• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industri Alat Pengupas Kulit Buah Kopi Di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi (1965-2006)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Industri Alat Pengupas Kulit Buah Kopi Di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi (1965-2006)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1 Gambaran Umum Desa Bangun

Secara administratif Desa Bangun merupakan salah satu desa yang berada di

Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi. Desa Bangun adalah salah satu desa dari

sebelas desa yang terletak di wilayah Kecamatan Parbuluan dengan batas-batas

wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan : Sungai Lae Renun

 Sebelah Selatan berbatasan dengan : Desa Laehole

 Sebelah Timur berbatasan dengan : Desa Laehole

 Sebelah Barat berbatasan dengan : Desa Parbuluan I

Desa Bangun memiliki luas wilayah 23,65 Km2, dimana penggunaan lahan

terbesar yakni perladangan hal tersebut di karenakan rata-rata penduduk desa ini

bekerja sebagai petani. Desa Bangun memiliki suhu udara yang cukup dingin yaitu

19°C sampai 20°C, dan pada umumnya berada pada ketinggian 1.100 s.d. 1.200 m di

atas permukaan laut dan daerah ini berhawa sejuk dengan udara yang relatif dingin.

Desa Bangun memiliki wilayah topografi yang berbukit-bukit dan hanya sebagian

kecil datar tanahnya.

Desa Bangun Memiliki 3 Dusun didalamnya yaitu:

1. Dusun I Simartolu.

(2)

3. Dusun III Bangun Barisan Tigor

Desa Bangun merupakan pusat pemukiman dan kegiatan penduduk, sebagai

pusat aktivitas manusia yang meliputi pusat pemerintahan, perekonomian dan

pendidikan. Berbagai aktivitas tersebut terus berjalan membentuk budaya dan

karakter sosial masyarakat di Desa Bangun. Karakter Sosial di suatu wilayah akan

dibentuk dan dipengaruhi oleh penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Begitu

juga dengan karakteristik sosial di Desa Bangun yang dipengaruhi oleh penduduknya

yang terdiri dari beberapa suku/etnis didalamnya.

Salah satu penyebab munculnya pemukiman di Desa Bangun ada kaitannya dengan

kemunculan kampung (huta) pertama di Kecamatan Parbuluan pada zaman dahulu yakni

Desa Parbuluan. Menurut cerita nenek moyang desa Parbuluan muncul setelah masuknya

orang Batak Toba, tetapi kapan perpindahan itu terjadi, tidak dapat ditentukan dengan pasti,

tetapi diperkirakan terbentuk lebih dari delapan generasi. Sesuai dengan tradisi adat Batak

Toba, perkiraan urutan generasi ke generasi berikutnya mempunyai arti tersendiri di dalam

pelaksanaan adat istiadatnya. Dari generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda,

memiliki nomor-nomor tersendiri sehingga generasi berikutnya dengan sendirinya bisa

mengetahui urutan/keberadaanya. Urutan ini merupakan tolok ukur di dalam interaksi

sosialnya.

Perpindahan penduduk ke Desa Parbuluan awalnya ketika pemuda marga

Sinaga dan Situmorang yang tinggal di Samosir berladang ke Tele untuk mengambil

kayu api, akan tetapi mereka tidak berhasil kembali ke kampung asalnya karena

(3)

mereka mendirikan sebuah rumah kecil (sopo). Lalu kedua marga inilah yang

menjadi pemilik tanah dan kepala Kampung (Huta) awalnya di desa Parbuluan.

Salah satu aktivitas Sinaga dan Situmorang adalah mencari ikan ke sungai

yang ada di sekitar wilayah yang namanya sungai Parduluan. Dengan kata lain,

Parduluan diambil sesuai keseringan mereka melakukan menjala dan berburu ikan di

sungai tersebut. Setelah itu, mereka memulai pola hidup untuk melangsungkan hidup

mereka yang umumnya dari pertanian. Dahulu mempunyai lahan yang luas menjadi

kebanggaan tersendiri karena disebut sebagai raja tanah, hal tersebut memungkinkan

penyebaran penduduk dari desa Parbuluan ke kampung yang saat ini disebut Desa

Bangun.

