi yang sering terjadi adalah adaptasi yang dilakukan oleh penduduk pendatang terhadap adaptasi penduduk asli.

(34)

Walaupun daerah ini didiami oleh beberapa suku yang berbeda. Bahasa yang digunakan antar suku Batak Pakpak adalah bahasa Toba. Mereka belajar dan mahir menggunakan bahasa tersebut. Lain halnya dengan suku Batak Toba yang tidak mengerti dengan bahasa Pakpak. Mereka enggan untuk belajar menggunakan bahasa tersebut. Apabila dalam kelompok atau kumpulan kecil ada suku Batak Pakpak dan Batak Toba, maka mereka menggunakan bahasa Batak Toba. Walaupun dalam kelompok diskusi tersebut mayoritas suku Batak Pakpak. Bahasa Batak Pakpak sangat jarang terdengar, karena sesama orang Batak Pakpak juga banyak tidak menggunakannya. Kita hanya dapat mendengarnya ketika dialog di dalam rumah suku Batak Pakpak atau keluarga kecilnya. Misalnya : antara suami dan isteri yang sama-sama dari suku Batak Pakpak. Bahkan sudah banyak anak yang tidak mengerti bahasa Pakpak. Karena orangtua tidak mengajarkannya dan mata pelajaran Bahasa Pakpak atau Muatan Lokal tidak diajarkan lagi di Sekolah Dasar.

Di bidang pendidikan formal, sampai sekitar tahun 2007 bahasa Pakpak masih dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal di Sekolah Dasar. Buku-buku lama yang bertulisan asli masih ada walaupun sangat jarang. Sekolah Dasar belajar bahasa dan huruf batak Pakpak. Saat ini mata pelajaran muatan lokal telah dihapus dan tidak diajarkan lagi di Sekolah Dasar.

(35)

juga dengan si suami akan menggunakan bahasa Batak Toba saat berbicara dengan si istri.

Demikian halnya dengan suku Batak Toba yang tidak mau tahu dengan bahasa Pakpak. Sebagai daerah kekuasaan suku Batak Pakpak, seharusnya seluruh lapisan masyarakat mampu mengunakan bahasa Batak Pakpak. Sehingga kebudayaan milik suku Batak Pakpak tidak hilang.

Pergaulan sehari-hari anak juga sudah dibatasi oleh orang tua, dengan siapa mereka bermain dan dengan suku apa. Persepsi orang tua yang demikian mempengaruhi hubungan yang terjadi antara suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak. Hal ini tentu membatasi ruang dan gerak yang terjalin antara suku. Khususnya antara anak-anak suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak.

4.6. Hubungan Antara Suku Batak Toba dan Batak Pakpak

Saya memulai penelitian ini dengan tuturan dari Japirin Sihotang seperti berikut :

“ Molo Bangun on desa terbaik do on sakecamatan Parbuluan. Aman do attong ison, so hea olo dison marbadai akka doli-doli. Antar suku pe termasuk denggan do, ale marsisogoan do. Ale dang olo marbadai.

Artinya :

“ Desa Bangun ini merupakan desa terbaik di Kecamatan Parbuluan. Keadaan lingkungan aman dan tenteram. Hubungan antar suku sangat baik, tetapi saling tidak menyukai antar suku. Tidak pernah terjadi pertengkaran antar suku.

(36)

menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik yang terjadi antara suku Toba dan suku Pakpak tidak mengacu kepada perkelahian, perlawanan dan pertentangan dimana dua orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Tetapi konflik yang terjadi adalah konflik batin. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.

Suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak saling tidak menyukai. Ada rasa benci yang muncul dihati masing-masing suku memandang suku lain. Menurut suku Batak Toba, suku Batak Pakpak adalah suku yang tertinggal, tidak mau maju, kolot, tidak berpendidikan. Dan menurut suku Batak Pakpak, suku Batak Toba adalah suku yang keras dan merasa penguasa.

Suku Batak Pakpak menerima kedatangan suku Batak Toba ke daerah kekuasaan mereka dan menjadi bagian dari masyarakat desa Bangun. Tetapi karena keterbatasan dan ketidakberdayaan yang dimiliki oleh suku Batak Pakpak akibat dosa nenek moyang mereka yang diwariskan kepada mereka, sehingga mengakibatkan suku Batak Toba memandang rendah terhadap suku Batak Pakpak.

(37)

Batak Pakpak sampai ke generasi keempat mendapat dosa turunan atas perbuatan nenek moyang suku Batak Pakpak. Sehingga hal yang sulit bagi keturunan Batak Pakpak untuk berkembang. Generasi keempat yang dimaksud bukan keturunan yang keempat setelah nenek moyang mereka memakan daging manusia. Tetapi keturunan yang dimaksud adalah keturunan berlanjut, dimana setiap orang yang memakan daging manusia akan mendapat dosa turunan selama empat keturunan. Apabila hal tersebut masih terjadi setelah empat keturunan, maka dosa turunan kembali diperoleh anak-anaknya sampai keturunan yang keempat.

Dalam hal sekolah, suku Batak Pakpak tidak memiliki niat untuk kuliah atau melanjutkan sekolah. Keinginan yang tidak ada untuk sekolah mengakibatkan generasi suku Batak Pakpak tetap tinggal di desa bersama orangtuanya. Banyak yang tidak memiliki pengalaman karena keinginan untuk pergi merantau dan bersekolah juga tidak ada. Melihat hal ini, suku Batak Toba memandang rendah suku Batak Pakpak. Dikarenakan keinginan anak-anak dari suku Batak Toba yang bersekolah ke luar daerah lebih tinggi dibandingkan anak-anak dari suku Batak Pakpak. Mereka juga melanjutkan perkuliahan ke perguruan tinggi, bekerja di luar kota dan rata-rata menaikkan taraf kehidupan orang tuanya di desa.

(38)

mendasari suku Batak Toba untuk mendeskripsikan suku Batak Pakpak sebagai suku yang tertinggal, tidak berpendidikan, kolot, dan tidak mau maju.

