• Tidak ada hasil yang ditemukan

S SEJ 1204467 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "S SEJ 1204467 Chapter1"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Bab I memaparkan pengenalan awal mengenai topik yang akan dikaji dalam

suatu penelitian. Penulis memaparkan alasan mengapa ia mengkaji topik tersebut

yang dilatarbelakangi oleh ketertarikan, kemenarikan dan yang terpenting topik

tersebut itu mempunyai gap atau kekosongan pembahasan yang kurang mendalam

pada penelitian-penelitian terdahulu.

Dalam penelitian ini, penulis mempunyai ketertarikan untuk mengkaji

pergerakan organisasi etno-nasionalis Paguyuban Pasundan dalam bidang

pendidikan di Tasikmalaya. Penulis memberikan judul dalam penelitian ini

dengan judul “Peranan Paguyuban Pasundan dalam Perkembangan

Pendidikan di Tasikmalaya pada tahun 1913-1942”. Bab I ini terbagi dalam

beberapa sub- bab yang terdiri dari : Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah

Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat / Signifikansi Penelitian dan Struktur

Organisasi Skripsi.

1.1 Latar Belakang Penelitian

Bila berbicara mengenai organisasi Paguyuban Pasundan, tentunya tidak

akan lepas dari tokoh Oto Iskandar di Nata. Ia menjadi icon organisasi ini dan

menjadi kebanggaan orang-orang Sunda. Melihat pergerakannya dahulu,

Paguyuban Pasundan mengalami masa keemasannya di bawah kepemimpinan

seorang Oto Iskandar di Nata. Berkat perjuangannya tersebut, ia dikenal dengan

julukan “Si Jalak Harupat” karena keberaniannya dalam menyampaikan gagasan

yang sangat tajam sebagai sebuah kritik terhadap kebijakan pemerintah kolonial.

Banyak literatur yang membahas mengenai pergerakan Paguyuban

Pasundan dan Oto Iskandar di Nata. Akan tetapi, pembahasan tersebut lebih

condong ke arah politik organisasi. Tidak banyak literatur yang khusus membahas

pergerakan Paguyuban Pasundan dalam bidang pendidikan. Terlebih pula,

pembahasan mengenai Paguyuban Pasundan dan Oto itu sifatnya lebih umum,

(2)

Pergerakan nasional merupakan babak baru sejarah bangsa Indonesia

dibawah penjajahan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada masa ini, bangsa

Indonesia melakukan perjuangannya melawan penjajah dengan dipelopori oleh

para kaum intelektual. Berbeda pada masa sebelumnya, dimana perjuangan

kemerdekaan dilakukan dengan jalan perang atau kontak fisik dibawah komando

tokoh-tokoh terkemuka atau raja. Menurut Rutgers (2012, hlm. 1) perjuangan

kemerdekaan pada masa ini (awal abad 20) dilatarbelakangi oleh dorongan

eksternal dengan adanya semangat baru dari bangsa Jepang (Asia) yang berhasil

mengalahkan bangsa Rusia di bawah kekuasaan Tsar. Hal tersebut secara tidak

langsung menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka bisa meraih kemerdekaan

melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Pada masa pergerakan nasional,

di Indonesia telah berkembang ide-ide baru mengenai organisasi dan lebih

canggih mengenai identitas. Ide-ide baru mengenai organisasi meliputi

bentuk-bentuk kepemimpinan yang baru dan definisi baru mengenai identitas meliputi

analisis yang lebih mendalam mengenai lingkungan agama, sosial, politik dan

ekonomi (Ricklefs, 2008, hlm. 353).

Pada masa pergerakan nasional telah banyak bermunculan

organisasi-organisasi modern yang mempunyai tujuan berbeda dalam keorganisasi-organisasiannya.

