• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toxoplasmosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Toxoplasmosis"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

ABDUL GOFAR SASTRODININGRAT

NEUROSURGERY

(2)

Gedung F

Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan, Indonesia

Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737

Kunjungi kami di:

http://usupress.usu.ac.id

¤ USU Press 2012

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN: 979 458 641 2

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Abdul Gofar Sastrodiningrat

Neurosurgery Lecture Notes / Abdul Gofar Sastrodiningrat – Medan: USU Press, 2012

Chief Editor :

Prof. Dr. Abdul Gofar Sastrodiningrat, SpBS(K)

Ilustrator : Donny Luis Ahmad Brata Rosa A Tok

Cover Designer : Gatot Aji Prihartomo

xiii, 928 p.: ilus. ; 29 cm. Bibliografi, Indeks.

ISBN: 979-458-641-2

Percetakan: USU PRESS - MEDAN

Isi buku diluar tanggung jawab percetakan

(3)

DAFTAR ISI

PART I: ADVANCED TOPICS IN NEUROSURGERY

Neurotransmitter

Beny Atmadja Wiryomartani ... 3

Excitatory Amino Acid Excitotoxicity

Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 19

Endoscopic Third Ventriculostomy

Sri Maliawan ... 31

Neuroendoscopy

Julius July ... 37

Epilepsy Surgery in Indonesia: Achieving Better Result with Limited Resources

Zainal Muttaqin ... 54

Indications and Presurgical Evaluation For Epilepsy Surgery

Zainal Muttaqin ... 62

Neuroimaging in Epilepsy : MRI evaluation in Refractory Complex Partial Epilepsy

Zainal Muttaqin ... 72

Overview Meningioma: Histology and Molecular Biology

Iskandar Japardi ... 80

Supraclavicular Approach on Brachial Plexus Injury

Adril Arsyad Hakim ... 103

Cerebral Revascularization. Extracranial – Intracranial by-pass Surgery

Rr.Suzy Indharty ... 109

PART II: BASIC NEUROSURGERY

CEREBRAL TRAUMA

Traumatic Brain Injury : Primary Brain Damage, Secondary Brain Damage, Management and Neuro Critical Care

Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 125

Chronic Subdural Hemorrhage

(4)

SPINE TRAUMA

SPINE TRAUMA : Arguments toward better care and patients safety

Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 205

Cervical Spine Trauma

Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 210

Thoracolumbar Trauma

Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 243

SPINE TUMOR Spine Tumors

Donny Luis, Sabri Ibrahim ... 267

Extradural Benign Tumor

Donny Luis, Gatot Aji Prihartomo ... 271

Epidural Malignant Tumors

Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningart ... 278

Intradural Extramedullary Benign Tumors

Donny Luis, Sabri Ibrahim ... 293

Intradural Extramedullary Malignant Tumors

Donny Luis, Gatot Aji Prihartomo ... 319

Intramedullary Tumors

Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 312

DEGENERATIVE DISEASE OF THE SPINE

Concept of Disc Degeneration and Regeneration

Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 327

Ossification Of The Posterior Longitudinal Ligament

Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 345

Cauda Equina Syndrome

Sonny G. R Saragih, Gatot Aji Prihartomo, Michael Norman Jusman ... 353

Degenerative Disorder of the Cervical Spine

Donny Luis, Sabri Ibrahim, Michael Norman Jusman, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 368

Degenerative Disorders of the Thoracic Spine

Donny Luis, Sabri Ibrahim, Michael Norman Jusman, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 396

Degenerative Disorder of The Lumbar Spine

(5)

CEREBRAL TUMOR

En Plaque Meningioma

Sonny G.R.Saragih ... 439

Parasagital and Falx Meningioma

Sonny G.R.Saragih, Iskandar Japardi ... 447

Petroclival Meningioma

Sonny G. R. Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 459

Tentorial Meningioma

Sonny G. R Saragih, Iskandar Japardi ... 480

Low Grade Glioma

Andre Marolop Siahaan, Sony G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 488

High Grade Glioma

Andre Marolop Siahaan, Adril Arsyad Hakim ... 497

Fibrous Dysplasia

Ahmad Brata Rosa, Iskandar Japardi ... 505

Medulloblastoma

Sabri Ibrahim, Donny Luis, Muhammad Fadhli, Adril Arsyad Hakim ... 511

Oligodendroglioma

Ahmad Brata, Sonny G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 523

Ependymoma

Thomas Tommy, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 528

Pontine Glioma

Sonny G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 537

Metastatic Cerebral Tumor

Sabri Ibrahim, Iskandar Japardi ... 586

Histiocytosis X

Sonny G. R. Saragih, Abdul Gofar Sasrodiningrat, ... 598

CEREBRAL INFECTION

Cerebral Abscess

(6)

Sabri Ibrahim, Sonny G.R.Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 619

Toxoplasmosis

Michel Norman Jusman, Sonny G.R.Saragih, Rr.Suzy Indharty ... 638

Cerebral Aspergillosis

Donny Luis, Muhammad Fadhli, Alvin Abrar Harahap, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 649

Neurocysticercosis

Michael Norman Jusman, T. Yose Mahmuddin Akbar, Rr.Suzy Indharty ... 660

PEDIATRIC NEUROSURGERY

Hydrocephalus In Children

Sabri Ibrahim, Ahmad Brata Rosa, Ade Ricky Harahap ... 671

Hydrancephaly

Gatot Aji Prihartomo,Disfahan Sinulingga ... 683

Porencephaly

Thomas Tommy, Rr.Suzy Indharty ... 687

Dandy Walker Malformation

Andre MP.Siahaan,Thomas Tommy, Disfahan Sinulingga, Adril Arsyad Hakim ... 691

Chiari Malformation

Donny Luis, Disfahan Sinulingga, Adril Arsyad Hakim ... 704

Craniosynostosis

Ahmad Brata Rosa, Sonny G.R. Saragih, Adril Arsyad Hakim ... 721

Neural Tube Defect: Schizencephaly, Lissencephaly, Holoprosencephaly

Thomas Tommy, Donny Luis, Iskandar Japardi ... 735

Encephalocele, Myelomeningocele, Spina Bifida Oculta

Thomas Tommy, Rr.Suzy Indharty ... 740

Occult Spinal Dysraphism

Sonny G. R Saragih, Donny Luis, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 747

NEUROVASCULAR

Carotid-Cavernous Fistula

(7)

Arterio Venous Malformation

Sabri Ibrahim, Sonny G.R. Saragih, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 773

Intracranial Aneurysm

Muhammad Chairul, Sabri Ibrahim, Rr.Suzy Indharty ... 807

Spontaneous Intracerebral Hemorrhage

Michael Norman Jusman, Muhammad Fadhli, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 820

PERIPHERAL NERVE

Carpal Tunnel Syndrome

Disfahan Sinulingga, Adril Arsyad Hakim ... 833

Peripheral Nerve Injury

Marsal Risfandi, Ade Ricky Harahap, Adril Arsyad Hakim... 846

Peripheral Nerve Tumor

Sonny G.R.Saragih, Ahmad Brata Rosa, Andre Marolop Siahaan, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 855

MISCELLANEOUS

Intracranial Pressure

Donny Luis, Michael Norman Jusman ... 887

Normal Pressure Hydrocephalus

Gatot Aji Prihartomo ... 896

Pain Syndrome

Marshal Risfandi, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 908

Neurocutaneous Syndrome (Phakomatoses)

Sonny R. G. Saragih, Donny Luis, Michael Norman Jusman, Abdul Gofar Sastrodiningrat ... 922

(8)

TOXOPLASMOSIS

Michel Norman Jusman, Sonny G.R.Saragih, Rr.Suzy Indharty

PENDAHULUAN

Toksoplasma gondii merupakan protozoa patogen intraselular yang dapat hidup baik di tubuh hewan maupun manusia. Infeksi pada umumnya bersifat ringan dan asimtomatik, tetapi juga dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada manusia. Insidens infeksi pada manusia yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologi yang positif, berbeda antara negara yang satu dengan negara lain, dan dipengaruhi oleh kebiasaan makan makanan terutama daging yang kurang masak, jumlah populasi kucing yang hidup di sekitar tempat tinggal, dan kondisi iklim, dimana suhu lingkungan yang sedang dengan tingkat kelembaban yang tinggi mendukung ookista T. gondii untuk dapat bertahan hidup lebih lama di tanah, dan faktor terakhir yang juga penting adalah sanitasi dan kebersihan perorangan..

Sebagian besar manusia yang terinfeksi T. gondii tidak memiliki gejala. Meski demikian, protozoa ini dapat menginfeksi sistim saraf pusat yang

menunjukan empat gejala, yakni: (a)

meningoensefalitis selama infeksi primer pada orang yang imunokompeten, (b) ensefalitis dan retinokoroiditis akibat infeksi secara transplasental pada fetus, (c) retinokoroiditis akibat infeksi primer atau reaktivasi infeksi sebelumnya, dan (d) massa intraserebral atau ensefalitis pada orang yang

immunocompromised.

