• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Suku Batak Toba Dan Batak Pakpak (Studi Kasus Di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Suku Batak Toba Dan Batak Pakpak (Studi Kasus Di Desa Bangun Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi) Chapter III V"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KELOMPOK SUKU BATAK TOBA DAN BATAK PAKPAK

3.1. Pola Pemukiman

Pola pemukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat

tinggal menetap dan melakukan kegiatan atau aktivitas sehari-harinya. Permukiman dapat diartikan sebagai tempat (ruang) atau suatu daerah dimana

penduduk hidup bersama menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan dan melangsungkan hidupnya. Ada tiga pola pemukiman penduduk dalam hubungannya dengan bentang alamnya, yaitu : (a) Pola

pemukiman memanjang yaitu, pemukiman berupa deretan memanjang karena mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau pantai. (b) Pola pemukiman terpusat

yaitu, pemukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang daerahnya terisolir. (c) Pola pemukiman

tersebar yaitu terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah ini penduduk akan mendirikan

(2)

Pola pemukiman sangat mempengaruhi hubungan yang terjadi antara

kelompok suku. Atau sebaliknya kelompok antara suku mempengaruhi pola pemukiman yang terjadi. Bila dilihat pada peta diatas, pola pemukiman yang terjadi di desa Bangun adalah pola pemukiman membentuk deretan yang

memanjang mengikuti jalan. Pemukiman penduduk berada pada sebelah kiri bahu jalan.

Pada peta diatas kita dapat melihat persebaran suku Batak Toba dan Batak Pakpak. Persebaran suku terlihat mengalami pengelompokan antar suku. Persebaran penduduk tidak merata. Pola pemukiman yang mengelompok dijumpai

didaerah datar yang memungkinkan penduduk mudah membangun rumah. Di daerah yang memiliki sumber air dan jaringan jalan yang baik. Misalnya akses

jalan yang strategis dan sumber air yang dekat. Di dekat akses jalan yang strategis dan sumber air penduduk mudah memperoleh kebutuhannya dari lingkungan sekitar. Apabila dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi pola persebaran

pemukiman, dapat ditarik kesimpulan faktor-faktor umum yang mempengaruhi pola persebaran pemukiman yaitu air, kesuburan tanah, lokasi, kegiatan ekonomi,

dan kultur penduduk.

Suku pertama yang mendiami desa Bangun adalah suku Batak Pakpak, sehingga mereka tentunya mengambil lokasi pemukiman yang baik. Berada dekat

dengan akses jalan yang strategis dan sumber air yang dekat. Persebaran penduduk suku Batak Pakpak berada dekat dengan sumber airpancur dan jalan

(3)

air pancur dan jalan yang strategis. Kemudian disusul oleh suku Batak Pakpak yang lain. Sehingga pola pemukiman suku Batak Pakpak membentuk kelompok dengan sukunya sendiri.

Demikian halnya dengan suku Batak Toba sebagai suku pendatang, suku

Batak Toba mendapat lokasi pemukiman yang tersisa. Jauh dari sumber air dan akses jalan yang tidak strategis. Sehingga lokasi pola pemukiman suku Batak

Toba berbeda dengan suku Batak Pakpak. Suku Batak Toba menempati daerah yang masih kosong yaitu daerah yang berbukit dan miring. Banyak masyarakat pendatang yang memiliki lokasi pemukiman di daerah yang miring dan berbukit,

sehingga tak jarang jalan menuju rumah penduduk memiliki tangga tanah dan menanjak. Seperti yang dikatakan sebelumnya, persebaran penduduk dipengaruhi

sumber air, jalan yang strategis, dan kultur penduduk. Sama halnya dengan suku Batak Toba sebagai suku pendatang akan mengambil lokasi pemukiman yang

(4)

Gambar 1. Rumah penduduk di sebelah kanan bahu jalan Sumber : dokumentasi pribadi

Desa Bangun dinamai dengan jalan Dolok sanggul karena desa ini merupakan jalan lintas yang menghubungkan antara kota Dolok sanggul dengan

Sidikalang . Jalan lintas di desa ini berbentuk lurus memanjang dan rumah penduduk berjejer di sepanjang pinggir jalan mengikuti alur jalan lintas. Apabila

kita melintasi desa ini menuju kota Dolok sanggul, sebagian besar rumah penduduk berada di sebelah kiri bahu jalan. Hal ini karena desa Bangun merupakan daerah pegunungan dan lahan di sebelah kiri bahu jalan lebih datar

dibandingkan lahan disebelah kanan bahu jalan. Lahan disebelah kanan bahu jalan cenderung berbukit dan bergelombang. Sehingga banyak penduduk yang

(5)

rumah. Pemukiman di daerah datar cepat berkembang karena tanpa banyak

halangan.

Gambar 2. Jalan lintas Dolok Sanggul - Sidikalang di desa Bangun Sumber : dokumentasi pribadi

Pembangunan rumah penduduk yang lebih merata di sebelah kiri bahu jalan mengakibatkan lahan yang kosong disebelah kanan bahu jalan lebih banyak.

Sehingga untuk pembangunan selanjutnya yang membutuhkan lahan kosong yang lebih luas seperti gereja, mesjid, sekolah, kantor, dan tugu berada di sebelah kanan

bahu jalan.

Pada peta diatas terlihat tiga simpang yang ada di desa Bangun. Salah satunya adalah simpang Inpres. Ketika berjalan dari kota Sidikalang menuju desa

(6)

Inpres ada bangunan Gereja Kristen Pakpak Dairi di sebelah kanan bahu jalan.

Masyarakat yang menganut Gereja Kristen Pakpak Dairi yang ada di desa ini bukanlah masyarakat Batak Pakpak yang ada di desa tersebut. Tetapi masyarakat yang datang dari desa lain. Tidak diketahui informasi yang memberi alasan

mengapa Gereja Kristen Pakpak Dairi tersebut dibangun di desa yang tidak memiliki penganut dari desa tersebut tetapi penganutnya dari luar desa. Setelah itu

terdapat juga sebuah Pukesmas Pembantu yang berdekatan dengan Mesjid. Puskesmas Pembantu yang tersedia di desa ini hanya satu yaitu berada di Dusun I (Bangun Simartolu). Lokasi Puskesmas Pembantu ini cukup jauh dari lokasi

Dusun II (Bangun II) dan Dusun III (Barisan Tigor). Banyak masyarakat lebih memilih ke luar desa yang berbatasan dengan Dusun II dan Dusun III karena

lokasi yang lebih dekat dengan pemukiman mereka.

Untuk pemeluk agama Islam tersebar di Dusun I (Bangun Simartolu). Sehingga pembangunan mesjid untuk umat beragama Islam dibangun dekat

dengan persebaran penduduknya. Hal ini tentu memudahkan umat yang beragama Islam untuk mengakses tempat beribadah. Sekitar dipertengahan jalan desa, ada

bangunan SMP N 1 Parbuluan. Sekolah ini cukup besar dan luas. Hampir semua masyarakat desa bersekolah disini. Dan dari beberapa luar desa lainnya juga sekolah disini. Bahkan tidak menutup kemungkinan peminat sekolah ini datang

dari kota Sidikalang. Tak jauh dari sekolah ini, kita akan melihat bangunan Gereja Katolik Santo Yosef. Penganut agama Kristen Katolik adalah sebagian besar

berasal dari suku Batak Pakpak. Jumlah penduduk yang menganut agama Kristen Katolik tidak terlalu banyak sehingga sarana gereja hanya satu dan tidak terlalu

(7)

Kemudian kita akan melihat sebuah tugu marga Capah. Tugu ini cukup

besar berwarna putih dipadukan dengan beberapa bagian yang berwarna coklat. Tugu ini tempat dikumpulkannya tulang-belulang nenek moyang beberapa generasi dari marga Capah. Tugu ini berada pada persebaran pemukiman

penduduk marga Capah.