”Hami nga hona dosa turunan sian oppung nami dang boi hami berkembang. Oppung nami hian kanibal do mangallang jagal ni jolma, jadi nga hona dosa. Maol do niat nami neng sikkola dohot lao mangaratto. Molo lao pe mangaratto sek maol asa jadi di pangarattoan ” (Dedy Capah)

Artinya :

“Kami udah kena dosa turunan dari nenek moyang kami gak bisa kami berkembang. Nenek moyang kami dulu kanibal memakan daging manusia, jadi kami udah kena dosa turunan. Sangat sulit niat kami mau sekolah dan pergi merantau. Kalaupun pergi merantau tidak akan jadi apa-apa nanti.” (Dedy Capah)

Dari hasil data lapangan yang diperoleh penulis, suku Batak Pakpak memiliki kesadaran tersendiri atas dosa warisan dari nenek moyang yang ditanggung mereka, sehingga tidak ada kesempatan untuk berkembang dan maju. Rasa ketidakberdayaan yang disadari suku Batak Pakpak membuat mereka untuk diam tidak melakukan respon dan tindakan apa-apa. Sehingga mereka tersisihkan, diminoritaskan suku Batak Toba yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan suku Batak Pakpak. yang hidup bersamanya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan yang berasal dari suku Batak Toba :

”Molo halak Pakpak on maol do maju, ai nga hona dosa turunan halakon sian oppungna. Oppung na hian mangallangi jolma do, diallangi daging ni jolma. Jadi nga hona dosa turunan halakon, makana dang olo maju. Sikkola pe dang, hasea pe dang.” (Ningot Sihombing)

Artinya :

(39)

orang Pakpak ini makanya gak bisa maju. Sekolah pun enggak, sukses pun enggak.” (Ningot Sihombing)

Pendapat suku Batak Toba yang mengatakan bahwa suku Batak Pakpak adalah kanibal, memakan daging manusia dan sudah terkena dosa turunan ternyata diakui oleh suku Batak Pakpak bahwa hal tersebut adalah benar. Dosa turunan yang diperoleh telah membatasi ruang gerak hidup mereka. Sehingga segala aktivitasnya selalu dilandaskan dengan dosa turunan yang diperoleh. Hal tersebut mempengaruhi tingkat kepercayaan diri suku Batak Toba. Sehingga sebelum bertindak suku Batak Pakpak terlebih dahulu selalu merasa tidak mampu.

Lister Berutu dkk menjelaskan bahwa secara politik masyarakat Pakpak telah menjadi ethnic minority dikampung halamannya sendiri, yaitu di Kabupaten Dairi. Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa masyarakat Batak Pakpak disebut sebagai ethnic minority dikampungnya sendiri, yakni :

a. Semakin berkurangnya unsur-unsur budaya Pakpak yang terlihat di Dairi. Hal ini juga diperburuk jumlah penduduk yang mengaku dirinya sebagai orang Pakpak sangat sedikit.

b. Pengakuan identitas yang dihadapi, friksi antar suak dan agama, penguasaan tanah antar marga serta dibarengi oleh gap atau kesenjangan komunikasi antar rakyat dan penguasa (pemerintah) yang menyebabkan ketidaksepakatan antara pandangan mengenai sifat-sifat antropologis dan psikologis Pakpak yang cukup tajam.

(40)

menjadi marga suku lain seperti Toba dan Karo. Contohnya : Tinambunan dan Bancin mengaku Simbolon. Marga Berutu menjadi Sinaga (Toba), Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi Sinulingga (Karo) dan lain sebagainya.

d. Pemakaian bahasa Pakpak terutama sebelum 90 an yang cukup jarang diluar tiga Kecamatan asal Pakpak (Kerajaan, Salak, Sitellu Tali Urang Jehe yang ketiganya sekarang berada dalam wilayah Kabupaten Pakpak Barat). Dimana bahasa Pakpak seharusnya menjadi bahasa pengantar dikota kabupaten seperti bahasa bahasa lokal lainnya seperti Toba di Tarutung/Balige, Karo diKabanjahe. Di desa Bangun sendiri bahasa tobalah yang lebih dominan dan bahkan sudah menjadi bahasa pengantar. Baik dalam keluarga maupun dalam pergaulan sehari-hari. e. Dalam hal pesta adat misalnya upacara perkawinan, pemakaian

pakaian asli juga tidak terlalu sering digunakan. Ditambah lagi dengan adanya kecenderungan menggunakan upacara adat dari suku lain daripada mempertahankan untuk menggunakan adat Pakpak sendiri terutama ketika terjadi perkawinan campuran antara Pakpak dengan Toba atau dengan Karo.

f. Dibidang pendidikan formal, muatan lokal pendidikan di Kabupaten Dairi hingga tahun 1998 belum secara khusus memasukkan pendidikan budaya Pakpak disekolah-sekolah. Hal ini menyebabkan jarangnya terlihat buku-buku yang bertuliskan huruf Pakpak.

(41)

Berpuluh tahun suku Pakpak harus berada dalam naungan gereja etnis batak Toba, yaitu Huria Kristen Batak Prostestan (HKBP). Yang mana suku Pakpak harus beribadah menggunakan liturgi gerejani berbahasa batak Toba. Selanjutnya pada tahun 70an, beberapa gereja mulai menggunakan bahasa Pakpak yang disebut dengan HKBP Simerkata Pakpak. Sulitnya masyarakat Pakpak melepaskan diri dari pengaruh Toba dalam hal agama ini diperparah ketika masyarakat Pakpak harus mengalami kekerasan ketika melakukan gerakan pemisahan diri dari HKBP. Hingga unsur militer menjadi salah satu alat yang ditempuh untuk menghentikan gerakan kemandirian gereja ini. Dikejar dan diintimidasi oleh aparat hingga mereka yang pro pada gerakan ini harus melakukan kebaktian di gedung-gedung non gereja. Pada tahun 1995,usaha untuk mandiri secara gerejani ini pun berhasil dengan dibentuknya Gereja Kristen Pakpak Dairi (GKPPD) yang resmi diakui oleh HKBP.

