BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
2.1 Gambaran Umum Desa Bangun
Secara administratif Desa Bangun merupakan salah satu desa yang berada di
Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi. Desa Bangun adalah salah satu desa dari
sebelas desa yang terletak di wilayah Kecamatan Parbuluan dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan : Sungai Lae Renun
Sebelah Selatan berbatasan dengan : Desa Laehole
Sebelah Timur berbatasan dengan : Desa Laehole
Sebelah Barat berbatasan dengan : Desa Parbuluan I
Desa Bangun memiliki luas wilayah 23,65 Km2, dimana penggunaan lahan
terbesar yakni perladangan hal tersebut di karenakan rata-rata penduduk desa ini
bekerja sebagai petani. Desa Bangun memiliki suhu udara yang cukup dingin yaitu
19°C sampai 20°C, dan pada umumnya berada pada ketinggian 1.100 s.d. 1.200 m di
atas permukaan laut dan daerah ini berhawa sejuk dengan udara yang relatif dingin.
Desa Bangun memiliki wilayah topografi yang berbukit-bukit dan hanya sebagian
kecil datar tanahnya.
Desa Bangun Memiliki 3 Dusun didalamnya yaitu:
1. Dusun I Simartolu.
3. Dusun III Bangun Barisan Tigor
Desa Bangun merupakan pusat pemukiman dan kegiatan penduduk, sebagai
pusat aktivitas manusia yang meliputi pusat pemerintahan, perekonomian dan
pendidikan. Berbagai aktivitas tersebut terus berjalan membentuk budaya dan
karakter sosial masyarakat di Desa Bangun. Karakter Sosial di suatu wilayah akan
dibentuk dan dipengaruhi oleh penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Begitu
juga dengan karakteristik sosial di Desa Bangun yang dipengaruhi oleh penduduknya
yang terdiri dari beberapa suku/etnis didalamnya.
Salah satu penyebab munculnya pemukiman di Desa Bangun ada kaitannya dengan
kemunculan kampung (huta) pertama di Kecamatan Parbuluan pada zaman dahulu yakni
Desa Parbuluan. Menurut cerita nenek moyang desa Parbuluan muncul setelah masuknya
orang Batak Toba, tetapi kapan perpindahan itu terjadi, tidak dapat ditentukan dengan pasti,
tetapi diperkirakan terbentuk lebih dari delapan generasi. Sesuai dengan tradisi adat Batak
Toba, perkiraan urutan generasi ke generasi berikutnya mempunyai arti tersendiri di dalam
pelaksanaan adat istiadatnya. Dari generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda,
memiliki nomor-nomor tersendiri sehingga generasi berikutnya dengan sendirinya bisa
mengetahui urutan/keberadaanya. Urutan ini merupakan tolok ukur di dalam interaksi
sosialnya.
Perpindahan penduduk ke Desa Parbuluan awalnya ketika pemuda marga
Sinaga dan Situmorang yang tinggal di Samosir berladang ke Tele untuk mengambil
kayu api, akan tetapi mereka tidak berhasil kembali ke kampung asalnya karena
mereka mendirikan sebuah rumah kecil (sopo). Lalu kedua marga inilah yang
menjadi pemilik tanah dan kepala Kampung (Huta) awalnya di desa Parbuluan.
Salah satu aktivitas Sinaga dan Situmorang adalah mencari ikan ke sungai
yang ada di sekitar wilayah yang namanya sungai Parduluan. Dengan kata lain,
Parduluan diambil sesuai keseringan mereka melakukan menjala dan berburu ikan di
sungai tersebut. Setelah itu, mereka memulai pola hidup untuk melangsungkan hidup
mereka yang umumnya dari pertanian. Dahulu mempunyai lahan yang luas menjadi
kebanggaan tersendiri karena disebut sebagai raja tanah, hal tersebut memungkinkan
penyebaran penduduk dari desa Parbuluan ke kampung yang saat ini disebut Desa
Bangun.