Gambar 3. Tugu marga Capah Sumber : dokumentasi pribadi

Diantara tugu ke pancur hanya ada satu rumah yang membatasi. Itu artinya jarak tugu ke pancur cukup dekat. Pancur tersebut merupakan sumber

(8)

sumber mata air pancur, keduanya berada di Dusun I. Tetapi seiring

bertambahnya penduduk dan tingginya kebutuhan akan air bersih. Pemerintah menyalurkan air gunung dari desa lain melalui penanaman pipa-pipa di depan rumah penduduk di sebelah kiri bahu jalan atau yang sering disebut dengan

dibawah jalan. Kemudian pemerintah juga memfasilitasi beberapa bak air untuk masyarakat atau yang sering disebut dengan air pet. Tetapi jarak antara air pet

yang satu dengan yang lain masih sangat jauh. Akibat tingginya kebutuhan akan air bersih apalagi pada saat musim kemarau, beberapa masyarakat membentuk rencana pembangunan untuk bak air seperti yang difasilitasi pemerintah.

Pembangunan bak air ditujukan kepada masyarakat yang mau menanggung rata semua biaya pembangunan bak air. Jadi hanya untuk beberapa kepala rumah

tangga yang mau dan tidak ada unsur paksaan. Dengan pembayaran pembangunan bak air yang merata oleh beberapa kepala rumah tangga, memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk penggunaan dan perawatan bak air. Bagi masyarakat

yang tidak ikut membayar iuran tidak memiliki hak atas air tersebut. Masyarakat diluar pemilik bak air boleh saja mengambil air dari bak air tersebut. Tetapi tidak

memiliki kebebasan yang sama dengan kelompok pemilik air.

Diseberang pancur, kita menemukan sebuah klinik Gunawan. Disinilah tempat masyarakat berobat. Klinik Gunawan dikunjungi oleh masyarakat yang

diharuskan untuk menginap dan membeli obat. Apabila terkena penyakit ringan seperti influenza dan demam, sebagian besar masyarakat banyak yang meminta

(9)

diperiksa atau pun dicek terlebih dahulu. Hanya ditanyakan kenapa lalu sang ahli

kesehatan meresep obatnya. Dan hasilnya selalu memuaskan pasien.

Untuk pembangunan kantor kepala desa berada di Dusun II. Menurut salah satu informan, pembangunan kantor ini dibuat berada di tengah-tengah desa.

Untuk mendapatkan lahan yang kosong yang luas untuk pembangunan kantor kepala desa sudah cukup sulit. Sebelumnya kantor kepala desa Bangun belum ada

dan semua aktivitas pemerintahan desa dilakukan dirumah kepala desa. Hal ini karena sebelumnya desa Bangun dan desa Bangun I disatukan menjadi satu desa dan satu pemerintahan. Dilihat pada tingkat perkembangan penduduk yang sudah

semakin bertambah pada tahun 2007 desa Bangun dimekarkan menjadi dua desa yaitu desa Bangun dan desa Bangun I. Sehingga mengharuskan pembangunan

kantor kepala desa untuk desa Bangun. Pembangunan kantor kepala desa dilakukan sekitar kurang lebih 6 tahun yang lalu. Pekarangan kantor ini cukup luas. Jalan menuju kantor ini mendaki karena terletak di daerah yang cukup

(10)

3.2. Struktur Pemerintahan

Kepala desa yaitu Japirin Sihotang dengan BPD yang diketuai oleh Ningot Sihombing. BPD ( Badan Permusyawarahan Daerah ) sebagai penengah antara

kepala desa dengan masyarakat. Misalnya dalam sebuah pertemuan/rapat antara kepala desa dengan masyarakat, BPD berfungsi sebagai moderator rapat. Sedangkan sekretaris desa yaitu Romla Capah. Kemudian kepala urusan

pemerintahan umum yaitu Ferdinan Situmorang. Kepala urusan perekonomian dan pembangunan yaitu Budi Situmorang. Kepala urusan keuangan dan

kemasyarakatan yaitu Gabriel Sihotang. Selanjutnya kepala dusun I (Bangun Simartolu) yaitu Walden Sihotang. Kepala dusun II (Bangun II) yaitu Sergius Simanjorang. Kepala dusun III (Barisan Tigor) yaitu Paris Simamora. Semua

(11)

Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan

Keluarga (TP.PKK) dan Karung Taruna.

Selain struktur pemerintahan desa, ada juga organisasi sosial yang lebih sering disebut dengan STM (Serikat Tolong Menolong). Organisasi ini memiliki

peranan yang sangat penting pada kehidupan sosial masyarakat. Sesuai dengan namanya, organisasi ini merupakan organisasi untuk saling tolong menolong antar

masyarakat baik dalam kehidupan suka cita maupun duka cita. Dan adanya rasa senasib dan sepenanggungan antar sesama anggota STM. Tujuan STM ini dibentuk adalah untuk mempererat hubungan kekeluargaan sesama anggota STM

dengan kegiatan pertemuan rutin serta berperan aktif dalam kegiatan sosial dan budaya serta memberi bantuan sebagai perwujudan rasa dan sifat sosial kepada

sesama anggota yang mendapat suka cita maupun duka cita dengan bantuan moral maupun material. Pengurus STM dipilih dan disahkan oleh rapat anggota dengan cara musyawarah dan mufakat serta dipercayakan untuk mengemban tugas dan

(12)

Mulai tahun 1957 ada beberapa kepala desa yang pernah menjabat, yaitu:

Tabel 4.1 Kepemimpinan Kepala Desa Bangun

No Nama Kepala Desa Masa Jabatan 1 Gersom Sihotang 1957 – 1960 Sumber : Data kepala desa 2016

Sejak tahun 1967 - 1996 kepemimpinan kepala desa tidak berdasarkan

pemilihan langsung oleh masyarakat, yaitu pada masa kepemimpinan oleh Gersom Sihotang, Kornelus Situmorang, Sudin Nadeak, Halmanat Sihotang, dan M.H.Capah. Kepala desa dipilih oleh penatua-penatua desa sebagai perwakilan

masyarakat atau yang disebut dengan kepala kampung.

Pertama sekali, kepala desa Bangun adalah orang Toba yaitu Gersom

Sihotang. Beliau sudah menjadi kepala desa sejak desa Bangun dibentuk dan belum berdiri. Kemudian setelah desa Bangun berdiri pada tahun 1961, desa

Bangun dipimpin oleh Kornelus Situmorang. Setelah itu digantikan oleh Sudin Nadeak dan dilanjut oleh Halmanat Sihotang.

Setelah empat periode kepemimpinan kepala desa Bangun dipimpin oleh

suku Batak Toba, berdasarkan kesepakatan para penatua – penatua desa memberikan hak kepemimpinan kepala desa kepada suku Batak Pakpak yaitu

(13)

Pada tahun 1996 pemilihan kepala desa ditetapkan berdasarkan hak suara

dari masyarakat. Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat yang dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sejak masa kepemimpinan Kisaran Togatorop sampai sekarang

pemilihan kepala desa dipilih oleh masyarakat dan berlangsung menurut Undang-Undang.

Bila dilihat pada tabel diatas, posisi kepemimpinan kepala desa Bangun mayoritas suku Batak Toba. Kepala desa dari suku Batak Pakpak hanya berlangsung pada satu periode yaitu yang dipegang oleh M.H.Capah. Masa

kepemimpinan M.H Capah berlangsung sampai 24 tahun. Hal tersebut cukup berbeda dengan masa kepemimpinan suku Batak Toba yang hanya berlangsung

selama 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun atau pun 5 tahun. Setiap beberapa tahun masa kepemimpinan suku Batak Toba selalu digantikan dengan suku Batak Toba yang

lainnya.

Menurut informasi yang diperoleh, sejak pertama desa Bangun dipimpin oleh suku Batak Toba. Dan untuk menghargai suku Batak Pakpak sebagai raja ni huta, suku Batak Toba memberikan kesempatan kepada suku Batak Pakpak untuk memimpin dan menjadi kepala desa. Sehingga M.H. Capah memimpin desa selama 24 tahun. Hal ini karena suku Batak Toba sangat menghargai kedudukan

suku Batak Pakpak sebagai raja ni huta. Didukung lagi karena dari suku Batak Pakpak tidak ada yang mampu menjadi kepala desa menggantikan posisi beliau.