Beberapa hal yang disebutkan diatas telah menjadikan suku Batak Pakpak menjadi ethnic minority dikampung halamannya sendiri. Dan bisa dilihat dengan yang terjadi sekarang pada suku Batak Toba yang ada di desa Bangun kecamatan Parbuluan kabupaten Dairi.

(42)

Suku Batak Toba memberikan pencitraan serta label yang disematkan pada suku Batak Pakpak. Meskipun hidup harmonis selama puluhan tahun, bukan berarti tidak ada masalah. Suku Batak Pakpak dianggap sebagai orang yang tertinggal, kolot (kampungan), tidak berpendidikan, tidak mau maju. Mereka hanya bisa diandalkan ke ladang karena mereka pekerja keras. Contoh mengenai dinamika hubungan sosial seperti ini digambarkan lagi dalam masyarakat Buton mengenai kelompok Papara (suku Katobengke) yang dahulu distereotipkan kotor, jorok, bau, berkaki besar, dan lain-lain oleh kelompok koumu dan walaka. Kini pada perubahan yang terjadi mereka melakukan perlawanan terhadap stereotip tersebut. Ini adalah salah satu bentuk dinamika hubungan yang terjadi di Buton.

Sedangkan menurut suku Batak Pakpak, suku Batak Toba adalah suku yang keras yang merasa penguasa. Akibat tingginya migrasi dan mobilitas penduduk suku Batak Toba yang hampir mendiami seluruh desa Bangun. Jumlah penduduk desa Bangun yang lebih banyak dibandingkan dengan Batak Pakpak membuat suku Batak Toba merasa lebih kuat dibandingkan suku Batak Pakpak. Suku Batak Pakpak merasa suku Batak Toba ingin menguasai daerah desa Bangun. Menggantikan posisi kekuasaan yang selama ini dimiliki oleh Batak Pakpak.

(43)
(44)

BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk berinteraksi dengan manusia lainnya. Dalam berinteraksi manusia akan membentuk kelompok. Kelompok-kelompok yang terbentuk di dalam masyarakat adalah merupakan bentuk kehidupan yang nyata, individu dapat menghabiskan waktunya dengan berkegiatan, berinteraksi dan melakukan berbagai hal dengan menjadi bagian dalam kelompok. Dengan banyaknya sejumlah kelompok yang terbentuk di masyarakat, maka sangat besar kemungkinan untuk terjadinya interaksi antarkelompok satu dengan yang lainnya. Banyak hal yang dapat terjadi pada interaksi antarkelompok tersebut, dapat berupa interaksi yang positif ataupun negatif.

Hubungan suku yang baik didalamnya terjalin interaksi suku yang baik pula. Untuk mengetahui hubungan suku yang terjadi, harus melihat interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari mempengaruhi kehidupan kekuasaan. Penilaian yang diberikan oleh suatu suku terhadap suku lain berawal dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang yang berhubungan dengan para pelaku dari suku lain.

(45)

tubuh asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup.

Dilihat dari segi jumlah penduduk, kelompok yang menjadi kelompok mayoritas adalah suku Batak Toba dan kelompok minoritas adalah suku Batak Pakpak. Dimana yang menjadi suku asli di daerah tersebut adalah suku Batak Pakpak. dan suku Batak Toba adalah pendatang yang perlahan hampir mendiami seluruh wilayah desa Bangun.

Berdasarkan hasil penelitian, hubungan kelompok suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak mengalami pengelompokan. Pengelompokan suku mempengaruhi hubungan yang terjadi antar suku. Sehingga timbul stereotip yang dimunculkan suku Batak Toba terhadap suku Batak Pakpak. Stereotip ini dilihat dan muncul karena kehidupan masa lalu.

Suku Batak Pakpak tidak menerima stereotip yang diberikan suku Batak Toba kepada mereka. Tetapi mereka sadar bahwa kehidupan mereka dipengaruhi oleh dosa turunan dari nenek moyang mereka yang dulu memakan daging manusia. Atau yang sering disebut dengan kanibal. Suku Batak Pakpak tidak melakukan perlawanan terhadap suku Batak Toba walaupun mereka dianggap rendah oleh suku Batak Toba. Mereka memilih diam, tidak melakukan respon apa-apa agar kehidupan mereka tetap aman dan tidak terjadi konflik antar suku. Akibat dari kebisuan suku Batak Pakpak, akhirnya suku Batak Pakpak mengalami konflik batin.

(46)

mereka membuat strereotip kepada suku Batak Pakpak. Tetapi sebagai masyarakat pendatang sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk menghargai kedudukan suku Batak Pakpak.

Dilihat dari interaksi yang terjadi hubungan antar suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak berjalan sesuai dengan kehidupan kelompok masing-masing suku. Untuk kepentingan-kepentingan bersama mereka tetap bekerja sama. Seperti pada kasus pemilihan kepala desa, suku Batak Pakpak tidak mempermasalahkan siapa pun yang menjadi kepala desa di tanah mereka. Suku Batak Pakpak mau menjadi kepala desa tetapi merasa memiliki keterbatasan akibat dari dosa turunan dari nenek moyang mereka. Sehingga suku Batak Pakpak tidak ikut bersaing dan merebut kursi kepemimpinan. Suku Batak Toba juga bersedia menjadi kepala desa, karena suku Batak Toba merasa mampu memimpin. Dan menyadari keterbatasan yang dimiliki oleh suku Batak Pakpak.

5.2 Saran

(47)

BAB II

GAMBARAN LOKASI DESA BANGUN

2.1. Letak dan Lokasi

Desa Bangun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Jarak Desa Bangun ke Ibukota kecamatan sekitar 7 km, sedangkan jarak Desa ke Ibukota kabupaten sekitar 15 km. Jarak dengan dusun terdekat adalah ± 0 km dan dusun terjauh adalah ±2 km. Desa Bangun merupakan jalan lintas menuju Kecamatan Parbuluan. Desa ini dikenal dengan desa didalan na tigor yang artinya desa dijalan yang lurus,karena jalan lintas di desa ini berbentuk lurus memanjang. Sehingga masyarakat menyebutnya desa didalan na tigor. Rumah penduduk berjejer di sepanjang pinggir jalan mengikuti alur jalan lintas.