Pemerintahan di Desa Bangun telah ada sebelum kedatangan penjajahan

Belanda, walaupun saat itu belum di kenal sebutan wilayah/daerah otonomi tetapi

kehadiran sebuah pemerintahan pada zaman tersebut sudah di rasakan masyarakat

dengan adanya pengakuan terhadap Raja-raja Adat. Pada masa itu pemerintahan di

kendalikan oleh Raja Ekuten/Takal Aur/Kampung/Suak dan Pertaki sebagai raja-raja

adat merangkap sebagai kepala pemerintahan.12 Menurut literatur sejarah, Desa

12

(4)

Bangun pernah menjadi satu bagian dari wilayah pemerintahan di Kabupaten Dairi

yaitu Suak/Aur Keppas yang meliputi wilayah Sitellu Nempu, Silima

Pungga-pungga, Lae Luhung dan Parbuluan. Pada saat ini “Dairi” dipergunakan untuk

menyebutkan nama wilayahnya sedangkan untuk sebutan masyarakatnya istilah yang

lebih populer adalah Pakpak. Kawasan Dairi ini pada zaman pemerintahan kolonial

Belanda, merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam Keresidenan

Tapanuli.13

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus

1945, Belanda masih ingin menjajah kembali di Indonesia. Sementara

undang-undang belum dibentuk, sehingga dikeluarkan Maklumat Presiden No.X tanggal 16

Oktober 1945, tentang pemberian kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional

Indonesia Pusat untuk mempertegas kedudukannya yang dianggap sebagai Dewan

Perwakilan Rakyat, sehubungan dengan itu maka di keluarkan Undang-undang No.1

tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah. Sesuai dengan Undang-undang

tersebut, maka di Dairi di bentuk Komite Nasional Daerah untuk mengatur

pemerintahan.

Berdasarkan surat Residen Tapanuli Nomor 1256 tanggal 12 September 1947,

maka di tetapkanlah Paulus Manurung sebagai Kepala Daerah Tingkat II pertama

Kabupaten Dairi yang mulai di tugaskan pada tanggal 1 Oktober 1947 yang

13

(5)

berkedudukan di Sidikalang.14 Saat itu Dairi menjadi tiga kewedanaan yaitu

Kewedanan Sidikalang, Kewedanaan Simsim, Kewedanaan Kampung Karo, yang

dimana masing-masing memiliki kecamatan di dalamnya yang terhitung berjumlah 8

(delapan) kecamatan. Adapun kedelapan kecamatan tersebut adalah sebagai berikut

15 :

1. Kewedanaan Sidikalang yang dipimpin oleh Jonathan Ompu Tording

Sitohang yang terdiri dari 2 (dua) kecamatan yakni Kecamatan Sidikalang dan

Kecamatan Sumbul.

2. Kewedanan Simsim, yang dipimpin oleh oleh Raja Kisaran Massy Maha

terdiri dari 2 (dua) kecamatan yakni Kecamatan Kerajaan dan Kecamatan

Salak.

3. Kewedanan Karo Kampung yang dipimpin oleh Gading Barkiomeus Pinem

terdiri dari dua kecamatan yakni Kecamatan Tiga Lingga dan Kecamatan

Tanah Pinem.

Setelah mengalami berbagai keadaan, Kecamatan Parbuluan terbentuk melalui

adanya Surat Edaran Mendagri Nomor 218-210 tahun 1982 tentang tata cara

pemebentukan kecamatan dan perwakilan kecamatan terkait Penyelesaian Masalah

Pembentukan Wilayah Kecamatan yang sejalan dengan perkembangan jumlah

penduduk maka pemerintahan di Kabupaten Dairi memiliki 4 (empat) kecamatan

14

Tanggal ini menjadi hari bersejarah dan berdasarkan kesepakatan pemerintah dan masyarakat dikukuhkan sebagai hari jadi kabupaten Dairi melalui keputusan DPRD Kab. Dati II Dairi Nomor 4/K-DPRD/1997 tanggal 26 April 1977.

15

(6)

baru yang sebelumnya berjumlah delapan kecamatan. Total keseluruhan kecamatan di

Kabupaten Dairi berjumlah 12 kecamatan yakni adalah sebagai berikut16 :

1. Kecamatan Sidikalang

2. Kecamatan Sumbul

3. Kecamatan Parbuluan

4. Kecamatan Silalahi Paropo

5. Kecamatan Pegagan Hilir

6. Kecamatan Gunung Sitember

7. Kecamatan Tanah Pinem

8. Kecamatan Tiga Lingga

9. Kecamatan Silima Pungga-pungga

10.Kecamatan Siempat Nempu

11.Kecamatan Kerajaan

12.Kecamatan Salak

Kecamatan Parbuluan termasuk salah satu kecamatan baru yang beribu kota di

Sigalingging yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Sidikalang dan Desa

Bangun menjadi salah satu desa di wilayah kecamatan tersebut serta hingga saat ini

Kecamatan Parbuluan belum mengalami pemekaran.