PARASITOLOGI TOXOPLASMA GONDII

T. gondii merupakan suatu coccidian famili Sacocystidae. Protozoa ini pertama kali diidentifikasi oleh Nicolle dan Manceaux pada tahun 1908 di Amerika Utara dan secara terpisah oleh Splendore di Brazil. Parasit ini hidup dalam berbagai bentuk yang berbeda: (a) tachyzoite atau endozoite, yang dulunya disebut sebagai bentuk trophozoite, merupakan bentuk yang berproliferasi cepat dan mampu melakukan invasi ke dalam sel; (b) kista jaringan, yang mengandung intracystic bradyzoites atau cystozoites; dan (c) ookista, yang menghasilkan sporozoit yang infeksius.

Ukuran parasit ini bervariasi: tachyzoite berukuran 2-4 hingga 4-8 µm, yang mengandung 3000 organisme. Sabin dan Olitzky melaporkan lokasi intraselular obligat parasit ini pada tahun 1937, dan pada tahun 1970 Dubey, Miller dan Frenkel berhasil mengetahui siklus hidup parasit ini.1,2

Hospes definitif T. gondii adalah kucing domestik, Felis domestica dan spesies-spesies Felicidae yang lain. Kucing dapat terinfeksi setelah memakan mangsanya (tikus) yang mengandung kista didalam tubuhnya atau memakan ookista yang ditularkan melalui feses kucing lain yang terinfeksi.

Gambar 20. Siklus hidup toksoplasma gondii. Dikutip dari: Guided by Parasites: Toxoplasma Modified Humans by Tobias on June 4, 2010. Available at http://tobiastenney.com/wp-content/uploads/2010/06/Toxoplasmosis_life_cycle_490.jpg on 17/08/2012

(9)

Neurosurgery Lecture Notes

lembab, ookista tetap bersifat infeksius pada lingkungan tersebut hingga 1 tahun. Sporogony terjadi 2 hingga 21 hari setelah ookista dikeluarkan dan hidup di lingkungan luar. Baru setelah ookista ini mengalami sporulasi baru bersifat infeksius.3 Fase aseksual terjadi pada manusia maupun pada kucing dan sebagian besar berlangsung ekstra-intestinal. Setelah ookista termakan, sporozoite dilepaskan kedalam usus halus, yang kemudian menembus dinding usus, lalu berkembang biak, dan disebarkan secara hematogen ke seluruh tubuh. Parasit ini berkembang biak di hampir seluruh jenis sel mamalia, kecuali sel eritrosit yang tidak memiliki inti sel. Setelah masuk kedalam sel makrofag, atau sel lain, sporozoite berubah bentuk menjadi tachyzoite, yang membelah diri secara endodyogeny, yakni suatu proses dimana dua sel anak (daughter cell) berkembang di dalam sel induk. Proses membelah diri terus berlangsung dan tachyzoite berproliferasi secara intraseluler hingga sudah mencapai jumlah yang begitu banyak hingga sel yang ditempatinya pecah. Tachyzoite kemudian dilepaskan dan menginvasi sel-sel yang berada disekitarnya, dan siklus hidup ini kembali berputar hingga sistim imuntas hospes untuk melawan infeksi parasit ini terbentuk, untuk membatasi perkembangbiakan parasit ini di tubuh hospes. Pada saat proses masuknya parasit ini kedalam sel dan bereplikasi, pembentukan kista didalam jaringan atau encystation dapat terjadi. Kista tumbuh dan tetap berada didalam sitoplasma sel hospes: bradyzoite terus membelah didalam kista ini.

Tachyzoite dapat membentuk pseudokista, struktur yang terdiri dari agregasi parasit-parasit ini yang berkumpul didalam sel hospes untuk periode waktu tertentu. Seiring dengan perjalanan waktu, pseudokista berkembang menjadi kista jaringan sejati. Kista jaringan terdiri dari bradyzoite, yang membelah perlahan-lahan secara endodygony. Struktur kompleks pada membran luar telah diteliti memiliki komponen hospes dan komponen parasit. Kista jaringan bersifat inert terhadap sistim kekebalan tubuh; oleh sebab itu proses infeksi dapat berjalan kronis dan jarang menimbulkan respons inflamasi pada struktur disekitar kista.4 Parasit ini memiliki beberapa mekanisme kompleks yang dapat menghindar dari sistim kekebalan

tubuh hospes dan memungkinkan untuk bertahan hidup dalam waktu yang lama pada sel hospes.5,6 Mekanisme yang dimilikinya diantaranya adalah kemampuan untuk melakukan invasi pada hampir

seluruh jenis sel mamalia; kemampuan

menghindari kaskade oksidatif oleh sel-sel fagosit yang profesional;7 dan mencegah fusi

fagosom-lisosom8 dan asidifikasi;9 kemampuan

memproduksi enzim katalase dan superoxide dismutase, kemampuan untuk melenyapkan metabolit oksigen yang toksik,10 dan parasit itu sendiri dapat menginduksi down-regulation respons imun.5 Tachyzoite difagositosis oleh makrofag tetapi tidak memicu pelepasan reactive oxygen species sehingga parasit ini mampu bertahan hidup dan bereplikasi didalam makrofag. Monosit justru mengaktifkan metabolit oksigen toksik setelah sel ini diinvasi oleh Toxoplasma dan

biasanya mampu mengeliminasi infeksi

intraselular.7

TOKSOPLASMOSIS PADA HOSPES YANG IMUNOKOMPETEN

Penularan T. gondii ke manusia cukup sering terjadi pada individu yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging mentah atau yang tidak dimasak dengan baik, atau secara tidak sengaja termakan ookista yang berasal dari kotoran kucing.11,12,13 Susu yang tidak dipasteurisasi dengan baik, terutama susu kambing, air minum yang terkontaminasi juga dapat menjadi sumber penularan penyakit ini.14,15

Sebagai perbadingan, di Amerika Serikat terdapat 20% hingga 40% individu yang memiliki uji serologi positif terhadap parasit ini. Infeksi primer jarang terjadi pada sistim saraf pusat pada penderita yang imunokompeten.

PATOGENESIS

(10)

menemukan adanya struktur rhoptries, yakni organela anterior yang dimiliki oleh parasit ini yang diperkirakan digunakan untuk menembus sel hospes.16Ni hols da O Co or juga e e arka adanya proses invasi aktif parasit ini, terutama oleh tachyzoite sehingga dapat masuk kedalam sel mamalia.17

Waison, Tsai, dan Remington telah melakukan pengamatan bahwa makrofag yang

telah teraktivasi atau monosit dapat

menghancurkan toksoplasma dengan cepat.7 Sedangkan makrofag biasa justru digunakan oleh parasit ini sebagai tempat replikasi dan bertahan hidup. Mereka juga melaporkan bahwa masuknya parasit kedalam sel juga menggagalkan respons

makrofag untuk mengaktifkan semburan

metabolit-metabolit oksidatif. Sibley, Weidner, dan Krahenbuhl juga melaporkan bahwa tachyzoite yang hidup dapat memodifikasi proses fusi parasitophorous vacuole dengan lisosom dan

mampu menurunan pH internal.9 Joiner

mengatakan bahwa disfungsi ini terjadi karena terjadi perubahan struktur membran sel pada waktu parasitophorous vacuole ini masuk kedalam sel, sehingga terbentuk enzim yang mampu menginhibisi fusi lisosom terhadap vakuola tersebut.18

PATOLOGI

Gambaran histologi ensefalitis

toksoplasmik pada penderita yang imunokompeten bervariasi dari yang berupa daerah yang memiliki inflamasi perivaskular yang ringan dan disertai nodul-nodul mikroglial hingga gambaran fokus nekrosis yang disertai inflamasi hebat di substansia alba maupun grisea.19-22

Sabin mendeskripsikan lesi pada otak pada anak usia 6 tahun yang meninggal karena ensefalitis toksoplasmik, berupa daerah nekrotik berbentuk honey comb dan moth eaten yang diinfiltrasi oleh sel-sel yang memiliki inti piknotik yang irreguler.19

Biopsi pada lesi fokal dapat dijumpai adanya tachyzoite hidup, meskipun temuan ini sangat

jarang didapati pada penderita yang

imunokompeten.

MANIFESTASI KLINIS

Infeksi primer T. gondii pada umumnya bersifat asimptomatik. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah lymphadenopathy, yang terdapat pada 10% hingga 20% penderita yang terinfeksi akut T. gondii. Sebagian penderita mengalami demam ringan. Ruam makulopapular dikatakan serupa dengan eksantema yang ditimbulkan oleh Rocky Mountain spotted fever, tetapi tampilan klinis seperti ini jarang dijumpai.