Pemerintahan di Desa Bangun telah ada sebelum kedatangan penjajahan
Belanda, walaupun saat itu belum di kenal sebutan wilayah/daerah otonomi tetapi
kehadiran sebuah pemerintahan pada zaman tersebut sudah di rasakan masyarakat
dengan adanya pengakuan terhadap Raja-raja Adat. Pada masa itu pemerintahan di
kendalikan oleh Raja Ekuten/Takal Aur/Kampung/Suak dan Pertaki sebagai raja-raja
adat merangkap sebagai kepala pemerintahan.12 Menurut literatur sejarah, Desa
12
Bangun pernah menjadi satu bagian dari wilayah pemerintahan di Kabupaten Dairi
yaitu Suak/Aur Keppas yang meliputi wilayah Sitellu Nempu, Silima
Pungga-pungga, Lae Luhung dan Parbuluan. Pada saat ini “Dairi” dipergunakan untuk
menyebutkan nama wilayahnya sedangkan untuk sebutan masyarakatnya istilah yang
lebih populer adalah Pakpak. Kawasan Dairi ini pada zaman pemerintahan kolonial
Belanda, merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam Keresidenan
Tapanuli.13
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945, Belanda masih ingin menjajah kembali di Indonesia. Sementara
undang-undang belum dibentuk, sehingga dikeluarkan Maklumat Presiden No.X tanggal 16
Oktober 1945, tentang pemberian kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional
Indonesia Pusat untuk mempertegas kedudukannya yang dianggap sebagai Dewan
Perwakilan Rakyat, sehubungan dengan itu maka di keluarkan Undang-undang No.1
tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah. Sesuai dengan Undang-undang
tersebut, maka di Dairi di bentuk Komite Nasional Daerah untuk mengatur
pemerintahan.
Berdasarkan surat Residen Tapanuli Nomor 1256 tanggal 12 September 1947,
maka di tetapkanlah Paulus Manurung sebagai Kepala Daerah Tingkat II pertama
Kabupaten Dairi yang mulai di tugaskan pada tanggal 1 Oktober 1947 yang
13
berkedudukan di Sidikalang.14 Saat itu Dairi menjadi tiga kewedanaan yaitu
Kewedanan Sidikalang, Kewedanaan Simsim, Kewedanaan Kampung Karo, yang
dimana masing-masing memiliki kecamatan di dalamnya yang terhitung berjumlah 8
(delapan) kecamatan. Adapun kedelapan kecamatan tersebut adalah sebagai berikut
15 :
1. Kewedanaan Sidikalang yang dipimpin oleh Jonathan Ompu Tording
Sitohang yang terdiri dari 2 (dua) kecamatan yakni Kecamatan Sidikalang dan
Kecamatan Sumbul.
2. Kewedanan Simsim, yang dipimpin oleh oleh Raja Kisaran Massy Maha
terdiri dari 2 (dua) kecamatan yakni Kecamatan Kerajaan dan Kecamatan
Salak.
3. Kewedanan Karo Kampung yang dipimpin oleh Gading Barkiomeus Pinem
terdiri dari dua kecamatan yakni Kecamatan Tiga Lingga dan Kecamatan
Tanah Pinem.
Setelah mengalami berbagai keadaan, Kecamatan Parbuluan terbentuk melalui
adanya Surat Edaran Mendagri Nomor 218-210 tahun 1982 tentang tata cara
pemebentukan kecamatan dan perwakilan kecamatan terkait Penyelesaian Masalah
Pembentukan Wilayah Kecamatan yang sejalan dengan perkembangan jumlah
penduduk maka pemerintahan di Kabupaten Dairi memiliki 4 (empat) kecamatan
14
Tanggal ini menjadi hari bersejarah dan berdasarkan kesepakatan pemerintah dan masyarakat dikukuhkan sebagai hari jadi kabupaten Dairi melalui keputusan DPRD Kab. Dati II Dairi Nomor 4/K-DPRD/1997 tanggal 26 April 1977.