(48)

Desa Bangun ini juga merupakan jalan lintas Medan - Kabupaten Samosir. Masyarakat dari Medan menuju Kabupaten Samosir dan sebaliknya menggunakan akses jalan desa Bangun dengan nama trayek Sampri, Dairi transport, PAS, BTN, CKB dan Himpak. Transportasi seperti truk pengangkut hasil bumi masyarakat baik antar desa, antar kota, bahkan antar provinsi juga melintasi desa ini. Masyarakat desa Bangun mengangkut hasil bumi seperti tomat, cabai, sayuran dan tanaman tahunan seperti jeruk dan kopi untuk dijual di pusat pasar kota Sidikalang. Bahkan ada juga yang mengangkut nya sampai ke Medan, Aceh, Pekanbaru, dan kota lainnya.

Secara administratif desa Bangun memiliki batasan wilayah yaitu : sebelah Utara berbatasan dengan sungai Lae Renun, sebelah Selatan berbatasan dengan desa Lae Hole II, sebelah Timur berbatasan dengan desa Lae Hole, dan sebelah Barat berbatasan dengan desa Bangun I. Seluruh wilayah yang berbatasan dengan desa Bangun berada dalam satu kecamatan dan satu kabupaten.

(49)

2.2. Sejarah Desa

Desa Bangun dibentuk pada sekitar tahun 1957-1960 dan berdiri sekitar tahun 1961. Pada dasarnya pembentukan Desa Bangun dibagi menjadi 2 cakupan wilayah yakni Desa Bangun I dan Desa Bangun II, namun karena kedua wilayah belum mampu untuk memiliki sistem pemerintahan sendiri maka kedua wilayah disatukan menjadi satu desa yaitu Desa Bangun dan dipimpin oleh satu orang kepala desa. Pada perkembangannya dilihat dari tingkat penduduk yang sudah semakin bertambah maka pada tahun 2007 Desa Bangun dimekarkan menjadi II desa yaitu Desa Bangun dan Desa Bangun I.

Nama Bangun berasal dari bahasa Indonesia yang artinya bangkit. Hal tersebut karena pada awalnya masyarakat yang tinggal di desa Bangun sangat miskin. Masyarakat hanya menanam sawah untuk memenuhi kebutuhannya. Hasil yang mereka dapatkan relatif sangat sedikit. Untuk memenuhi kebutuhannya, hasil panen tersebut cenderung pas-pasan. Sehingga mereka menganggap nama Bangun sangat tepat. Mereka mendefinisikan nama Bangun untuk generasi penerus yaitu anak-anak mereka agar bangkit dari kemiskinan.

Belum ditemukan dokumen tertulis yang dapat menceritakan secara lebih lengkap dan terperinci tentang sejarah berdirinya Desa Bangun. Akan tetapi dari informasi yang diperoleh berdasarkan wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat diketahui bahwa suku pertama yang mendiami desa Bangun adalah suku Batak Pakpak yaitu marga Capah.

(50)

wilayah kecamatan Salak. Untuk menghindari pertengkaran antar saudara suku Pakpak, orang tua mereka membagi daerah kekuasaan kepada masing-masing anaknya.

Marga Sinamo dan Boangmanalu memiliki daerah kekuasaan di kecamatan Salak. Marga Bako dan Berutu memiliki daerah kekuasaan di kecamatan Sidikalang. Marga Bintang memiliki daerah kekuasaan di desa Bintang atau Pasar Lama. Marga Angkat memiliki daerah kekuasaan di desa Sidiangkat. Marga Lingga memiliki daerah kekuasaan di kecamatan Sumbul. Marga Kudadiri memiliki daerah kekuasaan di kecamatan Sitinjo. Marga Capah memiliki daerah kekuasaan di kecamatan Parbuluan yaitu di desa Bangun. Hal inilah yang mendorong Suku Pakpak menjadi suku pertama yang mendiami desa Bangun yaitu marga Capah.

Sedangkan informasi yang lain mengatakan nenek moyang suku Batak Toba berpindah ke desa Bangun. Dengan alasan tanah di desa Bangun tersebut cukup subur dan mendukung untuk bercocok tanam. Suku Batak Pakpak menerima kedatangan suku Batak Toba untuk tinggal dan melanjutkan kelangsungan hidup di daerah tersebut. Suku Batak Pakpak memberikan pinjaman lahan kepada suku Batak Toba untuk digarap dan ditanami. Kemudian suku Batak Toba membuka lahan dan mendirikan rumah perlindungan yang sangat sederhana. Kesuburan daerah ini menjadi faktor penarik terhadap suku Batak Toba yang lain.

(51)

dipindahkan tidak jauh dari tempat semula di sebuah bukit. Pemindahan bukti sejarah ini terjadi ketika dilakukan pelebaran jalan. Batu tersebut diletakkan didekat tiang listrik tepat dibelakang bukit kecil.

2.3. Luas dan Pembagian Wilayah

Desa Bangun sebagian besar terdiri dari dataran tinggi, berbukit dan miring dengan kemiringan antara 10°- 15°. Ketinggian rata-rata antara 1100 s/d 1200 dpl. Dari sisi tipologinya desa ini dapat digolongkan pada daerah perladangan/tegalan. Dari sisi tingkat perkembangannya dapat diklasifikasikan pada tingkat swadaya.

Desa Bangun mempunyai kedudukan yang strategis karena merupakan lintasan yang menghubungkan antar Kecamatan Parbuluan, Sitinjo, Kabupaten Samosir. Desa ini memiliki luas wilayah yang cukup luas yakni 1015 Ha. Dengan jumlah penduduk 431 KK dan jumlah penduduk 1983 jiwa, yang terdiri dari beberapa suku/etnis diantaranya adalah Suku Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Nias, Jawa, Padang, Flores dan suku Cina yang senantiasa hidup rukun dan damai. Desa Bangun terdiri dari 3 (tiga) Dusun yaitu Dusun I (Bangun Simartolu), Dusun II (Bangun II), Dusun III (Barisan Tigor).