Toksoplasma jarang menyebabkan

penyakit yang fatal pada individu yang imunokompeten.19,23 Bila infeksi mulai menyerang sistim saraf pusat, maka dapat terjadi penurunan kesadaran dan kejang.24,25 Tanda iritasi meningeal juga pernah dilaporkan, tetapi jarang terjadi. Pemeriksaan fisik menunjukan adanya hiperefleksia dan tanda-tanda keterlibatan Upper Motor Neuron (UMN). Luft dan Remington mengamati 48 kasus ensefalitis toksoplasmik pada penderita imunokompeten dan membagi gambaran infeksi ini menjadi dua bagian.26 Tipe infeksi pertama ditandai dengan gambaran ensefalitis dan kegagalan multiorgan.23 Ruam makulopapular jarang dijumpai pada tipe ini. Keterlibatan susunan saraf pusat bervariasi dari yang paling ringan hingga yang sangat berat. Tipe infeksi yang kedua ditandai hanya susunan saraf pusat saja yang terlibat, tanpa disertai keterlibatan organ lainnya.26,27,28 Lesi ini bisa diffuse atau terlokalisir, bentuk yang fokal sulit

dibedakan dengan gambaran tumor.

Retinokoroiditis toksoplasmik akut dapat terjadi mendahului proses infeksi susunan saraf pusat.

TOKSOPLASMOSIS KONGENITAL

Seorang ibu hamil yang menderita infeksi primer T. gondii, beberapa kemungkinan dapat terjadi. Ia dapat terinfeksi dan mengalami serokonversi tetapi tidak menularkan infeksi

tersebut ke janin yang berada dalam

(11)

Neurosurgery Lecture Notes

PATOGENESIS

Risiko terjadinya toksoplasmosis kongenital dimulai dari wanita yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah, yang mengkonsumsi parasit dalam bentuk kista pada daging binatang atau tertelan ookista yang ditularkan melalui kotoran kucing. Parasitemia maternal tampak pada infeksi transplasental dan transmisi tachyzoite melalui vena umbilikalis yang menyebabkan parasitemia fetalis. Parasit kemudian tersebar dan membentuk lesi yang berukuran kecil dengan manifestasi beraneka ragam meliputi pneumonia, miokarditis, miositis, hepatitis, dan ensefalitis. Meskipun parasitemia terjadi pada beberapa organ, tetapi

manifestasi yang muncul bisa saja hanya berupa ensefalitis.

TERAPI

Pirimetamin dan Sulfadiazin

Terapi utama Toxoplasmic Encephalitis (TE) adalah kombinasi pirimetamin (dihydrofolate reductase inhibitor) dan sulfadiazine (dihydrofolate synthetase inhibitor) [29,30]. Dua obat ini bekerja melalui blokade metabolisme asam folat. Karena difusi obat ke bagian otak yang terinfeksi tidak mudah tercapai, maka kedua obat ini digunakan secara kombinasi/ bersamaan. Obat-obatan seperti golongan sulfonamide, sulfadiazin, sulfamethazine dan sulfamerazine, memiliki efikasi yang sama.

(12)

Pirimetamin diserap dengan baik setelah pemberian oral dan memiliki waktu paruh tiga hingga empat hari pada hospes (host) yang tidak

immunocompromised. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kadar pirimetamin pada penderita AIDS sulit diperkirakan [31,32]. Hingga saat ini belum ada penelitian yang melihat korelasi antara kadar antitoksoplasmosis di dalam serum dengan respons terapi dan toksisitas. AIDS Clinical Trials Group (ACTG) National Institutes of Health (NIH) melakukan evaluasi farmakokinetik pirimetamin yang diberikan satu kali sehari pada 12 penderita yang terinfeksi HIV [33]. Kadar yang cukup stabil diperoleh pada pemberian dosis 50 mg per hari, baik pada penderita yang terinfeksi maupun tidak terinfeksi HIV. Dalam penelitian tersebut dijumpai variasi konsenstrasi obat didalam serum yang cukup lebar, yang diperkirakan terjadi karena perbedaan bersihan (clearance) obat tersebut pada individu yang berbeda. Oleh karena waktu paruh pirimetamin ini lebih dari tiga hari, maka pemberian loading dose akan mempercepat tercapainya kadar obat yang stabil. Sulfadiazin

cepat diserap di traktus gastrointestinalis, dan kadar puncak obat didalam serum akan tercapai dalam waktu tiga hingga 6 jam setelah obat diminum. Baik pirimetamin maupun sulfadiazin dapat menembus sawar darah otak/ blood brain barrier (BBB).

Pada saat ini, pirimetamin diberikan pada dosis 100 hingga 200 mg sebagai loading dose, dilanjutkan dengan dosis rumatan 50 hingga 75 mg per hari secara oral selama tiga hingga enam minggu pertama (34). Pemberian dosis selanjutnya diberikan untuk mempertahankan kadar obat tersebut pada rentang terapeutik. Sulfadiazin diberikan ada dosis empat hingga enam gram per hari dalam empat dosis terbagi secara oral. Suplemen asam folat (seperti leucovorin) diberikan dengan dosis 10 hingga 20 mg per hari, untuk mengurangi efek samping hematologi selama penggunaan kombinasi obat pirimetamin dan sulfadiazin. Dalam penelitian penggunaan suplementasi asam folat ini dapat menghindari toksisitas terhadap sel-sel sumsum tulang secara in vitro [35]

Tabel 18. Terapi fase akut dan rumatan pada penderita toksoplasmosis yang dianut ole Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU.

(13)

Neurosurgery Lecture Notes

Tabel 19. Regimen pengobatan profilaksis utama TE pada penderita HIV positif. Dikutip dari: HIV In Site Knowledge Base Chapter, 2006 Carlos S. Subauste, MD, Case Western Reserve University available at: http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-05-04-03)

on 22/06/2012

Antitoksoplasmosis Dosis yang direkomendasikan Trimethophrim-sulfametoxazole (TMP-SMX, co-trimoxazole,

Bactrim) Dapsone Plus

Pirimetamin (Daraprim)

1 double-strength tablet oral per hari

100 mg oral dua kali per hari

25 mg oral per minggu

Pemberian obat secara kombinasi sangat efektif untuk melawan toksoplasma pada stadium tachyzoite, tetapi tidak efektif terhadap toksoplasma yang berada pada stadium kista. Oleh sebab itu, mengingat kedua stadium tersebut ada secara bersamaan selama ensefalitis akut, penderita yang immunocompromised selalu menunjukan relaps setelah terapi kombinasi dihentikan. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan secara multicenter melakukan pengamatan terhadap penderita AIDS yang mengalami TE dan menemukan bahwa 50% mengalami relaps setelah dipulangkan dari rumah sakit [36]. Selama fase rumatan, pirimetamin dan sulfadiazin diberikan pada dosis yang lebih rendah. Ada beberapa variasi dalam pemberian regimen dosis rumatan seperti berikut ini:

Pirimetamin (25-50 mg) dengan sulfadiazin (2-4 g), diberikan satu kali sehari atau dua atau tiga kali seminggu [31]. Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis optimal dan interval pemberian obat yang optimal pada fase akut maupun pada fase pengobatan jangka panjang.

Lebih dari 60% penderita AIDS yang mendapat pengobatan ini mengalami toksisitas yang cukup mengganggu dan bahkan memerlukan penghentian terapi [36]. Selama pengobatan pada fase akut, ruam pada kulit dialami oleh 20% penderita yang mengalami TE akut. Toksisitas hematologi terjadi pada fase lanjut pengobatan, dan dapat mengalami eksaserbasi ketiga digunakan bersamaan dengan antiretroviral yang diberikan untuk penderita AIDS.

Tabel 20. Terapi primer atau fase akut TE pada penderita AIDS. Dikutip dari: HIV In Site Knowledge Base Chapter, 2006 Carlos S. Subauste, MD, Case Western Reserve University. Available at http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-05-04-03 on 22/06/2012

Obat antitoksoplasmosis Dosis

Regimen yang

direkomendasikan

Pirimetamin*/ Sulfadiazin

Pirimetamin*/ Klindamisin

Trimethoprim-sulfamethoxazole

200 mg bolus diikuti dengan 50-75 mg satu kali per hari peroral/ sulfadiazin 1-1.5g tiap 6 jam per oral

200 mg bolus diikuti dengan 50-75 mg satu kali per hari peroral/ klindamisin 600-1.200 mg per 6 jam i.v. atau peroral

3-5 mg/kg (trimethoprim) setiap 6 jam i.v. atau peroral

Regimen alternatif

Pirimetamin* ditambah satu obat berikut ini:

200 mg bolus diikuti dengan 50-75 mg satu kali per hari

* Penderita yang memperoleh pengobatan pirimetamin pada terapi fase akut juga perlu mendapatkan suplementasi asam folat 10-20 mg per hari

Oleh karena telah diketahui toksisitas penggunaan kombinasi obat pirimetamin dan sulfadiazin, maka beberapa peneliti berupaya mencari obat lain yang dapat digunakan untuk mengobati TE ini. Beberapa peneliti telah

mengevaluasi khasiat

(14)

yang memiliki nilai CD4 < 100 sel/ mm3 dengan uji serologi yang positif [37]. Torre et al. [37] melaporkan penelitiannya yang dilakukan secara randomized prospektif di multicenter yang

membandingkan penderita-penderita yang

memperoleh pengobatan TMP-SMX dengan

pirimetamin-sulfadiazin. Mereka tidak menemukan perbedaan bermakna mengenai efikasi kedua terapi kombinasi tersebut secara klinis selama pengobatan fase akut; tetapi pada kelompok

penderita yang memperoleh TMP-SMX

menunjukan perbaikan secara radiologis lebih baik dan efek samping yang lebih jarang. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa TMP-SMX dapat digunakan sebagai terapi alternatif pengobatan TE [37].