15
baru yang sebelumnya berjumlah delapan kecamatan. Total keseluruhan kecamatan di
Kabupaten Dairi berjumlah 12 kecamatan yakni adalah sebagai berikut16 :
1. Kecamatan Sidikalang
2. Kecamatan Sumbul
3. Kecamatan Parbuluan
4. Kecamatan Silalahi Paropo
5. Kecamatan Pegagan Hilir
6. Kecamatan Gunung Sitember
7. Kecamatan Tanah Pinem
8. Kecamatan Tiga Lingga
9. Kecamatan Silima Pungga-pungga
10.Kecamatan Siempat Nempu
11.Kecamatan Kerajaan
12.Kecamatan Salak
Kecamatan Parbuluan termasuk salah satu kecamatan baru yang beribu kota di
Sigalingging yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Sidikalang dan Desa
Bangun menjadi salah satu desa di wilayah kecamatan tersebut serta hingga saat ini
Kecamatan Parbuluan belum mengalami pemekaran.
Jarak Desa Bangun dari ibu kota Kecamatan Parbuluan adalah sejauh 6 Km,
dan jarak dari ibukota Kabupaten Dairi Sidikalang berjarak 14 Km dapat ditempuh
dengan kendaraan roda dua dan roda empat. Sarana transportasi juga telah ada yang
16
menghubungkan Desa Bangun dengan beberapa daerah seperti angkutan pedesaan
yakni Terang Raya, Sitra, PSN, SAMPRI dan Bintang Utara, sepeda motor serta
kendaraan pribadi. Angkutan pedesaan ini menghubungkan Desa Bangun dengan
Sidikalang dan Medan serta Pekanbaru. Desa Bangun memiliki letak yang strategis
dimana berada di daerah perlintasan dari Sidikalang ke Kabupaten lain misalnya
Kabupaten Samosir serta Kabupaten Humbahas.
2.2 Keadaan Penduduk
Desa Bangun yang mempunyai lahan pertanian yang luas, pada umumnya
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan hanya sedikit yang bermata
pencaharian di sektor lain seperti sebagai pegawai negeri dan swasta, pengrajin,
pedagang, dan lain lain.
Sebagai pusat permukiman penduduk desa ini tentunya memiliki kepadatan
penduduk yakni sekitar 3.287 jiwa dengan 663 kepala keluarga pada tahun 2004.17
Jumlah penduduk di Desa Bangun berkembang pesat pada tahun 1981, karena
pemerintah Kabupaten Dairi membangun sebuah sekolah negeri yaitu SMP Negeri 1
Parbuluan di desa ini.18 Hal tersebut meningkatkan populasi penduduk di desa ini
karena adanya pendatang yang menetap di Desa Bangun oleh keberadaan sekolah ini,
karena pada masa tersebut lokasi sekolah jauh di ibukota kabupaten yaitu Sidikalang.
Masyarakat Desa Bangun terdiri dari etnis Batak Toba, Pakpak, Karo, Nias,
dan Simalungun serta lainnya. Etnis yang paling banyak adalah Etnis Batak Toba.
17
BPS Kabupaten Dairi: Kecamatan Parbuluan Dalam Angka 2004.
18
Bergabungnya berbagai etnis di Desa Bangun memicu hubungan yang saling
mengikat yaitu terjadinya pernikahan antar etnis. Hubungan ini tentunya
menyebabkan terjalinnya kekeluargaan antara etnis yang satu dengan etnis yang lain
sehingga timbul rasa saling menghargai. Etnis Batak Toba lebih banyak yang
mendiami Desa Bangun yang tersebar di seluruh dusun di Desa Bangun, diikuti
Pakpak, Karo, Padang, Jawa dan Simalungun serta Nias juga penduduk bersuku lain
seperti suku Banjar dan lainnya. Hal tersebut menjadikan Desa Bangun menjadi salah
satu desa beragam etnis/suku.
Di Desa Bangun karakter etnis Pakpak terlihat hampir sama dengan Batak
Toba karena ketika mereka berkomunikasi lebih dominan menggunakan Bahasa
Batak Toba. Untuk mengetahui identitas mereka, Pakpak atau Toba, cara terbaik
adalah dengan menanyakan marga sehingga dapat diketahui seseorang itu Pakpak
atau Batak Toba. Pada umumnya masyarakat Batak selalu memiliki Marga. Etnis
Pakpak merupakan suatu kelompok masyarakat yang terdapat di Sumatera Utara.