(14)

3.3. Suku Batak Toba di Tanah Pakpak

Desa Bangun biasa juga disebut “Tanah Pakpak” sebab penduduk aslinya adalah orang Pakpak. Suku Batak Toba sebagian besar mata pencahariannya adalah bertani. Jadi mereka sangat tergantung pada tanah atau lahan pertanian

yang akan dijadikan sebagai usaha untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya manusia tidak ingin hidup dengan kondisi kemiskinan dan

manusia tidak ada yang merasa puas terhadap apa yang didapat di dalam hidupnya. Demikian halnya dengan orang Batak Toba yang selalu memegang teguh filosofinya. Bagi mereka filosofi ini harus dapat di wujudkan bagi suku

Batak Toba dimana mereka berada. Adapun filosofi orang Batak Toba adalah hamoraon (kekayaan dan kesejahteraan), hagabeon (mendambakan banyak keturunan) dan hasangapon (kehormatan).

Pertumbuhan penduduk lama kelamaan menyebabkan tekanan terhadap lahan pertanian dan tanah yang dimiliki. Tanah memiliki arti yang sangat penting

bagi suku Batak Toba. Dengan memiliki tanah yang banyak maka akan dipandang masyarakat yang memiliki status sosial tinggi. Setiap orang mendambakan

banyak anak sebagai penerus keturunan. Keinginan ini harus dibarengi banyaknya tanah yang dimiliki. Karena tanah memiliki fungsi ganda yaitu sebagai sumber pencari kehidupan melalui pembukaan lahan pertanian untuk menghidupi anggota

keluarga dan untuk mencapai kepemimpinan dalam arti di sini yaitu kehormatan atas status sosial yang dimiliki.

(15)

pendapatan ekonomi pada suatu keluarga. Keadaan lahan yang tandus

menyebabkan keadaan ekonomi semakin terdesak. Ketidak cukupan lahan untuk menjamin kelangsungan hidup mendorong orang Batak Toba untuk melakukan perluasan-perluasan lahan ke daerah lain. Karena dalam pandangan orang Batak

Toba tanah merupakan lambang kekayaan dan kehormatan yang akan mempertinggi status sosial di tengah-tengah masyarakat, bahkan pandangan ini

sudah mendarah daging dalam kehidupan setiap orang Batak Toba yang merupakan perjuangan hidup mereka. Tanah pada masyarakat Batak Toba berfungsi sebagai lahan pertanian maupun sebagai tanah warisan yang akan

diberikan kepada anak-anaknya jika dia sudah meninggal. Hal inilah yang menjadi faktor pendorong bagi suku Batak Toba melakukan migrasi ke

daerah-daerah lain.

Suku Batak Toba merupakan suku pendatang di desa Bangun. Menurut informasi yang diperoleh, suku Batak Toba yang melakukan migrasi berasal dari

daerah Tapanuli Tengah. Daerah Tapanuli merupakan daerah yang kurang subur, dan semua hasil pertanian, perkebunan serta peternakan sepenuhnya habis

dikonsumsi oleh keluarga dan kebutuhan hidup yang lain sehingga mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi perekonomiannya. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup suku Batak Toba melakukan migrasi ke desa Bangun dengan

alasan tanah di desa Bangun tersebut cukup subur dan mendukung untuk bercocok tanam. Kesuburan daerah ini menjadi faktor penarik terhadap suku Batak Toba

(16)

Sebagai masyarakat pendatang, suku Batak Toba yang ingin menetap atau

berdomisili ke desa Bangun harus meminta ijin terlebih dahulu kepada raja tanah yaitu suku Batak Pakpak. Dengan hasil perundingan dan ijin dari raja tanah, pendatang baru bisa bergabung dan menetap di desa Bangun. Begitu juga halnya

pada acara pesta pernikahan, pesta kematian saur matua, memasuki rumah baru, orang Batak Toba selalu memberi jambar atau bagianpada orang Batak Pakpak.

Seperti halnya juga dengan penjualan tanah, pembelian tanah, dan proses pinjaman masyarakat ke Bank. Tanda tangan raja tanah yang diwakilkan oleh penatua-penatua suku Batak Pakpak sangat dibutuhkan. Apabila tanda tangan

yang diperlukan tidak ada, maka penjualan tanah dan pembelian tanah dianggap tidak sah. Proses pinjaman masyarakat ke Bank dengan cara menggadaikan harta

seperti tanah dan rumah juga harus diketahui dan ditandatangani suku Batak Pakpak. Setelah itu segala persyaratan dan proses pencairan dana bisa dilakukan.

Suku Batak Toba sebagai suku pendatang membawa budaya sendiri dan

menjalankan budayanya di derah yang bukan daerah dimana suku Batak Toba berasal. Kebudayaan yang dibawa suku Bata Toba akan dipraktekkan ataupun

dilaksanakan di daerah migrasinya yaitu desa Bangun. Kuatnya suku Batak Toba dalam mempertahankan kebudayaannya berpengaruh terhadap kebudayaan suku

asli desa Bangun yaitu kebudayaan suku Batak Pakpak.

Jumlah penduduk suku Batak Toba yang lebih banyak daripada suku Batak Pakpak menjadikan suku Batak Toba menjadi suku mayoritas di desa

(17)

Hubungan antara kaum mayoritas dan minoritas sering menimbulkan konflik

sosial yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat.

3.4. Suku Batak Pakpak di Tanah Pakpak

Suku Batak Pakpak merupakan penduduk asli di desa Bangun. Penduduk

asli adalah setiap orang yang lahir di suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap di sana dengan status asli sebagai kelompok etnis yang diakui sebagai

suku bangsa bukan pendatang dari daerah lainnya. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa suku pertama yang mendiami desa Bangun yaitu marga Capah. Marga Capah merupakan raja tanah dan pemilik hak ulayat di desa Bangun. Desa

Bangun merupakan wilayah kekuasaan yang diberikan nenek moyang suku Batak Pakpak terhadap anaknya yaitu marga Capah.

Suku Batak Pakpak menerima kedatangan suku Batak Toba yang datang berdomisili kedaerah kekuasaan mereka. Untuk bergabung dengan suku Batak Pakpak, tidak ada persyaratan tertentu yang diberikan oleh raja tanah kepada

pendatang yang ingin berdomisili di desa Bangun. Tetapi bukan berarti masyarakat pendatang bisa masuk ke daerah dan tinggal menetap begitu saja.

Masyarakat pendatang harus memberitahukan kepada penatua dari suku Batak Pakpak untuk bergabung di wilayah mereka. Biasanya terlebih dahulu datang memberitahukan kepada raja tanah Pakpak yang diwakilkan oleh penatua marga

Capah selaku orang tertua yang diakui.

(18)

pendatang baru yang ingin bergabung di desa Bangun yang berasal dari berbagai

suku. Walaupun demikian bukan berarti masyarakat pendatang baru tidak perlu meminta ijin kepada suku Batak Pakpak karena tidak membeli tanah dari suku Batak Pakpak. Sudah menjadi keharusan bagi suku pendatang harus meminta ijin

kepada suku Batak Pakpak sebagai raja tanah di desa Bangun. Baik membeli tanah dari suku asli yaitu suku Batak Pakpak itu sendiri atau pun dari suku lain.

Hal ini dikarenakan suku Batak Pakpak sebagai raja tanah sekaligus sebagai raja ni huta.

Suku Batak Pakpak adalah penguasa desa Bangun. Demikian suku Batak

Toba menyebutnya. Selain memiliki hak untuk mengijinkan masyarakat yang datang. Suku Batak Pakpak juga memiliki hak untuk mengusir masyarakat yang

menentang dan mengganggu ketenangan masyarakat di desa Bangun.