Salah satu organisasi tersebut ialah Budi Utomo dan Sarekat Islam. Menurut

Pringgodigdo (1994, hlm. 1) Budi Utomo merupakan organisasi modern pertama

di Indonesia yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta. Disamping Budi

Utomo, terdapat juga organisasi modern lainnya yaitu Sarekat Islam yang

didirikan di Solo oleh H. Samanhudi yang awalnya bernama Sarekat Dagang

Islam dengan tujuannya ingin memajukan perdagangan Indonesia di bawah

panji-panji Islam (Pringgodigdo, 1994, hlm. 4). Kedua organisasi tersebut merupakan

organisasi yang mempunyai tujuan berbeda, akan tetapi mempunyai kesamaan

dimana kedua organisasi tersebut merupakan organisasi modern yang mempunyai

tujuan yang jelas dan rasional.

Pada masa pergerakan nasional juga selain dalam hal politik, masyarakat

Indonesia setidaknya telah banyak diperhatikan oleh pihak Hindia Belanda dalam

beberapa aspek kehidupan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan

(3)

dikatakan lebih “etis” bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan tersebut

disebut dengan “Politik Etis”.

Tokoh Belanda yang dikenal dengan Van Deventer menulis sebuah tulisan

di dalam majalah de Gids yang berjudul Een Eereschuld atau “utang kehormatan”.

Menurut Van Deventer, Belanda berutang kepada bangsa Indonesia atas semua

kekayaan yang telah diperas dan diambil dari bangsa Indonesia sehingga utang

kehormatan tersebut harus dibayarkan ke dalam bentuk kebijakan yang

memprioritaskan kepentingan bangsa Indonesia. Pergerakan Van Deventer dan

tokoh humanis lainnya berpengaruh besar terhadap kebijakan politik Belanda

sehingga pada tahun 1901 Ratu Wilhelmina melakukan penyelidikan mengenai

kesejahteraan rakyat Jawa. Kebijakan politik tersebut dikenal dengan “Politik Etis” yang menempatkan kesejahteraan rakyat diatas segalanya. Tiga kebijakan pokok dalam politik etis ini terdiri dari pendidikan, pengairan dan perpindahan

penduduk. Berkat jasanya itu, Van Deventer kemudian dikenal sebagai “Bapak

Pergerakan Politik Etis” (Lubis, 2003, hlm. 38-39).

Adanya kebijakan Politik Etis ini memberikan ruang gerak bagi organisasi

yang dikelola oleh orang-orang Indonesia untuk memajukan dan mensejahterakan

rakyat Indonesia. Salah satu organisasi tersebut ialah Paguyuban Pasundan yang

merupakan organisasi etno-nasionalis yang pada awal berdirinya aktif dalam

bidang sosial budaya.

Paguyuban Pasundan berdiri pada tanggal 20 Juli 1913 di Jakarta. Pendirian

organisasi Paguyuban Pasundan diawali dari pertemuan para siswa HBS, KWS,

STOVIA dan elemen masyarakat lainnya yang berada di sekitaran daerah Bogor

dan Jakarta di rumah Daeng Kanduruan Ardiwinata yang beralamat di Gang

Paseban, Weltevreden (Salemba, Jakarta Pusat). Pada perkumpulan tersebut,

selain menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan organisasi Sunda, mereka

merundingkan nama organisasi, susunan personalia organisasi serta dibuat

anggaran dasar dan program kerjanya. Pada awalnya, perkumpulan tersebut diberi

nama Pasoendan dengan pengurus intinya yang terdiri dari 8 orang yaitu D.K

Ardiwinata sebagai penasehat, Mas Dayat Hidayat sebagai ketua, R. Junjunan

sebagai sekretaris, R. Kusuma Sujana sebagai bendahara serta M. Iskandar, Karta

(4)

38-40). Latar belakang dari pembentukan organisasi ini selalu dikaitkan dengan

keberadaan organisasi Budi Utomo pada saat itu. Banyak yang beranggapan

bahwa kemunculan Paguyuban Pasundan merupakan reaksi dari pergerakan Budi

Utomo yang lebih mengutamakan etnis Jawa atau Jawa-sentris. Akan tetapi Edi S.