Tabel 21 Terapi rumatan TE pada penderita AIDS. Dikutip dari: HIV In Site Knowledge Base Chapter, 2006 Carlos S. Subauste, MD, Case Western Reserve University. Available at http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-05-04-03 on 22/06/2012

Obat antitoksoplasmosis Dosis

Regimen yang

direkomendasikan Pirimetamin*/ Sulfadiazin

Pirimetamin*/ Klindamisin

Pirimetamin*/Sulfadoxine

Pirimetamin sebagai monoterapi 50 mg per hari

Pirimetamin* ditambah satu obat berikut ini:

1.500 mg setiap 12 jam per oral 1.000 mg setiap 12 jam per oral 1.200 mg – 1.500 mg per hari per oral

100 mg dua kali seminggu

* Penderita yang memperoleh pengobatan pirimetamin pada terapi fase akut juga perlu mendapatkan suplementasi asam folat 10-20 mg per hari

Jacobson et al. [38] melaporkan bahwa terapi kombinasi azithromycin (900 hingga 1.200 mg per hari) dengan pirimetamin dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk penderita TE yang intolerant terhadap sulfonamid dan klindamisin. Namun penggunaan regimen ini sebagai terapi rumatan menunjukan angka relaps yang tinggi [38].

Tabel 22. Regimen profilaksis primer untuk toksoplasmosis. Dikutip dari: HIV In Site Knowledge Base Chapter, 2006 Carlos S. Subauste, MD, Case Western Reserve University. Available

at http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-05-04-03 on 22/06/2012

Obat antitoksoplasmosis Dosis (per oral)

Trimethoprim-sulfamethoxazole 1 double-strength tablet per hari

2 double-stregth tablet tiga kali seminggu

Pirimetamin*/ dapsone 50 mg per minggu/ 50 mg per hari

Pirimetamin*/ sulfadoxine 3 tablet setia 2 minggu 1 tablet dua kali per minggu

* Asam folat 25 mg diberikan per minggu untuk penderita yang memperoleh pirimetamin sebagai obat profilaksis primer

Klindamisin sebenarnya telah lama dikenal

berkhasiat dalam pengobatan murine

(15)

Neurosurgery Lecture Notes

Tabel 23. Interpretasi uji serologi toksoplasmosis. Dikutip dari: Toxoplasmosis. Available at

http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/frames/S-Z/Toxoplasmosis/body_Toxoplasmosis_serol1.htm on 17/08/2012

Hingga saat ini belum ada penelitian yang dianggap baik untuk menilai pengobatan alternatif TE selain klindamisin dan pirimetamin. Pada penelitian ACTG 237/ANRS 039 yang memasuki fase 2 uji klinis menunjukan bahwa atovaquone yang dikombinasikan dengan pirimetamin ataupun

dengan sulfadiazin memiliki khasiat

antitoksoplasma yang cukup baik. Kombinasi pengobatan ini masih memerlukan penelitian lanjutan, meskipun cukup menjanjikan karena dapat digunakan pada penderita yang intolerant terhadap pirimetamin (atovaquone-sulfadiazin) atau yang intolerant terhadap sulfonamide (atovaquone-pirimetamin) [45-48].

Terapi Profilaksis Pada Penderita yang Immunocompromised

Kelompok yang berisiko untuk terserang toksoplasmosis adalah individu dengan nilai CD4 <200 sel/ mm3 dan seropositif terhadap antibodi anti-T. gondii.

Berdasarkan data retrospektif, pemberian TMP-SMX oral pada dosis 1 tablet double-strength

per hari memiliki efikasi sebagai pengobatan profilaksis [49-52]. Baik dapsone maupun pirimetamin tidak efektif apabila digunakan sebagai monoterapi [53]. Apabila kedua obat ini diberikan sebagai kombinasi maka efektif sebagai pengobatan [52,53,54]. Pada penelitian

randomized open-labeled, pemberian dapsone (50

mg per hari) dengan pirimetamin (50 mg per minggu) dengan leucovorin (25 mg per minggu) efektif sebagai pengobatan mencegah TE dibandingkan dengan pemberian pentamidine

aerosolized (300 mg per bulan) [55]. Tidak ada perbedaan bermakna untuk terjadinya TE pada

penderita yang memperoleh pengobatan

profilaksis dapsone 100 mg per minggu ditambah pirimetamin 25 mg per minggu dengan TMP-SMX [56].

Pirimetamin tidak direkomendasikan untuk pengobatan first line profilaksis TE, tetapi perlu dipertimbangkan pemberiannya pada kelompok penderita yang intolerant terhadap TMP-SMX.

Furrer et al. [57] memberi kesimpulan pada penelitiannya bahwa penghentian profilaksis primer pada penderita yang terinfeksi T. gondii yang respons pada pemberian antiretroviral (ARV) cukup aman. Menurut panduan yang dikeluarkan oleh IDSA, profilaksis primer dapat dihentikan pada penderita yang memiliki peningkatan CD4 T Lymphocyte >200 sel/ µL selama tiga bulan atau lebih [58].

Obat-Obatan Lain Yang Dipertimbangkan Dapat Digunakan Untuk TE

(16)

Beberapa golongan obat diketahui berkhasiat secara in vitro maupun in vivo. Obat-obatan tersebut adalah roxithromycin [59,60], azythromycin [61,62] dan clarithromycin [63,64]. Roxithromycin diketahui memiliki efek sinergistik dengan interferon-γ pada pe go ata uri e TE [65]. Beberapa obat yang termasuk golongan analog purine, arprinocid (competitive inhibitor of

hypoxanthine transmembrane transport).

Hypoxanthine transmembrane transport ini memiliki fungsi penting pada organisme toksoplasma, karena orgnaiseme ini tidak dapat mensintesis purine secara de novo [66]. Obat lain yang telah diteliti memiliki efektivitas terhadap pengobatan TE adalah golongan lipid-soluble dihydrofolate reductase inhibitor seperti trimetrexate atau piritrexim [67,68]. Golongan obat ini memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap

dihydrofolate reductase toksoplasma dibandingkan dengan pirimetamin.Tetapi telah dilaporkan bahwa terjadi relaps apabila trimetrexate diberikan secara monoterapi [69]. Obat ini dikombinasi dengan sulfadiazin memberikan khasiat yang baik pada TE, khususnya pada populasi penderita yang memberikan respons yang buruk terhadap pengobatan pirimetamin dan sulfadiazin, atau pada kelompok penderita yang memiliki prognosis yang buruk dengan klinis penurunan kesadaran yang cukup berat atau koma.Piritrexim merupakan obat golongan dihydrofolate reductase inhibitor alternatif selain pirimetamin, yang memiliki efek samping yang lebih sedikit, khususnya ruam kulit dan nyeri kepala, karena hanya memiliki efek inhibisi minimal pada histamine N-methyl-transferase, sehingga histamin yang terakumulasi tidak terlalu banyak di jaringan [68].

(17)

Neurosurgery Lecture Notes

DAFTAR PUSTAKA

1. Sabin AB, Olitzky PK. Toxoplasma and obligate intracellular parasitism. Science 1937;85:336-338 2. Dubey JP, Miller NL, Frenkel JK, The Toxoplasma gondii

oocyst from cat feces. J Exp Med 1970;133:636-662 3. Sheffield HG, Melton ML. Toxoplasma gondii: the oocyst,

sporozoite, and infection of cultured cells. Science 1970;167:892-893

4. Frenkel JK. Pathogenesis of toxoplasmosis and of infections with organisms resembling Toxoplasma. Ann N Y Acad Sci 1956;64:215

5. Luft BJ. Toxoplasma gondii. In: Walzer PD, ed. Parasitic infections in the immunocompromised host: immunologic mechanism and clinical application. New York: Marcel Dekker, 1988:179-279

6. Murray HW. How protozoa evade intracellular killing. Ann Intern Med 1983;98:1016-1018

7. Wilson CB, Tsai V, Remington JS. Failure to trigger the oxidative metabolic burst by normal macrophages: possible mechanism for survival of intracellular pathogens. J Exp Med 1980;151:328-346

8. Jones TC, Yeh S, Hirsch JG. The interaction between Toxoplasma gondii and mamallian cells: mechanism of entry and intracellular fate of the parasite. J Exp Med 1972;136:1157-1172

9. Sibley LD, Weidner E, Krahenbuhl JL. Phagosom acidification blocked by intracellular Toxoplasma gondii. Nature 1985;315:416-419