Seperti pada kasus yang pernah terjadi dengan keluarga Bapak Aritonang (+) yang hampir diusir oleh masyarakat suku Batak Pakpak. Saat itu anak-anak

keluarga bapak Aritonang hampir tiap malam membuat keributan. Mereka saling memukul dan berteriak sekuat-kuatnya. Sebagian besar masyarakat merasa

terganggu, mereka berkumpul dan melihat pertengkaran yang terjadi. Beberapa dari suku Batak Toba mengajukan kepada penatua-penatua dari suku Batak Pakpak untuk segera mengusir mereka. Tetapi dengan kemurahan hati yang

(19)

Kekuasaan yang dimiliki suku Batak Pakpak sebagai raja tanah di desa

Bangun diakui semua masyarakat. baik masyarakat Batak Toba yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan suku Batak Pakpak tetap sangat menghargai posisi

(20)

BAB IV

HUBUNGAN ANTARA SUKU BATAK TOBA DAN BATAK PAKPAK

4.1. Hak Milik Tanah

Dalam kehidupan ini, tanah mempunyai hubungan yang erat dengan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah bukan hanya dalam kehidupannya,

untuk matipun manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai manusia sangat terbatas, sedangkan jumlah manusia yang berhajat dengan tanah semakin lama semakin bertambah. Penggunaan tanah juga sudah

memiliki aturan penggunaan, ada pemilik kekuasaan tanah atau yang sering disebut dengan hak ulayat.

Hak ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama

para masyarakatnya.

Suku Batak Toba membuka lahan dan mendirikan rumah perlindungan

yang sangat sederhana di desa Bangun. Informasi yang diperoleh berdasarkan wawancara dengan penatua-penatua desa diketahui bahwa sebelumnya suku Batak Toba meminjam lahan milik suku Batak Pakpak. Kemudian membuka lahan

persawahan dan tentu lebih banyak yang membuka kebun kopi karena kondisi daerah yang cocok untuk tanaman keras dan tanaman muda. Tanaman kopi

(21)

panen yang besar. Sehingga meningkatkan perekonomian suku Batak Toba dan

akhirnya perekonomian suku Batak Pakpak jauh tertinggal. Hal ini mendorong banyak dari suku Batak Pakpak yang menjual tanahnya ke suku Batak Toba. Sebelumnya penjualan tanah yang dilakukan masih menggunakan sistem barter

atau tulak cakkul. Misalnya seperti si A menukar tanahnya dengan milik si B berupa ayam, beras dan uang.

Di desa ini juga pernah dilakukan sistem pinjam lahan. Suku Batak Toba meminjam lahan suku Batak Pakpak. Suku Batak Toba memberikan hasil panen mereka kepada suku Batak Pakpak saat datang berkunjung kerumah suku Batak

Toba. Pemberian hasil panen tersebut dianggap sebagai ucapan terima kasih suku Batak Toba terhadap suku Batak Pakpak karena telah diijinkan menggunakan

lahan pertaniannya. Suku Batak Toba membantu suku Batak Pakpak pada saat suku Batak Pakpak mengalami kesulitan. Seperti yang diungkapkan salah seorang informan, suku Batak Pakpak berkunjung ke rumah suku Batak Toba untuk

meminjam uang.

Seperti penuturan salah satu informan yang menyatakan :

“Jolma parjolo dison halak Pakpak do, molo hami joma naro do tuson. Molona huboto, ujui na ro do akka oppung na parjolo ro tu huta on. Alana tano di huta on subur do, aha pe neng sisuanon mangolu do. Uju i masa do dison maminjam juma, molo panen ba ilean ma saotik hasil panen i tu halak Pakpak. Baa halaki pe sae ro do martanddang tu jabu, ba molo adong ikan rappak mangan halaki. Olo do muse ro manjalo hepeng, ala porlu. Ba molo adong hepeng ni jolma i, ilean do tu halak Pakpak i. Nianggap ma i hamuliateon niba. Ala nga nipakke tano na.” (Ester Manullang)

(22)

“Orang pertama disini orang Pakpaknya, kalau kami orang pendatangnya disini. Kalau yang kutau, dulu yang datangnya oppung yang pertama datang ke kampung ini. Karena tanah dikampung ini subur, apa pun mau ditanam bisa menghasilkan. Dulu disini ada sistem pinjam lahan, kalau panen ya dikasih lah sikit hasil panen itu sama orang Pakpak. Orang itu pun datang berkunjung kerumah, kalau ada ikan jadi makan bersama. Kadang mereka datang minjam uang, kalau lagi perlu. Kalau pas lagi ada uang, dikasih ke orang Pakpak itu. Uang itu dianggap sebagai ucapan terima kasih. Karena udah dipake tanahnya.” (Ester Manullang)

Penuturan salah seorang informan yang menyatakan sistem pinjam lahan juga didukung oleh penuturan informan yang lainnya seperti berikut :

“Huta on attong parbagianan nami do on sian oppung nami na jolo. Ujui na ro do halak Toba tu huta on. Alana tano di huta on subur do. Halak Toba on hian maminjam juma do tu halak Pakpak, molo panen halaki ilean ma saotik hasil panen i tu halak Pakpak. Molo ro halak Pakpak i tu jabu na dilean halaki mangan, ilean boras. Leleng lam leleng, tano na iula i gabe lak lupa ma. Gabe dang diingot. Baru muse nga mate be akka na maminjam dohot na papinjam hon. Tano i nga dilean be tu akka gelleng na. Gabe tano ni halak Toba ma tano i. Ido mambaen asa gabe adong tano ni halak Toba dison. Halak Toba pe malo muse do, is ttor ipambaeni ma surat ni tano na be.” (Soara Capah)

Artinya :

“Desa ini bagian kami dari oppung kami. Dulu datang orang Toba ke desa ini. Karena tanah di desa ini sangat subur. Orang Toba ini dulu meminjam lahan ke orang Pakpak, kalau orang itu panen dibagilah hasil panennya ke orang Pakpak. Kalau datang orang Pakpak ke rumahnya dikasih makan, dikasih beras. Lama lama, tanah yang digarap itu jadi lupa. Jadi gak diingatnya lagi. Dan orang yang meminjam dan meminjamkan udah meninggal. Tanah itu udah dikasih ke anak-anaknya. Jadi tanah orang Toba lah tanah itu. Itu yang membuat makanya jadi ada tanah orang Toba disini. Orang Toba ini pun pintar, dibuat lah surat tanahnya.” (Soara Capah)

(23)

menganggap lahan pertanian tersebut merupakan tanah yang dipinjam, bukan

menjadi hak kepemilikan suku Batak Toba. Akhirnya dalam waktu yang cukup lama, sistem pinjam tanah tersebut dilupakan. Hal tersebut didukung oleh usia yang menua antara pihak-pihak yang bersangkutan. Peminjam lahan dan yang

meminjamkan lahan sudah meninggal. Lahan tersebut sudah digarap oleh anak anak suku Batak Toba. Sebelumnya kedua suku tersebut tidak memiliki perjanjian

kepemilikan tanah dan berapa tahun tanah itu dipinjam.

Informasi lain menyebutkan bahwa suku Batak Toba menganggap lahan tersebut sudah menjadi lahan mereka, karena mereka telah memberi makan dan

uang sebagai bayaran tanah tersebut kepada suku Batak Pakpak. Semua pemberian yang diberikan suku Batak Toba sebelumnya merupakan cicilan

pembayaran yang untuk tanah yang dipakai.

Tetapi, tidak semua lahan yang dimiliki oleh suku Batak Toba merupakan lahan yang dipinjam dari suku Batak Pakpak. Dari hasil wawancara yang penulis

temukan dilapangan, dulu pembelian tanah terjadi dengan sistem tulak cangkul artinya sistem barter yang dilakukan oleh suku Batak Toba dan Batak Pakpak.

Suku Batak Pakpak yang membutuhkan uang atau beras menawarkan tanahnya kepada suku Batak Toba. Apabila kedua belah pihak menyetujuinya, maka

transaksi sistem barter dilakukan.