Ekadjati (2004, hlm. 49 ) mengemukakan bahwa tidak ada sumber-sumber primer

yang mengindikasikan bahwa Paguyuban Pasundan muncul sebagai reaksi dari

pergerakan Budi Utomo. Menurut Dayat Hidayat selaku pemrakarsa dan

pemimpin pertemuan pada saat pembentukan Paguyuban Pasundan, menuturkan

bahwa munculnya Paguyuban Pasundan itu dilatarbelakangi oleh kenyataan dan

kondisi masyarakat Sunda yang memprihatinkan. Etnis Sunda pada saat itu

mengalami ketertinggalan dari etnis-etnis lain yang ada di Indonesia maupun dari

bangsa Eropa. Ketertinggalan tersebut mencakup aspek pendidikan dan

kesempatan dalam memperoleh pekerjaan atau jabatan di pemerintahan. Hal

tersebut disebabkan oleh faktor mental dan pendidikan orang-orang Sunda yang

kurang kreatif, kurang ulet, kurang berani, etos kerja rendah dan kurang bisa

memperhatikan dinamika yang ada. Oleh karena itu, dibentuklah Paguyuban

Pasundan guna mensejahterakan dan memajukan orang-orang Sunda.

Latar belakang pembentukan Paguyuban Pasundan diatas, dipertegas dalam

anggaran dasar organisasi yang tertulis pada pasal 2 yaitu “Tujuan perkumpulan

ini akan memajukan kebahagiaan rakyat Sunda, dengan jalan membantu

memperbaiki perkembangan kecerdasannya, kerohaniannya dan kehidupan

kemasyarakatannya dengan melalui pendidikan dan pengajaran dan dengan usaha

meningkatkan daya pikir kerakyatan agar meningkatkan pula kemampuan

kerjanya sehingga kehidupannya lebih baik” (Sutjiatiningsih, 1983, hlm. 17).

Berdasarkan anggaran dasar diatas, Paguyuban Pasundan merancang

garis-garis besar program kerja guna mencapai tujuan yang tertuang dalam anggaran

dasar pasal 3 dengan cara (Suharto, 2002, hlm. 51) :

1. Menerbitkan surat kabar

2. Mempertahankan dan memajukan bahasa Sunda

3. Membangkitkan minat terhadap sejarah suku Sunda dan terhadap pengetahuan kehidupan rakyat di Sunda

4. Menyebarkan tulisan-tulisan yang berguna

(5)

6. Mempelajari dan memajukan pengetahuan bahasa Belanda 7. Memberikan bantuan dan penerangan-penerangan.

Tujuan dan garis besar program yang dicanangkan oleh Paguyuban

Pasundan tersebut merupakan salah satu langkah guna meningkatkan derajat

orang-orang Sunda agar mempunyai mental dan tingkat pendidikan yang

berkualitas serta guna meningkatkan kreatifitas, etos kerja dan sikap ulet sehingga

dapat ikut memperhatikan dinamika yang ada.

Bila dilihat dari anggaran dasar dan program yang dicanangkan oleh

Paguyuban Pasundan, anggaran dasar dan program tersebut lebih terfokus kepada

aspek pendidikan. Pada perkembangan selanjutnya pun perhatian akan pentingnya

pendidikan dilanjutkan oleh Oto Iskandar di Nata. Nina Herlina Lubis (2003, hlm.

51) mengemukakan gagasan Oto Iskandar di Nata yang berpendapat bahwa

satu-satunya jalan untuk melawan penjajahan yaitu dengan cara meningkatkan sumber

daya manusia melalui pendidikan. Gagasan tersebut direalisasikan oleh Oto

dengan mendirikan banyak sekolah-sekolah guna meningkatkan taraf pendidikan

orang Sunda. Dari tahun ke tahun, jumlah sekolah tersebut semakin bertambah

yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat.

Guna tercapainya tujuan dari gagasan Oto tersebut, Paguyuban Pasundan

pun mendirikan badan otonom guna meningkatkan taraf pendidikan orang-orang

Sunda. Badan otonom tersebut ialah Bale Pawulangan Pasoendan atau BPP.