10. Murray HW, Nathan CF, Cohn ZA. Macrophage oxygen-dependent antimicrobial activity, IV: role of endogenous scavenger of oxygen intermediates. J Exp Med 1980;152:1610-1624

11. Weinman D, Chandler AH. Toxoplasmosis in man and swine: an investigation of the possible relationship. JAMA 1956;161:229-232

12. Masur H, Jones TC, Lempert JA, et al. Outbreak of toxoplasmosis in a family and documentation of acquired retinochoroiditis. Am J Med 1978;64:396-402

13. Teursch SM. Juranek DD, Sulzer A. Epidemic toxoplasmosis associated with infected cats. N Engl J Med 1979;300:695-699

14. Sacks JJ, Roberto RR. Brooks NF. Toxoplasmosis infection

asso iated ith ra goat s ilk. JAMA ; :

-1732

15. Benenson MW, Takafuji ET, Lemon SM, et al. Oocyst-transmitted toxoplasmosis associated with ingestion of contaminated water. N Engl J Med 1982;307:666-669 16. Aikawa M, Komata Y, Asai T, et al. Transmission and

scanning electron microscopy of host cell entry by Toxoplasma. Am J Pathol 1977;87;285-290

17. Ni hols BA, O Co or G‘. Pe etratio of ouse

peritoneal macrophages by the protozoan Toxoplasma gondii: new evidence for active invasion and phagocytosis. Lab Invest 1981;44:324-335

18. Joiner KA, Fuhrman SA, Miettinen HM, et al. Toxoplasma gondii: fusion competence of parasitophorous vacuoles in Fc receptor-transfected fibroblasts. Science 1990;249;641-646

19. Sabin A. Toxoplasmic encephalitis in children. JAMA 1941;116:801-814

20. Pinkerton H, Handerson RG. Adult toxoplasmosis: a previously unrecognized disease entity simulating the typhus-spotted fever group. JAMA 1941;116:807-814 21. Callahan WP Jr, Russell WO, Smith MG. Human

toxoplasmosis: a clinicopathologic study with presentation of five cases and review of the literature. Medicine 1946;25:343-397

22. Kass EH, Andrus SB, Adams RD, et al. Toxoplasmosis in the human adult. Arch Intern Med 1952;89:759-782

23. Hooper AD, Acquired toxoplasmosis. Arch Pathol 1957;64:1-9

24. Bach MC, Armstrong RM. Acute toxoplasmic encephalitis in an immunocompetent adult: a case report. S Afr Med J 1987;71:585-587

27. Tognetti F, Galassi E, Gaist G. Neurological toxoplasmosis presenting as a brain tumor. J Neurosurg 1982;56:716-721 28. Hakim M, Esmore D, Wallwork J, et al. Toxoplasmosis in

cardiac transplantation. Br Med J 1986;292:1108-1108 29. Frenkel JK, Weber RW, Lunde MN. Acute toxoplasmosis:

effective treatment with pyrimethamine, sulfadiazine, leucovorin calcium, and yeast. JAMA 1960;173:1471-1476 30. Kayhoe DE, Jacobs L, Beye HK, et al. Acquired

toxoplasmosis observations on two parasitologically proved cases treated with pyrimethamine and triple sulfonamides. N Engl J Med 1957;257:1247-1254

31. Leport C, Raffi F, Matheron S, et al. Treatment of central nervous system toxoplasmosis with pyrimethamine/ sulfadiazine combination in 35 patients with the acquired immunodeficieny syndrome: efficacy of long-term continuous therapy. Am J Med 1988;84:4-100

32. Weiss LM, Harris C, Berger M, et al. Pyrimethamine concentrations in serum and cerebrospinal fluid during treatment of acute Toxoplasma encephalitis in patients with AIDS. J Infect Dis 1988;157:580-583

33. Jacobson JM, Davidian M, Rainey PM, et al. Pyrimethamine pharmocokinetics in HIV-positive patients. Antimicrol Agents Chemother 2003

34. Bruto OH, Figueroa JJ, Garcia HH. Parasitic Infections in: Youmans Neurological Surgery, 6th Ed. 2011, p623 35. Golde DW, Bersch N, Quan SG. Trimethoprim and

sulfamethoxazole inhibition of hematopoiesis in vitro. Br J Haematol 1978;40:363-367

36. Haverkos HW. Assessment of therapy for Toxoplasma encephalitis. The Toxoplasma Encephalitis Study Group. Am J Med 1987;82:907-914

(18)

38. Jacobson J, Hafner R, Remington J, et al. Dose-escalation, phase I/ II tudy of azithromycin and pyrimethamine for the treatment of Toxoplasma encephalitis in AIDS. AIDS 2001;15:583-589

39. Araujo FG, Remington JS. Effect of clindamycin on acute and chronic toxoplasmosis in mice. Antimicrob Agents Chemother 1974;5:647-651

40. Westblom TU, Belshe RB. Clindamycin therapy of cerebral toxoplasmosis in an AIDS patient. Scand J Infect Dis 1988;20:561-563

41. Rolston KV, Hoy J. Role of clindamycin in the treatment of central nervous system toxoplasmosis. Am J Med 1987;83:551-554

42. Podzamczer D, Gudiol F. Clindamycin in cerebral toxoplasmosis. Am J Med 1988;148:2477-2482

43. Dannemann B, McCutchan JA, Israelski D, et al. Treatment of Toxopalsma encephalitis with intravenous clindamycin. Arch Intern Med 1988;148:2477-2482

44. Chirgwin K, Hafner R, Leport C, et al. Randomized phase II trial of atovaquone with pyrimethamine or sulfadiazine for treatment of Toxoplasma encephalitis in patients with AIDS: ACTG 237/ANRS 039 Sduty. CID 2002;34:1243-1250 45. Dannerman B, McCutchan JA, Israelski D, et al. Treatment

of Toxoplasma in patients with AIDS: a randomized clinical trial comparing pyrimethamine plus clindamycin to pytimethamine plus sulfonamides. Ann Intern Med 1992;116:33-43

46. Katlama C, DeWit S, Doherty O, et al. Pyrimethamine-sulfadiazine vs. pyrimethamine plus clindamycin for the treatment of Toxoplasma encephalitis in AIDS. CID 1996;22:268-275

47. Luft BJ, Hafner R, Korzun A, et al. Low dose trimetrophrim sulfametoxazole prophylaxis for toxoplasmic encephalitis in patients with AIDS. Ann Intern Med 1992;117:106-111 48. Grossman PL, Remington JS. The effect of trimethoprim

and sulfametoxazole on Toxoplasma gondii encephalitis in AIDS patients. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 1992;11:125-130

49. Hardy WD, Feinber J, Finkelstein DM, et al. Trimethophrim-sulfametoxazole versus aerosolized pentamidine for secondary prophylaxis of Pneumocystis carinii pneumonia in AIDS patients receiving zidovudine: AIDS clinical trial group protocol 012. N Engl J Med 1992;327:1842-1848

50. Clotet B, Sirera G, Romeu J, et al. Twice-weekly dapsone-pyrimethamine for preventing PCP and cerebral toxoplasmosis. AIDS 1991;5:601-602

51. Derouin F, Piketty C, Chastan C, et al. Anti-Toxoplasma effects of dapsone alone and combined with pyrimethamine. Antimicrob Agents Chemother 1991;35:252-255

52. Girard PM, Landeman R, Gaud-bout C, et al. Dapsone-pyrimethamine compared with aerosolized pentamidine as primary prophylaxis against Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) and toxoplasmosis in HIV-infection. N Engl J Med 1593;328:1514-1520

53. Podzamczer D, Satin M, Jimenez J, et al. Twice-weekly cotrimoxazole is better than weekly dapsone-pyrimethamine for primary prevention of Pneumocystis carinii pneumonia in HIV-infected patients. AIDS 1993;7:501-506

54. Furrer H, Opravil M, Bernascine E, et al. Stopping primary prophylaxis in HIV-1-infected patients at high risk for Toxoplasma encephalitis. Lancet 2000;355:2217-2218 55. Guidelines for preventing opportunistic infections among

HIV-infected persons-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2002;51(RR08):1-46

56. Chang HR, Pechere JF. Effect of roxithromycin on acute toxoplasmosis in mice. Antimicrob Agents Chemother 1987;31:1147-1149

57. Chan J, Luft BJ. Activity of roxithromycin (RU 28965), a macrolide antibiotic with potent activity against Toxoplasma gondii. Antimicrob Agents Chemother 1988;32:755-757

58. Blais J, Garneau V, Chamberland S. Inhibition of Toxoplasma gondii protein synthesis by azithromycin. Antimicrob Agents Chemother 1993;37:1701-1703 59. Pfefferkorn ER, Nothanagel RF, Borotz SE. Parasiticidal

effect of clindamycin on Toxoplasma gondii grown in cultured cells and selection of drug-resistant mutant. Antimicrob Agents Chemother 192;36:1091-1096 60. Beckers CJM, Roos DS, Donale RGK, et al. Inhibition of

cytoplasmic and organellar protein synthesis in Toxoplasma gondii: implication for the target of macrolide antibiotics. J Clin Invest 1995;95:367-376

61. Hofflin JM, Remington JS. In vivo synergism of roxithromycin (RU 965) and interferon against Toxoplasma gondii. Antimicrob Agents Chemother 1987;31:346-348

62. Luft BJ. Potent in vivo activity of aprinocid, a purine analogue against murine toxoplasmosis. J Infect Dis 1986;154:692-694

63. Kovacs JA, Chabner BA, Lunde M, et al. Potent effect of trimetrexate, a lipide-soluble antifolate, on Toxoplasma gondii. J Infect Dis 1987;156:828-830

64. Polis MA, Masur H, Tuazon C, et al. Salvage trial of trimetrexate-leucovorin for treatment of cerebral toxoplasmosis in AIDS patients. Clin Res 1989;37:437A 65. Lopes F, Goncalves D, Bregano R, Freire R, Navarro I.