Sistem kepemilikan tanah dalam pembelian tanah tidak ada yang namanya surat resmi kepemilikan tanah yang diberikan suku Batak Pakpak, jika ada orang

(24)

suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak, seperti yang terjadi pada kasus tanah

Ibu Simamora(+). Dimana setelah kurang lebih 25 tahun yang lalu pembelian tanah diungkit kembali. Ibu Capah mengatakan bahwa tanah tersebut milik Ibu Capah. Padahal selama ini secara nyata tanah tersebut milik Ibu Simamora dan

digarap oleh keluarganya. Pada tahun 2013 yang lalu, hal tersebut diungkit kembali. Tidak ada bukti yang kuat yang mengatakan tanah tersebut milik marga

Ibu Simamora ataupun Ibu Capah. Karena Ibu Simamora belum membuat surat tanahnya. Sebelumnya tanah itu dijual ke Ibu Simamora dengan meminta uang sebanyak Rp.75000 untuk biaya ongkos Ibu Capah ke Medan. Karena tidak ada

surat perjanjian atau pun surat tanah yang dimiliki oleh Ibu Simamora, kasus tersebut tidak bisa dimenangkannya. Ketika ingin melaporkan kepada pihak yang

berwajib, tidak ada bukti kuat yang dapat membantu kasus Ibu Simamora. Akhirnya marga Capah (diwakilkan oleh Bapak Jabbang Capah) mengambil hak milik tanah tersebut kembali menjadi hak milik marga Capah. Kemudian dengan

hasil perundingan suku Batak Pakpak membayar dispensasi untuk Ibu Simamora. Dispensasi yang diberikan bukan merupakan uang untuk membeli tanah Ibu

Simamora. Tetapi dispensasi tersebut dimaksudkan untuk tanaman pertanian Ibu Simamora. Untuk selang beberapa waktu sampai batas yang ditentukan oleh suku Batak Pakpak, Ibu Simamora diijinkan untuk mengambil hasil panen yang ada di

lahan tersebut. Kemudian lahan tersebut menjadi hak milik suku Batak Pakpak dan hasil panen yang ada di lahan tersebut dapat diambil oleh suku Batak Pakpak,

(25)

termasuk Ibu Capah. Penggunaan tanah Tanah tersebut menjadi milik bersama

marga Capah dan semua keputusan tentang tanah tersebut merupakan keputusan bersama suku Batak Pakpak.

Hak kepemilikan tanah masih sangat kuat di desa Bangun, sehingga

banyak masyarakat Toba yang sudah mulai mengurus surat tanah atas nama diri sendiri. Untuk menghindari masalah yang terjadi di masa mendatang dan hak

kepemilikan tanah bisa dipertanggungjawabkan di masa mendatang.

4.2. Penggunaan Air

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Untuk memenuhi kebutuhan air, sumber air yang digunakan masyarakat desa Bangun berasal dari

air hujan, air pancur dan air gunung atau yang sering disebut dengan air pet.

Penggunaan air pancur sebagaitempat masyarakat mengambil air, mandi dan mencuci. Suku Batak Pakpak memiliki hak kepemilikan atas air pancur. Sedangkan suku Batak Toba menggunakan fasilitas air pet yang disediakan oleh

pemerintah. Sebelum air pet menggunakan pipa air yang difasilitasi oleh pemerintah ke desa, seluruh masyarakat desa Bangun menggunakan air pancur.

Suku Batak Toba dan Batak Pakpak bekerja sama membersihkan, membangun, dan memperbaiki jalannya air. Mereka selalu bergotong royong setiap bulan dan

menggunakan air pancur tersebut bersama-sama.

(26)

tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan yang menyatakan

bahwa :

“...dang dison aek nami, aek pet do aek nami. Molo pancur on ni halak Pakpak on do on. Molo mate aek nami olo ma ro hami tu pancur on. Halaki pe sering do ro mambuat aek tu pet. Deba do jolma dohot margugu mambayar pembangunan ni aek pet. Jadi dang sude jolma adong aek pet na.”

Artinya :

“...Gak disini air kami, air petnya air kami. Kalo pancur ini punya orang Pakpaknya ini. Kalo air pet mati maulah kami datang ke air pancur ini. Orang Pakpak juga sering datang mengambil air ke pet. Sebagian orangnya yang mau ikut membayar pembangunan air pet ini. Jadi gak semua orang ada air pet nya.

Dari hasil wawancara yang diperoleh, masyarakat yang ikut membayar iuran dan pembangunan bak air mengatakan bahwa air pet tersebut itu miliknya dan merasa keberatan apabila masyarakat lain mengambil air dari pet tersebut.

Walaupun yang menggunakannya adalah sesama sukunya atau suku yang lain.

Salah satu informan yang berasal dari suku Batak Pakpak mengatakan

bahwa air pet tersebut adalah fasilitas yang diberikan pemerintah. Jadi dapat digunakan oleh siapa pun. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, beliau mengatakan bahwa sering sekali terjadi keributan akibat dari penggunaan

air pet. Dimana masyarakat yang tidak ikut membayar iuran mencuci pakaiannya di air pet tersebut. Sehingga masyarakat yang memiliki hak atas pancur tersebut

(27)

Gambar 4. Sumber air pet Sumber : dokumentasi pribadi

Keberadaan air pet mempengaruhi penggunaan air pancur semakin berkurang. Sebelumnya masyarakat hanya memanfaatkan air pancur dan air hujan

untuk kebutuhan air. Tetapi setelah fasilitas pipa air pet diberikan pemerintah, masyarakat banyak membuat bak air sendiri untuk kebutuhan beberapa pribadi.

Misalnya 5-10 keluarga membangun bak air untuk penggunaan pribadi mereka. Jadi penduduk yang tidak ikut membayar iuran untuk pembangunan bak air tidak diijinkan menggunakan air untuk mencuci. Kalau hanya untuk sekedar mengambil

air untuk kebutuhan minum, yang diisi dalam bentuk jeregen atau ember masih diijinkan. Walaupun demikian masih banyak masyarakat yang belum memiliki

(28)

mengakibatkan masyarakat yang memiliki hak pribadi dalam pembangunan bak

merasa tidak nyaman.

Sebagian besar suku Batak Pakpak masih tetap menggunakan air pancur. Mereka hanya mengambil air dari air pet untuk pengunaan memasak. Selebihnya,

mereka memanfaatkan air pancur untuk kebutuhan sehari-hari seperti mencuci dan kaskus.

Kelompok suku Batak Pakpak hidup bersama, membentuk pola pemukiman yang memanjang dan berhadapan antar rumah yang satu dengan yang lainnya. Masing-masing rumah berjejer menghadap jalan raya. Segala aktivitas

mereka dilakukan disekitar lingkungannya tersebut, seperti belanja keperluan rumah, MCK (mandi cuci kaskus), bahkan lapo tuak juga tersedia untuk mereka.

Jadi tidak banyak waktu mereka bersosialisasi dengan masyarakat lain. Aktivitas yang mereka lakukan berhadapan dengan sesama mereka. Tetapi walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat luar untuk bisa

bergabung bersama mereka.

4.3. Upacara Adat

Suku Batak Toba yang tinggal di desa Bangun menunjukkan identitasnya

dengan mengadakan pesta-pesta adat dan mengadakan perkumpulan marga-marga serta menggunakan bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Batak Toba. Keberadaan orang Batak Toba di desa

(29)

Suku Batak Toba sangat menghargai suku Batak Pakpak sebagai suku asli

desa Bangun, sehingga berbagai hal acara yang dilakukan oleh suku Batak Toba, suku Batak Toba selalu mengikutsertakan suku Batak Pakpak. Dalam setiap acara, suku Batak Pakpak mendapat jabbar (bagian) yang berupa daging. Misalnya

dalam pesta pernikahan, suku Batak Pakpak menjadi raja na nidapot yang merupakan orang penguasa di daerah tersebut. Kehadiran dan keikutsertaan raja

tanah dalam suatu acara dan pesta sangat penting. Kehadiran mereka menjadi kunci kesuksesan berjalannya acara dan pesta.

Apabila ada masyarakat yang mengadakan pesta tanpa meminta ijin

kepada raja na nidapot, diakui akan terjadi hal yang merusak dan mengganggu jalannya acara pesta terebut. Seperti kasus salah seorang Jaksa marga Simbolon

yang mengadakan pesta tanpa meminta ijin kepada raja na nidapot. Pada saat berlangsungnya acara, tenda pesta yang digunakan jatuh dan terbalik. Masyarakat sekitar meyakini hal tersebut karena tidak menghargai raja na nidapot.

Untuk itu sangat disarankan kepada seluruh masyarakat untuk selalu meminta ijin kepada raja na nidapot. Kemudian raja na nidapot akan mendoakan

acara tersebut sehingga berjalan sukses.