Badan yang pertama didirikan yaitu Bale Pamulangan Pasundan (BPP), Pasundan bagian pengajaran yang diserahi pekerjaan mendidik, selainnya berusaha untuk pendidikan rakyat itu dengan teliti sekali mengusahakan pengajaran (onderwijs) bagi rakyat. Hampir di tempat yang berdiri di cabang Pasundan di sana juga ada sekolah Pasundan. Sekolah-sekolah itu tersiar di seluruh tanah Pasundan tak kurang dari 50 sekolah yang dapat mendidik tak kurang dari 50 ribu orang (Yahya, 2008, hlm. 69-70).

Keberadaan Bale Pawulangan Pasundan merupakan dampak dari

bertambah banyaknya sekolah-sekolah yang didirikan oleh Paguyuban Pasundan.

Hal tersebut berawal dari pembicaraan pada kongres Paguyuban Pasundan pada

tanggal 4-5 April 1931 di Bogor. Pembentukan BPP merupakan usul dari cabang

Paguyuban Pasundan daerah Jakarta, Cirebon dan Jatinegara guna membentuk

(6)

awalnya berkedudukan di Tasikmalaya dan pada tahun 1942 berpindah ke

Bandung dengan R. Ahmad Atmadja sebagai pemimpin BPP (Suharto, 2002, hlm.

101-102). Bale Pawulangan Pasundan dibentuk oleh komisi pengajaran Pasundan

yang mempunyai tugas untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan bidang

pendidikan dan pengajaran. Tujuan dari Bale Pawulangan Pasundan ini terdiri

dari:

1. Melahirkan bangsa yang utama dan berbudi pekerti luhur

2. Menjunjung taraf kehidupan rakyat dengan jalan memberi kesempatan secara luas untuk mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik bagi orang-orang yang berhasrat menyekolahkan anak-anaknya

3. Membendung masuknya kebudayaan Barat dan mempertebal rasa Kesundaan, dan rasa kebangsaan Indonesia pada umumnya (Lubis, 2003, hlm. 52-53).

Guna mengatur gedung-gedung sekolah yang sudah dibangun, Paguyuban

Pasundan mendirikan suatu badan yang bernama Bale Adegan Pasundan pada

tahun 1937 dengan ketuanya dipimpin oleh R. Muhamad Enoch. Pengaturan

gedung sekolah yang sudah ada diusahakan arsitekturnya kental dengan

kebudayaan Sunda seperti gaya atap julang ngapak (Lubis, 2003, hlm. 53).

Sekolah-sekolah yang dibangun oleh Paguyuban Pasundan menjalankan

aktifitas pendidikannya agar tetap bertahan yaitu dengan cara self-help atau

swadaya. Meskipun ada beberapa yang mendapat subsidi dari pemerintah.

Guru-guru mendapatkan gaji dari iuran murid-muridnya. Apabila terdapat murid yang

mengalami kesulitan keuangan, Paguyuban Pasundan pun membentuk suatu

badan untuk menyalurkan beasiswa yaitu Studiefonds Pasundan tahun 1931

(Lubis, 2003, hlm. 54-55).

Selain mempunyai berbagai badan otonom, Paguyuban Pasundan juga

mempunyai banyak cabang organisasi yang tersebar di beberapa daerah baik di

Jawa Barat maupun diluar Jawa Barat. Hal tersebut bertujuan untuk

mengefektifkan tujuan Pasundan agar etnis Sunda itu mempunyai sumber daya

manusia yang berkualitas dan memiliki identitas yang berintegritas sehingga

orang Sunda tidak pareumeun obor. Sutjiatiningsih (1983, hlm. 22)

mengemukakan bahwa sampai akhir tahun 1934, Paguyuban Pasundan telah

(7)

tersebut terdapat di Tasikmalaya yang menjadi salah satu cabang Pasundan

termaju dibandingkan dengan cabang yang lainnya. Hal tersebut dilatarbelakangi

oleh sumbangsih dan pergerakan Pasundan Tasikmalaya dalam usaha

meningkatkan taraf hidup masyarakatnya terutama dalam bidang pendidikan.