2.4. Kependudukan

2.4.1 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin

(52)

Tabel 2.1

Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin (Dalam satuan jiwa)

No Jenis Kelamin Jumlah

1. Laki-laki 994

2. Perempuan 978

Jumlah 1972

Sumber : Data kepala desa 2016

Suku Batak menganut sistem patrilineal, marga dan keturunan berasal dari pihak ayah. Sehingga dalam sebuah keluarga diharapkan kelahiran anak laki-laki. Walaupun jumlah anak perempuan banyak di dalam sebuah keluarga, tidak menutup harapan dan usaha orangtua untuk mendapatkan anak laki-laki. Karena menurut mereka anak laki-laki adalah generasi penerus.

Bila dilihat pada tabel diatas, tabel terebut menunjukkan bahwa keinginan dan harapan suku Batak Toba untuk memiliki banyak anak laki-laki tidak sesuai dengan kenyataannya. Jumlah anak laki-laki dan anak perempuan memiliki perbedaan yang relatif sangat kecil. Jumlah anak laki-laki dan anak perempuan hampir sama.

2.4.2 Agama

(53)

Tabel 2.2

Jumlah Penduduk Menurut Agama (Dalam satuan jiwa)

Di desa ini hanya terdapat 3 jenis agama yaitu Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Islam. Karena umumnya masyarakat suku Batak Toba memeluk agama Kristen Protestan yaitu sebanyak 1192 jiwa sekitar 60%. Dan suku Batak Pakpak memeluk agama Kristen Katolik sebanyak 732 jiwa sekitar 37%. Sedangkan 48 jiwa sebanyak 2,4% memeluk agama Islam berasal dari suku Batak Pakpak dan Batak Karo.

Sarana ibadah yang ada di Desa Bangun yaitu sebagai berikut :

Tabel 2.3

Jumlah Sarana Ibadah No Jenis Sarana Ibadah Jumlah

1. Gereja 4

2. Mesjid 1

Jumlah 5

Sumber : Data kepala desa 2016

(54)

sarana ibadah yang tersedia sebanyak tiga gedung gereja untuk Kristen Protestan. Dan jumlah penduduk yang beragama Kristen Katolik sebanyak 171 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 732 jiwa yaitu hampir 40%. Dengan jumlah sarana ibadah yang tersedia sebanyak satu gedung gereja. Dan penduduk yang beragama Islam sebanyak 10 KK dengan jumlah penduduk sebanyak 48 jiwa yaitu sekitar 2%. Sarana ibadah yang tersedia sebanyak satu gedung mesjid.

2.4.3 Komposisi Penduduk Menurut Suku Bangsa

Meskipun raja nihuta di Desa Bangun adalah suku Batak Pakpak, akan tetapi mayoritas suku bangsa di desa Bangun adalah suku Batak Toba. Hal ini disebabkan migrasi dan tingginya mobilitas penduduk menyebabkan suku Batak Toba mendiami hampir seluruh desa Bangun. Sedangkan suku Batak Pakpak mendiami sebagian kecil wilayah di Dusun I atau yang sering disebut dengan Bangun Simartolu.

Tabel 2.4

Jumlah Penduduk Menurut Suku Bangsa (Dalam satuan jiwa)

(55)

Bila dilihat pada tabel diatas, jumlah penduduk suku Batak Toba sebanyak 1743 jiwa yaitu 88,4%, suku Batak Pakpak sebanyak 161 jiwa yaitu 8,2%, suku Batak Karo sebanyak 18 jiwa yaitu 0,9%, suku Padang sebanyak 13 jiwa yaitu 0,6%, suku Batak Simalungun sebanyak 6 jiwa yaitu 0,3%, suku Jawa sebanyak 6 orang yaitu 0,3%, suku Nias sebanyak 3 jiwa yaitu 0,2%, dan suku lain-lain seperti Cina, Flores dan India sebanyak 22 jiwa yaitu 1%.

2.4.4 Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk desa Bangun berada di sektor pertanian. Pemanfaatan sektor pertanian berkaitan dengan luasnya lahan kosong yang dapat digunakan untuk budidaya pertanian. Usaha tani yang dilakukan adalah pertanian ladang yaitu kopi. Tetapi banyak juga yang memanfaatkan lahan kosong dengan menanam tanaman muda seperti cabai dan sayuran. Saat ini, sebagian petani kopi sudah mulai mengganti ladang kopi menjadi ladang jeruk. Hal ini diakibatkan ladang kopi tidak menghasilkan buah yang banyak. Harga yang ditawarkan oleh pedagang juga sangat rendah. Banyak petani kopi beralih menjadi petani jeruk. Apalagi saat ini buah jeruk harganya cukup mahal, ditambah lagi ladang jeruk lebih menghasilkan dan menjanjikan kedepannya.

(56)

Tabel 2.5

Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian (Dalam satuan jiwa)

Sumber : Data kepala desa 2016.

Masyarakat di desa ini kecenderungan memiliki mata pencaharian sebagai petani yang berjumlah 649 jiwa yaitu sekitar 63% . Lahan yang subur yang sangat menjanjikan masyarakat untuk bertani. Sebagian kecil masyarakat di desa ini memiliki mata pencaharian sebagai PNS/TNI/POLRI sebanyak 35 jiwa yaitu sekitar 3%. Dan yang memiliki mata pencaharian sebagai wiraswasta sebanyak 157 jiwa yaitu sekitar 15%. Beberapa masyarakat ada juga yang bekerja sebagai tukang gilingan kopi dan beternak yaitu sebanyak 194 jiwa yaitu sekitar 19%.

(57)

2.5. Bahasa

Bahasa pengantar yang digunakan di desa ini adalah bahasa Batak Toba. Tetapi bisa saja kita mendengar bahasa Pakpak saat sesama suku Batak Pakpak sedang berbicara. Bahasa Pakpak hanya dipakai oleh sebagian kecil suku Pakpak. Saat ini anak laki-laki suku Batak Pakpak banyak yang menikah dengan perempuan suku Batak Toba. Ketika anaknya lahir, tentunya si anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibunya. Karena si ibu berasal dari suku Batak Toba, bahasa yang diketahui dan dipakainya adalah bahasa Batak Toba. Sehingga seorang ibu akan mengajari anaknya menggunakan bahasa Batak Toba. Begitu juga dengan si suami akan menggunakan bahasa Batak Toba saat berbicara dengan si istri.