Pada acara adat, suku Batak Pakpak tidak lagi mengunakan acara adat Batak Pakpak. Misalnya pada acara pesta pernikahan salah satu dari suku Batak

Pakpak, suku Batak Pakpak tidak lagi menggunakan pakaian adat yang semestinya. Tetapi lebih cenderung menggunaan pakaian adat Batak Toba.

(30)

suku Batak Toba. Kedua pengantin tidak menggunakan acara adat Batak Pakpak

dan pakaian adat Batak Pakpak. Perubahan adat perkawinan ini disebabkan masyarakat Batak Toba banyak yang tinggal dan bermukim di desa Bangun. Dan yang menjadi faktor pendukung lainnya adalah karena perkawinan yang terjadi

antara suku Batak Toba dan Batak Pakpak.

4.4. Agama

Hubungan suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak juga terlihat pada pembagian keagamaan. Dari hasil data lapangan yang ditemukan penulis, hampir

seluruhnya masyarakat Batak Toba menganut agama Kristen Protestan. Dan masyarakat Batak Pakpak menganut agama Kristen Katolik. Hal ini mempengaruhi hubungan sosial yang terjadi diantara mereka, bagaimana dan

dengan siapa mereka berinteraksi. Di dalam gereja suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat yang memiliki suku yang sama dengan mereka. Sehingga interaksi dengan suku lain hampir tidak ada

di gereja. Kesamaan agama mengharuskan kita berinteraksi lebih banyak dengan orang-orang sekitar. Misalnya dalam acara natal, tahun baru, kebaktian, ibadah,

dan kegiatan-kegiatan gereja.

Nenek moyang Batak Toba dan Batak Pakpak menganut agama Kristen

sehingga mengakibatkan keturunannya juga menganut agama tersebut. Nenek moyang suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, sehingga keturunannya juga menganut agama Kristen Protestan. Demikian halnya dengan

(31)

jika dilihat penganut agama Islam sangat kecil. Walaupun demikian terdapat juga

sarana mesjid untuk masyarakat yang menganut agama Islam.

4.5. Penggunaan Bahasa

Bahasa adalah hal terpenting dalam menjalin hubungan harmonisasi antara individu yang satu dengan yang lainnya karena tanpa adanya bahasa maka tidak akan terjadi komunikasi. Maka dengan demikian interaksi antara pendatang dan

penduduk asli tidak akan bisa hidup berdampingan apabila setiap suku memakai bahasa daerah masing-masing. Oleh sebab itu untuk menghindari terjadinya

konflik yang terjadi akibat salah paham maka dalam suatu daerah yang majemuk memerlukan proses adaptasi bahasa.

Proses adaptasi budaya yang terjadi pada setiap suku bangsa ada beberapa

model adaptasi yang dilakukan oleh pendatang terhadap penduduk asli, adaptasi yang dilakukan penduduk asli terhadap pendatang dan adaptasi yang tidak dilakukan oleh pihak manapun, dimana masing-masing etnik berdiam diri tanpa

melakukan adaptasi. Pada umumnya adaptasi yang sering terjadi adalah adaptasi yang dilakukan oleh penduduk pendatang terhadap adaptasi penduduk asli.

Model adaptasi yang terjadi di desa Bangun adalah adaptasi penduduk asli terhadap pendatang atau adaptasi bahasa. Hal ini dapat diihat dari masyarakat

(32)

Walaupun daerah ini didiami oleh beberapa suku yang berbeda. Bahasa

yang digunakan antar suku Batak Pakpak adalah bahasa Toba. Mereka belajar dan mahir menggunakan bahasa tersebut. Lain halnya dengan suku Batak Toba yang tidak mengerti dengan bahasa Pakpak. Mereka enggan untuk belajar

menggunakan bahasa tersebut. Apabila dalam kelompok atau kumpulan kecil ada suku Batak Pakpak dan Batak Toba, maka mereka menggunakan bahasa Batak

Toba. Walaupun dalam kelompok diskusi tersebut mayoritas suku Batak Pakpak. Bahasa Batak Pakpak sangat jarang terdengar, karena sesama orang Batak Pakpak juga banyak tidak menggunakannya. Kita hanya dapat mendengarnya ketika

dialog di dalam rumah suku Batak Pakpak atau keluarga kecilnya. Misalnya : antara suami dan isteri yang sama-sama dari suku Batak Pakpak. Bahkan sudah

banyak anak yang tidak mengerti bahasa Pakpak. Karena orangtua tidak mengajarkannya dan mata pelajaran Bahasa Pakpak atau Muatan Lokal tidak diajarkan lagi di Sekolah Dasar.

Di bidang pendidikan formal, sampai sekitar tahun 2007 bahasa Pakpak masih dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal di Sekolah Dasar.

Buku-buku lama yang bertulisan asli masih ada walaupun sangat jarang. Sekolah Dasar belajar bahasa dan huruf batak Pakpak. Saat ini mata pelajaran muatan lokal telah dihapus dan tidak diajarkan lagi di Sekolah Dasar.

Saat ini anak laki-laki suku Batak Pakpak banyak yang menikah dengan perempuan suku Batak Toba. Ketika anaknya lahir, tentunya si anak lebih banyak

(33)

juga dengan si suami akan menggunakan bahasa Batak Toba saat berbicara

dengan si istri.

Demikian halnya dengan suku Batak Toba yang tidak mau tahu dengan bahasa Pakpak. Sebagai daerah kekuasaan suku Batak Pakpak, seharusnya seluruh

lapisan masyarakat mampu mengunakan bahasa Batak Pakpak. Sehingga kebudayaan milik suku Batak Pakpak tidak hilang.

Pergaulan sehari-hari anak juga sudah dibatasi oleh orang tua, dengan siapa mereka bermain dan dengan suku apa. Persepsi orang tua yang demikian mempengaruhi hubungan yang terjadi antara suku Batak Toba dan suku Batak

Pakpak. Hal ini tentu membatasi ruang dan gerak yang terjalin antara suku. Khususnya antara anak-anak suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak.

4.6. Hubungan Antara Suku Batak Toba dan Batak Pakpak

Saya memulai penelitian ini dengan tuturan dari Japirin Sihotang seperti

berikut :

“ Molo Bangun on desa terbaik do on sakecamatan Parbuluan. Aman do attong ison, so hea olo dison marbadai akka doli-doli. Antar suku pe termasuk denggan do, ale marsisogoan do. Ale dang olo marbadai.

Artinya :

“ Desa Bangun ini merupakan desa terbaik di Kecamatan Parbuluan. Keadaan lingkungan aman dan tenteram. Hubungan antar suku sangat baik, tetapi saling tidak menyukai antar suku. Tidak pernah terjadi pertengkaran antar suku.

(34)

menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak

berdaya.

Konflik yang terjadi antara suku Toba dan suku Pakpak tidak mengacu kepada perkelahian, perlawanan dan pertentangan dimana dua orang atau

kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Tetapi konflik yang terjadi adalah konflik batin.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik batin adalah konflik yang disebabkan oleh adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling

bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.

Suku Batak Toba dan suku Batak Pakpak saling tidak menyukai. Ada rasa benci yang muncul dihati masing-masing suku memandang suku lain. Menurut

suku Batak Toba, suku Batak Pakpak adalah suku yang tertinggal, tidak mau maju, kolot, tidak berpendidikan. Dan menurut suku Batak Pakpak, suku Batak

Toba adalah suku yang keras dan merasa penguasa.

Suku Batak Pakpak menerima kedatangan suku Batak Toba ke daerah kekuasaan mereka dan menjadi bagian dari masyarakat desa Bangun. Tetapi

karena keterbatasan dan ketidakberdayaan yang dimiliki oleh suku Batak Pakpak akibat dosa nenek moyang mereka yang diwariskan kepada mereka, sehingga mengakibatkan suku Batak Toba memandang rendah terhadap suku Batak

Pakpak.

Dari hasil wawancara dengan suku Batak Pakpak, masyarakat Batak

(35)

Batak Pakpak sampai ke generasi keempat mendapat dosa turunan atas perbuatan

nenek moyang suku Batak Pakpak. Sehingga hal yang sulit bagi keturunan Batak Pakpak untuk berkembang. Generasi keempat yang dimaksud bukan keturunan yang keempat setelah nenek moyang mereka memakan daging manusia. Tetapi

keturunan yang dimaksud adalah keturunan berlanjut, dimana setiap orang yang memakan daging manusia akan mendapat dosa turunan selama empat keturunan.