Etnis Pakpak lebih dominan mendiami wilayah Kabupaten Dairi, oleh karena itu
Kabupaten Dairi sering disebut Tanoh Pakpak. Tidak semua orang Pakpak berdiam di
atas Tanoh Dairi namun mereka juga berdiaspora, meninggalkan wilayahnya dan
menetap di daerah baru. Mereka yang meninggalkan daerah asal membentuk
komunitas baru, mengetahui dan mengakui dirinya berasal dari suku Pakpak, tetapi
sudah menjadi marga si suku lain. Ada juga yang merantau ke wilayah lain tetapi
sudah mengganti nama dan marganya, dengan kata lain merubah identitasnya.
wilayah baru maka dengan unsur sengaja mengganti suku menjadi Toba dan
mengambil marga Sihotang. Alasan penggantian identitas karena masih banyak yang
belum mengetahui keberadaan etnis Pakpak, sehingga mereka mengganti identitas
dan mengadopsi marga dari etnis Toba.19 Di Desa Bangun marga yang paling banyak
dari Etnis Pakpak adalah marga Capah sedangkan marga dari Batak Toba adalah
marga Sitanggang, Sihombing dan Sagala, dan marga dari Simalungun yakni Munthe
dan Purba.
Di Desa Bangun toleransi terhadap kehidupan beragama cukup tinggi, karena
mereka memeluk agama yang diakui oleh pemerintah dan adanya kebebasan
memeluk agama oleh pemerintah. Dalam hal kepercayaan di Desa Bangun,
masyarakat desa ini juga menganut sistem kepercayaan yang beragam, ada yang
memeluk agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, serta yang lainnya. Namun
sebelum masuknya agama masyarakat menganut suatu sistem kepercayaan yang
disebut Ugama Sipelebegu.
Setelah masuk dan menyebarnya agama di desa ini, maka kepercayaan
terhadap roh-roh nenek moyang ataupun terhadap benda-benda tertentu yang
dianggap sebagai tuhan mulai mengalami pengurangan dan masyarakat mulai
menganut agama yang mereka yakini.20 Penduduk Desa Bangun memeluk agama
Kristen lebih dari setengah jumlah penduduk yakni sebanyak 2860 jiwa, diikuti oleh
Agama Katolik dan Islam. Walaupun mayoritas penduduknya beragama Kristen
19
Wawancara, Darwin Alboin Kudadiri (KepalaDesa Sitinjo), Desa Sitinjo, 22 Maret 2017.
20
namun hubungan antar umat beragama sangat baik, diantara umat beragama tersebut
mereka saling membaur dan bekerja sama.
Pendidikan mempunyai peran penting dalam mendukung proses perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang kehidupan masyarakat. Kualitas
sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Peningkatan
kualitas sumber daya manusia merupakan kebutuhan pokok untuk mengahadapi
kehidupan dimasa yang akan datang. Pendidikan mempunyai peran penting sebagai
tolak ukur dalam kesejahteraan penduduk. Perencanaan pendidikan yang baik serta
didukung sarana dan prasarana yang memadai akan menghasilkan kualitas sumber
daya manusia (SDM) yang dapat mengembangkan daerah.
Tingkat pendidikan yang tinggi memiliki dampak yang besar terhadap
kualitas sumber daya manusia, dengan meningkatnya jenjang pendidikan dalam
penduduk di suatu daerah maka kualitas daerah tersebut juga akan ikut meningkat.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun
2004, tingkat pendidikan di Desa Bangun sudah cukup baik dan berkembang. Hal
tersebut terlihat dari sudah banyaknya penduduk di desa ini yang mengecap
pendidikan minimal SD dari umur 7 (tujuh) tahun sampai umur 19 (Sembilan belas)
tahun sebanyak 792 jiwa, sementara itu masih ada penduduknya yang tidak sekolah
yakni sebanyak 61 jiwa dari total 853 jiwa keseluruhan penduduk yang berumur 7
sampai 19 tahun. Hal tersebut karena kesulitan perekonomian sehingga tidak dapat
memenuhi biaya pendidikan yang mahal dan juga sarana pendidikan yang masih
Mata pencaharian penduduk Desa Bangun sebagian besar berada pada sektor
agraris atau pertanian sesuai dengan letak daerahnya yang berada pada daerah
berbukit-bukit serta tanah subur yang mendukung. Hampir setengah dari jumlah
penduduk bahkan lebih bermata pencaharian sebagai petani.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi pada tahun 2004
bahwa sebagian besar penduduk di Desa Bangun memiliki sumber mata pencaharian
sebagai petani yakni sebanyak 1270 jiwa, diikuti pekerjaan dibidang
usaha/wiraswsata yakni sebanyak 76 jiwa, PNS/TNI/POLRI sebanyak 37 jiwa,
sementara pekerjaan lain yakni sebagai pedagang di pasar, penjahit, buruh dan
lain-lain sebanyak 58.