Toxoplasma gondii infection in pregnancy. Braz J Infect Dis vol. 11 no.5 Salvador Oct. 2007

66. Kaplan JE, Masur H, Holmes KK; USPHS; Infectious Disease Society of America. Guidelines for preventing opportunistic infections among HIV-infected persons-2002. Recommendations of the U.S. Public Heath Service and the Infectious Diseases Society of America. MMWR Recomm Rep. 2002;51 (RR-8):1-52

67. Wong KH. Toxoplasmosis. In: Chan K, Wong KH, Lee SS. HIV manual 2001. Red Ribbon Centre 2002;193-8

68. HIV In Site Knowledge Base Chapter, 2006 Carlos S.

Subauste, MD, Case Western Reserve

(19)

Neurosurgery Lecture Notes

CEREBRAL ASPERGILLOSIS

Donny Luis, Muhammad Fadhli, Alvin Abrar Harahap, Abdul Gofar Sastrodiningrat

CNS aspergillosis is the most lethal manifestation of infection

PENDAHULUAN

Apergillosis pada susunan saraf pusat (SSP) merupakan infeksi yang jarang terjadi, biasanya

terjadi pada pasien dengan status

immunocompromised. Aspergillosis memiliki 3 bentuk klinis: meningitis, mycotic aneurysms, infark dan bentuk tumor (aspergilloma). Fokus utama pada kebanyakan kasus aspergillosis terdapat pada paru, diikuti dengan sinus. Infeksi dari sinus dapat menyebar langsung ke otak dari sinus nasal dan paru secara hematogen.1

Gambaran klinis aspergillosis tidak khas, tidak dijumpai karakteristik diagnostik tertentu, infeksi ini sering didiagnosa sebagai meningitis tuberkulosa, abses piogenik, atau tumor otak. Aspergillosis harus dipertimbangkan pada pasien dengan timbulnya defisit neurologik fokal akut yang memiliki gejala space occupying lesion, terutama pada pasien yang immunocompromised.1

Frekuensi kejadian infeksi jamur intrakranial ditemukan meningkat pada pasien AIDS.

Siddiqui dkk, mengklasifikasikan

aspergillosis menjadi 3 tipe. Tipe 1 adalah pasien dengan aspergillosis intraserebral yang memiliki

outcome klinis paling buruk. Tipe 2 adalah pasien dengan aspergillosis pada orbita atau dasar tengkorak yang memiliki pemulihan yang baik. Tipe 3 adalah pasien dengan aspergilosis intrakranial ekstradura yang memiliki outcome sedang.2

ETIOLOGI

Aspergillus pertama kali dicatat dalam katalog pada 1729 oleh pendeta Itali dan seorang biologis, Pier Antonio Micheli. Pada pengamatan dibawah mikroskop, Micheli menilai persamaan bentuk aspergillus dengan aspergillum (pemercik air suci yang digunakan di gereja Katolik), berasal dari bahasa latin spargere (memercikkan), dan kemudian menamakan organisme ini sebagai aspergillus.3

Aspergillus fumigatus merupakan patogen utama dari genus Aspergillus pada manusia.

Aspergillus tersebar secara merata diseluruh dunia. Aspergillus merupakan jamur saprophytic opportunistic yang ditemukan dimana-mana; di tanah, tumbuhan, kayu, sayur-sayuran, dan bahan-bahan organik lain di dalam atau pun di luar ruangan. Organisme ini merupakan genus yang sangat aerobik dan oleh karena itu dapat ditemukan di semua lingkungan yang kaya oksigen.3

Sebagai organisme opportunistik,

aspergillosis mendapatkan nutrisi dari host yang ditumpanginya. Aspergillosis dapat bereproduksi secara sexual dan asexual, reproduksi asexual

merupakan cara reproduksi utama pada

kebanyakan spesies. Aspergilosis memiliki hypha yang bersepta-septa dan bercabang , dengan lebar yang bervariasi mulai 4 sampai 12 mm, bercabang dikotom dan menghasilkan sejumlah spora pada ujung conidiophore.4

(20)

Klasifikasi Taksonomi

•Ki gdo Fu gi

•Ph lu As o ota

•Class As o etes

•Order Eurotiales •Fa il Tri ho o a aea •Ge us Aspergillus

•“pe ies: A. fu igatus, A. fla us, A. iger, A. nidulans, A. terreus

Walaupun telah ditemukan lebih dari 100 spesies, mayoritas infeksi yang terjadi pada manusia disebabkan oleh spesies Aspergillus fumigatus dan Aspergillus niger, dan lebih jarang oleh A.flavus dan A.clavatus.

Tabel 1. Jamur yang mengakibatkan infeksi pada susunan

x Allergic bronchopulmonary aspergillosis or ABPA yang terjadi pada pasien asma, cystic fibrosis, dan sinusitis

x Acute invasive aspergillosis, penyebaran infeksi aspergillus pada jaringan tubuh seperti paru, SSP, ginjal; sering dijumpai pada pasien immunocompromised seperti

AIDS dan pasien yang menjalani

kemoterapi.

x Disseminated invasive aspergillosis, infeksi aspergillosis yang menyebar ke seluruh tubuh.

x Aspergilloma, bola jamur (fungus ball) yang terjadi pada kavitasi seperti paru dan abses serebri.

Penyebaran aspergillosis pada susunan saraf pusat lebih sering dijumpai pada penderita yang immunocompromised, dijumpai sebagai infeksi opportunistik, sebagaimana terlihat pada penderita AIDS. Aspergilosis SSP dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi jantung, ginjal dan organ lain. Infeksi ini juga dijumpai pada pasien dengan neutropenia yang berhubungan dengan leukemia akut, kemoterapi, dan menjalani terapi steroid.6

(21)

Neurosurgery Lecture Notes

NEUROPATOLOGI

Pembentukan abses tunggal ataupun multipel dengan invasi pembuluh darah yang mengakibatkan thrombosis merupakan ciri pemeriksaan neuropatologi dari aspergillosis. Aspergillus memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menginvasi arteri dan vena (angiotropic), mengakibatkan necrotizing angitis, thrombosis sekunder, dan perdarahan.

Onset dari aspergillosis serebral ditandai dengan manifestasi defisit neurologis fokal pada distribusi arteri serebral anterior dan media. Haemorrhagic infarct kemudian berubah menjadi septic infarct

yang mengakibatkan abses dan serebritis. Hypha dari jamur ditemukan menginvasi dinding pembuluh darah kecil, sedang dan besar dari jaringan yang terkena. Invasi pada arah yang berlawanan juga dapat terjadi. Lesi purulen dapat menjadi kronis dan memiliki kecenderungan untuk membentuk granuloma dan fibrosis. Secara mikroskopis gambaran yang dijumpain adalah invasi vaskular dengan gambaran thrombosis. Pada lesi purulen, pus dijumpai di tengah abses dengan beragam jenis sel di perifer. Granuloma dapat mengandung limfosit, sel plasma, dan hypha jamur.9

MANIFESTASI KLINIS

Aspergillosis sebaiknya dipertimbangkan sebagai diagnosa banding pada pasien dengan onset akut defisit neurlologis yang diakibatkan dari lesi vaskular atau space occupying lesions yang

dicurigai terutama pada pasien yang

immunocompromised. Pasien-pasien dengan penyakit sinus paranasal yang mengalami ekstensi orbita dengan proptosis, ocular palsy, penurunan penglihatan, dan chemosis dapat dicurigai terinfeksi aspergillosis. Gejala klinis sering berupa nyeri kepala, muntah, kejang, hemiparese, demam, defisit saraf kranial, kelumpuhan, dan gangguan sensorik. Tampilan klinis menyerupai meningitis dan perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat manifestasi mycotic aneurysms.9

Pasien sering tidak mengalami demam, atau hanya mengalami demam ringan. Gejala klinis biasanya diakibatkan oleh lesi massa, jamur aspergillus sendiri cenderung menginvasi pembuluh darah dan mengakibatkan nekrosis

ekstensif dan kadang-kadang perdarahan intrakranial.