Dengan keberadaan Bale Pawulangan Pasundan serta cabang-cabangnya

yang tersebar di berbagai daerah, tujuan Paguyuban Pasundan guna meningkatkan

taraf pendidikan orang-orang Sunda menjadi lebih efektif. Hal tersebut tidak bisa

dipungkiri berdampak pula kepada daerah-daerah lokal di Jawa Barat tidak

terkecuali bagi daerah Tasikmalaya. Miftahul Falah (2010, hlm. 15)

mengemukakan bahwa “Kota Tasikmalaya memang terbilang istimewa dalam

pertumbuhan sekolah yang didirikan oleh Paguyuban Pasundan. Hal tersebut

tidaklah berlebihan karena ada satu jenis sekolah yang hanya didirikan di Kota

Tasikmalaya yaitu Kweekschool Pasundan”. Argumen tersebut dipertegas dengan

penuturan dari Nina Herlina Lubis (2003, hlm. 52) yang mengemukakan bahwa

“Kota Bandung dan Tasikmalaya merupakan kota yang paling banyak memiliki

sekolah yang didirikan oleh Paguyuban Pasundan, masing-masing 7 buah sekolah.

Sementara di sekolah lain umumnya hanya memiliki 1 sekolah”. Berdasarkan

pemaparan diatas, Tasikmalaya menjadi kajian yang menarik untuk dikaji melihat

pergerakan Paguyuban Pasundan di Tasikmalaya begitu besar.

Tasikmalaya merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dengan suku Sunda

menjadi mayoritas penduduknya. Pada saat ini, Tasikmalaya menunjukan pada

dua hierarki administrasi pemerintahan berbeda yang terdiri dari kabupaten dan

kota. Akan tetapi, penelitian ini mencakup dua hierarki administrasi pemerintahan

tersebut karena pada rentang tahun 1913-1942, Tasikmalaya masih menunjukan

pada satu administrasi pemerintahan yaitu Kabupaten Tasikmalaya yang dipimpin

oleh seorang Bupati. Oleh karena itu, Kota Tasikmalaya pada saat itu belum

memisahkan diri dan masih berada di bawah pemerintahan kabupaten. Miftahul

Falah (2010, hlm. 1) mengemukakan bahwa Kabupaten Tasikmalaya didirikan

oleh Sultan Agung pada 9 Muharam Tahun Alif bersama-sama dengan Kabupaten

Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang. Sedangkan, Kota Tasikmalaya

dibentuk pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan Undang-Undang Nomor 10

(8)

Sistem pendidikan di Tasikmalaya sejak dulu sudah melekat dengan sistem

pendidikan yang sifatnya teologis. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh keberadaan

dari Gunung Galunggung yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat

kabuyutan. Iip D. Yahya (2013, hlm. 9) mengemukakan bahwa Gunung

Galunggung pada masa Batari Hyang merupakan salah satu dari tiga pasak

wilayah Jawa bagian Barat, selain Gunung Gede di Pulau Merak dan Gunung

Gede di Cianjur. Tiga pasak tersebut bebas dari pajak dan berfungsi sebagai

kabuyutan yang memancarkan aura spiritualitas dan berfungsi sebagai tempat

orang-orang tapa di mandala. Pada perkembangan selanjutnya, sumber

spiritualitas orang-orang Sukapura atau Tasikmalaya beralih dari Galunggung ke

Pamijahan. Dari Batari Hyang menuju Syeikh Abdul Muhyi (Yahya, 2013, hlm.

13). Hal tersebut berkembang setelah masuknya pengaruh Islam ke Tasikmalaya.

Sejak masa pemerintahan Bupati Wiratanuningrat, Tasikmalaya tumbuh

menjadi tujuan mengaji santri dari berbagai daerah Jawa Barat, seperti Pesantern

Gudang Tasikmalaya (Kiai Syuja’i / Mama Gudang). Di daerah Singaparna berdiri Pesantern Cilenga yang diasuh oleh Ajengan Sobandi. Sementara

Pesantren Suryalaya diasuh oleh Kiai Mubarok atau Abah Sepuh / Ajengan

Godebag (Yahya, 2013, hlm 13). Pesantren-pesantren diatas merupakan induk

dari pesantren-pesantren yang ada sekarang di Tasikmalaya sehingga daerah

Tasikmalaya hangatdengan suasana kegiatan santri di pesantren.