Jarak Desa Bangun dari ibu kota Kecamatan Parbuluan adalah sejauh 6 Km,

dan jarak dari ibukota Kabupaten Dairi Sidikalang berjarak 14 Km dapat ditempuh

dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Sarana transportasi juga telah ada yang

16

(7)

menghubungkan Desa Bangun dengan beberapa daerah seperti angkutan pedesaan

yakni Terang Raya, Sitra, PSN, SAMPRI dan Bintang Utara, sepeda motor serta

kendaraan pribadi. Angkutan pedesaan ini menghubungkan Desa Bangun dengan

Sidikalang dan Medan serta Pekanbaru. Desa Bangun memiliki letak yang strategis

dimana berada di daerah perlintasan dari Sidikalang ke Kabupaten lain misalnya

Kabupaten Samosir serta Kabupaten Humbahas.

2.2 Keadaan Penduduk

Desa Bangun yang mempunyai lahan pertanian yang luas, pada umumnya

penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan hanya sedikit yang bermata

pencaharian di sektor lain seperti sebagai pegawai negeri dan swasta, pengrajin,

pedagang, dan lain lain.

Sebagai pusat permukiman penduduk desa ini tentunya memiliki kepadatan

penduduk yakni sekitar 3.287 jiwa dengan 663 kepala keluarga pada tahun 2004.17

Jumlah penduduk di Desa Bangun berkembang pesat pada tahun 1981, karena

pemerintah Kabupaten Dairi membangun sebuah sekolah negeri yaitu SMP Negeri 1

Parbuluan di desa ini.18 Hal tersebut meningkatkan populasi penduduk di desa ini

karena adanya pendatang yang menetap di Desa Bangun oleh keberadaan sekolah ini,

karena pada masa tersebut lokasi sekolah jauh di ibukota kabupaten yaitu Sidikalang.

Masyarakat Desa Bangun terdiri dari etnis Batak Toba, Pakpak, Karo, Nias,

dan Simalungun serta lainnya. Etnis yang paling banyak adalah Etnis Batak Toba.

17

BPS Kabupaten Dairi: Kecamatan Parbuluan Dalam Angka 2004.

18

(8)

Bergabungnya berbagai etnis di Desa Bangun memicu hubungan yang saling

mengikat yaitu terjadinya pernikahan antar etnis. Hubungan ini tentunya

menyebabkan terjalinnya kekeluargaan antara etnis yang satu dengan etnis yang lain

sehingga timbul rasa saling menghargai. Etnis Batak Toba lebih banyak yang

mendiami Desa Bangun yang tersebar di seluruh dusun di Desa Bangun, diikuti

Pakpak, Karo, Padang, Jawa dan Simalungun serta Nias juga penduduk bersuku lain

seperti suku Banjar dan lainnya. Hal tersebut menjadikan Desa Bangun menjadi salah

satu desa beragam etnis/suku.

Di Desa Bangun karakter etnis Pakpak terlihat hampir sama dengan Batak

Toba karena ketika mereka berkomunikasi lebih dominan menggunakan Bahasa

Batak Toba. Untuk mengetahui identitas mereka, Pakpak atau Toba, cara terbaik

adalah dengan menanyakan marga sehingga dapat diketahui seseorang itu Pakpak

atau Batak Toba. Pada umumnya masyarakat Batak selalu memiliki Marga. Etnis

Pakpak merupakan suatu kelompok masyarakat yang terdapat di Sumatera Utara.

Etnis Pakpak lebih dominan mendiami wilayah Kabupaten Dairi, oleh karena itu

Kabupaten Dairi sering disebut Tanoh Pakpak. Tidak semua orang Pakpak berdiam di

atas Tanoh Dairi namun mereka juga berdiaspora, meninggalkan wilayahnya dan

menetap di daerah baru. Mereka yang meninggalkan daerah asal membentuk

komunitas baru, mengetahui dan mengakui dirinya berasal dari suku Pakpak, tetapi

sudah menjadi marga si suku lain. Ada juga yang merantau ke wilayah lain tetapi

sudah mengganti nama dan marganya, dengan kata lain merubah identitasnya.