Apabila hal tersebut masih terjadi setelah empat keturunan, maka dosa turunan kembali diperoleh anak-anaknya sampai keturunan yang keempat.

Dalam hal sekolah, suku Batak Pakpak tidak memiliki niat untuk kuliah

atau melanjutkan sekolah. Keinginan yang tidak ada untuk sekolah mengakibatkan generasi suku Batak Pakpak tetap tinggal di desa bersama

orangtuanya. Banyak yang tidak memiliki pengalaman karena keinginan untuk pergi merantau dan bersekolah juga tidak ada. Melihat hal ini, suku Batak Toba memandang rendah suku Batak Pakpak. Dikarenakan keinginan anak-anak dari

suku Batak Toba yang bersekolah ke luar daerah lebih tinggi dibandingkan anak-anak dari suku Batak Pakpak. Mereka juga melanjutkan perkuliahan ke perguruan

tinggi, bekerja di luar kota dan rata-rata menaikkan taraf kehidupan orang tuanya di desa.

Jumlah anak-anak suku Batak Pakpak yang tinggal di kampung dan tidak

melanjutkan pendidikannya cukup banyak. Mereka bekerja membantu orangtuanya ke ladang. Berbeda dengan suku Batak Toba yang rata-rata anaknya

(36)

mendasari suku Batak Toba untuk mendeskripsikan suku Batak Pakpak sebagai

suku yang tertinggal, tidak berpendidikan, kolot, dan tidak mau maju.

”Hami nga hona dosa turunan sian oppung nami dang boi hami berkembang. Oppung nami hian kanibal do mangallang jagal ni jolma, jadi nga hona dosa. Maol do niat nami neng sikkola dohot lao mangaratto. Molo lao pe mangaratto sek maol asa jadi di pangarattoan ” (Dedy Capah)

Artinya :

“Kami udah kena dosa turunan dari nenek moyang kami gak bisa kami berkembang. Nenek moyang kami dulu kanibal memakan daging manusia, jadi kami udah kena dosa turunan. Sangat sulit niat kami mau sekolah dan pergi merantau. Kalaupun pergi merantau tidak akan jadi apa-apa nanti.” (Dedy Capah)

Dari hasil data lapangan yang diperoleh penulis, suku Batak Pakpak

memiliki kesadaran tersendiri atas dosa warisan dari nenek moyang yang ditanggung mereka, sehingga tidak ada kesempatan untuk berkembang dan maju.

Rasa ketidakberdayaan yang disadari suku Batak Pakpak membuat mereka untuk diam tidak melakukan respon dan tindakan apa-apa. Sehingga mereka tersisihkan, diminoritaskan suku Batak Toba yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan suku

Batak Pakpak. yang hidup bersamanya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan yang berasal dari suku Batak Toba :

”Molo halak Pakpak on maol do maju, ai nga hona dosa turunan halakon sian oppungna. Oppung na hian mangallangi jolma do, diallangi daging ni jolma. Jadi nga hona dosa turunan halakon, makana dang olo maju. Sikkola pe dang, hasea pe dang.” (Ningot Sihombing)

Artinya :

(37)

orang Pakpak ini makanya gak bisa maju. Sekolah pun enggak, sukses pun enggak.” (Ningot Sihombing)

Pendapat suku Batak Toba yang mengatakan bahwa suku Batak Pakpak adalah kanibal, memakan daging manusia dan sudah terkena dosa turunan ternyata diakui oleh suku Batak Pakpak bahwa hal tersebut adalah benar. Dosa

turunan yang diperoleh telah membatasi ruang gerak hidup mereka. Sehingga segala aktivitasnya selalu dilandaskan dengan dosa turunan yang diperoleh. Hal

tersebut mempengaruhi tingkat kepercayaan diri suku Batak Toba. Sehingga sebelum bertindak suku Batak Pakpak terlebih dahulu selalu merasa tidak mampu.

Lister Berutu dkk menjelaskan bahwa secara politik masyarakat Pakpak

telah menjadi ethnic minority dikampung halamannya sendiri, yaitu di Kabupaten Dairi. Setidaknya ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa masyarakat

Batak Pakpak disebut sebagai ethnic minority dikampungnya sendiri, yakni :

a. Semakin berkurangnya unsur-unsur budaya Pakpak yang terlihat di Dairi. Hal ini juga diperburuk jumlah penduduk yang mengaku dirinya

sebagai orang Pakpak sangat sedikit.

b. Pengakuan identitas yang dihadapi, friksi antar suak dan agama,

penguasaan tanah antar marga serta dibarengi oleh gap atau kesenjangan komunikasi antar rakyat dan penguasa (pemerintah) yang menyebabkan ketidaksepakatan antara pandangan mengenai sifat-sifat

antropologis dan psikologis Pakpak yang cukup tajam.

c. Adanya stereotype dan prasangka suku lain dan bahkan orang Pakpak

(38)

menjadi marga suku lain seperti Toba dan Karo. Contohnya :

Tinambunan dan Bancin mengaku Simbolon. Marga Berutu menjadi Sinaga (Toba), Maha menjadi Sembiring, Lingga menjadi Sinulingga (Karo) dan lain sebagainya.

d. Pemakaian bahasa Pakpak terutama sebelum 90 an yang cukup jarang diluar tiga Kecamatan asal Pakpak (Kerajaan, Salak, Sitellu Tali Urang

Jehe yang ketiganya sekarang berada dalam wilayah Kabupaten Pakpak Barat). Dimana bahasa Pakpak seharusnya menjadi bahasa pengantar dikota kabupaten seperti bahasa bahasa lokal lainnya seperti

Toba di Tarutung/Balige, Karo diKabanjahe. Di desa Bangun sendiri bahasa tobalah yang lebih dominan dan bahkan sudah menjadi bahasa

pengantar. Baik dalam keluarga maupun dalam pergaulan sehari-hari. e. Dalam hal pesta adat misalnya upacara perkawinan, pemakaian

pakaian asli juga tidak terlalu sering digunakan. Ditambah lagi dengan

adanya kecenderungan menggunakan upacara adat dari suku lain daripada mempertahankan untuk menggunakan adat Pakpak sendiri

terutama ketika terjadi perkawinan campuran antara Pakpak dengan Toba atau dengan Karo.

f. Dibidang pendidikan formal, muatan lokal pendidikan di Kabupaten

Dairi hingga tahun 1998 belum secara khusus memasukkan pendidikan budaya Pakpak disekolah-sekolah. Hal ini menyebabkan jarangnya

terlihat buku-buku yang bertuliskan huruf Pakpak.

(39)

Berpuluh tahun suku Pakpak harus berada dalam naungan gereja etnis

batak Toba, yaitu Huria Kristen Batak Prostestan (HKBP). Yang mana suku Pakpak harus beribadah menggunakan liturgi gerejani berbahasa batak Toba. Selanjutnya pada tahun 70an, beberapa gereja mulai

menggunakan bahasa Pakpak yang disebut dengan HKBP Simerkata Pakpak. Sulitnya masyarakat Pakpak melepaskan diri dari pengaruh

Toba dalam hal agama ini diperparah ketika masyarakat Pakpak harus mengalami kekerasan ketika melakukan gerakan pemisahan diri dari HKBP. Hingga unsur militer menjadi salah satu alat yang ditempuh

untuk menghentikan gerakan kemandirian gereja ini. Dikejar dan diintimidasi oleh aparat hingga mereka yang pro pada gerakan ini

harus melakukan kebaktian di gedung-gedung non gereja. Pada tahun 1995,usaha untuk mandiri secara gerejani ini pun berhasil dengan dibentuknya Gereja Kristen Pakpak Dairi (GKPPD) yang resmi diakui

oleh HKBP.

Beberapa hal yang disebutkan diatas telah menjadikan suku Batak Pakpak

menjadi ethnic minority dikampung halamannya sendiri. Dan bisa dilihat dengan yang terjadi sekarang pada suku Batak Toba yang ada di desa Bangun kecamatan

Parbuluan kabupaten Dairi.