Penyebaran ke SSP merupakan komplikasi yang sangat berat dari aspergillosis invasif. Komplikasi invasi paru secara historis telah dihubungkan dengan angka kematian >90%. Penyebaran ini terjadi paling sering secara hematogen dari fokus paru atau penyebaran langsung dari infeksi sinus paranasal. Aspergillosis serebral merupakan manifestasi yang paling mematikan dari infeksi susunan saraf pusat.

Dibandingkan dengan candidiasis atau

cryptococcosis pada SSP, defisit neurologik fokal atau kejang fokal lebih sering terjadi pada aspergillosis.10

Aspergillosis epidural merupakan

manifestasi klinis yang jarang terjadi dari aspergillosis SSP yang diakibatkan oleh ekstensi ke ruang epidural dari abses vertebra. Terapi anti jamur sistemik dan drainase pembedahan dipertimbangkan sebagai praktek standar manajemen aspergillosis epidural.11

Tabel 2. Faktor risiko mayor untuk infeksi jamur susunan saraf pusat.11

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Aspergillosis didagnosa dengan

(22)

demikian adalah sulit untuk menegakkan diagnosa aspergillosis susunan saraf pusat.

Darah rutin

Neutropenia merupakan gambaran klasik dari aspergillus dan jamur lain, yang menggambarkan pentingnya fagosit dalam sirkulasi untuk mengontrol patogen ini. Durasi dan beratnya neutropenia berhubungan secara langsung terhadap risiko aspergillosis, pasien dengan neutropenia yang lama seperti pada anemia aplastik atau penyebab kegagalan sumsum tulang lainnya, merupakan pasien dengan risiko tinggi.

Pemeriksaan Cairan Serebrospinal

Secara umum, lumbal punksi merupakan kontraindikasi pada pasien dengan lesi massa intrakranial yang berhubungan dengan edema serebral. Perubahan tekanan intrakranial dengan menarik cairan serebrospinal untuk pemeriksaan laboratorium dapat memicu sindrom herniasi serebral atau ruptur abses ke dalam sistem ventrikel.8

Pleositosis cairan spinal (600 sel/mm3) dan peningkatan sedang dari cairan serebrospinal dapat dijumpai, tetapi glukosa biasanya normal pada aspergillosis SSP. Namun temuan hasil pemeriksaan cairan serebrospinal ini sangat bervariasi, pasien aspergillosis bisa saja memiliki gambaran analisa cairan serebrospinal yang normal. Organisme jamur jarang ditemukan pada cairan serebrospinal. Gambaran khas hypha dan conidia dari spesies aspergillus nampak dengan pewarnaan hematoksilin- eosin dan reagen periodic acid-Schiff (PAS), tetapi pewarnaan terbaik

adalah de ga Go ori s ethe a i e sil er

(GMS). Preparat basah dengan pewarnaan potassium hydroxide (KOH) dapat menunjukkan aspergillus.8

Radiologi

Diagnosa lesi massa intrakranial paling baik ditunjukkan dengan CT scan atau MRI dengan atau tanpa kontras. Pada CT scan dijumpai lesi hipodens dengan penyangatan kontras yang bervariasi. Abses kronis menunjukkan penyangatan cincin abses yang homogen. Efek massa minimal dan penyangatan kontras lemah dapat dijumpai pada

pemeriksaan CT scan pasien dengan abses aspergillus fumigatus. CT scan juga berguna untuk monitor efektifitas terapi. MRI dengan sensitifitas yang lebih tinggi berguna dalam menunjukkan abses intraserebral multipel yang tidak tampak pada CT scan.

Gambar 2. X-ray torak pasien aspergillosis8

(23)

Neurosurgery Lecture Notes

Gambar 4. CT torak menunjukkan nodul pulmonar (panah hitam) dengan opasitas terang dan gambaran infiltrasi ke jaringan sekitar, diduga sebagai aspergilloma pulmonar. B. CT cranial menunjukkan perbaikan radiologis pada frontal kanan.8

Kultur

Kultur aspergillus pada agar Sabourad menunjukkan gambaran conidiophore yang klasik. Walau demikian kultur cairan serebrospinal dan kultur darah sering negatif.

Gambar 5. Hypha bercabang pada pewarnaan KOH 15% pada perbesaran 400x. B Koloni jamur pada agar Saboraud dextrose. C.Morfologi mikroskopis dari aspergillus fumigatus dengan pewarnaan lactophenol cotton blue, perbesaran 400x.8

Serologi

Pemeriksaan enzyme immunoesssay (EIA) untuk antigen aspergillus, galactomannan,

memberikan kontribusi substansial untuk pemeriksaan diagnosa non kultur untuk aspergillosis invasif. EIA untuk galactomannan merupakan pemeriksaan yang sahih pada model hewan dan deteksi pada pasien dengan aspergillosis invasif. Antigen galactomannan dapat juga terdeteksi pada sampel cairan serebrospinal pasien aspergillosis dan spesimen cairan

bronchoalveolar lavage dari pasien dengan aspergillosis pulmonar invasif. Selain untuk deteksi dini aspergillosis, galactomannan dapat juga membantu untuk monitor efisiensi terapi. Walau demikian kegunaan galactomannan sebagai monitor efektifitas terapi masih terus dipelajari karena efektifitas terapi tidak hanya dinilai dari normalisasi antigen , tetapi juga dengan perbaikan klinis dan temuan radiologis.13,14

Pemeriksaan serum untuk galactomannan telah dilaporkan pada beberapa serial studi memiliki sensitifitas dan spesifitas sebesar 95% untuk infeksi aspergillus invasif.15

TERAPI

Intervensi pembedahan agresif untuk evakuasi abses aspergillus, granuloma, dan parenkim otak terinfeksi dan kombinasi dengan obat anti jamur merupakan terapi yang dianggap efektif pada saat ini.8

(24)
(25)

Neurosurgery Lecture Notes

Tabel 4. Lanjutan19

NOTE. ABLC, AMB lipid complex; AMB, amphotericin B; AML, acute myelogenous leukemia; BID, twice daily; GVHD, graft-versus-host disease; IV, intravenous; L-AMB, liposomal AMB; MDS, myelodysplastic syndrome; PO, orally; QID, 4 times daily.

a Duration of therapy for most conditions for aspergillosis has not been optimally defined. Most experts attempt to treat pulmonary infection until resolution or stabilization of all clinical and radiographic manifestations. Other factors include site of infection (e.g., osteomyelitis), level of immunosuppression, and extent of disease. Reversal of immunosuppression, if feasible, is important for a favorable outcome for invasive aspergillosis.

b Alternative (salvage) therapy for patients refractory to or intolerant of primary antifungal therapy.

c Micafungin has been evaluated as salvage therapy for invasive aspergillosis but remains investigational for this indication, and the dosage has not been established.

d Posaconazole has been approved for the salvage treatment of invasive aspergillosis in the European Union but has not been evaluated as primary therapy for invasive aspergillosis.

e Dosage of itraconazole in treatment of invasive pulmonary aspergillosis depends on formulation. The dosage for tablets is 600 mg/day for 3 days, followed by 400 mg/day. Although used in some case reports, oral solution is not licensed for treatment of invasive aspergillosis. Parenteral formulation has been studied in a limited series using a dosage of 200 mg every 12h IV for 2 days, followed by 200 mg daily thereafter (whether this is an optimal dosage has not been defined).

f Most of these cases have been treated primarily with deoxycholate AMB in individual case reports. Although the preponderance of cases treated with voriconazole in the randomized trial consisted of pulmonary invasive aspergillosis, successful treatment of other cases of extrapulmonary and disseminated infection allows one to infer that voriconazole would also be effective in these cases, so that voriconazole is recommended as primary therapy for most of these patients.