(9)

wilayah baru maka dengan unsur sengaja mengganti suku menjadi Toba dan

mengambil marga Sihotang. Alasan penggantian identitas karena masih banyak yang

belum mengetahui keberadaan etnis Pakpak, sehingga mereka mengganti identitas

dan mengadopsi marga dari etnis Toba.19 Di Desa Bangun marga yang paling banyak

dari Etnis Pakpak adalah marga Capah sedangkan marga dari Batak Toba adalah

marga Sitanggang, Sihombing dan Sagala, dan marga dari Simalungun yakni Munthe

dan Purba.

Di Desa Bangun toleransi terhadap kehidupan beragama cukup tinggi, karena

mereka memeluk agama yang diakui oleh pemerintah dan adanya kebebasan

memeluk agama oleh pemerintah. Dalam hal kepercayaan di Desa Bangun,

masyarakat desa ini juga menganut sistem kepercayaan yang beragam, ada yang

memeluk agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, serta yang lainnya. Namun

sebelum masuknya agama masyarakat menganut suatu sistem kepercayaan yang

disebut Ugama Sipelebegu.

Setelah masuk dan menyebarnya agama di desa ini, maka kepercayaan

terhadap roh-roh nenek moyang ataupun terhadap benda-benda tertentu yang

dianggap sebagai tuhan mulai mengalami pengurangan dan masyarakat mulai

menganut agama yang mereka yakini.20 Penduduk Desa Bangun memeluk agama

Kristen lebih dari setengah jumlah penduduk yakni sebanyak 2860 jiwa, diikuti oleh

Agama Katolik dan Islam. Walaupun mayoritas penduduknya beragama Kristen

19

Wawancara, Darwin Alboin Kudadiri (KepalaDesa Sitinjo), Desa Sitinjo, 22 Maret 2017.

20

(10)

namun hubungan antar umat beragama sangat baik, diantara umat beragama tersebut

mereka saling membaur dan bekerja sama.

Pendidikan mempunyai peran penting dalam mendukung proses perencanaan

dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang kehidupan masyarakat. Kualitas

sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Peningkatan

kualitas sumber daya manusia merupakan kebutuhan pokok untuk mengahadapi

kehidupan dimasa yang akan datang. Pendidikan mempunyai peran penting sebagai

tolak ukur dalam kesejahteraan penduduk. Perencanaan pendidikan yang baik serta

didukung sarana dan prasarana yang memadai akan menghasilkan kualitas sumber

daya manusia (SDM) yang dapat mengembangkan daerah.

Tingkat pendidikan yang tinggi memiliki dampak yang besar terhadap

kualitas sumber daya manusia, dengan meningkatnya jenjang pendidikan dalam

penduduk di suatu daerah maka kualitas daerah tersebut juga akan ikut meningkat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun

2004, tingkat pendidikan di Desa Bangun sudah cukup baik dan berkembang. Hal

tersebut terlihat dari sudah banyaknya penduduk di desa ini yang mengecap

pendidikan minimal SD dari umur 7 (tujuh) tahun sampai umur 19 (Sembilan belas)

tahun sebanyak 792 jiwa, sementara itu masih ada penduduknya yang tidak sekolah

yakni sebanyak 61 jiwa dari total 853 jiwa keseluruhan penduduk yang berumur 7

sampai 19 tahun. Hal tersebut karena kesulitan perekonomian sehingga tidak dapat

memenuhi biaya pendidikan yang mahal dan juga sarana pendidikan yang masih

(11)

Mata pencaharian penduduk Desa Bangun sebagian besar berada pada sektor

agraris atau pertanian sesuai dengan letak daerahnya yang berada pada daerah

berbukit-bukit serta tanah subur yang mendukung. Hampir setengah dari jumlah

penduduk bahkan lebih bermata pencaharian sebagai petani.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi pada tahun 2004

bahwa sebagian besar penduduk di Desa Bangun memiliki sumber mata pencaharian

sebagai petani yakni sebanyak 1270 jiwa, diikuti pekerjaan dibidang

usaha/wiraswsata yakni sebanyak 76 jiwa, PNS/TNI/POLRI sebanyak 37 jiwa,

sementara pekerjaan lain yakni sebagai pedagang di pasar, penjahit, buruh dan

lain-lain sebanyak 58.