Bila dilihat dengan yang terjadi di desa Bangun, adanya stereotype suku lain terhadap suku Batak Pakpak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi suku Batak Pakpak menjadi ethnic minority. Kemudian didukung dengan

(40)

Suku Batak Toba memberikan pencitraan serta label yang disematkan

pada suku Batak Pakpak. Meskipun hidup harmonis selama puluhan tahun, bukan berarti tidak ada masalah. Suku Batak Pakpak dianggap sebagai orang yang tertinggal, kolot (kampungan), tidak berpendidikan, tidak mau maju. Mereka

hanya bisa diandalkan ke ladang karena mereka pekerja keras. Contoh mengenai dinamika hubungan sosial seperti ini digambarkan lagi dalam masyarakat Buton

mengenai kelompok Papara (suku Katobengke) yang dahulu distereotipkan kotor, jorok, bau, berkaki besar, dan lain-lain oleh kelompok koumu dan walaka. Kini pada perubahan yang terjadi mereka melakukan perlawanan terhadap stereotip

tersebut. Ini adalah salah satu bentuk dinamika hubungan yang terjadi di Buton.

Sedangkan menurut suku Batak Pakpak, suku Batak Toba adalah suku

yang keras yang merasa penguasa. Akibat tingginya migrasi dan mobilitas penduduk suku Batak Toba yang hampir mendiami seluruh desa Bangun. Jumlah penduduk desa Bangun yang lebih banyak dibandingkan dengan Batak Pakpak

membuat suku Batak Toba merasa lebih kuat dibandingkan suku Batak Pakpak. Suku Batak Pakpak merasa suku Batak Toba ingin menguasai daerah desa

Bangun. Menggantikan posisi kekuasaan yang selama ini dimiliki oleh Batak Pakpak.

Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Suparlan (dalam

Budiman, 2009) bahwa mayoritas yang didasarkan pada dominasi jumlah anggota meluas menjadi dominasi kekuasaan. Kelompok yang jumlahnya lebih banyak

(41)

Pandangan dan prasangka buruk yang diberikan suku Batak Toba terhadap

suku Batak Pakpak. Dan sebaliknya pandangan suku Batak Pakpak terhadap suku Batak Toba. Memberikan batasan dalam hubungan yang terjalin diantara mereka. Sehingga hubungan diantara kedua suku ini tidak berjalan dengan lancar. Kedua

suku memiliki kekuatan dan kekuasaan, suku Batak Toba memiliki kekuatan karena jumlahnya yang lebih banyak. Dan suku Batak Pakpak memiliki

(42)

BAB V

KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk berinteraksi dengan

manusia lainnya. Dalam berinteraksi manusia akan membentuk kelompok. Kelompok-kelompok yang terbentuk di dalam masyarakat adalah merupakan

bentuk kehidupan yang nyata, individu dapat menghabiskan waktunya dengan berkegiatan, berinteraksi dan melakukan berbagai hal dengan menjadi bagian dalam kelompok. Dengan banyaknya sejumlah kelompok yang terbentuk di

masyarakat, maka sangat besar kemungkinan untuk terjadinya interaksi antarkelompok satu dengan yang lainnya. Banyak hal yang dapat terjadi pada

interaksi antarkelompok tersebut, dapat berupa interaksi yang positif ataupun negatif.

Hubungan suku yang baik didalamnya terjalin interaksi suku yang baik

pula. Untuk mengetahui hubungan suku yang terjadi, harus melihat interaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan yang terjadi dalam kehidupan

sehari-hari mempengaruhi kehidupan kekuasaan. Penilaian yang diberikan oleh suatu suku terhadap suku lain berawal dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang yang berhubungan dengan para pelaku dari suku lain.

Pada kenyataannya masyarakat di desa Bangun terbagi atas dua kelompok suku yaitu kelompok suku Batak Toba dan Batak Pakpak. Kelompok yang

(43)

tubuh asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang

lainnya dan diperlukan secara tidak sederajat atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup.

Dilihat dari segi jumlah penduduk, kelompok yang menjadi kelompok

mayoritas adalah suku Batak Toba dan kelompok minoritas adalah suku Batak Pakpak. Dimana yang menjadi suku asli di daerah tersebut adalah suku Batak

Pakpak. dan suku Batak Toba adalah pendatang yang perlahan hampir mendiami seluruh wilayah desa Bangun.

Berdasarkan hasil penelitian, hubungan kelompok suku Batak Toba dan

suku Batak Pakpak mengalami pengelompokan. Pengelompokan suku mempengaruhi hubungan yang terjadi antar suku. Sehingga timbul stereotip yang

dimunculkan suku Batak Toba terhadap suku Batak Pakpak. Stereotip ini dilihat dan muncul karena kehidupan masa lalu.

Suku Batak Pakpak tidak menerima stereotip yang diberikan suku Batak

Toba kepada mereka. Tetapi mereka sadar bahwa kehidupan mereka dipengaruhi oleh dosa turunan dari nenek moyang mereka yang dulu memakan daging

manusia. Atau yang sering disebut dengan kanibal. Suku Batak Pakpak tidak melakukan perlawanan terhadap suku Batak Toba walaupun mereka dianggap rendah oleh suku Batak Toba. Mereka memilih diam, tidak melakukan respon

apa-apa agar kehidupan mereka tetap aman dan tidak terjadi konflik antar suku. Akibat dari kebisuan suku Batak Pakpak, akhirnya suku Batak Pakpak mengalami

konflik batin.

(44)

mereka membuat strereotip kepada suku Batak Pakpak. Tetapi sebagai masyarakat

pendatang sudah menjadi keharusan bagi mereka untuk menghargai kedudukan suku Batak Pakpak.

Dilihat dari interaksi yang terjadi hubungan antar suku Batak Toba dan

suku Batak Pakpak berjalan sesuai dengan kehidupan kelompok masing-masing suku. Untuk kepentingan-kepentingan bersama mereka tetap bekerja sama. Seperti

pada kasus pemilihan kepala desa, suku Batak Pakpak tidak mempermasalahkan siapa pun yang menjadi kepala desa di tanah mereka. Suku Batak Pakpak mau menjadi kepala desa tetapi merasa memiliki keterbatasan akibat dari dosa turunan

dari nenek moyang mereka. Sehingga suku Batak Pakpak tidak ikut bersaing dan merebut kursi kepemimpinan. Suku Batak Toba juga bersedia menjadi kepala

desa, karena suku Batak Toba merasa mampu memimpin. Dan menyadari keterbatasan yang dimiliki oleh suku Batak Pakpak.

5.2 Saran

Saran yang dapat penulis rekomendasikan dalam penelitian ini adalah kepada masyarakat agar menggunakan pakaian adat atau pun acara adat sesuai

dengan pesta adat apa yang dipakai saat itu. Sehingga identitas budaya terutama suku Batak Pakpak tidak hilang. Bahasa Batak Pakpak sebaiknya tetap dipakai

Gambar

Gambar 1. Rumah penduduk di sebelah kanan bahu jalan
Gambar 2. Jalan lintas Dolok Sanggul - Sidikalang di desa Bangun
Gambar 3. Tugu marga Capah
Tabel 4.1 Kepemimpinan Kepala Desa Bangun
+2

Referensi

Dokumen terkait

kedisiplinan kerja karyawan pada Kantor PDAM Tirtanadi Provinsi

dasar. Model ini membuat siswa menjadi aktif dalam pembelajaran dan membuat siswa lebih mengetahui aplikasi dari materi yang akan disampaikan melalui gambar. Selain itu

PERANAN KEDISIPLINAN KERJA KARYAWAN PADA KANTOR PDAM TIRTANADI PROVINSI SUMATERA

Perawatan kaki pasien diabetes mellitus terdiri dari deteksi kelainan kaki, latihan kaki dan praktik perawatan kaki.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

[r]

Pelaksanaan KKN -PPM akan dibim bing oleh D osen Pem bim bing Lapangan yang akan m endam pingi m asing-m asing unit KKN - PPM dan untuk pelaksanaan kegiatan KKN -PPM di tingkat D

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

Pemilihan bahasa daerah atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi tentunya tidak mudah kerena kita benar-benar harus memperhatikan variabel-variabel lain yang