Bahasa Batak Pakpak bisa didengar saat sepasang suami istri yang sama sama berasal dari suku Batak Pakpak sedang berbicara. Tetapi tidak semua pasangan suami istri yang berasal dari suku Batak Pakpak menggunakan bahasa itu. Bahasa Batak Pakpak itu dipakai oleh pasangan suami istri yang sudah lanjut usia. Atau sesama saudara laki-laki maupun perempuan yang memakainya. Karena dulu orang tua mereka masih mengajarkan bahasa Batak Pakpak dalam berbicara. Tetapi ketika terjadi pernikahan dengan antar suku, bahasa Pakpak tidak diajarkan lagi.

(58)

Pakpak. Hal inilah yang mendorong bahasa Batak Pakpak tidak pernah terdengar dan dipakai lagi. Sehingga menyebabkan masyarakat batak Pakpak tidak mengetahui bahasa Batak Pakpak.

Untuk berinteraksi dengan lingkungannya, suku Toba, suku Pakpak, dan suku lainnya menggunakan bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantar. Karena hampir semua masyarakat sudah mengetahui bahasa Batak Toba.

2.6. Sarana dan Prasarana Desa

2.6.1. Sarana Kesehatan dan Jenis Penyakit

Kesehatan merupakan kata kunci yang harus dipedomani, sebab manusia yang sehat yang dapat berpikir dan berbuat untuk pembangunan negara ini. Akan tetapi sebagai manusia suatu waktu pasti terkena penyakit. Menyikapi kondisi tersebut perlu adanya antisipasi melalui pengadaan sarana dan prasarana kesehatan.

Pemenuhan kebutuhan kesehatan di desa Bangun dilengkapi sebanyak 4 sarana kesehatan yaitu pustu atau puskesmas pembantu dan posyandu. Pustu yang tersedia sebanyak satu unit dan posyandu sebanyak 3 unit. Secara terperinci dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.6

Jumlah Sarana Kesehatan

No Uraian Jumlah

1. Pustu 1

2. Posyandu 3

(59)

Penyakit yang sering diderita oleh masyarakat adalah Influenza. Hal ini didukung oleh suhu daerah yang dingin dan cuaca yang tidak menentu. Ketika masyarakat terkena penyakit terlebih dahulu mendapatkan pertolongan dari bidan atau perawat yang menguasai ilmu kesehatan. Untuk jenis penyakit berat seperti tifus dan demam berdarah dibawa ke puskesmas kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Sidikalang.

2.6.2. Sarana Pendidikan dan Angkatan Kerja

Sarana pendidikan yang ada di desa Bangun hanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang berjumlah satu unit dan Sekolah Dasar (SD) satu unit, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang berjumlah satu unit. Sementara sarana pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sama sekali tidak ada. Penduduk setempat harus keluar desa bahkan harus ke ibukota untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Biasanya masyarakat menyekolahkan anaknya ke pusat kota Sidikalang. Tetapi ada juga yang menyekolahkan anaknya ke kecamatan Parbuluan, karena disana juga tersedia Sekolah Menengah Atas (SMA).

Tabel 2.7

Jumlah Sarana Pendidikan

No Uraian Jumlah

1. PAUD 1

2. SD 1

3. SMP 1

(60)

Sarana pendidikan di desa ini sangat terbatas. Masing-masing sarana pendidikan seperti PAUD, SD, SMP hanya berjumlah satu unit. Bagi masyarakat yang ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi seperti SMA, D3 dan S1 harus keluar desa, bahkan keluar kota khususnya kota Medan.

Tabel 2.8

Jumlah Lulusan Tenaga Kerja No Lulusan Tenaga Kerja Jumlah

1 Lulusan S-1 73

Pendidikan di desa Bangun kecamatan Parbuluan kabupaten Dairi tergolong buruk, dilihat dari sedikitnya jumlah penduduk yang telah menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dari total penduduk di desa ini, jumlah penduduk lulusan S1/Diploma berjumlah 137 orang. Dan jumlah penduduk yang telah memenuhi wajib belajar sembilan tahun adalah 372 orang. Sedangkan jumlah penduduk yang lulus SD/ tidak tamat SD/ tidak sekolah sebanyak 739 orang.

Penduduk banyak yang tidak memenuhi wajib belajar sembilan tahun, bahkan yang tidak tamat SD atau bahkan tidak sekolah memiliki angka yang cukup besar yaitu sekitar 579 orang.

(61)

keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan rendahnya penyerapan tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja yang rendah mengakibatkan kesempatan kerja semakin kecil dan terbatas. Padahal tenaga kerja merupakan faktor pendukung perekonomian suatu desa. Untuk memajukan perekonomian desa diperlukan tenaga kerja yang berkualitas.

2.6.3. Sarana Transportasi

Wilayah Desa Bangun tidak terlalu jauh dari ibukota. Untuk menuju ibukota mereka menghabiskan waktu sekitar ± 25 menit menggunakan angkutan umum. Dan menggunakan sepeda motor dibutuhkan waktu sekitar ± 15 menit. Lokasi ini merupakan jalan lintas menuju Kabupaten Samosir sehingga akses masyarakat tidak begitu sulit untuk bepergian. Desa Bangun ini merupakan jalan lintas Medan - Kabupaten Samosir. Masyarakat dari Medan menuju Kabupaten Samosir dan sebaliknya menggunakan akses jalan desa Bangun dengan nama trayek Sampri, Dairi transport, PAS, BTN, CKB dan Himpak. Dan untuk angkutan umum jarak dekat masyarakat menggunakan angkutan umum dengan nomor trayek 88.