2.3 Sarana dan Prasarana di Desa Bangun

Untuk melaksanakan ibadah, setiap umat beragama membutuhkan sarana

peribadahan, demikian juga halnya dengan penduduk Desa Bangun. Sarana untuk

melaksanakan kegiatan keagamaan atau rumah ibadah sesuai dengan agama

masing-masing. Sarana tempat ibadah yang paling banyak ditemui di Desa Bangun adalah

Gereja karena sesuai dengan jumlah penduduk desa yang mayoritas memeluk agama

Kristen. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi pada tahun

2004 di Desa Bangun, jumlah sarana beribadah di Desa Bangun ada 6 (enam) unit,

satu unit Mesjid, 5 (lima) unit gereja Katolik dan gereja Protestan.

Di Desa Bangun telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan untuk mendukung

kemajuan tingkat pendidikan penduduk, dimana terdapat 4 (empat) sarana pendidikan

(12)

pengajar dan gedung sekolah. Di Desa Bangun terdapat 3 gedung sarana pendidikan

yang terdiri dari 2 unit SD, dan 1 unit SLTP, sedangkan dalam sarana kesehatan di

Desa Bangun juga telah ada untuk mendukung peningkatan kesehatan penduduk.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik kabupaten Dairi pada tahun 2004 di Desa

Bangun juga sudah berdiri Gedung-gedung kesehatan sebanyak 5 unit yang terdiri

dari 1 unit PUSTU, dan 4 unit POSYANDU.

2.4 Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Bangun

Di Desa Bangun hubungan masyarakat terjalin dengan baik dan harmonis baik

antar etnis maupun sesama. Hal ini di buktikan dengan adanya perkumpulan atau

organisasi dalam masyarakat di desa ini seperti Kelompok Tani, Kelompok Ibu PKK

dan sistem gotong royong (STM) yang biasanya di berlakukan dalam suatu pesta

adat, dimana semua masyarakat saling membantu dalam proses kelancaran pesta adat

tersebut. Di desa ini juga terjadi pernikahan antar etnis seperti Marga Sagala (Batak)

yang menikah dengan Boru21 Capah (Marga Pakpak) dan biasanya adat yang di pakai

adalah adat pihak pria.

Masyarakat Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak, memiliki

perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan nenek moyang.

Struktur dan sistem sosial tersebut mengatur tata hubungan sesama anggota

masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga,

maupun beda marga serta masyarakat umum. Struktur sosial yang dimiliki

21

(13)

masyarakat Batak Toba pada hakikatnya berdasarkan garis keturunan bapak

(patrilineal) yang memiliki tiga unsur struktur sosial yang lebih dikenal dengan

sebutan Dalihan Na Tolu.22

Dalihan Na Tolu adalah bentuk sistem kekerabatan Suku Batak Toba. Dalihan

merupakan tungku batu untuk meletakkan kuali di perapian, Jadi Dalihan Na Tolu

artinya tungku yang terdiri dari tiga, sebagai lambang kiasan aturan dan sikap hidup

Suku Batak Toba sehari-hari dalam hubungan sosial dalam adat Batak. Inilah yang

dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara

sesama yang bersaudara, dengan Hula-Hula dan Boru. Perlu keseimbangan yang

absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut

harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi

boru, dan pernah menjadi dongan tubu.

Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional

sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama,

ketiga hal tersebut adalah seperti di bawah ini:

1. Somba Marhula-hula (hormat kepada Hula-hula). Hula-hula adalah

kelompok keluarga pihak marga istri, pihak pemberi istri. Hula-hula

22

(14)

ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber

hagabeon/keturunan.

2. Elek Marboru (lemah lembut tehadap boru/perempuan). Boru adalah keluarga

marga laki-laki, pihak penerima wanita. Sikap lemah lembut terhadap boru

perlu, tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

3. Manat mardongan tubu/sabutuha, teman semarga, kaum kelompok yang satu

marga (dongan=teman, sabutuha=satu perut). Suatu sikap berhati-hati

terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan

acara adat.

Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling

menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral saling menghargai

dan menolong. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak. Hal ini yang

menyebabkan diperlukannya pemahaman mengenai Dalihan Na Tolu oleh setiap

individu dalam masyarakat Batak Toba. Sistem kekerabatan juga memegang peranan

penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu ataupun

individu dengan masyarakat lingkungannya. Dari sistem ini biasanya bersumber

masalah lain dalam sistem kemasyarakatan, seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup

setempat dan stratifikasi sosial.

Dalihan Na Tolu juga di terapkanbagi sub-sub Batak. Dalihan Na Tolu bukan

sekedar tungku berkaki tiga untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh

kehidupan yang bersumber dari dapur. Adapun istilah Dalihan bagi sub-sub Batak

(15)

menyebutnya Daliken sedangkan bagi Batak Toba, Simalungun, Angkola,Padang

Lawas, Sipirok, Mandailing istilahnya adalah Dalihan. 23 Pada kalangan etnis Pakpak

Dalihan Na tolu di sebut dengan Daliken Si Tellu yaitu:

1. Kula-kula (pemberi anak gadis)

2. Dengan Sebeltek (teman semarga)

3. Berru (penerima anak gadis).

. Pada umumnya perkawinan Batak Toba adalah monogami. Tetapi karena

faktor keturunan laki-laki dianggap penting membawa garis keturunan, maka apabila

sebuah keluarga di dalam perkawinan belum mempunyai anak laki-laki sering sekali

terjadi poligami yang tujiuannya agar garis keturunan tetap berlanjut. Perkawinan

sangat erat kaitannya dengan keluarga, sedang perceraian sangat jarang terjadi dan

sejauh mungkin di usahakan jangan sampai terjadi.

Hal ini terjadi karena adat. Bila seorang istri yang diceraikan suaminya

cenderung tidak akan mempunyai hubungan lagi dengan keluarga laki-laki baik anak

sendiri, maupun keluarga lain. Berpoligami sebenarnya sangat tidak diinginkan di

dalam status sosial pada masyarakat Batak Toba. Dalam kehidupan sehari-hari orang

yang berpoligami selalu kurang mendapat penghargaan dari masyarakat sekitar dan

juga status sosialnya dianggap kurang baik.

23

(16)

Pandangan masyarakat Batak Toba bahwa anak (laki-laki dan perempuan)

merupakan harta yang paling berharga baginya di dalam keluarga. Hal ini dapat di

lihat dari semboyan di masyarakatnya yaitu anakhonki do hamoraon di au (anak

adalah kekayaan yang di miliki). Keturunan-keturunan dari orang yang berpoligami

dalam kenyataannya lebih banyak menderita karena percekcokan antara anak pihak

istri yang pertama dengan pihak istri kedua.

Dengan demikian pada prinsipnya masyarakat Batak Toba tidak

menginginkan adanya poligami dari pihak suami, kecuali jika tidak ada keturunan,

apalagi tidak mempunyai keturunan laki-laki yang dianggap anak laki-laki merupakan

penerus kesinambungan secara genetika, tetapi pada dasarnya tetap

Referensi

Dokumen terkait

kedisiplinan kerja karyawan pada Kantor PDAM Tirtanadi Provinsi

dasar. Model ini membuat siswa menjadi aktif dalam pembelajaran dan membuat siswa lebih mengetahui aplikasi dari materi yang akan disampaikan melalui gambar. Selain itu

Menurut pernyataan dari informasi Guru kelas IV SDN Gugus Ismaya, diperoleh informasi bahwa hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) materi globalisasi masih rendah,

PERANAN KEDISIPLINAN KERJA KARYAWAN PADA KANTOR PDAM TIRTANADI PROVINSI SUMATERA

Koperasi Teratai Mandiri telah menjadi bangun usaha yang sangat besar, menjadi sentral ekonomi anggota, menjadi wadah ekonomi yang sehat dan menguntungkan dengan

JUDUL : TAHIR PEROLEH GELAR DOKTOR HC MEDIA : RADAR JOGJA. TANGGAL : 23

Abstrak. Tindak tutur percakapan merupakan sebuah tindakan manusia yang dilakukan hampir pada semua aktifitas. Menurut Austin tindak tutur terdiri dari tindak lokusi yaitu

S:Klien katakana masih sulit untuk beraktivitas O:Pasien tampak bisa melakuan latihan ROM aktif/pasif sacara perlahan A:Masalah belum teratasi P:Intervensi dilanjutkan. S:Klien