Perkembangan sistem pendidikan teologis atau pesantren di Tasikmalaya

dilatarbelakangi oleh tiga faktor; Pertama, mayoritas masyarakat Tasikmalaya

yang beragama Islam yang mempunyai keyakinan bahwa mencari ilmu dalam

ajaran Islam itu merupakan suatu kewajiban. Kedua, adanya anggapan bahwa

sekolah formal itu hukumnya haram karena diperkenalkan oleh pemerintah

kolonial yang dianggap sebagai orang-orang kafir. Ketiga, adanya tuntutan bagi

santri yang sudah menyelesaikan pendidikannya di pesantren untuk mendirikan

pesantren baru di daerah lain (Falah, 2010, hlm. 194).

Dari pemaparan diatas, daerah Tasikmalaya di satu sisi menjadi daerah yang

istimewa bagi Paguyuban Pasundan dalam bidang pendidikan modern karena

memiliki banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh Paguyuban Pasundan

(9)

mempuyai sistem pendidikan yang sudah turun menurun melekat dengan

masyarakatnya yaitu sistem pendidikan teologis Islam berupa pesantren. Oleh

karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengkaji mengenai pergerakan

Paguyuban Pasundan dalam mengembangkan pendidikan di Tasikmalaya,

sehingga penulis memberikan judul untuk penelitian ini “Peranan Paguyuban

Pasundan dalam Perkembangan Pendidikan di Tasikmalaya pada tahun

1913-1942”.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan pemaparan diatas yang diuraikan dalam latar belakang

penelitian, kajian yang diberi judul “Peranan Paguyuban Pasundan dalam

Perkembangan Pendidikan di Tasikmalaya pada tahun 1913-1942” ini agar

lebih memudahkan dalam kajiannya dibagi menjadi empat rumusan masalah

yaitu:

1. Bagaimana latar belakang berdirinya organisasi Paguyuban Pasundan ?

2. Bagaimana keadaan pendidikan di Tasikmalaya sebelum masuknya

pendidikan modelBarat?

3. Bagaimana peranan organisasi Paguyuban Pasundan dalam

perkembangan pendidikan di Tasikmalaya pada tahun 1913-1942 ?

4. Bagaimana dampak dari peranan Paguyuban Pasundan dalam bidang

pendidikan di Tasikmalaya pada tahun 1913-1942 ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah skripsi ini ialah :

1. Menjelaskan alasan berdirinya Paguyuban Pasundan yang menjadi

organisasi pergerakan sosial budaya dan pendidikan pada zaman

Pergerakan Nasional;

2. Memaparkan kondisi dan sistem pendidikan di Tasikmalaya sebelum

masuknya pengaruh dari pendidikan model Barat;

3. Menganalisis peranan organisasi Paguyuban Pasundan dalam

(10)

mengembangkan pendidikan modern barat ditengah pendidikan

keagamaan yang identik dengan daerah Tasikmalaya;

4. Memaparkan dampak yang ditimbulkan dalam bidang pendidikan setelah

adanya pengaruh pendidikan dan pengajaran organisasi Paguyuban

Pasundan di Tasikmalaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penyusunan karya tulis ilmiah skripsi ini ialah :

1. Menambah khazanah pengetahuan bagi khalayak umum mengenai

Paguyuban Pasundan yang mengembangkan pendidikan di Tasikmalaya;

2. Menjadi bahan referensi bagi sekolah-sekolah khususnya materi

mengenai Pergerakan Nasional di kelas XI Sejarah Wajib dan Peminatan

Semester Genap Sekolah Menengah Atas;

3. Menjadi bahan referensi sejarah lokal Tasikmalaya khususnya dalam

bidang pendidikan yang dikembangkan oleh Paguyuban Pasundan.