2.7. Sumber Air Bersih

(62)
(63)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk, kemajemukan ini ditandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sendiri-sendiri sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa lainnya, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia dan berada di bawah naungan sistem nasional dengan kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Suparlan, 1989:4).

Didalam suatu negara sering kali terdapat berbagai suku bangsa atau kelompok etnis yang berbeda. Di Indonesia misalnya, kita mengenal ada etnis Jawa, Ambon, Madura, Cina, Minang, Batak, dan lain sebagainya. Keberadaan kelompok etnis tersebut tidak selamanya permanen dan bahkan seringkali hilang karena adanya akulturasi.

(64)

Dalam berinteraksi manusia akan membentuk kelompok. Kelompok-kelompok yang terbentuk di dalam masyarakat adalah merupakan bentuk kehidupan yang nyata, individu dapat menghabiskan waktunya dengan berkegiatan, berinteraksi dan melakukan berbagai hal dengan menjadi bagian dalam kelompok. Dengan banyaknya sejumlah kelompok yang terbentuk di masyarakat, maka sangat besar kemungkinan untuk terjadinya interaksi antarkelompok satu dengan yang lainnya. Banyak hal yang dapat terjadi pada interaksi antarkelompok tersebut, dapat berupa interaksi yang positif ataupun negatif.

Demikian halnya dengan kehidupan sosial masyarakat Desa Bangun membentuk sebuah kelompok, terjadi pengelompokan diantara dua suku yang mendiami daerah tersebut. Misalnya : lapo tuak1 tempat antar suku berbeda, suku Batak Pakpak berkumpul di lapo tuak A dan suku Batak Toba di lapo tuak B. Begitu juga dengan air pancur2

Penulis melihat hubungan kelompok yang terjadi antara suku Batak Toba dan Batak Pakpak yang mengalami pengelompokan. Masing-masing suku berinteraksi dengan suku masing-masing. Hal yang menjadi pusat perhatian penulis yaitu terjadinya pengaruh kebudayaan suku Batak Toba terhadap kebudayaan suku Batak Pakpak. Suku Batak Pakpak sebagai suku asli desa

dimana masyarakat mengambil air, mandi dan mencuci. Suku Batak Pakpak memiliki hak sendiri atas air pancur. Sedangkan suku Batak Toba menggunakan fasilitas air gunung yang disediakan oleh pemerintah. Hal ini tidak terjadi karena adanya perjanjian dua suku. Tetapi kehidupan sosial yang secara tidak diatur.

1

Lapo tuak adalah warung tuak. Tempat dijualnya minuman berkadar alkohol. 2

(65)

Bangun telah kehilangan kepercayaan diri untuk menunjukkan identitas budaya asli mereka. Sehingga suku Batak Pakpak menggunakan kebudayaan suku Batak Toba yang telah mendominasi di desa Bangun.

Suku Batak Toba sebagai suku pendatang membawa budaya sendiri dan menjalankan budayanya di daerah yang bukan daerah dimana suku Batak Toba berasal. Kebudayaan yang dibawa suku Batak Toba akan dipraktekkan ataupun dilaksanakan di daerah migrasinya. Kuatnya suku Batak Toba dalam mempertahankan kebudayaannya berpengaruh terhadap kebudayaan suku Batak Pakpak di desa Bangun. Hal ini dapat dilihat dari sistem bahasa yang digunakan suku Batak Toba dan Batak Pakpak adalah bahasa Batak Toba. Selain itu di acara pesta, suku Batak Toba tidak lagi menggunakan pakaian adat atau acara adat suku Batak Pakpak tetapi sudah menggunakan acara adat dan pakaian adat Batak Toba.

Penelitian ini mengkaji tentang hubungan suku Batak Toba dan Batak Pakpak di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Desa Bangun merupakan daerah tanah kekuasaan suku Batak Pakpak yang sering disebut dengan tanah Pakpak. Tingginya mobilitas dan perpindahan penduduk menyebabkan suku Batak Toba menjadi suku mayoritas di desa ini. Suku Batak Toba dan Batak Pakpak cenderung memilih hidup berkelompok. Hal itu tentu mempengaruhi hubungan yang terjadi diantara suku tersebut.

1.2Tinjauan Pustaka

(66)

yang sistematik antara dua orang atau lebih. Relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. Suatu relasi sosial atau hubungan sosial akan ada jika tiap-tiap orang dapat meramalkan secara tepat macam tindakan yang akan datang dari pihak lain terhadap dirinya. Dikatakan sistematik karena terjadinya secara teratur dan berulang kali dengan pola yang sama. Relasi sosial atau hubungan sosial yang terjalin antara individu yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan membentuk suatu pola, pola hubungan ini juga disebut sebagai pola relasi sosial.

Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa relasi sosial merupakan hubungan timbal balik antara yang satu dengan yang lain yang saling mempengaruhi (dalam Astuti,2012).

Relasi sosial dalam masyarakat juga terdiri dari berbagai macam bentuk yaitu sebagai berikut :

1. Relasi atau hubungan sosial asosiatif adalah proses berbentuk kerjasama, akomodasi (pemulihan hubungan baik), asimilasi (kerjasama), dan akulturasi.

(67)

Tetapi terdapat juga gagasan mereka tentang hubungan mereka, konsepsi masing-masing tentang pihak yang lain. Pemahaman dan strategi serta pengharapan yang menuntun perilaku mereka.

Dalam kehidupan manusia tidak lepas dari proses sosial. Di mana proses tersebut merupakan kunci dari kehidupan manusia, yang didalamnya terdapat komunikasi antar manusia. Hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-orang-perorang dengan kelompok manusia inilah yang disebut interaksi sosial (Soekanto, 2006:55). Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama (Soekanto, 1990:67), karena interaksi sosial merupakan suatu kebutuhan tanpa berinteraksi manusia tidak akan dapat hidup terutama dalam masyarakat. Dalam hal ini interaksi yang terjadi adalah interaksi antar kelompok satu dengan kelompok lainnya, yaitu suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak dalam kegiatan sehari-hari yang terjadi di desa Bangun kecamatan Parbuluan kabupaten Dairi.