2.3 Sarana dan Prasarana di Desa Bangun
Untuk melaksanakan ibadah, setiap umat beragama membutuhkan sarana
peribadahan, demikian juga halnya dengan penduduk Desa Bangun. Sarana untuk
melaksanakan kegiatan keagamaan atau rumah ibadah sesuai dengan agama
masing-masing. Sarana tempat ibadah yang paling banyak ditemui di Desa Bangun adalah
Gereja karena sesuai dengan jumlah penduduk desa yang mayoritas memeluk agama
Kristen. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi pada tahun
2004 di Desa Bangun, jumlah sarana beribadah di Desa Bangun ada 6 (enam) unit,
satu unit Mesjid, 5 (lima) unit gereja Katolik dan gereja Protestan.
Di Desa Bangun telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan untuk mendukung
kemajuan tingkat pendidikan penduduk, dimana terdapat 4 (empat) sarana pendidikan
pengajar dan gedung sekolah. Di Desa Bangun terdapat 3 gedung sarana pendidikan
yang terdiri dari 2 unit SD, dan 1 unit SLTP, sedangkan dalam sarana kesehatan di
Desa Bangun juga telah ada untuk mendukung peningkatan kesehatan penduduk.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik kabupaten Dairi pada tahun 2004 di Desa
Bangun juga sudah berdiri Gedung-gedung kesehatan sebanyak 5 unit yang terdiri
dari 1 unit PUSTU, dan 4 unit POSYANDU.
2.4 Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Bangun
Di Desa Bangun hubungan masyarakat terjalin dengan baik dan harmonis baik
antar etnis maupun sesama. Hal ini di buktikan dengan adanya perkumpulan atau
organisasi dalam masyarakat di desa ini seperti Kelompok Tani, Kelompok Ibu PKK
dan sistem gotong royong (STM) yang biasanya di berlakukan dalam suatu pesta
adat, dimana semua masyarakat saling membantu dalam proses kelancaran pesta adat
tersebut. Di desa ini juga terjadi pernikahan antar etnis seperti Marga Sagala (Batak)
yang menikah dengan Boru21 Capah (Marga Pakpak) dan biasanya adat yang di pakai
adalah adat pihak pria.
Masyarakat Batak Toba sebagai salah satu sub suku Batak, memiliki
perangkat struktur dan sistem sosial yang merupakan warisan nenek moyang.
Struktur dan sistem sosial tersebut mengatur tata hubungan sesama anggota
masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, kerabat luas, saudara semarga,
maupun beda marga serta masyarakat umum. Struktur sosial yang dimiliki
21
masyarakat Batak Toba pada hakikatnya berdasarkan garis keturunan bapak
(patrilineal) yang memiliki tiga unsur struktur sosial yang lebih dikenal dengan
sebutan Dalihan Na Tolu.22
Dalihan Na Tolu adalah bentuk sistem kekerabatan Suku Batak Toba. Dalihan
merupakan tungku batu untuk meletakkan kuali di perapian, Jadi Dalihan Na Tolu
artinya tungku yang terdiri dari tiga, sebagai lambang kiasan aturan dan sikap hidup
Suku Batak Toba sehari-hari dalam hubungan sosial dalam adat Batak. Inilah yang
dipilih leluhur suku Batak sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara
sesama yang bersaudara, dengan Hula-Hula dan Boru. Perlu keseimbangan yang
absolut dalam tatanan hidup antara tiga unsur. Untuk menjaga keseimbangan tersebut
harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi
boru, dan pernah menjadi dongan tubu.