(26)

Kadar amphotericin B pada cairan serebrospinal secara umum tidak terdeteksi, walaupun telah menunjukkan efektifitas pada terapi infeksi aspergillus susunan saraf pusat. Formulasi lipid dari amphotericin terdistribusi ke sistem fagositik mononuclear, dapat mengurangi toksisitas dari obat ini. Gagal ginjal merupakan keadaan yang harus dipertimbangkan sehubungan dengan toksistas amphotericin B karena dosisnya harus diturunkan. Formulasi lipid dari amphotericin B memungkinkan pemberian dosis yang lebih tinggi pada pasien dengan gagal ginjal. Potensiasi nefrotoksik dapat terjadi dengan inhibitor calcineurin (misalnya cyclosporin, tacrolimus) dan aminoglikosida yang sering digunakan pada penerima transplantasi organ.16

Amphotericin B deoxycholate standar telah dihubungkan dengan outcome jelek, selain toksisitas yang berat. Saat ini amphotericin B tidak lagi direkomendasikan sebagai terapi primer pada pasien aspergillosis.17

Terdapat beberapa studi untuk

aspergillosis invasif. Studi kontrol acak terbesar menunjukkan bahwa voriconazole lebih superior dibandingkan dengan deoxycholate amphotericin B (D-AMB) sebagai terapi primer untuk aspergillosis invasif pada hampir semua pasien (A-I). Walaupun aspergillus pulmonar merupakan kasus yang paling dominan, voriconazole telah digunakan sebagai terapi yang efektif untuk aspergillus ekstrapulmonar. Sebuah studi lain yang membandingkan efektifitas liposomal amphotericin B (LAMB) menunjukkan efektifitas yang sama dengan voriconazole, mengindikasikan bahwa terapi liposomal dapat dipertimbangkan sebatai terapi primer alternatif pada beberapa pasien.1

Studi-studi terbaru saat ini mendukung penggunaan voriconazole sebagai rekomendasi primer untuk terapi anti jamur sistemik pada aspergillosis SSP (A-III). Itraconazole, posaconazole, atau LFAP direkomendasikan untuk pasien yang intoleran atau gagal dengan pengobatan vorconazole (B-III).18

Pemberian Itraconazole tunggal dianggap tidak efektif oleh karena penetrasi ke jaringan otak yang kurang baik.19

Antifungal Triazoles

Antifungal triazoles merupakan senyawa si tetis a g e iliki ≥ triazole a g elekat pada inti isobutyl (voriconazole, ravuconazole, dan isvuconazole) atau karbon asimetris dengan kompleks lipofilik yang bercampur dengan rantai

aromatik fungsional (itraconazole dan

posaconazole). Kedua kelas dari anti-aspergillus triazole memiliki variasi farmakologi dan mekanisme resistensi. Fluconazole, yang juga merupakan antifungal triazole, tidak efektif terhadap aspergillosis invasif. Voriconazole merupakan terapi primer untuk aspergillosisi invasif yang disetujui oleh FDA. Itraconazole digunakan untuk terapi aspergillosis invasif yang refrakter atau intoleran terhadap terapi anti jamur standar. Posaconazole, telah disetujui oleh FDA sebagai terapi pencegahan aspergillosis invasif pada pasien neutropenia yang mengalami kemoterapi induksi remisi untuk leukemia myelogenous akut atau sindrom myelodysplastic dan untuk pasien penerima transplantasi organ.18

Diantara pasien dengan aspergillus SSP yang menerima terapi voriconazole yang dikombinasikan dengan intervensi bedah, dijumpai respon yang baik pada 35% pasien; oleh karena itu voriconazole direkomendasikan sebagai terapi aspergillosis SSP. Itraconazole dan posaconazole juga telah dilaporkan memberikan hasil yang cukup menjanjikan dalam terapi aspergillosis SSP.19,20

Voriconazole oral memiliki bioavailability sebesar 96%, oleh karena itu direkomendasikan untuk penggunaan voriconazole oral bila memungkinkan.

Tabel 5. Dosis Voriconazole.20

(27)

Neurosurgery Lecture Notes

Anti aspergillus triazole aktif secara in vitro dan in vivo terhadap spesies aspergillus.

Resistensi terhadap anti aspergillus triazoles adalah jarang walaupun pada beberapa spesimen aspergillus fumigatus yang terisolasi ditemukan resisten terhadap itraconazole. Studi-studi terbaru menunjukkan adanya kecenderungan untuk peningkatan resistensi terhadap antifungal trizole.

Debridemen pembedahan memungkinkan penetrasi ke dalam abses dengan evakuasi debris nekrosis. Lobektomi pada pasien dengan abses tunggal aspergillus fumigatus merupakan pilihan pembedahan bila melibatkan area noneloquent dari otak.

Luas eksisi pembedahan dari lesi intrakranial dan durasi dari terapi optimal dari aspergillosis SSP masih tidak diketahui dengan baik. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa aspergilloma intrakranial invasif pada pasien yang

imunocompetent akan memberikan respon terapi terbaik terhadap eksisi radikal dari aspergilloma intrakranial yang dikombinasikan dengan obat anti jamur oral kelompok triazole, baik voriconazole ataupun itraconazole, yang diberikan selama 6 bulan nampaknya meningkatkan outcome jangka panjang.17

Amphotericin B telah menjadi terapi utama aspergillosis untuk seperempat abad terakhir. Dosis percobaan intravena 1 mg atau 0,1mg/kg diberikan per infus selama 30 menit untuk menyingkirkan reaksi anafilaksis (terjadi pada 1% kasus) telah direkomendasikan. Dosis ditingkatkan mulai 0,25 sampai 1,5 mg/kg satu kali per hari per infus selama 2-4 jam. Walau demikian penggunaan obat ini terbatas karena toksisitas yang diakibatkannya. Untuk mengurangi efek toksik dari amphotericin B, dikembangkan sediaan liposomal. Keuntungan formulasi lipid dari amphotericin B adalah untuk mengurangi toksisitas yang dapat berupa infusion related toxicities dan nefrotoksik.

Oleh karena penetrasi ke SSP yang buruk bila diberikan sistemik, beberapa ahli bedah memberikan amphotericin B dengan instilasi ke kavitas abses secara langsung. Terapi kombinasi dengan 5 fluorocytosine juga direkomendasikan. Rifampicin dan 5 fluorocytosine dapat bekerja sinergis dengan amphotericin B pada penyakit

jamur. Dosis flucytosine adalah 50-150 mg/kg/hari diberikan oral setiap 6 jam. Itraconazole (200 mg per oral satu kali per hari), miconazole (infus 0,2 – 1,2 g tiga kali sehari), dan sulfamethoxazole juga efektif. Obat-obat ini digunakan untuk mengontrol penyebaran penyakit dan bukan kuratif.8

Bila memungkinkan, terapi supresi imun sebaiknya direndahkan dan dihentikan pada pasien yang menderita infeksi susunan saraf pusat.

Beberapa ahli bedah melakukan pemberian amphotericin B, secara intratekal (misalnya dengan Ommaya reservoir). Demikian juga dengan itraconazole dan voriconazole.24,25 Namun pada saat ini praktek pemberian obat anti jamur intratekal atau intra lesi tidak direkomendasikan untuk pengobatan aspergillosis SSP (B-III). Pemberian intratekal obat anti jamur tidak memungkinkan penetrasi diantara pia mater dan dapat menginduksi arachnoiditis kimiawi, kejang, nyeri kepala hebat, dan perubahan status mental. Terapi obat anti jamur sistemik dosis tinggi lebih direkomendasikan untuk mendapatkan konsentrasi obat pada parenkim otak yang lebih tinggi.18

KOMPLIKASI PEMBEDAHAN

Aspirasi stereotaktik merupakan prosedur pilihan untuk kebanyakan abses, terutama pada abses yang berukuran lebih dari 1,5 cm. Indikasi dari aspirasi termasuk untuk menegakkan diagnosa, mengurangi efek massa, meningkatkan efektifitas pengobatan dan pada kegagalan terapi sistemik. Aspirasi komplit dari abses tidak

diperlukan karena dapat mengakibatkan

perdarahan dalam rongga abses.

Seperti disebutkan sebelumnya, pemberian obat anti jamur intratekal atau intra lesi tidak direkomendasikan karena dapat menginduksi arachnoiditis kimiawi, kejang, nyeri kepala hebat, dan perubahan status mental.

Gambar

Gambar 20. Siklus hidup toksoplasma gondii. Dikutip dari: Guided by Parasites: Toxoplasma Modified Humans by Tobias on June 4, 2010
Gambar 21 Algoritma penatalaksanaan toksoplasmosis pada penderita HIV.  Dikutip dari: Wong KH
Tabel 18. Terapi fase akut dan rumatan pada penderita toksoplasmosis yang dianut ole Departemen Ilmu Bedah Saraf FK USU
Tabel 19. Regimen pengobatan profilaksis utama TE pada penderita HIV positif. Dikutip dari: HIV In Site Knowledge Base Chapter, 2006 Carlos S
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Bagaimana Gejala Dan Obat Penyakit Sipilis ~ Obat sipilis dari pengobatan sipilis de nature adalah pilihan yang sering dikatakan manjur oleh para

Berbagai penelitian telah membuktikan khasiat kurkuminoid dalam pengobatan terutama sebagai antihepatoksik dan antikolesterol, serta obat tumor dan kanker (Nagabhushan &amp;

Pada umumnya masyarakat memilih pengobatan dengan memakai obat tradisional berdasarkan informasi yang ada di masyarakat dan iklan-iklan pengobatan alternatif, akan

Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar tenaga medis dan paramedis memotivasi anggota keluarga penderita hipertensi sebagai motivator minum obat, melakukan studi khasiat

Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi : nama obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang mungkin timbul,

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis evaluasi ekonomi penderita microfilaremia yang patuh minum obat, dengan yang tidak patuh minum obat setelah pengobatan massal filariasis

Berdasarkan hasil penelitian disarankan agar tenaga medis dan paramedis memotivasi anggota keluarga penderita hipertensi sebagai motivator minum obat, melakukan studi khasiat

Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat dipertimbangkan