1.5 Struktur Organisasi Skripsi

Bab I Pendahuluan

Pada bab ini, penulis secara umum memaparkan alasan mengapa mengkaji

kajian yang berjudul “Peranan Paguyuban Pasundan dalam Perkembangan

Pendidikan di Tasikmalaya (1913-1942)”. Bab pendahuluan ini, terbagi ke

dalam beberapa sub bab yaitu Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah

Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat/Signifikansi Penelitian dan Struktur

Organisasi Penelitian.

Bab II Kajian Pustaka

Pada bab ini, penulis menganalisis beberapa konsep, kajian pustaka serta

penelitian terdahulu yang relevan dengan judul skripsi guna memberikan konteks

yang jelas dalam kajiannya. Pada bab ini penulis memaparkan konsep mengenai

Peranan, Pendidikan, Pergerakan Nasional dan konsep mengenai Pendidikan dan

Perubahan Sosial. Sedangkan dalam kajian pustaka, penulis mengumpulkan

beberapa literatur yang berhubungan dengan kajian mengenai sistem pendidikan

(11)

mengenai Paguyuban Pasundan. Sub-bab lainnya yaitu mengenai penelitian

terdahulu yang terdiri dari beberapa kajian skripsi/tesis/disertasi dan jurnal yang

relevan dengan judul yang akan dikaji oleh penulis.

Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini penulis melakukan penelitian sejarah dengan menggunakan

metode historis yang biasa dilakukan oleh para peneliti sejarah. Selain itu juga

penulis menggunakan teknik studi literatur dengan cara mengumpulkan

sumber-sumber yang berkaitan dengan kajian seperti sumber-sumber buku, dokumen, majalah,

jurnal dan lain sebagainya.

Bab IV Peranan Paguyuban Pasundan dalam Perkembangan Pendidikan di

Tasikmalaya pada tahun 1913-1942.

Pada bab ini penulis akan menuangkan sumber-sumber yang sudah

terkumpul dan sudah dikritisi menjadi sebuah tulisan ilmiah hasil dari interpretasi

penulis dari sumber sejarah yang ada. Pada bab ini pula penulis akan memaparkan

jawaban dari rumusan masalah menjadi sebuah tulisan yang ilmiah. Rumusan

masalahnya terdiri dari latar belakang berdirinya Paguyuban Pasundan, keadaan

pendidikan di Tasikmalaya sebelum masuknya pendidikan model barat, peran

Paguyuban Pasundan dalam bidang pendidikan serta dampaknya.

Bab V Simpulan dan Rekomendasi

Pada bab ini penulis mencoba menyimpulkan hasil kajian sehingga

benar-benar bisa menjawab semua rumusan masalah. Selain memaparkan kesimpulan,

penulis juga memaparkan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya yang

beririsan dengan judul ini guna menghasilkan karya tulis ilmiah yang lebih baik

(12)

Referensi

Dokumen terkait

sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan konsumen terhadap suatu produk. Semakin baik dan berkualitas suatu produk, maka semakin tinggi kepuasan yang akan diterima

Hasil pengamatan persentase terbentuknya akar yang dilakukan menunjukkan bahwa pemberian berbagai konsentrasi BAP pada media belum mampu untuk memacu pembentukan akar

Menurut Dini (2009) semakin tinggi tingkat produktivitasnya berarti semakin banyak hasil yang dicapai. Di Kecamatan Nusa Penida jumlah produksi rumput laut dalam

Uteuen Raya Uteuen Raya... Uteuen Raya

Nilai Tambah yang Diperoleh Mahasiswa dalam Pelaksanaan PPL 1 Praktikan mempunyai banyak pengalaman, informasi dan ilmu dari kepala SKB, pamong belajar, tutor, peserta

Sumber-sumber stress yang dimunculkan pada para subjek juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulia Sholichatun 2011 tentang stres dan strategi coping pada anak didik

a) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik

Tidak kurang dari 25 bentuk kata Ibrani muncul dalam kedua bagian utama Yesaya, tetapi tidak terdapat di kitab nubuat yang lain di PL. (2) Bukti dari luar kitab ini mencakup