Manusia dengan berbagai cara selalu mengadakan hubungan antara satu dengan yang lain, secara mendasar fenomena ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu cenderung selalu berkelompok. Setiap kali seseorang mengadakan hubungan dengan orang lain, pada hakekatnya setiap kali itu pula ia telah membentuk dan memasuki kelompok. Demikianlah kehidupan manusia adalah kehidupan kelompok.

(68)

terbatas. Para anggota suatu kelompok sosial tidak harus semuanya berinteraksi secara tatap muka, walaupun kelompok primer seperti itu umum dijumpai dalam masyarakat berskala kecil, yang biasa dikaji oleh para antropolog. Yang mendefinisikan suatu kelompok adalah organisasi internalnya, hubungan para anggotanya dalam perangkat peranan yang saling berkaitan. Jadi para pemegang saham General Metors merupakan kelompok sekunder. Walaupun kebanyakan dari para anggotanya tidak saling berinteraksi, mereka diikat menjadi satu kelompok melalui hubungan mereka dengan manajemen perusahaan ( Roger M keesing, 1992).

Kelompok sosial adalah kesatuan sosial yang terdiri dari kumpulan individu yang hidup bersama dengan mengadakan hubungan timbal balik yang cukup intensif dan teratur, sehingga diharapkan adanya pembagian tugas, struktur, serta norma-norma tertentu yang berlaku. Kelompok sosial merupakan sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola-pola yang telah mapan. Kelompok sosial terbentuk karena adanya naluri manusia yang selalu ingin hidup bersama, namun dalam perkembangan selanjutnya manusia mempunyai kehendak dan kepentingan yang tidak terbatas maka diperlukan kerja sama dan berpikir bersama untuk mencapai tujuan itu ( Syahrial Syarbaini dan Rusdiyanta, 2009).

(69)

memahami suatu kelompok adalah suatu hal yang penting. Semua penggolongan kelompok itu didasarkan pada sudut pandang tertentu yang seolah-olah membaginya menurut ciri-ciri yang ditimbulkan dalam setiap kelompok.

Seorang ahli Sosiologi Indonesia, JBAF Mayor Polak (1966) mengatakan bahwa sikap terhadap “out group” biasanya selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonisme atau antipasti. Perasaan “in group” dan “out group” atau perasaan dalam dan perasaan luar kelompok dapat merupakan dasar suatu sikap yang disebut “etnosentrisme”. Sikap “etnosentris ini” merupakan kecenderungan bahwa anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan-kebiasaan kelompoknya sendiri sebagai sesuatu yang terbaik, apabila dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan kelompok yang lainnya. Atau dalam pengertian lain diartikan sebagai suatu sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan lain dengan mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaannya sendiri. Sikap “etnosentris” ini sering disamakan dengan sikap mempercayai sesuatu, sehingga kadang-kadang sukar sekali bagi yang bersangkutan untuk merubahnya walaupun dia menyadari bahwa sikapnya itu salah.

(70)

Dalam penelitian ini, hubungan kelompok yang dimaksud adalah hubungan timbal balik antar kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial yang lain dan saling mempengaruhi. Bagaimana konsepsi masing-masing tentang pihak yang lain. Pemahaman dan strategi yang menuntun perilaku mereka. Sehingga muncul penilaian dan pencitraan antar suku pada masing-masing suku tersebut. Kelompok sosial yang dimaksud yaitu suku Batak Toba dan suku Pakpak yang menetap di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi yang mempunyai kehendak dan kepentingan yang sama maka diperlukan kerja sama dan berpikir bersama untuk mencapai tujuan itu.

Manusia ditakdirkan sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia berusaha mencukupi semua kebutuhannya untuk kelangsungan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia tidak mampu berusaha sendiri, mereka membutuhkan orang lain. Itulah sebabnya manusia perlu behubungan atau berhubungan dengan orang lain sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial dalam rangka menjalani kehidupannya selalu melakukan hubungan yang melibatkan dua orang atau lebihdengan tujuan tertentu. Hubungan sosial merupakan interaksi sosial yangdinamis yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, ataupunantara individu

dengan kelompok.Hubungan sosial atau hubungan sosial merupakan hubungan

timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi.

Gambar

Gambar 1. Rumah penduduk di sebelah kanan bahu jalan
Gambar 2. Jalan lintas Dolok Sanggul - Sidikalang di desa Bangun
Gambar 3. Tugu marga Capah
Tabel 4.1 Kepemimpinan Kepala Desa Bangun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Melihat besarnya persepsi negatif yang timbul pada masyarakat Suku Batak Toba di Desa Meat kecamatan Tampahan Kabupaten Toba Samosir terhadap kebiasaan mengonsumsi Tuak,

Subyek penelitian adalah orangtua dan anak suku bangsa Batak Toba dan Melayu, yang bertempat tinggal di desa asalnya, yaitu suku bangsa Melayu di desa Bogak, dan suku bangsa

Penulisan skripsi yang berjudul “Makna Sinamot Dalam Penghargaan Keluarga Isteri Pada Sistem Perkawinan Suku Batak Toba (Studi Kasus Pada Masyarakat Batak Toba Kristen Gereja HKBP

Jadi dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak Toba khususnya di desa Tomok pada jaman dahulu segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari itu tidak pernah

Pemakaian eufemisme pada tindak tutur dalam setiap bahasa Batak Toba dan bahasa Pakpak memiliki fungsi menghaluskan ucapan untuk menghargai, menghormati dan menjauhkan bahasa

Hasil penelitian menunjukan bahwa :Masyarakat Batak Toba dengan Pakpak masih memiliki bahasa eufemis atau bahasa halus dalam setiap percakapan pada konteks tertentu. Kata

menstimulasi perkembangan anak melalui permainan tradisional Suku Batak Toba adalah seperangkat kegiatan yang dirancang dalam suatu kegiatan bermain bagi kelompok usia 5-6

Journal of Edcuation Technology and Civic Literacy, 3 1 2022: 9-12 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEMBERIAN MARGA DALAM ADAT SUKU BATAK TOBA DI DESA LIANG JERING KECAMATAN TANAH PINEM