Dalihan Na Tolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan fungsional
sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama,
ketiga hal tersebut adalah seperti di bawah ini:
1. Somba Marhula-hula (hormat kepada Hula-hula). Hula-hula adalah
kelompok keluarga pihak marga istri, pihak pemberi istri. Hula-hula
22
ditengarai sebagai sumber berkat. Hula-hula sebagai sumber
hagabeon/keturunan.
2. Elek Marboru (lemah lembut tehadap boru/perempuan). Boru adalah keluarga
marga laki-laki, pihak penerima wanita. Sikap lemah lembut terhadap boru
perlu, tanpa boru, mengadakan pesta suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
3. Manat mardongan tubu/sabutuha, teman semarga, kaum kelompok yang satu
marga (dongan=teman, sabutuha=satu perut). Suatu sikap berhati-hati
terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan
acara adat.
Inti ajaran Dalihan Natolu adalah kaidah moral berisi ajaran saling
menghormati (masipasangapon) dengan dukungan kaidah moral saling menghargai
dan menolong. Dalihan Na Tolu adalah suatu bentuk nilai budaya Batak. Hal ini yang
menyebabkan diperlukannya pemahaman mengenai Dalihan Na Tolu oleh setiap
individu dalam masyarakat Batak Toba. Sistem kekerabatan juga memegang peranan
penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu ataupun
individu dengan masyarakat lingkungannya. Dari sistem ini biasanya bersumber
masalah lain dalam sistem kemasyarakatan, seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup
setempat dan stratifikasi sosial.
Dalihan Na Tolu juga di terapkanbagi sub-sub Batak. Dalihan Na Tolu bukan
sekedar tungku berkaki tiga untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh
kehidupan yang bersumber dari dapur. Adapun istilah Dalihan bagi sub-sub Batak
menyebutnya Daliken sedangkan bagi Batak Toba, Simalungun, Angkola,Padang
Lawas, Sipirok, Mandailing istilahnya adalah Dalihan. 23 Pada kalangan etnis Pakpak
Dalihan Na tolu di sebut dengan Daliken Si Tellu yaitu:
1. Kula-kula (pemberi anak gadis)
2. Dengan Sebeltek (teman semarga)
3. Berru (penerima anak gadis).
. Pada umumnya perkawinan Batak Toba adalah monogami. Tetapi karena
faktor keturunan laki-laki dianggap penting membawa garis keturunan, maka apabila
sebuah keluarga di dalam perkawinan belum mempunyai anak laki-laki sering sekali
terjadi poligami yang tujiuannya agar garis keturunan tetap berlanjut. Perkawinan
sangat erat kaitannya dengan keluarga, sedang perceraian sangat jarang terjadi dan
sejauh mungkin di usahakan jangan sampai terjadi.
Hal ini terjadi karena adat. Bila seorang istri yang diceraikan suaminya
cenderung tidak akan mempunyai hubungan lagi dengan keluarga laki-laki baik anak
sendiri, maupun keluarga lain. Berpoligami sebenarnya sangat tidak diinginkan di
dalam status sosial pada masyarakat Batak Toba. Dalam kehidupan sehari-hari orang
yang berpoligami selalu kurang mendapat penghargaan dari masyarakat sekitar dan
juga status sosialnya dianggap kurang baik.
23
Pandangan masyarakat Batak Toba bahwa anak (laki-laki dan perempuan)
merupakan harta yang paling berharga baginya di dalam keluarga. Hal ini dapat di
lihat dari semboyan di masyarakatnya yaitu anakhonki do hamoraon di au (anak
adalah kekayaan yang di miliki). Keturunan-keturunan dari orang yang berpoligami
dalam kenyataannya lebih banyak menderita karena percekcokan antara anak pihak
istri yang pertama dengan pihak istri kedua.
Dengan demikian pada prinsipnya masyarakat Batak Toba tidak
menginginkan adanya poligami dari pihak suami, kecuali jika tidak ada keturunan,
apalagi tidak mempunyai keturunan laki-laki yang dianggap anak laki-laki merupakan
penerus kesinambungan secara genetika, tetapi pada dasarnya tetap